Anda di halaman 1dari 38

HASIL & REKOMENDASI

KONFERENSI TENURIAL 2017


Mewujudkan Hak-hak Rakyat:
Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan
Hutan di Indonesia
Jakarta, 25-27 Oktober 2017
HASIL & REKOMENDASI
KONFERENSI TENURIAL 2017
Mewujudkan Hak-hak Rakyat:
Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan
Hutan di Indonesia
Jakarta, 25-27 Oktober 2017
HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017
DAFTAR ISI

KESIMPULAN 3

REKOMENDASI 4
1. Kebijakan dan Peraturan Perundangan 4
2. Inovasi Kelembagaan Untuk Penguatan dan Percepatan RAPS 4
Serta Penyelesaian Konflik Hutan/Lahan;
3. Adopsi Hasil Konferensi Tenurial 2017 5

REKOMENDASI 11 PANEL 6
Panel 1. Percepatan Pencapaian Target Perhutanan Sosial 6
Panel 2. Meluruskan Arah & Percepatan Reforma Agraria untuk 8
Mengatasi Ketimpangan Struktur Agraria dan Kesenjangan
Ekonomi
Panel 3. Pengukuhan Hutan Adat untuk Perlindungan Masyarakat 11
Hukum Adat dan Pendistribusian Manfaat
Panel 4. Pengakuan Hak Tenurial dalam Penanganan Perubahan 13
Ikliml
Panel 5. Hak Masyarakat dalam Areal Konservasi: Pengakuan dan 15
Peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal
Panel 6. Perlindungan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam 18
Penegakkan Hukum
Panel 7. Konflik Tenurial dan Pilihan Penyelesaian Konflik 20
Panel 8. Ragam Tenurial untuk Melindungi, Mengelola, dan 22
Memulihkan Gambut
Panel 9. Pengembangan Ekonomi Berbasis Masyarakat Melalui 24
Ragam Inovasi dan Investasi UMKM Kehutanan
Panel 10. Peran Swasta dalam Menghormati Hak Tenurial/ HAM 25
Panel 11. Ragam Tenurial Hutan Lindung dan Tahura 28

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 1


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
Pada 25- 27 Oktober 2017 di Jakarta telah diselenggarakan Konferensi Tenurial 2017 bertujuan menghasilkan peta
Konferensi Tenural 2017. Konferensi yang digagas jalan yang bisa menjadi rujukan penyusunan kebijakan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial dan dan memberikan kerangka kerja pemerintah bagaimana
diselenggarakan bersama Kantor Staf Presiden RI (KSP) bekerja bersama-sama dalam percepatan Reforma Agraria
dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Perhutanan Sosial di Indonesia. Mengingat pentingnya
(KLHK) ini dihadiri oleh 541 orang dari berbagai kalangan tujuan Konferensi Tenurial 2017, telah menyelenggarakan
termasuk wakil-wakil pemerintahan, akademisi dalam kegiatan-kegiatan prakonferensi sejak September 2017
dan luar negeri, praktisi, aktivis dan masyarakat dari 40 untuk menjaring masukan melalui Sarasehan Pesona,
kabupaten, 23 propinsi di Indonesia. Konferensi Tenurial Diskusi Terfokus, Festival Karya Pusaka Agraria dan
2017 ini dibuka di Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo. Konferensi Reforma Agraria.
Konferensi ini dihadiri oleh Kepala Staf Presiden Drs. Teten
Masduki, Perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Setelah mendengarkan masukan dari serangkaian kegiatan
Menteri Koordinator Perekonomian, Prof. Darmin Nasution, selama Konferensi Tenurial 2017 dengan memperhatikan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya, hal-hal sebagai berikut:
Menteri ATR/BPN Dr. Sofyan Djalil, Menteri Desa PDT dan
Transmigrasi Eko P. Sandjojo, MA dan Menteri PU dan 1. Naskah Akademik 11 Panel dalam Konferensi Tenurial
Perumahan Rakyat Dr. Mochamad B. Hadimoeljana. 2017;
2. Hasil dan catatan-catatan kegiatan pra-konferensi
Beberapa komitmen politik yang menjadi fondasi penting sebelum Konferensi Tenurial 2017
Reformasi Penguasaan Tanah dan Pengelolaan Hutan 3. Hasil-hasil Diskusi Terpimpin (FGD) di 11 Panel, Seminar
di Indonesia telah diletakkan dalam 2 tahun terakhir. dan Lokakarya, Lecturer Note dan pertemuan sebelum
Komitmen politik ini perlu dipertahankan dan dijaga Konferensi Tenurial 2017;
konsistensinya oleh semua pihak, walaupun dalam 4. Kata-kata kunci dari pernyataan Narasumber dan
perjalanannya masih berhadapan dengan hambatan Kementerian/Lembaga yang hadir pada Sidang Pleno
struktural yang berat untuk diatasi. Namun dengan Hari-1: Dialog Kebijakan
semangat, harapan, dan komitmen keadilan agraria yang 5. Hasil-hasil diskusi terfokus di 11 Panel dalam
tinggi, kendala dan hambatan tersebut secara bertahap pelaksanaan Konferensi Tenurial 2017;
akan diatasi. Inilah motif penting diselenggarakannya 6. Hasil-hasil diskusi Sidang Pleno-2: Pengayaan Perspektif
Konferensi Tenurial 2017. Reformasi Penguasaan Tanah dan Pengelolaan Hutan
7. Hasil-hasil diskusi Sidang Pleno-3: Inovasi Kebijakan
Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

Maka Konferensi Tenurial 2017 menyampaikan sebagai


berikut :

2 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil-hasil pembahasan sumber-sumber informasi serta pendapat-pendapat yang telah disarikan dalam
sidang-sidang pleno di atas, melalui berbagai tinjauan makro nasional dan internasional sampai mikro kasus-kasus
rumah tangga dan perorangan terdapat kesimpulan umum, sebagai berikut:

Pertama, tanah dan sumberdaya alam lainnya di satu sisi adanya kolaborasi antara Pemerintah, CSO, masyarakat
jumlahnya terbatas, di sisi lain sangat terkait dengan ruang dan dunia usaha perlu senantiasa dipertahankan dan
hidup dan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat yang ditingkatkan;
jumlahnya terus meningkat. Namun demikian, dengan
akumulasi persoalan masa lalu, sistem penguasaan, Keempat, ruang lingkup pelaksanaan perhutanan sosial,
penggunaan, pengelolaan dan pemanfaatannya yang penetapan hutan adat, maupun pelaksanaan reforma
telah berjalan selama ini terlanjur mengadirkan ketidak- agraria tidak dapat dilaksanakan secara parsial, sebaliknya
adilan sosial, menyebabkan terjadinya konflik maupun perlu dikaitkan dengan upaya memperbaiki ketimpangan
tidak terlindunginya masyarakat adat dan lokal, selain juga struktur agraria yang diikuti dengan pemberdayaan
menurunkan fungsi-fungsi lingkungan hidup; masyarakat lebih luas di berbagai fungsi kawasan;
konservasi, lindung maupun produksi serta dijalankan
Kedua, masalah tenurial tersebut telah menjadi perhatian diluar kawasan hutan, baik di Pulau Jawa maupun di
pemerintah, masyarakat sipil, serta dunia usaha untuk luar Pulau Jawa, dari Papua sampai Aceh, baik di wilayah
diselesaikan, baik yang tercermin dalam pernyataan daratan maupun perairan serta pulau pulau kecil. Sejauh
sebagai komitmen dalam Konferensi Tenurial ini, maupun ini masih terdapat masalah hak dan akses masyarakat
kebijakan baru yang sudah ada dan yang sedang dijalankan. terhadap infrastruktur maupun sumber-sumber ekonomi,
Pelaksanaan kebijakan ini diharapkan dapat mengkoreksi pendidikan maupun informasi dan pengetahuan, sehingga
sistem penguasaan tanah/hutan tersebut, baik berupa menjadi hambatan untuk mewujudkan kemandiriannya.
kebijakan maupun inovasi kelembagaannya, termasuk Pelaksanaan penyelesaian masalah tenurial, untuk itu, perlu
mengkondisikan, terutama bagi pelaku dunia usaha dilandasi etika dan empati terhadap subyek utama yaitu
dan birokrasi pemerintahan sendiri, agar secara aktif masyarakat yang selama ini menghadapi persoalan yang
menjalankan pelaksanaan koreksi tersebut; bersifat struktural itu.

Ketiga, masih terdapat gap antara kebijakan di tingkat Kelima, upaya percepatan penyelesaian masalah tenurial,
nasional dengan pelaksanaan kebijakan itu di tingkat tidak terlepas dari upaya perbaikan sistem perizinan
praksis; antara lain berupa lambatnya respon pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam maupun penetapan alokasi
kebijakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ruang, pencegahan dan pengendalian korupsi, jaringan
itu sendiri, respon swasta maupun pengelola hutan/lahan kekuasaan yang menghambat perbaikan, peningkatkan
di lapangan yang masih terbatas. Sementara itu, adanya partisipasi maupun keterbukaan informasi bagi publik
contoh-contoh praktek yang baik, yang digali dalam serta kelembagaan penyelesaian konflik yang menyeluruh.
Konferensi ini, menjadi bukti bahwa masalah-masalah Perubahan konfigurasi hubungan-hubungan sosial melalui
tenurial yang ada dapat diselesaikan. Penyelesaian itu perkembangan teknologi media sosial maupun teknologi
memerlukan komitmen politik seluruh Kementrian dan informasi, perlu didayagunakan untuk mewujudkan tata
Lembaga serta langkah-langkah kongkrit di lapangan pengelolaan tanah/hutan dan sumberdaya alam lainnya
dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sangat spesifik secara baik (good land/forest and natural resources
dan memerlukan informasi akurat dan detail. Untuk itu, governance).

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 3


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
REKOMENDASI

Dengan beberapa kesimpulan umum di atas, rekomendasi umum dari rincian rekomendasi panel yang tidak terpisahkan
dari hasil Konferensi ini, yang masih perlu ditindak-lanjuti dengan menyusun instrumen kebijakan dan rencana aksi yang
lebih rinci, serta adopsi hasil Konferensi Tenurial 2017, yaitu:

1. Kebijakan dan Peraturan Perundangan 2. Inovasi Kelembagaan Untuk Penguatan dan


Percepatan RAPS Serta Penyelesaian Konflik
a) Merumuskan kebijakan nasional untuk mencegah
Hutan/Lahan;
dan menyelesaikan terjadinya konflik tenurial secara
komprehensif di semua sektor dan daerah; a) Bentuk kelembagaan saat ini sebagai proses awal untuk
b) Mengingat tingginya urgensi dan besarnya tantangan menentukan pedoman-pedoman pelaksanaan RAPS,
yang dihadapi dalam pelaksanaannya, Reforma Agraria perlu penguatan agar mempunyai posisi kuat dalam
dan Perhutanan Sosial perlu diposisikan setara dengan mengatasi besarnya tantangan yang dihadapi. Untuk itu,
Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memungkinkan Pemerintah perlu membuka proses penetapan pedoman-
dilakukan pengecualian (diskresi) untuk percepatan pedoman yang akan dilakukan oleh Tim Percepatan dan
pelaksanaannya. Tim Pelaksana Penyelesaian Pengusaaan Tanah dalam
Kawasan Hutan (PTKH), agar sejalan dengan kondisi
c) Menetapkan kebijakan dan/atau regulasi yang terkait:
di lapangan, serta melakukan monitoring dan evaluasi
• Membuka jalan lebih luas (selain Perda) bagi
kebijakan dan kelembagaan ini, guna dapat melakukan
penetapan hutan adat/MHA serta wilayah adat yang
penyesuaian kelembagaan jika dianggap tidak efektif.
berada di luar kawasan hutan, khususnya wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil ; b) Dalam pelaksanaan operasional diperlukan inovasi
• Menetapkan perhatian pada aspek HAM dan prinsip kelembagaan terutama yang terkait dengan:
keadilan gender bagi pelaksanaan kebijakan RAPS dan • Mengembangkan norma dan leadership (champion)
usaha yang berbasis tanah/hutan, serta laut, pesisir yang dapat mengusung pembaruan pendekatan-
dan pulau-pulau kecil; pendekatan dalam pengelolaan semua fungsi kawasan
• Mendorong sektor/Pemda dan swasta untuk hutan maupun di luar kawasan hutan, di berbagai
mewujudkan pengembangan ekonomi masyarakat; lembaga/organisasi (pemerintah, swasta, CSO,
• Medorong Pemda merespon secara aktif dalam masyarakat);
penyelesaian beragam konflik agraria, perlaksanaan • Menjalankan tahapan-tahapan Reforma Agraria dan
reforma agraria maupun perhutanan sosial; Perhutanan Sosial (RAPS) secara bottom up (LPRA—
• Menetapkan pedoman baku bagi aparat keamanan Lokasi Prioritas RA dan juga hal yang sama untuk PS)
dan penegakan hukum dalam penanganan konflik sehingga RAPS menjadi tepat sasaran;
tenurial secara khusus dan adil serta menghormati • Penguatan kapasitas CSO dan KPH dalam melakukan
hak-hak asasi manusia; pendampingan untuk menentukan subyek dan obyek
• Mendorong peluang dibangunnya tata kelola inovatif RAPS di lapangan secara tepat;
pelaksanaan RAPS dengan pendekatan-pendekatan • Pengembangan kerjasama dengan swasta (pemegang
baru dalam pengelolaan kawasan konservasi, lindung, izin) dan perbankkan untuk peningkatan kapasitas
produksi, dan dikembangkan dalam multi sektoral masyarakat dalam pengembangan ekonomi;
lainnya (non-kehutanan) mencakup perkebunan, • Pengembangan organisasi pembelajar (learning
pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil dan wilayah agraria organization) dalam pengelolaan hutan konservasi,
perkotaan. lindung dan produksi dan perlu dikembangkan untuk
pengelolaan sumberdaya alam lainnya;
• Memperkuat dukungan penguatan SDM dan
pembiayaan.

