Anda di halaman 1dari 4

NAMA : M.

RIDHO AUFA

NIM : 1710112160

TUGAS BANTUAN HUKUM

Peran bantuan hokum terhadap penanganan Covid-19

Seperti kita ketahui bahwa Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan

oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
Dan juga dalam pasal 3 UU No 16 tahun 2011 Bahwa Tujuan Bantuan Hukum adalah:

a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan
akses keadilan;
b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan
kedudukan di dalam hukum;
c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan

selain indicator di atas Bantuan Hukum Juga bertujuan untuk mengkritisi Kebijakan Kebijakan
Pemerintah yang berdampak langsung terhadap hak-hak warga negara, khusus nya yang terjadi
pada saat sekarang ini, mengenai Pandemi COVID-19.

Dimana Pemberi Bantuan hokum dapat menganalisis atau mengkritisi kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah terhadap penanganan PAndemi COVID-19 yang langsung berimpact
kepada masyarakat.

Sebagaimana diketahui bersama, pada 31 Maret 2019 lalu Pemerintah mengeluarkan 3 (tiga)
produk hukum yang berkenaan sebagai respon terhadap upaya penanggulangan wabah Covid-
19:
(1) Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan
Masyarakat

(2) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam
Rangka Percepatan Penanganan (COVID-19)

(3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

Penerbitan Keputusan penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat oleh Presiden RI


sendiri dinilai lamban dikeluarkan, karena akibat dari kelambanan tersebut, baik Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah mengalami kegagapan dalam mengambil langkah-langkah
penanggulangan wabah pandemi COVID-19

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai bagian dari
pelaksanaan Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga
menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam Undang-undang
Kekarantinaan Kesehatan sendiri telah menyebutkan jelas ada 4 (empat) jenis tindakan
kekarantinaan kesehatan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan kedaruratan kesehatan
masyarakat, yang mencakup: 1) Karantina Rumah; 2) Karantina Rumah Sakit; 3) Karantina
Wilayah, dan; 4) Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Bila mengacu pada kondisi penyebaran COVID-19 yang terjadi di beberapa daerah, dan
berjalannya mobilitas perpindahan warga, maka semestinya hal yang bisa dilakukan adalah
menekan laju persebaran virus COVID-19 dengan cara membatasi laju mobilitas warga untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat lain, baik itu warga yang tidak terjangkit maupun warga
yang terjangkit atau setidaknya pernah berhubungan langsung di orang yang terjangkit virus
COVID-19.
Artinya kebijakan yang bisa diambil secepatnya oleh Pemerintah adalah penerbitan peraturan
pemerintah yang mengatur Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, maupun Karantina
Wilayah, untuk kemudian menetapkan status karantina sesuai dengan kondisi masing-masing di
lapangan. 

Pembatasan Sosial Berskala Besar memang dia juga bisa digunakan untuk meminimalisir adanya
kerumunan dan interaksi sosial yang memungkinkan terjadinya penyebaran virus COVID-19,
namun ia tidak serta merta dapat mencegah laju mobilitas warga di suatu tempat ke tempat
lainnya. Artinya, masih dimungkinkan terjadinya penyebaran virus COVID-19 dari satu wilayah
ke wilayah lain.

Selain hal di atas, masalah juga terjadi ketika Pemerintah lantas menerbitkan Perppu No. 1
Tahun 2020 terkait kebijakan stabilitas sistem keuangan. Sekilas kebijakan ini nampaknya
“positif” dan dipandang sebagai cara untuk “menyelamatkan keuangan negara, serta
memungkinkan adanya perubahan alokasi anggaran APBN untuk biaya penanggulangan wabah
COVID-19

Jika dilihat mungkin ada beberapa aturan yang perlu dikaji ulang terhadap subtansi yang
terdapat di Perppuy No.1 tahun 2020

1. Pasal 27 Ayat 1 Perppu No. 1 Tahun 2020 menyebutkan bahwa biaya yang timbul dari
kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis, disebutkan
ia sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan
merupakan kerugian Negara. Ketentuan pasal ini menjadi tameng bagi Pemerintah
untuk tidak ingin dievaluasi maupun diperiksa oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI
dan memungkinkan terjadinya tindakan koruptif di masa-masa kedaruratan kesehatan
masyarakat seperti sekarang ini;
2. Pasal 27 ayat 2 Perppu No. 1 Tahun 2020 menyebutkan jika pejabat pengambil
kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan
tugas didasari pada itikad baik dan sesuai perundang-undangan. Sama seperti dalam
ayat 1 Pasal ini, ia menjadi tameng agar pejabat pengambil kebijakan kebal hukum dan
tidak bisa dievaluasi dalam mengambil kebijakan;
3. Pasal 27 ayat 3 Perppu No. 1 Tahun 2020 menyebutkan jika segala tindakan termasuk
keputusan yang diambil pejabat/badan pemerintahan berdasarkan Perppu ini bukan
merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Klausul ini menjadi puncak dari upaya Pemerintah untuk mengangkangi demokrasi dan
negara hukum, dimana pemerintah hendak mewujudkan kekuasaan absolut negara di
hadapan rakyatnya, yang seolah-olah tindakan pemerintah tidak pernah salah dan tidak
bisa digugat/diperkarakan ke Pengadilan

Maka dari itu peran dari bantuan hokum adalah untuk menganlisa dan mengkritisi atau
mendesak pemerintah untuk memperbaiki kebijakan yang telah dikeluarkan, karena kabijakan
tersebut terkait dengan hak-hak warga negara, agar dalam keadaan seperti ini Pemerintah tidak
melakukan Manuver Politik untuk kepenting sekolompok orang atau Pribadi.

Anda mungkin juga menyukai