Anda di halaman 1dari 7

Review Film Ranah 3 Warna: Petuah Epik dari Ayah hingga Tukang Sepatu

Kehidupan di dunia tidak selamanya akan berjalan seperti yang kita inginkan. Jika sedang
berjuang lalu membuahkan hasil, tentu siapa yang tak senang? jika sudah berjuang kemudian
gagal, sedih itu pasti, namun harus tetap bangkit bukan? Akan selalu ada hikmah yang
menghampiri usai keberhasilan atau kegagalan yang kita alami.

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk menonton sebuah film yang sedikit
gambarannya sudah saya terangkan di awal. Tentang penerimaan output dari yang namanya
berjuang. Ranah 3 Warna, film yang diadaptasi dari novel best seller karya A. Fuadi, seri
kedua dari trilogi Negeri 5 Menara.

Seri pertamanya yakni Negeri 5 Menara, sudah difilmkan pada tahun 2012. Di seri pertamanya,
saya tidak menonton di bioskop. Saya menontonnya saat ada penayangan film di televisi dalam
edisi menyambut hari raya kalau tidak salah. Jarak rilis yang cukup panjang ini membuat saya
sedikit lupa bagaimana alur cerita pada seri pertamanya. Namun, tenang saja teman-teman. Bagi
yang tidak menonton Negeri 5 Menara, tidak masalah. Karena ceritanya benar-benar berbeda,
hanya beberapa tokohnya saja yang tetap. Jadi, masih enjoy aja sih kalau hanya nonton Ranah 3
Warna.

Film yang telah rilis pada 30 Juni 2022 lalu ini, disutradarai oleh Guntur Soeharjanto, sutradara
yang juga telah sukses dengan film-film bergenre drama-religinya, seperti Cinta Laki-Laki Biasa
dan Assalamualaikum Beijing. Beberapa film dengan durasi lebih dari 2 jam terkadang
membosankan. Tapi, Ranah 3 Warna yang berdurasi 150 menit ini, bagi saya dari awal hingga
akhir tidak membosankan. Saya begitu menikmati alur ceritanya dari menit pertama hingga
credit tittle nya.

Sinopsis Film

Pada tahun 1992, Alif Fikri (Arbani Yasiz), seorang pemuda asal Maninjau, lulusan pondok
pesantren, punya keinginan besar untuk menimba ilmu di Amerika. Untuk mencapai hal itu,
tentu melalui halang rintang yang begitu berat untuk Alif. Usai lulus dari pondok, ia harus
mengikuti ujian tingkat nasional untuk masuk ke perguruan tinggi negeri.
Alif diterima di Universitas Padjajaran jurusan Hubungan Internasional. Satu langkah lebih dekat
menuju impiannya. Kuliah di Bandung adalah salah satu keputusan besar dalam hidupnya. Ia
harus merantau ke Jawa, Bandung lebih tepatnya. Meninggalkan Ayah (David Chalik), Amak
(Maudy Koesnadi), dan kedua adik perempuannya di Maninjau, Sumatera Barat.

(Youtube MNCP Movie Official Trailer Ranah 3 Warna)

Untungnya, di Bandung ia punya sahabat yang berasal dari kampung yang sama, Randai (Teuku
Rassya), yang sudah lebih dulu berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Randai
menyambut gembira datangnya Alif ke Bandung. Namun, saat di kampung dulu, Randai selalu
meremehkan Alif. “Mana bisa, lulusan pondok pesantren bisa melanjutkan pendidikannya ke
Amerika? Tidak kah lebih bagusnya menjadi ustaz di kampung?”, begitulah kiranya. Mereka
berdua seperti punya jiwa rivalitas menurut saya.

Bukan hanya Randai kawan Alif selama di Bandung. Ada juga Raisa (Amanda Rawles),
mahasiswi Unpad kawan Randai yang telah mencuri hati seorang Alif Fikri. Penampilannya
yang menarik, sopan, dan bertalenta telah membuat Alif jatuh cinta padanya. Kawan Alif lainnya
seperti Rusdi (Raim Laode), Memet (Miqdad Addausy), dan Agam (Sadana Agung) juga
turut membuat hari-hari Alif menjadi lebih berwarna.
(Youtube MNCP Movie Official Trailer Ranah 3 Warna)

Pada tahun 1995, Program Pertukaran Pelajar ke Amerika dibuka. Alif dengan kemampuan
literasi yang bagus, Raisa dengan tarian minangnya, dan Rusdi dengan suara emasnya diterima
dan bisa mengikuti program tersebut. Singkatnya, mereka beserta peserta lainnya pun berangkat
menuju Negeri Paman Sam itu. di tengah perjalanan, karena suatu dan lain hal rombongan ini
harus berhenti di Yordania. Saat mendarat dan turun di Kantor Kedutaan Besar Yordania, Alif
bertemu Ustaz Salman, guru yang mengajarnya semasa di pondok.