4 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


Kebijakan dan inovasi kelembagaan tersebut ditetapkan
dengan memperhatikan kebutuhan proses maupun
kebutuhan kebijakan untuk menghasilkan output dan
outcome sebagaimana dipetakan pada gambar berikut.

3. Adopsi Hasil Konferensi Tenurial 2017 • Kementerian Pertanian


• Kementrian Keuangan
Untuk mengintegrasikan dan mengoperasionalkan hasil-
• Komisi Pemberantasan Korupsi
hasil Konferensi Tenurial 2017 ini, akan disampaikan laporan
• Mahkamah Agung
dan/atau audiensi dengan Kementerian/Lembaga:
• Kejaksaan Agung
• Kantor Staf Presiden
• Kepolisian
• Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
• Kementerian Hukum dan HAM
• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
• Komnas HAM
• Kementerian Agraria dan Tata Ruang
• Badan-Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
• Kementerian Dalam Negeri
• Kementerian Kelautan dan Perikanan
• Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
• Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 5


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
REKOMENDASI 11 PANEL
PANEL 1

Percepatan Pencapaian Target Perhutanan Sosial

Panel 1 dengan tema “Percepatan Pencapaian Target Fasilitator: Suwito (Kemitraan – Partnership for Governance
Perhutanan Sosial” dihadiri oleh tidak kurang dari Reform)
lima puluh peserta termasuk Narasumber, Pelapor, Penyampaian Hasil Rumusan Rekomendasi oleh Pelapor:
Penanggungjawab dan Fasilitator, yang mewakili organisasi Prof. Didik Suharjito Guru Besar IPB.
rakyat, civil society organizations, lembaga riset, litbang
dan inovasi, pembuat kebijakan, tokoh masyarakat dan Berikut butir-butir Rekomendasi Panel 1:
perwakilan swasta, dengan penanggungjawab terdiri dari
Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (Ir. Erna I. Dukungan dan sinergitas lintas kementerian/
Rosdiana, Msi), The Asia Foundation (Muayat Ali Muhshi lembaga
& Margaretha Tri Wahyuningsih), Kemitraan (Suwito),
Kementerian terkait: Bappenas, Kementerian Keuangan,
dan ASEAN Working Group on Social Forestry (AWG-SF)
Kementerian BUMN, Perhutani, Kementerian Desa, PDT dan
Secretariat (Sagita Arhidani & Alfi Syakila).
Transmigrasi; Kementerian Koperasi dan UKM; Kementerian
Peridustrian; Kementerian Pariwisata; Kementerian PU.
Dr. Hadi Daryanto – Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan
Kebijakan Menko Perekonomian No. 73 /2017 dapat
Kemitraan Lingkungan – Kementerian Lingkungan Hidup
memberikan arahan koordinasi dan sinergitas antar
dan Kehutanan hadir menyampaikan Keynote Speech,
kementerian khususnya dalam menangani PS dan reformasi
dilanjutkan dengan diskusi Panel dengan Narasumber
agraria, namun belum cukup kuat untuk mempercepat
dalam dua Sesi, sebagai berikut:
implementasi program PS mencapai target 12,7 juta hektar
pada tahun 2019. Perlu dorongan lebih kuat, yaitu Peraturan
Sesi Satu:
Pemerintah , Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden
Narasumber: untuk menggerakan peran kementerian terkait dan pemda,
1) Ir. Erna Rosdiana, MSi, Direktur Penyiapan Kawasan sekaligus menggerakan peran para pihak lain (akademisi,
Perhutanan Sosial KLHK CSO, organisasi rakyat, bisnis) sampai dengan tercapainya
2) Prof. Dr. Ingrid Oborn, Regional Director World 30% kawasan hutan untuk rakyat.
Agroforestry Center Southeast Asia (ICRAF/ ASFCC)
II. Dukungan organisasi pemerintah di tingkat daerah
3) Illiana Monterosso (CIFOR Peru) & Dr. Tuti Herawati (CIFOR
Head Office) Menggantungkan implementasi PS kepada jumlah UPT
4) Dr. Suraya Afiff (Peneliti Pasca Sarjana Universitas bidang PS yang terbatas akan mengalami hambatan.
Indonesia) Percepatan implementasi PS sangat membutuhkan
dukungan peran PEMDA. Kemauan politik dan dukungan
Fasilitator: Irfan Bakhtiar
finansial dari PEMDA (melalui APBD), kapasitas SDM
bidang teknis dan sosial ekonomi, maupun infrastruktur di
Sesi Dua:
bawah kewenangan dan kekuasaannya harus diperkuat.
1) Taufik (Kabid Penyuluhan dan Pemberdayaan Dinas-dinas (kehutanan dan lingkungan hidup, pertanian,
Masyarakat, DisHut Prov. Sumatera Selatan) pariwisata, dll) dan lembaga (antara lain penyuluhan
2) Rudy Syaf (Direktur, KKI WARSI) pertanian dan kehutanan) di lingkungan PEMDA (provinsi
dan kabupaten) harus melakukan sinkronisasi program
3) Dharsono Hartono (Direktur Utama PT Rimba Makmur
pembangunan masyarakat pedesaan di mana program PS
Utama)
dapat menjadi sentralnya.
4) Abdul Manan ( Hutan Desa Tebing Tinggi)

6 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


III. Pelimpahan Kewenangan praktik PS, melakukan manajemen pengetahuan
(knowledge management) PS.
Pelimpahan kewenangan kepada daerah dengan kawasan
dan tata cara yang ditentukan. Pemerintah Pusat melakukan
VII. Peningkatan ketersediaan tenaga pendamping
pengawasan dan pengendalian.
masyarakat
IV. Dukungan KPH dan desa di tingkat tapak Perhatian khusus harus diberikan kapada peningkatan
ketersediaan tenaga pendamping masyarakat, dapat
KPH dan desa sebagai institusi negara dan kelembagaan
dilakukan melalui peningkatan jumlah penyuluh kehutanan
di tingkat tapak memegang peran yang strategis untuk
baik PNS maupun kontrak. Kesempatan untuk menjadi
implementasi program PS lebih efektif dan cepat,
tenaga pendamping masyarakat dengan ikatan kontrak
memastikan ketepatan subyek dan obyek. KPH dan desa
dapat diberikan kepada sarjana baru (seperti progran
memiliki data dan informasi lebih detail dan akurat di
Bakti Rimbawan yang dijalankan oleh BP2SDM KLHK).
tingkat tapak: siapa yang membutuhkan lahan PS, berapa
Penyuluh kehutanan yang terlah tersedia perlu ditingkatkan
keluarga/ rumahtangga, di mana lokasi areal PS, berapa luas
kapasitasnya untuk dapat melakukan pendampingan
lahan yang tersedia, bagaimana kondisi biofisik hutan dan
masyarakat dalam program PS. Pendamping desa
landskap, bagaimana potensi sumberdaya hutan, berapa
dioptimalkan untuk pengembangan PS.
luas lahan setiap keluarga/ rumahtangga yang sesuai,
bagaimana budaya dan struktur masyarakat, dst. Oleh
VIII. Program dan mekanisme penganggaran
karena itu, penguatan kelembagaan, SDM, dan infrastruktur
KPH harus dilakukan bersama desa dengan dukungan kuat Program perhutanan sosial harus didukung dengan
oleh KLHK untuk menjadikan KPH sebagai fasilitator PS di program dan anggaran yang memadai. Berbagai peluang
tingkat tapak. Kerjasama antar desa harus dikembangkan sumber pendanaan negara, seperti APBN, APBD, dana desa,
untuk memperkuat pengembangan ekonomi rakyat dalam dan sumberdana lainnya seperti Dana Reboisasi harus
perhutanan sosial. dioptimalkan. Mekanisme pengelolaan keuangan harus juga
disiapkan untuk mendukung pemanfaatan berbagai sumber
V. Ketepatan subyek dan obyek PS pendanaan tersebut secara efektif.
PS harus tepat sasaran (subyek/penerima manfaat dan
IX. Pengamanan sosial (social safegard) belum tersedia
obyeknya/ kawasan hutan) mengutamakan masyarakat
miskin dan kelompok marjinal lain termasuk perempuan, Program PS harus menjamin tepat subyek dan tepat obyek,
sesuai dengan tujuan kebijakan yaitu mewujudkan yaitu keluarga/ rumahtangga miskin dan tidak menguasai
pengelolaan hutan lestari, meningkatkan keadilan manfaat lahan pertanian, perempuan kepala keluarga/ rumahtangga
atas sumberdaya hutan, dan meningkatkan kesejahteraan secara adil dalam hal luas dan produktivitas lahan hutan,
masyarakat lokal/ masyarakat desa hutan. Program PS harus ataupun resikonya. Semua un it kerja PS: KLHK, PEMDA
dapat menjadipintu masuk penataan distribusi manfaat sampai desa berpedoman pada social safegard. Peraturan
atas hutan. Program PS harus dapat menjadi alat untuk menteri LHK yang menjamin pengamanan sosial (social
memastikan tercapainya hutan lestari. Okupasi masyarakat safegard) diperlukan, khususnya untuk masyarakat sekitar
atas lahan hutan negara yang selama ini terjadi harus dapat hutan. Permen tersebut ditindaklanjuti dengan pedoman
ditata sehingga tidak terjadi ketimpangan penguasaan social safegard.
lahan hutan negara. Proses penataan distribusi penguasaan
lahan hutan membutuhkan keterampilan resolusi konflik. X. Peningkatan kapasitas para pihak
Ketepatan subyek dan obyek dijamin melalui implementasi
1) Peningkatan kapasitas anggota POKJA
pedoman pengamanan sosial (Social Safeguard).
2) Peningkatan kapasitas pendamping
3) Peningkatan kapasitas masyarakat
VI. Dukungan para pihak
4) KPH
Dukungan para pihak (akademisi, CSO, organisasi rakyat, 5) Penyuluh
bisnis) dalam wadah Pokja Nasional dan Pokja Daerah serta 6) BPSKL
lembaga donor tetap diperlukan. Peran Pokja terutama 7) Staf PSKL
untuk membantu penyusunan kebijakan dan mencermati 8) Kelembagaan desa.
implementasinya, memantau dan mengevaluasi praktik-

