Oleh :
Amalia Zulfa Pritasari
NIM. 226010101111005
3
Haslinda Mohd Anuar, Environmental Rights in Malaysia: Public Participation Under
EIA, DISERTASI, Law School Newcastle University, 2015, hlm. 2.
tengah masyarakat dan mengutamakan keberlanjutan untuk generasi yang akan
datang. Pernyataan-pernyataan seperti itu juga sudah sangat sering digaungkan
di berbagai konvensi atau perjanjian internasional secara global. Negara-negara
di dunia melihat bahwa adanya urgensi yang sangat kuat untuk mengatur secara
khusus apa yang menjadi kebutuhan perlindungan lingkungan hidup.
Dari masa ke masa terlihat juga bahwa mulai ada pergeseran paradigma
manusia dari antroposentrisme, yang mana dahulu manusia hanya menjadikan
dirinya sebagai pusat dari dunia dan kehidupan, namun saat ini paradigma
tersebut sudah mulai tergantikan dengan paradigma ekosentrisme yang
bermakna bahwa lingkungan hidup juga perlu dijadikan pusat kehidupan dan
memiliki koneksi dengan kehidupan makhluk lainnya. Paradigma ini kemudian
yang membawa kepada pola pikir manusia yang mulai sadar akan pentingnya
menjaga lingkungan hidup. Saat dunia internasional secara global telah
menyatakan urgensi adanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
negara-negara yang berada di naungannya pun terlibat dan turut banyak
meratifikasi ke dalam berbagai bentuk undang-undang yang disesuaikan dengan
negaranya.
Indonesia memiliki idelogi pancasila, yang mana tiap silanya membentuk
sebuah hirarkis-piramidal yang saling berkaitan dan berjenjang. Dalam seluruh
silanya, secara tidak langsung sejatinya telah mencerminkan adanya keadilan
lingkungan.4 Namun, pemerintah tidak berhenti begitu saja memandang
pentingnya perlindungan hak lingkungan. Dalam konstitusi UUD NRI 1945 secara
konkret diterangkan dalam Pasal 28H ayat (1) bahwa setiap orang berhak
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kemudian Indonesia masih
memiliki payung hukum soal Lingkungan Hidup yakni Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang telah
direvisi beberapa substansinya dalam UU Cipta Kerja. Secara garis besar,
UUPPLH telah menyadur 3 poin penting yang ada di dalam Konvensi Aarhus
1998. Akses informasi dan partisipasi publik secara tegas dan konkret telah
disebutkan dalam Pasal 26 ayat (2) UUPPLH yang berbunyi, “Perlibatan
masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang
4
Riana Susmayanti, Refleksi Keadilan Lingkungan dalam Pancasila Pada Keputusan
Mahkamah Agung Nomor 3555K/PDT/2018 dalam Konferensi Nasional Online HAM,
Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19:
Tantangan untuk Keilmuan Hukum dan Sosial, 2020, hlm. 6.
transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”,
dalam hal ini yang dibahas adalah mengenai partisipasi publik dalam proses
pembuatan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). AMDAL menjadi
salah satu elemen administratif yang perlu dilalui untuk mendapat perizinan
lingkungan.
4. KONTRIBUSI PADA BIDANG KEILMUAN
Pemaparan materi yang disampaikan oleh Prof. Haslinda Mohd Anuar
secara tersirat menyebutkan bahwa Malaysia tidak memiliki ketidaksempurnaan
dalam pengaturan hak asasi lingkungan hidup dalam konstitusinya.
Perlembagaan Persekutuan tidak secara konkret menjelaskan urgensi
perlindungan hak lingkungan hidup, dimana dalam hal ini dapat kita simpulkan
bahwa UUD NRI 1945 lebih unggul dan jauh lebih visioner mengenai
perlindungan hak lingkungan. Secara produk hukum (dalam hal ini khususnya
konstitusi), Indonesia memang dapat dinyatakan lebih unggul karena sudah lebih
dulu mengatur hak lingkungan secara inklusif. Namun, dalam realitanya,
Indonesia juga masih banyak menemui tantangan dan hambatan yang membuat
hak lingkungan yang ada dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menjadi sulit
untuk diwujudkan.
Isu lingkungan yang terus berkembang secara dinamis ini sejatinya
memerlukan aturan hukum yang melegitimasi adanya perlindungan hak
lingkungan terhadap rakyat. Pasalnya, lingkungan hidup tidak hanya berkaitan
dengan dirinya sendiri, namun ada makhluk lain yang juga memiliki
ketergantungan terhadap lingkungan hidup. Menurut Penulis, Perlembagaan
Persekutuan menjadi konstitusi yang kurang mengakomodir perlindungan
terhadap hak asasi lingkungan, meskipun memang pada akhirnya hal yang
menjadi pernyataan pembela adalah konstitusi tersebut menyebutkan secara
implisit terkait hak asasi lingkungan. Mengingat lingkungan adalah suatu entitas
yang memang perlu dijaga dan dilestarikan, seharusnya Malaysia memiliki
agenda untuk memperkuat perlindungan terhadap hak asasi lingkungan supaya
pembangunan berkelanjutan di Malaysia dapat berjalan dengan baik.
