PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan
ataupun pemulihan kesehatannya (Prasetyawati, 2012).
Di Indonesia perlindungan dan penegakan hukum di bidang kesehatan terlihat
jelas masih sangat kurang. Satu demi satu terdapat beberapa contoh kasus yang
terjadi terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang
terburuk, dan kadang - kadang akan berakhir dengan kematian. Kasus tindak pidana
dibidang medis yang banyak terjadi dan diekspos diberbagai media hanya merupakan
beberapa kasus yang menguap, sehingga dapat dikatakan seperti gunung es (iceberg).
Menguapnya kasus - kasus tindak pidana tersebut juga merupakan suatu pertanda
kemajuan dalam masyarakat, atas kesadarannya akan hak - haknya yang berkenan
dengan kesehatan dan pelayanan medis, sekaligus kesadaran akan hak - haknya untuk
mendapatkan perlindungan hukum yang sama dibidang medis. Indonesia sebagai
negara hukum yang menjamin perlindungan Hak Asasi warga negaranya telah
diberikan dalam sebuah konstitusi yaitu dalam Undang - undang Dasar 1945
(Kondoy, 2015).
Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) disetiap negara yang
menganut sistem demokrasi terus maka berkembang menyesuaikan kondisi masing masing negara. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang melekat pada diri setiap
manusia yang lahir kedunia haruslah dijamin oleh pemerintah sebagai penyelenggara
kekuasaan negara. Demikian pula setiap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
haruslah dikecam dan dikutuk dengan memberikan hukuman yang setimpal. Hukum
hak asasi manusia Internasional menetapkan dua aturan hukum yang berhubungan
dengan kesehatan: yaitu a) perlindungan terhadap kesehatan masyarakat yang secara
sah membatasi hak asasi manusia dan b) hak kesehatan individu serta kepada
kewajiban pemerintah untuk memberikannya. Pada bagian pertama lebih mengarah
kepada public health care yang pengaturannya masih dalam perkembangan
sedangkan dalam menentukan kewajiban yang mempunyai kaitan dengan hak dasar
manusia atas kesehatan,
diprioritaskan
pada
aturan-aturan
untuk
kesehatan
Rumusan Masalah
Tujuan
1.4
Manfaat
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis terkait hak dan kewajiban
dalam praktik medis serta hukum yang mengatur hak dan kewajiban pasien
dan dokter dalam praktik medis.
2. Meningkatkan kewaspadaan dokter dalam melaksanakan praktik medis dalam
kegiatan sehari-hari
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
hokum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia (Republik Indonesia, Undang -Undang Hak Asasi Manusia
(HAM), 2012).
Hak Asasi Manusia memiliki beberapa pengertian dimata para ahli. John
Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung
oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada
kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat
mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak
kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia (Effendi, 1994).
Sedangkan menurut Jefferson, setiap manusia sejak dilahirkan telah melekat
kepadanya suatu hak kodrat yang dimiliki manusia sebagai manusia yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah demi
kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Pendapat-pendapat seperti ini merupakan pondasi untuk membentuk hak asasi
manusia yang universal. Karel Vasak seorang sarjana berkebangsaan Perancis
mengemukakan suatu model perkembangan hak asasi manusia yang dibagi menjadi
beberapa kelompok (Asshiddique, 2008).
Perkembangan konsepsi hak asasi manusia telah menempuh tiga tahap,
sehingga hak asasi manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu hak
asasi manusia generasi pertama, generasi kedua, dan generasi ketiga. Hak asasi
manusia generasi pertama adalah hak-hak asasi manusia dalam bidang sipil dan
politik, yang oleh T. Koopmans disebut sebagai de klassieke grondrechten (hak-hak
dasar yang klasik). Karakter hak asasi manusia generasi pertama tersebut adalah
negatif, karena menghendaki kebebasan dari suatu kekangan tertentu (freedom from).
Hak asasi manusia generasi kedua diwarnai dengan munculnya tuntutan hak-hak asasi
dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang disebut oleh T.Koopmans sebagai
de sociale grondrechten (hak-hak dasar sosial), dan karenanya berkarakter positip
(right to), sedangkan hak asasi manusia generasi ketiga ialah yang dikenal dengan
sebutan solidarity rights, yang memaknai hak asasi manusia bagi pembangunan
kesejahteraan masyarakat (Perwira, 2011).
Hak atas kesehatan dalam hubungan dengan kategori hak asasi manusia
tersebut, sering dimasukkan dalam hak asasi manusia generasi kedua dan hak asasi
manusia generasi ketiga. Apabila hak atas kesehatan tersebut dikaitkan dengan
kesehatan individu, dia masuk ke dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi
jika terkait dengan kesehatan masyarakat, dia masuk ke dalam hak atas
pembangunan. Menurut Muladi, kategori hak asasi manusia generasi ketiga diberikan
kepada hak-hak kolektif atas dasar solidaritas antar umat manusia berlandaskan rasa
persaudaraan dan solidaritas yang sangat dibutuhkan. Hak asasi manusia ini
mencakup antara lain the right to development; right to peace; and the right to
healthy and balanced environment (Perwira, 2011).
Generasi Pertama, mewakili hak-hak sipil dan politik yakni hak asasi
manusia yang klasik. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia
ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human
Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Dalam konsepsi generasi
pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip
integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Hak asasi manusia pada generasi pertama berkenaan dengan hak-hak sipil dan politik
yang mencakup antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia
Generasi Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin
pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan,
termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk
menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Sementara
itu, hak asasi generasi kedua berkenaan dengan hak-hak di bidang ekonomi, sosial,
dan budaya. Yang menyangkut hak-hak sosial dan ekonomi antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)
(Asshiddique, 2008)
Kemudian pada tahun 1986, muncul pula Generasi Ketiga yaitu lahirnya
konsepsi baru hak asasi manusia yang pada intinya adalah hak atas standar
kehidupan yang layak. Standar kehidupan tersebut menjadi sub sistem dari hak-hak
ekonomi yang sudah ada, seperti hak atas makanan, gizi, pakaian, upah yang layak,
perumahan yang layak, lingkungan hidup yang bersih dan sehat, dan sebagainya.
Kemudian muncul pula Generasi Ketiga lainnya yaitu lahirnya konsepsi baru hak
asasi manusia mencakup hak untuk pembangunan. Dalam kaitannya dengan tiga
generasi hak asasi manusia tersebut, menarik apa yang dikemukakan oleh Karel
Vasak, yang menguraikan perkembangan tiga generasi hak asasi manusia tersebut
dari tema Revolusi Prancis, yaitu liberte, egalite dan fraternite. Esensi dari hak asasi
manusia generasi pertama adalah kebebasan (liberte), yang secara fundamantal
bersifat sipil dan politik (civil and political in nature), dan bertujuan untuk
melindungi setiap orang dari penindasan penguasa negara, seperti kebebasan
berbicara/berpendapat, kebebasan beragama, hak pilih, dan hak diadili secara jujur
(fair trial). Hak asasi manusia generasi ketiga tersebut berkembang melalui berbagai
instrumen hukum internasional dan meliputi serangkaian hak yang sangat luas,
seperti:
1) hak-hak kolektif atau kelompok, seperti hak masyarakat adat, dan
masyarakat rentan lainnya;
2) hak untuk menentukan nasib sendiri;
3) hak atas pembangunan;
4) hak atas sumberdaya alam;
5) hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;
6) hak atas informasi dan berkomunikasi;
7) hak atas cagar budaya;
8) hak atas keadilan antar generasi, dan sebagainya. (Perwira, 2011)
Sedangkan generasi keempat adalah mengenai tanggungjawab negara dan
kewajiban asasi manusia.
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan
sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan
dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
3. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
8
Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.
orang
berhak
atas
kebebasan
berserikat,
berkumpul,
dan
mengeluarkan pendapat7.
8.Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk
mencari,
memperoleh,
memiliki,
menyimpan,
mengolah,
dan
10
11.Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan11.
12.Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan12.
13.Setiap
orang
berhak
pengembangan
atas
dirinya
jaminan
secara
sosial
utuh
yang
sebagai
memungkinkan
manusia
yang
bermartabat13.
14.Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun14.
15.Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia15.
16.Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya16.
11 Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.
12 Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
13 Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.
14 Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.
15 Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.
16 Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.
11
17 Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.
18 Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.
19 Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.
20 Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumusannya mengundang kontroversi di
kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik dengan subjek negara.
21 Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan
subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.
12
ketertiban
umum
dalam
suatu
masyarakat
demokratis 26.
