Anda di halaman 1dari 97

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Kesehatan adalah sumber daya bagi kehidupan sehari-hari, bukan objek


hidup, dan merupakan konsep yang menggambarkan sumber daya sosial dan pribadi
serta kemampuan fisik. Kesehatan adalah hak asasi manusia yang mendasar, diakui
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis (WHO, 2016) (Repubilk Indonesia,
2009).
Untuk mencapai makna kesehatan berdasarkan pengertiannya pada undangundang tersebut diperlukannya suatu pelayanan kesehatan yang sesuai. Azrul Azwar
(1988:40) mendefinisikan bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta
memulihkan kesehatan perseorangan, kelompok, dan ataupun masyarakat. Pelayanan
kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan
terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas
dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan
penyembuhan (Thalal & Hiswanil, 2010).
Jenis pelayanan kesehatan terbagi menjadi 2 macam. Pertama, pelayanan
kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pada kedua pelayanan tersebut,
dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien.
Pelayanan medis ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur,
pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta
memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya.
Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien

tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan
ataupun pemulihan kesehatannya (Prasetyawati, 2012).
Di Indonesia perlindungan dan penegakan hukum di bidang kesehatan terlihat
jelas masih sangat kurang. Satu demi satu terdapat beberapa contoh kasus yang
terjadi terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang
terburuk, dan kadang - kadang akan berakhir dengan kematian. Kasus tindak pidana
dibidang medis yang banyak terjadi dan diekspos diberbagai media hanya merupakan
beberapa kasus yang menguap, sehingga dapat dikatakan seperti gunung es (iceberg).
Menguapnya kasus - kasus tindak pidana tersebut juga merupakan suatu pertanda
kemajuan dalam masyarakat, atas kesadarannya akan hak - haknya yang berkenan
dengan kesehatan dan pelayanan medis, sekaligus kesadaran akan hak - haknya untuk
mendapatkan perlindungan hukum yang sama dibidang medis. Indonesia sebagai
negara hukum yang menjamin perlindungan Hak Asasi warga negaranya telah
diberikan dalam sebuah konstitusi yaitu dalam Undang - undang Dasar 1945
(Kondoy, 2015).
Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) disetiap negara yang
menganut sistem demokrasi terus maka berkembang menyesuaikan kondisi masing masing negara. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang melekat pada diri setiap
manusia yang lahir kedunia haruslah dijamin oleh pemerintah sebagai penyelenggara
kekuasaan negara. Demikian pula setiap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
haruslah dikecam dan dikutuk dengan memberikan hukuman yang setimpal. Hukum
hak asasi manusia Internasional menetapkan dua aturan hukum yang berhubungan
dengan kesehatan: yaitu a) perlindungan terhadap kesehatan masyarakat yang secara
sah membatasi hak asasi manusia dan b) hak kesehatan individu serta kepada
kewajiban pemerintah untuk memberikannya. Pada bagian pertama lebih mengarah
kepada public health care yang pengaturannya masih dalam perkembangan
sedangkan dalam menentukan kewajiban yang mempunyai kaitan dengan hak dasar
manusia atas kesehatan,

diprioritaskan

pada

aturan-aturan

untuk

kesehatan

masyarakat (Kondoy, 2015).

Proses pelanggaran Hak Asasi Manusia didalam pelayanan kesehatan diatur


dalam peraturan yang disebut hokum kesehatan. Hukum kesehatan adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan
kesehatan dan penerapannya. Hal ini berarti hukum kesehatan adalah aturan tertulis
mengenai hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat
atau anggota masyarakat. Dengan sendirinya hukum kesehatan itu mengatur hak dan
kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan penerima pelayanan atau
masyarakat (Sampurno, 2011).
Karena masih maraknya proses pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan
HAM, namun tertutupi sehingga terlihat seperti fenomena gunung es dibuatlah karya
tulis ini. Karya tulis ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui kasus-kasus
pelanggaran HAM pasien dibidang pelayanan kesehatan serta bagaimana
perlindungan hukum terhadap pasien berdasarkan Undang-undang No.36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan dan bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien dalam
perspektif HAM.
1.2

Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada karya tulis ilmiah ini adalah :


1. Apa saja yang termasuk dalam pelanggaran HAM bidang medis ditinjau dari
sisi pasien?
2. Apa saja yang termasuk dalam pelanggaran etika dan yuridis pada bidang
ditinjau dari sisi dokter?
3. Bagaimana hukum yang mengatur tentang pelanggaran HAM dibidang
medis ?
1.3

Tujuan

Tujuan pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah:


1. Mengetahui jenis-jenis pelanggaran HAM pada bidang medis ditinjau dari sisi
pasien.
2. Mengetahui jenis-jenis pelanggaran HAM pada bidang medis ditinjau dari sisi
dokter.
3. Mengetahui hukum yang mengatur pelanggaran HAM pada bidang medis.
3

1.4

Manfaat
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis terkait hak dan kewajiban
dalam praktik medis serta hukum yang mengatur hak dan kewajiban pasien
dan dokter dalam praktik medis.
2. Meningkatkan kewaspadaan dokter dalam melaksanakan praktik medis dalam
kegiatan sehari-hari

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
hokum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia (Republik Indonesia, Undang -Undang Hak Asasi Manusia
(HAM), 2012).
Hak Asasi Manusia memiliki beberapa pengertian dimata para ahli. John
Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung
oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada
kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat
mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak
kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia (Effendi, 1994).
Sedangkan menurut Jefferson, setiap manusia sejak dilahirkan telah melekat
kepadanya suatu hak kodrat yang dimiliki manusia sebagai manusia yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah demi
kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Pendapat-pendapat seperti ini merupakan pondasi untuk membentuk hak asasi
manusia yang universal. Karel Vasak seorang sarjana berkebangsaan Perancis
mengemukakan suatu model perkembangan hak asasi manusia yang dibagi menjadi
beberapa kelompok (Asshiddique, 2008).
Perkembangan konsepsi hak asasi manusia telah menempuh tiga tahap,
sehingga hak asasi manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu hak
asasi manusia generasi pertama, generasi kedua, dan generasi ketiga. Hak asasi
manusia generasi pertama adalah hak-hak asasi manusia dalam bidang sipil dan
politik, yang oleh T. Koopmans disebut sebagai de klassieke grondrechten (hak-hak
dasar yang klasik). Karakter hak asasi manusia generasi pertama tersebut adalah
negatif, karena menghendaki kebebasan dari suatu kekangan tertentu (freedom from).
Hak asasi manusia generasi kedua diwarnai dengan munculnya tuntutan hak-hak asasi
dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang disebut oleh T.Koopmans sebagai
de sociale grondrechten (hak-hak dasar sosial), dan karenanya berkarakter positip

(right to), sedangkan hak asasi manusia generasi ketiga ialah yang dikenal dengan
sebutan solidarity rights, yang memaknai hak asasi manusia bagi pembangunan
kesejahteraan masyarakat (Perwira, 2011).
Hak atas kesehatan dalam hubungan dengan kategori hak asasi manusia
tersebut, sering dimasukkan dalam hak asasi manusia generasi kedua dan hak asasi
manusia generasi ketiga. Apabila hak atas kesehatan tersebut dikaitkan dengan
kesehatan individu, dia masuk ke dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi
jika terkait dengan kesehatan masyarakat, dia masuk ke dalam hak atas
pembangunan. Menurut Muladi, kategori hak asasi manusia generasi ketiga diberikan
kepada hak-hak kolektif atas dasar solidaritas antar umat manusia berlandaskan rasa
persaudaraan dan solidaritas yang sangat dibutuhkan. Hak asasi manusia ini
mencakup antara lain the right to development; right to peace; and the right to
healthy and balanced environment (Perwira, 2011).
Generasi Pertama, mewakili hak-hak sipil dan politik yakni hak asasi
manusia yang klasik. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia
ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human
Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Dalam konsepsi generasi
pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip
integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Hak asasi manusia pada generasi pertama berkenaan dengan hak-hak sipil dan politik
yang mencakup antara lain:
1.

Hak untuk menentukan nasib sendiri

2.

Hak untuk hidup

3.

Hak untuk tidak dihukum mati

4.

Hak untuk tidak disiksa

5.

Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang

6.

Hak untuk peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak

7.

Hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat

8.

Hak untuk berkumpul dan berserikat

9.

Hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum

10.

Hak untuk memilih dan dipilih (Asshiddique, 2008)

Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia
Generasi Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin
pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan,
termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk
menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Sementara
itu, hak asasi generasi kedua berkenaan dengan hak-hak di bidang ekonomi, sosial,
dan budaya. Yang menyangkut hak-hak sosial dan ekonomi antara lain:
1.

Hak untuk bekerja

2.

Hak untuk mendapatkan upah yang sama

3.

Hak untuk tidak dipaksa bekerja

4.

Hak untuk cuti

5.

Hak atas makanan

6.

Hak atas perumahan

7.

Hak atas kesehatan

8.

Hak atas pendidikan

9.

Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan

10.

Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan

11.

Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)
(Asshiddique, 2008)

Kemudian pada tahun 1986, muncul pula Generasi Ketiga yaitu lahirnya
konsepsi baru hak asasi manusia yang pada intinya adalah hak atas standar
kehidupan yang layak. Standar kehidupan tersebut menjadi sub sistem dari hak-hak
ekonomi yang sudah ada, seperti hak atas makanan, gizi, pakaian, upah yang layak,
perumahan yang layak, lingkungan hidup yang bersih dan sehat, dan sebagainya.
Kemudian muncul pula Generasi Ketiga lainnya yaitu lahirnya konsepsi baru hak
asasi manusia mencakup hak untuk pembangunan. Dalam kaitannya dengan tiga
generasi hak asasi manusia tersebut, menarik apa yang dikemukakan oleh Karel

Vasak, yang menguraikan perkembangan tiga generasi hak asasi manusia tersebut
dari tema Revolusi Prancis, yaitu liberte, egalite dan fraternite. Esensi dari hak asasi
manusia generasi pertama adalah kebebasan (liberte), yang secara fundamantal
bersifat sipil dan politik (civil and political in nature), dan bertujuan untuk
melindungi setiap orang dari penindasan penguasa negara, seperti kebebasan
berbicara/berpendapat, kebebasan beragama, hak pilih, dan hak diadili secara jujur
(fair trial). Hak asasi manusia generasi ketiga tersebut berkembang melalui berbagai
instrumen hukum internasional dan meliputi serangkaian hak yang sangat luas,
seperti:
1) hak-hak kolektif atau kelompok, seperti hak masyarakat adat, dan
masyarakat rentan lainnya;
2) hak untuk menentukan nasib sendiri;
3) hak atas pembangunan;
4) hak atas sumberdaya alam;
5) hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;
6) hak atas informasi dan berkomunikasi;
7) hak atas cagar budaya;
8) hak atas keadilan antar generasi, dan sebagainya. (Perwira, 2011)
Sedangkan generasi keempat adalah mengenai tanggungjawab negara dan
kewajiban asasi manusia.
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan
sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan
dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
3. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
8

4. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi


Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak
memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur
dengan undang-undang. (Asshiddique, 2008)
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD
1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan
konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi
Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang
telah disahkan sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan
kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang
Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
1.

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup


dan kehidupannya1

2.Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan


melalui perkawinan yang sah2.
3.Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi3.
4.Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu4.
5.Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

1 Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.


2

Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.

3 Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.


4 Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan


meninggalkannya, serta berhak kembali5.
6.Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya6.
7.Setiap

orang

berhak

atas

kebebasan

berserikat,

berkumpul,

dan

mengeluarkan pendapat7.
8.Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk
mencari,

memperoleh,

memiliki,

menyimpan,

mengolah,

dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran


yang tersedia8.
9.Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi9.
10.Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain10.

5 Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.


6 Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.
7 Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.
8 Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.
9 Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua.
10 Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.

10

11.Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan11.
12.Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan12.
13.Setiap

orang

berhak

pengembangan

atas

dirinya

jaminan
secara

sosial
utuh

yang

sebagai

memungkinkan
manusia

yang

bermartabat13.
14.Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun14.
15.Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia15.
16.Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya16.

11 Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.
12 Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
13 Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.
14 Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.
15 Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.
16 Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.

11

17.Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian


hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum17.
18.Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja18.
19.Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan19.
20.Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut20.
21.Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban
bangsa21.
22.Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang
diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya22.
23.Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah23.
24.Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak

17 Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.
18 Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.
19 Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.
20 Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumusannya mengundang kontroversi di
kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik dengan subjek negara.

21 Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan
subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.

12

asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan


perundang-undangan24.
25.Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen
menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang25.
26.Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
27.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk


kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan

ketertiban

umum

dalam

suatu

masyarakat

demokratis 26.

(Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, 2008; Asshiddiqie,


Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, 2008)

22 Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD
1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan
perumusan alternatif 1 butir c dan a. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: ...serta
melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama, sebaiknya dihapuskan
saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata
sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak
selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama.
Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang
diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok
paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.

23 Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.
24 Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perkataan ...memajukan.., sehingga menjadi
Untuk memajukan, menegakkan, dan melindungi....

25 Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan undang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat,
maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.

26

13

2.2Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia


Dalam kepustakaan kesehatan, terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk
menyebut hak asasi manusia di bidang kesehatan, seperti hak asasi atas kesehatan
(Human Right to Health), atau hak atas kesehatan(Right to Health), atau hak
memperoleh derajat kesehatan yang optimal (The Right to Attainable Standard To
Health).24 Hukum berkepentingan bukan pada istilah, melainkan pada makna yang
terkandung dalam istilah tersebut. Apalagi setelah UUD 45 memberikan jaminan
konstitusional terhadap hak atas kesehatan, mengenali hak tersebut secara benar
menjadi sangat penting bagi hukum (Perwira, 2011).
Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,
terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa, Setiap orang berkewajiban untuk ikut
serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga,
dan

lingkungannya.

Ketentuan

tersebut

menimbulkan

pertanyaan,

apakah

memelihata dan meningkat-kan derajat kesehatan sebagai suatu hak asasi manusia
juga sekaligus merupakan kewajiban asasi manusia? (Perwira, 2011).
Rumusan berkewajiban untuk ikut serta sama dengan wajib ikut serta,
seperti yang terdapat dalam Pasal 30 UUD 45, atau apakah ikut serta yang dimaksud
sama dengan peran serta, seperti yang dimaksud dalam Pasal 71 Undang-undang
tersebut? (Perwira, 2011)
Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 menyatakan, bahwa
Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan beserta sumber dayanya. Adapun yang dimaksud dengan upaya kesehatan
adalah pemeliharaan, pening-katan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit
(preventif), penyembuh-an penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).25
Jadi kewajiban ikut serta tersebut tidak sama dengan peran serta karena ikut serta
hanya berkenaan dengan upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Demikian

pula apabila hendak dikategorikan sebagai kewajiban asasi manusia, dapat diuraikan
sebagai berikut: (Perwira, 2011)
1) Hak kesehatan yang sekaligus kewajiban, yaitu:
a. pemeliharaan kesehatan; dan

14

b. peningkatan derajat kesehatan.


2) Hak kesehatan, yaitu:
a. pencegaan penyakit;
b. penyembuhan;
c. pemulihan kesehatan
2.3

Hukum Kesehatan

a)

Definisi
Hukum kesehatan merupakan cabang ilmu hokum yang secara relative baru

berkembang di Indonesia. Hukum kesehatan ini merupakan cakuoan dari aspek-aspek


hokum perdata, hokum administrative, hokum pidana, dan hokum disiplin yang
tertuju pada subsistem kesehatan dalam masyarakat. Menurut Prof. H.J.J Leenen,
hokum kesehatan adalah semua peraturan hokum yang berhubungan langsung pada
pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hokum perdata, hokum
administrasi, dan hukum pidana (Sampurno, 2011).
Jika dilihat hukum kesehatan, maka ia meliputi beberapa aspek sebagai
berikut: (Sadi, 2014)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Hukum medis (medical law)


Hukum keperawatan (nurse law)
Hukum rumah sakit (hospital law)
Hukum pencemaran lingkungan (environmental law)
Hukum Limbah (dari industri, rumah tangga, dan sebagainya)
Hukum Polusi (bising, asap, debu, bau, gas yang mengandung racun)
Hukum peralatan yang memakai x-ray (cobalt, nuclear)
Hukum keselamatan kerja
Hukum dan peraturan-peraturan lainnya yang ada kaitan langsung yang dapat
memengaruhi kesehatan manusia

b)

Aspek Hukum Kesehatan


Subjek hukum dalam sistem hukum kesehatan adalah sebagai berikut: (Sadi,

2014)
1. Tenaga kesehatan sarjana yaitu: dokter, dokter gigim apoteker, dan sarjana
lain dibidang kesehatan

15

2. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah, dan rendah: (a) bidang farmasi,
(b) bidang kebidanan, (c) bidang perawatan, (d) bidang kesehatan masyarakat
Saat ini dapat disepakati secara luas ruang lingkup peraturan hukum untuk
kegiatan pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran, mencakup aspek-aspek
dibidang pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan sesudah memasuku
aspek hukum tata Negara. Persyaratan pendidikan keahlian, pengobatanm berbagai
pembatasan serta pengawasan profesi dokter masuk dalam bagian hukum
administrasi. Hak dan kewajiban yang imbuyl dari hubungan pelayanan kesehatan,
persetujuan antara dokter-pasien serta keluarganya, akibat kelalaian perdata serta
tuntutannya dalam pelayanan kesehatan masuk bagian hukum perdata. Kesaksian,
kebenaran isi surat keterangan kesehatan, menyimpan rahasia, pengguguran
kandungan, resep obat keras atau narkotika, pertolongan orang sakit yang berakibat
bahaya maut atau luka-luka masuk bagian hukum pidana (Sadi, 2014) (Sampurno,
2011).
c)

Kedudukan Hukum Kesehatan


Undang Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah hak

asasi manusia. Pada pasal 28H dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat itnggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, pada
Pasal 34 ayat 33 dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Hal ini
menunjukan Negara bahwa pemerintah berkewajiban untuk menyehatkan yang sakit
dan berupaya mempertahankan yang sehat untuk hidup sehat (Sadi, 2014).
Konsep dasar hukum kesehatan mempunyai ciri istimewa, yaitu beraspek: (1)
hak asasi manusia, (2) Kesepakatan internasional, (3) legal baik pada level nasional
maupun internasional, dan (4) iptek (Sadi, 2014).
2.4

Praktik Kedokteran

16

Ilmu Kedokteran adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang


cara mempertahankan kesehatan manusia dan mengembalikan manusia pada keadaan
sehat dengan memberikan pengobatan pada penyakit dan cedera. Ilmu ini meliputi
pengetahuan tentang sistemtubuh manusia dan penyakit serta pengobatannyam dan
penerapan dari pengobatan tersebut (Sadi, 2014).
Praktik kedokteran mengkombinasikan sains dan seni, sains dan teknologi
adalah bukti dasar atas berbagai masalah klinis dalam masyarakat. Seni kedokteran
adalah penerapan gabungan antara ilmu kedokteran, intuisi, dan keputusan medis
untuk menentukan diagnosis yang tepat dan perencanaan perawatan untuk masingmasing pasien serta merawat pasien sesuai dengan apa yang diperlukan olehnya.
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang praktik kedokteran menjelaskan, praktik kedokteran adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam
melaksanakan upaya kesehatan. Adapun dalam ayat (2) menjelaskan pengertian
dokter yaitu dokter dan dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi baik didalam dan diluar negeri yang diakui oleh
pemerintah Negara Republik Indonesiansesuai peraturan perundang-undangan.
Upaya kesehatan yang dimaksud meliputi pemeliharaan kesehatan, pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan
(Sadi, 2014).
Praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral yaitu:
(Konsil Kedokteran Indonesia, 2006)
1.