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 7


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
PANEL 2

Meluruskan Arah & Percepatan Reforma Agraria untuk Mengatasi


Ketimpangan Struktur Agraria dan Kesenjangan Ekonomi

Panel 2 telah berjalan dengan baik, dengan partisipasi Dari proses diskusi, kalangan masyarakat sipil menilai,
penuh dari masyarakat sipil (organisasi rakyat berbasis tani, bahwa proses pelaksanaan reforma agraria ini akan sangat
berbasis masyarakat adat, LSM , akademisi serta media) dan lambat dan tidak memadai dengan tujuan-tujuan Reforma
pemerintah (Kementrian LHK, Kementerian ATR/BPN, serta Agraria yang sesungguhnya. Apalagi dengan target yang
pimpinan daerah). cukup luas. Karena itu, dibutuhkan langkah-langkah untuk
meluruskan dan mempercepat realisasi pelaksanaan
Narasumber dalam sesi ini adalah: reforma agraria yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
1. Djamaluddin, S.H., M.Hum, Dirjen Penataan Agraria,
Kementerian ATR/BPN Dari proses diskusi Panel II dapat dirangkum beberapa
2. Dr Budi Suryanto, Direktur Land Reform ATR/BPN temuan dan masalah dalam pelaksanaan RA yang tengah
dijalankan yaitu:
3. Ir. Yuyu Rahayu, M.Sc, Dirjen Planologi Kehutanan dan
Tata Lingkungan, Kementerian LHK,
1. Rencana pelaksanaan reforma agraria yang dijalankan
4. Muhamad Irwan Lapata, S.Sos., M.Si. Bupati Kabupaten oleh BPN masih menggunakan ukuran clear and clean,
Sigi, Sulawesi Tengah tentu saja jika menggunakan aturan-aturan yang tersedia,
5. Tukinan Paguyuban Petani Aryo Blitar langkah pelaksanaan reforma agraria yang diusulkan oleh
masyarakat akan semakin lambat. Mengingat ada banyak
Selain itu, penanggap utama dalam diskusi ini adalah Dr
hambatan hukum yang dihasilkan oleh rezim sebelumnya
(HC) Gunawan Wiradi (Pakar Agraria), Yudas Sabaggalet, S.E.,
dan tidak sejalan dengan pelaksanaan reforma agraria.
M.M. (Bupati Mentawai, Sumatera Barat).
Lebih jauh, tujuan penyelesaian konflik dan mengurangi
Fasilitator: Iwan Nurdin (KPA) dan pelapor Martua Sirait
ketimpangan menjadi terkendala.
(Samdhana).
2. Rencana KLHK dengan menetapkan TORA, masih
Panel ini melihat bahwa RA dan PS tidak bisa disamakan, mengeluarkan wilayah-wilayah yang selama ini sangat
ada lokasi-lokasi yang dapat diselesaikan melalui reforma menginginkan pelakasanaan reforma agraria khususnya
agraria, dan ada lokasi-lokasi yang diselesaikan dengan di Jawa, Bali dan Lampung. Sementara pada lokasi ini
skema perhutanan sosial. Reforma agraria bertujuan untuk hanya ditawarkan skema PS. Para peserta memahami
menyelesaikan konflik agraria, mengurai ketimpangan bahwa PS tidak cocok pada lokasi-lokasi yang selama ini
struktur agraria yang timpang menjadi lebih adil, telah berupa kampung, pemukiman, dan wilayah kelola
mendorong kesejahteraan dan keberlanjutan ekologis. masyarakat.
Karena hal tersebut, reforma agraria mencakup perubahan 3. Pemerintah Daerah, khususnya Kab. Sigi Sulawesi
tata kuasa, tata guna, tata kelola, tata produksi dan Tengah, Kab. Mentawai, Sumatera Barat, telah melakukan
konsumsi pada wilayah-wilayah operasionalnya. beberapa langkah inisiatif dengan membentuk Gugus
Tugas Reforma Agraria di wilayah dan melakukan
Dalam perjalanannya reforma agraria dijalankan dengan pendataan lokasi dan penerima manfaat reforma agraria.
tata cara menentukan alokasi Tanah Objek Reforma Agraria Usulan tersebut telah disampaikan kepada pemerintah
(TORA) yang top down. Setelah penentuan TORA, lokasi pusat.
indikatif tersebut akan divalidasi, diverifikasi, lalu dilepaskan
4. Kalangan masyarakat sipil mengusulkan Lokasi Prioritas
dari kawasan hutan dan setelah dilepaskan dari kawasan
Reforma Agraria (LPRA) yang didapat dengan cara
hutan, langkah selanjutnya adalah melakukan legalisasi
mengukur lokasi dan penerima manfaat sesuai dengan
tanah-tanah oleh Kementerian ATR/BPN. Langkah terakhir,
tujuan-tujuan reforma agraria. Percepatan realisasi dan
adalah pemberdayaan lokasi melalui Kementerian Desa
pelurusan RA ini dapat dijalankan dengan langkah awal
PDDT.
menjalankan LPRA.

8 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


5. Area-area konflik agraria berupa kawasan BUMN 2. Dalam pelaksanaan reforma agraria pada wilayah hutan
kehutanan dan perkebunan, perusahaan swasta seolah yang selama ini meninggalkan wilayah Jawa, Bali, dan
ditinggalkan dari proses dalam menetapkan lokasi Lampung harus diluruskan. Selain itu, untuk menambal
pelaksanaan reforma agraria yang sesungguhnya sangat kekurangan-kekurangan seperti hanya berjalan pada
diinginkan masyarakat dan telah menyebabkan konflik koridor clear and clean, tidak menyasar BUMN dan juga
agraria aneka pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, kekurangan Perpres 88/2017, dapat ditambal dengan
realisasi atas hutan adat juga dirasakan sangat sedikit Rancangan Perpres tentang Reforma Agraria.
dari 80 juta hektar usulan masyarakat adat, realisasinya 3. Pemerintah segera membentuk Satgas Masyarakat Adat
hanya 16 ribu hektar. untuk menyelesaikan percepatan realisasi hutan adat
6. Tentang kelembagaan RA yang tersedia melalui yang selama ini tersendat.
Peraturan Kemenko Perekonomian, sangat dirasakan 4. Menjalankan model-model reforma agraria yang
tidak memadai, dalam meluruskan dan mempercepat sesungguhnya telah dilaksanakan oleh serikat tani,
realisasi reforma agraria dan perhutanan sosial. “Badan masyarakat adat, nelayan tradisional di lapangan dengan
pelaksana RA” yang terlanjur dibentuk di bawah kemenko mengedepankan proses perubahan tata kuasa, tata guna,
perekonomian belum bekerja satu meja sehingga tata kelola, tata produksi dan konsumsi, melalui model
sulit bersinergis dan mengkoreksi satu sama lain dan desa maju reforma agraria (damara).
memperpanjang rantai birokrasi.
5. Sangat dibutuhkan proses yang transparan/keterbukaan
7. Karena beberapa hal yang dianggap sebagai masalah- atas data-data HGU, khususnya yang selama ini
masalah yang seharusnya tidak perlu terjadi tersebut, terindikasi terlantar dan bermasalah sehingga dapat
mengingat statusnya sebagai program prioritas nasional, membuka akses bagi potensi tanah objek reforma agraria
dibutuhkan usaha sungguh-sungguh untuk melakukan yang lebih luas. Proses ini sesungguhnya sejalan dengan
terobosan pelaksanaan reforma agraria dengan keterbukaan informasi publik.
menggulirkan Peraturan Presiden tentang Reforma
6. Perlindungan bagi masyarakat sipil dan aparat pelaksana
Agraria.
reforma agraria khususnya dari masalah pidana akibat
menjalankan reforma agraria karena perlindungan politik
Sesuai dengan tema Panel II “Meluruskan Arah dan
dari pemerintah yang menempatkan reforma agraria dan
Percepatan Reforma Agraria Untuk Mengatasi Ketimpangan
perhutanan sosial sebagai agenda srategis nasional.
Struktur Agraria dan Kesenjangan Ekonomi” dan atas
beberapa masalah-masalah subtansial pelaksanaan,
Untuk jangka menengah hingga panjang:
aspirasi dari masyarakat, dukungan dan kritik masyarakat
sipil atas usaha pelaksanaannya selama ini maka dihasilkan
1. Pembentukan Badan Otorita Reforma Agraria (BORA)
beberapa rekomendasi dalam pembagian:
yang didalamnya juga mencakup usulan-usulan
yang pernah dibuat seperti Komisi Nasional untuk
Untuk jangka pendek adalah:
Penyelesaian Reforma Agraria (KNuPKA), dengan
demikian pelaksanaan reforma agraria yang genuine
1. Segera mengesahkan Peraturan Presiden tentang
dari pusat hingga daerah dapat berjalan dengan baik
Reforma Agraria yang berisi tentang wilayah pelaksanaan
sejak dari grand desain, perencanaan, pelaksanaan dan
yang yang bersifat nasional, sistematis, lintas sektoral,
monitoring pelaksanaan reforma agraria.
bekerja untuk tujuan-tujuan reforma agraria dan
secara kelembagaan kuat dan secara proses membuka 2. Setelah dilakukan penataan struktur agraria (reforma
partisipasi dan kerjasama dengan masyarakat sipil, agraria) dan administrasi pertanahan yang lengkap pada
organisasi petani, organisasi masyarakat adat, nelayan semua wilayah Republik Indonesia diperlukan sebuah
tradisional Pengadilan Agraria di dalam Mahkamah Agung yang

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 9


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
khusus menangani perkara-perkara agraria sehingga
dapat diselesaikan dengan pendekatan yang utuh.
3. Membangun pengembangan ekonomi berbasis
koperasi-koperasi rakyat yang modern pada lokasi-lokasi
pelaksanaan reforma agraria.

Catatan tentang diagram, gugus tugas RA di kolom fungsi


lembaga, ada catatan kemarin bahwa gugus tugas MHA, ada
di Kepres Satgas MHA, agar tidak tumpang tidih dgn GT RA –
cukup di lingkaran kepres satgas MHA

10 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


PANEL 3

Pengukuhan Hutan Adat untuk Perlindungan Masyarakat


Hukum Adat dan Pendistribusian Manfaat

Permasalahan kunci : Lambannya penetapan hutan adat 23 komunitas dengan luas 285.668 ha (4) Mempunyai
disebabkan oleh kurang mendukungnya kelembagaan Potensi hutan Adat, tetapi belum ada Perda, peta
pemerintah untuk mengurus masyarakat adat, regulasi yang maupun produk Hukum Daerah lainnya, sebanyak 10
tidak mendukung kemudahan penetapan masyarakat adat komunitas dengan luas 20,000 ha, (5) sedang melengkap
dan hutan adatnya serta, keragaman masyarakat adat yang data dan belum dapat diajukan sebanyak 15 komunitas
ada, serta dinamika politik lokal yang menyebabkan sulitnya dengan luas 65,696 ha dan (6) Sudah ada Perda khusus
penetapan sebuah Perda. Singkatnya, terdapat persoalan- , mempunyai peta dan siap diajukan dan Verifikasi
persoalan yang bersifat struktural, kultural dan politik yang sebanyak 27 komunitas dengan luas 99,973 ha. Prioritas
membutuhkan penanganan jangka panjang, tetapi ada tentunya diberikan pada yang paling siap dengan
persoalan yang dapat diupayakan pemecahannya dalam persyaratan yang dibutuhkan. (kluster 6)
jangka pendek dengan rekomendasi yang pragmatis. Oleh • Melakukan evaluasi terhadap berbagai peraturan yang
sebab itu, terdapat dua tataran rekomendasi, yaitu jangka menghambat proses percepatan hutan, termasuk Perpres
pendek dan jangka panjang. 88/2017
• Menggunakan PIWA (Peta Indikatif Wilayah Adat) sebagai
Strategi Jangka Pendek
dasar untuk melakukan kegiatan pencadangan hutan
adat dan selanjutnya untuk penetapan hutan adat
• Mempertemukan kementerian/lembaga terkait
pengakuan masyarakat adat dan hutan adat, yaitu • Mengembangkan alternatif metode berbasis teknologi
Kementerian Dalam Negeri, LHK, BPN/ATR untuk untuk mengakselerasi pendaftaran subyek hukum
menyepakati kriteria pengakuan masyarakat adat dan masyarakat adat. Contoh-contoh pendaftaran online yang
produk hukum daerah yang dapat digunakan untuk sudah berkembang saat ini bisa menjadi model yang
penetapan hutan adat, termasuk prinsip-prinsip tentang dikembangkan untuk mengefisienkan proses pendaftaran
produk hukum yang baik menggunakan prinsip yang • Memperkuat komitmen diantara lembaga-lembaga
hidup dalam masyarakat dan/atau melindungi praktek pemerintah yang terkait dengan urusan masyarakat
yang ada. Termasuk menagih janji komitmen para adat, baik secara internal (misalnya antar Ditjen KLHK,
menteri dalam diskusi panel konferensi tenure ini. Kemendagri) maupun relasinya dengan lembaga lain
• Berkaitan dengan kebijakan yang bersifat transisional untuk membuat target yang jelas dan mencapai target
--- terkait dengan upaya percepatan hutan adat---, maka tersbeut dengan perencanaan yang terukur
Kemendagri dan LHK mengundang bupati/kepala daerah • Pembentukan Satgas Masyarakat Adat yang bersifat
untuk membuat Surat Keputusan pengakuan masyarakat segera dengan tugas yang terukur sesuai dengan
adat sebagai kebijakan yang bersifat transisional. mandate dan waktu
• Sesuai dengan janji nawacita, pemerintah didorong untuk
lebih pro-aktif untuk terlibat aktif dalam pembahasan Strategi Jangka Panjang :
RUU Masyarakat Adat.
• Langkah-langkah dalam percepatan pengakuan hutan • Mendorong deregulasi kebijakan yang ada, termasuk
adat yang sedang dikerjakan oleh KLHK bersama koalisi posisi Pasal 67 UU 41/1999, apakah cukup dengan
masyarakat sipil agar segera dilaksanakan, khususnya fatwa MK tentang makna ‘perda’ dalam Pasal 67 UUK
terkait dengan adanya enam kluster hutan adat dari sisi 41/1999 dapat dibaca sebagai ‘produk hukum daerah’
advokasi, yaitu (1) sudah memiliki Perda, sifatnya umum sebagaimana yang ditempuh oleh Permen LHK 32/2015
dan membutuhkan SK bupati sebanyak 15 komunitas atau melakukan JR
dengan luas 1,617,215 ha (2) tidak ada Perda tapi sudah • Mendorong para pihak untuk terlibat secara aktif
ada peta dan profil masyarakat adat sebanyak 38 menyelesaikan RUU PPHMA agar dapat dijadikan sebagai
komunitas dengan luas 256.874 ha, (3) Hutan Adat yang ‘undang-undang payung’,
berkonflik dengan Ijin, kawasan hutan, HGU dll) sebanyak

