Anda di halaman 1dari 21

Makalah Bioetik

“Isu HAM Dalam Praktek Pelayanan Kesehatan”

Fernando Rezza Pratama Arief


C011191226
Kelas A

Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ISU HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM PRAKTEK
PELAYANAN KESEHATAN’’. Adapun pembahasan ini, bertujuan untuk
mengetahui peran dan isu hak asasi manusia dalam praktek pelayanan
masyarakat.
Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini jauh dari kata
sempurna, dari segi pembahasan maupun penulisan. Kami mohon maaf
jika dalam makalah ini terdapat banyak penggunaan kata yang kurang
tepat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada manusia karena
kelahirannya sebagai manusia. Hak-hak tersebut diperoleh bukan pemberian orang lain
ataupun negara, tetapi karena kelahirannya sebagai manusia. Dalam konteks religius hak-hak
ini merupakan karunia Tuhan, dan hanya Tuhanlah yang berhak mencabutnya. Karena HAM
merupakan hak yang diperoleh saat kelahirannya sebagai manusia, maka HAM meliputi hak-
hak yang apabila dicabut atau dikurangai akan mengakibatkan berkurang derajat
kemanusiaannya. Ukuran derajat kemanusiaan selalu berkembang sesuai dengan peradaban
masyarakatnya.
Hak Atas Kesehatan, kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan
sosial yang memungkin setiap orang produktif secara ekonomis (Ps. 1 point (1) UU Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya
derajat kemanusiaan. Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional.
Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-haknya yang lain. Seseorang
yang tidak sehat dengan sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh
dan menjalani pekerjaan yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk berserikat dan
berkumpul serta mengeluarkan pendapat, dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa
depannya. Singkatnya, seseorang tidak bisa menikmati sepenuhnya kehidupan sebagai
manusia. Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang
diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain telah diakui secara internasioal.Hak atas
kesehatan meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang sehat, hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, dan perhatian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak.

1.2 Rumusan Masalah


- Apakah konsep dasar HAM
- Apa saja asas- asas yang mendasari HAM
- Bagaimana kesehatan sebagai HAM
- Apa definisi pelayanan kesehatan
- Apa dasar Hukum pelayanan kesehatan
- Bagaimana Lahirnya Hak atas kesehatan
- Isu HAM dalam praktek pelayanan kesehatan
- Apa saja pelanggaran HAM di bidang kesehatan
1.3 Tujuan Pembahasan
- Untuk mengetahui konsep dasar HAM
- Untuk mengetahui apa saja asas-asas dari HAM
- Untuk mengetahhui Kesehatan Sebagai HAM
- Untuk mengetahui apa definisi pelayanan kesehatan
- Untuk mengetahui apa dasar hukum pelayanan kesehatan
- Untuk mengetahui lahirnya Hak atas kesehatan
- Untuk mengetahui Isu HAM dalam praktek peelayan kesehatan
- Untuk mengetahui apa saj pelanggaran HAM dibidang kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep dasar HAM
Istilah HAM menurut bahasa Prancis ”droit de’home”, dalam bahasa Inggris
adalah ”human rights”, sedangkan menurut bahasa Belanda ”memen rechten”.
Secara umum hak asasi manusia diartikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki setiap
manusia yang dibawa sejak dinyatakan telah bernyawa sebagai anugerah dari Tuhan
Yang Maha Esa. Artinya, hak asasi ini bukan diberikan atau pemberian orang lain,
golongan, atau negara, tetapi sudah melekat sejak seseorang memiliki nyawa
meskipun masih di dalam kandungan.
HAM tidak dapat diambil atau dicabut, diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh
suatu kekuasaan melainkan harus dihormati, dipertahankan, dan dilindungi. Di sinilah
letak perbedaan yang fundamental antara masyarakat yang menjunjung ketuhanan
dengan masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai selain Tuhan.
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia karena ia sebagai
manusia, bukan memiliki hak tersebut karena diberikan oleh masyarakat atau
berdasarkan hukum positif yang mengaturnya, tetapi semata-mata martabatnya
sebagai manusia. Oleh karenanya, walaupun manusia terlahir dengan keadaan kulit
hitam, cokelat, putih, kelamin laki-laki maupun perempuan, bahasa yang berbeda-
beda, budaya yang beragam, maka ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Kondisi
demikian yang disebut dengan universalitas HAM.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Konsep HAM memang muncul dan berkembang sebagai produk masyarakat
modern di abad ke-20. Namun dalam perkembangaan kebudayaan umat manusia,
perjuangan sistem nilai HAM dapat dilacak dalam sejarah kebudayaan masyarakat-
masyarakat terdahulu.
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional menyebutkan bahwa HAM adalah hak
yang melekat pada setiap umat manusia di dunia, diakui secara legal oleh seluruh
umat manusia, sehingga hak tersebut tidak dapat dicabut, dihilangkan, dikurangi oleh
siapapun dalam keadaan atau dalih apapun. Pada pembukaan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebutkan bahwa semua manusia mendapatkan
pengakuan atas martabat alamiah dan hak yang sama dan mutlak.

Bangsa Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak


Asasi Manusia (HAM) menyebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.