Menghormati martabat manusia (respect for person)


Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus

diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib
diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu
mendapatkan perlindungan.
2.

Berbuat baik (beneficence)

17

Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar


pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian
berbuat baik diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi
kewajiban.
3.

Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence)


Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya

dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan
harus diikuti.
4.

Keadilan (justice)
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan

faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta


perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap
pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi
perhatian utama dokter. Prinsip dasar ini juga mengakui adanya kepentingan
masyarakat sekitar pasien yang harus dipertimbangkan.

2.5

Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter dalam Praktik Kedokteran

2.5.1

Hak dan Kewajiban Pasien dalam Praktik Medis


Mengenai hak dan kewajiban pasien diatur dalam pasal 52-53 Undang

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasal 52 menjelaskan


bahwa: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai
hak: (Republik Indonesia, 2004)
1.

Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud


dalam pasal 45 ayat (3) yaitu:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis

18

b. Tujuan dilakukan tindakan medis


c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
2.

Meminta pendapat dokter/dokter gigi lain

3.

Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis

4.

Menolak tindakan medis

5.

Mendapat isi rekam medis


Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, hak pasien adalah: (Republik Indonesia, 2009)
1. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak
sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
2. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, ijin yang
bersangkutan, kepentingan yang bersangkutan, kepentingan masyarakat).
3. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan
penyelamatan nyawa atau cegah cacat).
Berikut ini, dikumpulkan hak-hak pasien yang terdapat didalam literature
hukum kesehatan: (Sadi, 2014)
1. Hak untuk memperoleh informasi
2. Hak untuk memberikan persetujuan
3. Hak atas rahasia kedokteran
4. Hak untuk memilih dokter
5. Hak untuk memilih sarana kesehatan
6. Hak untuk menolak pengobatan/ perawatan
7. Hak untuk menolak tindakan medis tertentu
8. Hak untuk menghentikan pengobatan/ perawatan
9. Hak katas second opinion
10. Hak Inzage rekam medis

19

11. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya


Adapun dalam pasal 53 menjelaskan bahwa: pasien, dalam menerima
pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai kewajiban: (Sadi, 2014)
1.

Memberi informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada
dokter yang sedang merawatnya

2.

Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter/dokter gigi

3.

Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan baik rumah sakit
atau pun puskesmas atau tempat pelayanan kesehatan lainnya

4.

Memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban memenuhi hal-hal
yang telah disepakati / perjanjian yang telah dibuatnya
2.5.2

Hak dan Kewajiban Dokter dalam Praktik Medis


Sebagai

individu

pengemban

ilmu

pengetahuan

kedokteran

dalam

penerapannya maupun sebagai individu dalam pergaulan masyarakat di bidang


praktik kedokteran dokter berhak emperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
seperti yang telah diatur dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
praktik kedokteran yang menyebutkan bahwa profesi kedokteran atau kedokteran gigi
adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan
berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang
berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.. Mengenai hak dan
kewajiban dokter ini diatur dalam pasal 50-51 UU No. 29 tahun 2004, pasal 50
menjelaskan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak: (Sadi, 2014)
1.

Memperoleh perlindungan hokum sepanjang melaksanakan tugas sesuai

2.

dengan standar profesi dan standar prosedur internasional.


Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar

3.
4.

prosedur operasional.
Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarga
Menerima imbalan jasa

20

Menurut UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, pada pasal 57


disebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak untuk: (Sadi,
2014)
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional.
2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan
Kesehatan atau keluarganya.
3. Menerima imbalan jasa
4. Memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat, moral, kesusilaan,
serta nilai-nilai agama.
5. Mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya.
6. Menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan,
Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundangundangan, dan
7. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Adapun dalam pasal 51 menjelaskan bahwa: dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: (Sadi, 2014)
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan.
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran.
21

Kewajiban dokter menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia terbagi menjadi


beberapa poin antara lain: (MKEK, 2004)
1.
2.
3.
4.

Kewajiban Umum
Kewajian Dokter Terhadap Pasien
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

Pada poin Kewajiban Umum Dokter, tertuang dalam pasal 1 sampai pasal 9. (MKEK,
2004)
Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan


sumpah dokter.

Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai


dengan standar profesi yang tertinggi.

Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh


dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.

Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat


memuji diri.

Pasal 5

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien,
setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal 6

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan


menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.

Pasal 7

Setiap dokter harus memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.

Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan


pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral

22

sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan


atas martabat manusia.
Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien


dan sejawatnya,dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang
melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya,


dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi


hidup makhluk insani.

Pasal 8

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan


kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan

yang

menyeluruh

(promotif,

preventif,

kuratif,

dan

rehabilitatif),baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi


pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9

Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

Kewajiban Dokter Terhadap Pasien. (MKEK, 2004)


Pasal 10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu
dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam masalah lainnya.

Pasal 11

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar


senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya


tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

23

Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas


perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikan.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat (MKEK, 2004)


Pasal 14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri


ingin diperlakukan.

Pasal 15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri (MKEK, 2004)


Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja


dengan baik.

Pasal 17

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan


dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Pada UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, pada pasal 59


menyebutkan bahwa: (Republik Indonesia, 2014)
Ayat 1

Tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan


Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama pada Penerima
Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada
bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.

Ayat 2

Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang


menolak Penerima Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang meminta
uang muka terlebih dahulu

24

BAB 3
METODE PENULISAN
3.1 Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal
dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku pelajaran
kedokteran, jurnal imiah edisi cetak maupun edisi online, dan artikel ilmiah
yang bersumber dari internet. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat
kualitatif maupun kuantitatif.
3.2 Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari
berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang
diperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai
dengan topik yang dibahas.
3.3 Analisis Data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian.
Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis berdasarkan data yang telah

25

dipersiapkan secara logis dan sistematis. Teknik analisis data bersifat deskriptif
argumentatif.
3.4 Penarikan Kesimpulan
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah,
tujuan penulisan, serta pembahasan.Simpulan yang ditarik mempresentasikan
pokok bahasan karya tulis, serta didukung dengan saran praktis sebagai
rekomendasi selanjutnya.

BAB 4
PEMBAHASAN
Menurut Pasal 1 Undang - Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) menyebutkan bahwa: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pasal 1 angka 6 Undang - Undang
No. 39 Tahun 1999 berbunyi: Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang
atau sekelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi seseorang atau sekelompok orang yang
dijamin oleh undang - undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku. Dalam Undang- Undang No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia terdapat beberapa Pasal yang bisa dikaitkan dengan pasien dan pelanggaran
terhadap ketentuan ini merupakan

suatu bentuk pelanggaran HAM yang perlu

26

adanya penegakkan hukum dan perlindungan terhadap korban. Beberapa Pasal


tersebut yaitu: (Kondoy, 2015)
1. Pasal 21 yang berbunyi: Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik
rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian
tanpa persetujuannya.
2. Pasal 29 ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
3. Pasal 33 ayat (1): Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaannya.
4. Pasal 41 ayat (2): Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita
hamil, dan anak - anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan
khusus.
5. Pasal 62: Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial yang layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental
spriritualnya. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang
berkaitan dengan pasien, baik pasien maupun keluarganya ataupun orang lain
yang menyaksikan, mengetahui atau melihat dapat melaporkan dugaan
pelanggaran tersebut. Dugaan terhadap pelanggaran dilaporkan kepada ke
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) (Kondoy, 2015).
Di Indonesia perlindungan dan penegakan hukum di bidang kesehatan terlihat
jelas masih sangat kurang. Satu demi satu terdapat beberapa contoh kasus yang
terjadi terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang
terburuk, dan kadang - kadang akan berakhir dengan kematian. Kasus tindak pidana
dibidang medis yang banyak terjadi dan diekspos diberbagai media hanya merupakan
beberapa kasus yang menguap, sehingga dapat dikatakan seperti gunung es (iceberg).
Oleh karena itu dalam kesempatan berikut akan dibahas mengenai kasus-kasus
pelanggaran HAM dalam praktik kedokteran.
4.1

Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan dan Kualitas Pelayanan

4.1.1

Pelayanan Kesehatan
27

Bidang pelayanan kesehatan, merupakan salah satu unsur perbekalan


kesehatan sebagai faktor yang paling dominan dalam memenuhi kebutuhan untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sehingga mampu mwujudkan
kesejahteraan masyarakat. Pencapaian Upaya kesehatan seperti tersebut di atas pada
hakikatnya sebagai salah satu perwujudan dari kesejahteraan umum seperti yang
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kesehatan sebagai salah
satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena kesehatan merupakan isu HAM membawa
konsekuensi setiap manusia berhak atas kesehatan dan negara berkewajiban
memenuhi hak itu, tentu bukan sesuatu yang tanpa dasar (Grenaldo, 2014).
Pelayanan kesehatan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
masyarakat, dimana setiap masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan
yang layak. Sudah sewajarnya setiap masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan
yang baik dari pemerintah. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan
secara tanggung jawab dan non diskriminasi. Namun pada kenyataannya yang terjadi
banyak kekecewaan yang dirasakan mulai dari lambatnya pelayanan yang diberikan
oleh para petugas terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan,
hingga susahnya prosedur yang harus dilalui masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan. Dari banyaknya kasus yang terjadi maka pemerintah mengatasi
persoalan-persoalan tentang pelayanan kesehatan melalui Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Pasal 19 yang didalamnya menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung
jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien
dan terjangkau sesuai dengan harapan masyarakat, karena pelayanan kesehatan tujuan
utamanya adalah untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah
penyakit, sasarannya untuk kelompok dan masyarakat (Aminingrum & Niswah, 2013).
Peningkatan pelayanan di bidang kesehatan sangat penting karena kesehatan
merupakan kebutuhan dasar yang keberadaannya sangat diperlukan oleh masyarakat.
Kesehatan juga merupakan aspek yang sangat vital dalam mencapai Millenium

28

Development Goals (MDGs) karena kesehatan merupakan indikator perkembangan


suatu bangsa. Memperoleh kesehatan merupakan hak setiap individu atau kelompok.
Dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1, secara eksplisit dikatakan bahwa kesehatan
merupakan hak setiap warga. Bahkan kesehatan juga menjadi indikator HDI ( Human
Development Index) (Arisandy, 2015).
Tujuan dari pelayanan kesehatan adalah untuk memenuhi kebutuhan individu
atau masyarakat untuk mengatasi, menetralisasi atau menormalisasi semua masalah
atau semua penyimpangan tentang kesehatan yang ada dalam masyarakat. Dengan
meningkatnya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka
kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kesehatan semakin meningkat sehingga
tidak ada lagi upaya yang dapat dilakukan selain meningkatkan kinerja petugas
kesehatan dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan sebaik baiknya
(Konli, 2014).
Pencapaian Upaya kesehatan seperti tersebut di atas pada hakikatnya sebagai
salah satu perwujudan dari kesejahteraan umum seperti yang dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kesehatan sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 melalui
pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Oleh karena kesehatan merupakan isu HAM membawa
konsekuensi setiap manusia berhak atas kesehatan dan negara berkewajiban
memenuhi hak itu, tentu bukan sesuatu yang tanpa dasar (Konli, 2014).
Pelayanan kesehatan, baik dari jenis pelayanan kesehatan kedokteran maupun
dari jenis pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki berbagai syarat pokok.
Syarat pokok yang dimaksud adalah:
1. Tersedia dan berkesinambungan yaitu syarat yang pertama pelayanan
kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia
dimasyarakat serta bersifat berkesinambungan.
2. Dapat diterima dan wajar yaitu syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang
baik adalah dapat diterima oleh masyarakat serta bersifat wajar. Artinya

29

pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan


kepercayaan masyarakat.
3. Mudah dicapai yaitu syarat pokok yang ketiga. Pelayanan kesehatan yang
baik adalah mudah dicapai oleh masyarakat (dari sudut lokasi).
4. Mudah dijangkau. Pelayanan kesehatan yang baik adalah mudah dijangkau
oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini termasuk
dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus
dapat diupayakan pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan
ekonomi masyarakat.
5. Bermutu. Syarat pokok kesehatan yang baik adalah bermutu. Pengertian yang
dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat memuaskan para
pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai
dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan (Prana, 2013).
Konsep pelayanan kesehatan dasar mencakup istilah nilai - nilai dasar tertentu
yang berlaku umum terhadap proses pengembangan secara menyeluruh, tetapi dengan
pelaksanaan penerapan di bidang kesehatan seperti berikut :
1. Kesehatan secara mendasar berhubungan dengan tersedianya dan penyebaran
sumber daya, bukan hanya sumber daya kesehatan seperti dokter, perawat,
klinik, obat, melainkan juga sumber daya sosial ekonomi yang lain seperti
pendidikan, air, dan persediaan makanan.
2. Pelayanan kesehatan dasar dengan demikian memusatkan perhatian kepada
adanya kepastian bahwa sumber daya kesehatan dan sumber daya sosial yang
ada telah tersebar merata dengan lebih memperhatikan mereka yang paling
membutuhkannya.
3. Kesehatan adalah suatu bagian penting dari pembangunan secara menyeluruh.
Faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah faktor sosial, budaya, dan
ekonomi, disamping faktor biologi dan lingkungan.
4. Pencapaian taraf kesehatan yang lebih baik memerlukan keterlibatan yang
lebih banyak dari penduduk, seperti perorangan, keluarga dan masyarakat,
dalam pengambilan tindakan demi kegiatan mereka sendiri dengan cara

30

menerapkan perilaku sehat dan mewujudkan lingkungan yang sehat (Prana,


2013).

Peran pihak penyelenggara pelayanan merupakan salah satu faktor kunci


keberhasilan,

disini

yang

dimaksudkan

adalah

pemerintah.

Selaku

pihak

penyelenggara, pemerintah telah menyediakan beberapa sarana/fasilitas kesehatan


beserta tenaga kesehatannya, fasilitas kesehatan yang banyak dimanfaatkan
masyarakat salah satunya adalah Puskesmas. Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota maka Puskesmas berperan menyelenggarakan
sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan
merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan
kesehatan di Indonesia (Aminingrum & Niswah, 2013).
Puskesmas sebagai pemberi pelayanan primer yang menjadi andalan utama
pelayanan bagi masyarakat, belum mampu memberikan pelayanan bagi daerah
terpencil perbatasan dan kepulauan. Wilayah kerja puskesmas cukup luas, secara
geografi sebagian sulit dijangkau, jumlah penduduk sedikit, tersebar dalam
kelompok-kelompok kecil yang saling berjauhan. Sarana transportasi sangat terbatas
dengan biaya mahal baik darat, sungai, laut maupun udara.
Status kesehatan masyarakat dan cakupan pelayanan kesehatan di daerah
terpencil perbatasan masih rendah. Masyarakat secara umum belum mempunyai
pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan kondisi lingkungan yang kurang baik.
Penggunaan puskesmas di daerah terpencil antara lain dipengaruhi oleh akses
pelayanan yang tidak hanya disebabkan masalah jarak, tetapi terdapat dua faktor
penentu (determinan) yaitu determinan penyediaan yang merupakan faktor-faktor
pelayanan, dan determinan permintaan yang merupakan faktor-faktor pengguna.
Determinan penyediaan terdiri atas organisasi pelayanan dan infrastruktur fisik,
tempat pelayanan, ketersediaan, pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan
serta mutu pelayanan. Sedangkan determinan permintaan yang merupakan faktor
pengguna meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya masyarakat serta

31

tingkat pendapatan masyarakat yang rendah atau miskin. Kebutuhan primer agar
memperoleh akses pelayanan yang efektif: adalah tersedianya fasilitas dan petugas,
jarak dan finansial terjangkau serta masalah sosial budaya yang dapat diterima oleh
pengguna. Kendala yang ada adalah jarak tempat tinggal pengguna dari tempat
pelayanan, kekurangan alat-alat dan persediaan di tempat pelayanan, kekurangan
dana untuk biaya transportasi, dan kekurangan dana untuk biaya pengobatan. Selain
faktor sarana dan prasarana transportasi, masih banyak faktor-faktor lain yang belum
terungkap dengan jelas terkait dengan keterjangkauan pelayanan yang dapat
membantu menyelesaikan masalah tersebut (Suharmiati, Handayani, & Kristiana,
2012).
4.1.2