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 11


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
• Logika hukum Permenagraria 5/1999 yang memberikan UU 5/1960 (UUPA), yaitu hutan-hutan yang berada diatas
diskresi pada Pemda untuk menyusun kebijakan tanah adat telah diakui sebagai hutan adat karena tanah
pengakuan hak-hak masyaraat adat bisa dijadikan contoh adat diakui oleh UUPA (2) upaya judicial review lanjutan
• Perda pengaturan pengakuan hak-hak masyarakat/ terhadap UU 41/1999 dapat dipertimbangkan, (3) tanpa
komunitas adat di tingkat kabupaten sudah harus bersifat menunggu perubahan atau penggantian UU 41/1999
lebih terinci, di mana subyek, obyek, dan jenis hak yang permohonan penetapan hutan adat sebagaimana telah
akan datur telah tertera secara sangat rinci. membuahkan hasil tetap harus dilaksanakan melalui
mekanisme eksisting (4) jika permohonan ditolak masih
• Melakukan berbagai terobosan hukum, termasuk :
terbuka upaya gugatan ke PTUN, (5) Jika penetapannya
• Jenis produk hukum pengakuan yang ada diluar Perda cenderung lambat, pelrindungan hukum masyarakat,
dan implikasinya maka ketentuan fiktif positif dari UU 30/2014 tentang
• Perbedaan kriteria keberadaan MHA administrasi pemerintah dapat dijadikan sebagai wadah
lain untuk pelrindungan hutan adat dan (6) gugatan
• Pengakuan HA: sekaligus pengakuan wilayah adat?
perdata.
• Mengatasi ketidakpastian akibat ketidakselarasan antar
• Mengembangkan mekanisme pengadministrasian
peraturan sektoral
masyarakat adat secara terintegrasi dengan administrasi
• Melumpuhkan kesaktian pengukuhan hutan subyek hukum yang sudah berlangsung saat ini
• Terobosan-terobosan harus dilanjutkan dengan
merumuskan norma atau prinsip baru yang bersifat
umum agar kepastian dan kesetaraan bisa diwujudkan.
Misalnya terobosan mengakui Perda umum dengan
diikuti oleh pembuatan Keputusan Kepala Daerah
dan pencadangan untuk areal yang sudah berizin bisa
menghasilkan.
• Strategi hukum berlapis : (1) konsistensi mengacu kepada
UU 41/1999 yang menyatakan bahwa penentuan status
hutan mengacu kepada status tanah yang diatur oleh

12 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


PANEL 4

Pengakuan Hak Tenurial dalam Penanganan


Perubahan Iklim

Dalam konferensi tenure, topik utama dari Panel 4 ini adalah 1. Konflik dan konsep tenurial:
“Pengakuan Hak Tenurial dalam Penanganan Perubahan • Membuat kebijakan system pengelolaan konflik
Iklim”, yang memiliki tujuan utama untuk membangun khususnya paska penyelesaian konflik. Kemungkinan
peta jalan bagi semua pihak untuk menjalankan komitmen konflik akan terjadi secara horizontal diantara masyarakat
pemerintah dalam menurunkan emisi sebesar 29% dan dan konflik tenurial dianggap selesai ketika masyarakat
41% dengan bantuan internasional di tahun 2030. Namun sudah mendapatkan hak atau ijin.
di sisi lain, pemerintah juga berkomitmen menjalankan • Membuat kebijakan pembiayaan mekanisme
reformasi tenurial dengan mengalokasi kawasan hutan penyelesaian konflik. Hal ini dibutuhkan agar ada
untuk perhutanan social sebanyak 12.7 juta ha dan anggaran dari APBN untuk setiap upaya penyelesaian
reforma agrarian sebanyak 9 juta ha. Oleh karena itu, Panel konflik.
4 berupaya untuk mengintegrasikan kedua komitmen
• Dibutuhkan pokja di tingkat daerah dengan anggaran
tersebut untuk dapat berjalan secara berkesinambungan.
berasal dari APBD.

Penyelenggara Panel 4 adalah kolaborasi antara perwakilan


dari pemerintah pusat, lembaga penelitian, dan masyarakat 2. Definisi hutan:
sipil, yaitu Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan • Membuat PERPRES tentang definisi hutan yang
Iklim, KLHK, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Ditjen mencakup tutupan hutan yang ada di dalam kawasan
PPI, Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca, Ditjen PPI, hutan dan di non kawasan hutan
Samdhana Institute, ICRAF, dan CIFOR. Sebagai bahan
diskusi berkenaan dengan reformasi tenurial dan perubahan 3. Legalitas dan legitimasi pengukuhan kawasan hutan:
iklim, penyelenggara Panel 4 mengundang 7 pembicara • Membuat Berita Acara Tata Batas sebagai dokumen
yang berasal dari pemerintah pusat dan daerah, CSO dan public yang mudah diakses dan diverifikasi oleh pihak
masyarakat adat. ketiga

Diskusi Panel 4 ini dihadiri oleh 42 peserta dari berbagai


4. Tata kelola polisentrik:
kalangan dan mempertimbangkan kesetaraan gender
• Dibutuhkan regulasi di tingkat provinsi berkenaan dengan
(21 Laki dan 21 Perempuan), yang mencakup pemerintah
KPH
pusat dan daerah, CSO, aktivis lingkungan, lembaga donor,
akademisi dan masyarakat adat. Dari hasil diskusi tersebut, • Diperlukan koordinasi, sinkronisasi dengan berbagai
ditemukan beberapa hambatan dan peluang berkaitan pihak, mis. terkait pembuatan RTRW
dalam agenda reformasi tenurial dan perubahan iklim, • Peningkatan kapasitas di tingkat implementing
dan dilanjutkan dengan merumuskan peta jalan dari sisi agency untuk pelaksanaan PS sekaligus menangani
kebijakan dan kelembagaan. permasalahan terkait PS

Rumusan peta jalan reformasi tenurial dan perubahan 5. Keterwakilan peta tenurial masyarakat dalam kebijakan
iklim satu peta
• Dibutuhkan suatu mekanisme dan prosedur penyelesaian
Dari hasil diskusi Panel 4, telah teridentifikasi adanya 7 tumpang tindih pemetaan lintas kementerian,
(tujuh) hambatan utama dan bagaimana implikasinya
• Menggunakan satu peta, berdasarkan peta wilayah adat
terhadap kebijakan, berikut ini hasil rekomendasi yang telah
CSO (BRWA) dan peta wilayah kelola (JKPP) yang masih
disepakati oleh semua stakeholder yang terlibat di Panel 4:
belum terverifikasi secara tuntas.

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 13


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
6. Rencana Tata Ruang:
• Dibutuhkan kebijakan yang memungkinkan tata ruang
masyarakat adat terakomodir di dalam rencana tata
ruang (di propinsi), sebagai bentuk perlindungan
dari rencana pembangunan daerah yang dapat saja
merampas hak tanah masyarakat.
• Menggunakan RKTN 2011-2030 sebagai acuan untuk
melakukan perencanaan tata ruang dalam kawasan
hutan dan arahan untuk pemanfaatan, serta untuk
melakukan revisi tata ruang untuk alokasasi PS
• Terkait KPH, melakukan pembagian ruang blok-blok
kejelasan alokasi untuk masyarakat dan wilayah kawasan
tertentu (wiltu).

7. Skema distribusi hasil:
• Dibutuhkan suatu regulasi insentif bagi masyarakat yang
melindungi hutan
• Memanfaatkan BLU atau Badan Pengelola Dana
Lingkungan Hidup (BPDLH) dibawah kewenangan
Kemenkeu untuk pendanaan yang bertumpu kepada
program REDD+ , e.g. program terkait hutan dan lahan,
program untuk masyarakat sebagai pelaku dan aksi
mitigasi, dan program penguatan kapasitas.

14 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


PANEL 5

Hak Masyarakat dalam Areal Konservasi:


Pengakuan dan Peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal

Prinsip dan inisiatif perlindungan dan pengelolaan kawasan I. Penghormatan terhadap HAM dan Hak Tenurial
konservasi harus memasuki masa dan cara baru dengan dalam kawasan konservasi
lebih menghormati dan mewujudkan Hak Asasi Manusia
(HAM), termasuk pengakuan dan perlindungan hak tenurial Cara baru dalam konservasi mengacu pada penghormatan
masyarakat adat dan komunitas lokal (AKKM, Hutan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan prinsip tata kelola
Adat). Hal ini harus juga termasuk penghargaan pada nilai yang baik (keterbukaan, transparansi, partisipatisi, keadilan,
konservasi kearifan lokal dan ilmu dari masyarakat adat akuntabilitas). Laporan dari Pelapor Khusus PBB tentang
yang sudah mengelola wilayahnya secara turun temurun. Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup (Dewan HAM
Oleh karena itu, masyarakat adat merupakan subyek dan PBB, Maret 2017) untuk pertama kalinya menggambarkan
pelaku konservasi yang penting dan harus menjadi bagian pentingnya jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati
dari solusi menuju pola konservasi yang lebih inklusif, efektif, untuk realisasi secara penuh hak asasi manusia, dan
bebas konflik dan kriminalisasi. Adanya jaminan keamanan mengidentifikasi kewajiban Negara (dan pihak-pihak lainnya)
tenurial menjadi insentif yang penting untuk pengelolaan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistem
sumber daya alam secara berkelanjutan dan bertanggung dalam konteks hak asasi manusia.
jawab.
1. Pengakuan Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM)
Prinsip penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dalam kawasan konservasi (KPA/KSA). AKKM atau ICCAs
termasuk hak tenurial dan cara baru dalam pengelolaan (=Indigenous Territories and Community Conserved Areas)
kawasan konservasi versi Indonesia, perlu juga dirumuskan adalah bentuk konservasi dan pemanfaatan sumber daya
dalam bentuk pedoman dan petunjuk teknis agar menjadi alam yang lestari yang dilakukan oleh masyarakat adat
acuan implementatif untuk para staf di lapangan dan bagian dan lokal secara turun temurun dan dikuatkan dengan
dari proses pembelajaran tentang konservasi bersama lembaga dan aturan adat yang terbukti melestarikan
mitra masyarakat adat dan lokal, dan mitra organisasi habitat dan keanekaragaman hayiati bagi generasi masa
pendamping. Pengelolaan kawasan konservasi harus ini dan akan datang.
berubah dari model eksklusif menjadi model inklusif, artinya
para pemegang hak dan pelaku konservasi berpartisipasi (IUCN) WCC-2016-Res-030-EN Recognising and respecting the
untuk menjalankan wewenang dan tanggung jawab atas territories and areas conserved by indigenous peoples and
kawasan konservasi yang mereka kelola bersama. Dan local communities (ICCAs) overlapped by protected areas.
juga mencari harmonisasi antara kebutuhan ruang hidup
masyarakat dan alam, dan keseimbangan antara hak dan • Menyiapkan SATU PETA KONSERVASI INDONESIA yang
manfaat untuk para pelaku konservasi. Cara pandang yang memperlihatkan dan mendaftarkan kontribusi konservasi
menempatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat oleh para aktor konservasi baik negara maupun
dan lokal sebagai ancaman bagi alam dan keanekaragaman masyarakat, dan swasta melalui KPA/KSA, Hutan Adat,
hayati harus diubah. Inisiatif perlindungan dan pengelolaan AKKM.
kawasan konservasi perlu juga mempertimbangan aspek
• Dalam pembahasan RUU Konservasi Keanekaragaman
pemberantasan kemiskinan, dan memberi kontribusi
Hayati dan Ekosistem, KLHK dan DPR memuat pasal
signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan serta
pengakuan keberadaan AKKM dalam kawasan konservasi
kesetaraan bagi lapisan dan kelompok masyarakat,
(KPA/KSA).
termasuk perempuan, yang sering diabaikan dalam
konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang lestari.
2. Pengakuan ‘Hutan Adat’ dengan fungsi konservasi
dalam kawasan konservasi (KPA/KSA) serta lembaga
lokal dan sistim pengambilan keputusan tradisional yang
berlaku dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam berbasis kearifan dan ilmu lokal.

