Anda di halaman 1dari 182

Jaminan Kesehatan Universal

dan Pemenuhan Hak


Kesehatan

Ahmad Fuady

BADAN PENERBIT
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

i
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang -Undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau selu-
ruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin
editor dan penerbit.

Dicetak pertama kali oleh :


Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta, 2014

Pencetakan buku ini dikelola oleh :

Badan Penerbit FKUI, Jakarta


Website: www.bpfkui.com

Isi diluar tanggung jawab percetakan

ISBN

ii
Untuk yang tercinta;
Ayah, almarhum Hasuki bin Nasir
Mami, Ikrimah binti Rahmatullah Shiddiq
Istri, Diah Martina
Ananda, Birru Syaikhul Ulum

Umar bin Khattab ra. Berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi


wasallam bersabda: 
“Sesungguhnya setiap amal bergantung kepada niatnya. Oleh karenanya,
seseorang yang berhijrah karena Allah dan rasulNya shallallahu ‘alayhi
wasallam, hijrahnya akan mendapati Allah dan RasulNya shallallahu
‘alayhi wasallam. Dan jika seseorang berhijrah karena dunia, atau
untuk menikahi wanita, maka hijrahnya akan mendapatkan apa yang dia
inginkan tersebut.” 
[Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]

iii
iv
DAFTAR ISI

Singkatan .................................................................................... viii


Pendahuluan ................................................................................ 1
Mengapa harus membaca buku ini? ............................................ 3
Struktur Buku .............................................................................. 3
Metoda Analisis .......................................................................... 5
Referensi ..................................................................................... 7

BAB I
JAMINAN KESEHATAN UNIVERSAL .................................. 8
Perspektif Lain ................................................................ 15
Konsep Ekuitas dalam JKU ............................................ 16
Dampak Terhadap Sistem Kesehatan .............................. 23
Referensi ......................................................................... 32

BAB II
KESEHATAN DAN HAK KESEHATAN .................................. 35
Kesehatan dan Hak Asasi Manusia ................................. 35
Hak Kesehatan ................................................................. 39
Dampak Terhadap Sistem Kesehatan .............................. 41
Elemen Penting Dalam hak Kesehatan ........................... 51
Ketersediaan .................................................................... 51
Aksesibilitas .................................................................... 54
Penerimaan ...................................................................... 56
Kualitas ........................................................................... 56
JKU dan Hak Kesehatan ................................................. 59
Referensi ......................................................................... 65

v
BAB III
POLITIK DAN DESENTRALISASI ........................................ 67
Politik dan Kesehatan ........................................................ 67
Aktor Politik Dalam Politik Kesehatan ............................. 70
Desentralisasi .................................................................... 76
Referensi ........................................................................... 85

BAB IV
REFORMASI LAYANAN KESEHATAN INDONESIA .............. 88
Sistem Kesehatan Indonesia .............................................. 90
Aktor Politik dan Penyusunan Instrumen Hukum ............ 96
Dampak Terhadap Cakupan .............................................. 100
Referensi ............................................................................ 110

BAB V
PEMENUHAN HAK KESEHATAN
PELAJARAN DARI INDONESIA ............................................. 112
Ketersediaan ...................................................................... 112
Fasilitas Layanan Kesehatan ............................................. 113
Tenaga Kesehatan Professional dan Gajinya .................... 115
Obat-obatan dan Layanan Esensial ................................... 125
Fasilitas Sanitasi ................................................................ 129
Aksesibilitas ...................................................................... 131
Aksesibilitas Fisik ............................................................. 131
Aksesibilitas Ekonomi ....................................................... 133
Aksesibilitas Informasi Terkait Kesehatan ........................ 136

vi
Penerimaan ........................................................................ 137
Kualitas .............................................................................. 142
Referensi ........................................................................... 153

BAB VI
SIMPULAN: TINDAK LANJUT .............................................. 157
Tindak Lanjut .................................................................... 159
1.1 Peningkatan Cakupan ................................................. 160
1.2 Peningkatan Ketersediaan .......................................... 162
1.3 Memperluas Aksesibilitas ........................................... 166
1.4 Penerimaan Yang Lebih Baik ..................................... 168
1.5 Meningkatkan Kualitas ............................................... 171
Referensi ........................................................................... 171