Kualitas Kesehatan
Masyarakat akan menuntut kualitas pelayanan bagi penyedia layanan jasa,

baik yang berorientasi profit maupun nonprofit. Dapat dilihat bagaimana kualitas
layanan menjadi tuntutan masyarakat yang mengharapkan yang mengharapkan
layanan publik itu semakin baik, baik yang dapat dilihat diberbagai media informasi
dimana masyarakat melakukan unjuk rasa yang menyampaikan ketidakpuasan
mereka terhadap kinerja suatu instansi yang dianggap tidak berkualitas (Yusuf, 2012).
Lewis & Booms (1983) mendifinisikan mutu atau kualitas layanan sebagai
ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan
ekspektasi konsumen. Berdasarkan definisi ini, kualitas layanan dapat diwujudkan
melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaian
untuk mengimbangi harapan konsumen. Dengan semikian terdapat dua faktor utama
yang mempengaruhi kualitas layanan, yaitu layanan yang diharapkan dan layanan
yang dipersepsikan/ dirasakan (Hayaza, 2013).
Tolak ukur kualitas pelayanan dapat diukur dari 10 sub variabel (dimensi),
yaitu tangibles, reliability, responsivenss, competence, coutesy, credibility, security,
access, communications, undestanding the customer.
Namun demikian, selepas indikatorindikator daripada dimensi tersebut
digunakan untuk pengkajian secara berulangulang didapati berlaku pertindihan

32

(overlapping) antara beberapa indikator sebagai dimensi pengukuran, iaitu antara


kecakapan (competency), kesantunan (courtesy), kredibiliti (credibility) dan
keselamatan (security). Kesemua dimensi berkenaan digabung dan disebut sebagai
indikator dimensi jaminan (assurance). Selanjutnya, indikator dimensi akses (access),
komunikasi (communication), dan memahami pengguna (understanding the
customer) digabung dan disebut sebagai indikator dimensi kesefahaman (empathy).
Akhirnya, indikator dimensi pengukuran kualitas pelayanan mengikuti sepuluh
indikator dimensi tersebut diperbaiki menjadi lima indikator dimensi yang mudah
digunakan dan dikenali sebagai SERQUAL (Service Quality), yaitu:
1. Tangibles, meliputi kewujudan bukti fisikal yang nyata seperti penampilan
atau rupa bentuk fisikal kemudahan peralatan, personel dan sistem
komunikasi.
2. Reliability, meliputi kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan
dengan segera dan memuaskan.
3. Responsiveness, meliputi keinginan para pemberi pelayanan untuk
membantu pengguna dan memberikan pelayanan dengan cakap.
4. Assurance, meliputi kemampuan, kesopanan, sifat boleh dipercayai dan
bebas dari risiko bahaya atau ralat kesalahan perobatan.
5. Empathy, meliputi kemudahan dan kelesaan dalam menjalankan hubungan,
komunikasi yang baik dan memahami keinginan pengguna (Santoso,
2007).
4.1.3

Kasus Kasus Dalam Bidang Pelayanan Kesehatan

Kasus 1: Sulitnya Memberi Pelayanan Kesehatan di Papua (sumber: CNN


Indonesia)
Tersebarnya masyarakat yang bermukim di dataran tinggi, dataran rendah,
atau lembah dan masih lekatnya adat istiadat dan kepercayaan masyarakat, membuat
bidang kesehatan sulit untuk berkembang. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua,
Aloysius Giyai, menyadari daerahnya memang cukup tertinggal di bidang pelayanan
kesehatan. "Untuk Papua memang tidak mudah. Masih ada keterikatan budaya yang
masih kuat. Ada suku tertentu kalau menstruasi atau melahirkan harus menyendiri
pada gubuk tertentu karena ada kepercayaan kalau darahnya dilihat atau disentuh
33

orang lain nanti sakit demam," kata Aloysius saat ditemui CNN Indonesia usai acara
Deklarasi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Biak, Papua, baru-baru ini.
Tidak adanya sarana kesehatan di pedalaman dan kampung-kampung yang terisolasi
juga menjadi tantangan tersendiri. Jarak puskesmas seringkali sangat jauh dari tempat
tinggal masyarakat pedalaman. Akibatnya mereka sulit menjangkau petugas
kesehatan dan petugas kesehatan pun sulit menjangkau mereka. Belum lagi soal
petugas kesehatan yang jumlahnya masih sangat sedikit (Wahyuni, 2015).
Kasus 2: Pelayanan Kesehatan Sulit Dijangkau, 7 Warga Papua Meninggal
(Sumber: health.liputan6.com 2013)
Sekitar 7 warga di kampung Jokbijoker, Mbatde, dan Kwesefo, Kabupaten
Tambrauw, Papua meninggal akibat sulitnya pelayanan kesehatan. Menurut data
Kementrian kesehatan, Kampung Jokbijoker, Mbatde dan Kwesefo merupakan desa
di dalam wilayah Distrik Kwoor yang merupakan kampung yang sangat terpencil dan
susah dijangkau dari Ibu Kota Kabupaten Timbraw. Untuk menuju kampung tersebut
harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 5-7 hari atau menggunakan helikopter.
"Jumlah kematian ini merupakan akumulasi dari kematian tahun sebelumnya,
sedangkan jumlah kematian periode triwulan I tahun 2013 adalah 2 orang terdiri dari
1 orang ibu hamil dan 1 orang Lansia," ujar tim investigasi kemenkes dalam
pernyataannya yang dikirimkan melalui surat elektronik, Sabtu (13/4/2013).
"Demikian pula dengan pelayanan kesehatan yang kurang karena lokasi kampung
yang sangat sulit dijangkau, perilaku merokok, kebiasaan membuat perapian di dalam
rumah ataupun ketersediaan jamban yang kurang karena masyarakat terbiasa buang
air di hutan atau di sungai. Ditambah lagi cara pengolahan makan masih sangat
terbatas, seperti air minum tidak dimasak dulu tetapi langsung diminum dari sumbersumber mata air yang ada di kampung,"tulisnya. Hasil Pengukuran Anthropometri
pada Balita di Desa Bikar, Jokbijoker dan Kwesefo menunjukkan bahwa dari 31
penduduk Jokbijoker yang diukur terdapat 4 Balita masih dalam status gizi normal.
Dari 36 orang penduduk Bikar yang diukur terdapat 11 Balita diantaranya 6 Balita
berstatus gizi normal, 1 anak kurus, dan 4 anak sangat kurus yang langsung dirujuk

34

ke Puskesmas Saosapor. Sementara hasil pengukuran di kampung Kwesefo


menunjukkan ada 27 Balita yang diukur terdiri dari 4 bayi dan 23 Balita. Dari 4 bayi
ini, 2 bayi berstatus gizi normal dan 2 bayi lainnya kurus. Sementara dari 23 balita,
diketahui 13 anak kategori normal, 6 anak dan 4 anak kurus.
Analisis kasus:
Pada kedua kasus diatas menunjukan permasalahan kesehatan didalam hal
pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau dan kualitas sumber daya ataupun fasilitas
pada kesehatan tersebut. Berikut akan dibahas hubungan permasalahan kesehatan
tersebut dengan pelanggaran HAM dibidang hak untuk mendapatkan kesejahteraan
kesehatan.
Ketersediaan Pelayanan Kesehatan (Available)
Untuk dapat menimbulkan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan
banyak syarat yang harus dipenuhi. Salah satu diantaranya yang dinilai mempunyai
peranan yang cukup penting adalah ketersediaan pelayanan kesehatan tersebut di
lingkungan masyarakat. Dalam ketersediaan pelayanan kesehatan di lingkungan
masyarakat dapat dilihat dari proses atau tindakan secara nyata dilingkungan
masyarakat, sebab kebanyakan masyarakat tidak puas dengan adanya pelayanan yang
hanya berpusat dipuskesmas saja sehingga menimbulkan ketidak puasan masyarakat
dengan pelayanan yang diberikan oleh puskesmas (Konli, 2014).
Ketersediaan Pelayanan Kesehatan di daerah Papua tidak optimal dan
keberadaan puskesmas yang kurang memadai (Wahyuni, 2015). Hal ini menyalahi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 19 yang didalamnya menyebutkan
bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya
kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau sesuai dengan harapan
masyarakat, karena pelayanan kesehatan tujuan utamanya adalah untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, sasarannya untuk kelompok
dan masyarakat (Aminingrum & Niswah, 2013).

35

Selain itu masyarakat papua berhak atas ketersediaan pelayanan kesehatan


seperti yang dicantumkan pada peraturan Mentri Kesehatan Nomor 90 tahun 2015
menyebutkan bahwa; a) setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan serta
berhak memperoleh perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan; b)
bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Kawasan terpencil dan sangat terpencil dilakukan dalam rangka meningkatkan
aksesibilitas, kualitas pelayanan kesehatan serta memberikan kepastian hukum; c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan peraturan menteri tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kawasan Terpencil dan Sangat Tepencil
(KEMENKES, 2016).
Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan (Affordable)
Yaitu pelayanan kesehatan yang terlalu mahal tidak akan dapat dijangkau oleh
semua pasien dan karenanya tidak akan memuaskan pasien. Sebagai jalan keluar
disarankan perlunya mengupayakan pelayanan kesehatan yang biayanya sesuai
dengan kemampuan pasien itu. Karena keterjangkauan pelayanan kesehatan erat
hubungannya dengan mutu pelayanan kesehatan (Konli, 2014).
Pada kasus Papua didapatkan jarak puskesmas sangat jauh dari tempat tinggal
masyarakat pedalaman. Akibatnya mereka sulit menjangkau petugas kesehatan dan
petugas kesehatan pun sulit menjangkau mereka (Wahyuni, 2015).
Penggunaan puskesmas di daerah terpencil perbatasan antara lain dipengaruhi
oleh akses pelayanan. Kemudahan akses ke puskesmas sebagai salah satu bentuk
pelayanan kesehatan berhubungan dengan beberapa faktor, antara lain jarak tempat
tinggal dan waktu tempuh ke sarana kesehatan, serta status sosial ekonomi dan
budaya. Akses pelayanan tidak hanya disebabkan masalah jarak, tetapi terdapat dua
faktor penentu yaitu determinan penyediaan yang merupakan faktor-faktor pelayanan,
dan determinan permintaan yang merupakan faktorfaktor pengguna. Faktor-faktor
pelayanan terdiri atas organisasi pelayanan dan infrastruktur fisik, tempat pelayanan,
ketersediaan, pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan serta mutu

36

pelayanan. Sedangkan determinan permintaan yang merupakan faktor pengguna


meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya masyarakat serta tingkat
pendapatan masyarakat yang rendah atau miskin (Suharmiati, Handayani, &
Kristiana, 2012).
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan serta setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, dan terjangkau (Republik Indonesia, 2009).
Kualitas Pelayanan Kesehatan
Selain

itu jumlah

tenaga

kesehatan

yang tersedia belum mampu

menyelesaikan seluruh upaya kesehatan wajib yang dilaksanakan di tempat pelayanan


kesehatan terutama pelayanan di luar, karena luas wilayah puskesmas dan kesulitan
untuk menjangkau sasaran. Peralatan yang dimiliki pelayanan kesehatan juga sangat
minim sekali serta kurangnya jumlah transportasi untuk menjangkau tempat
pelayanan kesehatan maupun untuk menjangkau pasien. Hal ini sangat berpengaruh
pada pemberian pelayanan yang diberikan (Suharmiati, Handayani, & Kristiana,
2012).
Kesehatan adalah suatu bagian penting dari pembangunan secara menyeluruh.
Faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah faktor sosial, budaya, dan ekonomi,
disamping faktor biologi dan lingkungan (Prana, 2013). Pada masyarakat Papua
masih memiliki keterikatan yang kuat terhadap sosial dan budaya masih lekatnya adat
istiadat dan kepercayaan masyarakat, membuat bidang kesehatan sulit untuk
berkembang. Hal ini menyebabkan masyarakat Papua mengesampingkan pelayanan
kesehatan oleh petugas medis profesional (Wahyuni, 2015).

37

4.2

Hak Atas Rahasia Kedokteran Dan Hak Pembuatan Rekam Medik


Rahasia kedokteran adalah sesuatu yang diketahui berdasarkan informasi yang

disampaikan pasien (termasuk oleh orang yang mendampingi pasien ketika berobat),
termasuk juga segala sesuatu yang dilihat (diketahui) ketika memeriksa pasien
(Yunanto & Helmi, 2010).
Masalah suatu rahasia baru timbul apabila ada dua pihak atau lebih terkait
di dalamnya. Seorang pasien yang datang kepada seorang dokter untuk berobat. Ia
menceritakan apa yang dideritanya, bagian tubuh mana atau apa yang dirasakan sakit.
Atas dasar uraian pasien tersebut, maka dokternya akan mengajukan berbagai
pertanyaan agar lebih jelas. Kemudian ia melakukan pemeriksaan badan, mungkin
menyuruh pemeriksaan Laboratorium, Foto rontgen, CT-Scan, dan sebagainya. Atas
dasar berbagai pemeriksaan tersebut dokter bisa menarik kesimpulan bahwa
diagnosis adalah penyakit tertentu. Hal ini diberitahukan kepada pasien dan diberi
pengobatan atau dianjurkan misalnya Rawat inap untuk dilakukan observasi dan
pemeriksaan yang lebih teliti dan mengikuti perkembangan pengobatannya (Yustina,
2014).
Data kesehatan pasien dicatat dalam suatu berkas yang disebut rekam medis
yang memiliki nilai kerahasiaan. Ketentuan tentang medical records dirumuskan
dalam Permenkes Nomor 269 Tahun 2008. Menurut Permenkes ini yang dimaksud
medical record, adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan merupakan tulisan-tulisan
yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan
kepada pasien dalam rangka pelayanan kesehatan. Selanjutnya disebutkan bahwa
bentuk medical record dapat berupa manual yaitu tertulis lengkap dan jelas atau
dalam bentuk elektronik sesuai ketentuan. Rekam medis terdiri dari catatan-catatan
data pasien yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Catatan-catatan tersebut
sangat penting untuk pelayanan bagi pasien karena data yang lengkap dapat

38

memberikan informasi yang menentukan berbagai keputusan baik pengobatan,


penanganan, tindakan medis dan lainnya. Dokter atau dokter gigi diwajibkan
membuat rekam medis sesuai aturan yang berlaku.
Dalam Permenkes tersebut juga menyatakan bahwa isi rekam medis adalah
milik pasien, sedangkan dokumen adalah milik sarana pelayanan kesehatan. Rekam
medis merangkum kontak pasien dengan sarana pelayanan kesehatan yang isinya
meliputi : data pasien, pemeriksaan, pengobatan dan tindakan yang diberikan,
korespondensi demi kesinambungan pelayanan (biasanya dalam bentuk kartu).
Medical records yang berisi data pasien merupakan hak pasien dan menjadi
kewajiban dokter untuk membuatnya. Data pasien yang dituangkan dalam medical
records merupakan informasi yang berisikan data yang mengandung kerahasiaan,
sehingga provider wajib mengelola data tersebut dengan sebaik-baiknya.
Jaminan perlindungan hak atas medical records diatur pada Pasal 79 huruf b
UU Praktik Kedokteran dalam rumusan tentang sanksi pidana yang menyebutkan
bahwa:Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter
gigi yang: dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1) (Catatan: sanksi pidana kurungan dinyatakan tidak mengikat secara
hukum melalui putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi pada bulan Juli tahun
2007).
Uraian di atas mempertegas keterkaitan antara informasi medis, medical
records, dan medical secrecy. Seorang dokter wajib merahasiakan segala yang
disampaikan oleh pasiennya, baik yang disampaikan secara sadar maupun tidak sadar
kepadanya dan segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sewaktu mengobati dan
merawat pasien. Hal inilah yang disebut dengan rahasia kedokteran. Kerangka
pemikiran tentang rahasia kedokteran timbul pertama-tama dari kewajiban
profesional untuk merahasiakan keterangan yang diperoleh dalam melaksanakan
profesi. Keterangan yang didapat oleh para profesional dalam melakukan profesi,
dikenal dengan nama rahasia jabatan, sedangkan keterangan yang diperoleh dokter
dalam melaksanakan profesinya, dikenal dengan nama rahasia kedokteran.

