Anda di halaman 1dari 10

PERTEMUAN KE V

HAK ATAS LINGKUNGAN


A. Tujuan Pembelajaran
Pada pertemuan ini akan dijelaskan hal-hal yang terkait dengan hak atas lingkungan.

B. Uraian Materi.

Selain menegaskan mengenai konstitusionalisasi kebijakan ekonomi, perubahan


(amandemen) keempat Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 pada tahun 2002,
juga meningkatkan status lingkungan hidup yang dikaitkan dengan hak-hak asasi
manusia (HAM) yang dijamin oleh undangundang dasar.
Pasal 28H, Ayat 1 UUD 1945 menyebukan bahwa: “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Merujuk pada
ketentuan Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945, berarti hak untuk memperoleh lingkungan
hidup yang baik dan sehat, serta pelayanan kesehatan yang baik, merupakan hak asasi
manusia (HAM). Karena itu, UUD 1945 jelas sangat prolingkungan hidup, sehingga
dapat disebut sebagai konstitusi hijau (green constitution).

Dari sisi lain, dengan adanya ketentuan Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 tersebut, Jimly
Asshiddiqie berpandangan bahwa norma lingkungan hidup telah mengalami
konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dengan
demikian, segala kebijakan dan tindakan pemerintahan dan pembangunan haruslah
tunduk kepada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Tidak boleh ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-
undang ataupun peraturan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan
ketentuan konstitusional yang prolingkungan ini.

Gelombang kesadaran terhadap pentingnya melakukan upaya konstitusionalisasi itu


diprakarsai pertama kali oleh Portugal, yaitu dengan disahkannya konstitusi tahun
1976. Dapat dikatakan, Konstitusi Portugal 1976 ini merupakan konstitusi pertama di
dunia yang mencantumkan dengan tegas pasal-pasal perlindungan lingkungan dalam
rumusan teksnya. Fenomena konstitusionalisasi inilah yang dinamakan sebagai
gelombang kedua, yaitu gelombang dari legislasi ke konstitusionalisasi. Tahap
gelombang kedua ini dapat dibedakan dalam tiga model, yaitu model Portugal, model
Prancis, dan model Ekuador.

Penegasan hak atas lingkungan hidup menemukan momentum pentingnya ketika lahir
Deklarasi Stockholm tentang lingkungan hidup pada tanggal 5 Juni 1972.5 Prinsip
pertama deklarasi ini menyebutkan: “Man has the fundamental right to freedom,
equality and adequate conditions of life, in an environment of a quality that permits a
life of dignity and well-being.”

Selanjutnya, pesan yang mengemuka dari prinsip pertama Deklarasi Stockholm ini
dipertegas kemudian dalam prinsip keempat Deklarasi Rio, yang menyatakan: “In
order to achieve sustainable development, environmental protections shall constitute
an integral part of the development process and cannot be considered in isolation from
it.” Prinsip keempat ini mempertegas keberadaan pemerintah untuk berkomitmen pada
terjaminnya pemenuhan HAM atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih.

Gagasan hak asasi manusia dalam masalah lingkungan dalam Deklarasi Stockholm
1972, mengaitkan antara right to development and the right to the environment.6
Gagasan tersebut menegaskan keterkaitan yang kuat antara hak-hak terhadap
lingkungan dan hak-hak pembangunan, seperti hak untuk hidup dalam kondisi yang
layak (right to under adequate conditions) dan hak hidup dalam suatu lingkungan yang
memiliki kualitas yang memungkinkan manusia hidup sejahtera dan bermartabat (right
to live in an environment of a quality that permits a life of well being and dignity).
Hak asasi inilah yang kemudian dimuat dalam resolusi PBB Nomor 41/128 tanggal 4
Desember 1986 (Declaration on the right to development).

Dapat pula ditelusuri gagasan tersebut dalam Declaration on the Human Environment
yang dilahirkan pada Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm Swedia
5-16 Juni 1972. Deklarasi tersebut mengakui hak asasi manusia untuk menikmati
lingkungan yang baik dan sehat, atau hak perlindungan setiap orang atas pencemaran
lingkungan atau environmental protection. Secara implisit, perlindungan fungsi
lingkungan hidup telah dinyatakan dalam instrumen hak asasi manusia. Sedangkan
pengakuan secara eksplisit hak atas lingkungan hidup yang sehat (right to healthy
environment), selain telah dinyatakan dalam Deklarasi Stockholm 1972, juga dapat
ditelusuri lebih lanjut dalam Deklarasi Rio sebagai nonbinding principles. Dalam
berbagai konstitusi tingkat nasional, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik
telah diakui, seperti halnya Konstitusi Afrika Selatan, Korea Selatan, Equador,
Hungary, Peru, Portugal dan Filipina.8 Hak manusia atas lingkungan dikualifikasi
sebagai fundamental rights. Hak ini, secara prinsipil dapat diidentifikasi dengan
menggunakan indikator argumentasi teoretis dan otoritatif-historis (lembaga
internasional dan negara).