Riwayat Penulis .......................................................................... 173

vii
SINGKATAN

Askes : Asuransi Kesehatan


Askeskin : Asuransi Kesehatan Rakyat Miskin
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPS : Badan Pusat Statistik
IBI : Ikatan Bidan Indonesia
IDI : Ikatan Dokter Indonesia
ILO : International Labor Organization
Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah
Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat
Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JLN : Joint Learning Network
JPKM : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
JPS : Jaringan Pengaman Sosial
KAJS : Komite Aksi Jaminan Sosial
Kemenkes : Kementerian Kesehatan
KKI : Konsil Kedokteran Indonesia
LSM : Lembaga Sosial Masyarakat
MKDKI : Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
MKEK : Majelis Kode Etik Kedokteran
MKKI : Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia
PPNI : Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
Pustu : Puskesmas pembantu
SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional
WHO : World Health Organization

viii
ix
PENDAHULUAN

Setelah implementasi di banyak negara berpendapatan tinggi,


implementasi jaminan kesehatan universal (JKU) menjadi tren di banyak
negara dengan pendapatan rendah dan sedang, termasuk Indonesia.1–3
Bahkan, beberapa negara, seperti Thailand, telah menunjukkan kemajuan
yang signifikan dan menjadi contoh bagi negara berkembang lain. Upaya
ini tidak hanya didasari pada tren dan ‘kewajiban’, namun juga didasari
pada faktor kebutuhan perbaikan status kesehatan masyarakat. JKU,
dengan beragam perspektif dan pendekatannya, diharapkan mampu
menjadi strategi ampuh bagi perbaikan kesehatan masyarakat.
Keinginan untuk memenuhi hak kesehatan masyarakat juga menjadi
faktor pendorong munculnya beragam upaya untuk mencapai JKU. Hak
kesehatan secara umum tidak dianggap sebagai hak untuk sehat, namun
menjadi sebuah kewajiban bagi Negara untuk menjamin hak masyarakat
secara progresif untuk mengakses layanan kesehatan dan segala determinan
dasar kesehatan.4–6 Hak ini menjadi sebuah kewajiban bagi Negara untuk
membangun sistem kesehatan yang memberikan kesempatan yang setara
bagi seluruh masyarakat dalam menikmati standar kesehatan tertinggi
yang dapat dicapai (the highest attainable standar of health).4,7 Hak ini
juga mencakup jaminan akses terhadap layanan kesehatan tanpa adanya
diskriminasi dan tatalaksana medis dengan paksaan. Salah satu kewajiban
utama dalam pemenuhan hak kesehatan adalah menjamin ketersediaan
layanan dan obat-obatan primer yang esensial serta perhatian khusus
pada kelompok yang kurang beruntung, misalnya kelompok rentan, orang
dengan disabilitas, dan masyarakat miskin. Karena setiap orang memiliki
hak terhadap standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat
dicapai, Negara wajib membangun sistem kesehatan yang efektif.5 Sistem
kesehatan yang dibangun kemudian harus dievaluasi terkait pencapain
pemenuhan hak kesehatannya, misalnya dengan salah satu pendekatan
pengukuran ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas layanan

1
kesehatan. Selain itu, layanan kesehatan harus dapat dijangkau oleh seluruh
masyarakat dan didasarkan pada prinsip kesetaraan.4,7
Beberapa instrumen hukum internasional telah menekankan
pentingnya pemenuhan hak kesehatan. Konstitusi WHO (1946), the
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right, Article
12 (1966), Deklarasi Alma-Alta (1978), dan the Ottawa Charter of Health
Promotion (1986)8 berupaya memberikan penekanan hak kesehatan dengan
pendekatannya masing-masing. Indonesia sendiri telah melakukan beberapa
upaya terkait pemenuhan hak kesehatan, terutama akselerasi pembangunan
dan reformasi sistem kesehatan setelah krisis ekonomi di tahun 1998.
Upaya tersebut dimulai dengan menyusun skema asuransi nasional untuk
rakyat miskin. Reformasi sistem kesehatan terus berlanjut dan mengubah
struktur sistem layanan kesehatan dengan disahkannya Undang-Undang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di tahun 2004. Melalui perjuangan
politik yang panjang, akhirnya Indonesia, melalui pemerintah dan DPR,
mengesahkan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di tahun
2011 dan menetapkan rencana implementasi sistem jaminan kesehatan
universal –dengan nama Jaminan Kesehatan Nasional, di tahun 2014.9
Beragam upaya yang dijalankan di Indonesia untuk mencapai pemenuhan
hak kesehatan dan JKU menghasilkan banyak pelajaran berharga. Namun
demikian, perlu evaluasi dan telaah apakah berbagai upaya tersebut telah
menghasilkan realisasi progresif, baik dalam hal JKU maupun pemenuhan
hak kesehatan. Buku ini hadir untuk menjawab pertanyaan tersebut: apakah
–dan sejauh mana, Indonesia telah berhasil memenuhi pencapaian JKU dan
pemenuhan hak kesehatan masyarakat secara progresif?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, buku ini memberikan pemahaman
dasar mengenai JKU dan hak kesehatan sebelum masuk pada diskusi
mengenai sejarah reformasi kesehatan di Indonesia, faktor perancu, dan telaah
dan penilaian dampak reformasi layanan kesehatan di Indonesia terhadap
pemenuhan JKU dengan pendekatan hak kesehatan. Dengan demikian, buku

2
ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendasar, pelajaran, sekaligus
rekomendasi terkait pencapaian JKU dan pemenuhan hak kesehatan.

