Oleh
Agung Wardana
''Bumi bisa mencukupi kebutuhan setiap orang, tapi takkan bisa mencukupi seorang yang
rakus''
- Mahatma Gandhi
PADA tahun 1994, Reportur Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) dan Lingkungan,
Subkomisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas mengeluarkan laporan
yang menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan telah menyebabkan dampak serius terhadap
kualitas hak asasi manusia (HAM). HAM yang diartikan sebagai seperangkat hak dasar yang
melekat pada diri manusia, merupakan hal mendasar yang harus dipenuhi sehingga manusia
sebagai makhluk yang bermartabat tidak kehilangan makna kemanusiaannya.
Dalam Agenda 21 ditetapkan tiga hal meliputi ekonomi, sosial, lingkungan harus selalu
terkandung dalam derajat yang sama atau seimbang guna penetapan suatu kebijakan
pembangunan berkelanjutan.
Hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia baru mendapat pengakuan oleh Sidang Komisi
HAM pada April 2001. Kesimpulan sidang tersebut menyatakan bahwa ''setiap orang memiliki
hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan''. Di
Indonesia, hak atas lingkungan telah diadopsi di berbagai ketentuan perundang-undangan, baik
konstitusi negara pascaamandemen maupun undang-undang negara. Dalam UUD 1945
amandemen II, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: ''Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.'' Padal 5 dan 8 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, berbunyi: ''Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat.'' Bukan hanya itu, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia juga menyatakan hal yang sama pada Pasal 3 yang berbunyi, ''Setiap orang mempunyai
hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.''
Maka dapat disimpulkan bahwa uraian tersebut memperlihatkan betapa pentingnya komponen
lingkungan dalam menunjang dan memenuhi hak hidup manusia. Hal ini berarti hak atas
lingkungan menentukan dalam pencapaian kualitas hidup manusia. Jika demikian, masihkah
sumir bahwa hak atas lingkungan merupakan hak asasi manusia?
Di masa orba, dengan paham ''pembangunanisme'', peran negara dalam menjalankan kewajiban
negara (state obligation) terhadap HAM tidak berjalan, karena negara juga menjadi aktor utama
pengendali ekonomi dan politik. Saat ini kekuatan negara melemah seiring dengan penundukan
negara pada lembaga-lembaga keuangan internasional, TNC/MNC dan WTO dengan agenda
pasar bebasnya, memaksa negara untuk tidak memproteksi hak-hak dasar warga negara.
Berbagai regulasi yang dijalankan oleh sistem WTO, bahkan mengurangi hak-hak buruh,
merampas hak-hak rakyat, mengurangi regulasi perlindungan lingkungan termasuk memotong
subsidi untuk pemenuhan hak-hak dasar. Air, hutan, pangan, kesehatan, layanan sosial yang
bersifat publik yang dulu merupakan HAM, kini semata-mata diperlakukan sebagai komoditi
(Mansour Faqih).
Atas nama ''pembangunan'' dan perdagangan bebas, pemerintah dan perusahaan atau korporasi
nasional maupun transnasional secara terus menerus mengeksploitasi lingkungan hidup dan
sumber daya alam (tanah, air, hutan, mineral). Sehingga, menyebabkan kerusakan pada
ekosistem yang pada gilirannya akan terjadi ekosida atau pembunuhan ekosistem.
Yang lebih mengkhawatirkan, pembunuhan ekosistem ini bersifat final dalam artian lingkungan
rusak permanen, sudah tidak dimungkinkan diperbarui dan terpulihkan kembali. Hal ini akan
berdampak pada kelangsungan hidup mausia sekarang maupun generasi mendatang.
Untuk tidak sampai pada ekosida, diperlukan etik yang memperjuangkan keadilan lingkungan
dan pengakuan terhadap ketergantungan antara manusia dan lingkungan. Sayangnya, hak atas
lingkungan, yang merupakan salah satu etik demi mencapai keadilan lingkungan, belum secara
maksimal disepakati dan dijalankan sebagai hak fundamental yang harus diakui secara politik,
apalagi berharap dapat mengikat secara hukum. Hak atas lingkungan hanya membawa kekuatan
moral bagi pihak-pihak yang ''tidak bermoral''. Akibatnya masih saja mereka melakukan
kegiatan-kegiatan yang menjurus pada praktik ekosida yang semakin menjauhkan rakyat dari
kualitas lingkungan hidup yang baik dan seimbang.