1. Argumentasi Teoretis
Hak manusia atas lingkungan secara prinsip dikategorikan sebagai fundamental
rights. Teori argumentasinya bisa ditemukan dalam pendapat ahli hukum Robert
Alexy berikut: Human rights are institutionalized by means of their transformation
into positive law. If this takes place at level in the hierarchy of the legal system
than can be called constitutional, human rights become fundamental rights.10
Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka untuk mengualifikasi suatu hak asasi
manusia, termasuk hak manusia atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai salah
satu fundamental rights manakala hak tersebut telah diinstitusionalisasi melalui
proses transformasi ke dalam hukum positif dalam hierarki tata hukum.
a. Argumentasi Otoritatif-Historis (Negara dan Lembaga Internasional), Hak
manusia atas lingkungan yang baik dan sehat dikategorikan sebagai salah satu
fundamental rights secara otoritatif dan historis pada level lembaga
internasional dengan merujuk pada isi Deklarasi Stockholm 1972, seperti
termuat pada Prinsip 1 deklarasi tersebut. Menurut Tim Hayward, ruang
lingkup hak manusia atas lingkungan yang baik dan sehat, didasarkan pada
United Nation Subcommision on Human Rights and the Environment. Elemen
prinsipil hak untuk semua orang yang berkaitan dengan hak manusia atas
lingkungan yang baik dan sehat menyatakan bahwa semua orang berhak atas:
1) bebas dari polusi, degradasi lingkungan dan aktivitas yang dapat berakibat
buruk terhadap lingkungan atau mengancam kehidupan, kesehatan,
keberlangsungan kehidupan makhluk hidup lain atau pembangunan
berkelanjutan.
2) perlindungan dan preservasi udara, minyak, air, lautan es, flora dan fauna
dan proses, serta wilayah esensial yang dibutuhkan untuk memelihara
keanekaragaman biologi dan ekosistem.
3) standar kesehatan yang tertinggi yang bebas dari bahaya lingkungan.
4) keselamatan dan makanan yang sehat, serta air yang cukup untuk semua
makhluk, e. keamanan dan lingkungan bekerja yang sehat, f. perumahan
yang memadai.
5) tanah dan kondisi kehidupan, terjamin lingkungannya secara sehat dan
ekologis.
6) tidak dicemari rumah atau tanahnya dari akibat keputusan atau tindakan
yang merusak lingkungan, kecuali dalam kondisi darurat yang bertujuan
untuk memberi keuntungan masyarakat secara keseluruhan yang tidak
dapat dilakukan atau dicapai dengan cara lain.
7) memberi bantuan sewaktu-waktu jika terjadi peristiwa alam atau teknologi
dan atau yang lain, yang menyebabkan bencana alam yang berefek
langsung kepada manusia.
8) mendapatkan keuntungan yang setara dari observasi dan penggunaan
sumber daya alam yang berkelanjutan untuk tujuan budaya, ekologi,
pendidikan, kesehatan, keberlangsungan kehidupan, rekreasi, spiritual dan
tujuan lainnya. Hal ini meliputi juga akses ekologis terhadap alam.
9) memelihara tempat-tempat yang unik, tetapi konsisten dengan hak-hak
konstitusional orang-orang dan kelompok yang hidup di area tersebut.

Selain itu, terdapat pula prinsip lain yang relevan dengan konteks ini, yakni
hak semua orang:

1) untuk mendapatkan informasi mengenai lingkungan, informasi tersebut


harus jelas dapat dipahami, tersedia tanpa harus ada beban biaya terhadap
yang berkepentingan.
2) aktif, bebas, berpartisipasi dalam perencanaan dan kegiatan, serta proses
pengambilan keputusan yang dapat berpengaruh terhadap lingkungan dan
pembangunan. Termasuk hak untuk memberikan penilaian pendahuluan
terhadap lingkungan, pembangunan dan hak asasi manusia.
3) melakukan upaya hukum yang efektif, baik dalam proses administrasi,
maupun pengadilan terhadap adanya bahaya dan ancaman lingkungan.

