KESIMPULAN 3
REKOMENDASI 4
1. Kebijakan dan Peraturan Perundangan 4
2. Inovasi Kelembagaan Untuk Penguatan dan Percepatan RAPS 4
Serta Penyelesaian Konflik Hutan/Lahan;
3. Adopsi Hasil Konferensi Tenurial 2017 5
REKOMENDASI 11 PANEL 6
Panel 1. Percepatan Pencapaian Target Perhutanan Sosial 6
Panel 2. Meluruskan Arah & Percepatan Reforma Agraria untuk 8
Mengatasi Ketimpangan Struktur Agraria dan Kesenjangan
Ekonomi
Panel 3. Pengukuhan Hutan Adat untuk Perlindungan Masyarakat 11
Hukum Adat dan Pendistribusian Manfaat
Panel 4. Pengakuan Hak Tenurial dalam Penanganan Perubahan 13
Ikliml
Panel 5. Hak Masyarakat dalam Areal Konservasi: Pengakuan dan 15
Peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal
Panel 6. Perlindungan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam 18
Penegakkan Hukum
Panel 7. Konflik Tenurial dan Pilihan Penyelesaian Konflik 20
Panel 8. Ragam Tenurial untuk Melindungi, Mengelola, dan 22
Memulihkan Gambut
Panel 9. Pengembangan Ekonomi Berbasis Masyarakat Melalui 24
Ragam Inovasi dan Investasi UMKM Kehutanan
Panel 10. Peran Swasta dalam Menghormati Hak Tenurial/ HAM 25
Panel 11. Ragam Tenurial Hutan Lindung dan Tahura 28
Berdasarkan hasil-hasil pembahasan sumber-sumber informasi serta pendapat-pendapat yang telah disarikan dalam
sidang-sidang pleno di atas, melalui berbagai tinjauan makro nasional dan internasional sampai mikro kasus-kasus
rumah tangga dan perorangan terdapat kesimpulan umum, sebagai berikut:
Pertama, tanah dan sumberdaya alam lainnya di satu sisi adanya kolaborasi antara Pemerintah, CSO, masyarakat
jumlahnya terbatas, di sisi lain sangat terkait dengan ruang dan dunia usaha perlu senantiasa dipertahankan dan
hidup dan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat yang ditingkatkan;
jumlahnya terus meningkat. Namun demikian, dengan
akumulasi persoalan masa lalu, sistem penguasaan, Keempat, ruang lingkup pelaksanaan perhutanan sosial,
penggunaan, pengelolaan dan pemanfaatannya yang penetapan hutan adat, maupun pelaksanaan reforma
telah berjalan selama ini terlanjur mengadirkan ketidak- agraria tidak dapat dilaksanakan secara parsial, sebaliknya
adilan sosial, menyebabkan terjadinya konflik maupun perlu dikaitkan dengan upaya memperbaiki ketimpangan
tidak terlindunginya masyarakat adat dan lokal, selain juga struktur agraria yang diikuti dengan pemberdayaan
menurunkan fungsi-fungsi lingkungan hidup; masyarakat lebih luas di berbagai fungsi kawasan;
konservasi, lindung maupun produksi serta dijalankan
Kedua, masalah tenurial tersebut telah menjadi perhatian diluar kawasan hutan, baik di Pulau Jawa maupun di
pemerintah, masyarakat sipil, serta dunia usaha untuk luar Pulau Jawa, dari Papua sampai Aceh, baik di wilayah
diselesaikan, baik yang tercermin dalam pernyataan daratan maupun perairan serta pulau pulau kecil. Sejauh
sebagai komitmen dalam Konferensi Tenurial ini, maupun ini masih terdapat masalah hak dan akses masyarakat
kebijakan baru yang sudah ada dan yang sedang dijalankan. terhadap infrastruktur maupun sumber-sumber ekonomi,
Pelaksanaan kebijakan ini diharapkan dapat mengkoreksi pendidikan maupun informasi dan pengetahuan, sehingga
sistem penguasaan tanah/hutan tersebut, baik berupa menjadi hambatan untuk mewujudkan kemandiriannya.
kebijakan maupun inovasi kelembagaannya, termasuk Pelaksanaan penyelesaian masalah tenurial, untuk itu, perlu
mengkondisikan, terutama bagi pelaku dunia usaha dilandasi etika dan empati terhadap subyek utama yaitu
dan birokrasi pemerintahan sendiri, agar secara aktif masyarakat yang selama ini menghadapi persoalan yang
menjalankan pelaksanaan koreksi tersebut; bersifat struktural itu.
Ketiga, masih terdapat gap antara kebijakan di tingkat Kelima, upaya percepatan penyelesaian masalah tenurial,
nasional dengan pelaksanaan kebijakan itu di tingkat tidak terlepas dari upaya perbaikan sistem perizinan
praksis; antara lain berupa lambatnya respon pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam maupun penetapan alokasi
kebijakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ruang, pencegahan dan pengendalian korupsi, jaringan
itu sendiri, respon swasta maupun pengelola hutan/lahan kekuasaan yang menghambat perbaikan, peningkatkan
di lapangan yang masih terbatas. Sementara itu, adanya partisipasi maupun keterbukaan informasi bagi publik
contoh-contoh praktek yang baik, yang digali dalam serta kelembagaan penyelesaian konflik yang menyeluruh.
Konferensi ini, menjadi bukti bahwa masalah-masalah Perubahan konfigurasi hubungan-hubungan sosial melalui
tenurial yang ada dapat diselesaikan. Penyelesaian itu perkembangan teknologi media sosial maupun teknologi
memerlukan komitmen politik seluruh Kementrian dan informasi, perlu didayagunakan untuk mewujudkan tata
Lembaga serta langkah-langkah kongkrit di lapangan pengelolaan tanah/hutan dan sumberdaya alam lainnya
dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sangat spesifik secara baik (good land/forest and natural resources
dan memerlukan informasi akurat dan detail. Untuk itu, governance).