Penulis, aktivis Walhi, Sekretaris Eksekutif PBHI Bali, Div. Sosial & Hukum Pokja Bali
Santi, tinggal di Tabanan
PERSPEKTIF HAM DALAM ADVOKASI LINGKUNGAN HIDUP
Pada bulan April 2001 Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyimpulkan bahwa setiap
orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun
dan degradasi lingkungan hidup. Keputusan itu adalah kali pertama Komisi
tersebut mengkaitkan antara lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Menanggapi momen bersejarah tersebut Klaus Toepfer, Direktur Eksekutif UNEP
(United Nation Environment Program) menyatakan "Keadaan lingkungan hidup
secara nyata membantu untuk menentukan sejauh mana orang dapat menikmati
hak-hak dasarnya untuk hidup, kesehatan, makanan dan perumahan yang layak
serta atas penghidupan dan budaya tradisionalnya. ... Hak dasar untuk hidup
terancam oleh degradasi dan deforestasi, paparan bahan kimia beracun, limbah
berbahaya dan pencemaran air minum. Untuk alasan inilah, kami percaya
keberhasilan implementasi traktak lingkungan hidup internasional tentang
keanekaragaman hayati, perubahan iklim, penggurunan dan bahan kimia dapat
memberikan sumbangan utama bagi perlindungan hak asasi manusia'
Sesungguhnya konsern PBB terhadap masalah lingkungan hidup ini telah
dimulai, pada tahun 1972 di Swedia melalui penyelenggarakan KTT lingkungan
yang pertama di Stockholm. Negara-negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga
hadir dalam KTT yang difasilitasi PBB itu. Isu dominan yang dibahas pada
saat itu adalah sustainability (kesinambungan) sumber daya alam dalam
menyokong kehidupan manusia dan juga masalah perkembangan populasi dunia.
Pembahasan ini pun tetap berlanjut sampai pada KTT Bumi di Rio De Janeiro
tahun 1992. Itu pertanda bahwa isu ini bukan masalah enteng dalam percaturan
politik internasional. Tapi harapan akan perbaikan kondisi lingkungan yang
membuncah dengan terselenggaranya KTT-KTT ini pun tak tumbuh jadi tunas.
Justru dari KTT satu ke KTT berikutnya, kemerosotan lingkungan makin parah
terjadi; terutama di Dunia Ketiga di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
"Sedangkan Generasi kedua pada umumnya, muncul dari tradisi sosialis dan
dicanangkan dengan berbagai cara oleh perjuangan-perjuangan revolusioner dan
gerakan kesejahteraan sejak itu. HAM generasi kedua merupakan tanggapan
terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan konsepsi
kebebasan individual yang mendasarinya, yang pada pokoknya tidak menentukan,
yang mentolerir, bahkan mengesahkan, eksploitasi kelas pekerja dan
rakyat-rakayat daerah jajahan. Generasi kedua mengartikan istilah HAM secara
positif yang mensyaratkan intervensi negara dengan tujuan untuk memastikan
partisipasi yang merata dalam produksi dan distribusi nilai-nilai yang
dikandung (pasal 22-27 DUHAM PBB). Walau demikian hak memilih pekerjaan
dengan bebas, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh, dan
hak partisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya dari komunitas, tidak
secara inheren mensyaratkan tindakan pemerintah yang positif untuk
menikmatinya. Tetapi sebagian karena relatif terlambatnya datangnya pengaruh
sosialisme-komunis dalam bidang normatif masalah-masalah internasional, maka
internasionalisasi HAM generasi kedua ini agak terlambat; tetapi dengan
meningkatnya kekuatan Dunia Ketiga di tingkat glonal, sungguh merupakan
'revolusi harapan yang meningkat,' hak-hak asasi itu telah mulai dewasa."
Walaupun HAM generasi ketiga belum manifes atau secara eksplisit diakui
sebagai hak asasi manusia (kecuali hak atas pembangunan yang telah
dideklarasikan dan disetujui Majelis Umum tanggal 4 Desember 1986), paling
tidak ditingkat wacana telah ada pengakuan.
Hak Atas Sumber-sumber Kehidupan dan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat
Bila Klaus Toepfer (Direktur Eksekutif UNEP) menyatakan hak dasar untuk
hidup terancam oleh degradasi dan deforestasi, paparan bahan kimia beracun,
limbah berbahaya dan pencemaran air minum. Sesungguhnya ia luput untuk
menyoal perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat (agraria dan sumberdaya
alam) sebagai ancaman terbesar yang dihadapi rakyat menyangkut hak dasar
untuk hidup.
Walaupun belum ada deklarasi traktak atau konvenan khusus tentang Hak
Lingkungan Hidup sebagai Hak Asasi sesungguhnya berbagai dimensi yang
menyangkut hak-hak dasar atas sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup
telah tercakup dalam berbagai Hak-Hak Ekonomi-Sosial-Budaya (EKOSOB).
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, merupakan hak-hak asasi yang telah
dikenal secara luas akan tetapi pada saat yang sama dilanggar secara
sistematis. Jaminan utama hak-hak asasi ekonomi, sosial dan budaya adalah
DUHAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekososbud, yang telah ditandatangani
oleh 142 negara. Sifat dinamis dari hak asasi manusia juga diakui dalam
Piagam DUHAM paragraph 8, yang menyatakan bahwa Deklarasi itu merupakan
"standard bersama bagi semua orang dan semua bangsa.". Yang secara konsisten
dilindungi oleh hak asasi manusia dari waktu ke waktu sebagai martabat
setiap umat manusia.