Anda di halaman 1dari 9

Selasa, 09 Oktober 2007

Perusakan Lingkungan Sebagai Pelanggaran HAM

Oleh

Agung Wardana

''Bumi bisa mencukupi kebutuhan setiap orang, tapi takkan bisa mencukupi seorang yang
rakus''
- Mahatma Gandhi

PADA tahun 1994, Reportur Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) dan Lingkungan,
Subkomisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas mengeluarkan laporan
yang menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan telah menyebabkan dampak serius terhadap
kualitas hak asasi manusia (HAM). HAM yang diartikan sebagai seperangkat hak dasar yang
melekat pada diri manusia, merupakan hal mendasar yang harus dipenuhi sehingga manusia
sebagai makhluk yang bermartabat tidak kehilangan makna kemanusiaannya.

Sejarah dan Perspektif HAM


Telah lebih dari beberapa dekade, HAM diidentifikasi mulai dari Magna Charta tahun 1215 di
Inggris, kemudian diikuti Bill of Right tahun 1689 yang memunculkan pandangan bahwa
manusia mempunyai hak yang sama di muka hukum (equality before the law) dan juga
melahirkan asas persamaan.

Perkembangan berikutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of


Independence yang secara rinci menuliskan bahwa manusia merdeka sejak di dalam perut
ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, manusia harus terbelenggu.
Beberapa abad ke depan, tepatnya tahun 1948 lahirlah The Universal Declaration of Human
Right (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia -- DUHAM) yang dirumuskan dan
dideklarasikan oleh PBB.
Burn H. Weston, sebagaimana dikutip oleh Ridha Saleh, berpendapat dalam perjalanan sejarah
dan perspektif HAM, ada tiga generasi HAM yang menunjukkan dialektika antara berbagai
aliran ideologi terutama liberal dan sosialis, ditambah aspirasi dari negara-negara dunia ketiga
yang baru merdeka dari kolonialisme.
Weston menyebutkan bahwa ''generasi pertama'' berupa hak-hak sipil politik, yang mana
diartikan lebih bersifat negatif atau terlepas dari intervensi negara dalam pencarian martabat
manusia (Pasal 2-22 DUHAM). ''Generasi kedua'' muncul dari tradisi sosialis yang mengartikan
HAM secara positif, di mana mensyaratkan intervensi negara dengan tujuan untuk memastikan
partisipasi yang merata dalam produksi dan distribusi nilai-nilai yang dianut (Pasal 22-27
DUHAM). Sedangkan ''generasi ketiga'' sendiri ditunjukkan dalam Pasal 28 DUHAM, bahwa
setiap orang berhak atas tatanan sosial dan internasional, agar hak-hak asasi yang dinyatakan
dalam DUHAM dapat diwujudkan sepenuhnya. Di antaranya ada 6 hak yaitu: hak atas penentuan
nasib sendiri; hak atas pembangunan; hak untuk berpartisipasi dan memanfaatkan ''warisan
bersama umat manusia'' (sumber daya alam, ruang angkasa, informasi dan kemajuan ilmiah,
kemajuan teknologi, tradisi, lokasi dan monumen kebudayaan); hak atas perdamaian; hak atas
lingkungan yang sehat dan seimbang; dan hak atas bantuan bencana alam yang bersifat
kemanusiaan.

Hak atas Lingkungan


Untuk pertama kalinya hubungan antara hak-hak manusia dan lingkungan muncul pada tahun
1972 di Konferensi Stockholm tentang Lingkungan Manusia (Human Environment) yang
kemudian mengilhami lahirnya Revolusi PBB 3281 (XXIX) 12 Desember 1974. Salah satu
tujuannya adalah menciptakan perlindungan, pelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan
hidup. Hal ini kemudian dipertegas kembali dengan Agenda 21 dari KTT Bumi di Rio de Janeiro
tahun 1992. Intinya meletakkan paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai ideologi
pembangunan.

Dalam Agenda 21 ditetapkan tiga hal meliputi ekonomi, sosial, lingkungan harus selalu
terkandung dalam derajat yang sama atau seimbang guna penetapan suatu kebijakan
pembangunan berkelanjutan.

Hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia baru mendapat pengakuan oleh Sidang Komisi
HAM pada April 2001. Kesimpulan sidang tersebut menyatakan bahwa ''setiap orang memiliki
hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan''. Di
Indonesia, hak atas lingkungan telah diadopsi di berbagai ketentuan perundang-undangan, baik
konstitusi negara pascaamandemen maupun undang-undang negara. Dalam UUD 1945
amandemen II, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: ''Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.'' Padal 5 dan 8 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, berbunyi: ''Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat.'' Bukan hanya itu, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia juga menyatakan hal yang sama pada Pasal 3 yang berbunyi, ''Setiap orang mempunyai
hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.''

Maka dapat disimpulkan bahwa uraian tersebut memperlihatkan betapa pentingnya komponen
lingkungan dalam menunjang dan memenuhi hak hidup manusia. Hal ini berarti hak atas
lingkungan menentukan dalam pencapaian kualitas hidup manusia. Jika demikian, masihkah
sumir bahwa hak atas lingkungan merupakan hak asasi manusia?

Kondisi Lingkungan Kini


Indonesia sebagai negara yang mengakui nilai-nilai universitas HAM, mempunyai kewajiban
untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar
warga negaranya, yakni pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, lapangan kerja, keamanan,
sandang, lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tetapi kenyataannya kualitas hidup rakyat justru
mengalami penurunan. Hak dasar untuk hidup telah terancam oleh perusakan lingkungan,
deforestasi, pencemaran air dan udara, perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat (agraria
dan sumber daya alam).

Di masa orba, dengan paham ''pembangunanisme'', peran negara dalam menjalankan kewajiban
negara (state obligation) terhadap HAM tidak berjalan, karena negara juga menjadi aktor utama
pengendali ekonomi dan politik. Saat ini kekuatan negara melemah seiring dengan penundukan
negara pada lembaga-lembaga keuangan internasional, TNC/MNC dan WTO dengan agenda
pasar bebasnya, memaksa negara untuk tidak memproteksi hak-hak dasar warga negara.
Berbagai regulasi yang dijalankan oleh sistem WTO, bahkan mengurangi hak-hak buruh,
merampas hak-hak rakyat, mengurangi regulasi perlindungan lingkungan termasuk memotong
subsidi untuk pemenuhan hak-hak dasar. Air, hutan, pangan, kesehatan, layanan sosial yang
bersifat publik yang dulu merupakan HAM, kini semata-mata diperlakukan sebagai komoditi
(Mansour Faqih).
Atas nama ''pembangunan'' dan perdagangan bebas, pemerintah dan perusahaan atau korporasi
nasional maupun transnasional secara terus menerus mengeksploitasi lingkungan hidup dan
sumber daya alam (tanah, air, hutan, mineral). Sehingga, menyebabkan kerusakan pada
ekosistem yang pada gilirannya akan terjadi ekosida atau pembunuhan ekosistem.
Yang lebih mengkhawatirkan, pembunuhan ekosistem ini bersifat final dalam artian lingkungan
rusak permanen, sudah tidak dimungkinkan diperbarui dan terpulihkan kembali. Hal ini akan
berdampak pada kelangsungan hidup mausia sekarang maupun generasi mendatang.
Untuk tidak sampai pada ekosida, diperlukan etik yang memperjuangkan keadilan lingkungan
dan pengakuan terhadap ketergantungan antara manusia dan lingkungan. Sayangnya, hak atas
lingkungan, yang merupakan salah satu etik demi mencapai keadilan lingkungan, belum secara
maksimal disepakati dan dijalankan sebagai hak fundamental yang harus diakui secara politik,
apalagi berharap dapat mengikat secara hukum. Hak atas lingkungan hanya membawa kekuatan
moral bagi pihak-pihak yang ''tidak bermoral''. Akibatnya masih saja mereka melakukan
kegiatan-kegiatan yang menjurus pada praktik ekosida yang semakin menjauhkan rakyat dari
kualitas lingkungan hidup yang baik dan seimbang.