Dengan beberapa kesimpulan umum di atas, rekomendasi umum dari rincian rekomendasi panel yang tidak terpisahkan
dari hasil Konferensi ini, yang masih perlu ditindak-lanjuti dengan menyusun instrumen kebijakan dan rencana aksi yang
lebih rinci, serta adopsi hasil Konferensi Tenurial 2017, yaitu:
Panel 1 dengan tema “Percepatan Pencapaian Target Fasilitator: Suwito (Kemitraan – Partnership for Governance
Perhutanan Sosial” dihadiri oleh tidak kurang dari Reform)
lima puluh peserta termasuk Narasumber, Pelapor, Penyampaian Hasil Rumusan Rekomendasi oleh Pelapor:
Penanggungjawab dan Fasilitator, yang mewakili organisasi Prof. Didik Suharjito Guru Besar IPB.
rakyat, civil society organizations, lembaga riset, litbang
dan inovasi, pembuat kebijakan, tokoh masyarakat dan Berikut butir-butir Rekomendasi Panel 1:
perwakilan swasta, dengan penanggungjawab terdiri dari
Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (Ir. Erna I. Dukungan dan sinergitas lintas kementerian/
Rosdiana, Msi), The Asia Foundation (Muayat Ali Muhshi lembaga
& Margaretha Tri Wahyuningsih), Kemitraan (Suwito),
Kementerian terkait: Bappenas, Kementerian Keuangan,
dan ASEAN Working Group on Social Forestry (AWG-SF)
Kementerian BUMN, Perhutani, Kementerian Desa, PDT dan
Secretariat (Sagita Arhidani & Alfi Syakila).
Transmigrasi; Kementerian Koperasi dan UKM; Kementerian
Peridustrian; Kementerian Pariwisata; Kementerian PU.
Dr. Hadi Daryanto – Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan
Kebijakan Menko Perekonomian No. 73 /2017 dapat
Kemitraan Lingkungan – Kementerian Lingkungan Hidup
memberikan arahan koordinasi dan sinergitas antar
dan Kehutanan hadir menyampaikan Keynote Speech,
kementerian khususnya dalam menangani PS dan reformasi
dilanjutkan dengan diskusi Panel dengan Narasumber
agraria, namun belum cukup kuat untuk mempercepat
dalam dua Sesi, sebagai berikut:
implementasi program PS mencapai target 12,7 juta hektar
pada tahun 2019. Perlu dorongan lebih kuat, yaitu Peraturan
Sesi Satu:
Pemerintah , Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden
Narasumber: untuk menggerakan peran kementerian terkait dan pemda,
1) Ir. Erna Rosdiana, MSi, Direktur Penyiapan Kawasan sekaligus menggerakan peran para pihak lain (akademisi,
Perhutanan Sosial KLHK CSO, organisasi rakyat, bisnis) sampai dengan tercapainya
2) Prof. Dr. Ingrid Oborn, Regional Director World 30% kawasan hutan untuk rakyat.
Agroforestry Center Southeast Asia (ICRAF/ ASFCC)
II. Dukungan organisasi pemerintah di tingkat daerah
3) Illiana Monterosso (CIFOR Peru) & Dr. Tuti Herawati (CIFOR
Head Office) Menggantungkan implementasi PS kepada jumlah UPT
4) Dr. Suraya Afiff (Peneliti Pasca Sarjana Universitas bidang PS yang terbatas akan mengalami hambatan.
Indonesia) Percepatan implementasi PS sangat membutuhkan
dukungan peran PEMDA. Kemauan politik dan dukungan
Fasilitator: Irfan Bakhtiar
finansial dari PEMDA (melalui APBD), kapasitas SDM
bidang teknis dan sosial ekonomi, maupun infrastruktur di
Sesi Dua:
bawah kewenangan dan kekuasaannya harus diperkuat.
1) Taufik (Kabid Penyuluhan dan Pemberdayaan Dinas-dinas (kehutanan dan lingkungan hidup, pertanian,
Masyarakat, DisHut Prov. Sumatera Selatan) pariwisata, dll) dan lembaga (antara lain penyuluhan
2) Rudy Syaf (Direktur, KKI WARSI) pertanian dan kehutanan) di lingkungan PEMDA (provinsi
dan kabupaten) harus melakukan sinkronisasi program
3) Dharsono Hartono (Direktur Utama PT Rimba Makmur
pembangunan masyarakat pedesaan di mana program PS
Utama)
dapat menjadi sentralnya.
4) Abdul Manan ( Hutan Desa Tebing Tinggi)
Panel 2 telah berjalan dengan baik, dengan partisipasi Dari proses diskusi, kalangan masyarakat sipil menilai,
penuh dari masyarakat sipil (organisasi rakyat berbasis tani, bahwa proses pelaksanaan reforma agraria ini akan sangat
berbasis masyarakat adat, LSM , akademisi serta media) dan lambat dan tidak memadai dengan tujuan-tujuan Reforma
pemerintah (Kementrian LHK, Kementerian ATR/BPN, serta Agraria yang sesungguhnya. Apalagi dengan target yang
pimpinan daerah). cukup luas. Karena itu, dibutuhkan langkah-langkah untuk
meluruskan dan mempercepat realisasi pelaksanaan
Narasumber dalam sesi ini adalah: reforma agraria yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
1. Djamaluddin, S.H., M.Hum, Dirjen Penataan Agraria,
Kementerian ATR/BPN Dari proses diskusi Panel II dapat dirangkum beberapa
2. Dr Budi Suryanto, Direktur Land Reform ATR/BPN temuan dan masalah dalam pelaksanaan RA yang tengah
dijalankan yaitu:
3. Ir. Yuyu Rahayu, M.Sc, Dirjen Planologi Kehutanan dan
Tata Lingkungan, Kementerian LHK,
1. Rencana pelaksanaan reforma agraria yang dijalankan
4. Muhamad Irwan Lapata, S.Sos., M.Si. Bupati Kabupaten oleh BPN masih menggunakan ukuran clear and clean,
Sigi, Sulawesi Tengah tentu saja jika menggunakan aturan-aturan yang tersedia,
5. Tukinan Paguyuban Petani Aryo Blitar langkah pelaksanaan reforma agraria yang diusulkan oleh
masyarakat akan semakin lambat. Mengingat ada banyak
Selain itu, penanggap utama dalam diskusi ini adalah Dr
hambatan hukum yang dihasilkan oleh rezim sebelumnya
(HC) Gunawan Wiradi (Pakar Agraria), Yudas Sabaggalet, S.E.,
dan tidak sejalan dengan pelaksanaan reforma agraria.