2.2 Asas – asas yang mendasari HAM


Asas-asas dasar Hak Asasi Manusia meliputi :
1. Asas Universal (Universality)
Universalitas hak berarti bahwa hak bersifat umum, tidak dapat berubah atau hak
dialami dengan cara yang sama oleh semua orang.
2. Asas Martabat Manusia (Human Dignity)
Hak asasi merupakan hak yang melekat dan dimiliki setiap manusia. Asas ini
ditemukan pada pikiran setiap individu tanpa memperhatikan ras, umur, budaya,
bahasa, etnis, keyakinan seseorang yang harus dihargai dan dihormati sehingga hak
yang sama dan sederajat dapat dirasakan semua orang dan tidak digolongkan
berdasarkan tingakatan hirarkis.
3. Asas Kesetaraan (Equality)
Asas kesetaraan mengekspresikan gagasan menghormati martabat yang
melekat pada setiap manusia. Secara spesifik pasal 1 menyatakan bahwa : setiap
umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya
4. Asas Non-Diskriminasi (Non-Discrimination)
Asas ini memastikan bahwa tidak seorangpun dapat meniadakan hak asasi
orang lain karena faktor-faktor luar, misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lainnya.

5. Asas tidak dapat dicabut (Inalienability)


Asas ini menyatakan bahwa hak-hak individu tidak dapat direnggut, dilepaskan
dan dipindahkan.
6. Asas tidak bisa dibagi (Indivisibility)
Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak
lainnya. Hak setiap orang untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak adalah hak
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hak tersebut merupakan modal dasar bagi setiap
orang agar mereka bisa menikmati hak-hak lainnya seperti hak atas kesehatan atau
hak atas pendidikan.
7. Asas Saling berkaitan dan bergantung (Interrelated and Interdependent)
Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak
lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contohnya, hak atas pendidikan
atau hak atas informasi adalah saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu
pelanggaran HAM saling berkaitan sehingga hilangnya satu hak dapat mempengaruhi
hak lainnya.
8. Asas Tanggung jawab negara (State Responsibility)
Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk
menaati dan melindungi hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini, mereka harus tunduk
pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen-instrumen
HAM. Seandainya mereka gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pihak-
pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan secara layak sebelum
tuntutan itu diserahkan pada sebuah pengadilan yang kompeten atau adjudikator
(penuntut) lain yang sesuai dengan aturan dan prosedur hukum yang berlaku.
Asas-asas Dasar Hak Asasi Manusia terdapat dalam beberapa diantaranya
yaitu pada pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 8.

2.3 Definisi pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan (health care service) merupakan hak setiap orang yang dijamin
dalam Undang Undang Dasar 1945 untuk melakukan upaya peningkatkan derajat
kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara
keseluruhan.5Defenisi Pelayanan kesehatan menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Tahun 2009 (Depkes RI) yang tertuangdalam Undang-Undang
Kesehatantentang kesehatan ialah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan,
perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat.Berdasarkan Pasal 52 ayat(1)
UU Kesehatan, pelayanan kesehatansecara umum terdiri dari dua bentuk pelayanan
kesehatan yaitu ;
a. Pelayanan kesehatan perseorangan(medical service)Pelayanan kesehatan ini
banyak diselenggarakan oleh perorangan secara mandiri (self care),
dankeluarga (family care) ataukelompok anggota masyarakat yang bertujuan
untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan 9kesehatan perseorangan
dan keluarga. Upaya pelayanan perseorangan tersebut dilaksanakan pada
institusi pelayanan kesehatan yang disebut rumah sakit,klinik bersalin, praktik
mandiri.
b. Pelayanan kesehatan masyarakat(public health service)Pelayanan kesehatan
masyarakat diselenggarakan oleh kelompok dan masyarakat yang bertujuan
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang mengacu pada
tindakan promotif dan preventif.Upaya pelayanan masyarakat tersebut
dilaksanakan pada pusat-pusat kesehatan masyarakat tertentu seperti
puskesmas.

Kegiatan pelayanan kesehatan secara paripurna diatur dalam Pasal 52 ayat (2) UU
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
a. Pelayanan kesehatan promotif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan.
b. Pelayanan kesehatan preventif, suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu
masalah kesehatan/penyakit.
c. Pelayanan kesehatan kuratif, suatu kegiatandan/atauserangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, pengendalian kecacatan
agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
d. Pelayanankesehatan rehabilitatif, kegiatandan /atau serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat, semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Berdasarkan uraian di ataspelayanan kesehatan yang diselenggarakan di
puskesmas, klinik, dan rumah sakit diatur secara umumdalam UU
Kesehatan,dalam Pasal 54 ayat (1) UU Kesehatan berbunyi bahwa
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggungjawab,
aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. Dalam hal ini setiap orang atau
pasien dapat memperoleh kegiatan pelayanan kesehatan secara professional,
aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif serta lebih mendahulukan pertolongan
keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.