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 15


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
• Melanjutkan dokumentasi secara spasial, sosial-ekonomi menjamin keberlanjutan skema yang dikembangkan dan
dan keanekaragaman hayati ‘Hutan Adat’ yang terletak diimplementasikan di tingkat lokal.
atau sebagian terletak dalam kawasan konservasi dan
mendorong pengajuan pengakuannya dengan fungsi 2. Memastikan ada alokasi anggaran untuk mendukung
konservasi. kolaborasi (kebijakan lokal, kegiatan, lembaga kolaboratif)
di kawasan konservasi.
3. Pengembangan model kolaborasi dan tata kelola
bersama yang inklusif, efektif, bebas konflik 3. Skema atau model kolaborasi perlu didasari pada
dan kriminalisasi, di mana kewenangan dalam pemahaman tentang kondisi budaya, historis, sosial-
mengatur sumber daya alam yang ada di wilayah ekomoni kawasan konservasi, dan wilayah kabupaten/
adat dialihkan kepada masyarakat dan lembaga lokal, propinsi di mana kawasan konservasi berada.
termasuk perempuan. Dan masyarakat juga diberikan
tanggungjawab dalam menjaga dan melestarikan 4. Skema atau model kolaborasi harus sejalan dengan
kawasan konservasi dan diberikan peluang untuk kebutuhan lokal dan mendukung aspirasi dan hak-hak
melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam rangka masyarakat adat dan lokal, termasuk peran perempuan.
peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Artinya pendekatan dalam pengelolaan konservasi baiknya
Keengganan pihak negara untuk melepaskan sebagian menjadi pendekatan lebih adaptif yang selalu belajar dari
kewenangannya menghasilkan kondisi asimetris antara dinamika lokal.
masyarakat adat/lokal sebagai aktor konservasi dan
negara, dan kondisi ini dapat mengganggu efektivitas 5. Membelajari dan mengadopsi tradisi lokal dalam
pengelolaan dan partisipasi masyarakat/mitra. mengelola sumber daya alam secara lestari. Sangat
penting bahwa ilmu dan kearifan tradisional yang ada,
• Mengutamakan penyelesaian konflik batas/ruang melalui hukum dan kelembagaan adat yang menjalankan prinsip
dialog dan cara yang didasari pada penghargaan pada keberlanjutan dan aturan untuk pengelolaan sumber daya
budaya dan tradisi lokal, dan empati alam agar dihargai sepenuhnya dan diintegrasikan dalam
skema pengelolaan bersama.
• Membangun mekanisme resolusi konflik sebagai wadah
musyawarah antar para pihak untuk membahas masalah
6. Mendorong UPT TN untuk terus membuat terobosan
yang terjadi atau komplain dari masyarakat. Hal ini sangat
baru dan terus mengembangkan skema kolaborasi yang
penting untuk memahami kejadian dan alasannya, dan
dipandang terbaik untuk mengakui hak tenurial dan ruang
mencegah adanya kriminalisasi masyarakat adat atau lokal
hidup masyarakat adat, meghadapi tantangan, konflik dan
terkait pemanfaatan sumber daya alam dalam kawasan
kebutuhan lokal.
konservasi yang sering pula adalah wilayah adat.

• Agar skema kolaborasi yang dikembangkan di tingkat lokal


II. Menuju pengelolaan kawasan konservasi yang diperlombakan di tingkat nasional. Skema terbaik dan
berbasis kondisi/tradisi lokal berhasil dalam meningkatkan tata kelola yang inklusif,
efekif dan adil agar dihargai dengan, misalnya, alokasi
1. Menyusun kebijakan di tingkat nasional untuk anggaran khusus.
menguatkan rekognisi dan dukungan terhadap skema/
model lokal untuk pengelolaan kawasan konservasi.
Pentingnya prinsip umum tata kelola bersama yang
baik (good governance), mutual respect, mutual trust,
dan mutual benefits dituangkan ke dalam kebijakan
nasional sebagai dasar hukum. Kebijakan tersebut akan

16 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


III. Menjadi organisasi pembelajar: membuka ruang
dialog, membangun kepercayaan dan belajar
bersama

1. Mengatur pertemuan secara rutin antara pihak KPA/


KSA dan masyarakat adat/lokal, termasuk lembaga/
institusi tradisional. Kepercayaan merupakan modal
terpenting dalam model tata kelola bersama dan perlu
waktu dan pemahaman yang mendalam tentang karakter
komunitas dan kondisi lokal

2. Membentuk jaringan belajar antar KPA/KSA di mana


perwakilan semua pemegang hak dan pemangku
kepentingan terlibat dan berkontribusi secara aktif. Melalui
jaringan tersebut para pihak memiliki kesempatan untuk
meningkatan kapasitas dan saling belajar. Hal ini menjadi
penting dalam memastikan bahwa semangat kolaborasi
dan komitmen bersama terus hidup (=vitalitas) dan
memicu inovasi dan manajemen yang adaptif.

IV. Memelihara kondisi-kondisi yang memungkinkan


para pemangku kepentingan lokal untuk
memperoleh manfaat dari sumber daya alam

1. Menjamin akses ke sumber daya alam bagi masyarakat


adat (laki dan perempuan) dalam wilayahnya

2. Membantu modal dan mempermudah persyaratan izin


untuk konsesi masyarakat yang ingin mengembangkan
kegiatan yang sesuai dengan fungsi konservasi (misalnya
ekowisata).

3. Mengutamakan rekrutmen dari masyarakat lokal,


termasuk perempuan yang punya peran penting dalam
pengelolaan sumber daya alam. Ini salah satu cara untuk
meningkatkan rasa bertanggung jawab atas pengelolaan
kawasan konservasi dan manfaat KPA/KSA untuk
masyakarat.

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 17


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
PANEL 6

Perlindungan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal


dalam Penegakkan Hukum

A. Pengantar 7. Tidak adanya pemahaman historis dan sosiologis aparat


penegak hukum atas kasus-kasus kecil yang menimpa
Topik Panel 6 adalah Perlindungan Masyarakat Adat dan masyarakat dalam isu sumber daya alam, seperti kasus
Komunitas Lokal dalam Penegakan Hukum. Diskusi di nenek Minah, sehingga banyak masyarakat miskin
Panel ini dihadiri sekitar 40 peserta dari berbagai latar dikriminalkan;
belakang: masyarakat adat dan petani korban kriminalisasi, 8. Aparat penegak hukum menggunakan standar ganda
organisasi non-pemerintah, akademisi, dan pemerintah. dalam penerapan pasal-pasal kriminalisasi ketika
Proses diskusi dibagi menjadi dua sesi: Sesi pertama berhadapan dengan perusahaan pada satu sisi dan
adalah pemaparan dari 5 orang narasumber (masyarakat masyarakat di sisi lain;
adat, NGO, akademisi, Komnas HAM, dan Bareskrim Mabes
9. Aparat penegak hukum menggunakan pasal yang sudah
Polri). Sedangkan sesi kedua pemaparan satu narasumber
dibatalkan MK untuk mengkriminalkan masyarakat.
dari KLHK (Direktur PKTHA) dan dilanjutkan tanya jawab.
Di akhir acara, para peserta menuliskan usulan-usulan
rekomendasi penghentian kriminalisasi dan perlindungan C. Rekomendasi
terhadap masyarakat adat dan lokal ke dalam meta plan.
Usulan-usulan tersebut kemudian dirumuskan kembali oleh C.1. Peraturan dan Kebijakan
fasilitator.
Berkaitan dengan Peraturan dan Kebijakan terdapat 3 hal
B. Pemetaan Masalah yang perlu dilakukan:

Masalah-masalah yang muncul dalam diskusi adalah: 1. Evaluasi yang berupa pencabutan UU No. 18/2013
1. Ketidakjelasan batas kawasan hutan yang mengakibatkan tentang Pencegahan dan Pemberantasan P3H dan
masyarakat adat dan lokal banyak dikriminalisasi oleh beberapa pasal UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
aparat penegak hukum. APH juga tidak menggunakan seperti pasal 81 dan pasal-pasal pemidanaan;
putusan2 MK berkaitan dengan masyarakat adat dan 2. Perlunya derivasi peraturan terkait Pasal 66 UUPPLH No.
kawasan hutan dalam tindakan-tindakannya di lapangan; 32/2009 terkait Anti Slap untuk pejuang lingkungan dan
2. UU No. 18/2013 dan UU No. 41/1999 banyak memakan keluarganya;
korban petani di lapangan; 3. Perlunya harmonisasi dan sinkronisasi terhadap
3. Para petani di Jawa masih terancam kriminalisasi oleh peraturan perundang-undangan dalam hal penanganan
Perhutani karena konflik berbasis klaim penguasaan konflik tenurial di masyarakat adat;
lahan dan tidak bisa diselesaikan dengan Perhutanan 4. Pemerintah perlu memasukkan Pemeriksaan
Sosial; Pendahuluan dalam rancangan KUHAP;
4. Kasus-kasus perampasan lahan masa lalu oleh PTPN 5. Mendorong penerapan Putusan-putusan Mahkamah
masih belum ada penyelesaiannya sampai sekarang dan Konstitusi di lapangan oleh aparat penegak hukum;
membuat petani terancam dikriminalisasikan;
5. Kriminalisasi mengakibatkan dampak berlipat-lipat, C.2. Kelembagaan dan Kapasitas Personal
selain korban ditahan, juga kekerasan dan intimidasi
terhadap masyarakat, khususnya perempuan dan anak; 1. Perlunya penataaan aktor dan hubungan aktor dalam
6. Tidak ada perlindungan bagi masyarakat adat dan lokal penyelesaian konflik agraria. Kami membagi menjadi 3
yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan yaitu: Aparat Penegak Hukum (APH), Non-APH, dan CSO.
hidup;

18 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


Aparat Penegak Hukum terdiri dari Polisi yang berkaitan 2. Penyelesaian konflik agraria yang berlatar belakang
dengan diperlukannya alternatif penyelesaian sengketa perampasan lahan dengan cara menyelesaikan masalah
dalam penyelesaian sengketa, penggunaaan instrumen dari hulunya, misalnya dengan membatalkan HGU-
pidana sebagai ultimum remedium dan pengarusutamaan HGU bermasalah dan meredistribusikan lahan kepada
pendekatan HAM dalam penyelesaian sengketa (Human masyarakat korban;
Rights Mainstreaming), dan perlunya pembuatan Protap/ 3. Pemerintah harus memberikan Rehabilitasi dan Ganti
Peraturan Kapolri (Perkap) dalam penanganan kasus Rugi terhadap korban kriminalisasi dan keluarganya.
agraria berkaitan dengan masyarakat adat.