39

Dasar hukum pengaturan tentang rahasia medis di antaranya diatur dalam UU


Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009, 2009). Pada
ketentuan Pasal 48 UU Praktik Kedokteran disebutkan bahwa:
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepen_ngan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum,

permintaan

pasien

sendiri,

atau

berdasarkan

ketentuan

perundangundangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pada ketentuan Pasal 51 huruf c UU Praktik Kedokteran disebutkan bahwa:
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban: merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia. Adapun pada Pasal 52 huruf e disebutkan
bahwa: Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
hak: mendapatkan isi rekam medis. Sementara itu pada ketentuan Pasal 57 UU
Kesehatan, disebutkan bahwa:
1. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
2. Disebutkan bahwa sifat kerahasiaan ini tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 juga mengatur bahwa sarana pelayanan
kesehatan bertanggung jawab terhadap rekam medis. Di samping itu, sarana
pelayanan kesehatan juga membuat atau mencatat semua kejadian terkait dengan
layanan yang dilakukan terhadap pasien; mengelola sebaik-baiknya; dan menjaga

40

kerahasiaannya. Oleh karena itu, rekam medis yang berisi data pribadi pasien sifatnya
rahasia dan dikecualikan dalam ketentuan keterbukaan informasi publik. Hal tersebut
dikarenakan informasi yang tercatat dalam rekam medis merupakan data seseorang
(personal); bersifat rahasia; hak pribadi dan terkait rahasia jabatan.
Jaminan perlindungan atas kerahasiaan medis ini dirumuskan juga dalam
Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran bahwa: dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang: dengan sengaja tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c sebagaimana telah
diuraikan di atas. Ketentuan tentang informasi medis dan rahasia medis juga diatur
secara jelas dalam UU Rumah Sakit. Pasal 32 huruf b UU Rumah Sakit bahwa,
Setiap pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang hak dan
kewajiban pasien; sedangkan pada Pasal 32 huruf i disebutkan bahwa,setiap pasien
berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk datadata medisnya.
Sesuai dengan perintah undang-undang, rahasia medis ini diatur secara khusus
dalam Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran. Bagian
menimbang Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 dinyatakan bahwa tujuan
pembentukan Permenkes adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU
Praktik Kedokteran dan Pasal 38 ayat (3) UU Rumah Sakit. Dalam ketentuan Pasal 1
butir 1 Permenkes disebut dengan jelas bahwa yang dimaksud rahasia kedokteran
adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga
kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya. Dalam Permenkes ini
diatur tentang kewajiban berbagai pihak untuk menjaga kerahasiaan medis, seperti
dirumuskan pada Pasal 4 bahwa:
1. Semua

pihak

yang

terlibat

dalam

pelayanan

kedokteran

dan/atau

menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia


kedokteran.
2. Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

41

a. Dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki akses
terhadap data dan informasi kesehatan pasien;
b. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan;
c. Tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan;
d. Tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan
pasien di fasilitas pelayanan kesehatan;
e. Badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan; dan
f. Mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan
3. Perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan.
4. Kesehatan.
5. Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya, walaupun
pasien telah meninggal dunia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa rahasia medis merupakan
hak pasien yang dijamin dalam perundang-undangan dan wajib ditaati oleh semua
pihak yang diwajibkan oleh undang-undang, seperti dokter, dokter gigi, dan tenaga
kesehatan, termasuk mahasiswa atau siswa, pimpinan sarana pelayanan kesehatan
serta orang lain yang ditentukan oleh undang-undang. Bahkan kewajiban menyimpan
rahasia tersebut berlaku selamanya, bahkan sampai pasien meninggal dunia.
4.2.1

Pengecualian terhadap Wajib Simpan Rahasia Kedokteran


Ada beberapa keadaan yang dapat dijadikan alasan rahasia kedokteran

tersebut dibuka. Beberapa ahli telah mencoba menggolongkan beberapa keadaan


dimana dokter dapat membuka rahasia kedokteran menjadi dua golongan: Dengan
kerelaan atau pun izin pasien. Pasien dianggap telah menyatakan secara tidak
langsung bahwa rahasia kedokteran itupun bukan lagi merupakan rahasia, sehingga
tidak wajib dirahasiakan lagi; Pembukaan rahasia tanpa izin si pasien. Dalam hal ini
dokter terpaksa membuka rahasia kedokteran karena adanya dasar penghapusan
pidana (strafuitsluitingsgroden) yang diatur dalam Pasal 48 KUHP, Pasal 50 KUHP
dan Pasal 51 KUHP (Dewi, 2013)

42

Dari bunyi tiga pasal dalam KUHP sebagaimana di atas itu dapat kita ketahui
bahwa wajib simpan rahasia kedokteran dikecualikan dalam keadaan daya paksa,
melaksanakan ketentuan undang-undang dan melaksanakan perintah jabatan.
Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran juga diatur dalam Pasal 48
ayat (2) UU Pradok dan Pasal 57 ayat (2) UU Kedokteran (Dewi, 2013).
Dari pembahasan di atas maka diketahui bahwa alasan yang dapat
dipergunakan oleh dokter untuk dapat membuka rahasia kedokteran adalah sebagai
berikut:
Pertama, Adanya izin dari pasiennya. Rahasia kedokteran ini merupakan hak
dan milik pasien, jadi hanya pasien tersebut yang berhak memutuskan apakah orang
lain boleh mengetahui kondisinya atau tidak. Contoh kasus: Seorang pasien yang
tidak masuk kerja karena sakit lalu minta surat keterangan sakit untuk dilaporkan
pada tempatnya bekerja.
Kedua, Adanya pengaruh daya paksa. Daya paksa disini bersifat relatif, yang
terjadinya karena kondisi darurat. Jika kondisi ini tidak ada maka keadaan daya paksa
tersebut juga tidak ada. Contoh kasus: Seorang sopir menderita epilepsi. Dokter
terpaksa membuka rahasia penyakit itu pada sang majikan sopir tersebut.
Ketiga, Adanya peraturan perundang-undangan. Secara formil justifikasinya
karena terdapat pada perundang-undangan dan secara materiil juga sudah
dipertimbangkan oleh undang-undang bahwa ada kepentingan yang lebih besar.
Contoh kasus: Seorang dokter yang diminta membuat Visum et Repertum.
Keempat, Adanya perintah jabatan. Contoh kasus untuk menjelaskan kondisi
ini adalah seorang dokter penguji kesehatan yang diharuskan melaporkan hasil
kesehatan pasien yang diperiksanya kepada institusi yang meminta dan hal ini tanpa
memberitahukan terlebih dahulu kepada pasien tersebut.
Kelima, Demi kepentingan umum. Disini rahasia kedokteran terpaksa dibuka
karena ada kepentingan yang lebih diutamakan, yaitu masyarakat umum. Contoh
kasus: Dokter melaporkan pasiennya seorang penjahat yang mendapat luka-luka.
Alexandra

Indriyanti

menyebutkan

beberapa

hal

yang

merupakan

pengecualian wajib simpan rahasia kedokteran, yaitu: Syarat keterbatasan para pihak

43

yang relevan saja, misalnya kepada suami atau istri, mantan suami atau istri,
pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut; dan
keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan; serta
keterbatasan persyaratan, yakni informasi hanya dibuka apabila memang secara
medis, informasi tersebut layak dibuka (Dewi, 2013).
Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran berlaku pada kondisikondisi darurat seperti wabah dan bencana alam, seorang dokter atau pun petugas
kesehatan itu tidak boleh membiarkan bencana terjadi tanpa penanganan yang
semestinya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang
Wabah. Undang-undang ini mewajibkan dokter atau tenaga kesehatan untuk segera
melaporkan kondisi-kondisi luar biasa karena wabah penyakit dan penyebarannya
sehingga segera bisa ditanggulangi (Yunanto & Helmi, 2010).
4.2.2

Kewajiban Hukum sebagai Saksi Ahli


Dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan profesinya, seorang dokter

bisa diminta bantuannya oleh penegak hukum. Hal itu terkait dengan perkara yang
menyangkut tubuh dan atau nyawa manusia. Pendapat atau bantuan dokter ini
dibutuhkan dalam rangka menemukan kebenaran materiil atas perkara pidana karena
sang pemutus perkara yaitu hakim tidak memiliki ilmu yang terkait dengan anatomi
tubuh manusia. Idealnya adalah memang para penegak hukum juga harus memiliki
pengetahuan kedokteran sehingga bila menghadapi kasus yang terkait dengan
perusakan tubuh dan nyawa manusia maka mereka dapat menilai sendiri secara
obyektif. Selain itu sistem pemeriksaan medikolegal di negara kita menganut sistem
continental dimana tidak terdapat petugas khusus yang melakukan pemeriksaan
medikolegal sebagaimana yang telah terdapat pada sistem medical examiner maupun
sistem coroner. Sebelum kita ulas tentang kewajiban hukum dokter sebagai saksi ahli,
maka terlebih dahulu penulis akan mengulas pengertian beberapa istilah yang
digunakan dalam pembahasan materi ini dan juga prosedur beracara dalam penegakan
hukum pidana (Dewi, 2013).
Menurut Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang
selanjutnya disebut KUHAP), hakim dalam menjatuhkan putusan pidana sekurang44

kurangnya berdasarkan dua alat bukti sah, yang dapat membentuk keyakinan para
hakim tentang kesalahan terdakwa. Terbentuknya keyakinan hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang
diketemukan pada proses persidangan. Sementara itu menurut Pasal 184 KUHAP alat
bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa.
Menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP keterangan saksi merupakan salah satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya, dan pada Pasal 1 angka 28 KUHAP
keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Jika terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli.
Keterangan saksi, diberikan berdasarkan pada hal yang dilihat, didengar atau dialami
sendiri; sedangkan pendapat atau sangkaan yang telah diperoleh dari hasil
pemeriksaan bukanlah merupakan keterangan saksi. Seorang ahli dalam memberikan
keterangan diminta untuk mengajukan pendapatnya menurut pengetahuannya itu.
Namun demikian, semua ketentuan yang telah berlaku untuk saksi juga berlaku untuk
ahli, termasuk dokter yang memberikan keterangan ahli (Dewi, 2013).
Pengertian tentang saksi ahli dapat dijelaskan lebih lanjut dalam KUHAP
sebagaimana tertuang dalam Pasal 186 KUHAP. Di dalam penjelasan pasal ini
dinyatakan bahwa keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk
laporan, dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan, jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan
keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan, keterangan tersebut diberikan
setelah ia mengucapkan janji atau sumpah di hadapan hakim.

45

Keterangan ahli, menurut Pasal 186 KUHAP dapat diberikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan secara tertulis berdasarkan sumpah pekerjaan atau
jabatan. Namun demikian, pada proses pemeriksaan di persidangan saksi ahli
diwajibkan untuk mengucapkan sumpah atau janji seperti ditentukan dalam Pasal 179
ayat (2) KUHAP, yaitu akan memberikan keterangan sebaik-baiknya dan yang
sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya (Dewi, 2013).
Kriteria untuk dapat ditunjuk sebagai seorang ahli dalam perkara pidana tidak
ditentukan dalam KUHAP. Menurut KUHAP, keterangan ahli ialah apa yang seorang
ahli nyatakan di sidang pengadilan, sedangkan keterangan ahli ini adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus. Kriteria memiliki
keahlian khusus sebagai seorang ahli tidak dijelaskan terperinci, misalnya
berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari, atau pengalaman yang
dimiliki tentang sesuatu hal. Penjelasan kelayakan sebagai seorang yang telah
memiliki keahlian khusus perlu diberikan. Misalnya, penilaiannya akan ditentukan
berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dan atau pengalaman
yang telah dilakukan pada bidang tertentu (Dewi, 2013).
Kriteria sebagai saksi ahli dalam hukum pidana itu ditentukan expert withness
one who by reasons of education or specialized experience possesses superior
knowledge respecting a subject about which persons having no particular training
are incapable of forming an accurate opinion or deducing correct conciissions.
Seseorang karena pendidikannya atau pengalamannya khusus memiliki pengetahuan
yang tinggi tentang suatu pokok masalah, sehingga dapat membentuk pendapat yang
tepat atau mengambil kesimpulan yang benar. Di samping itu, California Evidence
Code menentukan seorang ahli sebagai a person is qualified to testify as an expert if
he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to
qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates. Seseorang
dapat memberi keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian,
pengalaman, latihan atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat
sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya. Dengan

46

demikian, penjelasan syarat kriteria seseorang dapat ditentukan sebagai saksi ahli
dalam KUHAP perlu dilengkapi (Dewi, 2013).
Pelaksanaan terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia dimulai dari
suatu tahap yang disebut tahap penyelidikan. Lalu tahap polisi mencari dan
menemukan apakah suatu peristiwa terkait dengan suatu delik pidana, sehingga polisi
akan menentukan dapat atau tidaknya dilakukan suatu penyidikan. Pada tahap
penyelidikan, polisi menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti. Bila dianggap perlu, atas
perintah penyidik, penyelidik dapat pula melakukan tindakan berupa penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan dan
penyitaan surat. Bila polisi menemukan bahwa suatu peristiwa terkait dengan suatu
delik pidana, maka penyelidikan akan diteruskan dengan tahapan penyidikan. Pada
tahap penyidikan, polisi penyidik atau penyidik pembantu akan mencari serta
mengumpulkan bukti, menemukan tersangka, atau orang-orang yang terlibat di
dalamnya, dan bila bukti dan berkas-berkasnya telah lengkap, polisi akan
menyerahkannya pada kejaksaan. Pada tahap penyidikan polisi dapat meminta
bantuan dokter sesuai dengan surat permintaan visum et repertum, maka hasil
pemeriksaan adalah alat bukti, bukan rahasia kedokteran. Keadaan pemeriksaan
dilakukan tanpa surat permintaan visum et repertum, maka hasil pemeriksaan adalah
rahasia kedokteran yang harus dicatat dengan teliti dan dicantumkan dalam rekam
medis. Bila polisi menganggap perlu dan mengeluarkan surat permintaan visum et
repertum, maka korban akan diperiksa kembali berdasarkan keadaan saat surat
permintaan visum et repertum diterbitkan (Dewi, 2013).
Keterangan atas keadaan medis pada saat kejadian telah dicatat dalam rekam
medis dapat dijadikan alat bukti dengan merangkumnya dalam surat keterangan
dokter atau surat keterangan ahli. Polisi pada tahap ini juga dapat mendatangkan
seorang ahli termasuk dokter yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara untuk memberikan keterangan pada polisi yang hasilnya
dituangkan melalui berita acara pemeriksaan. Tahap pertama penyidik hanya
menyerahkan berkas perkara, dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik

47

akan menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum. Pada tahap pemeriksaan di pengadilan, baik jaksa penuntut umum maupun
penasehat hukum tersangka dapat menghadirkan saksi atau ahli dengan izin hakim.
Selanjutnya peranan dokter dalam membantu menemukan kebenaran materiil untuk
penegakan hukum pidana terdapat dalam Pasal 133 dan 179 KUHAP.
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan atau pun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran dan kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya; Permintaan keterangan
ahli dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat; Mayat
yang dikirim pada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dan dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat (Dewi, 2013).
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Semua ketentuan untuk saksi berlaku juga bagi yang akan memberikan keterangan
ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji dan akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya (Dewi, 2013).
Kewajiban dokter untuk memberikan kesaksian diatur dalam Pasal 224 KUHP
apabila setiap orang secara sah dipanggil sebagai saksi, ahli atau sebagai juru bahasa,
dan dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang,
maka diancam dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan; dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan (Dewi,
2013).
4.2.3

Wajib simpan Rahasia Kedokteran versus Kewajiban Hukum sebagai


Saksi Ahli

48

Dalam uraian sebelumnya kita pahami bahwa dokter diwajibkan untuk


menyimpan rahasia tentang diri pasien yang diperiksanya, bahkan setelah sang pasien
tersebut meninggal dunia. Hal itu sesuai dengan sumpah yang diucapkannya dan
diatur juga dalam KODEKI. Perundang-undangan juga memberikan ancaman sanksi
pidana, sanksi perdata maupun sanksi administratif bagi dokter yang melakukan
pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran. Disisi lain juga terdapat peraturan
yang mewajibkan seorang dokter memberikan bantuan pada pengadilan yaitu sebagai
saksi ahli yang juga disertai sanksi pidana jika dokter tidak memenuhi kewajiban
tersebut. Pasal 224 KUHP mewajibkan untuk memberikan kesaksian, sementara Pasal
322 KUHP justru mengharuskan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia tentang
hal-hal yang dilihat dan diketahui terkait jabatan dan pekerjaannya (Dewi, 2013).
Seseorang atau siapapun yang diminta keterangannya sebagai ahli,
memberikan keterangan yang tidak bersifat faktual melainkan berdasarkan
keahliannya pada bidang-bidang tertentu. Keterangan diberikan berdasarkan
keilmuan yang dimilikinya. Hal ini berbeda dengan bila diminta keterangan sebagai
saksi, yang mana keterangan diberikan berdasarkan fakta yang dilihat, didengar dan
dialaminya. Jadi tidak mungkin seorang dokter yang diminta keterangannya sebagai
ahli akan memberikan penjelasan yang bersifat faktual seperti penyakit atau keadaan
seseorang. Mengenai penyakit atau keadaan seseorang yang sakit merupakan suatu
hal yang bersifat faktual yang harus dirahasiakan dokter. Sedangkan keterangan
sebagai ahli yang diberikan dokter bukanlah rahasia, karena substansinya ialah
menyangkut ilmu pengetahuan, yang bukan obyek yang harus dirahasiakan (Yunanto
& Helmi, 2010).
Berbeda dengan apabila dokter tersebut diminta keterangannya sebagai saksi.
Dalam hal ini akan terjadi dilema bagi dokter tersebut, antara keharusan menyimpan
suatu rahasia kedokteran dan keharusan memberikan keterangan sebagai saksi.
Kewajiban memberikan kesaksian ini merupakan kewajiban hukum setiap orang,
bahkan pelanggaran terhadap kewajiban ini dikriminalisasi berdasarkan Pasal 224
KUHP. Dalam kasus demikian dokter juga dapat memilih untuk melaksanakan
kewajiban menyimpan rahasia kedokteran, yang berarti ia tidak bersedia memberi

49

keterangan sebagai saksi. Atas pilihan itu seorang dokter tidak dapat dipidana, karena
hukum pidana materiil telah disediakan alasan pembenar (rechtwaardigingsgronden)
yang di dalam hal ini adalah noodtoestand atau keadaan darurat (terpaksa). Pada
kasus tersebut dokter dihadapkan pada konflik antara dua kewajiban, yaitu kewajiban
menyimpan rahasia kedokteran dan kewajiban untuk memberi keterangan sebagai
ahli, yang mana ia harus memilih untuk melaksanakan satu kewajiban, yaitu memberi
keterangan sebagai saksi (Yunanto & Helmi, 2010).
Dalam perspektif hukum pidana formal (hukum acara pidana), telah
disediakan pula hak untuk undur diri atau verschoningrecht sebagai saksi atau ahli
sebagaimana terdapat dalam Pasal 170 KUHAP: Mereka yang karena pekerjaannya,
harkat martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta
dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada
mereka; Hakim menentukan sah tidaknya segala alasan permintaan tersebut (Dewi,
2013).
Atas dasar hak undur diri sebagai saksi atau ahli tersebut, maka seorang
dokter tetap dapat menyimpan rahasia kedokteran, namun hak tersebut tidaklah
bersifat mutlak, karena permintaan mundur sebagai saksi atau ahli tergantung pada
penilaian hakim. Artinya, apabila hakim memandang kesaksian atau keterangan ahli
dari dokter tersebut sangat penting (menentukan) dalam memutus perkara itu, maka
hakim dapat menolak permintaan mundur sebagai saksi atau ahli (Yunanto & Helmi,
2010).
Menurut Pasal 168 KUHAP hak undur diri adalah untuk memberi keterangan
saksi pada pemeriksaan di sidang pengadilan dapat digunakan setiap orang saat
pemeriksaan di pengadilan, apabila: Saksi adalah keluarga sedarah atau semenda
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang
sama-sama sebagai terdakwa; Saudara dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai
terdakwa, saudara ibu dan/atau saudara dari bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai dan/atau yang sama-sama sebagai
terdakwa.