22 Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD
1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan
perumusan alternatif 1 butir c dan a. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: ...serta
melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama, sebaiknya dihapuskan
saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata
sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak
selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama.
Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang
diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok
paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
23 Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.
24 Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perkataan ...memajukan.., sehingga menjadi
Untuk memajukan, menegakkan, dan melindungi....
25 Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan undang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat,
maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.
26
13
lingkungannya.
Ketentuan
tersebut
menimbulkan
pertanyaan,
apakah
memelihata dan meningkat-kan derajat kesehatan sebagai suatu hak asasi manusia
juga sekaligus merupakan kewajiban asasi manusia? (Perwira, 2011).
Rumusan berkewajiban untuk ikut serta sama dengan wajib ikut serta,
seperti yang terdapat dalam Pasal 30 UUD 45, atau apakah ikut serta yang dimaksud
sama dengan peran serta, seperti yang dimaksud dalam Pasal 71 Undang-undang
tersebut? (Perwira, 2011)
Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 menyatakan, bahwa
Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan beserta sumber dayanya. Adapun yang dimaksud dengan upaya kesehatan
adalah pemeliharaan, pening-katan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit
(preventif), penyembuh-an penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).25
Jadi kewajiban ikut serta tersebut tidak sama dengan peran serta karena ikut serta
hanya berkenaan dengan upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Demikian
pula apabila hendak dikategorikan sebagai kewajiban asasi manusia, dapat diuraikan
sebagai berikut: (Perwira, 2011)
1) Hak kesehatan yang sekaligus kewajiban, yaitu:
a. pemeliharaan kesehatan; dan
14
Hukum Kesehatan
a)
Definisi
Hukum kesehatan merupakan cabang ilmu hokum yang secara relative baru
b)
2014)
1. Tenaga kesehatan sarjana yaitu: dokter, dokter gigim apoteker, dan sarjana
lain dibidang kesehatan
15
2. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah, dan rendah: (a) bidang farmasi,
(b) bidang kebidanan, (c) bidang perawatan, (d) bidang kesehatan masyarakat
Saat ini dapat disepakati secara luas ruang lingkup peraturan hukum untuk
kegiatan pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran, mencakup aspek-aspek
dibidang pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan sesudah memasuku
aspek hukum tata Negara. Persyaratan pendidikan keahlian, pengobatanm berbagai
pembatasan serta pengawasan profesi dokter masuk dalam bagian hukum
administrasi. Hak dan kewajiban yang imbuyl dari hubungan pelayanan kesehatan,
persetujuan antara dokter-pasien serta keluarganya, akibat kelalaian perdata serta
tuntutannya dalam pelayanan kesehatan masuk bagian hukum perdata. Kesaksian,
kebenaran isi surat keterangan kesehatan, menyimpan rahasia, pengguguran
kandungan, resep obat keras atau narkotika, pertolongan orang sakit yang berakibat
bahaya maut atau luka-luka masuk bagian hukum pidana (Sadi, 2014) (Sampurno,
2011).
c)
asasi manusia. Pada pasal 28H dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat itnggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, pada
Pasal 34 ayat 33 dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Hal ini
menunjukan Negara bahwa pemerintah berkewajiban untuk menyehatkan yang sakit
dan berupaya mempertahankan yang sehat untuk hidup sehat (Sadi, 2014).
Konsep dasar hukum kesehatan mempunyai ciri istimewa, yaitu beraspek: (1)
hak asasi manusia, (2) Kesepakatan internasional, (3) legal baik pada level nasional
maupun internasional, dan (4) iptek (Sadi, 2014).
2.4
Praktik Kedokteran
16
diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib
diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu
mendapatkan perlindungan.
2.
17
dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan
harus diikuti.
4.
Keadilan (justice)
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan
2.5
2.5.1
18
3.
4.
5.
19
Memberi informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada
dokter yang sedang merawatnya
2.
3.
Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan baik rumah sakit
atau pun puskesmas atau tempat pelayanan kesehatan lainnya
4.
Memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban memenuhi hal-hal
yang telah disepakati / perjanjian yang telah dibuatnya
2.5.2
individu
pengemban
ilmu
pengetahuan
kedokteran
dalam
2.
3.
4.
prosedur operasional.
Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarga
Menerima imbalan jasa
20
Kewajiban Umum
Kewajian Dokter Terhadap Pasien
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
Pada poin Kewajiban Umum Dokter, tertuang dalam pasal 1 sampai pasal 9. (MKEK,
2004)
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien,
setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6
Pasal 7
Setiap dokter harus memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
22
Pasal 7c
Pasal 7d
Pasal 8
yang
menyeluruh
(promotif,
preventif,
kuratif,
dan
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu
dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam masalah lainnya.
Pasal 11
Pasal 12
23
Pasal 13
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Pasal 17
Ayat 2
24
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1 Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal
dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku pelajaran
kedokteran, jurnal imiah edisi cetak maupun edisi online, dan artikel ilmiah
yang bersumber dari internet. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat
kualitatif maupun kuantitatif.
3.2 Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari
berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang
diperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai
dengan topik yang dibahas.
3.3 Analisis Data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian.
Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis berdasarkan data yang telah
25
dipersiapkan secara logis dan sistematis. Teknik analisis data bersifat deskriptif
argumentatif.
3.4 Penarikan Kesimpulan
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah,
tujuan penulisan, serta pembahasan.Simpulan yang ditarik mempresentasikan
pokok bahasan karya tulis, serta didukung dengan saran praktis sebagai
rekomendasi selanjutnya.
BAB 4
PEMBAHASAN
Menurut Pasal 1 Undang - Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) menyebutkan bahwa: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pasal 1 angka 6 Undang - Undang
No. 39 Tahun 1999 berbunyi: Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang
atau sekelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi seseorang atau sekelompok orang yang
dijamin oleh undang - undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku. Dalam Undang- Undang No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia terdapat beberapa Pasal yang bisa dikaitkan dengan pasien dan pelanggaran
terhadap ketentuan ini merupakan
26
4.1.1
Pelayanan Kesehatan
27
28
29
30
disini
yang
dimaksudkan
adalah
pemerintah.
Selaku
pihak
31
tingkat pendapatan masyarakat yang rendah atau miskin. Kebutuhan primer agar
memperoleh akses pelayanan yang efektif: adalah tersedianya fasilitas dan petugas,
jarak dan finansial terjangkau serta masalah sosial budaya yang dapat diterima oleh
pengguna. Kendala yang ada adalah jarak tempat tinggal pengguna dari tempat
pelayanan, kekurangan alat-alat dan persediaan di tempat pelayanan, kekurangan
dana untuk biaya transportasi, dan kekurangan dana untuk biaya pengobatan. Selain
faktor sarana dan prasarana transportasi, masih banyak faktor-faktor lain yang belum
terungkap dengan jelas terkait dengan keterjangkauan pelayanan yang dapat
membantu menyelesaikan masalah tersebut (Suharmiati, Handayani, & Kristiana,
2012).
4.1.2
Kualitas Kesehatan
Masyarakat akan menuntut kualitas pelayanan bagi penyedia layanan jasa,
baik yang berorientasi profit maupun nonprofit. Dapat dilihat bagaimana kualitas
layanan menjadi tuntutan masyarakat yang mengharapkan yang mengharapkan
layanan publik itu semakin baik, baik yang dapat dilihat diberbagai media informasi
dimana masyarakat melakukan unjuk rasa yang menyampaikan ketidakpuasan
mereka terhadap kinerja suatu instansi yang dianggap tidak berkualitas (Yusuf, 2012).
Lewis & Booms (1983) mendifinisikan mutu atau kualitas layanan sebagai
ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan
ekspektasi konsumen. Berdasarkan definisi ini, kualitas layanan dapat diwujudkan
melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaian
untuk mengimbangi harapan konsumen. Dengan semikian terdapat dua faktor utama
yang mempengaruhi kualitas layanan, yaitu layanan yang diharapkan dan layanan
yang dipersepsikan/ dirasakan (Hayaza, 2013).
Tolak ukur kualitas pelayanan dapat diukur dari 10 sub variabel (dimensi),
yaitu tangibles, reliability, responsivenss, competence, coutesy, credibility, security,
access, communications, undestanding the customer.
Namun demikian, selepas indikatorindikator daripada dimensi tersebut
digunakan untuk pengkajian secara berulangulang didapati berlaku pertindihan
32
orang lain nanti sakit demam," kata Aloysius saat ditemui CNN Indonesia usai acara
Deklarasi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Biak, Papua, baru-baru ini.