Terkait perlunya pengaturan berbagai prinsip penting dalam kaitannya dengan


kewajiban dasar atas hak asasi manusia, yang meliputi pula hak manusia atas
lingkungan yang baik dan sehat, adalah:

1) Prinsip pengakuan (recognition). Prinsip ini mendalilkan bahwa negara


berkewajiban untuk mengakui secara penuh hak-hak asasi manusia dalam
konstitusinya, peraturan hukumnya, dan kebijakannya.
2) Prinsip penghormatan (respect). Prinsip ini mendalilkan bahwa negara
berkewajiban untuk menghindari segala kegiatan dan langkah-langkah
yang mengancam atau mengganggu pengejawantahan penuh semua hak
asasi manusia.
3) Prinsip non-diskrimininasi dan kesetaraan (non-discrimination and equity).
Prinsip ini mendalilkan bahwa negara berkewajiban menghindari
peraturanperaturan hukum dan langkah-langkah dan untuk secara aktif
memperbaiki diskriminasi yang ada dalam peraturan-peraturan hukum,
segala kebijakan dan kondisi (de jure and de facto discrimination).
4) Prinsip prioritas (priority). Prinsip ini mendalilkan bahwa negara
berkewajiban memprioritaskan hak asasi manusia dalam program-program,
kebijakan, dan anggarannya.
5) Prinsip penjaminan (assure). Prinsip ini mendalilkan bahwa negara
berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah dasar yang menjamin
penduduk menikmati hak-haknya secara penuh.
6) Prinsip perlindungan (protect). Prinsip ini mendalilkan bahwa negara
berkewajiban mengundangkan dan menegakkan peraturan perundang-
undangan yang dipandang perlu untuk menjamin hak asasi manusia tidak
dilanggar oleh pelaku privat (pihak lain selain negara).
7) Prinsip partisipasi (participation). Prinsip ini mendalilkan bahwa negara
berkewajiban untuk memajukan kemampuan publik untuk menjaga hak-
haknya melalui transparansi, informasi, pendidikan publik tentang hak
asasi manusia dan peluang untuk berpartisipasi.
8) Prinsip upaya hukum (remedy) Prinsip ini mendalilkan bahwa negara
berkewajiban untuk menyediakan upaya hukum yang efektif terhadap
pelanggaran hak asasi manusia.
9) Prinsip akuntabilitas (accountability). Prinsip ini mendalilkan bahwa
negara berkewajiban menyediakan akuntabilitas yang efektif untuk
pengejawantahan hak melalui evaluasi, perencanaan, dan peninjauan yang
efektif.

Di Indonesia, hak atas lingkungan yang sehat dan baik, pertama kalinya
disebutkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1982 tentang Lingkungan
Hidup (UULH), yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), dan pada
tahun 2009 disempurnakan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dari ketiga UU
tersebut, UUPPLH 2009 memuat lebih banyak hak yang berkaitan dengan
lingkungan hidup ketimbang kedua undang-undang sebelumnya.

Patut digarisbawahi bahwa sebelum diatur dalam UUPPLH 2009, UUD 1945
telah memuat pengaturan hak atas lingkungan sebagai bagian dari HAM. Pada
tahun 1998 secara eksplisit hak atas lingkungan yang sehat dan baik sudah
mendapat pengakuan secara formal sebagai hak asasi manusia melalui
Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM).

Pada Deklarasi Nasional tentang HAM dalam ketetapan MPR itu menyebutkan
bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik (right to
a healthful and decent environment). Dalam perkembangannya, pada tanggal
23 September 1999, Presiden mengesahkan Undang-Undang No 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-undang tersebut
menempatkan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik dalam bab hak
asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, di bawah bagian Hak untuk
Hidup (right to life).

Menurut UUPPLH 2009, ada delapan hak dan diantara hak tersebut, terdapat
hak yang bersifat substantif (substantive right to environmental quality) dan
ada hak yang bersifat hak prosedural (procedural rights).15 Yang termasuk
hak substantif adalah hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Sedangkan
yang tujuh lainnya termasuk kategori hak-hak yang prosedural. Heinhard
Steiger c.s menyatakan, bahwa apa yang dinamakan hak-hak subjektif
(subjective rights) adalah bentuk paling luas dari perlindungan seseorang.16
Hak tersebut memberikan kepada yang mempunyai suatu tuntutan yang sah
untuk meminta agar kepentingannya terhadap lingkungan hidup yang baik dan
sehat dihormati. Tuntutan dimaksud adalah tuntutan yang dapat didukung oleh
prosedur hukum, dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-
perangkatnya.