M.M. (Bupati Mentawai, Sumatera Barat).
Lebih jauh, tujuan penyelesaian konflik dan mengurangi
Fasilitator: Iwan Nurdin (KPA) dan pelapor Martua Sirait
ketimpangan menjadi terkendala.
(Samdhana).
2. Rencana KLHK dengan menetapkan TORA, masih
Panel ini melihat bahwa RA dan PS tidak bisa disamakan, mengeluarkan wilayah-wilayah yang selama ini sangat
ada lokasi-lokasi yang dapat diselesaikan melalui reforma menginginkan pelakasanaan reforma agraria khususnya
agraria, dan ada lokasi-lokasi yang diselesaikan dengan di Jawa, Bali dan Lampung. Sementara pada lokasi ini
skema perhutanan sosial. Reforma agraria bertujuan untuk hanya ditawarkan skema PS. Para peserta memahami
menyelesaikan konflik agraria, mengurai ketimpangan bahwa PS tidak cocok pada lokasi-lokasi yang selama ini
struktur agraria yang timpang menjadi lebih adil, telah berupa kampung, pemukiman, dan wilayah kelola
mendorong kesejahteraan dan keberlanjutan ekologis. masyarakat.
Karena hal tersebut, reforma agraria mencakup perubahan 3. Pemerintah Daerah, khususnya Kab. Sigi Sulawesi
tata kuasa, tata guna, tata kelola, tata produksi dan Tengah, Kab. Mentawai, Sumatera Barat, telah melakukan
konsumsi pada wilayah-wilayah operasionalnya. beberapa langkah inisiatif dengan membentuk Gugus
Tugas Reforma Agraria di wilayah dan melakukan
Dalam perjalanannya reforma agraria dijalankan dengan pendataan lokasi dan penerima manfaat reforma agraria.
tata cara menentukan alokasi Tanah Objek Reforma Agraria Usulan tersebut telah disampaikan kepada pemerintah
(TORA) yang top down. Setelah penentuan TORA, lokasi pusat.
indikatif tersebut akan divalidasi, diverifikasi, lalu dilepaskan
4. Kalangan masyarakat sipil mengusulkan Lokasi Prioritas
dari kawasan hutan dan setelah dilepaskan dari kawasan
Reforma Agraria (LPRA) yang didapat dengan cara
hutan, langkah selanjutnya adalah melakukan legalisasi
mengukur lokasi dan penerima manfaat sesuai dengan
tanah-tanah oleh Kementerian ATR/BPN. Langkah terakhir,
tujuan-tujuan reforma agraria. Percepatan realisasi dan
adalah pemberdayaan lokasi melalui Kementerian Desa
pelurusan RA ini dapat dijalankan dengan langkah awal
PDDT.
menjalankan LPRA.
Permasalahan kunci : Lambannya penetapan hutan adat 23 komunitas dengan luas 285.668 ha (4) Mempunyai
disebabkan oleh kurang mendukungnya kelembagaan Potensi hutan Adat, tetapi belum ada Perda, peta
pemerintah untuk mengurus masyarakat adat, regulasi yang maupun produk Hukum Daerah lainnya, sebanyak 10
tidak mendukung kemudahan penetapan masyarakat adat komunitas dengan luas 20,000 ha, (5) sedang melengkap
dan hutan adatnya serta, keragaman masyarakat adat yang data dan belum dapat diajukan sebanyak 15 komunitas
ada, serta dinamika politik lokal yang menyebabkan sulitnya dengan luas 65,696 ha dan (6) Sudah ada Perda khusus
penetapan sebuah Perda. Singkatnya, terdapat persoalan- , mempunyai peta dan siap diajukan dan Verifikasi
persoalan yang bersifat struktural, kultural dan politik yang sebanyak 27 komunitas dengan luas 99,973 ha. Prioritas
membutuhkan penanganan jangka panjang, tetapi ada tentunya diberikan pada yang paling siap dengan
persoalan yang dapat diupayakan pemecahannya dalam persyaratan yang dibutuhkan. (kluster 6)
jangka pendek dengan rekomendasi yang pragmatis. Oleh • Melakukan evaluasi terhadap berbagai peraturan yang
sebab itu, terdapat dua tataran rekomendasi, yaitu jangka menghambat proses percepatan hutan, termasuk Perpres
pendek dan jangka panjang. 88/2017
• Menggunakan PIWA (Peta Indikatif Wilayah Adat) sebagai
Strategi Jangka Pendek
dasar untuk melakukan kegiatan pencadangan hutan
adat dan selanjutnya untuk penetapan hutan adat
• Mempertemukan kementerian/lembaga terkait
pengakuan masyarakat adat dan hutan adat, yaitu • Mengembangkan alternatif metode berbasis teknologi
Kementerian Dalam Negeri, LHK, BPN/ATR untuk untuk mengakselerasi pendaftaran subyek hukum
menyepakati kriteria pengakuan masyarakat adat dan masyarakat adat. Contoh-contoh pendaftaran online yang
produk hukum daerah yang dapat digunakan untuk sudah berkembang saat ini bisa menjadi model yang
penetapan hutan adat, termasuk prinsip-prinsip tentang dikembangkan untuk mengefisienkan proses pendaftaran
produk hukum yang baik menggunakan prinsip yang • Memperkuat komitmen diantara lembaga-lembaga
hidup dalam masyarakat dan/atau melindungi praktek pemerintah yang terkait dengan urusan masyarakat
yang ada. Termasuk menagih janji komitmen para adat, baik secara internal (misalnya antar Ditjen KLHK,
menteri dalam diskusi panel konferensi tenure ini. Kemendagri) maupun relasinya dengan lembaga lain
• Berkaitan dengan kebijakan yang bersifat transisional untuk membuat target yang jelas dan mencapai target
--- terkait dengan upaya percepatan hutan adat---, maka tersbeut dengan perencanaan yang terukur
Kemendagri dan LHK mengundang bupati/kepala daerah • Pembentukan Satgas Masyarakat Adat yang bersifat
untuk membuat Surat Keputusan pengakuan masyarakat segera dengan tugas yang terukur sesuai dengan
adat sebagai kebijakan yang bersifat transisional. mandate dan waktu
• Sesuai dengan janji nawacita, pemerintah didorong untuk
lebih pro-aktif untuk terlibat aktif dalam pembahasan Strategi Jangka Panjang :
RUU Masyarakat Adat.