Tidak adanya sarana kesehatan di pedalaman dan kampung-kampung yang terisolasi
juga menjadi tantangan tersendiri. Jarak puskesmas seringkali sangat jauh dari tempat
tinggal masyarakat pedalaman. Akibatnya mereka sulit menjangkau petugas
kesehatan dan petugas kesehatan pun sulit menjangkau mereka. Belum lagi soal
petugas kesehatan yang jumlahnya masih sangat sedikit (Wahyuni, 2015).
Kasus 2: Pelayanan Kesehatan Sulit Dijangkau, 7 Warga Papua Meninggal
(Sumber: health.liputan6.com 2013)
Sekitar 7 warga di kampung Jokbijoker, Mbatde, dan Kwesefo, Kabupaten
Tambrauw, Papua meninggal akibat sulitnya pelayanan kesehatan. Menurut data
Kementrian kesehatan, Kampung Jokbijoker, Mbatde dan Kwesefo merupakan desa
di dalam wilayah Distrik Kwoor yang merupakan kampung yang sangat terpencil dan
susah dijangkau dari Ibu Kota Kabupaten Timbraw. Untuk menuju kampung tersebut
harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 5-7 hari atau menggunakan helikopter.
"Jumlah kematian ini merupakan akumulasi dari kematian tahun sebelumnya,
sedangkan jumlah kematian periode triwulan I tahun 2013 adalah 2 orang terdiri dari
1 orang ibu hamil dan 1 orang Lansia," ujar tim investigasi kemenkes dalam
pernyataannya yang dikirimkan melalui surat elektronik, Sabtu (13/4/2013).
"Demikian pula dengan pelayanan kesehatan yang kurang karena lokasi kampung
yang sangat sulit dijangkau, perilaku merokok, kebiasaan membuat perapian di dalam
rumah ataupun ketersediaan jamban yang kurang karena masyarakat terbiasa buang
air di hutan atau di sungai. Ditambah lagi cara pengolahan makan masih sangat
terbatas, seperti air minum tidak dimasak dulu tetapi langsung diminum dari sumbersumber mata air yang ada di kampung,"tulisnya. Hasil Pengukuran Anthropometri
pada Balita di Desa Bikar, Jokbijoker dan Kwesefo menunjukkan bahwa dari 31
penduduk Jokbijoker yang diukur terdapat 4 Balita masih dalam status gizi normal.
Dari 36 orang penduduk Bikar yang diukur terdapat 11 Balita diantaranya 6 Balita
berstatus gizi normal, 1 anak kurus, dan 4 anak sangat kurus yang langsung dirujuk
34
35
36
itu jumlah
tenaga
kesehatan
37
4.2
disampaikan pasien (termasuk oleh orang yang mendampingi pasien ketika berobat),
termasuk juga segala sesuatu yang dilihat (diketahui) ketika memeriksa pasien
(Yunanto & Helmi, 2010).
Masalah suatu rahasia baru timbul apabila ada dua pihak atau lebih terkait
di dalamnya. Seorang pasien yang datang kepada seorang dokter untuk berobat. Ia
menceritakan apa yang dideritanya, bagian tubuh mana atau apa yang dirasakan sakit.
Atas dasar uraian pasien tersebut, maka dokternya akan mengajukan berbagai
pertanyaan agar lebih jelas. Kemudian ia melakukan pemeriksaan badan, mungkin
menyuruh pemeriksaan Laboratorium, Foto rontgen, CT-Scan, dan sebagainya. Atas
dasar berbagai pemeriksaan tersebut dokter bisa menarik kesimpulan bahwa
diagnosis adalah penyakit tertentu. Hal ini diberitahukan kepada pasien dan diberi
pengobatan atau dianjurkan misalnya Rawat inap untuk dilakukan observasi dan
pemeriksaan yang lebih teliti dan mengikuti perkembangan pengobatannya (Yustina,
2014).
Data kesehatan pasien dicatat dalam suatu berkas yang disebut rekam medis
yang memiliki nilai kerahasiaan. Ketentuan tentang medical records dirumuskan
dalam Permenkes Nomor 269 Tahun 2008. Menurut Permenkes ini yang dimaksud
medical record, adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan merupakan tulisan-tulisan
yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan
kepada pasien dalam rangka pelayanan kesehatan. Selanjutnya disebutkan bahwa
bentuk medical record dapat berupa manual yaitu tertulis lengkap dan jelas atau
dalam bentuk elektronik sesuai ketentuan. Rekam medis terdiri dari catatan-catatan
data pasien yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Catatan-catatan tersebut
sangat penting untuk pelayanan bagi pasien karena data yang lengkap dapat
38
39
permintaan
pasien
sendiri,
atau
berdasarkan
ketentuan
perundangundangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pada ketentuan Pasal 51 huruf c UU Praktik Kedokteran disebutkan bahwa:
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban: merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia. Adapun pada Pasal 52 huruf e disebutkan
bahwa: Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
hak: mendapatkan isi rekam medis. Sementara itu pada ketentuan Pasal 57 UU
Kesehatan, disebutkan bahwa:
1. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
2. Disebutkan bahwa sifat kerahasiaan ini tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 juga mengatur bahwa sarana pelayanan
kesehatan bertanggung jawab terhadap rekam medis. Di samping itu, sarana
pelayanan kesehatan juga membuat atau mencatat semua kejadian terkait dengan
layanan yang dilakukan terhadap pasien; mengelola sebaik-baiknya; dan menjaga
40
kerahasiaannya. Oleh karena itu, rekam medis yang berisi data pribadi pasien sifatnya
rahasia dan dikecualikan dalam ketentuan keterbukaan informasi publik. Hal tersebut
dikarenakan informasi yang tercatat dalam rekam medis merupakan data seseorang
(personal); bersifat rahasia; hak pribadi dan terkait rahasia jabatan.
Jaminan perlindungan atas kerahasiaan medis ini dirumuskan juga dalam
Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran bahwa: dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang: dengan sengaja tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c sebagaimana telah
diuraikan di atas. Ketentuan tentang informasi medis dan rahasia medis juga diatur
secara jelas dalam UU Rumah Sakit. Pasal 32 huruf b UU Rumah Sakit bahwa,
Setiap pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang hak dan
kewajiban pasien; sedangkan pada Pasal 32 huruf i disebutkan bahwa,setiap pasien
berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk datadata medisnya.
Sesuai dengan perintah undang-undang, rahasia medis ini diatur secara khusus
dalam Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran. Bagian
menimbang Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 dinyatakan bahwa tujuan
pembentukan Permenkes adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU
Praktik Kedokteran dan Pasal 38 ayat (3) UU Rumah Sakit. Dalam ketentuan Pasal 1
butir 1 Permenkes disebut dengan jelas bahwa yang dimaksud rahasia kedokteran
adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga
kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya. Dalam Permenkes ini
diatur tentang kewajiban berbagai pihak untuk menjaga kerahasiaan medis, seperti
dirumuskan pada Pasal 4 bahwa:
1. Semua
pihak
yang
terlibat
dalam
pelayanan
kedokteran
dan/atau
41
a. Dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki akses
terhadap data dan informasi kesehatan pasien;
b. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan;
c. Tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan;
d. Tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan
pasien di fasilitas pelayanan kesehatan;
e. Badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan; dan
f. Mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan
3. Perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan.
4. Kesehatan.
5. Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya, walaupun
pasien telah meninggal dunia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa rahasia medis merupakan
hak pasien yang dijamin dalam perundang-undangan dan wajib ditaati oleh semua
pihak yang diwajibkan oleh undang-undang, seperti dokter, dokter gigi, dan tenaga
kesehatan, termasuk mahasiswa atau siswa, pimpinan sarana pelayanan kesehatan
serta orang lain yang ditentukan oleh undang-undang. Bahkan kewajiban menyimpan
rahasia tersebut berlaku selamanya, bahkan sampai pasien meninggal dunia.
4.2.1
42
Dari bunyi tiga pasal dalam KUHP sebagaimana di atas itu dapat kita ketahui
bahwa wajib simpan rahasia kedokteran dikecualikan dalam keadaan daya paksa,
melaksanakan ketentuan undang-undang dan melaksanakan perintah jabatan.
Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran juga diatur dalam Pasal 48
ayat (2) UU Pradok dan Pasal 57 ayat (2) UU Kedokteran (Dewi, 2013).