50

Harus diingat bahwa hak undur diri atau oleh beberapa ahli disebut hak tolak
ungkap digunakan bila seorang dokter atau tenaga kesehatan memberikan keterangan
saksi pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Permintaan memberikan
keterangan ahli atau permintaan keterangan dalam pemeriksaan pada tahap sebelum
pemeriksaan sidang di pengadilan, tidak dapat diabaikan dengan mengasumsikan
dokter atau tenaga kesehatan memiliki hak undur diri. Sampai saat ini ada 4 (empat)
jabatan yang diwajibkan menyimpan rahasia, yaitu pemuka agama atau rohaniwan,
dokter, advokat, dan notaris. Dokter dipandang sebagai pemegang rahasia yang utama
dan tidak perlu lagi dipersoalkan (Dewi, 2013).
Mengakhiri pembahasan tentang wajib simpan rahasia kedokteran versus
kewajiban hukum sebagai saksi ahli ini maka penulis akan melengkapi dengan satu
ilustrasi kasus sebagaimana di bawah ini (Dewi, 2013).

4.2.4

Sanksi Akibat Tidak Dibuatnya Rekam Medik


Rekam medis terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) Undang Undang Praktik

Kedokteran. Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan yang telah
diberikan kepada pasien (Syahrizal & Nilasari, 2013).
Rekam medis dibuat dengan berbagai manfaat seperti: pengobatan pasien,
peningkatan kualitas pelayanan, pendidikan dan penelitian, pembiyaan, statistik
kesehatan serta pembuktian masalah hokum, disiplin dan etik. Isi dari rekam medic
ini berupa catatan dan dokumen berupa identitas pasien, pemeriksaan pasien,
diagnosis, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain baik dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi maupun tenaga kesehatan lainnya. Sehingga rekam medic ini selain dapat
diisi/dibuat oleh dokter dan dokter gigi, dapat juga dibuat oleh tenaga kesehatan lain
yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien atas perintah secara tertulis dari
dokter dan dokter gigi (Syahrizal & Nilasari, 2013).
Dengan melihat pentingnya isi dan manfaat dari rekam medic, pembuatan
rekam medic adalah salah satu hak pasien karena termasuk dalam kepentingan

51

perawatan dari pasien tersebut. Berdasarkan Undang Undan praktik kedokteran


Pasal 79 bahwa setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat
rekam medic akan mendapatkan sanksi hukum. Sanksi tersebut berupa pidana
kurungan maksimal 1 tahun atau membayar denda maksimal Rp. 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah). Selain mendapatkan sanksi hukum yang telah ditetapkan tersebut,
pihak dokter atau dokter gigi yang sengaja tidak membuat rekam medic juga akan
mendapatkan sanksi disiplin dan etik (Syahrizal & Nilasari, 2013).
4.2.5

Kasus Kasus Dalam Bidang Hak Atas Rahasia Kedokteran

Kasus 1: Seorang dokter mempunyai pasien penderita HIV/AIDS. Pasien tersebut


meminta dengan sangat agar dokter merahasiakan hal itu jangan sampai orang lain
mengetahuinya, keluarganya sekalipun. Jelas sekali bahwa dalam kasus ini dokter
berada pada posisi yang sulit dan dilematis. Penyakit HIV/AIDS berbahaya dan dapat
menular sementara pasien tidak setuju jika rahasia tersebut dibuka.
Analisa Kasus 1:
Saat ini di negara kita peraturan hukum tentang HIV/AIDS belum dibuat
dalam suatu perundang-undangan yang khusus. Ketentuan yang ada hanya
berpedoman pada Instruksi Menteri Kesehatan RI Nomor 72/Menkes/Instll/1988
tentang Kewajiban Melaporkan Penderita dengan Gejala-gejala AIDS. Ketentuan
tersebut hanya ditujukan kepada petugas kesehatan dan juga sarana pelayanan
kesehatan saja. Adapun tindakan yang diambil hanyalah pelaporan kepada Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
dengan memperhatikan kerahasiaan pribadi; dan Surat Keputusan Menko Kesra
Nomor 9 Tahun 1994 tentang Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS.
Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV/AIDS diharuskan didahului
dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan.
Sebelum dan sesudahnya harus diberikan konseling yang memadai dan hasil
pemeriksaan wajib untuk dirahasiakan. Menyikapi kasus-kasus sebagaimana
digambarkan di atas itu, maka pilihan mana yang harus diambil. Apakah kita harus

52

mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) dari si penderita HIV/AIDS tersebut


yaitu dengan mengorbankan kesehatan masyarakat yang seharusnya juga dilindungi,
dan bagaimana dengan istri atau suami dan anak-anak penderita jika mereka tertular.
Dalam hal ini memang terdapat benturan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan masyarakat. Tentunya yang harus dijadikan pertimbangan adalah
kepentingan mana yang lebih utama. Selain itu juga harus dipahami bahwa HAM
tidaklah bersifat absolut karena dalam kehidupan bermasyarakat hak asasi seseorang
juga merupakan hak asasi orang lain di dalam masyarakat tersebut. Jalan terbaik
adalah dokter secara persuasif berupaya agar pasien bersedia untuk dibuka rahasia
tentang penyakitnya dengan memberikan penjelasan bahwa hal tersebut demi
kepentingan umum sehingga pasien tersebut harus mengalah. Jika pasien tersebut
tetap bertahan bahwa rahasia akan penyakitnya tidak boleh disebarluaskan, maka hal
itu bisa berdampak meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS. Hal yang pasti tidak
kita harapkan.
Kasus 2:
TEMPO Interaktif, Purwokerto: Direktur Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD)Purwokerto, Margono Soekarjo Hartanto, dipanggil Markas Kepolisian Resor
(Polres) Banyumas, Selasa (5/4) sehubungan dengan somasi dugaan malpraktik.
Gara-gara salah seorang pasien RS tersebut meninggal dunia. Margono juga dituduh
telah melanggar aturan karena mempublikasikan data rekam medis pasien yang
seharusnya menjadi rahasia.
Permintaan keterangan itu berlangsung satu jam lebih di salah satu ruang di
Mapolres Banyumas. Margono mendapat 16 pertanyaan yang diajukan Inspektur Satu
(Iptu) Sudiro. Dalam pemeriksaan itu Margono didampingi seorang dosen Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Polisi sempat menolak kehadiran dosen itu
dengan alasan tak punya izin praktek pengacara. Padahal, untuk mendampingi
seorang tersangka tak perlu izin praktek pengacara, kecuali di pengadilan.

53

AKP Sudiro menyatakan, pertanyaan yang dia ajukan lebih berfokus pada
tindakan Margonoo selaku Direktur RSUD Margono yang membeberkan rekam
medis pasien bernama Warsinah, warga Kelurahan Sumampir, Kecamatan
Purwokerto Utara. Warsinah adalah pasien yang meninggal setelah tiga hari dirawat
di RSUD Margono akibat diabetes yang dideritanya. Namun dalam perawatan itu
Darno, suami Warsinah melayangkan somasi kepada RSUD Margono melalui kuasa
hukumnya yakni Dwi Prasetyo Sasongko SH dan Joko Susanto SH, keduanya dari
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan dan Perumahsakitan.
Somasi yang dikirimkan kepada 19 instansi itu berisi dugaan malpraktik yang
dilakukan RSUD Margono yang mengakibatkan kematian Warsinah. Saat dirawat di
RS Margono 13-16 Februari 2004 lalu Warsinah meninggal akibat karena kadar gula
yang terlalu tinggi. Hal itu diduga karena dipicu pemberian infus berisi cairan
mengandung gula sehingga memicu kenaikan kadar gula dalam tubuh Warsinah.
Selain somasi, LBH Kesehatan dan Perumahsakitan juga meminta RSUS
Margono memberikan catatan rekam medis mengenai Warsinah. RS Margono lantas
mengirimkan permintaan LBH yakni mengirimkan hasil rekam medis. Surat
penjelasan rekam medis itu tidak hanya diberikan pada pengacara melainkan juga ke18 instansi yang lain, salah satunya ke kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Cabang Banyumas. Beberapa hari kemudian muncul pemberitaan di harian Suara
Merdeka Kamis, 31 Maret 2005.
Dalam pemberitaan itu disebutkan, Warsinah menderita febris berdasar gejala
yang dialami sewaktu masuk Instalasi Gawat Darurat yakni panas enam hari, mual,
muntah dan lemas. Infus yang diberikan saat itu berupa cairan gula. Cairan infus
lantas diganti dengan jenis RL dan Warsinah diberi Actrapid begitu hasil analisa
dokter menunjukkan Warsinah mengidap diabetes. Beberapa saat kemudian Warsinah
mengalami koma dan meninggal dunia. Rekam medis itulah yang dibeberkan dalam
surat yang tembusan pada 19 instansi tersebut.

54

Iptu Sudiro menyatakan, setelah Margono, polisi juga akan memanggil dr I


Gede Arinton, yang langsung menangani Warsinah dan wartawan harian yang
memuat hasil rekam medis. "Untuk sementara masih kami panggil mereka sebagai
saksi. Kelanjutan status akan ditentukan hasil pemeriksaan nanti. Kami masih fokus
pada pembeberan rahasia rekam medis kepada publik," katanya.

Analisa Kasus 2
Dokter yang terbukti membuka rahasia kedokteran atas penyakit pasien dapat
dikenakan sanksi yaitu berupa sanksi disipliner. Tujuan hukuman disiplin yang
dijatuhkan terhadap tenaga kesehatan yang didalamnya mencakup dokter yang telah
melakukan kesalahan adalah untuk memperbaiki dan mendidik tenaga kesehatan
yang bersangkutan.
Di Indonesia terdapat dua badan yang mengemban tugas yaitu untuk
mengawasi etika kedokteran, yaitu MKEK dan Panitia Pertimbangan dan Pembinaan
Etik Kedokteran (yang selanjutnya disebut P3EK). Jika seorang dokter diduga telah
melakukan pelanggaran etika murni tanpa pelanggaran hukum maka dia akan
dipanggil oleh MKEK Ikatan Dokter Indonesia (yang selanjutnya disebut IDI) dan
disidang untuk dimintai pertanggungjawaban etik maupun disiplin profesinya.
Terkait dengan sanksi pidana, pada pembahasan sebelumnya sudah diulas
bahwa hal itu diatur dalam Pasal 322 KUHP. Berdasarkan Pasal 322 KUHP yang
berbunyi Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.
Kewajiban menyimpan rahasia pasien diatur di dalam UU Pradok yang
diberlakukan sejak tanggal 6 Oktober 2005. Dengan adanya ketentuan di dalam UU
Pradok sebagai lex specialis, maka Pasal 322 KUHP ini tidak berlaku lagi bagi dokter
55

dan dokter gigi, tetapi tetap diberlakukan bagi tenaga kesehatan di luar dokter dan
dokter gigi.

Kasus 3: Pemberian Tindakan Tanpa disertai Pembuatan Rekam Medik


Seorang dokter spesialis kandungan harus mendapatkan sanksi dari MKDKI
karena pelanggaran disiplin dokter. Pasien yang berobat pada dokter tersebut
ditangani dengan dilakukan operasi. Namun sang dokter tidak membuat rekam medis
bagi pasiennya itu. Padahal pembuatan rekam medic adalah kewajiban seorang dokter
dalam melakukan praktik kedokteran. Karena pelanggaran disiplin dokter tersebut,
MKDKI akhirnya memutuskan untuk meberikan sanksi. (Syahrizal & Nilasari, 2013).
Analisis Kasus 3:
Seperti yang telah diatur dalam Undang Undang Pasal 79 yang mewajibkan pembuatan
rekam medis oleh petugas kesehatan. Hal ini dilakukan mengingat isi dari rekam medic yang
penting untuk kepentingan perawatan. Pelanggaran akan pasal tersebut dapat dipidana
dengan sanksi hukum dan etika

4.3 Hak Atas Informed Consent dan Hak untuk Menolak Pengobatan
Sebelum melakukan tindakan biasanya seorang dokter akan meminta
persetujuan dan memberikan penjelasan untuk melakukan tindakan medis. Dalam hal
ini dibutuhkan suatu persetujuan yang disebut informed consent. Informed consent
terdiri dari dua kata, informed yang berarti telah diberitahukan, telah disampaikan
atau telah diinformasikan dan consent yang berarti persetujuan yang diberikan kepada
seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, informed consent adalah
persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan mengenai
tindakan dan resikonya. (Amir & Hanafiah, 2008)
Informed Consent menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun
1989 merupakan persetujuan yang diberikan kepada pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. (Purwandoko, 1999)
56

Informed consent merupakan kesepakatan / persetujuan pasien atas upaya


medis yang dilakukan terhadap dirinya setelah memperoleh informasi mengenai
upaya medis yang akan dilakukan beserta segala risiko yang mungkin terjadi. (Amir
& Hanafiah, 2008)
Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara
dokter dan pasien tentang suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien
mengenai kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien
sehingga baik secara lisan ataupun tulisan. Penandatanganan formulir Informed
Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati
sebelumnya. Keputusan yang diberikan kepada keluarga pasien merupakan second
opinion yang berhak meminta pendapat dokter lain, sehingga penolakan apabila tidak
setuju dapat dilakukan. (Anantarum, 2016)
Adanya pengaturan mengenai Informed Consent yang terdapat dalam :
a

Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada
Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:

Pasal 45 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.

Pasal 45 ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

Pasal 45 ayat (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya mencakup:

Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

Alternatif tindakan lain dan risikonya;

Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Pasal 45 ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat
diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
57

Pasal 45 ayat (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Pasal 45 ayat (6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan


kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.kes/Per/IX/1989 tentang


Persetujuan Tindakan Medis. ( Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989,
yang berbunyi semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan.)

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang


penyelenggaraan Praktik Kedokteran. ( Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: Dokter
atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran didasarkan pada
kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya
pemeliharaan

kesehatan,

pencegahan

penyakit,

peningkatan

kesehatan,

pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.)


d

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/2008 Tentang Persetujuan Tindakan


Medik. ( Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan dokter yang akan dilakukan pada
pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilaksanakan tertulis maupun lisan. (3) Persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan yang
diperlukan tentang perlunya tindakan dokter yang dilakukan).

UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan pasal 53 yaitu :


a

Tenaga kesehatan mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan


hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya

Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya mempunyai hak untuk


mempunyai hak untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak
pasien

Tenaga kesehatan, dalam hal kepentingan pembuktian dapat melakukan


tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan
58

keselamatan pasien yang bersangkutan.

Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik


Kedokteran tersebut terutama pada Pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa
pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend consent)
diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
Menurut Amril Amri,ada dua bentuk informed consent yang lazim di dunia
kedokteran,yaitu:
a. Implied Consent (dianggap diberikan) Umumnya implied consent diberikan
dalam keadaan normal,artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan
medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien.Demikian pula pada
kasus emergency (gawat darurat) sedangkan dokter memerlukan tindakan segera
sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan
keluarganya tidak ada ditempat,maka dokter melakukan tindakan medik terbaik
menurut dokter. (persetujuan tindakan medis versi Kode Etik Profesi Dokter
menggunakan pemahaman ini)
b. Expressed Consent (dinyatakan). Dalam hal ini, inform consent dapat dinyatakan
secara lisan maupun tertulis.(no5) Dalam tindakan medis yang mengandung
resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis atau secara
umum dikenal di rumah sakit sebagai surat ijin operasi. (Anantarum, 2016)
Persetujuan

tindakan

medis

dalam

Permenkes

Nomor

1419/Menkes/Per/X/2005 belum menjelaskan aturan yang rinci tentang Persetujuan


Tindakan Medis. Secara tersirat, persetujuan disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) yang
berbunyi: Dokter atau Dokter Gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam
upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan
pengobatan penyakit dan pemulihan. Sedangkan tentang Persetujuan Tindakan
Medik atau informed consent disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 17 sebagai
berikut: (1) Dokter atau Dokter Gigi dalam memberikan pelayanan tindakan

59

kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelesan kepada
pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.(2) Tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dapat persetujuan pasien.(3) Pemberian
penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai ketentuan perundang-undangan. (Republik Indonesia, Perpustakaan Depkes,
2016)
Setiap tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Selain itu, dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan
tindakan medis. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
hal ini dimuat dalam pasal 53 menyebutkan beberapa hak pasien, yakni hak atas
Informasi, hak atas second opinion, hak atas kerahasiaan, hak atas persetujuan
tindakan medis, hak atas masalah spiritual, dan hak atas ganti rugi.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
pada pasal 4-8 disebutkan setiap orang berhak atas kesehatan, akses atas sumber
daya, pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau; menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan, lingkungan yang sehat, info dan edukasi
kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab, dan informasi tentang data
kesehatan dirinya.
Selanjutnya secara khusus mengenai Informed Consent, ditegaskan dalam
Pasal 56 ayat 1, yaitu : Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. (Maliangga, 2013)
Perkembangan informed consent di Indonesia tidak lepas dari perkembangan
masalah serupa di Negara lain. Declaration of Lisbon (1981) dan Patient Bill of Right
(American Hospital Association, 1972) pada intinya menyatakan bahwa pasien
mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak menerima informasi
dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medis. Hal ini
berkaitan dengan hak menetukan diri sendiri (the right to self determination) sebagai
dasar hak asasi manusia dan hak pasien untuk mendapatkan informasi yang jelas

60

tentang penyakitnya dan tidakan maupun alternatif tindakan yang akan dilakukan
kepadanya, dari sudut pandang inilah informed consent sebetulnya dapat dilihat
sebagai penghormatan kalangan tenaga kesehatan terhadap hak otonomi pasien.
Lebih jauh hal ini dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penipuan atau
paksaan atau dari pandangan lain dapat pula dikatan bahwa informed consent
merupakan pembatasan otorisasi dokter terhadap kepentingan pasien Setiap pasien
yang dirawat di rumah sakit mempunyai hak utama untuk menentukan apa yang
harus dilakukan terhadap tubuhnya. Pasal 56 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa : setiap orang berhak menerima
atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap. (Realita, 2016)
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen di berbagai bidang,
termasuk bidang kesehatan, yaitu:
1. Hak untuk mendapat keamanan (the righ to safety)
2. Hak untuk mendapat informasi ( the righ to be informed)
3. Hak untuk memilih ( the righ to choose)
4. Hak untuk di dengar (the righ to heard)
Empat hak dasar ini diakui secara internasional dalam perkembangannya,
empak hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tersebut diakomondasikan
dalam Undang-Undang Negara-negara di dunia, salah satunya adalah Indonesia yaitu
dalam Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 4.
Ada delapan hal yang secara ekspelisit dituangkan dalam Undang-Undang tersebut
yaitu:
1. Hak atas keamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang- barang dan/ atau jasa
2. Hak untuk memilih barang/atau jasa serta mendapat barang dan/ atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar jelas dan jujur mengenai kondisi dan

61

jaminan barang dan atau jasa.