• Langkah-langkah dalam percepatan pengakuan hutan • Mendorong deregulasi kebijakan yang ada, termasuk
adat yang sedang dikerjakan oleh KLHK bersama koalisi posisi Pasal 67 UU 41/1999, apakah cukup dengan
masyarakat sipil agar segera dilaksanakan, khususnya fatwa MK tentang makna ‘perda’ dalam Pasal 67 UUK
terkait dengan adanya enam kluster hutan adat dari sisi 41/1999 dapat dibaca sebagai ‘produk hukum daerah’
advokasi, yaitu (1) sudah memiliki Perda, sifatnya umum sebagaimana yang ditempuh oleh Permen LHK 32/2015
dan membutuhkan SK bupati sebanyak 15 komunitas atau melakukan JR
dengan luas 1,617,215 ha (2) tidak ada Perda tapi sudah • Mendorong para pihak untuk terlibat secara aktif
ada peta dan profil masyarakat adat sebanyak 38 menyelesaikan RUU PPHMA agar dapat dijadikan sebagai
komunitas dengan luas 256.874 ha, (3) Hutan Adat yang ‘undang-undang payung’,
berkonflik dengan Ijin, kawasan hutan, HGU dll) sebanyak
Dalam konferensi tenure, topik utama dari Panel 4 ini adalah 1. Konflik dan konsep tenurial:
“Pengakuan Hak Tenurial dalam Penanganan Perubahan • Membuat kebijakan system pengelolaan konflik
Iklim”, yang memiliki tujuan utama untuk membangun khususnya paska penyelesaian konflik. Kemungkinan
peta jalan bagi semua pihak untuk menjalankan komitmen konflik akan terjadi secara horizontal diantara masyarakat
pemerintah dalam menurunkan emisi sebesar 29% dan dan konflik tenurial dianggap selesai ketika masyarakat
41% dengan bantuan internasional di tahun 2030. Namun sudah mendapatkan hak atau ijin.
di sisi lain, pemerintah juga berkomitmen menjalankan • Membuat kebijakan pembiayaan mekanisme
reformasi tenurial dengan mengalokasi kawasan hutan penyelesaian konflik. Hal ini dibutuhkan agar ada
untuk perhutanan social sebanyak 12.7 juta ha dan anggaran dari APBN untuk setiap upaya penyelesaian
reforma agrarian sebanyak 9 juta ha. Oleh karena itu, Panel konflik.
4 berupaya untuk mengintegrasikan kedua komitmen
• Dibutuhkan pokja di tingkat daerah dengan anggaran
tersebut untuk dapat berjalan secara berkesinambungan.
berasal dari APBD.
Rumusan peta jalan reformasi tenurial dan perubahan 5. Keterwakilan peta tenurial masyarakat dalam kebijakan
iklim satu peta
• Dibutuhkan suatu mekanisme dan prosedur penyelesaian
Dari hasil diskusi Panel 4, telah teridentifikasi adanya 7 tumpang tindih pemetaan lintas kementerian,
(tujuh) hambatan utama dan bagaimana implikasinya
• Menggunakan satu peta, berdasarkan peta wilayah adat
terhadap kebijakan, berikut ini hasil rekomendasi yang telah
CSO (BRWA) dan peta wilayah kelola (JKPP) yang masih
disepakati oleh semua stakeholder yang terlibat di Panel 4:
belum terverifikasi secara tuntas.
Prinsip dan inisiatif perlindungan dan pengelolaan kawasan I. Penghormatan terhadap HAM dan Hak Tenurial
konservasi harus memasuki masa dan cara baru dengan dalam kawasan konservasi
lebih menghormati dan mewujudkan Hak Asasi Manusia
(HAM), termasuk pengakuan dan perlindungan hak tenurial Cara baru dalam konservasi mengacu pada penghormatan
masyarakat adat dan komunitas lokal (AKKM, Hutan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan prinsip tata kelola
Adat). Hal ini harus juga termasuk penghargaan pada nilai yang baik (keterbukaan, transparansi, partisipatisi, keadilan,
konservasi kearifan lokal dan ilmu dari masyarakat adat akuntabilitas). Laporan dari Pelapor Khusus PBB tentang
yang sudah mengelola wilayahnya secara turun temurun. Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup (Dewan HAM
Oleh karena itu, masyarakat adat merupakan subyek dan PBB, Maret 2017) untuk pertama kalinya menggambarkan
pelaku konservasi yang penting dan harus menjadi bagian pentingnya jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati
dari solusi menuju pola konservasi yang lebih inklusif, efektif, untuk realisasi secara penuh hak asasi manusia, dan
bebas konflik dan kriminalisasi. Adanya jaminan keamanan mengidentifikasi kewajiban Negara (dan pihak-pihak lainnya)
tenurial menjadi insentif yang penting untuk pengelolaan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistem
sumber daya alam secara berkelanjutan dan bertanggung dalam konteks hak asasi manusia.
jawab.