2.4 Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia


Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Begitu pentingnya,
sehingga sering dikatakan bahwa kesehatan bukan segala-galanya, tetapi tanpa
kesehatan segala-galanya tidak bermakna. Setelah lebih dari 60 tahun merdeka,
kondisi kesehatan di Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang berarti.
Setidaknya demikian menurut pandangan World Health Organization (WHO). Dalam
Laporan Kesehatan Dunia (World Health Report) yang diterbitkan WHO pada tahun
2001, derajat kesehatan masyarakat Indonesia dilaporkan jauh tertinggal dari
negara-negara Asia lainnya, seperti Thayland, Malaysia, Brunei Darussalam, India,
China, bahkan masih jauh di bawah negara miskin seperti Srilanka.1Dengan
menggunakan indikator “umur harapan hidup”, WHO meletakkan derajat kesehatan
Indonesia pada peringkat 103 dari 109 negara.
Sebagai perbandingan, United Nations Development Program (UNDP) dalam
laporannya untuk pembangunan bidang kesehatan pada tahun yang sama,
meletakkan derajat kesehatan Indonesia pada peringkat ke 109 dari 174 negara.
Lima tahun kemudian yakni pada tahun 2005 ternyata posisi peringkat Indonesia
belum membaik.
Terlepas dari indikator yang digunakan oleh kedua lembaga tersebut, “derajat
kesehatan” telah cukup lama dipahami sebagai salah satu hak asasi manusia yang
harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Di kalangan ahli kesehatan di Indonesia,
telah berkembang pemikiran untuk memasukkan kesehatan sebagai bagian dari
“hak asasi manusia”, serta memperoleh jaminan konstitusi. Dengan jaminan
konstitusi diharapkan perhatian Negara, dalam hal ini Pemerintah, akan jauh lebih
besar terhadap pembangunan bidang kesehatan, sehingga kondisi kesehatan di
Indonesia akan membaik. Pemikiran itu terus berkembang dalam berbagai seminar
dan diskusi sampai akhirnya pada tingkat regulasi.
Sesungguhnya jaminan konstitusi terhadap hak atas kesehatan telah ada sejak
masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949. Dalam Pasal 40
Konstitusi RIS terdapat ketentuan yang menyatakan, “Penguasa senantiasa
berusaha dengan sunguh-sungguhmemajukan kebersihan umum dan kesehatan
rakyat”. Setelah bentuk negara serikat kembali ke bentuk negara kesatuan dan
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS), ketentuan Pasal 40
Konstitusi RIS di adopsi ke dalam Pasal 42 UUDS.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 telah menetapkan
Universal Declaration of Human Rights, yang di dalamnya mengatur hak atas
kesehatan. Dalam Pasal 25 dinyatakan :
“Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan
kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatan”
Sejalan dengan itu, Konstitusi World Health Organization (WHO) 1948 telah
menegaskan pula bahwa “memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
adalah suatu hak asasi bagi setiap orang” (the enjoyment of the highest attainable
standard of health is one of the fundamental rights of every human being). Istilah
yang digunakan bukan “human rights”, tetapi “fundamental rights”, yang kalau kita
terjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia menjadi “Hak hak Dasar”.
Gagasan hak atas kesehatansebagai hak asasi manusia terus berkembang baik
dalam hukum nasional maupun hukum intenasional. Dalam Pasal 4 Undang-undang
Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan dinyatakan, “Setiap orang mempunyai hak
yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”. Sementara itu dalam
Hukum Internasional telah dikembangkan berbagai instrumen hak asasi manusia,
antara lain Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang ditetapkan
pada tahun 1966. Dalam Pasal 12 ayat (1) Kovenan tersebut dinyatakan bahwa
“setiap orang mempunyai hak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai
atas kesehatan fisik dan mental”.
Akhirnya pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
1945, kesehatan ditegaskan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam Pasal
28H ayat (1) dinyatakan, bahwa:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.”
Masuknya ketentuan tersebut ke dalam Undang-Undang Dasar 1945,
menggambarkan perubahan paradigma yang luar biasa. Kesehatan dipandang tidak
lagi sekedar urusan pribadi yang terkait dengan nasib atau karunia Tuhan yang tidak
ada hubungannya dengan tanggung jawab negara, melainkan suatu hak hukum
(legal rights).

Memuat ketentuan jaminan hak asasi manusia, termasuk hak atas kesehatan, ke
dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sebuah komitmen politik Negara, hal ini
mungkin telah menyelesaikan berbagai tuntutan politik dan harapan rakyat, tetapi dari
perspektif hukum tata negara, hal tersebut masih mengandung persoalan. Persoalan
utama terkait dengan beragamnya batasan atau definisi hak atas kesehatan, padahal
batasan tersebut sangat penting bagi kepastian hukum. Tanpa batasan yang jelas,
akan sulit menentukan ruang lingkup tanggung jawab negara sebagaimana yang
ditegaskan dalam UUD 1945.

2.5 Dasar Hukum pelayanan kesehatan


Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan,maka
semakin berkembang juga aturan dan peranan hukum dalam mendukungpeningkatan
pelayanan kesehatan, alasan ini menjadi faktor pendorong pemerintah dan institusi
penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menerapkan dasar dan peranan hukum
dalam meningkatkan pelayanan kesehatanyang berorientasi terhadap perlindungan
dan kepastian hukum pasien. Dasar hukum pemberian pelayanan kesehatan secara
umum diatur dalam Pasal 53 UU Kesehatan, yaitu:
a. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangandan keluarga.
b. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
c.Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan
lainnya.
Kemudian dalam Pasal 54 UU Kesehatan juga mengatur pemberian pelayanan
kesehatan, yaitu:
a. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung
jawab, aman,bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
b. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
c. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
Pelayanan kesehatan itu sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum,yang
mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan
dalam hal ini rumah sakit terhadap penerima pelayanan kesehatan, yang meliputi
kegiatan atau aktivitas professional di bidang pelayanan prefentifdan kuratifuntuk
kepentingan pasien.Secara khusus dalamPasal 29 ayat (1)huruf (b)UU Rumah Sakit,
rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.Peraturan atau dasar hukumdalam
setiap tindakan pelayanan kesehatan di rumah sakit wajib dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UUKesehatansebagai dasar dan ketentuan
umumdan ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf (b) UU Rumah Sakitdalam melakukan
pelayanan kesehatan. Dalam penyelenggaraan kesehatan di rumah sakit mencakup
segala aspeknya yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
Melalui ketentuan UU Kesehatan dan UU Rumah Sakitdalam hal ini pemerintah
dan institusi penyelenggara pelayanan kesehatan yakni rumah sakit, memiliki
tanggung jawab agar tujuan pembangunan di bidang kesehatan mencapai hasil yang
optimal, yaitu melalui pemanfaatan tenagakesehatan, saranadan prasarana, baik
dalam jumlah maupun mutunya, baik melalui mekanisme akreditasi maupun
penyusunan standar, harus berorientasi pada ketentuan hukum yang melindungi
pasien, sehingga memerlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis yang dapat
memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan,
dan memberidasar bagi pelayanan kesehatan.