4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakannya
5. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secvara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak untuk mendapat dispensasi ganti rugi dan/atau penggantian jika
barang dan /atau jasa yang diterimah tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak hak yang di atur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
yang lain.
Hak-hak konsumen di atas berlaku untuk semua bidang hukum konsumen
yaitu segala sector jual beli barang dan/ atau jasa termasuk di dalamnya adalah
bidang kesehatan dan kedokteran yang mana sering di sebut dengan hak-hak pasien
sebagai konsumen kesehatan. Dahulu hubungan antara dokter dengan pasiennya
bersifat paternalistik, dimana pasien selalu mengikuti apa yang dikatakan dan
dianjurkan dokternya tanpa bertanya apapun.
Sekarang dokter adalah partner pasien dan kedudukan keduanya sama
dihadapan hukum. Pasien mempunyai hak-hak sendiri, demikian pula dokternya.
Adapun hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan secara sistematis (mulai yang
diasumsikan paling mendasar), adalah sebagai berikut :
1. Hak atas Kenyamanan, Keamanan dalam Perawatan dan Pengobatan
2. Hak atas Persetujuan dan Informasi (informed consent)
3. Hak untuk memilih dokter/sarana prasarana kesehatan
4. Hak atas Rahasia Kedokteran
5. Hak untuk menolak Pengobatan atau Perawatan
6. Hak untuk menolak suatu tindakan medius tertentu
7. Hak untuk menghentikan pengobatan atau perawatan

62

8. Hak atas Pilihan Pendapat Kedua (second opinion)


9. Hak atas Rekam Medis (medical record)
10. Hak untuk Menerima Ganti Rugi
11. Hak atas Advokasi dan Bantuan Yuridis. (Takdir, 2012)
Setelah pasien mendapatkan informed consent, pasien memiliki hak untuk
memilih apakah akan menerima atau menolak tindakan yang akan diberikan oleh
dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Adapun yang memiliki hak menolak ataupun
menerima tindakan kedokteran tersebut terdapat dalam pasal 8-10 Peraturan Menteri
Kesehatan 585/Men.Kes/Per/IX/1989 sebagai berikut:
a

Pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar


dan sehat mental, telah berumur 21(dua puluh

satu) tahun atau menikah.


Wali/curator, bagi pasien dewasa yang berada di

bawah pengampuan (curatele).


Orang tua/ wali/curator, bagi pasien dewasa yang

menalami gangguan mental.


Keluarga terdekat atau induk semang (guardian),
bagi pasien di bawah 21 (dua puluh satu) tahun
dan tidak mempunyai orang tua/wali dan atau

orang tua/ wali berhalangan. (Purwandoko, 1999)


Tidak semua pasien atau keluarga setuju dengan tindakan medik yang akan
dilakukan dokter. Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya harap
memahami bahwa setiap pasien atau keluarga memiliki hak untuk menolak tindakan
medis. Hal ini dinamakan informed refusal.
Tidak ada dokter yang dapat memaksa pasien untuk mengikuti anjurannya,
meskipun penolakan tersebut dapat mengakibatkan kecacatan atau kematian pada
pasien.
Bila pasien atau keluarga menolak, maka diharapkan untuk menandatangani
surat persetujuan untuk menolak tindakan medis yang diberikan untuk menghindari
hal yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, tindakan penolakan dianggap sebagai
pemutusan perjanjian terapeutik. Oleh karenanya, dokter tidak bertanggung jawab
apabila terjadi permasalahan di kemudian hari yang disebabkan oleh penolakan

63

tindakan medis itu. (Amir & Hanafiah, 2008)

4.3.1

Kasus Kasus dibidang Hak Mendapatkan Informed consent dan


Penolakan Pengobatan

Kasus 1:
Pada pagi hari Ibu JF mendatangi puskesmas karena merasa akan melahirkan
anaknya. Oleh dokter di puskesmas, ibu JF di rujuk ke RS karena sang ibu memiliki
riwayat melahirkan anak pertama dengan teknik vakum. Setelah setelah diterima di
IRD, dilakukan pemeriksaan dan ditemukan terjadi pembukaan hingga 6 cm dan
dibawa ke ruang bersalin. Namun sesampainya di ruang bersalin, tidak dilakukan
tindakan apapun. Setelah beberapa jam berlalu, ibu JF direncanakan dioperasi karena
terjadi masalah pada kehamilannya. Operasi dilakukan tanpa memberikan penjelasan
akan kondisi si ibu, indikasi tindakan dan efek atau komplikasi dari tindakan tersebut.
Setelah dioperasi, anak si ibu lahir tanpa kelainan, namun si ibu meninggal dunia.
Oleh karena itu, keluarga ibu mengajukan gugatan ke pengadilan. (Wahyu, 2016)
Kasus 2:
Seorang dokter spesialis kandungan harus mendapatkan sanksi dari MKDKI
karena pelanggaran disiplin dokter. Pasien yang berobat pada dokter tersebut
ditangani dengan dilakukan operasi anestesi. Dokter tidak memberikan penjelasan
dengan jelas tentang Jenis operasi, indikasi operasi dan efek serta komlikasi dari
dilakukannya operasi tersebut. Dokter tersebut juga sebenarnya juga tidak memiliki
kompetensi

dan

kewenangan

dalam

melakukan

operasi

anestesi.

Karena

perbuatannya, MKDKI akhirnya memutuskan untuk memberikan sanksi berupa


rekomendasi pecabutan surat tanda registrasi yang bersifat sementara selama satu
tahun (Syahrizal & Nilasari, 2013).

64

Analisa Kasus 1 dan 2:


Pada kasus pertama dan kedua ini kurangnya informasi yang disampaikan
kepada keluarga pasien mengenai kondisi pasien, indikasi tindakan yang akan
diambil, serta kemungkinan komplikasi dan hasil dari tindakan tersebut dan
kemungkinan penggunaan bahasa medis yang kurang dimengerti oleh orang awam
menyebabkan terjadinya masalah dan menyebabkan munculnya pemikiran seperti
kemungkinan terjadinya malpraktik pada pasien, meskipun semua tindakan telah
dilakukan semaksimal dan sebaik mungkin. Hal ini bertentangan dengan UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal
45 ayat (1) sampai (6) yang menjelaskan bahwa setiap tindakan kedokteran harus
mendapat penjelasan dan setidaknya terdapat:

a Diagnosis dan tata cara tindakan medis;


b Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c Alternatif tindakan lain dan risikonya;
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Selain itu dibutuhkan juga pernyataan tertulis mengenai tindakan yang

memiliki resiko tinggi, dan ditandatangani oleh pihak yang memiliki kewenangan
dalam memberikan persetujuan.
4.4

Hak Memilih Dokter dan Hak Atas Second Opinion


Hak atas pemeliharaan dan perawatan medis merupakan hak individu. Hak

pasien tersebut bertolak dari hubungan asasi antara dokter dan pasien. Hak atas
perawatan pemeliharaan medis tersebut, pada prinsipnya bertumpu pada dua dasar
asasi, yaitu : pertama hak atas perawatan pemeliharaan kesehatan (the right to health
care) dan kedua, hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to selftdeterminanation) (Prasetyo,1996).
Hak-hak pasien dalam menerima pelayanan medis telah diatur dalam undangundang negara republik Indonesia. Menurut Undang-Undang No. 29 tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran pasal (52), hak-hak pasien meliputi :
(1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan
dilakukan .
65

Sebelum tindakan atau upaya medis dilakukan terhadap pasien, pasien berhak
mendapatkan penjelasan mengenai kondisi yang dialaminya, termasuk
didalamnya lamanya waktu tindakan medis yang dilakukan sertadampak
tindakan medis tersebut (Mulyo,2006).
Adapun hal-hal yang perlu diinformasikan kepada pasien adalah :
a. Alasan perlu dilakukan tindakan medis terhadap pasien tersebut
b. Lamanya proses upaya medis tersebut
c. Risiko dari tindakan yang diambil
d. Dampak susulan pasca tindakan medis dan keuntungan terapi medis
yang akan dilakukan
e. Ada atau tidaknya tindakan medis alternative
f. Kerugian jika menolak tindakan medis tersebut.
Informasi tersebut dapat disampaikan secara

lisan dengan

memperhatikan tingkat pendidikan pihak pasien (Mulyo,2006).


(2) Meminta dokter pendapat dokter lain
Pasien berhak meminta pendapat dokter lain sebagai perbandingan untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang maksmal sesuai yang diharapkan pasien
dan tindakan medis yang seharusnya pasien dapatkan untuk terapi penyakit
yang dialami (Mulyo,2006).
(3) Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
Pasien berhak mendapatkan pelayanan medis dari dokter sesusai dengan
kebutuhan pasien itu sendiri mulai dari saat menjalani perawatan di rumah
sakit hingga pelayanan pasca tindakan medis dilakukan (Mulyo,2006).
(4) Mendapatakan isi rekam medis
Rekam medis adalah sarana yang mengandng informasi tentang penyakit dan
pengobatan pasien yang ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan mutu
pelayanan keehatan (Mulyo,2006).
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,
pada Pasal 53, hak pasien yaitu hak atas informasi, hak atas second opinion, hak atas
kerahasiaan, hak atas masalah ganti rugi, hak atas masalah spiritual dan hak atas ganti
rugi. (Republik Indonesia, 1992)
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
pada Pasal 4 disebutkan terkait hak asasi manusia antara lain sebagai berikut
(Republik Indonesia, 2009):

66

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses sumber
daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Dalam KODEKI terdapat pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap
pasien yang merupakan pula hak-hak pasien yang perlu diperhatikan. Pada dasarnya
hak-hak pasien adalah sebagai berikut (Hanafiah & Amir, 2008):
(1) Hak untuk hidup, hak atas tubuuhnya sendiri dan hak untuk mati secara
wajar
(2) Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar
profesi kedokteran
(3) Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang
mengobatinya
(4) Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat
menarik diri dari kontrak terapetik.
(5) Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya.
(6) Menolak atau menerima keikutsertaan dalam riset kedokteran
(7) Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan, dan dikembalikan kepada
dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk
memperoleh perawatan atau tindak lanjut.
(8) kerahasiaan rekam medicnya atas hal pribadi.
(9) Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit
(10)
Berhubungan dengan keluarga, penasehat atau rohaniawan dan lainlain yang diperlukan selama perawatn di rumah sakit
(11)
Memperoleh penjelasan tentang perincian

biaya

rawat

inap,

pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.


Hak memperoleh informasi atau penjelasan merupakan hak asasi pasien
yangpaling utama bahkan dalam tindakan-tindakan khusus diperlukan persetujuan
dari pasien dan atau keluarga pasien. Dalam memberikan informasi kepada pasien,
ada beberapa hal yang perlu untuk kita pahami yakni (Hanafiah & Amir, 2008) :
(1) Informasi yang diberikan haruslah dengan bahasa yang dimengerti pasien

67

(2) Pasien harus dapat memeproleh informasi tentang penyakitnya, tindakantindakan yang akan diambil, kemungkinan komplikasi dan risiko-risikonya
(3) Untuk anak-anak dan pasien jiwa, informasi diberikan kepada orang tua /
walinya.
Menurut Fred Ameln, Hak pasien dalam medis meliputi (Yuliati, 2005) :
(1) Menerima pengobatan dan perawatan
(2) Menghentikan pengobatan dan perawatan
(3) Menolak pengobatan dan perawatan
(4) Memilih dokter dan sarana pelayanan kesehatan
(5) Mendapat informasi tentang penyakitnya
(6) Atas rahasia kedokteran
(7) Hak bantuan medis
(8) Mendapat perawatan terbaik dan berlanjut
(9) Menerima pelayanan / perhatian atas suatu pengobatan
4.4.1

Kasus Kasus Pelanggaran Hak Hak Pasien

Kasus 1:
Ny. A berumur 35 tahun, isteri muda seorang pedagang, menderita
gangguan psikosomatis. Ia telah melakukan doctor shopping,
berobat dari satu dokter ke dokter lain, diantaranya 2 dokter
spesialis penyakit dalam (Sp.PD) dan 4 dokter spesialis Obstetri dan
Ginekolohi (Sp.OG). Keluhannya banyak namun yang utama adalah
rasa nyeri di perut bagian kiri bawah. Pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan ginekologik, laboratorium, pemeriksaan dengan USG
dan pap smear, pernah dilakukan oleh berbagai dokter itu. Seorang
dokter Sp.OG menganjurkan untuk pembedahan. Dokter-dokter
spesialis lain tidak memberikan penjelasan apapun kepadanya dan
hanya

memberikan

resep.

Obat-obat

yang

diberikan

banyak

jenisnya dan dibawa ke praktik kami. Setelah anamesis yang


memakan waktu panjang (ciri khas gangguan psikosomatik),
68

dilakukan pemeriksaan umum dan ginekoloik; ternyata tidak


dijumpai

kelainan.

Pasien

diberikan

penjelasan

seperlunya.

Kepadanya tidak diberi resep baru dan dirujuk ke SpPD, sub bagian
psikosomatik (Hanafiah & Amir, 2008).
Analisa Kasus 1:
Berdasarkan kasus diatas, menunjukkan tidak terpenuhinya hak
pasien terkait informasi yang semestinya didapatkan oleh pasien
terkait keadaaan penyakitnya maupun tentang obat-obat yang
diterimanya.

Akan

tetapi,mungkin

juga

ada

dokter

yang

memberikan penjelasan kepadanya, namun, mungkin juga ada


dokter yang memberikan penjelasan kepadanya, namun pasien
tidak berterus terang kepada dokterkpada dokter berikutny (takut
dokternya marah) sehingga banyak pemeriksaan diulang kembali
dan diberikan obat-obat bersamaan.
Kasus 2:
Sepasang suami-isteri infertile berobat pada SpOG karena belum
memiliki anak setelah menikah selama 3 tahun. Pada analisis
semen suami, dijumpai oligospermi dan lekospermi. Pasien dirujuk
kepada seorang dokter special kulit kelamin (Sp.KK). SSetelah
sebulan berobat pasangan suami-isteri tersebut datang kembali ke
SpOG dan menceritakan bahwa sang suami mendapatkan suntikan
obat mahal 3x seminggu (ternyata peawat yang menyuntikkan
menunjukkan ampul Amikin kepadanya tetapi tidak mengetahui
sakit apa. Ketika ditanyakan mengenai balasan konsul dari SpKK,
pasien menyatakan bahwa SpKK tersebut tidak mau memberinya,
bahkan berkata Kalau tidak mau terus berobat pada saya, kembali
saja ke SpOG. Dalam hal ini SpOG tidak dapat meneruskan

69

pemeriksaan dan pengobatan pada pihak isteri karena tidak ada


informasi

tentang

penyakit

suaminya

dari

SpKK

yang

telah

memeriksanya lebih lanjut (Hanafiah & Amir, 2008).


Analisa Kasus 2:
Dari kasus diatas menunjukkan bahwa SpKK tidak memperhatikan
hak pasien untuk memperoleh informasi terkait apa yang diderita
pasien. Selain itu, SpKK juga tidak memenuhi hak pasien untuk
mendapat second opinion, karena sebagai dokter yang dikonsulkan
semestinya memberikan balasan konsulan tersebut dan masalah
tersebut juga termasuk masalah etika antar sesama sejawat.
Kasus 3 :
dr. S sangat jengkel dengan pasien-pasien yang datang kepadanya yang sebelum atau
sesudahnya berkonsultasi dengan dokter lain untuk masalah yang sama. dr. S
menganggap ini merupakan pemborosan dan juga merugikan bagi kesehatan
pasiennya. dr. S memutuskan untuk berbicara kepada pasien-pasien tersebut bahwa
dia tidak akan merawat mereka jika mereka tetap menemui dokter lain untuk penyakit
yang sama.
Analisa Kasus 3:
Dari kasus diatas menunjukkan dokter tidak memperhatikan hak
asasi pasien, seperti telah dijelaskan diatas, bahwa hak atas perawatan
pemeliharaan medis, pada prinsipnya bertumpu pada dua dasar asasi, yaitu : pertama
hak atas perawatan pemeliharaan kesehatan (the right to health care) dan kedua, hak
untuk menentukan nasib sendiri (the right to selft-determinanation). Selain itu, dalam
undang-undang juga telah dijabarkan bahwa pasien memliki hak untuk memilih
dokter dan mendapatkan pendapat dari dokter lain atas apa yang dideritanya,
sehingga sebagai dokter semestinya kita tetap menjaga hak asai pasien tersebut.

70

Kasus diatas menunjukkan bahwa terdapat pembatasan dari dokter untuk pasien
menemui dokter lain.
4.5

Biaya Pelayanan Kesehatan

4.5.1

Definisi Pembiayaan Kesehatan


Azwar (1996) mendefinisikan pembiayaan kesehatan yaitu besarnya dana

yang harus di sediakan untuk menyelenggarakan dan/atau memanfaatkan berbagai


upaya kesehatan yang diperlukan baik itu oleh perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat (Djuhaeni, 2007).
Dari pengertian di atas tampak ada dua sudut pandang ditinjau dari (Djuhaeni,
2007) :
a. Penyelenggara pelayanan kesehatan (provider) yaitu besarnya dana untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang berupa dana investasi serta dana
operasional.
b. Pemakai jasa pelayanan yaitu besarnya dana yang dikeluarkan untuk dapat
memanfaatkan suatu upaya kesehatan.
Adanya sektor pemerintah dan sektor swasta dalam penyelenggaraan
kesehatan sangat mempengaruhi perhitungan total biaya kesehatan suatu negara.
Total biaya dari sektor pemerintah tidak dihitung dari besarnya dana yang
dikeluarkan oleh pemakai jasa (income pemerintah), tapi dari besarnya dana yang
dikeluarkan oleh pemerintah (expence) untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Total biaya kesehatan adalah penjumlahan biaya dari sektor pemerintah dengan
besarnya dana yang dikeluarkan pemakai jasa pelayanan untuk sektor swasta.
Dalam membicarakan pembiayaan kesehatan yang penting adalah bagaimana
memanfaatkan biaya tersebut secara efektif dan efisien baik ditinjau dari aspek
ekonomi maupun sosial dengan tujuan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat yang
membutuhkan. Dengan demikian suatu pembiayaan kesehatan dikatakan baik, bila
jumlahnya

mencukupi

untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan dengan penyebaran dana sesuai kebutuhan serta pemanfaatan yang diatur
secara seksama, sehingga tidak terjadi peningkatan biaya yang berlebihan.