Dari pembahasan di atas maka diketahui bahwa alasan yang dapat
dipergunakan oleh dokter untuk dapat membuka rahasia kedokteran adalah sebagai
berikut:
Pertama, Adanya izin dari pasiennya. Rahasia kedokteran ini merupakan hak
dan milik pasien, jadi hanya pasien tersebut yang berhak memutuskan apakah orang
lain boleh mengetahui kondisinya atau tidak. Contoh kasus: Seorang pasien yang
tidak masuk kerja karena sakit lalu minta surat keterangan sakit untuk dilaporkan
pada tempatnya bekerja.
Kedua, Adanya pengaruh daya paksa. Daya paksa disini bersifat relatif, yang
terjadinya karena kondisi darurat. Jika kondisi ini tidak ada maka keadaan daya paksa
tersebut juga tidak ada. Contoh kasus: Seorang sopir menderita epilepsi. Dokter
terpaksa membuka rahasia penyakit itu pada sang majikan sopir tersebut.
Ketiga, Adanya peraturan perundang-undangan. Secara formil justifikasinya
karena terdapat pada perundang-undangan dan secara materiil juga sudah
dipertimbangkan oleh undang-undang bahwa ada kepentingan yang lebih besar.
Contoh kasus: Seorang dokter yang diminta membuat Visum et Repertum.
Keempat, Adanya perintah jabatan. Contoh kasus untuk menjelaskan kondisi
ini adalah seorang dokter penguji kesehatan yang diharuskan melaporkan hasil
kesehatan pasien yang diperiksanya kepada institusi yang meminta dan hal ini tanpa
memberitahukan terlebih dahulu kepada pasien tersebut.
Kelima, Demi kepentingan umum. Disini rahasia kedokteran terpaksa dibuka
karena ada kepentingan yang lebih diutamakan, yaitu masyarakat umum. Contoh
kasus: Dokter melaporkan pasiennya seorang penjahat yang mendapat luka-luka.
Alexandra
Indriyanti
menyebutkan
beberapa
hal
yang
merupakan
pengecualian wajib simpan rahasia kedokteran, yaitu: Syarat keterbatasan para pihak
43
yang relevan saja, misalnya kepada suami atau istri, mantan suami atau istri,
pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut; dan
keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan; serta
keterbatasan persyaratan, yakni informasi hanya dibuka apabila memang secara
medis, informasi tersebut layak dibuka (Dewi, 2013).
Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran berlaku pada kondisikondisi darurat seperti wabah dan bencana alam, seorang dokter atau pun petugas
kesehatan itu tidak boleh membiarkan bencana terjadi tanpa penanganan yang
semestinya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang
Wabah. Undang-undang ini mewajibkan dokter atau tenaga kesehatan untuk segera
melaporkan kondisi-kondisi luar biasa karena wabah penyakit dan penyebarannya
sehingga segera bisa ditanggulangi (Yunanto & Helmi, 2010).
4.2.2
bisa diminta bantuannya oleh penegak hukum. Hal itu terkait dengan perkara yang
menyangkut tubuh dan atau nyawa manusia. Pendapat atau bantuan dokter ini
dibutuhkan dalam rangka menemukan kebenaran materiil atas perkara pidana karena
sang pemutus perkara yaitu hakim tidak memiliki ilmu yang terkait dengan anatomi
tubuh manusia. Idealnya adalah memang para penegak hukum juga harus memiliki
pengetahuan kedokteran sehingga bila menghadapi kasus yang terkait dengan
perusakan tubuh dan nyawa manusia maka mereka dapat menilai sendiri secara
obyektif. Selain itu sistem pemeriksaan medikolegal di negara kita menganut sistem
continental dimana tidak terdapat petugas khusus yang melakukan pemeriksaan
medikolegal sebagaimana yang telah terdapat pada sistem medical examiner maupun
sistem coroner. Sebelum kita ulas tentang kewajiban hukum dokter sebagai saksi ahli,
maka terlebih dahulu penulis akan mengulas pengertian beberapa istilah yang
digunakan dalam pembahasan materi ini dan juga prosedur beracara dalam penegakan
hukum pidana (Dewi, 2013).
Menurut Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang
selanjutnya disebut KUHAP), hakim dalam menjatuhkan putusan pidana sekurang44
kurangnya berdasarkan dua alat bukti sah, yang dapat membentuk keyakinan para
hakim tentang kesalahan terdakwa. Terbentuknya keyakinan hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang
diketemukan pada proses persidangan. Sementara itu menurut Pasal 184 KUHAP alat
bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa.
Menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP keterangan saksi merupakan salah satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya, dan pada Pasal 1 angka 28 KUHAP
keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Jika terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli.
Keterangan saksi, diberikan berdasarkan pada hal yang dilihat, didengar atau dialami
sendiri; sedangkan pendapat atau sangkaan yang telah diperoleh dari hasil
pemeriksaan bukanlah merupakan keterangan saksi. Seorang ahli dalam memberikan
keterangan diminta untuk mengajukan pendapatnya menurut pengetahuannya itu.
Namun demikian, semua ketentuan yang telah berlaku untuk saksi juga berlaku untuk
ahli, termasuk dokter yang memberikan keterangan ahli (Dewi, 2013).
Pengertian tentang saksi ahli dapat dijelaskan lebih lanjut dalam KUHAP
sebagaimana tertuang dalam Pasal 186 KUHAP. Di dalam penjelasan pasal ini
dinyatakan bahwa keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk
laporan, dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan, jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan
keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan, keterangan tersebut diberikan
setelah ia mengucapkan janji atau sumpah di hadapan hakim.
45
Keterangan ahli, menurut Pasal 186 KUHAP dapat diberikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan secara tertulis berdasarkan sumpah pekerjaan atau
jabatan. Namun demikian, pada proses pemeriksaan di persidangan saksi ahli
diwajibkan untuk mengucapkan sumpah atau janji seperti ditentukan dalam Pasal 179
ayat (2) KUHAP, yaitu akan memberikan keterangan sebaik-baiknya dan yang
sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya (Dewi, 2013).
Kriteria untuk dapat ditunjuk sebagai seorang ahli dalam perkara pidana tidak
ditentukan dalam KUHAP. Menurut KUHAP, keterangan ahli ialah apa yang seorang
ahli nyatakan di sidang pengadilan, sedangkan keterangan ahli ini adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus. Kriteria memiliki
keahlian khusus sebagai seorang ahli tidak dijelaskan terperinci, misalnya
berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari, atau pengalaman yang
dimiliki tentang sesuatu hal. Penjelasan kelayakan sebagai seorang yang telah
memiliki keahlian khusus perlu diberikan. Misalnya, penilaiannya akan ditentukan
berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dan atau pengalaman
yang telah dilakukan pada bidang tertentu (Dewi, 2013).
Kriteria sebagai saksi ahli dalam hukum pidana itu ditentukan expert withness
one who by reasons of education or specialized experience possesses superior
knowledge respecting a subject about which persons having no particular training
are incapable of forming an accurate opinion or deducing correct conciissions.
Seseorang karena pendidikannya atau pengalamannya khusus memiliki pengetahuan
yang tinggi tentang suatu pokok masalah, sehingga dapat membentuk pendapat yang
tepat atau mengambil kesimpulan yang benar. Di samping itu, California Evidence
Code menentukan seorang ahli sebagai a person is qualified to testify as an expert if
he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to
qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates. Seseorang
dapat memberi keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian,
pengalaman, latihan atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat
sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya. Dengan
46
demikian, penjelasan syarat kriteria seseorang dapat ditentukan sebagai saksi ahli
dalam KUHAP perlu dilengkapi (Dewi, 2013).
Pelaksanaan terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia dimulai dari
suatu tahap yang disebut tahap penyelidikan. Lalu tahap polisi mencari dan
menemukan apakah suatu peristiwa terkait dengan suatu delik pidana, sehingga polisi
akan menentukan dapat atau tidaknya dilakukan suatu penyidikan. Pada tahap
penyelidikan, polisi menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti. Bila dianggap perlu, atas
perintah penyidik, penyelidik dapat pula melakukan tindakan berupa penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan dan
penyitaan surat. Bila polisi menemukan bahwa suatu peristiwa terkait dengan suatu
delik pidana, maka penyelidikan akan diteruskan dengan tahapan penyidikan. Pada
tahap penyidikan, polisi penyidik atau penyidik pembantu akan mencari serta
mengumpulkan bukti, menemukan tersangka, atau orang-orang yang terlibat di
dalamnya, dan bila bukti dan berkas-berkasnya telah lengkap, polisi akan
menyerahkannya pada kejaksaan. Pada tahap penyidikan polisi dapat meminta
bantuan dokter sesuai dengan surat permintaan visum et repertum, maka hasil
pemeriksaan adalah alat bukti, bukan rahasia kedokteran. Keadaan pemeriksaan
dilakukan tanpa surat permintaan visum et repertum, maka hasil pemeriksaan adalah
rahasia kedokteran yang harus dicatat dengan teliti dan dicantumkan dalam rekam
medis. Bila polisi menganggap perlu dan mengeluarkan surat permintaan visum et
repertum, maka korban akan diperiksa kembali berdasarkan keadaan saat surat
permintaan visum et repertum diterbitkan (Dewi, 2013).