Sedangkan untuk hakim diperlukan sertifikasi hakim


dalam penanganan konflik agraria yang melibatkan
masyarakat adat;

Dari beberapa hal tersebut di atas diperlukan beberapa hal


antara lain:
- koordinasi vertikal dan horisontal antara aparat penegak
hukum dalam penanganan kasus konflik agraria;
- pelatihan aparat penegak hukum dalam penanganan
kasus agraria dan masyarakat adat;
- Pembuatan Surat Kesepahaman Bersama (MoU) antara
POLRI, Kejaksaan Agung, KLHK, Kemenhukham, dan
Mahkamah Agung dalam hal penanganan kasus konflik
agraria;
- perlu adanya mekanisme reward and punishment bagi
APH dalam pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan
kasus aparat penegak hukum;
- meminta Kementerian ATR-BPN untuk membuka data
HGU;
- pemerintah mempercepat penetapan hutan adat;

C. 3. Lain-lain

1. Berkaitan dengan data dan informasi diharapkan


adanya One Map Policy Status Hutan di Indonesia dan
Penuntasan Batas Kawasan Hutan. Selain itu diperlukan
pemetaan jenis-jenis konflik agraria dan tukar informasi
dan pengalaman dalam penanganan konflik yang
melibatkan masyarakat adat/lokal;

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 19


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
PANEL 7

Konflik Tenurial dan Pilihan Penyelesaian Konflik

Panel 7 mengenai Konflik Tenurial dan Pilihan Mengevaluasi dan Merevisi Kebijakan :
Penyelesaiannya diselenggarakan pada tanggal 26 Oktober 5. Merevisi UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2017 di konferensi internasional tentang Penguasaan khususnya tentang pasal terkait penunjukkan kawasan
Hutan, Tanah dan Tata Pemerintahan untuk Pembangunan hutan dan penetapan masyarakat adat
Berkeadilan. Dihadiri oleh Pemerintah (Kementerian
6. Mencabut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Masyarakat, LSM dan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, Pasal 34.
Swasta, diskusi yang tercipta dalam panel ini berlangsung
cukup menarik. 7. Mencabut UU No. 1 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Seluruh pihak sepakat bahwa konflik merugikan dan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Pasal pasal 16
harus dicegah serta diselesaikan dengan cepat. Tanpa dan 26 yang memberikan ruang kepada investasi, baik
penyelesaian konflik, reforma agraria tidak akan pernah domestik maupun asing, untuk menguasai wilayah pesisir
dapat tercapai. Untuk itu, dirumuskan rekomendasi dalam dan pulau-pulau kecil.
rangka mencegah dan menyelesaikan konflik tenurial, yang 8.
dapat dilakukan oleh Pemerintah Jokowi-Jk dalam sisa
9. Meninjau ulang kebijakan lain terkait proses penetapan
masa pemerintahannya dua tahun ke depan.
Masyarakat Adat dan melahirkan UU Masyarakat Adat
10. Mencabut Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012
A. Kebijakan
tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
Memperkuat dan Mempercepat Implementasi Kebijakan :
11. Mencabut Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011
1. Menjadikan Ketetapan MPR IX/MPR/2001 tentang tentang rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Nasional Tahun 2010-2025
sebagai rujukan dan arah atau landasan pengaturan bagi
12. Merevisi Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang
PA dan PSDA di Indonesia
Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
2. Menjadikan Putusan Mahkamah Kontitusi Republik
13. Merevisi (mempercepat) Permenhut No. 84 Tahun 2015
Indonesia Nomor 3/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 Tentang
tentang Penanganan Konflik Tenurial, sehingga dapat
Pengujian Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia
melibatkan seluruh pihak sampai ke tingkat tapak
Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagai rujukan dan arah 14. Merevisi Permenhut No. P.46 Tahun 2013 tentang Tata
atau landasan pengaturan bagi RA di wilayah Pesisir, laut Cara Pengesahan RPHJP KPH, dengan memasukkan :
dan pulau-pulau kecil Registrasi Tenurial Masyarakat serta Peta Konflik dalam
RPHJP KPH
3. Mengimplementasikan Nota Kesepahaman Bersama
yang ditandatangani oleh 12 Kementerian dan Lembaga 15. Mencabut Peraturan Menteri Agrarian Tata Ruang/
(NKB 12 K/L) dimana salah satu agenda utamanya adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 17 Tahun 2016
penyelesaian konflik tenurial tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil
4. Mempercepat implementasi Kebijakan Satu Peta
dengan memperhatikan peta-peta yang dihasilkan oleh 16.
masyarakat secara partisipatif 17. Mengkaji ulang kebijakan terkait pelibatan TNI dan Polri
dalam penanganan konflik tenurial, mengutamakan
penanganan konflik tenurial tanpa represi

20 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


Pembentukan Kebijakan : memenuhi 6 syarat penting : legitimate, accessible,
18. Melahirkan kebijakan untuk membentuk unit kerja/ predictable, equitable, rights-compatible dan transparent
kelembagaan penyelesaian konflik tenurial di tingkat dan 3 syarat cukup authority, personal skill, dan
nasional independency

19. Melahirkan kebijakan resolusi konflik yang berperspektif 7. Menaikkan level Direktorat Penanganan Konflik Tenurial
gender dan Hutan Adat menjadi Direktorat Jenderal Penanganan
Konflik. Untuk KKP Penanganan Konflik Tenurial wajib
ditangani oleh DIrektorat Jenderal Penataan RUang Laut.
Lain-lain :
8. Melakukan review serta moratorium ijin konsesi dan HGU
20. Bekerjasama dengan Kementerian Desa serta
Kementerian kelautan dan Perikanan untuk
mensosialisasikan kebijakan terkait pembaruan agraria Daerah
dan pengelolaan sumber daya alam, sehingga seluruh 9. Mendorong pelembagaan sistem pengelolan dan
kebijakan sampai ke masyarakat. penyelesaian konflik tenurial di Daerah (seperti upaya
yang dilakukan di Aceh dan Kalimantan Tengah) dengan
tahapan mulai penggagasan, pengembangan sistem,
B. Kelembagaan
penyelenggaraan sampai monev yang bersifat inklusif

Nasional (Lintas Sektoral) Tapak


1. Mendorong terbentuknya kelembagaan (Komisi Nasional) 10. Penguatan kelembagaan KPH untuk penyelesaian
untuk penyelesaian konflik tenurial di tingkat Nasional. konflik tenurial di tingkat Tapak
Catatan : unit kerja ini berada di bawah Presiden dan
11. Pengembangan panduan pengelolaan konflik untuk
proses pelembagaannya harus sedari awal bersifat
KPH
inklusif (melibatkan para pihak dan antar instansi
pemerintah)
2. Membentuk Desk bersama antara KSP, Kemenko C. Kapasitas Personal
Perekonomian, KemenATR/BPN, KLHK, KP dan instansi
lain dalam proses transisi menuju pembentukan 1. Meningkatkan kapasitas staf KPH, dan para pihak
kelembagaan (Komisi Nasional) penyelesaian konflik (Pemerintah Daerah : Kabupaten, Kecamatan, Desa, Wakil
tenurial Masyarakat, NGO) terkait penyelesaian konflik

3. Memaksimalkan koordinasi dan peran kelembagaan 2. Melahirkan mediator terkait konflik tenurial yang memiliki
yang selama ini melakukan penanganan terhadap konflik perspektif gender
tenurial agar memiliki konsep yang jelas sesuai arah 3. Internalisasi nilai-nilai perdamaian dan harmoni dalam
Reforma Agraria dan menyentuh akar masalah masy melalui Rencana Pembangunan Nasional sampai
4. Membangun peta jalan penyelesaian konflik lintas dengan Tapak dan kurikulum sekolah
kementerian dan di tiap2 kementerian yang mengurus
tanah dan sumber daya alam D. Instrumen Pendukung

5. Pemetaan tipologi konflik tenurial


1. Penyediaan alokasi anggaran untuk penyelesaian konflik
tenurial (APBN, APBD)
Nasional (Lintas Sektoral)
2. Mendorong advokasi anggaran yang dilakukan oleh NGO
6. Menyempurnakan mekanisme penyelesaian konflik yang
ada (KLHK, ATR/BPN, Perkebunan, KKP, dlll) sehingga

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 21


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
PANEL 8

Ragam Tenurial untuk Melindungi, Mengelola,


dan Memulihkan Gambut

Upaya-upaya penyelesaian masalah tenurial melalui pengembangan Peta Indikatif Alokasi Perhutanan
perhutanan sosial maupun reforma agraria di atas lahan Sosial (PIAPS) baru.
ekosistem gambut perlu mendapatkan prioritas dan e. Perlu menjadikan target percepatan perhutanan social,
perhatian khusus. Pada satu sisi, perhutanan sosial dan reforma agraria, dan restorasi gambut sebagai bagian
reforma agraria di atas lahan ekosistem gambut diharapkan dari Proyek Strategis Nasional agar mendapatkan
mampu mendukung pencapain target perhutanan social berbagai kemudahan untuk pencapaian target yang
dan reforma agraria. Di sisi lain, kompleksitas persoalan telah ditetapkan.
(kerentanan ekosistem-sosial ekonomi) di atas lahan
f. Perlu mengembangkan kelembagaan dan regulasi
ekosistem gambut membutuhkan pendekatan tersendiri
yang memungkinkan pelaksanaan poin a, b, c, dan d
melalui upaya-upaya yang lebih komprehensif di tengah
dalam waktu yang cepat.
kebutuhan kecepatan pencapaian tiga target Presiden yaitu
perhutanan sosial, reforma agraria, dan restorasi gambut. 2. Instrumen hukum dalam regulasi. Pengembangan
berbagai instrument hukum untuk mendorong
percepatan perhutanan social di lahan dengan ekoistem
Oleh karena itu, berikut ini beberapa langkah pokok yang
gambut perlu terus dikembangkan melalui langkah-
perlu segera dilakukan:
langkah pokok berikut ini:
a. Memperkuat instrument penaatan bagi seluruh pelaku
1. Konseptual pemecahan masalah dan pembentukan
usaha untuk perlindungan lahan ekosistem gambut
kebijakan. Lahirnya kebijakan perlindungan ekosistem
baik dengan pendekatan command and control
gambut berimplikasi pada kebutuhan penyesuaian
melalui pengendalian dan pengawasan izin dengan
kebijakan lainnya. Beberapa langkah-langkah kebijakan
mempublikasikan hasil pengawasan kepada publik,
yang perlu dilakukan, antara lain:
maupun dengan pendekatan voluntary melalui skema
a. Perlunya kebijakan baru penetapan fungsi ekosistem insentif dan disinsentif bagi perlindungan gambut
gambut yang tidak hanya berorientasi pada aspek baik oleh masyarakat maupun dunia usaha. Skema
biofisik saja, melainkan juga kerusakan ekosistem ini dapat dikaitkan dengan skema pajak, layanan jasa
yang terjadi, social ekonomi masyarakat, termasuk hak keuangan, layanan publik yang diberikan pemerintah,
penguasaan yang ada di atas lahan gambut maupun dan sebagainya.
konflik tenurial di atasnya.
b. Pengembangan instrument insentif bagi masyarakat
b. Perlu mempercepat pencapaian one map policy yang yang akses kelolanya terbatas akibat penetapan fungsi
mengintegrasikan berbagai data pada huruf a di atas ekosistem gambut lindung perlu terus dikembangkan.
sebagai basis pengambilan kebijakan berbagai sektor Masyarakat yang mengelola gambut fungsi lindung
termasuk pencapaian perhutanan social, reforma misalnya, perlu mendapatkan dukungan yang lebih
agraria dan restorasi gambut. besar dalam mendapatkan akses pengelolaan, baik
c. Perlu prioritas untuk mempercepat capaian infrasruktur usaha, transisi kerja maupun akses pasar
perhutanan social dan reforma agraria di atas lahan bagi kegiatan yang adaptif sesuai fungsinya. Hal ini
ekosistem gambut dengan pendekatan restorasi selaras dengan tanggung jawab mereka yang lebih
gambut. Ketiganya merupakan komitmen Presiden. besar dalam melindungi fungsi gambut lindung.
Kebijakan ini juga perlu diikuti dengan pengembangan c. Perlunya pengembangan kebijakan penganggaran
skema ekonomi baru yang adaptif bagi lahan bagi perhutanan social maupun reforma agraria di
ekosistem gambut. atas lahan ekosistem gambut melalui pengembangan
d. Perlu mengintegrasikan pemetaan fungsi ekosistem program dalam pos APBN maupun APBD. Selain
gambut, social ekonomi dan penguasaan, serta peta itu perlu digali peluang pembiayaan lainnya, antara
konflik tenurial, dan terget restorasi gambut dalam lain dana desa maupun inovasi-inovasi pembiayaan
lainnya yang berkelanjutan.

22 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


d. Perlunya harmonisasi berbagai peraturan untuk
mendukun percepatan perhutanan social dan reforma
agraria di lahan ekosistem gambut, antara lain:
kebijakan penetapan fungsi hutan produksi dengan
fungsi lindung ekosistem gambut, Peta Indikatif
Penundaan Izin Baru (PIPIB) dengan Peta Indikatif
Alokasi Perhutanan Sosial (PIAPS).

3. Penguatan kelembagaan. Beberapa langkah pokok yang


diperlukan bagi penguatan kelembagaan, antara lain:
a. Perlunya pengembangan kelembagaan yang mumpuni
untuk memastikan kebijakan tenurial dan restorasi
gambut berjalan dengan baik, tidak hanya dalam
konteks tenur dan restorasi melainkan juga dalam
konteks pengembangan usaha atau skema ekonomi
diatas nya untuk mewujudkan kesejahteraan bai kantar
K/L maupun pusat-daerah.
b. Perlu pengembangan kelembagan kolaboratif yang
lebih kuat antar pemangku kepentingan (pemerintah,
dunia usaha, masyarakat sipil) dalam isu perhutanan
social dan reforma agraria di atas lahan ekosistem
gambut karena memiliki tantangan yang lebih spesifik,
tidak hanya konteks penguasaan lahan saja melainkan
juga perlindungan ekosistem gambut yang saat ini
banyak dalam kondisi rentan.
c. Menodorong pengembangan mekanisme/sistem
integritas LH di dunia usaha melalui asosiasi-asosiasi
usaha yang ada.
d. Inovasi teknologi untuk pengelolaan sekaligus
perlindungan gambut.