71

4.5.2

Jenis Biaya Kesehatan


Dilihat dari pembagian pelayanan kesehatan, biaya kesehatan dibedakan atas

(Djuhaeni, 2007) :
a. Biaya pelayanan kedokteran yaitu biaya untuk menyelenggarakan dan atau
memanfaatkan pelayanan kedokteran, tujuan utamanya lebih ke arah pengobatan
dan pemulihan dengan sumber dana dari sektor pemerintah maupun swasta.
b. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat yaitu biaya untuk menyelenggarakan
dan/atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat, tujuan utamanya lebih
ke arah peningkatan kesehatan dan pencegahan dengan sumber dana terutama
dari sektor pemerintah.
4.5.3

Sumber Biaya Kesehatan


Sumber biaya kesehatan tidaklah sama antara satu negara dengan negara

lainnya. Dalam Undang-undang Rl nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pada


BAB XV pembiayaan kesehatan pasal 170 ayat 3, menyebutkan bahwa sumber
pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
swasta dan sumber lain.
Pada pasal 171 ayat 1 menyebutkan bahwa besar anggaran kesehatan
pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan
dan belanja negara di luar gaji. Pada ayat 2 menyebutkan bahwa anggaran kesehatan
pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh
persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.
Pelayanan kesehatan dibiayai dari berbagai sumber, yaitu (Djuhaeni, 2007):
a. Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (propinsi dan
kabupaten/kota) dengan dana berasal dari pajak (umum dan penjualan), deficit
financial (pinjaman luar negeri) serta asuransi sosal.
b. Swasta, dengan sumber dana dari perusahaan, asuransi kesehatan swasta,
sumbangan sosial, pengeluaran rumah tangga serta communan self help.
Alokasi pembiayaan kesehatan juga telah diatur oleh Undang-undang Rl
nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan . Sebagaimana disebutkan dalam pasal 172
bahwa alokasi pembiayaan kesehatan ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang
pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak
72

terlantar. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan diatur dengan
peraturan pemerintah. Untuk alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari
swasta di sebutkan dalam pasal 173 bahwa dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial
nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial. Ketentuan mengenai tata cara
penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan
komersial dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.5.4

Kasus - Kasus Pelanggaran HAM di Bidang Biaya Pelayanan Kesehatan

Kasus 1:
Harianlampung.com - Kasus penolakan pasien dalam pelayanan kesehatan
kembali terjadi di Lampung. Kali ini menimpa seorang mahasiswa Universitas
Malahayati, Bandarlampung, atas nama Akbar Abdul Majid (20). Akbar ditolak pihak
Rumah Sakit Umum Immanuel Bandarlampung karena hendak menggunakan
pelayanan kesehatan menggunakan kartu Badang Pengelola Jaminan Kesehatan
(BPJS). Pasien yang sudah kritis ini ditolak dengan alasan rumah sakit itu tidak
melayani

kartu

subsidi

pemerintah

tersebut.

Menurut

Harto

(46)

kepada harianlampung.com, Ahad (25/1), salah satu keluarga pasien, Akbar sempat
dibawa ke Rumah Sakit Islam Natar, tapi karena peralatan tak memadai, akhirnya
dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandarlampung.
Setiba di RSUDAM, ternyata ruang Intensif Care Unit (ICU) penuh. Karena, Akbar
membutuhkan perawatan serius, akhirnya pihak RSUDAM merujuk ke RS
Immanuel. Setiba di Immanuel, Akbar yang sudah kritis ini ditolak perawat penjaga
Unit Gawat Darurat (UGD) RS setempat atas nama Maria. Alasannya, pihak rumah
sakit tidak menerima pasien yang menggunakan BPJS. Saya dan perawat sempat adu
mulut. Akhirnya kami disuruh menunggu sekitar dua jam. Namun, tetap tidak ada
kejelasan, katanya. Ia menambahkan, sebenarnya keluarga pasien sanggup
membayar dengan biaya umum dan menjalani prosedur yang diterapkan, asalkan
pasien dirawat dulu karena kondisinya kritis. "Masalah administrasi menyusl.
Namun, tetap saja tidak bisa diterima RS Immanuel, kata dia. Setelah menunggu
beberapa jam, akhirnya RSUDAM mengabarkan bahwa ruang ICU di RS tersebut

73

sudah tersedia. Dini hari tadi kami dihubungi oleh RSUDAM. Katanya ruangan
sudah tersedia. Pasiennya akhirnya kami bawa ke sana. Saat ini keponakan saya
masih dirawat di ICU RSUDAM, jelasnya. Menurut Harto, Akbar kritis karena
mengalami kejadian kecelakaan di daerah Pekalongan, Lampung Timur, Sabtu (24/1),
sekitar pukul 17.00 WIB. (iqbal/bayu/riz/mf)
Analsia Kasus 1:
Rumah sakit menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan
kesehatan. Pada dasarnya dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan pagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Fasilitas
pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka. Hal ini ditegaskan dalam pasal 32 Undang-undang RI
Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Ada sanksi pidana bagi rumah sakit yang tidak segera menolong pasien yang
sedang dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan pasal 190 ayat (1) dan (2) dalam
Undang-undang kesehatan, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan
yang degnan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2) atau
pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau
kematian, pimoinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam Undang-undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
dijelaskan bahwa gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih
lanjut. Berdasarkan pasal 29 ayat (1) huruf c, rumah sakit wajib memberikan
pelayanan gawat sarurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya.
Jadi, seharusnya korban kecelakaan yang mengalami gawat darurat tersebut harus
74

langsung ditangani oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan nyawanya. Apabila
rumah sakit melanggar kewajiban yang disebut dalam pasal 29 ayat (2) Undangundang rumah sakit, rumah sakit tersebut akan dikenakan sanksi administratif
berupa : (a) teguran, (b) teguran tertulus; atau (c) denda dan pencabutan izin rumah
sakit.
Dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
menjelasan bahwa tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas
pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada penerima
pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
Berdasarkan Pasal 13 Kode Etik Kedokteran Indonesia menegaskan bahwa
setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya. Menurut penjelasan pasal ini, pertolongan darurat yang dimaksud
pada pasal di atas adalah pertolongan yang secara ilmu kedokteran harus segera
dilakukan untuk mencegah kematian, kecacatan, atau penderitaan yang berat pada
seseorang. Seorang dokter wajib memberikan pertolongan keadaan gawat darurat atas
dasar kemanusiaan ketika keadaan memungkinkan. Walau tidak saat bertugas,
seorang dokter wajib memberikan pertolongan darurat kepada siapapun yang sakit
mendadak, kecelakaan atau keadaan bencana.

4.6

Asuransi Kesehatan

4.6.1

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

Pengertian BPJS
Jaminan sosial adalah perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi
anggota anggotanya untuk resiko-resiko atau peristiwa-peristiwa tertentu dengan
tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat
mengakibatkan hilangnya atau turunya sebagian besar penghasilan, dan untuk

75

memberikan pelayanan medis dan/atau jaminan keuangan terhadap konsekuensi


ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan keluarga
dan anak. Secara singkat jaminan sosial diartikan sebagai bentuk perlindungan sosial
yang menjamin seluruh rakyat agar dapat mendapatkan kebutuhan dasar yang layak
(Asih, 2014).
Di dalam program BPJS jaminan sosial dibagi kedalam 5 jenis program
jaminan sosial dan penyelenggaraan yang dibuat dalam 2 program penyelengaraan,
yaitu (Asih, 2014):
1. Program yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, dengan programnya
adalah Jaminan Kesehatan yang berlaku mulai 1 Januari 2014.
2. Program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan, dengan
programnya adalah Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan
Pensiun, dan Jaminan Kematian yang direncanakan dapat dimulai mulai 1 Juli
2015.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial adalah peleburan 4 (empat) badan usaha milik negara
menjadi satu badan hukum, 4 (empat) badan usaha yang dimaksud adalah PT
TASPEN, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI, dan PT ASKES. Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial ini berbentuk seperti asuransi, nantinya semua warga indonesia
diwajibkan untuk mengikuti program ini. Dalam mengikuti program ini peserta BPJS
di bagi menjadi 2 kelompok, yaitu untuk mayarakat yang mampu dan kelompok
masyarakat yang kurang mampu (Asih, 2014).
Peserta kelompok BPJS di bagi 2 kelompok yaitu (Asih, 2014):
a.

PBI (yang selanjutnya disebut Penerima Bantuan Iuran) jaminan kesehatan,


yaitu PBI adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang
tidak mampu sebagaimana diamanatkan Undang-undang SJSN yang iurannya
dibayarkan oleh pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan.

76

Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur
melalui Peraturan Pemerintah
b.

Bukan PBI jaminan kesehatan.

Visi dan Misi BPJS


Program yang dijalankan oleh pemerintah ini mempunyai visi dan misi, visi
dan misi dari program BPJS Kesehatan adalah (Asih, 2014):
1.

Visi BPJS Kesehatan :


Paling lambat 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan

kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan


perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya yang diselenggarakan
oleh BPJS Kesehatan yang handal, unggul dan terpercaya .
2.

Misi BPJS Kesehatan :


a. Membangun kemitraan strategis dengan berbagai lembaga dan mendorong
partisipasi masyarakat dalam perluasan kepesertaan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
b. Menjalankan dan memantapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang
efektif, efisien dan bermutu kepada peserta melalui kemitraan yang optimal
dengan fasilitas kesehatan.
c. Mengoptimalkan pengelolaan dana program jaminan sosial dan dana BPJS
Kesehatan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel untuk mendukung
kesinambungan program.
d. Membangun BPJS Kesehatan yang efektif berlandaskan prinsip-prinsip tata
kelola organisasi yang baik dan meningkatkan kompetensi pegawai untuk
mencapai kinerja unggul.
e. Mengimplementasikan dan

mengembangkan sistem perencanaan dan

evaluasi, kajian, manajemen mutu dan manajemen risiko atas seluruh


operasionalisasi BPJS Kesehatan.
f. Mengembangkan dan memantapkan teknologi informasi dan komunikasi
untuk mendukung operasionalisasi BPJS Kesehatan.3

77

4.6.2

Peran Pemerintah dalam Pelaksanaan Kesehatan


Pemerintah berperan aktif dalam pelaksanaan kesehatan masyarakat tertulis

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang


berbunyi Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat (Thabrany, 2009).
Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 beserta
penjelasannya, bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan
seimbang oleh pemerintah dan masyarakat. Agar penyelenggaraan upaya kesehatan
tersebut berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu (Thabrany, 2009):
1. Mengatur upaya penyelenggaraan serta sumber daya kesehatan.
2. Membina penyelenggaraan serta sumber daya kesehatan.
3. Mengawasi penyelenggaraan serta sumber daya kesehatan.
4. Menggunakan peran serta masyarakat dalam upaya penyelenggaraan serta
sumber daya kesehatan.
Dalam penyelenggaraan kesehatan di masyarakat, diperlukan upaya
peningkatan pembangunan di bidang kesehatan. Dalam hal ini pemerintah
mempunyai fungsi dan tanggung jawab agar tujuan pemerintah di bidang kesehatan
dapat mencapai hasil yang optimal melalui penempatan tenaga, sarana, dan prasarana
baik dalam hitungan jumlah (kuantitas) maupun mutu (kualitas). Dalam
melaksanakan undang-undang tersebut pemerintah membutuhkan satu kebebasan
untuk melayani kepentingan masyarakat. Untuk dapat bekerja dengan baik maka
pemerintah harus dapat bertindak dengan cepat dan dengan inisiatif sendiri, oleh
karena itu pemerintah diberikan kewenangan dengan istilah freies ermessen. Dengan
adanya freies ermessen negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan
tindakan hukum untuk melayani kepentingan masyarakat dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakatnya (Thabrany, 2009).
Peran pemerintah daerah dalam program SJSN sangat diperlukan guna
berjalannya program tersebut dengan baik, peran pemerintah tersebut antara lain
(Thabrany, 2009):

78

1. Pengawasan program SJSN, agar sesuai dengan ketentuan.


2. Menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk penerima bantuan
iuran ataupun masyarakat yang lain.
3. Penentu peserta penerima bantuan iuran
4. Penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana penunjang.
5. Mengusulkan pemanfaatan/investasi dana SJSN di daerah terkait.
6. Sarana/usul kebijakan penyelenggara SJSN.
Selain 6 (enam) peran diatas, pemerintah daerah juga memiliki peran penting
untuk mendukung program BPJS, yakni (Thabrany, 2009):
1. Mendukung proses kepersertaan dalam rangka menuju cakupan semesta 2019
melalui integrasi Jamkesda melalui (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah) APBD dengan mengikuti skema JKN.
2. Mendorong kepesertaan pekerja penerima upah yang ada di wilayahnya (PNS,
Pemda, Pekerja BUMD dan Swasta) dan mendorong kepersertaan pekerja
bukan penerima upah (kelompok masyarakat/individu).
3. Mendorong penyiapan fasilitas kesehatan milik pemerintah dan swasta serta
mendukung ketersedianya tenaga kesehatan terutama dokter umum di
puskesmas dan spesialis di rumah sakit.
4. Mengefektifkan pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi di fasilitas
kesehatan tingkat pertama milik pemda.

4.6.3

Jaminan Kesehatan Nasional


Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme


asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) bagi seluruh rakyat
indonesia, maupun untuk warga negara asing yang bekerja paling singkat 6 (enam)
bulan di Indonesia yang pengaturannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

79

masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah (Thabrany, 2009).
Prinsip sistem JKN
Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) berikut (Asih, 2014):
1.

Prinsip Kegotongroyongan
Gotong royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup

bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam
SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang
kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi,
dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan
SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian,
melalui prinsip gotong royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.

Prinsip Nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan
utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang
dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya,
akan

di

manfaatkan

sebesar

besarnya

untuk

kepentingan

peserta.

3.

Prinsip Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Efisiensi, dan Efektivitas.


Prinsip-prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana

yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.


4.

Prinsip Portabilitas

80

Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan


yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat
tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.

Prinsip Kepesertaan Bersifat Wajib


Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga

dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,


penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah
serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di
sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara
mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat
mencakup seluruh rakyat.
6.

Prinsip Dana Amanat


Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada

badan-badan

penyelenggara

untuk

dikelola

sebaik-baiknya

dalam

rangka

mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.


7.

Prinsip Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial


Dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-

besar kepentingan peserta.

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan


Meliputi (Asih, 2014):
1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non
spesialistik mencakup:
a. Administrasi pelayanan
b. Pelayanan promotif dan preventif

81

c. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis


d. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
f. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis
g. Pemeriksaan penunjang diagnosis laboratorium tingkat pertama
h. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi
2. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan
mencakup:
a. Rawat jalan, meliputi:
1) Administrasi pelayanan
2) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter
spesialis dan sub spesialis
3) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
4) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
5) Pelayanan alat kesehatan implant
6) Pelayanan penunjang diagnostic lanjutan sesuai dengan indikasi
medis
7) Rehabilitasi medis
8) Pelayanan darah
9) Pelayanan kedokteran forensik
10) Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan
b. Rawat Inap yang meliputi:
1) Perawatan inap non intensif
2) Perawatan inap di ruang intensif
3) Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif, masih ada
manfaat yang tidak dijamin meliputi:
a) Tidak sesuai prosedur;
b) Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS;
c) Pelayanan bertujuan kosmetik;

82

d) General checkup, pengobatan alternatif;


e) Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi;
f) Pelayanan kesehatan pada saat bencana ; dan
g) Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa
diri sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba.
Beberapa Halangan dalam Program JKN
Dalam menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional ini pemerintah
menemui berbagai halangan, beberapa halangan-halangan yang dihadapi dalam
menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional tersebut adalah sebagai berikut
(Thabrany, 2009):
1. Jumlah faslitas pelayanan kesehatan yang kurang mencukupi dan
persebarannya kurang merata khususnya bagi Daerah Terpencil Perbatasan
dan Kepulauan (DTPK) dengan tingkat utilisasi yang rendah akibat kondisi
geografis dan tidak memadainya fasilitas kesehatan pada daerah tersebut.
2. Jumlah tenaga kesehatan yang ada masih kurang dari jumlah yang
dibutuhkan.
3. Untuk pekerja sektor informal nantinya akan mengalami kesulitan dalam
penarikan iurannya setiap bulan karena pada sektor tersebut belum ada badan
atau lembaga yang menaungi sehingga akan menyulitkan dalam penarikan
iuran di sektor tersebut.
4. Permasalahan akan timbul pada penerima PBI karena data banyak yang tidak
sesuai antara pemerintah pusat dan daerah sehingga data penduduk tidak
mampu tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
4.6.4

Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia


Hak yang dimiliki setiap orang yang bukan diperoleh dari negara, tetapi justru

sebagai anggota masyarakat dengan anggota-anggota atau orang lain untuk


memenuhi hak tersebut. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun
1992, kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkin setiap orang produktif secara ekonomis. Oleh karena itu kesehatan

83

merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan. Tanpa kesehatan, seseorang


menjadi tidak sederajat secara kondisional, sehingga seseorang tidak akan mampu
memperoleh hak-haknya yang lain. Seseorang yang tidak sehat dengan sendirinya
akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh dan menjalani pekerjaan
yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk berserikat dan berkumpul serta
mengeluarkan pendapat, dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa depannya.
Secara internasional pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia telah diakui
dalam Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan bahwa:
1. Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan
dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas
pangan, sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang
diperlukan, serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat,
ditinggalkan oleh pasangannya, lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain
yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar
kekuasaannya.
2. Ibu dan anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua
anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus
menikmati perlindungan sosial yang sama.
Di dalam Undang-Undang Tentang Kesehatan hak masyarakat dalam bidang
kesehatan telah tercantum dalam Pasal 4 sampai Pasal 8 Undang-Undang Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2009 yang berbunyi :

Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber
daya di bidang kesehatan.