1. Pengakuan Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM)
Prinsip penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dalam kawasan konservasi (KPA/KSA). AKKM atau ICCAs
termasuk hak tenurial dan cara baru dalam pengelolaan (=Indigenous Territories and Community Conserved Areas)
kawasan konservasi versi Indonesia, perlu juga dirumuskan adalah bentuk konservasi dan pemanfaatan sumber daya
dalam bentuk pedoman dan petunjuk teknis agar menjadi alam yang lestari yang dilakukan oleh masyarakat adat
acuan implementatif untuk para staf di lapangan dan bagian dan lokal secara turun temurun dan dikuatkan dengan
dari proses pembelajaran tentang konservasi bersama lembaga dan aturan adat yang terbukti melestarikan
mitra masyarakat adat dan lokal, dan mitra organisasi habitat dan keanekaragaman hayiati bagi generasi masa
pendamping. Pengelolaan kawasan konservasi harus ini dan akan datang.
berubah dari model eksklusif menjadi model inklusif, artinya
para pemegang hak dan pelaku konservasi berpartisipasi (IUCN) WCC-2016-Res-030-EN Recognising and respecting the
untuk menjalankan wewenang dan tanggung jawab atas territories and areas conserved by indigenous peoples and
kawasan konservasi yang mereka kelola bersama. Dan local communities (ICCAs) overlapped by protected areas.
juga mencari harmonisasi antara kebutuhan ruang hidup
masyarakat dan alam, dan keseimbangan antara hak dan • Menyiapkan SATU PETA KONSERVASI INDONESIA yang
manfaat untuk para pelaku konservasi. Cara pandang yang memperlihatkan dan mendaftarkan kontribusi konservasi
menempatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat oleh para aktor konservasi baik negara maupun
dan lokal sebagai ancaman bagi alam dan keanekaragaman masyarakat, dan swasta melalui KPA/KSA, Hutan Adat,
hayati harus diubah. Inisiatif perlindungan dan pengelolaan AKKM.
kawasan konservasi perlu juga mempertimbangan aspek
• Dalam pembahasan RUU Konservasi Keanekaragaman
pemberantasan kemiskinan, dan memberi kontribusi
Hayati dan Ekosistem, KLHK dan DPR memuat pasal
signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan serta
pengakuan keberadaan AKKM dalam kawasan konservasi
kesetaraan bagi lapisan dan kelompok masyarakat,
(KPA/KSA).
termasuk perempuan, yang sering diabaikan dalam
konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang lestari.
2. Pengakuan ‘Hutan Adat’ dengan fungsi konservasi
dalam kawasan konservasi (KPA/KSA) serta lembaga
lokal dan sistim pengambilan keputusan tradisional yang
berlaku dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam berbasis kearifan dan ilmu lokal.
Masalah-masalah yang muncul dalam diskusi adalah: 1. Evaluasi yang berupa pencabutan UU No. 18/2013
1. Ketidakjelasan batas kawasan hutan yang mengakibatkan tentang Pencegahan dan Pemberantasan P3H dan
masyarakat adat dan lokal banyak dikriminalisasi oleh beberapa pasal UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
aparat penegak hukum. APH juga tidak menggunakan seperti pasal 81 dan pasal-pasal pemidanaan;
putusan2 MK berkaitan dengan masyarakat adat dan 2. Perlunya derivasi peraturan terkait Pasal 66 UUPPLH No.
kawasan hutan dalam tindakan-tindakannya di lapangan; 32/2009 terkait Anti Slap untuk pejuang lingkungan dan
2. UU No. 18/2013 dan UU No. 41/1999 banyak memakan keluarganya;
korban petani di lapangan; 3. Perlunya harmonisasi dan sinkronisasi terhadap
3. Para petani di Jawa masih terancam kriminalisasi oleh peraturan perundang-undangan dalam hal penanganan
Perhutani karena konflik berbasis klaim penguasaan konflik tenurial di masyarakat adat;
lahan dan tidak bisa diselesaikan dengan Perhutanan 4. Pemerintah perlu memasukkan Pemeriksaan
Sosial; Pendahuluan dalam rancangan KUHAP;
4. Kasus-kasus perampasan lahan masa lalu oleh PTPN 5. Mendorong penerapan Putusan-putusan Mahkamah
masih belum ada penyelesaiannya sampai sekarang dan Konstitusi di lapangan oleh aparat penegak hukum;
membuat petani terancam dikriminalisasikan;
5. Kriminalisasi mengakibatkan dampak berlipat-lipat, C.2. Kelembagaan dan Kapasitas Personal
selain korban ditahan, juga kekerasan dan intimidasi
terhadap masyarakat, khususnya perempuan dan anak; 1. Perlunya penataaan aktor dan hubungan aktor dalam
6. Tidak ada perlindungan bagi masyarakat adat dan lokal penyelesaian konflik agraria. Kami membagi menjadi 3
yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan yaitu: Aparat Penegak Hukum (APH), Non-APH, dan CSO.
hidup;
C. 3. Lain-lain
Panel 7 mengenai Konflik Tenurial dan Pilihan Mengevaluasi dan Merevisi Kebijakan :
Penyelesaiannya diselenggarakan pada tanggal 26 Oktober 5. Merevisi UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2017 di konferensi internasional tentang Penguasaan khususnya tentang pasal terkait penunjukkan kawasan
Hutan, Tanah dan Tata Pemerintahan untuk Pembangunan hutan dan penetapan masyarakat adat
Berkeadilan. Dihadiri oleh Pemerintah (Kementerian
6. Mencabut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Masyarakat, LSM dan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, Pasal 34.