Secara konstitusional, hak subjektif sebagaimana tertera dalam Pasal 65


UUPPLH tersebut dapat dikaitkan dengan hak umum yang tercantum dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Alinea dimaksud menyatakan bahwa
“untuk ...membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia... .” Hak subjektif juga dikaitkan pula dengan hak
penguasaan kepada negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berbagai hak subjektif yang berkaitan dengan hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat, serta hak-hak lainnya, tercantum pula dalam Piagam Hak Asasi
Manusia, yang merupakan bagian tak terpisahkan oleh Sidang Istimewa MPR
tahun 1998.

Uraian di bawah ini tentang keberadaan hak-hak atas lingkungan dalam


UUPPLH, yaitu: Pasal 65, Ayat 2 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi,
dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.” Penjelasan Pasal 65 Ayat 2 ini berbunyi sebagai berikut: “Hak atas
informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak
berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas
keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai
dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di samping
akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Informasi lingkungan hidup pada
ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat
dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat. Contohnya,
dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL), laporan dan
evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan penaatan,
maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata
ruang.
Ketentuan tersebut di atas, merefleksikan mulai diterapkannya prinsipprinsip
demokrasi lingkungan, sebagaimana disebutkan pada penjelasan umum
UUPPLH butir (h). Butir ini menyebutkan bahwa penguatan demokrasi
lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta
penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.

Terkait dengan akses informasi, Koesnadi Hardjasoemantri mengemukakan


sejumlah pilar penting yang perlu diperhatikan, yaitu: pemberian informasi
yang benar kepada masyarakat adalah prasyarat penting untuk peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di bidang lingkungan hidup.
Informasi tersebut harus sampai di tangan masyarakat yang akan terkena
rencana kegiatan dan informasi itu haruslah diberikan tepat pada waktunya,
lengkap, dan dapat dipahami (on time, comprehensive, and comprehensible).
Ketentuan mengenai environmental impact assessment (EIA) di beberapa
negara mengandung peraturan tentang penyediaan informasi bagi masyarakat,
antara lain:

1) Pedoman Pelaksanaan NEPA 1969,


2) Di Prancis terdapat prosedur tentang EIA yang tercantum dalam French
Nature Protection Law 1976,
3) Atomic Energy Act sebagaimana diubah dalam tahun 1976 dan Federal
Immission Control Act 1974 di Federasi Republik Jerman,
4) di Swiss terdapat ketentuan dalam Federal Atomic Energy Act sebagaimana
diubah dalam tahun 1979.

Pasal 65 Ayat 3 UUPPLH merumuskan bahwa: “Setiap orang berhak


mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan
yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.”
Berbagai aktivitas pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang membuka
pelibatan masyarakat dalam setiap prosesnya dapat dilihat dari beberapa
ketentuan berikut:

1) Pasal 25 Butir c UUPPLH yang menyangkut dokumen yang wajib dimuat


dalam dokumen Amdal, antara lain mengenai saran masukan serta
tanggapan masyarakat tehadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Ini menjadi
contoh baik adanya sinkronisasi kaidah hukum dalam UUPPLH ini.
2) Pasal 26 Ayat 1 menyatakan dokumen Amdal disusun oleh pemrakarsa
dengan melibatkan masyarakat.
3) Pasal 26, Ayat 3 menyatakan pelibatan masyarakat harus dilakukan
berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
4) masyarakat berhak mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal (Pasal
26, Ayat 4).

Ketentuan Pasal 65 Ayat 4 UUPPLH menyebutkan: “Setiap orang berhak untuk


berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.” Pasal 65 Ayat 5 menyebutkan pula bahwa:
“Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

Ketentuan ini merupakan simbol perlindungan hukum, sekaligus wujud sikap


akomodatif UUPPLH terhadap berbagai peran serta masyarakat selama ini.
Pasal 66 UUPPLH ingin melindungi masyarakat yang bermaksud memberikan
informasi tentang tindakan-tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan,
tapi malah menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil. Pasal 66
UUPPLH ini berlaku nondiskriminatif terhadap sikap kritis dan masukan
masyarakat.