Keterangan atas keadaan medis pada saat kejadian telah dicatat dalam rekam
medis dapat dijadikan alat bukti dengan merangkumnya dalam surat keterangan
dokter atau surat keterangan ahli. Polisi pada tahap ini juga dapat mendatangkan
seorang ahli termasuk dokter yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara untuk memberikan keterangan pada polisi yang hasilnya
dituangkan melalui berita acara pemeriksaan. Tahap pertama penyidik hanya
menyerahkan berkas perkara, dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik
47
akan menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum. Pada tahap pemeriksaan di pengadilan, baik jaksa penuntut umum maupun
penasehat hukum tersangka dapat menghadirkan saksi atau ahli dengan izin hakim.
Selanjutnya peranan dokter dalam membantu menemukan kebenaran materiil untuk
penegakan hukum pidana terdapat dalam Pasal 133 dan 179 KUHAP.
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan atau pun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran dan kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya; Permintaan keterangan
ahli dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat; Mayat
yang dikirim pada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dan dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat (Dewi, 2013).
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Semua ketentuan untuk saksi berlaku juga bagi yang akan memberikan keterangan
ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji dan akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya (Dewi, 2013).
Kewajiban dokter untuk memberikan kesaksian diatur dalam Pasal 224 KUHP
apabila setiap orang secara sah dipanggil sebagai saksi, ahli atau sebagai juru bahasa,
dan dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang,
maka diancam dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan; dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan (Dewi,
2013).
4.2.3
48
49
keterangan sebagai saksi. Atas pilihan itu seorang dokter tidak dapat dipidana, karena
hukum pidana materiil telah disediakan alasan pembenar (rechtwaardigingsgronden)
yang di dalam hal ini adalah noodtoestand atau keadaan darurat (terpaksa). Pada
kasus tersebut dokter dihadapkan pada konflik antara dua kewajiban, yaitu kewajiban
menyimpan rahasia kedokteran dan kewajiban untuk memberi keterangan sebagai
ahli, yang mana ia harus memilih untuk melaksanakan satu kewajiban, yaitu memberi
keterangan sebagai saksi (Yunanto & Helmi, 2010).
Dalam perspektif hukum pidana formal (hukum acara pidana), telah
disediakan pula hak untuk undur diri atau verschoningrecht sebagai saksi atau ahli
sebagaimana terdapat dalam Pasal 170 KUHAP: Mereka yang karena pekerjaannya,
harkat martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta
dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada
mereka; Hakim menentukan sah tidaknya segala alasan permintaan tersebut (Dewi,
2013).
Atas dasar hak undur diri sebagai saksi atau ahli tersebut, maka seorang
dokter tetap dapat menyimpan rahasia kedokteran, namun hak tersebut tidaklah
bersifat mutlak, karena permintaan mundur sebagai saksi atau ahli tergantung pada
penilaian hakim. Artinya, apabila hakim memandang kesaksian atau keterangan ahli
dari dokter tersebut sangat penting (menentukan) dalam memutus perkara itu, maka
hakim dapat menolak permintaan mundur sebagai saksi atau ahli (Yunanto & Helmi,
2010).
Menurut Pasal 168 KUHAP hak undur diri adalah untuk memberi keterangan
saksi pada pemeriksaan di sidang pengadilan dapat digunakan setiap orang saat
pemeriksaan di pengadilan, apabila: Saksi adalah keluarga sedarah atau semenda
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang
sama-sama sebagai terdakwa; Saudara dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai
terdakwa, saudara ibu dan/atau saudara dari bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai dan/atau yang sama-sama sebagai
terdakwa.
50
Harus diingat bahwa hak undur diri atau oleh beberapa ahli disebut hak tolak
ungkap digunakan bila seorang dokter atau tenaga kesehatan memberikan keterangan
saksi pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Permintaan memberikan
keterangan ahli atau permintaan keterangan dalam pemeriksaan pada tahap sebelum
pemeriksaan sidang di pengadilan, tidak dapat diabaikan dengan mengasumsikan
dokter atau tenaga kesehatan memiliki hak undur diri. Sampai saat ini ada 4 (empat)
jabatan yang diwajibkan menyimpan rahasia, yaitu pemuka agama atau rohaniwan,
dokter, advokat, dan notaris. Dokter dipandang sebagai pemegang rahasia yang utama
dan tidak perlu lagi dipersoalkan (Dewi, 2013).
Mengakhiri pembahasan tentang wajib simpan rahasia kedokteran versus
kewajiban hukum sebagai saksi ahli ini maka penulis akan melengkapi dengan satu
ilustrasi kasus sebagaimana di bawah ini (Dewi, 2013).
4.2.4
Kedokteran. Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan yang telah
diberikan kepada pasien (Syahrizal & Nilasari, 2013).
Rekam medis dibuat dengan berbagai manfaat seperti: pengobatan pasien,
peningkatan kualitas pelayanan, pendidikan dan penelitian, pembiyaan, statistik
kesehatan serta pembuktian masalah hokum, disiplin dan etik. Isi dari rekam medic
ini berupa catatan dan dokumen berupa identitas pasien, pemeriksaan pasien,
diagnosis, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain baik dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi maupun tenaga kesehatan lainnya. Sehingga rekam medic ini selain dapat
diisi/dibuat oleh dokter dan dokter gigi, dapat juga dibuat oleh tenaga kesehatan lain
yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien atas perintah secara tertulis dari
dokter dan dokter gigi (Syahrizal & Nilasari, 2013).
Dengan melihat pentingnya isi dan manfaat dari rekam medic, pembuatan
rekam medic adalah salah satu hak pasien karena termasuk dalam kepentingan
51
52
53
AKP Sudiro menyatakan, pertanyaan yang dia ajukan lebih berfokus pada
tindakan Margonoo selaku Direktur RSUD Margono yang membeberkan rekam
medis pasien bernama Warsinah, warga Kelurahan Sumampir, Kecamatan
Purwokerto Utara. Warsinah adalah pasien yang meninggal setelah tiga hari dirawat
di RSUD Margono akibat diabetes yang dideritanya. Namun dalam perawatan itu
Darno, suami Warsinah melayangkan somasi kepada RSUD Margono melalui kuasa
hukumnya yakni Dwi Prasetyo Sasongko SH dan Joko Susanto SH, keduanya dari
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan dan Perumahsakitan.
Somasi yang dikirimkan kepada 19 instansi itu berisi dugaan malpraktik yang
dilakukan RSUD Margono yang mengakibatkan kematian Warsinah. Saat dirawat di
RS Margono 13-16 Februari 2004 lalu Warsinah meninggal akibat karena kadar gula
yang terlalu tinggi. Hal itu diduga karena dipicu pemberian infus berisi cairan
mengandung gula sehingga memicu kenaikan kadar gula dalam tubuh Warsinah.
Selain somasi, LBH Kesehatan dan Perumahsakitan juga meminta RSUS
Margono memberikan catatan rekam medis mengenai Warsinah. RS Margono lantas
mengirimkan permintaan LBH yakni mengirimkan hasil rekam medis. Surat
penjelasan rekam medis itu tidak hanya diberikan pada pengacara melainkan juga ke18 instansi yang lain, salah satunya ke kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Cabang Banyumas. Beberapa hari kemudian muncul pemberitaan di harian Suara
Merdeka Kamis, 31 Maret 2005.
Dalam pemberitaan itu disebutkan, Warsinah menderita febris berdasar gejala
yang dialami sewaktu masuk Instalasi Gawat Darurat yakni panas enam hari, mual,
muntah dan lemas. Infus yang diberikan saat itu berupa cairan gula. Cairan infus
lantas diganti dengan jenis RL dan Warsinah diberi Actrapid begitu hasil analisa
dokter menunjukkan Warsinah mengidap diabetes. Beberapa saat kemudian Warsinah
mengalami koma dan meninggal dunia. Rekam medis itulah yang dibeberkan dalam
surat yang tembusan pada 19 instansi tersebut.