Swasta, diskusi yang tercipta dalam panel ini berlangsung
cukup menarik. 7. Mencabut UU No. 1 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Seluruh pihak sepakat bahwa konflik merugikan dan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Pasal pasal 16
harus dicegah serta diselesaikan dengan cepat. Tanpa dan 26 yang memberikan ruang kepada investasi, baik
penyelesaian konflik, reforma agraria tidak akan pernah domestik maupun asing, untuk menguasai wilayah pesisir
dapat tercapai. Untuk itu, dirumuskan rekomendasi dalam dan pulau-pulau kecil.
rangka mencegah dan menyelesaikan konflik tenurial, yang 8.
dapat dilakukan oleh Pemerintah Jokowi-Jk dalam sisa
9. Meninjau ulang kebijakan lain terkait proses penetapan
masa pemerintahannya dua tahun ke depan.
Masyarakat Adat dan melahirkan UU Masyarakat Adat
10. Mencabut Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012
A. Kebijakan
tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
Memperkuat dan Mempercepat Implementasi Kebijakan :
11. Mencabut Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011
1. Menjadikan Ketetapan MPR IX/MPR/2001 tentang tentang rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Nasional Tahun 2010-2025
sebagai rujukan dan arah atau landasan pengaturan bagi
12. Merevisi Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang
PA dan PSDA di Indonesia
Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
2. Menjadikan Putusan Mahkamah Kontitusi Republik
13. Merevisi (mempercepat) Permenhut No. 84 Tahun 2015
Indonesia Nomor 3/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 Tentang
tentang Penanganan Konflik Tenurial, sehingga dapat
Pengujian Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia
melibatkan seluruh pihak sampai ke tingkat tapak
Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagai rujukan dan arah 14. Merevisi Permenhut No. P.46 Tahun 2013 tentang Tata
atau landasan pengaturan bagi RA di wilayah Pesisir, laut Cara Pengesahan RPHJP KPH, dengan memasukkan :
dan pulau-pulau kecil Registrasi Tenurial Masyarakat serta Peta Konflik dalam
RPHJP KPH
3. Mengimplementasikan Nota Kesepahaman Bersama
yang ditandatangani oleh 12 Kementerian dan Lembaga 15. Mencabut Peraturan Menteri Agrarian Tata Ruang/
(NKB 12 K/L) dimana salah satu agenda utamanya adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 17 Tahun 2016
penyelesaian konflik tenurial tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil
4. Mempercepat implementasi Kebijakan Satu Peta
dengan memperhatikan peta-peta yang dihasilkan oleh 16.
masyarakat secara partisipatif 17. Mengkaji ulang kebijakan terkait pelibatan TNI dan Polri
dalam penanganan konflik tenurial, mengutamakan
penanganan konflik tenurial tanpa represi
19. Melahirkan kebijakan resolusi konflik yang berperspektif 7. Menaikkan level Direktorat Penanganan Konflik Tenurial
gender dan Hutan Adat menjadi Direktorat Jenderal Penanganan
Konflik. Untuk KKP Penanganan Konflik Tenurial wajib
ditangani oleh DIrektorat Jenderal Penataan RUang Laut.
Lain-lain :
8. Melakukan review serta moratorium ijin konsesi dan HGU
20. Bekerjasama dengan Kementerian Desa serta
Kementerian kelautan dan Perikanan untuk
mensosialisasikan kebijakan terkait pembaruan agraria Daerah
dan pengelolaan sumber daya alam, sehingga seluruh 9. Mendorong pelembagaan sistem pengelolan dan
kebijakan sampai ke masyarakat. penyelesaian konflik tenurial di Daerah (seperti upaya
yang dilakukan di Aceh dan Kalimantan Tengah) dengan
tahapan mulai penggagasan, pengembangan sistem,
B. Kelembagaan
penyelenggaraan sampai monev yang bersifat inklusif
3. Memaksimalkan koordinasi dan peran kelembagaan 2. Melahirkan mediator terkait konflik tenurial yang memiliki
yang selama ini melakukan penanganan terhadap konflik perspektif gender
tenurial agar memiliki konsep yang jelas sesuai arah 3. Internalisasi nilai-nilai perdamaian dan harmoni dalam
Reforma Agraria dan menyentuh akar masalah masy melalui Rencana Pembangunan Nasional sampai
4. Membangun peta jalan penyelesaian konflik lintas dengan Tapak dan kurikulum sekolah
kementerian dan di tiap2 kementerian yang mengurus
tanah dan sumber daya alam D. Instrumen Pendukung
Upaya-upaya penyelesaian masalah tenurial melalui pengembangan Peta Indikatif Alokasi Perhutanan
perhutanan sosial maupun reforma agraria di atas lahan Sosial (PIAPS) baru.
ekosistem gambut perlu mendapatkan prioritas dan e. Perlu menjadikan target percepatan perhutanan social,
perhatian khusus. Pada satu sisi, perhutanan sosial dan reforma agraria, dan restorasi gambut sebagai bagian
reforma agraria di atas lahan ekosistem gambut diharapkan dari Proyek Strategis Nasional agar mendapatkan
mampu mendukung pencapain target perhutanan social berbagai kemudahan untuk pencapaian target yang
dan reforma agraria. Di sisi lain, kompleksitas persoalan telah ditetapkan.