Penulis, aktivis Walhi, Sekretaris Eksekutif PBHI Bali, Div. Sosial & Hukum Pokja Bali
Santi, tinggal di Tabanan
PERSPEKTIF HAM DALAM ADVOKASI LINGKUNGAN HIDUP

sebuah eksplorasi awal

Pada bulan April 2001 Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyimpulkan bahwa setiap
orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun
dan degradasi lingkungan hidup. Keputusan itu adalah kali pertama Komisi
tersebut mengkaitkan antara lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Menanggapi momen bersejarah tersebut Klaus Toepfer, Direktur Eksekutif UNEP
(United Nation Environment Program) menyatakan "Keadaan lingkungan hidup
secara nyata membantu untuk menentukan sejauh mana orang dapat menikmati
hak-hak dasarnya untuk hidup, kesehatan, makanan dan perumahan yang layak
serta atas penghidupan dan budaya tradisionalnya. ... Hak dasar untuk hidup
terancam oleh degradasi dan deforestasi, paparan bahan kimia beracun, limbah
berbahaya dan pencemaran air minum. Untuk alasan inilah, kami percaya
keberhasilan implementasi traktak lingkungan hidup internasional tentang
keanekaragaman hayati, perubahan iklim, penggurunan dan bahan kimia dapat
memberikan sumbangan utama bagi perlindungan hak asasi manusia'
Sesungguhnya konsern PBB terhadap masalah lingkungan hidup ini telah
dimulai, pada tahun 1972 di Swedia melalui penyelenggarakan KTT lingkungan
yang pertama di Stockholm. Negara-negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga
hadir dalam KTT yang difasilitasi PBB itu. Isu dominan yang dibahas pada
saat itu adalah sustainability (kesinambungan) sumber daya alam dalam
menyokong kehidupan manusia dan juga masalah perkembangan populasi dunia.

Sepuluh tahun kemudian, saat diselenggarakan Konferensi Lingkungan Hidup


kedua (UNCHE II) di Nairobi, Kenya, 1982, gambaran situasinya telah berubah.
The United Nations Environtment Programme (UNEP - Program Lingkungan Hidup
PBB) dibentuk sesegera setelah Konferensi Stockholm sebagai badan PBB yang
baru; di samping tindakan-tindakan lain, konferensi kedua itu berhasil
dengan bantuan para pakar internasional dalam memprakarsai teori dan
strategi ecodevelopment sebagai alternatif politik pembangunan.

Pembahasan ini pun tetap berlanjut sampai pada KTT Bumi di Rio De Janeiro
tahun 1992. Itu pertanda bahwa isu ini bukan masalah enteng dalam percaturan
politik internasional. Tapi harapan akan perbaikan kondisi lingkungan yang
membuncah dengan terselenggaranya KTT-KTT ini pun tak tumbuh jadi tunas.
Justru dari KTT satu ke KTT berikutnya, kemerosotan lingkungan makin parah
terjadi; terutama di Dunia Ketiga di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Hingga terselengganya KTT Bumi 1992, belum ada pengakuan eksplisit


keterkaitan lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Baru setelah keputusan
sidang Komisi Hak Asasi PBB tahun 2001 secara eksplisit diurai kaitan
lingkungan dan hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia dalam Sistim PBB


Menurut Burns H. Weston ada tiga generasi HAM. Tiga generasi HAM menunjukkan
suasa dialektika antara berbagai aliran ideologi terutama liberal dan sosial
juga aspirasi dari negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari
kolonialisme. Tetapi inspirasinya diilhami oleh tiga norma Revolusi
Perancis, hak-hak itu adalah generasi pertama dari hak-hak sipil politik
(liberte-kebebesan), generasi kedua dari hak-hak ekonomi, sosial, budaya
(egalite-persamaan sosial) dan gernerasi ketiga hak-hak solidaritas
(fraternite-persaudaraan).

Weston menyebutkan bahwa "Generasi pertama berupa hak-hak sipil-politik


berasal terutama dari teori-teori reformis abad ketujuh belas dan kedelapan
belas yang berkaitan dengan revolusi Inggris, Amerika dan Perancis. Diinfus
dengan filosofi politik dari individualisme liberal dan doktrin ekonomi
laissez-faire. Generasi ini mengartikan HAM dengan istilah yang lebih
bersifat negatif atau lebih suka abstensi daripada intervensi pemerintah
dalam pencarian martabat manusia (pasal 2-22 DUHAM PBB). Walaupun dalam
beberapa segi juga mensyarajat tindakan positif pemerintah seperti hak atas
keamanan pribadi, paradilan yang adil dan terbuka dll. Tetapi nilai
sentralnya tetap bahwa kebebasan merupakan suatu perisai yang melindungi
individu sendirian dan dalam asosiasi-asosiasi dengan yang lain-lain, dari
penyelewengan dan penyalanggunaan otoritas politik."