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 23


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
PANEL 9

Pengembangan Ekonomi Berbasis Masyarakat Melalui


Ragam Inovasi dan Investasi UMKM Kehutanan

Pemberdayaan ekonomi masyarakat dan issue lingkungan Kedua, mendorong akses yang lebih mudah dalam akses
bukan dua hal yang diametrikal. Yang diperlukan untuk terhadap modal (finansial), pasar, teknologi, informasi dan
menjembatani keduanya adalah mencari ”the right kind of proses pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan
growth”, yakni selain memenuhi pertumbuhan ekonomi, tata kelola hutan.
juga mampu memelihara lingkungan bahkan menciptakan • Meningkatkan posisi tawar kelembagaan dalam
pertumbuhan ekonomi baru dari sumber daya hutan dan kemitraan.
lingkungan tanpa merusaknya. Sehingga bisa dijelaskan
• Pemanfatan sumber daya lokal semaksimal mungkin –
bahwa ekonomi berbasis sumber daya hutan sebagai
memutar ekonomi lokal
kegiatan perekonomian yang mampu meningkatkan
kesejahteraan dan keadilan sosial di satu sisi, tetapi di sisi • Peningkatan Kapasitas baik dari aspek teknis, manajerial
lain mampu menghilangkan dampak negatif pertumbuhan dan bisnis
ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya • Perluasan jaringan pasar, memerbanyak innovator dan
hutan. kolaborasi dari berbagai pihak
• Penguatan dokumen, data dan informasi kelembagaan.
Maka, praktek-praktek usaha kehutanan masyarakat
(Community Forest Enterprise), industri dan rantai nilai yang • Mengefektifkan fungsi layanan pengembangan bisnis
mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan harus (business development services)
diprioritaskan sebagai pendorong utama pertumbuhan • Forum bisnis yang regular
ekonomi di Indonesia. Pengembangan ekonomi melalui
ragam investasi dan inovasi dibidang kehutanan harus
mempertimbangkan dimensi budaya dan sosial termasuk
inisiatif keberlanjutan yang tepat melaui perencanan dan
mekanisme partisipatif yang efektif dari masyarakat.

Oleh karena itu, penting untuk memfasilitasi dan mengatur


pengembangan system pemberdayaan ekonomi yang adil
antara produsen di tingkat masyarakat, UMKM, sektor swasta
dan Pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Dan, paling
tidak ada dua poin yang harus diintervensi dan dilakukan;

Pertama, peningkatan peran dan sinergitas antar para pihak.


• Sinergitas antar pihak (Enabling condition) membutuhkan
tempat interaksi, regulasi yang mendukung dan
inklusivitas
• Clustering dan konektivitas dari berbagai pihak yang
terlibat
• Menguatkan partisipasi dan jejaring kerja.
• Perlu ada fungsi koordinasi dari berbagai supporting
• Peranan Pemerintah Daerah yang lebih efektif
• Menciptakan fungsi intermediary oleh pihak di tingkat
lokal

24 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


PANEL 10

Peran Swasta dalam Menghormati Hak Tenurial/ HAM

Pada Kamis, 26 Oktober 2017, diskusi Panel 10 dengan tema Dalam panel ini semua pihak setuju bahwa penghormatan
“Peran Swasta dalam Menghormati Hak Tenurial/HAM”. Hak Asasi Manusia dalam operasi bisnis tak bisa ditawar lagi,
Dalam Panel tersebut hadir beragam pihak, diantaranya selain karena memang mengikuti peraturan perundang-
perusahaan, masyarakat sipil, perwakilan dari DirjenHAM undangan dan menjaga keberlanjutan bisnis, hal tersebut
Kemenkumham, Komnas HAM, konsultan bisnis, asosiasi juga menjadi tuntutan pasar.
perusahaan, dan serikat tani.
Mengemuka juga dalam diskusi, bahwa kalau nanti aka nada
Narasumber: platform bersama antara multipihak, maka harus belajar
1) Prof Hariadi Kartodihardjo dari IPOP. Kedekatan dengan Pemerintah juga harus kuat
2) Nur Kholis (Ketua Komnas HAM) agar pelaksanaannya berjalan baik. Misalnya diusulkan
dengan Kantor Staff Presiden.
3) Ignatius Purnomo (Komisaris Utama PT. Toba Pulp
Lestari)
Berikut ini beberapa yang menjadi rekomendasi yang
4) Haskarlianus Pasang (Head of Sustainability Policy and
dibahas bersama dalam Panel:
Compliance PT. SMART Tbk)
5) Marcus Colchester (FPP)
I. Untuk Pemerintah
6) Rudi (WALHI Jambi)
• Mendorong KPK tetap memprioritaskan pencegahan dan
7) Anselmus Amo (SKP-Kame) penindakan korupsi SDA
• Pelaksanaan perbaikan dan identifikasi perbaikan
Penanggap: regulasi nasional terkait praktek bisnis
1) Tiur Rumondang (RSPO Indonesia) • Penetapan substansi pencegahan korupsi secara
2) Andi Taletting (Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia – operasional
Kemenkumham) • Diharapkan GCG menjadi RENAKSI bersama dan
3) Andiko (AsM Law Office) terintegrasi dengan GNSDA/Korsub KPK

4) Delima Silalahi (KSPPM) • Perlu mengembangkan sistem online untuk PNBP dan
adanya sistem pengendalian perizinan

Diskusi berjalan dengan optimal dan berbagai bisa bisa • Transparansi pengelolaan bisnis SDA, termasuk
memberikan segala pendapatnya secara langsung, berbagai membuka informasi HGU ke masyarakat
inisiatif-inisiatif penghormatan hak tenure dan HAM yang • Legal reform dalam relasi korporasi dan masyarakat:
dilakukan perusahaan, banyak sekali mendapak tanggapan masyarakat hanya perlu menyewakan tanah mereka,
dan kritik dari masyarakat sipil, khususnya dalam tataran tanpa harus melepaskan hak mereka sebagaimana dalam
implementasi. konsep HGU; ini perlu dalam rangka mengganti sistem
perijinan dan tenur yang masih mewarisi sifat kolonial
Komnas HAM juga dapat memaparkan Rencana Aksi yang memberi ruang terjadinya land grabbing dengan
Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang telah sistem baru yang mengakui hak masyarakat
dikeluarkan pada Juni 2017 lalu. Menurut Prof Hariadi, • Untuk pemerintah agar melakukan pemantauan dan
hal ini seharusnya bisa menjadi peluang untuk terus kontrol periodik terhadap pelaksanaan komitmen dan
melanjutkan apa yang pernah dilakukan KPK melalui GN- kinerja HAM korporasi
PSDA.
• Segera melaksanakan agenda hukum Pengakuan dan
perlindungan hukum MHA

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 25


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
• Melakukan Audit perkebunan sawit dan perkebunan implementasi komitmen sosial dan lingkungan dalam
lainnya praktek bisnis korporasi diintegrasikan dalam regulasi
• Mengalokasikan anggaran yang cukup bagi audit HAM pemerintah.
terhadap korporasi
• Perlu membuat batasan kewenangan yang tegas antara II. Untuk Korporasi/sektor bisnis
berbagai kementerian dan lembaga yang mengurus • Memastikan rantai pasok mematuhi standar HAM
masyarakat hukum adat, tanah dan hutan, dan sumber
• Di dalam sektor perikanan dan kelautan, korporasi harus
daya alam umumnya
menjadikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
• Mengembangkan mekanisme pemulihan pelanggaran No. 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak
HAM melalui penyelesaian sengketa alternative yang Asasi Manusia pada Usaha Perikanan sebagai pedoman
melibatkan korporasi dan masyarakat sipil operasinla bisnis perikanan
• Memperkuat fungsi penanganan pengaduan • Memetakan keterkaitan antara setiap aspek bisnis dengan
danpenyelesaian konflik K/L HAM
• Pemerintah perlu mendorong lahirnya pedoman- • Kebijakan korporasi tentang mediasi, negosiasi jadi
pedoman pelaksanaan hak tenur dan HAM --- perlu ada prioritas pertama, proses litigasi pilihan terakhir
baseline untuk menilai progress
• Bank pemerintah dan swasta perlu mengubah aturan
• Pemerintah harus mencabut aturan-aturan tentang internalnya yang membolehkan jaminan berdasarkan
pengamanan objek vital, yang melibatkan TNI dan Polri, kesepakatan sewa atau leasing untuk mengganti sistem
yang berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap yang ada yang mengharuskan jaminan berdasarkan HGU,
masyarakat, khususnya terhadap kaum perempuan, IUP dan perijinan lainnya
akibat terlibatnya TNI dan Polri
• Peningkatan kapasitas SDM internal dalam aspek HAM
• Pemerintah Negara mengadopsi prinsip-prinsip UNGPS
• Perusahaan yang belum punya agar segera membuat
dan Melanjutkan kerja Komnas HAM dalam RAN Bisnis
kebijakan HAM
dan HAM
• Pelaksanaan uji tuntas dengan melibatkan kelompok
• Lembaga yang ditunjuk untuk uji tuntas HAM adalah
pendamping masyarakat (LSM)
Komnas HAM ; atau sertifikasi dan standarnya diatur oleh
Komnas HAM • FPIC harus dilaksanakan dengan bentuk kemitraan/
kerjasama para pihak. Semua stakeholder harus
• Perlindungan buruh dan pemenuhan hak-hak buruh
dilibatkan dalam menjalankan FPIC agar tidak terjadi
• Moratorium perizinan dan tidak ada lagi ekspansi bagi konflik persepsi tentang sudah atau belum terpenuhinya
wilayah adat yang berkonflik dan atau diklaim. standard FPIC.
• Mendorong keluaran dari PCP adalah bagaimana SDA • Mendorong terjadinya perubahan dalam partisipasi
dalam wilayah tersebut dilindungi; rekomendasi ada masyarakat menjadi partisipasi penuh dan efektif
program land strategy untuk mengelola SDA tersebut
• Korporasi perlu mengembangkan Standar analisis untuk
• Mendorong RAN Bisnis dan HAM ditujukan untuk semua identifikasi, menilai dan mengelola risiko HAM dan
korporasi. Inisiatif untuk memperluas RAN Bisnis dan dampak aktifitas bisnis,khususnya hak-hak kelompok
HAM dimulai dari korporasi yang terlibat hari ini, sebagai rentan
upaya untuk menciptakan champion. Harus ada contoh
• Ada independent report untuk monitoring pelaksanaan
bagus tentang korporasi yang sukses menjalankan
komitmen HAM korporasi, Pemerintah dan CSO harus
tanggung jawab HAM dan hak tenurial.
terlibat dalam mendorong pelaksanaan independent
• Pemerintah harus tegas mengumumkan arah resolusi report
konflik yang ingin diimplementasi sehingga ukuran
• Korporasi perlu memajukan perlindungan buruh dan
kesuksesannya jelas. Ada kepastian
pemenuhan hak-hak buruh
• Pemerintah harus mengevaluasi dan mengefektifkan
• Kebutuhan untuk participatory mapping; membangun
wilayah konsesi. Jika tidak efektif sebaiknya dikeluarkan
masyarakat untuk tahu wilayahnya; perlu ada peran
• Perlunya mendorong agar aspek pemenuhan HAM dan pemerintah dalam participatory mapping, karena

26 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


kegiatan ini akan membantu pemerintah dalam • Titik temu persepsi tentang pemenuhan HAM, dan hak-
memperjelas wilayah masyarakat hak tenurial?
• Perusahaan segera melakukan perbaikan ekologis. • Definisi bisnis yang baik: baik bagi community, country,
Penekanan terharap akses pemulihan dan restitusinya climate, customer, and company
baik pada limbah atau masalah lain seperti galian • Mendorong dialog multipihak (Pemerintah, LSM lokal dan
tambang internasional, tokoh-tokoh masyarakat)
• Platform bersama dari pertemuan tentang perlunya
III. CSO legal reform; untuk itu perlu dialog multipihak yang
• Edukasi terhadap masyarakat tentang hak2 masyarakat menindaklanjuti hasil Konferensi agar tidak mandeg.

• Kapasitas masyarakat harus ditingkatkan dalam konteks • Harus punya kerjasama yang kuat dengan pemerintah
reskon, agar dapat menjawab persoalan perlunya terkait platform tersebut. Misalnya dengan KSP sebagai
pengimbangan kuasa leading actor

• Mendorong terjadinya perubahan dalam partisipasi • Perlu pendekatan baru: komunikasi dialogis, partisipatif,
masyarakat menjadi partisipasi penuh dan efektif dan mengutamakan negosiasi.