54
Analisa Kasus 2
Dokter yang terbukti membuka rahasia kedokteran atas penyakit pasien dapat
dikenakan sanksi yaitu berupa sanksi disipliner. Tujuan hukuman disiplin yang
dijatuhkan terhadap tenaga kesehatan yang didalamnya mencakup dokter yang telah
melakukan kesalahan adalah untuk memperbaiki dan mendidik tenaga kesehatan
yang bersangkutan.
Di Indonesia terdapat dua badan yang mengemban tugas yaitu untuk
mengawasi etika kedokteran, yaitu MKEK dan Panitia Pertimbangan dan Pembinaan
Etik Kedokteran (yang selanjutnya disebut P3EK). Jika seorang dokter diduga telah
melakukan pelanggaran etika murni tanpa pelanggaran hukum maka dia akan
dipanggil oleh MKEK Ikatan Dokter Indonesia (yang selanjutnya disebut IDI) dan
disidang untuk dimintai pertanggungjawaban etik maupun disiplin profesinya.
Terkait dengan sanksi pidana, pada pembahasan sebelumnya sudah diulas
bahwa hal itu diatur dalam Pasal 322 KUHP. Berdasarkan Pasal 322 KUHP yang
berbunyi Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.
Kewajiban menyimpan rahasia pasien diatur di dalam UU Pradok yang
diberlakukan sejak tanggal 6 Oktober 2005. Dengan adanya ketentuan di dalam UU
Pradok sebagai lex specialis, maka Pasal 322 KUHP ini tidak berlaku lagi bagi dokter
55
dan dokter gigi, tetapi tetap diberlakukan bagi tenaga kesehatan di luar dokter dan
dokter gigi.
4.3 Hak Atas Informed Consent dan Hak untuk Menolak Pengobatan
Sebelum melakukan tindakan biasanya seorang dokter akan meminta
persetujuan dan memberikan penjelasan untuk melakukan tindakan medis. Dalam hal
ini dibutuhkan suatu persetujuan yang disebut informed consent. Informed consent
terdiri dari dua kata, informed yang berarti telah diberitahukan, telah disampaikan
atau telah diinformasikan dan consent yang berarti persetujuan yang diberikan kepada
seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, informed consent adalah
persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan mengenai
tindakan dan resikonya. (Amir & Hanafiah, 2008)
Informed Consent menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun
1989 merupakan persetujuan yang diberikan kepada pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. (Purwandoko, 1999)
56
Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada
Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
Pasal 45 ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
Pasal 45 ayat (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya mencakup:
Pasal 45 ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat
diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
57
Pasal 45 ayat (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
kesehatan,
pencegahan
penyakit,
peningkatan
kesehatan,
tindakan
medis
dalam
Permenkes
Nomor
59
kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelesan kepada
pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.(2) Tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dapat persetujuan pasien.(3) Pemberian
penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai ketentuan perundang-undangan. (Republik Indonesia, Perpustakaan Depkes,
2016)
Setiap tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Selain itu, dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan
tindakan medis. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
hal ini dimuat dalam pasal 53 menyebutkan beberapa hak pasien, yakni hak atas
Informasi, hak atas second opinion, hak atas kerahasiaan, hak atas persetujuan
tindakan medis, hak atas masalah spiritual, dan hak atas ganti rugi.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
pada pasal 4-8 disebutkan setiap orang berhak atas kesehatan, akses atas sumber
daya, pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau; menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan, lingkungan yang sehat, info dan edukasi
kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab, dan informasi tentang data
kesehatan dirinya.
Selanjutnya secara khusus mengenai Informed Consent, ditegaskan dalam
Pasal 56 ayat 1, yaitu : Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. (Maliangga, 2013)
Perkembangan informed consent di Indonesia tidak lepas dari perkembangan
masalah serupa di Negara lain. Declaration of Lisbon (1981) dan Patient Bill of Right
(American Hospital Association, 1972) pada intinya menyatakan bahwa pasien
mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak menerima informasi
dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medis. Hal ini
berkaitan dengan hak menetukan diri sendiri (the right to self determination) sebagai
dasar hak asasi manusia dan hak pasien untuk mendapatkan informasi yang jelas
60
tentang penyakitnya dan tidakan maupun alternatif tindakan yang akan dilakukan
kepadanya, dari sudut pandang inilah informed consent sebetulnya dapat dilihat
sebagai penghormatan kalangan tenaga kesehatan terhadap hak otonomi pasien.
Lebih jauh hal ini dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penipuan atau
paksaan atau dari pandangan lain dapat pula dikatan bahwa informed consent
merupakan pembatasan otorisasi dokter terhadap kepentingan pasien Setiap pasien
yang dirawat di rumah sakit mempunyai hak utama untuk menentukan apa yang
harus dilakukan terhadap tubuhnya. Pasal 56 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa : setiap orang berhak menerima
atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap. (Realita, 2016)
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen di berbagai bidang,
termasuk bidang kesehatan, yaitu:
1. Hak untuk mendapat keamanan (the righ to safety)
2. Hak untuk mendapat informasi ( the righ to be informed)
3. Hak untuk memilih ( the righ to choose)
4. Hak untuk di dengar (the righ to heard)
Empat hak dasar ini diakui secara internasional dalam perkembangannya,
empak hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tersebut diakomondasikan
dalam Undang-Undang Negara-negara di dunia, salah satunya adalah Indonesia yaitu
dalam Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 4.
Ada delapan hal yang secara ekspelisit dituangkan dalam Undang-Undang tersebut
yaitu:
1. Hak atas keamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang- barang dan/ atau jasa
2. Hak untuk memilih barang/atau jasa serta mendapat barang dan/ atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar jelas dan jujur mengenai kondisi dan
61
62
63
4.3.1
Kasus 1:
Pada pagi hari Ibu JF mendatangi puskesmas karena merasa akan melahirkan
anaknya. Oleh dokter di puskesmas, ibu JF di rujuk ke RS karena sang ibu memiliki
riwayat melahirkan anak pertama dengan teknik vakum. Setelah setelah diterima di
IRD, dilakukan pemeriksaan dan ditemukan terjadi pembukaan hingga 6 cm dan
dibawa ke ruang bersalin. Namun sesampainya di ruang bersalin, tidak dilakukan
tindakan apapun. Setelah beberapa jam berlalu, ibu JF direncanakan dioperasi karena
terjadi masalah pada kehamilannya. Operasi dilakukan tanpa memberikan penjelasan
akan kondisi si ibu, indikasi tindakan dan efek atau komplikasi dari tindakan tersebut.
Setelah dioperasi, anak si ibu lahir tanpa kelainan, namun si ibu meninggal dunia.
Oleh karena itu, keluarga ibu mengajukan gugatan ke pengadilan. (Wahyu, 2016)
Kasus 2:
Seorang dokter spesialis kandungan harus mendapatkan sanksi dari MKDKI
karena pelanggaran disiplin dokter. Pasien yang berobat pada dokter tersebut
ditangani dengan dilakukan operasi anestesi. Dokter tidak memberikan penjelasan
dengan jelas tentang Jenis operasi, indikasi operasi dan efek serta komlikasi dari
dilakukannya operasi tersebut. Dokter tersebut juga sebenarnya juga tidak memiliki
kompetensi
dan
kewenangan
dalam
melakukan
operasi
anestesi.
Karena
64
memiliki resiko tinggi, dan ditandatangani oleh pihak yang memiliki kewenangan
dalam memberikan persetujuan.
4.4
pasien tersebut bertolak dari hubungan asasi antara dokter dan pasien. Hak atas
perawatan pemeliharaan medis tersebut, pada prinsipnya bertumpu pada dua dasar
asasi, yaitu : pertama hak atas perawatan pemeliharaan kesehatan (the right to health
care) dan kedua, hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to selftdeterminanation) (Prasetyo,1996).
Hak-hak pasien dalam menerima pelayanan medis telah diatur dalam undangundang negara republik Indonesia. Menurut Undang-Undang No. 29 tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran pasal (52), hak-hak pasien meliputi :
(1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan
dilakukan .
65
Sebelum tindakan atau upaya medis dilakukan terhadap pasien, pasien berhak
mendapatkan penjelasan mengenai kondisi yang dialaminya, termasuk
didalamnya lamanya waktu tindakan medis yang dilakukan sertadampak
tindakan medis tersebut (Mulyo,2006).