"Sedangkan Generasi kedua pada umumnya, muncul dari tradisi sosialis dan
dicanangkan dengan berbagai cara oleh perjuangan-perjuangan revolusioner dan
gerakan kesejahteraan sejak itu. HAM generasi kedua merupakan tanggapan
terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan konsepsi
kebebasan individual yang mendasarinya, yang pada pokoknya tidak menentukan,
yang mentolerir, bahkan mengesahkan, eksploitasi kelas pekerja dan
rakyat-rakayat daerah jajahan. Generasi kedua mengartikan istilah HAM secara
positif yang mensyaratkan intervensi negara dengan tujuan untuk memastikan
partisipasi yang merata dalam produksi dan distribusi nilai-nilai yang
dikandung (pasal 22-27 DUHAM PBB). Walau demikian hak memilih pekerjaan
dengan bebas, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh, dan
hak partisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya dari komunitas, tidak
secara inheren mensyaratkan tindakan pemerintah yang positif untuk
menikmatinya. Tetapi sebagian karena relatif terlambatnya datangnya pengaruh
sosialisme-komunis dalam bidang normatif masalah-masalah internasional, maka
internasionalisasi HAM generasi kedua ini agak terlambat; tetapi dengan
meningkatnya kekuatan Dunia Ketiga di tingkat glonal, sungguh merupakan
'revolusi harapan yang meningkat,' hak-hak asasi itu telah mulai dewasa."

"Sedangkan generasi ketiga ditunjukkan dalam pasal 28 DUHAM PBB bahwa


"setiap orang berhak atas tatanan sosial dan internasional karena hak-hak
asasi yang dinyatakan dalam Deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya'.
Deklarasi sejauh ini mencakup 6 hak asasi yang dituntut. Tiga diantaranya
mencerminkan bangkitnya nasionalisme di Dunia Ketiga dan tuntutannya
terhadap pemerataan kekuasaan, kekayaan dan nilai-nilai lain yang penting
secara global: hak atas penentuan nasib sendiri di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya: hak atas pembangunan ekonomi dan sosial; hak untuk
berpartisipasi dan memanfaatkan 'warisan bersama umat manusia' (sumberdaya
bumi-ruang angkasa bersama; informasi dan kemajuan ilmiah, teknis dan
lainnya; serta tradisi, lokasi dan monumen-monumen kebudayaan). 3 hak
lainnya adalah hak atas perdamaian. Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan
seimbang dan hak-hak atas bantuan bencana alam yang bersifat kemanusian -
mengingat ketidakberdayaan atau ketidakefisienan negara-bangsa pada hal-hal
kritis tertentu."

Walaupun HAM generasi ketiga belum manifes atau secara eksplisit diakui
sebagai hak asasi manusia (kecuali hak atas pembangunan yang telah
dideklarasikan dan disetujui Majelis Umum tanggal 4 Desember 1986), paling
tidak ditingkat wacana telah ada pengakuan.

Hak Atas Sumber-sumber Kehidupan dan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat

Bila Klaus Toepfer (Direktur Eksekutif UNEP) menyatakan hak dasar untuk
hidup terancam oleh degradasi dan deforestasi, paparan bahan kimia beracun,
limbah berbahaya dan pencemaran air minum. Sesungguhnya ia luput untuk
menyoal perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat (agraria dan sumberdaya
alam) sebagai ancaman terbesar yang dihadapi rakyat menyangkut hak dasar
untuk hidup.

Walaupun belum ada deklarasi traktak atau konvenan khusus tentang Hak
Lingkungan Hidup sebagai Hak Asasi sesungguhnya berbagai dimensi yang
menyangkut hak-hak dasar atas sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup
telah tercakup dalam berbagai Hak-Hak Ekonomi-Sosial-Budaya (EKOSOB).

Hak Atas sumber-sumber Kehidupan


a. Hak atas Penentuan Nasib Sendiri
(Pasal 1 ayat 1 : Semua rakyat mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Atas
kekuatan hak itu, mereka dengan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial
dan budaya mereka sendiri)
Keterangan : Kedaulatan Rakyat dan Otonomi Komunitas
b. Hak atas Pekerjaan
(Setiap negara Peserta Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak
setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan yang
dipilihnya atau diterimanya sendiri secara bebas, dan akan mengambil
langkah-lankgah yang diperlukan guna menjamin hak ini)
Keterangan : Perampasan atas sumber-sumber agraria dan sumber daya alam
hakekatnya adalah merampas hak atas pekerjaan
c. Hak atas Taraf Kehidupan yang layak
(Pasal 11 ayat 1 Negara-negara peserta Konvenan ini mengakui hak setiap
orang atas taraf kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk
sandang, pangan dan tempat tinggal, dan perbaikan yang terus menerus dari
lingkungannya
d. Hak atas Kekayaan Alam
(Pasal 1 ayat 2 : Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan
dan sumberdaya mereka sendiri... Tidak dapat dibenarkan suatu bangsa
merampas penghidupan rakyatnya sendiri.)

Hak Atas Lingkungan Hidup yang Sehat dan Bersih


a. Hak atas Kehidupan
Pasal 6 ayat 1 Setiap umat manusia mempunyai hak hidup yang melekat pada
dirinya.
b. Hak Atas Kesehatan.
Pasal 12 ayat 1 .. Mengakui hak setiap orang untuk menikmati kegiatan fisik
dan mental pada taraf yang tertinggi yang dapat dicapai
Pasal 12 ayat 2 b .memperbaiki semua aspek kesehatan lingkungan dan
industri.

Globalisasi Neo Liberal : Ancaman Terbesar HAM Hari Ini

Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, merupakan hak-hak asasi yang telah
dikenal secara luas akan tetapi pada saat yang sama dilanggar secara
sistematis. Jaminan utama hak-hak asasi ekonomi, sosial dan budaya adalah
DUHAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekososbud, yang telah ditandatangani
oleh 142 negara. Sifat dinamis dari hak asasi manusia juga diakui dalam
Piagam DUHAM paragraph 8, yang menyatakan bahwa Deklarasi itu merupakan
"standard bersama bagi semua orang dan semua bangsa.". Yang secara konsisten
dilindungi oleh hak asasi manusia dari waktu ke waktu sebagai martabat
setiap umat manusia.

Hegemoni dan dominasi globalisasi neo-liberal serta antek-anteknya didalam


negeri sesungguhnya merupakan ancaman terbesar terhadap hak asasi manusia
saat ini. Banyak fakta menunjukkan bahwa banyak pelanggaran hak sipil
politik terjadi untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi yang
bertanggungjawab atas perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat. Kasus
kekerasan di Bulukumba, Seseba, Timika, Porsea, terjadi untuk melindungi
kepentingan-kepentingan ekonomi atau membungkam perlawanan rakyat untuk
merebut kedaulatan atas sumber-sumber kehidupan mereka. Bahkan ditingkat
global AS menggunakan perang untuk merampas sumber-sumber ekonomi di
negara-negara selatan atau dunia ketiga atau melindungi kepentingan
ekonominya.

Bila di masa pembangunanisme peran negara sebagai instrumen


"proteksi-prevensi-promosi" HAM tidak berjalan karena negara juga menjadi
aktor utama pengendali ekonomi dan politik. Maka saat sekarang peran negara
sebagai instrumen 'proteksi-prevensi-promosi" HAM tidak berjalan karena
ambivalensi antara berpegang teguh pada konvensi PBB atau konvensi WTO
dengan ideologi pasar bebasnya. Berbagai regulasi yang dijalankan oleh
sistim WTO bahkan mengurangi hak-hak buruh, merampas hak-hak petani,
mengurangi regulasi-regulasi negara bagi perlindungan lingkungan,
liberalisasi sektor pertanahan, termasuk memotong subsidi untuk pemenuhan
hak-hak dasar. Air, hutan, pangan, kesehatan, layanan sosial, layanan sosial
yang bersifat publik yang dulu merupakan HAM, kini semata-mata diperlakukan
sebagai komoditi. Dengan itu maka globalisasi membawa implikasi pelanggaran
HAM yang lebih struktural (Mansour Fakiq).

Kembali kepada pendapat Weston, "HAM generasi kedua (EKOSOB) merupakan


tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis
dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya, yang pada pokoknya
tidak menentukan, yang mentolerir, bahkan mengesahkan, eksploitasi kelas
pekerja dan rakyat-rakyat daerah jajahan." . Maka dengan kembalinya
menguatnya liberalisme, kapitalisme, dan kebebasan individual, jelaslah
hak-hak ini semakin jauh dari tangan rakyat. Selain itu generasi kedua
mengartikan istilah HAM secara positif yang mensyaratkan intervensi negara,
ironisnya intervensi inilah yang menjadi musuh utama globalisasi neo-lib.

Anda mungkin juga menyukai