Jika di Negeri 5 Menara Alif menggunakan mantra Man Jadda Wajada, “Siapa yang
bersungguh-sungguh pasti bisa”. Kini, di Ranah 3 Warna Alif menambah mantra Man Shabara
Zhafira, “Siapa yang bersabar akan beruntung.” Bersungguh-sungguh saja tidak cukup. Lalu,
bagaimana cara Alif melewati perjalanan hidupnya di tiga ranah (Indonesia, Yordania, Amerika)
negara yang berbeda ini? Silakan tonton dan nikmati filmnya di bioskop terdekat!

Apa yang Bikin Menarik?

Seperti biasa, sebelum saya memutuskan untuk menonton film di bioskop, saya selalu melihat
testimoni dan ulasan dari orang-orang yang telah menonton lebih dulu. Terlebih film ini
merupakan adaptasi novel best seller. Meskipun saya belum membaca novelnya sampai saat ini,
bagi saya penilaian dari teman-teman yang sudah membaca novelnya tentu amat penting.

Setelah saya lihat ulasannya, ternyata bagus. Mayoritas memberikan komentar yang positif, baik
dari penonton yang belum ataupun sudah membaca seri novelnya. Setelah membaca sinopsis dan
melihat trailernya, saya merasa.. “Oke juga untuk ditonton”.
Berbicara tentang point of interst film ini, ada beberapa hal yang ingin saya bagikan kepada
teman-teman yang belum atau sudah punya keinginan untuk nonton film ini. Oh iya, sebelumnya
saya mau kasih rating 9.0/10 ya untuk film ini! Dari segi alur cerita, para pemeran, soundtrack,
dan sinematografinya yang oke banget. Tanpa panjang lebar, berikut point of interest dari Film
Ranah 3 Warna versi saya!

Pertama, 1 film menampilkan 5 bahasa yang beragam (selain bahasa Indonesia). Beberapa
bahasa yang digunakan diantaranya bahasa Minang, Sunda, Inggris, Arab, dan Prancis. Di
beberapa film, penggunaan bahasa asing atau lokal kadang terkesan memaksa dan membuat
tidak nyaman bagi penonton yang mendengarnya. Namun, di film ini teman-teman jangan
mengkhawatirkannya.

Penggunaan dialog berbahasa asing atau lokalnya terdengar riil dan tidak memaksa. Seperti Alif,
Randai, Ayah, dan Amak yang beberapa kali menggunakan dialog berbahasa Minang. Saya rasa,
meskipun saya bukan orang Minang, saya cukup nyaman mendengar dialog mereka. Nampak
betul-betul menjiwai dari kata perkata yang diucapkan, pas sesuai dengan ekspresi yang
seharusnya dikeluarkan.

Dialog Alif yang berbahasa Arab, saya rasa Arbani Yasiz sangat serius dalam berlatih. Terdengar
seperti dialek bahasa Arab yang sering saya dengar dari mahasiswa-mahasiswa Al-Azhar Kairo
(di media sosial ya hehe, kalo secara langsungnya belum pernah dengerin).

Saya juga senang melihat subtittle yang tidak berlebihan, pas dari jenis dan ukuran font,
warnanya juga terang dan jelas. Bagi saya, subtittle ini berperan cukup besar juga di film ini,
melihat beragam bahasa yang digunakan ya. Jadi, hal sepele seperti jenis, ukuran, dan warna font
memang harus diperhatikan. Hal-hal detail seperti di atas sudah dibawakan secara apik oleh kru
film ini, patut diapresiasi!