(kerentanan ekosistem-sosial ekonomi) di atas lahan
f. Perlu mengembangkan kelembagaan dan regulasi
ekosistem gambut membutuhkan pendekatan tersendiri
yang memungkinkan pelaksanaan poin a, b, c, dan d
melalui upaya-upaya yang lebih komprehensif di tengah
dalam waktu yang cepat.
kebutuhan kecepatan pencapaian tiga target Presiden yaitu
perhutanan sosial, reforma agraria, dan restorasi gambut. 2. Instrumen hukum dalam regulasi. Pengembangan
berbagai instrument hukum untuk mendorong
percepatan perhutanan social di lahan dengan ekoistem
Oleh karena itu, berikut ini beberapa langkah pokok yang
gambut perlu terus dikembangkan melalui langkah-
perlu segera dilakukan:
langkah pokok berikut ini:
a. Memperkuat instrument penaatan bagi seluruh pelaku
1. Konseptual pemecahan masalah dan pembentukan
usaha untuk perlindungan lahan ekosistem gambut
kebijakan. Lahirnya kebijakan perlindungan ekosistem
baik dengan pendekatan command and control
gambut berimplikasi pada kebutuhan penyesuaian
melalui pengendalian dan pengawasan izin dengan
kebijakan lainnya. Beberapa langkah-langkah kebijakan
mempublikasikan hasil pengawasan kepada publik,
yang perlu dilakukan, antara lain:
maupun dengan pendekatan voluntary melalui skema
a. Perlunya kebijakan baru penetapan fungsi ekosistem insentif dan disinsentif bagi perlindungan gambut
gambut yang tidak hanya berorientasi pada aspek baik oleh masyarakat maupun dunia usaha. Skema
biofisik saja, melainkan juga kerusakan ekosistem ini dapat dikaitkan dengan skema pajak, layanan jasa
yang terjadi, social ekonomi masyarakat, termasuk hak keuangan, layanan publik yang diberikan pemerintah,
penguasaan yang ada di atas lahan gambut maupun dan sebagainya.
konflik tenurial di atasnya.
b. Pengembangan instrument insentif bagi masyarakat
b. Perlu mempercepat pencapaian one map policy yang yang akses kelolanya terbatas akibat penetapan fungsi
mengintegrasikan berbagai data pada huruf a di atas ekosistem gambut lindung perlu terus dikembangkan.
sebagai basis pengambilan kebijakan berbagai sektor Masyarakat yang mengelola gambut fungsi lindung
termasuk pencapaian perhutanan social, reforma misalnya, perlu mendapatkan dukungan yang lebih
agraria dan restorasi gambut. besar dalam mendapatkan akses pengelolaan, baik
c. Perlu prioritas untuk mempercepat capaian infrasruktur usaha, transisi kerja maupun akses pasar
perhutanan social dan reforma agraria di atas lahan bagi kegiatan yang adaptif sesuai fungsinya. Hal ini
ekosistem gambut dengan pendekatan restorasi selaras dengan tanggung jawab mereka yang lebih
gambut. Ketiganya merupakan komitmen Presiden. besar dalam melindungi fungsi gambut lindung.
Kebijakan ini juga perlu diikuti dengan pengembangan c. Perlunya pengembangan kebijakan penganggaran
skema ekonomi baru yang adaptif bagi lahan bagi perhutanan social maupun reforma agraria di
ekosistem gambut. atas lahan ekosistem gambut melalui pengembangan
d. Perlu mengintegrasikan pemetaan fungsi ekosistem program dalam pos APBN maupun APBD. Selain
gambut, social ekonomi dan penguasaan, serta peta itu perlu digali peluang pembiayaan lainnya, antara
konflik tenurial, dan terget restorasi gambut dalam lain dana desa maupun inovasi-inovasi pembiayaan
lainnya yang berkelanjutan.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat dan issue lingkungan Kedua, mendorong akses yang lebih mudah dalam akses
bukan dua hal yang diametrikal. Yang diperlukan untuk terhadap modal (finansial), pasar, teknologi, informasi dan
menjembatani keduanya adalah mencari ”the right kind of proses pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan
growth”, yakni selain memenuhi pertumbuhan ekonomi, tata kelola hutan.
juga mampu memelihara lingkungan bahkan menciptakan • Meningkatkan posisi tawar kelembagaan dalam
pertumbuhan ekonomi baru dari sumber daya hutan dan kemitraan.
lingkungan tanpa merusaknya. Sehingga bisa dijelaskan
• Pemanfatan sumber daya lokal semaksimal mungkin –
bahwa ekonomi berbasis sumber daya hutan sebagai
memutar ekonomi lokal
kegiatan perekonomian yang mampu meningkatkan
kesejahteraan dan keadilan sosial di satu sisi, tetapi di sisi • Peningkatan Kapasitas baik dari aspek teknis, manajerial
lain mampu menghilangkan dampak negatif pertumbuhan dan bisnis
ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya • Perluasan jaringan pasar, memerbanyak innovator dan
hutan. kolaborasi dari berbagai pihak
• Penguatan dokumen, data dan informasi kelembagaan.
Maka, praktek-praktek usaha kehutanan masyarakat
(Community Forest Enterprise), industri dan rantai nilai yang • Mengefektifkan fungsi layanan pengembangan bisnis
mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan harus (business development services)
diprioritaskan sebagai pendorong utama pertumbuhan • Forum bisnis yang regular
ekonomi di Indonesia. Pengembangan ekonomi melalui
ragam investasi dan inovasi dibidang kehutanan harus
mempertimbangkan dimensi budaya dan sosial termasuk
inisiatif keberlanjutan yang tepat melaui perencanan dan
mekanisme partisipatif yang efektif dari masyarakat.