2.6 Lahirnya Hak atas Kesehatan


Perkembangan konsepsi hak asasi manusia telah menempuh tiga tahap,
sehingga hak asasi manusiadapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu hak
asasi manusia generasi pertama, generasi kedua, dan generasi ketiga. Hak asasi
manusia generasi pertama adalah hak-hak asasi manusia dalam bidang sipil dan
politik, yang oleh T. Koopmans disebut sebagai de klassieke grondrechten(hak-hak
dasar yang klasik). Karakter hak asasi manusia generasi pertama tersebut adalah
negatif, karena menghendaki kebebasan dari suatu kekangan tertentu (freedom from).
Hak asasi manusia generasi kedua diwarnai dengan munculnya tuntutan hak-hak
asasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang disebut oleh T.Koopmans
sebagai de sociale grondrechten(hak-hak dasar sosial), dan karenanya berkarakter
positip (right to), sedangkan hak asasi manusia generasi ketiga ialah yang dikenal
dengan sebutan “solidarity rights”, yang memaknai hak asasi manusia bagi
pembangunan kesejahteraan masyarakat .
Hak atas kesehatan dalam hubungan dengan kategori hak asasi manusia
tersebut, sering dimasukkan dalam hak asasi manusia generasi kedua dan hak asasi
manusia generasi ketiga. Apabila hak atas kesehatan tersebut dikaitkan dengan
“kesehatan individu”, dia masuk ke dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya,
tetapi jika terkait dengan “kesehatan masyarakat”, dia masuk ke dalam hak atas
pembangunan. Menurut Muladi, kategori hak asasi manusia generasi ketiga
diberikan kepada hak-hak kolektif atas dasar solidaritas antar umat
manusiaberlandaskan rasa persaudaraan dan solidaritas yang sangat dibutuhkan.
Hak asasi manusia ini mencakup antara lain “ the right to development right to peace
and the right to healthy and balanced environment ”. Pemahaman ketiga kategori hak
asasi manusia tersebut tidak boleh bersifat “fragmented” karena akan menimbulkan
stratifikasi kualitas. Padahal maksudnya hanyalah untuk memudahkan identifikasi.
Perlakuan terhadap hak asai manusia di samping universal, harus bersifat “indivisible
and interdependent”.
Sejak kesehatan diakui sebagai sebagai salah satu hak asasi manusia, dalam
penerapannya terdapat berbagai pengertian. Hal tersebut tidak terlepas dari
pengertian ”kesehatan”. Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992
Tentang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pengertian yang luas itu berpengaruh bagi pemahaman terhadap kesehatan
sebagai hak asasi manusia. Dalam Pasal 4 Undang-undang itu ditegaskan bahwa
“setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan
yang optimal”, sedangkan Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan
bahwa “setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
11tahun 1992 Tentang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pengertian yang luas itu berpengaruh bagi pemahaman terhadap kesehatan sebagai
hak asasi manusia. Dalam Pasal 4 Undang-undang itu ditegaskan bahwa “setiap
orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal”, sedangkan Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan bahwa
“setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Antara kalimat
“memperoleh derajat kesehatan” dan “memperoleh pelayanan kesehatan” tentunya
mempunyai pengertian yang berbeda. Terdapat kesan bahwa “memperoleh derajat
kesehatan” memiliki makna yang lebih luas daripada “memperoleh pelayanan
kesehatan”, sebab menurut undang-undang tersebut memperoleh pelayanan
kesehatan adalah sebagian dari hak memperoleh derajat kesehatan. Namun
demikian, tidak dapat dikatakan dengan tergesa-gesa bahwa perlindungan hak asasi
manusia di bidang kesehatan dalam UUD 45 lebih sempit daripada yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992.
Dalam kepustakaan kesehatan, terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk
menyebut hak asasi manusia di bidang kesehatan, seperti “hak asasi atas kesehatan”
(Human Right to Health), atau “hak atas kesehatan”(Right to Health), atau “hak
memperoleh derajat kesehatan yang optimal” (The Right to Attainable Standard To
Health).24Hukumberkepentingan bukan pada istilah, melainkan pada makna yang
terkandung dalam istilah tersebut. Apalagi setelah UUD 45 memberikan jaminan
konstitusional terhadap hak atas kesehatan, mengenali hak tersebut secara benar
menjadi sangat penting bagi hukum.
Sejalan dengan perkembangan hak asasi manusia yang dinamis, suatu hak
asasi manusiacenderung melahirkan hak-hak baru atau melahirkan pengertian yang
baru. Sebagai contoh, hak atas pekerjaan yang semula merupakan spesifikasi dari hak
atas kesejahteraan, kemudian melahirkan hak baru yang lebih spesifik yaitu hak
mendapatkanupah yang layak. Demikian pula halnya dengan hak atas kesehatan,
pada awalnya hanya berkaitan dengan perawatan kesehatan (medical care), tetapi
kemudian berkembang meliputi berbagai aspek baik individu maupun kesehatan
masyarakat dan lingkungan.
Jadi hak atas kesehatan sebagai suatu hak asasi manusia adalah suatu
pengertian”genus”, yang merupakan rangkaian dari sekelompok hak-hak spesifik.

2.7 Isu HAM dalam praktek pelayanan Kesehatan


Tahun 2015 merupakan tahun awal pertaruhan politik di bawah era
kepemimpinan presiden baru. Transisi kepemimpinan dari Susilo Bambang
Yudhoyono ke Joko Widodo akan banyak memberi perubahan pada berbagai
kebijakan di sektor kunci terutama sektor kesehatan. Salah satu isu yang kurang
mendapat perhatian pada tahun itu adalah terkait mutu pelayanan kesehatan. Outlook
ini memberi gambaran peluang dan tantangan dalam upaya meningkatkan mutu
layanan kesehatan dalam era JKN. Outlook ini ditujukan bagi pemerhati sistem
kesehatan, regulator, fasilitas kesehatan, masyarakat, media massa maupun
pelaksana dalam sistem JKN.
Tepat hari Kamis (1 Januari 2015) lalu, sistem Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) "merayakan" ulang tahun pertama. Sistem ini dirancang untuk menjamin
ketersediaan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa
kecuali. Dalam setahun perjalanan JKN, banyak harapan yang belum optimal tercapai
termasuk aspek mutu dalam pelayanan kesehatan.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 telah mengeluarkan
dokumen dengan judul: Quality of Care "a Process For Making Strategic Choices in
Health System". Dalam dokumen ini WHO mengidentifikasi setidaknya enam dimensi
mutu pelayanan kesehatan yang perlu diwujudkan oleh setiap negara, yaitu pelayanan
kesehatan yang: efektif, efisien, mudah diakses, aman, tepat waktu dan
mengutamakan pasien.
Aksesibilitas adalah dimensi yang paling sering diukur dan diklaim
keberhasilannya antara lain bahwa semua penduduk Indonesia dapat mendaftar
BPJS. Meskipun kemudian akses lebih lanjut ke pelayanan kesehatan sering menjadi
pertanyaan seperti yang terjadi diberbagai provinsi terpencil yang memiliki
keterbatasan SDM kesehatan dan sumber daya lain. Dimensi mutu lainnya seperti
efektifitas, efisiensi, aman, tepat waktu, dan mengutamakan pasien belum diukur.

Sepanjang tahun 2014, media dihebohkan dengan berbagai isu pelayanan


kesehatan dalam sistem JKN. Mulai isu tentang pasien yang ditolak berobat hingga
menemui ajal, rumah sakit yang "membuang" pasien, hingga dokter kandungan yang
dipenjara karena tuduhan melalaikan pasien. Apa sebab terjadinya berbagai kondisi
semacam ini? Bila dilihat melalui sudut pandang "rantai efek peningkatan mutu
pelayanan kesehatan" dari Donald Berwick (bagan 2), kondisi ini disumbang oleh
berbagai faktor penyebab. Mulai dari regulator, provider (level organisasi), dan tenaga
kesehatan (level mikro) berperan dalam dalam terjadinya kondisi tersebut.
Pada level regulator, kebijakan yang diberlakukan dalam era JKN ini bersifat "pasang
surut", dimana satu kebijakan diberlakukan namun tidak disertai dengan rangkai
kebijakan lainnya. Misalnya Jaminan Kesehatan Nasional telah berupaya
mengendalikan harga melalui penerapan kapitasi dan INA-CBGs, namun tidak
disertai dengan pengembangan sistem remunerasi baru bagi tenaga kesehatan.
Kemudian negara telah menyusun regulasi mengenai kemudahan pendaftaran
peserta BPJS, namun tidak disertai dengan upaya pemerataan fasyankes dan SDM-
nya. Lalu, pemerintah telah menyusun regulasi mengenai sistem rujukan namun
kurang memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan mutu Puskesmas
dibanding RS, dan kurang mendorong pengembangan sistem rujukan daerah,
regional hingga nasional serta prosedur detail rujukan untuk kasus-kasus spesifik
seperti KIA dan wabah.

BPJS Telah menetapkan persyaratan ijin dan akreditasi untuk provider namun tidak
terlibat dalam merevisi standar perijinan dan akreditasi agar memiliki kaitan yang
kuat dengan JKN. Di sisi lain, proses akreditasi RS belum memastikan adanya
peningkatan mutu yang diterima oleh pasien. Sedangkan standar akreditasi
Puskesmas hingga kini belum juga diterbitkan.

Pada level organisasi, tidak banyak perubahan manajerial dalam pengelolaan


sarana pelayanan kesehatan. Hingga detik-detik terakhir pelaksanaan JKN, banyak
RS ataupun Puskesmas tidak memiliki persiapan yang cukup, mereka masih
menjalankan organisasi seperti sebelumnya. Tidak banyak perubahan yang
dilakukan baik dalam pelayanan utama maupun pelayanan penunjang seperti yang
diidentifikasi oleh Michel Porter dalam Model Value Chain (1985).

Pengelolaan manajemen pelayanan klinis (clinical care) sebagai pelayanan utama


tidak banyak berubah, pelayanan masih diberikan seperti sebelumnya, pendekatan
tim, penerapan clinical governance, penerapan continium of care masih belum
banyak dilakukan. Pelayanan penunjang seperti pengelolaan SDM sebagai tulang
punggung utama sarana pelayanan kesehatan tidak banyak mengalami perubahan,
perhitungan jumlah SDM terlambat mengantisipasi peningkatan jumlah pasien,
perhitungan remunerasi juga tidak berubah masih banyak yang berbasis fee for
service. Pengelolaan keuangan juga belum menghitung secara cermat posisi
keuangan RS terhadap pola INA CBGs ataupun Puskesmas dengan kapitasinya.
Penggunaan IT juga tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Minimnya intervensi regulasi maupun manajerial membuat berbagai alat


peningkatan mutu di dalam aspek teknis pelayanan kesehatan juga tidak banyak
diterapkan, atau diterapkan tanpa terkait dengan upaya peningkatan mutu dalam
JKN.

Dalam buku Quality by Desain: A Clinical Microsystem Approach (Nelson, Batladen


dan Godfrey, 2007) disebutkan berbagai tools peningkatan mutu klinis di tingkat
mikro, seperti penerapan siklus PDSA/PDCA, FMEA, RCA, Audit Medik/Klinik,
Clinical Pathways, penggunaan indikator klinis dan sebagainya. Berbagai indikator
ini telah dijalankan oleh berbagai RS namun belum terkait langsung dengan JKN,
BPJS pun belum mengintegrasikan berbagai tools tersebut kedalam program
evaluasinya.

Dampak dari ketiadaan upaya perbaikan di tingkat mikro membuat adanya perilaku
para klinisi yang bekerja tidak sesuai SOP. Tenaga-tenaga kesehatan ini juga
menurunkan standar pelayanan yang diberikan kepada pasien akibat adanya
persepsi tarif INA CBG's yang rendah. Sistem kapitasi "menciptakan" mindset
tenaga kesehatan untuk "lebih rajin" merujuk pasien dan kurang giat bekerja (money
oriented). Bahkan, ada juga yang sampai melakukan kecurangan dalam pelayanan
kesehatan (fraud). Sepanjang tahun 2014 lalu potensi fraud layanan kesehatan
sudah terdeteksi banyak terjadi di rumah sakit. Bukan tidak mungkin di tahun 2015
fraud akan semakin besar. Ini berpotensi meningkatkan biaya kesehatan dan
menurunkan mutu pelayanan kesehatan.

Kegiatan-kegiatan maupun perilaku yang dilakukan oleh regulator hingga level mikro
sistem berdampak secara tidak langsung kepada pasien, selaku pengguna layanan
kesehatan. Boleh dikatakan saat tahun 2014, pasien merasa senang dan terbantu
dengan adanya JKN ini. Mereka berbondong-bondong untuk menjadi peserta BPJS.
Namun, di balik respon baik pasien untuk menjadi peserta BPJS, mereka tidak serta
merta paham hak dan kewajiban sebagai peserta. Beberapa pasien BPJS diketahui
diminta untuk membeli obat di luar rumah sakit, ditolak secara halus di rumah sakit
dengan alasan bahwa pelayanan yang dibutuhkan tidak ditanggung BPJS, hingga
benar-benar tidak dilayani di rumah sakit dengan optimal. Bila kejadian ini
berlangsung terus, bukan tidak mungkin peserta akan kecewa dan tidak percaya lagi
dengan sistem ini. Bahkan, bukan tidak mungkin, pasien-pasien yang paham dan
proaktif dapat melakukan tuntutan kepada provider.

Seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan sektor kesehatan perlu bekerja sama
untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik. Mulai dari level
regulator hingga level mikro untuk menjamin pelaksanaan program JKN yang lebih
baik. Masing-masing pihak perlu melakukan terobosan untuk menjawab tantangan
yang terjadi di tahun 2015 ini (mengisi titik-titik pada bagan 2 diatas).
Regulator perlu memperbaiki standar dan proses perijinan,, sertifikasi mutu serta
keselamatan, mengembangkan sistem dan melakukan upaya pemerataan fasyankes
dan SDM-nya, memberikan informasi kepada masyarakat dan media masa
mengenai tingkat mutu sarana pelayanan kesehatan, mengembangkan sistem
rujukan daerah, regional hingga nasional. Sistem perijinan dan akreditasi tersebut
juga harus dibuktikan dapat memberikan dampak perbaikan baik ditingkat
organisasi, tingkat mikro dan yang utama perbaikan pelayanan yang dirasakan oleh
pasien/masyarakat.

Regulator juga perlu mengembangkan sistem anti fraud dalam pelayanan kesehatan
dengan cara: penyusunan Permenkes mengenai Upaya Pencegahan, Deteksi dan
Penindakan Fraud dalam JKN; mendorong penyusunan dan pengesahan Pedoman
Nasional Praktek Kedokteran (PNPK) dari berbagai organisasi profesi; mendorong
penyusunan dan implementasi Clinical Pathway di RS sebagai salah satu upaya
efisiensi dan mencegah fraud layanan kesehatan; Blended learning anti fraud bagi
Dinkes di samping bagi RS; Realisasi pembentukan lembaga anti fraud di level
sarana pelayanan kesehatan, BPJS dan Kemenkes/Dinkes; mendorong
penggunaan IT untuk melakukan pencegahan, deteksi, dan penindakan fraud di
internal RS dan BPJS; serta membangun kemitraan dengan berbagai pihak untuk
mendukung terbentuknya sistem Pencegahan, Deteksi, dan Penindakan Fraud
dalam era JKN.

Pada level organisasi, perlu dipastikan penerapan clinical governance dan


penerapan continium of care sebagai basis pelayanan klinis. Memastian pelayanan
penunjang seperti pengelolaan SDM terkait dengan perhitungan jumlah SDM dan
perhitungan remunerasi. Perhitungan secara cermat posisi keuangan RS terhadap
pola INA CBGs ataupun Puskesmas dengan kapitasinya. Penggunaan IT untuk
mengukur dan meningkatkan mutu pelayanan. Memastikan berbagai tools
peningkatan mutu klinis dapat diterapkan di RS dan Puskesmas, seperti penerapan
siklus PDSA/PDCA, FMEA, RCA, Audit Medik/Klinik, Clinical Pathways, penggunaan
indikator klinis dan sebagainya.

Berbagai tools tersebut memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap


program JKN yang saat ini berjalan. Namun, dengan pemanfaatan tools ini
diharapkan faskes dapat mengoptimalkan pelayanan yang diberikan kepada pasien
JKN sehingga meningkatkan kepercayaan peserta terhadap program JKN ini. Selain
itu, tools peningkatan mutu klinis seperti audit medik/ klinik dan clinical pathways
membantu mengidentifikasi pelayanan medis yang tidak sesuai dan tidak efisien.
Dengan penggunaan tools mutu ini kejadian-kejadian tidak diharapkan dalam
pelaksanaan JKN dapat diminimalisir.

Terakhir, namun juga terpenting dari sisi akuntabilitas JKN adalah perlunya
menetapkan indikator mutu untuk setidaknya enam dimensi mutu pelayanan
kesehatan yaitu: efektif, efisien, mudah diakses, aman, tepat waktu dan
mengutamakan pasien. Kemudian melakukan proses pengukuran secara periodik
dan analisa serta sosialisai kepada berbagi pihak terkait.
2.8 Pelanggaran HAM dibidang Kesehatan

Pengertian pelanggaran HAM menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999


yakni “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara,
baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang
adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

Pelanggaran HAM dibidang kesehatan adalah suatu kegiatan, peristiwa


maupun aktivitas yang terjadi atas seorang manusia dengan perlakuan yang tidak
pantas atau memperlakukan manusia layaknya bukan sebagai manusia.

Macam- macam pelanggaran HAM dibidang kesehatan ;

1. Aborsi : menurut konstruksi yuridis peraturan perundang-undangan di


Indonesia adalah tindakan mengugurkan atau mematikan kandungan yang
dilakukan dengan sengaja oleh seoarang wanita atau orang yang disuruh
melakukan untuk itu. Wanita hamil dalam hal ini adalah wanita yang hamil
atas kehendaknya ingin mengugurkan kandungannya, sedangkan tindakan
yang menurut KUHP dapat disuruh untuk membantu melakukan aborsi
adalah tabib, bidan atau juru obat.

2. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT): adalah setiap perbuatan terhadap


seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.

3. Tindakan Asusila terhadap anak- anak dan wanita : termasuk sebagai kasus
asusila seperti pemerkosaan dan percabulan.

4. Pelanggaran HAM bidang kesehatan lainya : pada era globalisasi seperti


sekarang ini banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi dalam dunia
kesehatan. Misalnya dana JAMKESMAS untuk untuk masyarakat prasejaterah
yang tidak tersalurkan dengan baik atau ada yang harus ditolak oleh pihak
rumah sakit karena mengalami masalah administrasi. Pelanggaran HAM dalam
bidang kesehatan lainnya adalah perbudakan, penyiksaan, penembakan
dan pembantaian terhadap manusia.

Contoh kasus :

1. Pertanggung jawaban pelanggaran Hak atas kesehatan dalam kasus Vaksin


palsu (2003). Terbongkarnya praktik perdagangan dan penggunaan vaksi palsu
menggambarkan lemahnya perlindungan hak atas kesehatan bagi warga negara.
Hak atas kesehatan adalah hak yang dijamin oleh Konstitusi RI dan instrumen
internasional HAM. Negara memiliki kewajiban generik untuk mempromosikan,
melindungi, dan memenuhi hak asasi tersebut. Peristiwa pelanggaran ini juga
menggambarkan bahwa negara abai dalam mengawasi supply chain vaksin bagi
warga negara. Kelalaian negara yang dalam hal ini dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanandapat dikualifikasi
sebagai tindak by omission/ pembiaran yang dilakukan oleh negara. Apalagi
peristiwa tersebut berlangsung sejak 2003.Penggunaan vaksin palsu di 14 rumah
sakit dan 8 klinik di Jabodetabek hanyalah kasus yang terekspos.

Kejahatan pada sektor kesehatan, sebelumnya juga terjadi dalam kasus jual beli
ginjal yang diprakarsai oleh pebisnis rumah sakit. Terbongkarnya praktik vaksin
palsu untuk mengeruk keuntungan oleh pihak rumah sakit dapat dijadikan pintu
masuk mengembangkan penyelidikan mengenai pelanggaran atau kejahatan lain
yang dilakukan sektor bisnis kesehatan.

Setiap kepala rumah sakit pengguna vaksin palsu harus dimintai


pertanggungjawabannya. Kepala rumah sakit merupakan unsur yang paling
bertanggung jawab dalam kasus vaksin palsu. Berdasarkan UU No. 44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit, kepala rumah sakit layaknya direktur utama (Chief
Executive Officer) dalam sebuah perseroan. Setiap kegiatan rumah sakit tidak
mungkin tidak diketahui oleh kepala rumah sakit. Apalagi pengadaan farmasi vital
berupa vaksin. Apa yang dilakukan oleh rumah sakit pengguna vaksin palsu dapat
tergolong sebagai kejahatan korporasi yang menuntut pertanggungjawaban
pimpinan tertinggi korporasi tersebut. Polri harus memastikan pimpinan RS
dimintai pertanggungjawaban hukum.

Selain elemen rumah sakit, negara, dalam hal ini Menteri Kesehatan dan BPOM
harus dimintai pertanggungjawaban tidak cukup hanya dengan melakukan
vaksinasi ulang tetapi juga memastikan terbentukan kebijakan dan tata kelola baru
distribusi kefarmasian yang akuntabel dan melindungi hak warga negara.

Untuk melaksanakan hal tersebut, pemerintah dapat menggunakan acuan


internasional berupa United Nations Guiding Principles on Business and Human
Rights (UNGPs), sebuah dokumen yang khusus dikeluarkan oleh PBB dalam
rangka melindungi warga negara dari pelanggaran HAM oleh sektor bisnis.
Dokumen yang disetujui Indonesia pada forum PBB 2011 silam, hingga sampai
saat ini belum diimplementasikan secara nyata di setiap kegiatan bisnis. Di dalam
dokumen tersebut terdapat kewajiban audit hak asasi manusia sehingga
menjamin perlindungan HAM dari operasionalisasi kegiatan bisnis di Indonesia,
termasuk sektor bisnis kesehatan.

2. Pembuangan pasien lanjut usia, Suparman (65) oleh Rumah Sakit Umum
Dadi Tjokrodipo (RSUDT) Bandar Lampung.Suparman salah satu pasien
RSUD A Dadi Tjokrodipo (Bandar Lampung) ini dibuang oleh pihak rumah sakit.
Kasubag Umum dan Humas Heriyansyah dan Kepala Ruang Rawat Inap E2
Mahendri menjadi otak pelaku dibuangnya kakek renta malang tersebut. Kepada
penyidik, satu dari enam pelaku yang sudah dibekuk, Andika membeberkan awal
mula dibuangnya kakek Suparman. "Ya, memang dia yang menyuruh saya untuk
membuang pasien kakek itu. Mereka menyuruh untuk dibuang ke pasar, dengan
alasan biar ada yang memberi makan si kakek," kata Andika, salah satu
tersangka pembuangan pasien, di Bandar Lampung, Selasa (4/2) seperti dikutip
Antara.

Mahendri, lanjutnya, menyuruh dirinya bersama Andi dan Adi untuk tidak kembali ke
rumah setelah jam kerja mereka usai. Namun, hingga pukul 15.00 WIB ketiganya
tidak mendapati kedatangan Mahendri. Alhasil, mereka pun memutuskan untuk
kembali ke rumah masing-masing.

"Saat itu, saya mau pulang ke rumah, namun dalam perjalanan pulang mendapat
telepon dari perawat ruang E2 Erik yang minta untuk kembali ke rumah sakit,"
bebernya.

Setibanya di Rumah Sakit, Andika mendapati kakek Suparman tengah dipapah ke


dalam ambulans yang di dalamnya telah terdapat Mahendri, Heriyansah,
Muhaimin, dan Rika. Heriyansyah dan Mahendri pun langsung menyuruh Andika
dan kedua rekannya untuk segera membuang pasien kakek malang tersebut.

Lantaran yang memerintahakan ketiganya merupakan pimpinan, mereka pun


langsung menurutinya. Andika klaim saat di dalam perjalanan rasa iba terhadap
Kakek Suparman pun muncul dan memutuskan untuk membuang korban di
sebuah gubuk yang terletak di Sukadanaham Kecamatan Tanjungkarang Barat.

Usai membuang kakek Suparman, para pelaku diminta berkumpul di sebuah


ruangan oleh Heryansyah. Rupanya pada pertemuan itu, Heriyansyah
memerintahkan kepada para pelaku yakni, Rika, Andi, Adi, Mahendri dan Andika
untuk merekayasa kejadian tersebut.

"Heriyansah minta kami untuk merekayasa cerita bahwa kakek itu memberontak dan
mengamuk, kemudian melompat keluar dari mobil," paparnya.

Sementara itu sopir ambulans yang juga dijadikan tersangka, Muhaimin


mengungkapkan jika dirinya dihubungi Mahendri agar segera membawa mobil
ambulans ke belakang rumah sakit.

"Di belakang sudah ada Mahendri dan Heriyansyah. Kedua atasan saya itu langsung
menyuruh saya untuk membuang seorang pasien bernama Suparman yang
dirawat di ruang rawat inap E2, pada Senin (20/1), sekitar pukul 14.00 WIB,"
bebernya. pelanggaran HAM dari kasus diatas yaitu kebutuhan atas pelayanan
kesehatan ,upaya supaya kasus tersebut tidak terjadi lagi yaitu pemerintah
memberi perhatian lebih kepada kepada orang yang tidak mampu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah Hak
Asasi Manusia adalah Hak yang sudah tertanam semenjak dilahirkan
kedunia, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengganggu hak orang
lain. Apalagi Hak atas kesehatan yang sudah diberikan kepada masing-
masing orang diamana setiap orang wajib mendapatkanya kesehatan,
Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara
kondisional. Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan mampu
memperoleh hak-haknya yang lain. Seseorang yang tidak sehat dengan
sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh
dan menjalani pekerjaan yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk
berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat, dan tidak bisa
memperoleh pendidikan demi masa depannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku dan Jurnal
• Alexandre Ide, Etika & Hukum dalam Pelayanan Kesehatan,
(Yogyakarta:Grasia Book Publisher), 2012), hlm. 166.
• Sri Soemantri, Refleksi HAM di Indonesia, Makalah Penataran Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum HAM, UGM-ICRC, 1998
• Rudi M. Rizki, Beberapa Catatan tentang Hak Atas Kesehatan, Makalah pada
Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia, IDI-University of Washington-
UPLFT, Jakarta, 2003
• Randall, Vernellia R., The Human Rights to Health, Website: Http://academic.
udayton.edu
• Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum,
Gaya Media Pratema, Jakarta, 1988.
• Nickel, James W., Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
• Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia Suatu
Perbandingan Dalam Syariat Islam dan Perundang-undangan Moderen,
Terjemahan Hasanudin, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993
• Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori, dan Praktek dalam
Pergaulan Internasional, terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta, 1974.

2. Document dan Blog


• https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/KESEHATAN-
SEBAGAI-HAK-ASASI-MANUSIA.pdf
• Basic Document World Health Organization, Thirty Edition, 1988

Anda mungkin juga menyukai