Kedua, banyak kutipan-kutipan yang quateable. Saya rasa, semua pemain punya kata-kata
yang berharga dan berpengaruh besar dalam hidupnya si Alif Fikri. Beberapa yang saya ingat
misalnya nasehat dari Ayah Alif yang sedang sakit kepada Alif, kurang lebih beliau meminta
Alif untuk menyelesaikan studi yang Alif pilih sendiri. Jika benar-benar kita resapi bagian ini,
pasti sangat akan merasa relate sekali dengan kita, terlebih kalian yang saat ini merantau untuk
menyelesaikan studi sarjana. Jujur, saat scene ini saya menangis tiada terbendung.
Ada lagi dialog yang diucapkan oleh tukang sepatu (Lukman Sardi). “Sabar itu bukan pasif,
tapi aktif. Aktif mencari solusi, aktif pantang menyerah.” Dialog tukang sepatu ini ada di trailer,
jika teman-teman ingin mendengarkan. Nampaknya, ini salah satu dialog yang ikonik dari film
ini karena berkaitan langsung juga dengan mantra yang sedang diikhtiari oleh Alif.

Kemudian ada dialog antara Raisa dan Alif yang sangat menohok bagi saya. Scene dimana Alif
sedang berada di titik terendah dan merasa sudah hilang segalanya. Raisa sebagai kawan yang
baik merasa ini bukan Alif yang dia kenal, ia langsung berkata kurang lebih begini, “Kamu
belum kehilangan segalanya, kamu masih punya nyawa.”

(Youtube MNCP Movie Official Trailer Ranah 3 Warna)

Ketiga, tentang merantau. Bagi saya yang 23 tahun belum punya pengalaman merantau, film-
film tentang merantau selalu menarik untuk ditonton. Pasalnya, dari film-film itu saya bisa tahu
bagaimana rasanya menjadi seorang perantau di tanah orang, walaupun tidak merasakan secara
langsung ya.

Dari film Ranah 3 Warna saja, banyak nilai-nilai yang saya dapatkan untuk bekal menjadi
seorang perantau. Misalnya, tentang kebersamaan dengan kawan-kawan seperantauan.
Fenomena ini nyata, dekat dirasakan dengan melihat teman-teman kuliah saya juga.

Juga tentang selalu ingat kepada sang Pencipta, hanya Allah saja tempat kita berlindung dan
berharap di tanah rantau. Orang lain mungkin hanya sebagai perantara, betul kan? Kemudian
tentang bahagia dan bersuka citanya orang rumah saat mendengar prestasi atau pencapaian kita
di tanah rantau. Anak non rantauan can’t relate dengan hal itu :’)
Adakah yang kurang?

Alif yang digambarkan lekat dengan dunia literasi, tetapi scene saat dia struggle dalam hal itu
kurang ditampakkan. Buktinya, Bang Togar (Tanta Ginting) disini agaknya berperan besar
namun scene yang menampakkan dia hanya beberapa kali dan sebentar. Bagi saya, itu masih
kureng, hehe.

Keistimewaannya dalam mengekspresikan sesuatu melalui tulisan seharusnya lebih ditampakkan


lagi untuk menguatkan karakternya. Karena yang membawa dia bisa menggapai impiannya ke
Amerika ‘kan kepiawaiannya dalam menulis. Tapi, memang sangat bisa dimaklumi sih, karena
sebuah film tentu harus memerhatikan juga yang namanya durasi. Jika terlalu lama dan panjang
bisa saja penonton akan suntuk menontonnya.

(Youtube MNCP Movie Official Trailer Ranah 3 Warna)

Ada opsi lain menurut saya. Jika dijadikan series mungkin seru sih untuk ditambahkan bagian si
Alif ini benar-benar mendalami dunia literasi, ups. Wah, gak kebayang karakternya Alif akan
mengalahkan karakter si Roman sang Pujangga pastinya, haha.

Terakhir nih yaa

Saya mau mengucapkan tarimo kasih kepada Uda Ahamad Fuadi yang sudah menciptakan cerita
yang begitu menginspirasi. Terima kasih juga kepada sutradara, pemain, dan all crew yang
sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan karya film yang terbaik.
Satu lagi, ungkapan isi hati saya untuk Uda Alif Fikri wkwkwk. Uda Alif, kamu itu sangat baik,
agaknya karaktermu adalah idaman dari semua wanita. Taat, family man, berwawasan luas, tidak
malas, kurang apa? YA, KURANG SAT SET UDA!

Anda mungkin juga menyukai