Adapun hal-hal yang perlu diinformasikan kepada pasien adalah :
a. Alasan perlu dilakukan tindakan medis terhadap pasien tersebut
b. Lamanya proses upaya medis tersebut
c. Risiko dari tindakan yang diambil
d. Dampak susulan pasca tindakan medis dan keuntungan terapi medis
yang akan dilakukan
e. Ada atau tidaknya tindakan medis alternative
f. Kerugian jika menolak tindakan medis tersebut.
Informasi tersebut dapat disampaikan secara
lisan dengan
66
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses sumber
daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Dalam KODEKI terdapat pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap
pasien yang merupakan pula hak-hak pasien yang perlu diperhatikan. Pada dasarnya
hak-hak pasien adalah sebagai berikut (Hanafiah & Amir, 2008):
(1) Hak untuk hidup, hak atas tubuuhnya sendiri dan hak untuk mati secara
wajar
(2) Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar
profesi kedokteran
(3) Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang
mengobatinya
(4) Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat
menarik diri dari kontrak terapetik.
(5) Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya.
(6) Menolak atau menerima keikutsertaan dalam riset kedokteran
(7) Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan, dan dikembalikan kepada
dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk
memperoleh perawatan atau tindak lanjut.
(8) kerahasiaan rekam medicnya atas hal pribadi.
(9) Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit
(10)
Berhubungan dengan keluarga, penasehat atau rohaniawan dan lainlain yang diperlukan selama perawatn di rumah sakit
(11)
Memperoleh penjelasan tentang perincian
biaya
rawat
inap,
67
(2) Pasien harus dapat memeproleh informasi tentang penyakitnya, tindakantindakan yang akan diambil, kemungkinan komplikasi dan risiko-risikonya
(3) Untuk anak-anak dan pasien jiwa, informasi diberikan kepada orang tua /
walinya.
Menurut Fred Ameln, Hak pasien dalam medis meliputi (Yuliati, 2005) :
(1) Menerima pengobatan dan perawatan
(2) Menghentikan pengobatan dan perawatan
(3) Menolak pengobatan dan perawatan
(4) Memilih dokter dan sarana pelayanan kesehatan
(5) Mendapat informasi tentang penyakitnya
(6) Atas rahasia kedokteran
(7) Hak bantuan medis
(8) Mendapat perawatan terbaik dan berlanjut
(9) Menerima pelayanan / perhatian atas suatu pengobatan
4.4.1
Kasus 1:
Ny. A berumur 35 tahun, isteri muda seorang pedagang, menderita
gangguan psikosomatis. Ia telah melakukan doctor shopping,
berobat dari satu dokter ke dokter lain, diantaranya 2 dokter
spesialis penyakit dalam (Sp.PD) dan 4 dokter spesialis Obstetri dan
Ginekolohi (Sp.OG). Keluhannya banyak namun yang utama adalah
rasa nyeri di perut bagian kiri bawah. Pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan ginekologik, laboratorium, pemeriksaan dengan USG
dan pap smear, pernah dilakukan oleh berbagai dokter itu. Seorang
dokter Sp.OG menganjurkan untuk pembedahan. Dokter-dokter
spesialis lain tidak memberikan penjelasan apapun kepadanya dan
hanya
memberikan
resep.
Obat-obat
yang
diberikan
banyak
kelainan.
Pasien
diberikan
penjelasan
seperlunya.
Kepadanya tidak diberi resep baru dan dirujuk ke SpPD, sub bagian
psikosomatik (Hanafiah & Amir, 2008).
Analisa Kasus 1:
Berdasarkan kasus diatas, menunjukkan tidak terpenuhinya hak
pasien terkait informasi yang semestinya didapatkan oleh pasien
terkait keadaaan penyakitnya maupun tentang obat-obat yang
diterimanya.
Akan
tetapi,mungkin
juga
ada
dokter
yang
69
tentang
penyakit
suaminya
dari
SpKK
yang
telah
70
Kasus diatas menunjukkan bahwa terdapat pembatasan dari dokter untuk pasien
menemui dokter lain.
4.5
4.5.1
mencukupi
dibutuhkan dengan penyebaran dana sesuai kebutuhan serta pemanfaatan yang diatur
secara seksama, sehingga tidak terjadi peningkatan biaya yang berlebihan.
71
4.5.2
(Djuhaeni, 2007) :
a. Biaya pelayanan kedokteran yaitu biaya untuk menyelenggarakan dan atau
memanfaatkan pelayanan kedokteran, tujuan utamanya lebih ke arah pengobatan
dan pemulihan dengan sumber dana dari sektor pemerintah maupun swasta.
b. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat yaitu biaya untuk menyelenggarakan
dan/atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat, tujuan utamanya lebih
ke arah peningkatan kesehatan dan pencegahan dengan sumber dana terutama
dari sektor pemerintah.
4.5.3
terlantar. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan diatur dengan
peraturan pemerintah. Untuk alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari
swasta di sebutkan dalam pasal 173 bahwa dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial
nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial. Ketentuan mengenai tata cara
penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan
komersial dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.5.4
Kasus 1:
Harianlampung.com - Kasus penolakan pasien dalam pelayanan kesehatan
kembali terjadi di Lampung. Kali ini menimpa seorang mahasiswa Universitas
Malahayati, Bandarlampung, atas nama Akbar Abdul Majid (20). Akbar ditolak pihak
Rumah Sakit Umum Immanuel Bandarlampung karena hendak menggunakan
pelayanan kesehatan menggunakan kartu Badang Pengelola Jaminan Kesehatan
(BPJS). Pasien yang sudah kritis ini ditolak dengan alasan rumah sakit itu tidak
melayani
kartu
subsidi
pemerintah
tersebut.
Menurut
Harto
(46)
kepada harianlampung.com, Ahad (25/1), salah satu keluarga pasien, Akbar sempat
dibawa ke Rumah Sakit Islam Natar, tapi karena peralatan tak memadai, akhirnya
dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandarlampung.
Setiba di RSUDAM, ternyata ruang Intensif Care Unit (ICU) penuh. Karena, Akbar
membutuhkan perawatan serius, akhirnya pihak RSUDAM merujuk ke RS
Immanuel. Setiba di Immanuel, Akbar yang sudah kritis ini ditolak perawat penjaga
Unit Gawat Darurat (UGD) RS setempat atas nama Maria. Alasannya, pihak rumah
sakit tidak menerima pasien yang menggunakan BPJS. Saya dan perawat sempat adu
mulut. Akhirnya kami disuruh menunggu sekitar dua jam. Namun, tetap tidak ada
kejelasan, katanya. Ia menambahkan, sebenarnya keluarga pasien sanggup
membayar dengan biaya umum dan menjalani prosedur yang diterapkan, asalkan
pasien dirawat dulu karena kondisinya kritis. "Masalah administrasi menyusl.
Namun, tetap saja tidak bisa diterima RS Immanuel, kata dia. Setelah menunggu
beberapa jam, akhirnya RSUDAM mengabarkan bahwa ruang ICU di RS tersebut
73
sudah tersedia. Dini hari tadi kami dihubungi oleh RSUDAM. Katanya ruangan
sudah tersedia. Pasiennya akhirnya kami bawa ke sana. Saat ini keponakan saya
masih dirawat di ICU RSUDAM, jelasnya. Menurut Harto, Akbar kritis karena
mengalami kejadian kecelakaan di daerah Pekalongan, Lampung Timur, Sabtu (24/1),
sekitar pukul 17.00 WIB. (iqbal/bayu/riz/mf)
Analsia Kasus 1:
Rumah sakit menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan
kesehatan. Pada dasarnya dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan pagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Fasilitas
pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka. Hal ini ditegaskan dalam pasal 32 Undang-undang RI
Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Ada sanksi pidana bagi rumah sakit yang tidak segera menolong pasien yang
sedang dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan pasal 190 ayat (1) dan (2) dalam
Undang-undang kesehatan, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan
yang degnan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2) atau
pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau
kematian, pimoinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam Undang-undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
dijelaskan bahwa gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih
lanjut. Berdasarkan pasal 29 ayat (1) huruf c, rumah sakit wajib memberikan
pelayanan gawat sarurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya.
Jadi, seharusnya korban kecelakaan yang mengalami gawat darurat tersebut harus
74
langsung ditangani oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan nyawanya. Apabila
rumah sakit melanggar kewajiban yang disebut dalam pasal 29 ayat (2) Undangundang rumah sakit, rumah sakit tersebut akan dikenakan sanksi administratif
berupa : (a) teguran, (b) teguran tertulus; atau (c) denda dan pencabutan izin rumah
sakit.
Dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
menjelasan bahwa tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas
pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada penerima
pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
Berdasarkan Pasal 13 Kode Etik Kedokteran Indonesia menegaskan bahwa
setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya. Menurut penjelasan pasal ini, pertolongan darurat yang dimaksud
pada pasal di atas adalah pertolongan yang secara ilmu kedokteran harus segera
dilakukan untuk mencegah kematian, kecacatan, atau penderitaan yang berat pada
seseorang. Seorang dokter wajib memberikan pertolongan keadaan gawat darurat atas
dasar kemanusiaan ketika keadaan memungkinkan. Walau tidak saat bertugas,
seorang dokter wajib memberikan pertolongan darurat kepada siapapun yang sakit
mendadak, kecelakaan atau keadaan bencana.
4.6
Asuransi Kesehatan
4.6.1
Pengertian BPJS
Jaminan sosial adalah perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi
anggota anggotanya untuk resiko-resiko atau peristiwa-peristiwa tertentu dengan
tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat
mengakibatkan hilangnya atau turunya sebagian besar penghasilan, dan untuk
75
76
Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur
melalui Peraturan Pemerintah
b.
77
4.6.2
78
4.6.3
79
masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah (Thabrany, 2009).
Prinsip sistem JKN
Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) berikut (Asih, 2014):
1.
Prinsip Kegotongroyongan
Gotong royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup
bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam
SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang
kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi,
dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan
SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian,
melalui prinsip gotong royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.
Prinsip Nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan
utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang
dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya,
akan
di
manfaatkan
sebesar
besarnya
untuk
kepentingan
peserta.
3.
Prinsip Portabilitas
80
badan-badan
penyelenggara
untuk
dikelola
sebaik-baiknya
dalam
rangka
81
82
83
Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber
daya di bidang kesehatan.
84
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat
kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan
yang seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
Dalam hal kesehatan, masyarakat sebagai penerima hak kesehatan memiliki
perlindungan diri dari kemungkinan upaya pelaksanaan pelayanan kesehatan yang
tidak bertanggungjawab seperti penelantaran. Masyarakat juga berhak atas
keselamatan, keamanan, dan kenyamanan terhadap pelayanan yang telah diberikan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut
tertulis hak-hak yang bisa didapatkan oleh masyarakat dan kewajiban pemerintah
sebagai penyelenggara untuk memenuhi apa yang telah diatur dalam Undang-undang.
4.6.5
85
86
Pemerintah harus
87
88
89
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat dan
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan
papan. Istilah untuk kesehatan sebagai hak asasi manusia yang kerap digunakan di
tingkat PBB adalah hak atas kesehatan. Hak atas kesehatan telah dijamin dan diatur di
berbagai instrumen internasional dan nasional. Ketentuan-ketentuan didalamnya pada
intinya merumuskan kesehatan sebagai hak individu dan menetapkan secara konkrit
bahwa negara selaku pihak yang memiliki tanggung jawab atas kesehatan. Dalam
pelayanan kesehatan di tingkat apapun, terutama di rumah sakit, sering timbul
pelanggaran HAM atas kesehatan ini, penyebabnya tidak lain karena tidak jelasnya
hubungan kerja antara dokter dengan rumah sakit. Tidak ada suatu kontrak atau
perjanjian kerja yang jelas yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Sementara itu, perkembangan teknologi kesehatan juga mempengaruhi terjadinya
pelanggaran etik, karena pemilihan teknologi kesehatan yang tidak di dahului dengan
pengkajian teknologi dan pengkajian ekonomi, akan memunculkan tindakan yang
tidak etis dengan membebankan biaya yang tidak wajar kepada pasien.
Tindakan penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, dilakukan oleh
dokter baik pada saat berlangsungnya diagnosa maupun pada waktu berlangsungnya
terapi dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Agar tidak terjadi hal-hal seperti
yang telah disebutkan tentu ada aturan-aturan yang berkaitan dengan kesehatan, hal
tersebut diatur dalam Hukum kesehatan (Perwira, 2011).
Beberapa aspek pelanggaran HAM dalam bidang medis ditinjau dari segi
hokum kesehatan:
1.
Keterjangkauan pelayanan kesehatan yang tidak merata dan kualitas
2.
3.
terjangkau
Asuransi kesehatan yang tidak merata dan diskriminatif
5.2
Saran
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap dokter, sebaiknya
masing-masing pihak, yakni dokter dan pasien harus memahami hak dan kewajiban
masing-masing, seperti yang sudah tertera pada undang-undang yang berlaku, agar
kesalahan dalam pelayanan kesehatan dapat dihindari. Selain itu, sebaiknya dibuat
suatu kontrak atau perjanjian kerja yang lebih jelas yang mengatur hak dan kewajiban
dokter dan rumah sakit, agar hubungan kerja keduanya menjadi jelas. Sehingga
pasien tidak menjadi korban dan mutu kesehatan dapat ditingkatkan dengan
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
91
92
Haryanto, J. O., & Ollivia. (2009). Pengaruh Faktor Pelayanan Rumah Sakit, Tenaga
Medis, dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Terhadap Intensi Pasien
Indonesia Untuk Berobat di SIngapura. Jurnal Ekonomi Bisnis, 14, 144-151.
Hayaza, Y. T. (2013). Analisis Kepuasan Pasien Terhadap Kualitas Pelayanan Kamar
Obat di Puskesmas Surabaya Utara. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya, 2, 1-13.
Iqbal, & Bayu. (2015, 1 25). harianlampung. Dipetik 6 18, 2016, dari
http://www.harianlampung.com/m/index.php?ctn=1&k=kawasan&i=2410Mustafa-Minta-Masyarakat-Jangan-Gunakan-Jasa-calo
Ikatan Dokter Indonesia (2002). Kode Etik Kedokteran Indonesia Dan Pedoman
Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia Cabang Makasar.
Jakarta, S. (2015). Dalam Sebulan, 4 Pasien Mati Karena Pelayanan Buruk di RS.
Jakarta: Suara Jakarta.
Janis, N (2014). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Supply, dan
Demand Terhadap Layanan Kesehatan, Jakarta: Kepala Subbidang Analisis
Fisika Ekonomi, Keuangan, dan Sosial.
KEMENKES. (2016). Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kawasan Terpencil, Sangat
Terpencil, Penyelenggaraan. Pencabutan.
Kondoy, J. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Ditinjau Dari UndangUndang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dalam Perspektif HAM. Lex
et Societatis, 132-137.
Konli, S. (2014). Pelayanan Kesehatan MAsyarakat di Puskesmas Desa Gunawan
Kecamatan Sesayap Kabupaten Tana Tidung. eJournal Ilmu Pemerintahan, 2,
1925-1936.
Konsil Kedokteran Indonesia. (2006). Penyelenggaraan Praktek Kedokteran yang
Baik di Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
Konyenye, R. (2015). Implementasi Pemerintah Untuk Melindungi Kepentingan
Hukum Terhadap Pihak Yang Dirugikan Akibat Pelayanan Kesehatan. Lex Et
Societatis, 101-109.
93
(1996).
Hubungan
Dokter-Pasien
Dalam
Upaya
94
95
A.
(2016,
Juni
17).
Retrieved
from
Lintas
Berita:
http://www.lintasberita.web.id/kronologi-kasus-dr-ayu-sasiary-prawani/
96
UMY.
Editor:
dr.
Sagiran,
M.Kes.
Yogyakarta:
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
WHO. (2016). World Health Organization. Retrieved June 17, 2016, from
hhttp://www.who.int/trade/glossary/story046/en/#
Yuliati. (2005). Kajian Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Pasien dalam UndangUndang RI Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Berkaitan
dengan Malpraktik. Malang: Universitas Brawijaya.
Yunanto, A., & Helmi. (2010). Hukum Pidana dan Malprakktik Medik Tinjauan dan
Perspektif Medikolegal . Yogyakarta: Penerbit Andi.
Yustina, E. W. (2014). Hak atas Informasi Publik dan Hak atas Rahasia Medis:
Problem Hak Asasi Manusia dalam Pelayanan Kesehatan. Padjadjaran Jurnal
Ilmu Hukum, 248-269.
Yusuf, H. (2012, April). Analisis Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan kepuasan
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Anutapura Kota Palu. Jurnal Promotif, 1,
93-99.
97