84

(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat
kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan
yang seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
Dalam hal kesehatan, masyarakat sebagai penerima hak kesehatan memiliki
perlindungan diri dari kemungkinan upaya pelaksanaan pelayanan kesehatan yang
tidak bertanggungjawab seperti penelantaran. Masyarakat juga berhak atas
keselamatan, keamanan, dan kenyamanan terhadap pelayanan yang telah diberikan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut
tertulis hak-hak yang bisa didapatkan oleh masyarakat dan kewajiban pemerintah
sebagai penyelenggara untuk memenuhi apa yang telah diatur dalam Undang-undang.
4.6.5

Kasus - Kasus Pelanggaran HAM Oleh BPJS


Jaminan kesehatan adalah hak seluruh rakyat Indonesia, program JKN

bertujuan memberikan kemudahan akses ke pelayanan kesehatan bagi seluruh warga


sehingga tidak ada lagi masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah, yang
ditolak saat mereka berobat di fasilitas pelayanan kesehatan. Namun, pada
pelaksanaannya, program yang tujuannya amat mulia ini tidak berjalan sesuai yang di
harapkan.

85

Berbagai persoalan yang muncul dilapangan seperti; 1. Masalah tarif dan


obat-obatan: Saat masih peserta jaminan kesehatan sebelumnya (askes, jamsostek,
jamkesmas atau KJS) penyakit tertentu pengobatan untuk pasien dapat terfasilitasi.
Tetapi setelah diberlakukannya BPJS Kesehatan, pengobatan tidak sepenuhnya
terfasilitasi. Akibatnya, pasien harus membayar dengan biaya pribadi atau biaya obat
dibebankan kepada pasien. 2. Masalah kepesertaan: Masih banyak penduduk miskin,
seperti gelandangan, pengemis, anak telantar belum termasuk dalam kepesertaan PBI
yang berjumlah 86,4 juta jiwa. Karena data 86,4 juta tersebut adalah data peserta
lama yang terdaftar dalam Jaskesmas. 3. Masalah mutu pelayanan kesehatan:
Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit
masih terdapat masalah. Kurangnya sejumlah fasilitas kesehatan seperti kamar untuk
pasien. Karena masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan non pemerintah yang
belum bekerja sama dengan BPJS. Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia
di fasilitas kesehatan juga menjadi persoalan. Disebabkan tenaga kesehatan di
Indonesia masih belum tersebar dengan merata. Keterbatasan tenaga kesehatan akan
berdampak terhadap kesehatan pasien karena tidak tertangani dengan cepat. 4.
Masalah rujukan: Sistem rujukan yang semrawut, akibatnya peserta banyak yang
tidak mengetahui sistem rujukan sehingga mereka tidak mendapatkan pelayanan
sebagaimana mestinya. Pasien harus mendapat rujukan dari fasilitas tingkat pertama
(klinik atau puskesmas) sebelum ke tingkat fasilitas kesehatan berikutnya (Rumah
Sakit). Disinilah persoalan terjadi, banyak peserta datang ke fasilitas tingkat kedua
tanpa mendapat rujukan dari fasilitas tingkat pertama.
Pada poin 1 dan 2 secara langsung disebabkan oleh produk turunan dari
peraturan pemerintah yang berkaitan mengatur tentang jaminan kesehatan sehingga
merugikan peserta:
1. Terdapat Peraturan Pemerintah (PP) 101/2013 tentang PBI yang hanya
mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI (Penerima Bantuan
Iuran), padahal data BPS tahun 2011 bahwa orang miskin ada 96,7 juta.
Akibatnya, masih terdapat jutaan kaum rentan tidak memiliki jaminan
kesehatan.

86

2. Sistem INA-CBGs merupakan sistem paket yang bisa membatasi tarif


pelayanan kesehatan terhadap peserta. Pembatasan biaya tersebut tak terlepas
karena regulasi terhadap program JKN yang ditetapkan Permenkes No. 69
Tahun 2013. Akibatnya, tidak hanya pasien yang merasa dirugikan atas
kebijakan ini tetapi semua jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja
sama dengan BPJS juga dirugikan dengan sistem pembayaran yang murah
tersebut. Hal tersebut juga membuat banyak fasilitas kesehatan nonpemerintah mengurungkan niat untuk bekerjasama dengan BPJS Keshatan.
Rekomendasi: Dengan penyelenggaraan Jaminan Keshatan Nasional yang
belum berjalan sesuai dengan prinsip, ketentuan, dan tujuan awalnya, maka pihakpihak yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab perlu: 1. Pemerintah dalam
membuat surat peraturan atau keputusan perlu menggunakan cara pandang
konstitusional sebagaimana yang telah di amanatkan Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 34
ayat (2) UUD 1945 dan berlandaskan prinsip dan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 24 UU
tentang SJSN No. 40 tahun 2004. 2. Pemerintah perlu meninjau kembali untuk
merevisi penetapan tarif pada sistem INA-CBGs yang dikeluhkan pasien. 3.
Pemerintah menaikkan jumlah orang miskin dan tidak mampu menjadi 96,7 juta
sehingga tercover menjadi peserta PBI. 4. Pemerintah melakukan pengaturan
penyaluran dana pada fasilitas kesehatan, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia,
sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. 5.

Pemerintah harus

menaikknan APBN minimal sebesar 5% untuk kesehatan sebagaimana yang


diamanatkan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

87

88

89

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan
Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat dan

merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan
papan. Istilah untuk kesehatan sebagai hak asasi manusia yang kerap digunakan di
tingkat PBB adalah hak atas kesehatan. Hak atas kesehatan telah dijamin dan diatur di
berbagai instrumen internasional dan nasional. Ketentuan-ketentuan didalamnya pada
intinya merumuskan kesehatan sebagai hak individu dan menetapkan secara konkrit
bahwa negara selaku pihak yang memiliki tanggung jawab atas kesehatan. Dalam
pelayanan kesehatan di tingkat apapun, terutama di rumah sakit, sering timbul
pelanggaran HAM atas kesehatan ini, penyebabnya tidak lain karena tidak jelasnya
hubungan kerja antara dokter dengan rumah sakit. Tidak ada suatu kontrak atau
perjanjian kerja yang jelas yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Sementara itu, perkembangan teknologi kesehatan juga mempengaruhi terjadinya
pelanggaran etik, karena pemilihan teknologi kesehatan yang tidak di dahului dengan
pengkajian teknologi dan pengkajian ekonomi, akan memunculkan tindakan yang
tidak etis dengan membebankan biaya yang tidak wajar kepada pasien.
Tindakan penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, dilakukan oleh
dokter baik pada saat berlangsungnya diagnosa maupun pada waktu berlangsungnya
terapi dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Agar tidak terjadi hal-hal seperti
yang telah disebutkan tentu ada aturan-aturan yang berkaitan dengan kesehatan, hal
tersebut diatur dalam Hukum kesehatan (Perwira, 2011).
Beberapa aspek pelanggaran HAM dalam bidang medis ditinjau dari segi
hokum kesehatan:
1.
Keterjangkauan pelayanan kesehatan yang tidak merata dan kualitas
2.

pelayanan yang tidak sesuai standar.


Pembocoran rahasia kedokteran (rekam medik) pasien dan Kelalaian dalam

3.

pembuatan rekam medik


Kurang/tidak diberikannya informed consent sebelum melakukan tindakan
90

4. Keterbatasan dalam memilih dokter dan second opinion


5.
Keterbatasan pelayanan kesehatan akibat biaya kesehatan yang tidak
6.

terjangkau
Asuransi kesehatan yang tidak merata dan diskriminatif

5.2

Saran
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap dokter, sebaiknya

masing-masing pihak, yakni dokter dan pasien harus memahami hak dan kewajiban
masing-masing, seperti yang sudah tertera pada undang-undang yang berlaku, agar
kesalahan dalam pelayanan kesehatan dapat dihindari. Selain itu, sebaiknya dibuat
suatu kontrak atau perjanjian kerja yang lebih jelas yang mengatur hak dan kewajiban
dokter dan rumah sakit, agar hubungan kerja keduanya menjadi jelas. Sehingga
pasien tidak menjadi korban dan mutu kesehatan dapat ditingkatkan dengan
maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

91

Aminingrum, R. E., & Niswah, F. (2013). Strategi Meningkatkan Kualitas Pelayanan


Kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat Idaman Mojoagung Kecamatan
Mojoagung Kabupaten Jombang. Publika Jurnal Ilmu Administrasi Negara,
1.
Amir, A., & Hanafiah, M. J. (2008). Persetujuan Tindakan Medik (Informed
Consent). In Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan (pp. 72-77). Jakarta:
EGC.
Anantarum, M. A. (2016, Mei 17). Hubungan Pelaksanaan Etika Profesi Dokter
Dalam Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Ditinjau Dari
Konsep Hospital Bylaw Dan Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran Di RSUD Kudus. Retrieved from http://lib.unnes.ac.id/:
http://lib.unnes.ac.id/20404/1/8111410067-s.pd
Arisandy, W. (2015, Mei- Agustus). Strategi Dinas Kesehatan dalam Meningkatkan
Kualitas Pelayanan Kesehatan melalui Metode CRC (Citizen Report Card) di
Kota Surabaya. Kebijakan dan Manajemen Publik, 2, 12-23.
Asshiddique, J. (2008). Konstitusi Dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.
Dewi, R. W. (2013). Wajib Simpan Rahasia Kedokteran. Perspektif, Volume XVIII
No. 3, 136-147.
Djuhaeni, H. (2007). Asuransi Kesehatan dan Managed Care. Retrieved Juni 16,
2016, from http://www.pustaka.unpad.ac.id
Eka Putri, Asih (2014). Paham BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), Seri
Buku 2, Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung.
Grenaldo, G. (2014, Januari-Maret). Hak Paten Untuk Memperoleh Pelayanan
Kesehatan di Rumah Sakit Ditinjau dari Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum
Unsrat, II, 70-80.
Hanafiah, M. J., & Amir, A. (2008). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Jakarta: EGC

92

Haryanto, J. O., & Ollivia. (2009). Pengaruh Faktor Pelayanan Rumah Sakit, Tenaga
Medis, dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Terhadap Intensi Pasien
Indonesia Untuk Berobat di SIngapura. Jurnal Ekonomi Bisnis, 14, 144-151.
Hayaza, Y. T. (2013). Analisis Kepuasan Pasien Terhadap Kualitas Pelayanan Kamar
Obat di Puskesmas Surabaya Utara. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya, 2, 1-13.
Iqbal, & Bayu. (2015, 1 25). harianlampung. Dipetik 6 18, 2016, dari
http://www.harianlampung.com/m/index.php?ctn=1&k=kawasan&i=2410Mustafa-Minta-Masyarakat-Jangan-Gunakan-Jasa-calo
Ikatan Dokter Indonesia (2002). Kode Etik Kedokteran Indonesia Dan Pedoman
Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia Cabang Makasar.
Jakarta, S. (2015). Dalam Sebulan, 4 Pasien Mati Karena Pelayanan Buruk di RS.
Jakarta: Suara Jakarta.
Janis, N (2014). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Supply, dan
Demand Terhadap Layanan Kesehatan, Jakarta: Kepala Subbidang Analisis
Fisika Ekonomi, Keuangan, dan Sosial.
KEMENKES. (2016). Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kawasan Terpencil, Sangat
Terpencil, Penyelenggaraan. Pencabutan.
Kondoy, J. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Ditinjau Dari UndangUndang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dalam Perspektif HAM. Lex
et Societatis, 132-137.
Konli, S. (2014). Pelayanan Kesehatan MAsyarakat di Puskesmas Desa Gunawan
Kecamatan Sesayap Kabupaten Tana Tidung. eJournal Ilmu Pemerintahan, 2,
1925-1936.
Konsil Kedokteran Indonesia. (2006). Penyelenggaraan Praktek Kedokteran yang
Baik di Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
Konyenye, R. (2015). Implementasi Pemerintah Untuk Melindungi Kepentingan
Hukum Terhadap Pihak Yang Dirugikan Akibat Pelayanan Kesehatan. Lex Et
Societatis, 101-109.

93

Liputan6. (2013) . Pelayanan Kesehatan Sulit Dijangkau, 7 Warga Papua


Meninggal.Jakarta.
Maliangga, J. (2013). Hak Informed Consent Sebagai Hak Pasien Dalam
Perlindungan Hak Asasi Manusia. Lex et Societatis, 5-14.
MKEK, M. (2004). Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Repository USU.
Mulyo,R.C. (2006). Peranan Dokter Dalam Proses Penegakkan Hukum Kesehatan;
Studi Kasus di Rumah Sakit Kariadi Semarang. Semarang: Universitas Negeri
Semarang.
Nirwana. (2013). Tanggung Jawab Dokter Terhadap Kewajiban Menyimpan Rahasia
Kedokteran. Universitas Hasanuddin Makassar, 1-148.
Perwira, I. (2011). Memahami Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia. Elsam.
Prana, M. M. (2013, Januari). Kualitas Pelayanan Kesehatan Penerima Jamkesmas di
RSUD Ibnu Sina Gresik. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik, 1, 173185.
Prasetyawati, A. E. (2012). Kedokteran Keluarga dan Wawasannya. Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Prasetyo,H.P.

(1996).

Hubungan

Dokter-Pasien

Dalam

Upaya

Penyembuhan/Perawatan Menurut Hukum Kedokteran. Yustisia Nomor 36


Tahun X, Juni-Agustus 1996. Surakarta: Universitas Negeri Surakarta
Purwandoko, P. H. (1999). Problematika Implementasi Informed Consent. Yustisia,
40-60.
Rahim, I. S. (2016). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Terhadap Pelaksanaan
Informed Consent. Lex Et Societatis, 14-20.
Realita, F. (2016, Mei 17). Retrieved from e-journal STIKES Muhammadiyah
Klaten:http://ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/involusi/article/download/4
5/41
Republik Indonesia. (1962) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1962 Tentang Wabah. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (1966). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10

94

Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran. Jakarta: Sekretariat


Negara.
Republik Indonesia. (1981) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Jakarta : Sekertariat Negara.
Republik Indonesia. (2004). Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004. Jakarta:
Sekertariat Negara.
Republik Indonesia. (2008). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/Per
III/2008 tentang Rekam Medis. Jakarta : Sekretariat Negara
Republik Indonesia. (2009). Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009. Jakarta:
Sekertariat Negara.
Republik Indonesia. (2012). Undang -Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Jakarta:
Permata Press.
Republik Indonesia (2013). Kumpulan Peraturan Jaminan Kesehatan, Jakarta :
Sekertariat Negara.
Republik Indonesia (2013). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2013 Tentang Jaminan Kesehatan, Jakarta : Sekertariat Negara.
Republik Indonesia. (2014). Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2014. Jakarta:
Sekertariat Negara.
Republik Indonesia (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2014 Tentang Peransuransian, Jakarta : Sekertariat Negara.
Republik Indonesia. (2016, Juni 17). Retrieved from Perpustakaan Depkes:
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/922/1/PERMEN
KES%20RI%20NO.%201419-MENKES-PER-X-2005.pdf
Sadi, M. (2014). Etika Hukum Kesehatan. Jakarta: Prenadamedia Grup.
Sampurno, B. (2011). Laporan Akhir Tim Kompendium Hukum Kesehatan. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional.

95

Santoso, H. (2007, Desember). Persepsi Masyarakat Terhadap Kualita Pelayanan


Kesehatan di Puskesmas Binjai Kota. Jurnal Universitas Sumatera Utara,
166-171.
Saragih, R., Lubis, A. N., & Sutatnungsih, R. (2010). Pengaruh Mutu Pelayanan
Kesehatan Terhadap Loyalitas Pasien Rumah Sakit Umum Herna Medan.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Siregar, E., & Budhiartie, A. (2010). Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien Dalam.
Majalah Hukum Forum Akademika, 172-194.
Suharmiati, Handayani, L., & Kristiana, L. (2012, Juli). Faktor- Faktor yang
Mempengaruhi Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Daerah
Terpencil Perbatasan di KAbupaten Sambas. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 15, pp. 223-231.
Suryono, Arief (2009). Asuransi Kesehatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1992, Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, Poerwokerto:
Jurnal Dinamika Hukum Vol.9 No. 3 September 2009.
Syahrizal, D., & Nilasari, S. (2013). Undang - Undang Praktik Kedokteran &
Aplikasinya. Jakarta: Dunia Cerdas.
Takdir. (2012). Perlindungan Hak-Hak Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan Perundang-undangan Yang Berlaku. Jurnal Kajian Hukum, 2641.
Thabrany, H. (2009). Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional : Sebuah
Policy Paper Dalam Analisis Kesesuaian Tujuan Dan Struktur BPJS, Jakarta:
Perkumpulan Prakarsa dan The Asia Foundation.
Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia, Jakarta 1992.
Thalal, M., & Hiswanil. (2010). Aspek Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan.
Universitas Sumatera Utara, 72-75.
Wahyu,

A.

(2016,

Juni

17).

Retrieved

from

Lintas

Berita:

http://www.lintasberita.web.id/kronologi-kasus-dr-ayu-sasiary-prawani/

96

Wahyuni, T. (2015). Sulitnya Memberi Pelayanan Kesehatan di Papua. CNN


Indonesia.
Williams, John R. (2006). Panduan Etika Medis. Penerjemah: Tim Penerjemah PSKI
FK

UMY.

Editor:

dr.

Sagiran,

M.Kes.

Yogyakarta:

Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta
WHO. (2016). World Health Organization. Retrieved June 17, 2016, from
hhttp://www.who.int/trade/glossary/story046/en/#
Yuliati. (2005). Kajian Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Pasien dalam UndangUndang RI Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Berkaitan
dengan Malpraktik. Malang: Universitas Brawijaya.
Yunanto, A., & Helmi. (2010). Hukum Pidana dan Malprakktik Medik Tinjauan dan
Perspektif Medikolegal . Yogyakarta: Penerbit Andi.
Yustina, E. W. (2014). Hak atas Informasi Publik dan Hak atas Rahasia Medis:
Problem Hak Asasi Manusia dalam Pelayanan Kesehatan. Padjadjaran Jurnal
Ilmu Hukum, 248-269.
Yusuf, H. (2012, April). Analisis Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan kepuasan
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Anutapura Kota Palu. Jurnal Promotif, 1,
93-99.

97

Anda mungkin juga menyukai