5. KELOGISAN DALAM MENUANGKAN DATA DAN BAHAN HUKUM
Tahun 2019 menjadi tantangan bagi Pemerintah Malaysia untuk
menangani maraknya kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Pada
bulan Agustus 2019, sebagian wilayah Malaysia dikepung oleh asap dan
dilaporkan bahwa saat itu Malaysia dalam indeks pencemaran udara dengan level
yang berbahaya.5 Dengan tidak adanya penguatan aturan mengenai lingkungan
hidup, maka tidak heran apabila dalam upaya mengatasi kasus Karhutla di
Malaysia berjalan lamban. Hukum seharusnya dapat dijadikan instrumen penting
untuk mencegah tindakan-tindakan yang memicu adanya kerugian aktivitas
manusia di alam. Sampai sini dapat disimpulkan bahwa sejatinya Malaysia masih
belum mencapai titik komitmen tertinggi untuk bertanggung jawab melindungi
hak asasi lingkungan dari masyarakatnya. Sebelum diatur secara tegas dan
konkret dalam hukum tertingginya, maka kita dapat menganggap bahwa
Malaysia belum secara serius menjalankan 3 poin penting yang ada dalam
Aarhus Convention 1998.
SIMPULAN DAN SARAN
Dunia secara global telah berada pada paradigma yang menganggap
bahwa isu lingkungan adalah isu yang penting dan perlu diperhatikan
perkembangannya. Sejak dahulu, negara-negara dunia melalui beberapa
konvensi dan perjanjian internasional telah setuju dan berikrar bahwa hak asasi
lingkungan perlu diatur keberadaannya. Di Indonesia, hak asasi lingkungan hidup
secara konkret tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, kemudian
terdapat pula Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Hidup sebagai payung hukum dijalankannya tata kelola dan
perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Berbeda halnya di Malaysia, Perlembagaan Persekutuan sebagai konstitusi
Malaysia tidak menerangkan secara eksplisit tentang hak asasi lingkungan.
Malaysia melalui Environmental Quality Act 1974 berusaha mengakomodir proses
controlling dan monitoring atas lingkungan hidup. Urgensi mengenai
perlindungan belum nampak dan cenderung tidak dijadikan sebagai prioritas
dalam undang-undang ini. Jika melihat kenyataan ini, maka kita boleh
menyimpulkan bahwa Indonesia jauh lebih unggul dalam konteks legalistas
aturan mengenai perlindungan terhadap hak asasi lingkungan dibanding negara
Malaysia.
5
Anonim, Asap Karhutla di Malaysia, Capai Level Bahaya, CNN Indonesia, Agustus
2019, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190811122305-106-420246/asap-karhutla-
di-malaysia-capai-level-bahaya (diakses pada 24 Mei 2023 pukul 19.31 WIB)
Saran yang dapat diajukan adalah perlu adanya banyak pengembangan
penelitian tentang urgensi penguatan aturan lingkungan hidup di Malaysia.
Ketidaksempurnaan hukum ini dapat dijadikan bahan penelitian bagi para
peneliti, mahasiswa, dan akademisi yang pada akhirnya memberikan output
rekomendasi yang tepat untuk diterapkan dan disesuaikan dengan kebutuhan
Negara Malaysia. Kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup perlu
ditingkatkan lagi dengan cara adanya aturan yang memfasilitasi hal tersebut
untuk diterapkan dan dijalankan dengan baik. Dari adanya kesadaran
masyarakat, nantinya diharapkan akan berkembang pula keasadaran untuk
berpartisipasi dalam rangka melindungi lingkungan hidup demi menjamin hak
asasi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Susmayanti, R. (2020). Refleksi Keadilan Lingkungan dalam Pancasila Pada
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 3555K/PDT/2018 dalam Konferensi
Nasional Online HAM, Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan untuk
Keilmuan Hukum dan Sosial.
Mohd Anuar, H. (2014). Environmental Governance in Malaysia: An Overview .
154-162.
Faiz, P. M. (2016). Perlindungan Terhadap Lingkungan Dalam Perspektif
Konstitusi (Environmental Protection in Constitutional Perspective ). Jurnal
Konstitusi, 13(4), 766-787.
Website
Anonim. (2019). Asap Karhutla di Malaysia, Capai Level Bahaya, CNN Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190811122305-106-
420246/asap-karhutla-di-malaysia-capai-level-bahaya
Disertasi
Mohd Anuar, H. Environmental Rights in Malaysia: Public Participation Under EIA .
DISERTASI, Law School Newcastle University, 2015.
LAMPIRAN
Bukti Keikutsertaan dalam Zoom Meeting (24 Mei 2023)