Anda di halaman 1dari 8

TAP MPR RI No.

IX/MPR-RI/2001 : Upaya Meletakkan Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Komprehensif
A. Hakim Basyar
*)

A. Pendahuluan
Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 menghasilkan sebuah ketetapan yang penting bagi masa depan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dengan disyahkannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, ada titik harapan dari proses reformasi di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan. Didesakkannya permasalahan ini menjadi agenda ST MPR RI, pun melewati proses yang cukup panjang dimana inisiasinya antara lain dimotori oleh Kelompok Kerja Organisasi Non Pemerintah untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang terus mengawal proses perumusan kebijakan ini, sampai menjadi sebuah ketetapan MPR. Secara substansial, keluarnya ketetapan ini dilandasi kesadaran pemikiran tentang kegagalan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup sebelumnya. Dalam konsideran TAP MPR tersebut dijelaskan beberapa peta permasalahan yang membuat keputusan politik ini lahir, diantaranya (a) sumber daya agraria dan sumber daya alam harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur; (b) adanya persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam; (c) pengelolaan sumber daya agaria dan sumber daya alam selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik; (d) peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; serta (e) pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik; Selain daftar panjang permasalahan sebagaimana disebutkan dalam konsideran TAP MPR, terdapat kecemasan kuat dari berbagai pihak bahwa bencana ekologis tetap menghantui dibalik kecendrungan yang bersifat global maupun nasional. Pada tataran global, terdapat peningkatan kecendrungan (1) bersikukuhnya negara maju untuk memposisikan Indonesia sebagai negara pengutang yang baik, konsumen yang baik, penanggung beban ekologi yang sabar, bahkan sebagai entitas baru yang memiliki kemampuan competibility yang tinggi dengan kebutuhan sistem ekonomi, politik dan ideologi global yang eksploitatif, (2) menguatnya kekuatan sindikasi permodalan internasional yang memiliki mobilitas permodalan yang tinggi, dan mampu menjangkau sekaligus hingga ke basis-basis sumber daya alam maupun pasar domestik. Pada tataran nasional dan lokal, ada kecendrungan (1) ketidakpastian proses demokratisasi dan menguatnya gejala bad governance pada semua tingkatan kelembagaan negara, (2) orientasi dan pilihan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dan pembayaran hutang yang berasal hasil eksploitasi sumber daya alam. Dan sejalan dengan otonomi daerah, menimbulkan ancaman dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, diantaranya : (1) kebijakan pengelolaan sumber daya alam daerah *
)

A. Hakim Basyar, S.Sos, M.Si adalah Alumni Program Studi Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia-red.

C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf

Halaman 1

tertentu mempengaruhi atau merugikan daerah lain, (2) konflik penguasaan sumber daya alam antar daerah dan atau antar kelompok masyarakat, (3) eksploitasi sumber daya alam untuk mengejar target pendapatan asli daerah (PAD) Paska Ketetapan MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tersebut, selanjutnya menimbulkan beberapa pertanyaan dari publik. Dapatkah TAP MPR tersebut dijadikan sebagai pijakan yang optimistis dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang tertuang dalam konsideran kebijakan di atas? Apakah TAP MPR tersebut dapat menjadi awal proses keterlibatan publik yang lebih luas dalam proses-proses legislasi bagi perubahan kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam? Ataukah, lahirnya ketetapan ini hanya ditujukan sebagai jawaban atas desakan reformasi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang sekedar sebagai pemuas dan obat penenang bagi publik? Tulisan berikut ini akan mencoba memberikan pemikiran yang dapat membantu dalam meletakkan kerangka kebijakan pengelolaan sumber daya alam secara komprehensif, berkeadilan dan berkelanjutan.

B.

Meletakkan Kerangka Kerja Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Reformatif

Keputusan politik berupa TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001 yang menggariskan urgensi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebenarnya bukanlah kemajuan baru, meskipun secara substansial rumusan yang tertuang sangat signifikan. TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, sebagai produk Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, telah mencatat perubahan yang mendasar dalam merumuskan pijakan pembangunan nasional. GBHN 1999-2004 telah menuangkan Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (lihat Tabel 1). Namun, sejak GBHN tersebut dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional, belum terdapat kebijakan yang secara signifikan mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Apakah dengan begitu, TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001 akan mengalami nasib yang sama?
Tabel 1: Arah Kebijakan PSDA di GBHN 1999 2004 dan TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001 Arah Kebijakan Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dalam GHBN 1999 2004 Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam : 1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsipprinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya

1.

2.

3.

4.

Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara

2.

3.

4.

C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf

Halaman 2

5.

selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang-undang. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.

5.

6.

meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.

1. Penyatuan Tema Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Terdapat penyatuan dua tema; yakni pembaruan agraria dan pengelolaan SDA, yang dibingkai dalam TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001. Hal ini mendapat respon positif dari berbagai pihak khususnya yang memiliki gagasan agar pengelolaan sumber daya alam dan agraria dilakukan secara holistik, meskipun ada yang meragukan penyatuan tersebut akan dilakukan setengah hati dimana tidak ada integrasi konseptual yang memadai diantara dua tema tersebut. Respon positif diberikan dengan alasan (a) salah satu sebab terjadinya pemisahan ini justru bersumber dari watak sektoralisme hukum dan departemenisme kekuasaan negara atas tanah dan SDA. Hal tersebut telah menyesatkan publik mengenai kata agraria itu menjadi urusan administrasi pertanahan dan menempatkan persoalan pengelolaan SDA pada ruang lain, (b) disamping itu, tidak hanya karena secara substansial keduanya mempunyai kesamaan, juga untuk meletakkan landasan pembaruan penyelesaian masalah secara fundamental dalam bidang agraria dan pengelolaan SDA baik dalam penguasaan maupun pengelolaan, dan (c) untuk memberikan acuan komprehensif dari berbagai sektor yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan SDA dalam melakukan pembaruan seperti masalah sistem penguasaan yang didalamnya termasuk pemilikan, sewa-menyewa, bagi hasil dan sistem pengelolaan yang mencakup perencanaan, pemanfaatan, perlindungan, konservasi, dan pemantauan. Aspek pembaruan yang mencakup keseluruhan kawasan hutan, pertanian, perkebunan, pesisir laut, pertambangan, dll. Secara substansial, dalam pandangan Konsorsium Pembaruan Agraria, sebuah organisasi non pemerintah yang aktif dalam inisiasi TAP MPR tersebut, bahwa istilah agraria dengan pengelolaan SDA sebenarnya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keduanya bertujuan untuk mencapai kemakmuran bersama, kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan. Dalam prakteknya, penekanan istilah agraria memang seringkali lebih menukik pada penguasaan dan pemanfaatan tanah atau tanah yang menjadi wadah dari keberadaan SDA lainnya. Sedangkan titik tolak pengelolaan SDA adalah pola pemanfaatan SDA yang terkandung (terwadahi) dalam tanah tersebut. Dengan demikian, tidaklah mungkin melakukan pembaruan pengelolaan SDA untuk mencapai kesejahteraan, keadilan dan keberlanjutan apabila pembaruan agraria tidak dilakukan. 2. Perubahan Paradigma Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam pengelolaan SDA selama ini, dinilai telah terjadi kesalahan dalam meletakkan paradigma pembangunan. Pengelolaan SDA seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara luas, karena sesuai mandat UUD Pasal 33 ayat (3) adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, secara

C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf

Halaman 3

berkeadilan dan berkelanjutan. Namun yang terjadi adalah pengelolaan SDA lebih menitikberatkan asas ekonomi dimana eksploitasi SDA sebagai sumber devisa namun tidak secara cermat memperhitungkan biaya-biaya lingkungan. Titik berat ini telah menimbulkan dampak (a) tidak terwujudnya kesejahteraan rakyat, dan (b) kerusakan SDA dan lingkungan hidup makin parah. Secara kritis dapat dijelaskan bahwa konsepsi pengelolaan SDA meletakkan pada paradigma yang berbasis negara. Implikasi paradigma ini adalah memberikan wewenang penuh pada negara untuk menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan SDA. Hal ini dicirikan dengan bentuk institusi dan kebijakannya yang sentralistik, pendekatan atas-bawah, orientasi target ekonomi, perencanaan makro dan penganggaran ketat. Kondisi ini rentan bagi masuknya kelompok kepentingan yang bermaksud mandapat keuntungan atas pengelolaan SDA ini dan menjauhkan partisipasi para pihak secara luas. Selanjutnya, jika kembali ke mandat pasal 33 ayat (3), maka pertanyaan yang harus dijawab secara lugas adalah siapa yang paling berkepentingan secara primer dengan pengelolaan SDA. Masyarakatlah yang justru sebagai pihak paling punya kepentingan. Masyarakat yang selama ini hidup di sekitar hutan, misalnya, yang banyak dirugikan dan menjadi lebih miskin, bukan karena tidak terampil dan tidak tahu cara mengelola sumber daya hutan tersebut, akan tetapi dikarenakan lemah dan tidak berkuasa dalam konstelasi politik lokal dan nasional. Kerusakan SDA bukan karena ketidaktahuan masyarakat setempat, melainkan karena kebijakan dan keputusan pengelolaan SDA lebih banyak dibicarakan dan ditetapkan di luar lingkungan masyarakat setempat. Masalah utama yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan, adalah mereka menghuni hutan yang merupakan sumber daya yang sangat diinginkan oleh kelompok yang lebih berkuasa dibandingkan mereka. Pada titik inilah, perubahan paradigma pengelolaan SDA sangat signifikan dilakukan sebagai penterjemahan pasal 33 ayat (3). 3. Reformasi Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Meskipun telah diluncurkan TAP MPR yang mengatur pengelolaan SDA, namun implementasi dari TAP MPR tersebut dalam kerangka kebijakan yang implementatif akan sangat tergantung pada ada tidaknya kemauan politik pemerintah. Apalagi jika TAP MPR tersebut, sekedar sebagai instrumen politik untuk memuaskan publik dan mengkesampingkan penataan hukum (kebijakan) dan kelembagaan dalam pengelolaan SDA. Kesungguhan pemerintah dan politisi yang mempunyai kekuatan dalam pengambilan keputusan sangat diharapkan oleh publik dalam penataan keagrariaan dan pengelolaan SDA dengan melakukan perubahan yang signifikan berbagai ketentuan perundangan sektoral yang selama ini memberi legitimasi bagi eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam. Meskipun, implikasi dari pembaruan tersebut justru akan membatasi kekuasaan pihak tersebut dalam pengelolaan SDA yang selama ini dapat memberi pemasukan bagi biaya-biaya politik. Serta, akan semakin memperluas partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan pembaruan keagrariaan dan pengelolaan SDA. Demikian halnya dengan penataan sistem pengendalian lingkungan hidup, jika akan berakibat memojokkan berbagai kalangan industri, termasuk perusahaan multinasional, yang selama ini banyak menggunakan teknologi negara industri maupun sebagai pemasok kebutuhan bahan baku atau konsumsi masyarakat negara-negara industri maju. Komitmen politik pemerintah dan politisi akan mendapatkan ujian dan penilaian dari publik pada permasalahan ini. Menurut Kelompok Kerja Ornop untuk Pembaruan Agraria dan PSDA ada beberapa agenda penting yang harus dilaksanakan oleh MPR agar ketetapan yang dilahirkan tersebut benar-benar bermanfaat bagi masyarakat antara lain : a. adanya penyelesaian konflik dalam masyarakat melalui inventarisasi konflik sumber daya alam yang terjadi pada masa lampau sampai sekarang, pembentukan sebuah

C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf

Halaman 4

badan nasional yang bertugas khusus memfasilitasi proses penyelesaian konflik, serta pembentukan badan pengadilan ad hoc yang menerima dan melanjutkan kerja badan nasional dengan mengeluarkan putusan-putusan berkekuatan hukum agar pihak yang bersengketa mematuhinya; b. adanya penataan struktur penguasaan sumber daya agraria dan sumber daya alam, pemulihan ekosistem yang telah rusak, pembaruan peraturan perundang-undangan dengan meninjau ulang peraturan perundang-undangan sektoral dan daerah yang berkaitan dengan sumber daya agraria/sumber daya alam, membangun kembali payung perundangan sebagai pegangan semua peraturan sektoral dan daerah; c. mengupayakan tercapaianya integrasi dan sinkronisasi kebijakan antar sektor, serta mengusahakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam melalui perencanaan anggaran negara. Bagi kalangan yang menghendaki amandemen Pasal 33 UUD 1945, akan menunggu kerja DPR dan pemerintah dalam menterjemahkan TAP MPR dalam kebijakan yang lebih operasional, seperti UU. Jika dua institusi tersebut lambat meresponnya, maka dalam Sidang Tahunan MPR 2002, tuntutan terhadap amandemen pasal 33 UUD 1945 akan muncul lagi. Khususnya yang berkaitan dengan substansi hak asasi manusia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, bagi generasi sekarang dan mendatang, yang berarti harus terdapat undang-undang yang menjamin atas hak tersebut. Desakan amandemen pasal 33 UUD 1945 dialamatkan untuk menambah pasal-pasal yang dapat menterjemahkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis dalam pengelolaan sumber daya alam. Termasuk juga substansi yang mengatur kelembagaan dan mekanisme penyelenggaraan negara yang mendukung tuntutan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan kelembagaan yang menjamin partisipasi luas para pihak. Disamping agenda penting yang harus diselesaikan sebagai implikasi dari TAP MPR, adalah mengkaji ulang perundangan-undangan bidang sumber daya alam yang bersifat sektoral seperti UU pertambangan, UU kehutanan, dan lain-lain. Berpijak atas hal ini, perlu ada payung kebijakan pengelolaan sumber daya alam secara utuh menyeluruh dan komprehensif, sebagai bagian dari reformasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Langkah berikutnya, reformasi kebijakan harus diikuti dengan reformasi kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini karena persoalan keberadaan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam akan sangat mempengaruhi efektifitas pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan arah reformasi kebijakan itu sendiri. Tentunya hal ini sangat berkaitan dengan reformasi atas berbagai departemen sektoral yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Perikanan dan Kelautan. Beberapa desakan yang mengemuka adalah perlu terdapat kaji ulang atau peninjauan kembali sentralisasi dan sektoralisasi pengelolaan sumber daya alam yang selama ini mengakibatkan pengelolaan tidak terintegrasi sehingga memperparah degradasi lingkungan hidup. 4. Parameter Kebijakan PSDA bagi Pembangunan Berkelanjutan Reformasi pengelolaan sumber daya alam sebagai prasyarat bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dapat dinilai dengan baik apabila terumuskan parameter yang memadai. Secara implementatif, parameter yang dapat dirumuskan diantaranya:

a. Desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup

C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf

Halaman 5

dengan mengikuti prinsip dan pendekatan ekosistem, bukan administratif. b. Kontrol sosial masyarakat dengan melalui pengembangan transparansi proses pengambilan keputusan dan peran serta masyarakat . Kontrol sosial ini dapat dimaknai pula sebagai partisipasi dan kedaulatan yang dimiliki (sebagai hak) rakyat. Setiap orang secara sendiri-sendiri maupun berkelompok memiliki hak yang sama dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi pada pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. c. Pendekatan utuh menyeluruh atau komprehensif dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pada parameter ini, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup harus menghilangkan pendekatan sektoral, namun berbasis ekosistem dan memperhatikan keterkaitan dan saling ketergantungan antara faktor-faktor pembentuk ekosistem dan antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. d. Keseimbangan antara eksploitasi dengan konservasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga tetap terjaga kelestarian dan kualitasnya secara baik. e. Rasa keadilan bagi rakyat dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Keadilan ini tidak semata bagi generasi sekarang semata, tetapi juga keadilan untuk generasi mendatang sesudah kita yang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik. Parameter di atas, jika dapat diterapkan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidupo merupakan pendorong terwujudnya penyelenggaraan kepemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang baik (good environmental governance); dimana sumber daya alam dikelola, diatur dan diawasi oleh institusiinstitusi negara yang diakui legitimasinya oleh rakyat, kompeten, secara terbuka, demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Lima parameter di atas tersebut, pernah dipakai WALHI sebagai instrumen untuk menilai agenda program lingkungan partai politik peserta Pemilu 1999, yang ketika itu penulis terlibat didalam penelitian tersebut. Salah satu kesimpulan yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah bahwa keadilan bagi rakyat merupakan agenda yang mendapatkan tingkat prioritas utama yang harus segera dilakukan. Tingkat prioritas berikutnya secara berurutan adalah kontrol sosial masyarakat, keseimbangan eksploitasi dan konservasi; utuh menyeluruh atau komprehensif dan desentralisasi. Hasil tersebut dapat menggambarkan tahap-tahap yang perlu mendapatkan perhatian terlebih dahulu dalam pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Namun demikian, lima parameter tersebut tetap sama pentingnya bagi penyelenggaraan pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. 5. Menggalang Komitmen Berbagai Pihak Komitmen politik dari berbagai pihak untuk menterjemahkan TAP MPR dalam kebijakan yang lebih operasional adalah aspek penting untuk melihat apakah TAP MPR tersebut sebatas instrumen kebijakan pemuas bagi publik dan ibarat macan ompong. Pada bagian depan penulis telah sampaikan tentang respon yang harus segeras dilakukan oleh pemerintah dan legislatif. Selain itu, partai politik sebagai institusi yang juga punya kewajiban mengartikulasikan aspirasi rakyat dituntut pula responsif. Saat yang tepat sekarang ini adalah publik menagih janji agenda-agenda yang dulu ditawarkan menjelang pemilu 1999. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, sebagaimana penelitian WALHI, menempatkan prioritas utama kerja dalam program peningkatan kualitas demokrasi maupun pemulihan ekonomi Indonesia. Salah satu langkah kerja untuk mencapai tujuan strategis ini, adalah membentuk

C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf

Halaman 6

pemerintahan yang kredibel, bersih dan berkualitas dimana dalam menentukan personalia kabinet diantara berbagai kriteria, PDIP menempatkan syarat dimilikinya komitmen perjuangan menegakkan demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup sebagai kriteria utama. Dengan demikian, indikator komitmen pada lingkungan hidup diangkat oleh PDIP sebagai prinsip dalam menyusun personalia pemerintahan sebagai amanat pelaksanaan program partai. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) termasuk partai politik yang dalam agenda yang ditawarkan ke publik cukup merespon isu-isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. PKB dalam platformnya, melihat bahwa komprehensifitas pengelolaan kekayaan alam dengan mempertautkan antara upaya pemberdayaan masyarakat dengan usaha konservasi lingkungan adalah suatu keniscayaan. Bahwa partisipasi rakyat lebih bermakna sebagai sesuatu yang berproses menjadi upaya pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Partai Amanat Nasional (PAN), ketika itu, dalam agendanya memiliki keberanian untuk mengagendakan program-program perjuangan dalam melestarikan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam kerangka waktu yang ketat. Disebutkan bahwa dalam 100 hari pertama penyelenggaraan pemerintahan, PAN akan berjuang untuk mendorong terbentuknya kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup yang cukup kuat dan disegani, melalui kewenangan yang cukup, struktur yang baik, personil yang dapat diandalkan, budaya kerja dengan komitmen tinggi, terbuka, jujur serta dibekali anggaran yang memadai. Masih banyak lagi agenda-agenda program bidang lingkungan hidup yang ketika itu ditawarkan oleh partai politik ke publik menjelang Pemilu 19999. Ketika kader-kader terbaik dari partai politik telah menduduki jabatan strategis di lembaga legislatif dan eksekutif maka saatnya untuk merealisasikan agenda-agenda yang dulu ditawarkan tersebut. Tanpa adanya komitmen dari elit partai politik, maka good environmental governance tidak akan terwujud di Indonesia. Kalangan yang selama ini kerap mendorong advokasi reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam adalah organisasi non pemerintah, yang memiliki perhatian pada masalah lingkungan hidup dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Inisiasi para pihak ini, diantaranya dapat dilihat dari sejarah dirumuskannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001, semakin gencar dilakukan ketika Soeharto turun dan kekuatan masyarakat sipil menemukan ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Juga dukungan dari kalangan akademisi, baik yang langsung terlibat dalam organisasi non pemerintah maupun institusi pendidikan (perguruan tinggi). Pihak lain yang memiliki peran signifikan dalam eksploitasi SDA dan berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan hidup adalah kalangan swasta (pengusaha/investor). Investasi yang mereka tanamkan untuk eksploitasi SDA memang memberikan pemasukan devisa bagi negara, namun yang harus diperhatikan bahwa investasi tersebut (a) harus memperhitungkan biaya kerusakan lingkungan dan upaya rehabilitasinya, (b) memberikan rasa keadilan bagi generasi mendatang. Ketika reformasi bergulir, semakin marak protes rakyat dan kelompok yang memiliki kepedulian pada msalah pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, dan oleh pemerintah dan legislatif direspon dengan baik. Namun ternyata oleh kalangan pengusaha ditanggapi kontraproduktif. Lebih responsifnya pemerintah dan legislatif pada masalah SDA dan lingkungan hidup dan tuntutan dari rakyat yang menghendaki keadilan dalam pemanfaatan SDA, dinilai pengusaha (baik yang bergerak di perusahaan multinasional, maupun nasional dan lokal) sebagai isyarat makin meningkatnya resiko investasi asing di Indonesia, sehingga isu yang berkembang adalah pertentangan antara investasi dengan lingkungan hidup. Banyak ditemukan konflik yang terjadi dalam pemanfaatan kekayaan alam di Indonesia, yang meliputi beragam tipologinya seperti (a) konflik antara pemerintah

C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf

Halaman 7

(melalui kebijakan yang dikeluarkan dan aparatnya) dengan masyarakat, (b) konflik antara pemerintah dengan kalangan pengusaha, (c) konflik antar kelompok masyarakat. Bahkan seiring dengan otonomi daerah, wilayah konflik juga semakin melebar, seperti (a) konflik antar daerah dengan daerah, (b) konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, (c) konflik antar masyarakat pada daerah tertentu dengan masyarakat pada daerah lain. 6. Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat Secara mendasar, kerangka kerja kebijakan pengelolaan SDA diletakkan sebagai instrumen untuk menterjemahkan mandat UUD 1945 pasal 33. Pada ayat (3) menyebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya, bahwa dasar demokrasi ekonomi; produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Dengan demikian, mandat pasal 33 melarang adanya penguasaan SDA di tangan orangseorang. Monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam pengelolaan SDA adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33. Tentang siapa yang disebut rakyat, tidaklah signifikan untuk diperdebatkan seperti yang selama ini banyak dilakukan oleh pihak yang secara sinis memandang konsep perekonomian rakyat. Rakyat adalah konsepsi politik; the common people; rakyat adalah orang banyak. Bukan orang-seorang, tetapi kepentingan publik atau kolektif secara luas. Dengan begitu, kepentingan seorang konglomerat misalnya, orang akan paham hal tersebut sebagai kepentingan rakyat atau bukan.

A. Penutup
Hal penting untuk dirumuskan bahwa kebijakan pengelolaan SDA dapat mengidentifikasi dengan jelas pihak-pihak yang berkepentingan yang terlibat, hubungan antar pihak berkepentingan dengan kondisi SDA. Kebijakan juga seharusnya dapat meminimumkan hal-hal yang bersifat distortif atau multi-interpretatif baik dalam substansi, interpretasi maupun implementasi sehingga unsur-unsur ketidakpastian dan penyimpangan dapat dihindari. Banyak pihak yang menunggu tindak lanjut setelah TAP MPR tersebut. Tentunya semua berharap bahwa TAP MPR tersebut bukan sebagai retorika politik semata, yang tidak membumi, melainkan sebagai ikhtiar untuk menterjemahkan mandat UUD 1945 pasal 33 ayat (3), sebagai spirit dalam pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyatn

Daftar Pustaka

WALHI; Rekomendasi Kebijakan Nasional Pengelolaan dan Pelestarian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Diajukan kepada MPR dan DPR RI 1999/2004. WALHI; Hasil Kajian : Agenda Program Lingkungan Partai Politik Peserta Pemilu 1999. Konsorsium Pembaruan Agraria, Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil dan Berkelanjutan, 2001.

C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 27\Abdul Hakim Basyar.rtf

Halaman 8

Anda mungkin juga menyukai