Perlindungan ini biasanya dilaksanakan melalui proses peradilan. Akan tetapi


ada pula kemungkinan-kemungkinan lain, seperti hak untuk berperan serta
dalam prosedur administratif atau untuk mengajukan ohonan banding kepada
lembaga-lembaga administratif yang lebih tinggi. Akses masyarakat terhadap
pengambilan keputusan dan informasi sebagai procedural human rights
merupakan prasyarat bagi perwujudan substantive human rights. Hak itu seperti
hak atas pembangunan dan hak atas lingkungan yang sehat (termasuk hak untuk
hidup dan hak untuk memiiki derajat kesehatan yang memadai). Hak peran
serta masyarakat dan informasi (popular participation), sejak lama dijamin
keberadaannya dalam instrumen internasional HAM, maupun perlindungan
lingkungan.

Sifat dan syarat prinsipil ADS (atur diri sendiri), sebagai salah satu bentuk
pendekatan dalam pengelolaan lingkungan, ialah ikut berperan sertanya
masyarakat dalam pengambilan keputusan pengaturan dan pengawasan
pengelolaan lingkungan hidup untuk menyadarkan masyarakat akan hak dan
kewajibannya ikut serta dalam pengambilan keputusan.

Kemerosotan mutu lingkungan mengancam hak hidup manusia (right to life).


Right to life ini dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik (Pasal 4). Hal ini diperkuat dengan Pasal 9 Ayat 1 UndangUndang
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Dengan
demikian, terjadinya degradasi lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya
pelanggaran HAM.19 Dengan demikian, secara normatif, UUPPLH sudah
sejalan dengan atau mengadopsi Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992, yang pada
prinsipnya menekankan pentingnya demokratisasi dan peranserta masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Menurut Siti Sundari Rangkuti, dengan hak atas lingkungan yang baik dan
sehat, perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana
hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang
lingkungan hidup.20 Perlindungan hak asasi ini, misalnya, dapat dilaksanakan
dalam bentuk hak untuk mengambil bagian dalam prosedur hukum
administrasi, seperti peran serta (inspraak, public hearing) atau hak banding
(beroep) terhadap penetapan administratif (keputusan tata usaha negara).

Pengaturan tentang keterlibatan masyarakat sebagai bagian elementer dari


proses demokrasi lingkungan, dituangkan pada Pasal 70 UUPPLH, yang terdiri
atas 3 ayat dan 8 butir. Antara lain mengatur hak yang sama bagi masyarakat
untuk berperan aktif dan seluas-luasnya dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Ketentuan ini, secara implisit mengatur pula tentang hak
pada masyarakat, yang pada hakikatnya tidak terlepas dari kaitannya dengan
hak dari setiap orang. Pasal 70 UUPPLH merefleksikan konsep demokrasi pada
tataran yang luas dan menyeluruh, karena dalam banyak hal, masyarakat
terkadang dibatasi peranannya (cenderung bersifat pasif dan formalitas belaka)
dalam berbagai pengambilan keputusan, yang notabene untuk kepentingan
masyarakat itu sendiri.

UUPPLH juga memuat ketentuan yang memberi hak kepada masyarakat untuk
mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingannya sendiri
dan/atau masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup. Selain hak gugat masyarakat, UUPPLH juga
memberi hak gugat kepada organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan
gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Tetapi, hak
gugat dibatasi hanya pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu, tanpa
adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

Secara implisit, Pasal 93 Ayat 1 UUPPLH sesungguhnya mengatur pula adanya


hak atas lingkungan dalam bentuk gugatan administratif terhadap keputusan
tata usaha negara yang terkait dengan izin lingkungan, yaitu dokumen Amdal,
UKL-UPL, dan izin usaha/kegiatan. Adanya pengaturan tentang hak gugat
masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup dalam UUPPLH
merupakan penjabaran dari semangat yang diusung oleh undang-undang
tersebut, bahwa:

Dilihat dari sudut bentuk dan isinya, formulasi hak atas lngkungan bersifat hak
asasi klasik karena menghendaki penguasa tidak campur tangan terhadap
kebebasan individu untuk menikmati lingkungan hidupnya. Ditinjau dari
bekerjanya, hak itu mengandung tuntutan yang bersifat hak asasi sosial, karena
sekaligus diimbangi dengan kewajiban kepada pemerintah untuk menggariskan
kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong peningkatan upaya
pelestarian kemampuan lingkungan hidup. Di samping itu, hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat harus pula diimbangi dengan kewajiban memelihara
lingkungan hidup dan mencegah, serta menanggulangi kerusakan dan/atau
pencemarannya.