• Mendorong MHA melakukan perencanaan pemanfaatan • Penataan kembali wilayah adat, melalui pemetaan
wilayah adat sesuai kebutuhan mereka, seperti rencana partisipatif (baru selesai memetakan batas luar wilayah
pemanfaatan hutan adat adat suku Yei)

• Rekomendasi untuk LSM perlu konsorsium untuk LSM • Unsur gender, segala yang diupayakan korporasi,
yang bergerak di isu concession reform, baik di wilayah pemerintah dan CSO harus mencerminkan pelibatan
hutan, perkebunan, maupun pesisir, laut dan pulau-pulau perempuan dan kaitannya dengan sumberdaya alam.
kecil / Baik dalam pemetaan, konsultasi FPIC, mediasi, negosiasi
hingga ganti rugi dan konpensasi.
• CSO memantau pelaksanaan berbagai komitmen
perusahaan akan penghormatan Hak Asasi Manusia dan • Pelibatan asosiasi bisnis atau multistakeholder group
komitmen sosial/lingkungan hidup lainnya.
• CSO mau menyalurkan laporan tentang praktek korporasi Pengelola Panel 10:
di lapangan kepada pihak perusahaan melalui mekasime Dirjen PHPL – KLHK; Komnas HAM; Kemitraan; ELSAM;
yang disetujui bersama sebelumnya PUSAKA; IBCSD; FPP

IV. Masyarakat
• Masyarakat perlu memanfaatkan mekanisme pengaduan
yang disediakan perusahaan dan atau pemerintah
• Masyarakat harus melakukan perubahan dalam
partisipasi mereka menjadi partisipasi penuh dan efektif

V. Untuk seluruh stakeholders


• Kejelasan lembaga yang menjadi locus target
rekomendasi untuk diimplementasikan (catatan pelapor:
belum tuntas dibahas)
• Perlu merumuskan kesepahaman bersama atas beberapa
hal berikut:
• Konsep hak tenurial yang diterima bersama?
• Memastikan tidak terjadinya pelanggaran HAM
masyarakat?

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 27


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
PANEL 11

Ragam Tenurial Hutan Lindung dan Tahura

A. Pembelajaran Umum Tayab, Kabupaten Ketapang, adalah sebuah Desa yang


‘tercabik-cabik’ oleh kebijakan negara. 60% wilayah
Keamanan tenurial yang didukung oleh kelembagaan yang Desa yang telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia
kuat merupakan kondisi pemungkin bagi optimalisasi fungsi ini menjadi HGU perkebunan sawit, 10% masuk Taman
kawasan. Hal ini bisa dilihat pada praktik pengelolaan Nasional Gunung Palung, 10% masuk kawasan Hutan
HL dengan skema HKm di Hutan Lindung Kabupaten Lindung Gunung Tarak dan 20% masuk Hutan Produksi
Tanggamus (KPH Batu Tegi, KPH Kota Agung Utara dan Konversi. Kondisi seperti tentu juga banyak terjadi di
KPHL Pematang Neba) dan Hutan Lindung Rigis, Kabupaten wilayah lain di negeri ini, sehingga penerapan Perpres
Lampung Barat, Provinsi Lampung. Walau sesuai analisis 87/2017 penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan
spasial yang dilakukan oleh studi ini, pemeliharaan fungsi hutan menjadi sangat relevan.
lindung, khususnya di KPHL Kota Agung Utara masih perlu
ditingkatkan, memperhatikan kecenderungan berkurangnya 2. Penetapan Hutan Lindung Sungai Manggar (HLSM,
hutan sekunder pada tingkat yang mengkawatirkan. 4.999 ha), Balikpapan pada tahun 1996 pada lahan
Harmonisasi fungsi ekonomi dan konservasi masih perlu transmigran dari Jawa yang telah terbangun sajak tahun
terus dioptimalkan untuk mempertahakan ekosistem hutan 1960. Penetapan ini dilakukan sebagai daerah tangkapan
primer dan sekunder yang tersisa di negeri ini. air Waduk Manggar (300 ha) yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan air bersih 80% dari penduduk
Kondisi sebaliknya, keamanaan tenurial yang rendah tidak Balikpapan (700 ribu jiwa). Konflik penggunaan dan
kondusif bagi terbentuknya kelembagaan lokal sehingga penguasaan lahan antara pemerintah dan masyarakat
fungsi kawasan terabaikan, hal ini dapat dilihat pada kasus ini terus berlarut-larut sejak tahun 1990, hingga kini baru
Tahura dan Hutan Lindung yang dijadikan studi kasus dalam 1.032,9 Ha yang sudah dibebaskan oleh Pemerintah,
panel ini seperti Sultan Thaha Saefuddin, Tahura Bukit sehingga masih ada 3.966,1 Ha yang masih bermasalah.
Soeharto, Tahura Posut Meurah Intan dan Hutan Lindung Pengurusan surat-surat lahan garapan transmigrasi,
Pegunungan Meratus. pungutan Pajak Bumi dan Bangunan pada kawasan
Hutan Lindung dan konflik penetapan surat-surat
Sering berubahnya kebijakan dan kesimpang-siuran data tanah seperti sertifikat dalam kawasan dan sebagainya,
ditengah ancaman pasar berbagai komoditas (lahan untuk sedangkan konsep perhutanan sosial yang ditawarkan
pemukiman, batubara, sawit dan cash-crop) berdampak pemerintah tidak diterima oleh masyarakat.
pada ketidakpastian tenurial dan kerusakan peran dan
fungsi kawasan. Kasus ini begitu kental di Tahura Bukit
C. Rekomendasi Umum
Soeharto (batubara), Hutan Lindung Sungai Lesan, Hutan
Lindung Gunung Tarak (sawit) dan Hutan Lindung Sungai
Wain (pemukiman, pertanian). Absennya negara di tingkat Memperhatikan pengelolaan hutan lindung dan Tahura
tapak memerlukan perubahan mendasar dan konsistensi berada pada pemerintah daerah yang umumnya
yang tinggi. memiliki kapasitas dan perhatian yang kurang memadai
terhadap fungsi lindung dan konservasi, apalagi setelah
berlakunya UU No. 23/2014 dimana Pemerintah Provinsi
B. Pembelajaran Khusus
terkendala dengan kewenangan baru yang diterimanya,
maka diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara
1. Bersesuaian dengan kondisi Hutan Lindung dan Tahura Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan
yang banyak ‘tercabik-cabik’ oleh berbagai klaim Hidup dan Kehutanan untuk lebih mendorong Pemerintah
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi Provinsi dalam pembangunan dan operasionalisasi KPH.
lindung dan konservasi oleh absennya negara di tingkat Disisi lain semakin jauhnya rentang kendali terhadap
tapak, kasus Desa Laman Satong, Kecamatan Nanga permasalahan hutan di tingkat tapak, dan keterbatasan

28 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


sumberdaya manusia baik di KPH maupun Tahura, dari 5 macam kelola yaitu: (a) kelola kawasan; (b) kelola
maka baik KPH maupun Tahura tersebut dituntut dapat hutan; (c) kelola sosial; (d) kelola usaha dan (e) kelola
berkolaborasi dengan masyarakat di sekitar hutan dan para lingkungan
pihak dalam penyelesaian masalah dan penyelenggaraan
pengelolaan hutan di wilayah kerjanya melalui kegiatan 5. Persoalan-persoalan tenurial di Hutan Lindung dan
Perhutanan Sosial dan Kerjasama Pemanfaatan Hutan. Tahura trjadi oleh ketidak--jelasan kelembagaan
pengelolaan pemerintah di tingkat tapak. Perlu
D. Agenda Kedepan penguatan KPH sebagai berikut:
(a) KPH bertugas untuk memastikan keamanan tenurial,
1. Reformasi agraria di Hutan Lindung dan Tahura perlu penguatan kelembagaan masyarakat, penguatan
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: ekonomi dan optimalisasi fungsi hutan bagi
(a) KLHK bersama Kemendagri dan Kemendes perbaikan lingkungan oleh masyarakat;
menyepakati batas administrasi desa dengan batas (b) Menciptakan ruang kepada masyarakat untuk
hutan lindung dan Tahura; mengatur-diri sendiri dalam mengakses sumberdaya
(b) Berdasarkan kajian sejarah perlu merumuskan hutan melalui TORA dan PS.
kesepakatan mana yang lebih dulu ada antara kawasan (c) Pemerintah perlu memperbaiki standar penilaian
hutan (hutan lindung dan Tahura) dengan Desa; kemandirian sesuai dengan tipologi KPH.
(c) KLHK bersama Kementerian PUPR, BPN dan KLHK
menetakan wilayah yang menjadi konsentrasi Fasilitas 6. Untuk wilayah Tahura yang telah ditetapkan menjadi
Umum (Fasum) dan Fasilitas Sosial (Fasos) sebagai beberapa kawasan KHDTK sebagaimana Tahura
obyek TORA; Bukit Soeharto perlu dibentuk forum koordinasi dan
(d) Menetapkan lahan garapan yang ada di Hutan komunikasi antar-pengelola (KHDTK, UPTD) untuk
Lindung dan Tahura sebagai wilayah yang dikelola menetapkan norma dan standar pengelolaan yang sama
masyarakat dengan Pola PS, dengan mengacu di seluruh kawasan Tahura,
kepada Peraturan Presiden No.88 tahun 2017 tentang
Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan 7. Belajar dari pengelolaan HKm di HL di Kab. Tanggamus,
Hutan Prov. Lampung perbaikan pengelolaan HL perlu
memperkuat peran KPH dan CSO sbg pendamping
2. Perlu ada kriteria yang berwawasan lingkungan untuk masyarakat.
kajian menyeluruh mengenai Desa-Desa prioritas di
dalam hutan lindung dan Tahura yang memiliki potensi 8. Perlu mengadopsi dan mereplikasi pendekatan
reformasi agraria pendampingan permohonan IUPHKM, penguatan
kelembagaan HKm dan ekonomi masyarakat yang telah
dilakukan oleh KORUT (Konsorsium Kota Agung Utara) di
3. Skema PS di hutan lindung harus menyesuaikan dengan
Kabupaten Tangamus, Provisni Lampung.
pratik cerdas dan kapital sosial yang telah ada dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung
hutan lindung, sedangkan di Tahura menekankan pada
pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan.

4. Dalam mengembangkan skema PS harus mengacu


kepada konsep Tata Kelola Hutan Lindung yang terdiri

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 29


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia
Lampiran 1 : Matrik Hasil Diskusi Panel 11 (26 Oktober 2017)

Akses thd
Tenure, fakta
Politik dan regulasi hukum, ekonomi Fungsi lembaga
lapangan
implementasi HAM & pencegahan pelaksana
& fungsi kawasan
kriminalisasi

• Penguatan Kapasitas KPH untuk mengimplementasikan tupoksi secara konsisten dan


bertanggung gugat terutama berkaitan dengan leadership dan entrepreneurship
• Penyelesaian masalah tenurial di hutan lindung dan tahura dilakukan berdasarkan
KONSEPTUALISASI
pendekatan kolaboratif
PEMECAHAN
• Percepatan pembentukan Lembaga KPHL S. Wein yang mandiri berdasarkan sumberdaya
MASALAH &
dan modalitas yang selama ini yang telah dikembangkan dari BPHLSW, termasuk
PEMBENTUKAN
pembayaran jasa lingkungan air.
KEBIJAKAN
• Perlu dijajaki kemungkinan untuk mengeluarkan areal yang secara tenurial dikelola
masyarakat berdasarkan Perpres 88/2017.
• Penanganan kasus tenurial mengadopsi skema kasus korut (lihat Lampiran 2)

• Standar penilaian kemandirian sesuai dengan tipologi KPH


EVALUASI & • Delegasi kewenangan pengambilan keputusan manajemen yang memadai kepada KPH serta
PERBAIKAN mendorong terwujudnya BLU/BLUD untuk KPH-KPH yang memiliki potensi pengembangan
INSTRUMEN YG ekonomi berbasis lembaga Pemerintah
DITERAPKAN DLM • Penyelesaian kasus tenurial di Hutan Lindung dan Tahura dilaksanakan secara konsisten
REGULASI sesuai Perpres 88/2017 dengan mempertimbangkan kondisi spesifik di masing-masing
lokasi kasus

EVALUASI & • Penguatan masyarakat dalam co-manajemen HCV


PENGUATAN • Penyelesian tenurial di dalam Hutan Lindung dan Tahura harus dilakukan lintas K/L dan
LEMBAGA PELAKSANA Pusat-Daerah, terutama tata hutan di tingkat KPH dengan tata ruang desa dan program-
(PUSAT-DAERAH) program pemberdayaan masyarakat

30 HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017


Lampiran 2 : Skema Pendampingan Permohonan IUPHKm yang dikembangkan oleh Korut

Mewujudkan Hak-hak Rakyat: 31


Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai