Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ISU HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM PRAKTEK
PELAYANAN KESEHATAN’’. Adapun pembahasan ini, bertujuan untuk
mengetahui peran dan isu hak asasi manusia dalam praktek pelayanan
masyarakat.
Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini jauh dari kata
sempurna, dari segi pembahasan maupun penulisan. Kami mohon maaf
jika dalam makalah ini terdapat banyak penggunaan kata yang kurang
tepat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada manusia karena
kelahirannya sebagai manusia. Hak-hak tersebut diperoleh bukan pemberian orang lain
ataupun negara, tetapi karena kelahirannya sebagai manusia. Dalam konteks religius hak-hak
ini merupakan karunia Tuhan, dan hanya Tuhanlah yang berhak mencabutnya. Karena HAM
merupakan hak yang diperoleh saat kelahirannya sebagai manusia, maka HAM meliputi hak-
hak yang apabila dicabut atau dikurangai akan mengakibatkan berkurang derajat
kemanusiaannya. Ukuran derajat kemanusiaan selalu berkembang sesuai dengan peradaban
masyarakatnya.
Hak Atas Kesehatan, kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan
sosial yang memungkin setiap orang produktif secara ekonomis (Ps. 1 point (1) UU Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya
derajat kemanusiaan. Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional.
Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-haknya yang lain. Seseorang
yang tidak sehat dengan sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh
dan menjalani pekerjaan yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk berserikat dan
berkumpul serta mengeluarkan pendapat, dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa
depannya. Singkatnya, seseorang tidak bisa menikmati sepenuhnya kehidupan sebagai
manusia. Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang
diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain telah diakui secara internasioal.Hak atas
kesehatan meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang sehat, hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, dan perhatian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak.
Kegiatan pelayanan kesehatan secara paripurna diatur dalam Pasal 52 ayat (2) UU
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
a. Pelayanan kesehatan promotif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan.
b. Pelayanan kesehatan preventif, suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu
masalah kesehatan/penyakit.
c. Pelayanan kesehatan kuratif, suatu kegiatandan/atauserangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, pengendalian kecacatan
agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
d. Pelayanankesehatan rehabilitatif, kegiatandan /atau serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat, semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Berdasarkan uraian di ataspelayanan kesehatan yang diselenggarakan di
puskesmas, klinik, dan rumah sakit diatur secara umumdalam UU
Kesehatan,dalam Pasal 54 ayat (1) UU Kesehatan berbunyi bahwa
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggungjawab,
aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. Dalam hal ini setiap orang atau
pasien dapat memperoleh kegiatan pelayanan kesehatan secara professional,
aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif serta lebih mendahulukan pertolongan
keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
Memuat ketentuan jaminan hak asasi manusia, termasuk hak atas kesehatan, ke
dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sebuah komitmen politik Negara, hal ini
mungkin telah menyelesaikan berbagai tuntutan politik dan harapan rakyat, tetapi dari
perspektif hukum tata negara, hal tersebut masih mengandung persoalan. Persoalan
utama terkait dengan beragamnya batasan atau definisi hak atas kesehatan, padahal
batasan tersebut sangat penting bagi kepastian hukum. Tanpa batasan yang jelas,
akan sulit menentukan ruang lingkup tanggung jawab negara sebagaimana yang
ditegaskan dalam UUD 1945.
BPJS Telah menetapkan persyaratan ijin dan akreditasi untuk provider namun tidak
terlibat dalam merevisi standar perijinan dan akreditasi agar memiliki kaitan yang
kuat dengan JKN. Di sisi lain, proses akreditasi RS belum memastikan adanya
peningkatan mutu yang diterima oleh pasien. Sedangkan standar akreditasi
Puskesmas hingga kini belum juga diterbitkan.
Dampak dari ketiadaan upaya perbaikan di tingkat mikro membuat adanya perilaku
para klinisi yang bekerja tidak sesuai SOP. Tenaga-tenaga kesehatan ini juga
menurunkan standar pelayanan yang diberikan kepada pasien akibat adanya
persepsi tarif INA CBG's yang rendah. Sistem kapitasi "menciptakan" mindset
tenaga kesehatan untuk "lebih rajin" merujuk pasien dan kurang giat bekerja (money
oriented). Bahkan, ada juga yang sampai melakukan kecurangan dalam pelayanan
kesehatan (fraud). Sepanjang tahun 2014 lalu potensi fraud layanan kesehatan
sudah terdeteksi banyak terjadi di rumah sakit. Bukan tidak mungkin di tahun 2015
fraud akan semakin besar. Ini berpotensi meningkatkan biaya kesehatan dan
menurunkan mutu pelayanan kesehatan.
Kegiatan-kegiatan maupun perilaku yang dilakukan oleh regulator hingga level mikro
sistem berdampak secara tidak langsung kepada pasien, selaku pengguna layanan
kesehatan. Boleh dikatakan saat tahun 2014, pasien merasa senang dan terbantu
dengan adanya JKN ini. Mereka berbondong-bondong untuk menjadi peserta BPJS.
Namun, di balik respon baik pasien untuk menjadi peserta BPJS, mereka tidak serta
merta paham hak dan kewajiban sebagai peserta. Beberapa pasien BPJS diketahui
diminta untuk membeli obat di luar rumah sakit, ditolak secara halus di rumah sakit
dengan alasan bahwa pelayanan yang dibutuhkan tidak ditanggung BPJS, hingga
benar-benar tidak dilayani di rumah sakit dengan optimal. Bila kejadian ini
berlangsung terus, bukan tidak mungkin peserta akan kecewa dan tidak percaya lagi
dengan sistem ini. Bahkan, bukan tidak mungkin, pasien-pasien yang paham dan
proaktif dapat melakukan tuntutan kepada provider.
Seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan sektor kesehatan perlu bekerja sama
untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik. Mulai dari level
regulator hingga level mikro untuk menjamin pelaksanaan program JKN yang lebih
baik. Masing-masing pihak perlu melakukan terobosan untuk menjawab tantangan
yang terjadi di tahun 2015 ini (mengisi titik-titik pada bagan 2 diatas).
Regulator perlu memperbaiki standar dan proses perijinan,, sertifikasi mutu serta
keselamatan, mengembangkan sistem dan melakukan upaya pemerataan fasyankes
dan SDM-nya, memberikan informasi kepada masyarakat dan media masa
mengenai tingkat mutu sarana pelayanan kesehatan, mengembangkan sistem
rujukan daerah, regional hingga nasional. Sistem perijinan dan akreditasi tersebut
juga harus dibuktikan dapat memberikan dampak perbaikan baik ditingkat
organisasi, tingkat mikro dan yang utama perbaikan pelayanan yang dirasakan oleh
pasien/masyarakat.
Regulator juga perlu mengembangkan sistem anti fraud dalam pelayanan kesehatan
dengan cara: penyusunan Permenkes mengenai Upaya Pencegahan, Deteksi dan
Penindakan Fraud dalam JKN; mendorong penyusunan dan pengesahan Pedoman
Nasional Praktek Kedokteran (PNPK) dari berbagai organisasi profesi; mendorong
penyusunan dan implementasi Clinical Pathway di RS sebagai salah satu upaya
efisiensi dan mencegah fraud layanan kesehatan; Blended learning anti fraud bagi
Dinkes di samping bagi RS; Realisasi pembentukan lembaga anti fraud di level
sarana pelayanan kesehatan, BPJS dan Kemenkes/Dinkes; mendorong
penggunaan IT untuk melakukan pencegahan, deteksi, dan penindakan fraud di
internal RS dan BPJS; serta membangun kemitraan dengan berbagai pihak untuk
mendukung terbentuknya sistem Pencegahan, Deteksi, dan Penindakan Fraud
dalam era JKN.
Terakhir, namun juga terpenting dari sisi akuntabilitas JKN adalah perlunya
menetapkan indikator mutu untuk setidaknya enam dimensi mutu pelayanan
kesehatan yaitu: efektif, efisien, mudah diakses, aman, tepat waktu dan
mengutamakan pasien. Kemudian melakukan proses pengukuran secara periodik
dan analisa serta sosialisai kepada berbagi pihak terkait.
2.8 Pelanggaran HAM dibidang Kesehatan
3. Tindakan Asusila terhadap anak- anak dan wanita : termasuk sebagai kasus
asusila seperti pemerkosaan dan percabulan.
Contoh kasus :
Kejahatan pada sektor kesehatan, sebelumnya juga terjadi dalam kasus jual beli
ginjal yang diprakarsai oleh pebisnis rumah sakit. Terbongkarnya praktik vaksin
palsu untuk mengeruk keuntungan oleh pihak rumah sakit dapat dijadikan pintu
masuk mengembangkan penyelidikan mengenai pelanggaran atau kejahatan lain
yang dilakukan sektor bisnis kesehatan.
Selain elemen rumah sakit, negara, dalam hal ini Menteri Kesehatan dan BPOM
harus dimintai pertanggungjawaban tidak cukup hanya dengan melakukan
vaksinasi ulang tetapi juga memastikan terbentukan kebijakan dan tata kelola baru
distribusi kefarmasian yang akuntabel dan melindungi hak warga negara.
2. Pembuangan pasien lanjut usia, Suparman (65) oleh Rumah Sakit Umum
Dadi Tjokrodipo (RSUDT) Bandar Lampung.Suparman salah satu pasien
RSUD A Dadi Tjokrodipo (Bandar Lampung) ini dibuang oleh pihak rumah sakit.
Kasubag Umum dan Humas Heriyansyah dan Kepala Ruang Rawat Inap E2
Mahendri menjadi otak pelaku dibuangnya kakek renta malang tersebut. Kepada
penyidik, satu dari enam pelaku yang sudah dibekuk, Andika membeberkan awal
mula dibuangnya kakek Suparman. "Ya, memang dia yang menyuruh saya untuk
membuang pasien kakek itu. Mereka menyuruh untuk dibuang ke pasar, dengan
alasan biar ada yang memberi makan si kakek," kata Andika, salah satu
tersangka pembuangan pasien, di Bandar Lampung, Selasa (4/2) seperti dikutip
Antara.
Mahendri, lanjutnya, menyuruh dirinya bersama Andi dan Adi untuk tidak kembali ke
rumah setelah jam kerja mereka usai. Namun, hingga pukul 15.00 WIB ketiganya
tidak mendapati kedatangan Mahendri. Alhasil, mereka pun memutuskan untuk
kembali ke rumah masing-masing.
"Saat itu, saya mau pulang ke rumah, namun dalam perjalanan pulang mendapat
telepon dari perawat ruang E2 Erik yang minta untuk kembali ke rumah sakit,"
bebernya.
"Heriyansah minta kami untuk merekayasa cerita bahwa kakek itu memberontak dan
mengamuk, kemudian melompat keluar dari mobil," paparnya.
"Di belakang sudah ada Mahendri dan Heriyansyah. Kedua atasan saya itu langsung
menyuruh saya untuk membuang seorang pasien bernama Suparman yang
dirawat di ruang rawat inap E2, pada Senin (20/1), sekitar pukul 14.00 WIB,"
bebernya. pelanggaran HAM dari kasus diatas yaitu kebutuhan atas pelayanan
kesehatan ,upaya supaya kasus tersebut tidak terjadi lagi yaitu pemerintah
memberi perhatian lebih kepada kepada orang yang tidak mampu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah Hak
Asasi Manusia adalah Hak yang sudah tertanam semenjak dilahirkan
kedunia, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengganggu hak orang
lain. Apalagi Hak atas kesehatan yang sudah diberikan kepada masing-
masing orang diamana setiap orang wajib mendapatkanya kesehatan,
Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara
kondisional. Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan mampu
memperoleh hak-haknya yang lain. Seseorang yang tidak sehat dengan
sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh
dan menjalani pekerjaan yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk
berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat, dan tidak bisa
memperoleh pendidikan demi masa depannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku dan Jurnal
• Alexandre Ide, Etika & Hukum dalam Pelayanan Kesehatan,
(Yogyakarta:Grasia Book Publisher), 2012), hlm. 166.
• Sri Soemantri, Refleksi HAM di Indonesia, Makalah Penataran Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum HAM, UGM-ICRC, 1998
• Rudi M. Rizki, Beberapa Catatan tentang Hak Atas Kesehatan, Makalah pada
Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia, IDI-University of Washington-
UPLFT, Jakarta, 2003
• Randall, Vernellia R., The Human Rights to Health, Website: Http://academic.
udayton.edu
• Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum,
Gaya Media Pratema, Jakarta, 1988.
• Nickel, James W., Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
• Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia Suatu
Perbandingan Dalam Syariat Islam dan Perundang-undangan Moderen,
Terjemahan Hasanudin, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993
• Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori, dan Praktek dalam
Pergaulan Internasional, terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta, 1974.