Untuk menjamin terlaksananya hak asasi setiap orang, negara harus menjamin
terpenuhinya hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Sebagai hak setiap orang, tentunya secara bertimbal-balik pula
mewajibkan semua orang untuk menghormati hak orang lain untuk memperoleh
lingkungan yang baik dan sehat itu. Jadi, di satu sisi setiap orang berhak atas
lingkungan yang baik dan sehat. Tetapi di sisi lain setiap orang juga wajib
menjaga dan menghormati hak orang lain untuk mendapatkan dan menikmati
lingkungan hdup yang baik dan sehat itu. Demikian pula bagi negara. Di satu
sisi dibebani kewajiban tanggung jawab untuk menjamin lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Di sisi lain negara juga berhak menuntut setiap orang
untuk menghormati hak orang lain. Apabila perlu, memaksa setiap orang untuk
tidak merusak dan mencemari lingkungan hidup yang menjadi kepentingan
bersama.

Deklarasi Rio berawal dari Konferensi PBB tentang Lingkungan dan


Pembangunan (The United Nations Conference on Environment and
Development) yang dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14
Juni 1992. Deklarasi ini berisi (dua puluh enam) prinsip yang mendasari
perlindungan dan pemenuhan HAM atas lingkungan yang sehat dan bersih. Hak
atas lingkungan hidup yang sehat dan baik merupakan bagian tak terpisahkan
dari eksistensi kemartabatan manusia. Harus dipahami munculnya pengakuan
universal tentang hak atas lingkungan hidup menyiratkan pandangan yang maju
terhadap pemenuhan HAM yang holistik dan integral. Dengan lingkungan
hidup yang sehat, manusia dapat menikmati hak-hak dasar lainnya. Dengan
lingkungan hidup yang sehat, manusia bisa mencapai standar kehidupan yang
layak.

Hak atas lingkungan hidup merupakan hak fundamental manusia. Hak itu
melekat sebagai yang memperkuat konstruk kehidupan manusia. Hak atas
lingkungan hidup yang bersih, menurut Tomuschat dalam bukunya Human
Rights Between Idealism and Realism, termasuk dalam kategori generasi
ketiga. Ada tiga jenis hak dalam kategori ini, yakni: hak atas pembangunan
(right to development), hak atas perdamaian (rights to peace), dan hak atas
lingkungan hidup yang bersih (rights to a clean environment).

Ketiga hak-hak tersebut di atas tergolong dalam generasi ketiga HAM dan
disebutnya sebagai hak solidaritas (solidarity rights). Kelebihan pengaturan
HAM (termasuk hak atas lingkungan) dalam konstitusi memberikan jaminan
yang sangat kuat,. Perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi,
seperti dalam ketatanegaraan Indonesia, mengalami proses yang sangat berat
dan panjang. Proses-proses itu antara lain melalui amandemen dan referendum,
sedangkan kelemahannya karena sesuatu yang diatur dalam konstitusi hanya
memuat aturan yang bersifat global. Lebih dari itu, keterjaminan HAM dalam
konstitusi dan peraturan perundang-undangan secara baik akan menjadi peluang
besar bagi terwujudnya penegakan hukum dan HAM secara bertanggung jawab
dan berkeadilan.

C. Contoh Soal / Tugas


1. Bagaimana konstitusi mengatur ha katas lingkungan
2. Bagaimana Robert Alexy berikut memandang hak manusia atas lingkungan

D. Pustaka

Rahmadi Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. (Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2011).

Silalahi Daud M, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan


di Indonesia, (Bandung: Penerbit alumni, 2001).
Suparni Niniek, Pelestarian pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan. Edisi
Revisi. (Jakarta : Sinar Grafika, 1982).

Asshiddiqie Jimly. Green constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945. (Jakarta : Rajawali Pers, 2010).

Supriadi. Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)

Mukhlis. Buku Ajar Hukum Lingkungan, (Jakarta: Scopindo Media Pustaka, 2019.

Simanullang Jatino. Lingkungan Sahabat Kita,

Wibisana Andri G. Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, Tahun 2010)

Fadli Mohammad. Muchlish, Lutfi Mustafa. Hukum dan Kebijakan Lingkungan.


(Jakarta: Tahun 2016)

Anda mungkin juga menyukai