Pada Kamis, 26 Oktober 2017, diskusi Panel 10 dengan tema Dalam panel ini semua pihak setuju bahwa penghormatan
“Peran Swasta dalam Menghormati Hak Tenurial/HAM”. Hak Asasi Manusia dalam operasi bisnis tak bisa ditawar lagi,
Dalam Panel tersebut hadir beragam pihak, diantaranya selain karena memang mengikuti peraturan perundang-
perusahaan, masyarakat sipil, perwakilan dari DirjenHAM undangan dan menjaga keberlanjutan bisnis, hal tersebut
Kemenkumham, Komnas HAM, konsultan bisnis, asosiasi juga menjadi tuntutan pasar.
perusahaan, dan serikat tani.
Mengemuka juga dalam diskusi, bahwa kalau nanti aka nada
Narasumber: platform bersama antara multipihak, maka harus belajar
1) Prof Hariadi Kartodihardjo dari IPOP. Kedekatan dengan Pemerintah juga harus kuat
2) Nur Kholis (Ketua Komnas HAM) agar pelaksanaannya berjalan baik. Misalnya diusulkan
dengan Kantor Staff Presiden.
3) Ignatius Purnomo (Komisaris Utama PT. Toba Pulp
Lestari)
Berikut ini beberapa yang menjadi rekomendasi yang
4) Haskarlianus Pasang (Head of Sustainability Policy and
dibahas bersama dalam Panel:
Compliance PT. SMART Tbk)
5) Marcus Colchester (FPP)
I. Untuk Pemerintah
6) Rudi (WALHI Jambi)
• Mendorong KPK tetap memprioritaskan pencegahan dan
7) Anselmus Amo (SKP-Kame) penindakan korupsi SDA
• Pelaksanaan perbaikan dan identifikasi perbaikan
Penanggap: regulasi nasional terkait praktek bisnis
1) Tiur Rumondang (RSPO Indonesia) • Penetapan substansi pencegahan korupsi secara
2) Andi Taletting (Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia – operasional
Kemenkumham) • Diharapkan GCG menjadi RENAKSI bersama dan
3) Andiko (AsM Law Office) terintegrasi dengan GNSDA/Korsub KPK
4) Delima Silalahi (KSPPM) • Perlu mengembangkan sistem online untuk PNBP dan
adanya sistem pengendalian perizinan
Diskusi berjalan dengan optimal dan berbagai bisa bisa • Transparansi pengelolaan bisnis SDA, termasuk
memberikan segala pendapatnya secara langsung, berbagai membuka informasi HGU ke masyarakat
inisiatif-inisiatif penghormatan hak tenure dan HAM yang • Legal reform dalam relasi korporasi dan masyarakat:
dilakukan perusahaan, banyak sekali mendapak tanggapan masyarakat hanya perlu menyewakan tanah mereka,
dan kritik dari masyarakat sipil, khususnya dalam tataran tanpa harus melepaskan hak mereka sebagaimana dalam
implementasi. konsep HGU; ini perlu dalam rangka mengganti sistem
perijinan dan tenur yang masih mewarisi sifat kolonial
Komnas HAM juga dapat memaparkan Rencana Aksi yang memberi ruang terjadinya land grabbing dengan
Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang telah sistem baru yang mengakui hak masyarakat
dikeluarkan pada Juni 2017 lalu. Menurut Prof Hariadi, • Untuk pemerintah agar melakukan pemantauan dan
hal ini seharusnya bisa menjadi peluang untuk terus kontrol periodik terhadap pelaksanaan komitmen dan
melanjutkan apa yang pernah dilakukan KPK melalui GN- kinerja HAM korporasi
PSDA.
• Segera melaksanakan agenda hukum Pengakuan dan
perlindungan hukum MHA
• Kapasitas masyarakat harus ditingkatkan dalam konteks • Harus punya kerjasama yang kuat dengan pemerintah
reskon, agar dapat menjawab persoalan perlunya terkait platform tersebut. Misalnya dengan KSP sebagai
pengimbangan kuasa leading actor
• Mendorong terjadinya perubahan dalam partisipasi • Perlu pendekatan baru: komunikasi dialogis, partisipatif,
masyarakat menjadi partisipasi penuh dan efektif dan mengutamakan negosiasi.
• Mendorong MHA melakukan perencanaan pemanfaatan • Penataan kembali wilayah adat, melalui pemetaan
wilayah adat sesuai kebutuhan mereka, seperti rencana partisipatif (baru selesai memetakan batas luar wilayah
pemanfaatan hutan adat adat suku Yei)
• Rekomendasi untuk LSM perlu konsorsium untuk LSM • Unsur gender, segala yang diupayakan korporasi,
yang bergerak di isu concession reform, baik di wilayah pemerintah dan CSO harus mencerminkan pelibatan
hutan, perkebunan, maupun pesisir, laut dan pulau-pulau perempuan dan kaitannya dengan sumberdaya alam.
kecil / Baik dalam pemetaan, konsultasi FPIC, mediasi, negosiasi
hingga ganti rugi dan konpensasi.
• CSO memantau pelaksanaan berbagai komitmen
perusahaan akan penghormatan Hak Asasi Manusia dan • Pelibatan asosiasi bisnis atau multistakeholder group
komitmen sosial/lingkungan hidup lainnya.
• CSO mau menyalurkan laporan tentang praktek korporasi Pengelola Panel 10:
di lapangan kepada pihak perusahaan melalui mekasime Dirjen PHPL – KLHK; Komnas HAM; Kemitraan; ELSAM;
yang disetujui bersama sebelumnya PUSAKA; IBCSD; FPP
IV. Masyarakat
• Masyarakat perlu memanfaatkan mekanisme pengaduan
yang disediakan perusahaan dan atau pemerintah
• Masyarakat harus melakukan perubahan dalam
partisipasi mereka menjadi partisipasi penuh dan efektif
Akses thd
Tenure, fakta
Politik dan regulasi hukum, ekonomi Fungsi lembaga
lapangan
implementasi HAM & pencegahan pelaksana
& fungsi kawasan
kriminalisasi