Mengapa harus membaca buku ini?


Pada tiga bab pertama, buku ini memberikan pemahaman mendasar
mengenai JKU, kesehatan dan hak kesehatan, serta politik dan
desentralisasi yang mungkin menjadi isu perancu dalam upaya pencapaian
JKU dan pemenuhan hak kesehatan. Dalam diskusi mengenai konsep
dasar tersebut, buku ini juga menampilkan beberapa pengalaman dan bukti
dari beberapa negara yang juga telah dan tengah berpacu memenuhi JKU
dan hak kesehatan masyarakatnya. Buku ini membahas pula secara singkat
contoh praktis HITAP, institusi independen di Thailand yang dibentuk
setelah reformasi layanan kesehatan untuk mengkaji teknologi kesehatan,
kemajuan beberapa negara berkembang dalam menurunkan inekuitas, dan
beberapa kasus hukum dan politik.
Buku ini juga mengajukan kasus Indonesia dalam upayanya mencapai
JKU dan merealisasikan hak kesehatan. Indonesia merupakan negara
berkembang terkemuka dengan luas wilayah geografis dan sumber daya
yang besar serta variasi etnik yang dapat memengaruhi realisasi progresif
hak kesehatan dan pencapaian JKU. Sebagai sebuah negara berkembang
yang besar, pengalaman dari Indonesia akan memberikan pelajaran
berharga bagi negara berkembang lainnya, termasuk beberapa negara
tetangga yang juga masih berjuang dalam mencapai JKU.

Struktur Buku
Struktur buku ini terdiri atas beberapa bagian yang berupaya menjawab
pertanyaan spesifik mengenai:
1. gambaran instrumen hukum dan kebijakan yang dihasilkan selama
reformasi sistem kesehatan dalam upaya pemenuhan hak masyarakat
untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai,

3
2. eksplorasi interaksi antar aktor kebijakan sepanjang reformasi dan
dampaknya terhadap reformasi kesehatan,
3. penilaian dampak regulasi dan kebijakan terhadap tiga dimensi
cakupan terkait “seberapa besar proporsi populasi yang dicakup”,
“layanan apa saja yang dicakup”, dan “seberapa besar proporsi
kontribusi finansial”,
4. penilaian efek regulasi dan kebijakan terhadap pemenuhan hak
menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai, dan
5. rekomendasi terkait pemenuhan hak kesehatan dan pencapaian JKU.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, buku ini disusun


dalam enam bab utama.
• BAB I
Jaminan kesehatan universal : menjelaskan pemahaman dasar
mengenai jaminan kesehatan universal, definisi, konsep, perspektif
dan efek JKU tehadap sistem kesehatan.

• BAB II
Kesehatan dan hak kesehatan: menjelaskan konsep dasar hak asasi
manusia dan hubungan antara kesehatan dan hak asasi kesehatan,
serta pemahaman dasar mengenai hak kesehatan; definisi, instrumen
hukum, efek terhadap sistem kesehatan, dan panduan penilaian.

• BAB III
Politik dan desentralisasi: menjelaskan aktor kebijaka dan
menggambarkan bagaimana politik dan desentralisasi memengaruhi
sistem kesehatan, reformasi sistem kesehatan dan kemajuan
pencapaian JKU dan pemenuhan hak kesehatan.

4
• BAB IV
Reformasi layanan kesehatan Indonesia –sejarah singkat: menjelaskan
sistem kesehatan di Indonesia, menggambarkan sejarah reformasi
sistem kesehatan dan sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia,
serta pencapaian dalam memperluas cakupan hingga tahun 2014.

• BAB V
Pemenuhan hak kesehatan –pelajaran dari Indonesia: menggambarkan
dan menjelaskan pencapaian realisasi progresif hak kesehatan di
Indonesia dengan mendekatan analisis hak kesehatan, hambatan, dan
potensi solusi.

• BAB V
Simpulan –Tindak lanjut: memberikan kesimpulan dan opsi
rekomendasi tindak lanjut yang seharusnya dapat diambil untuk
memperbaiki capaian JKU dan pemenuhan hak kesehatan.

Metoda Analisis
Dalam menulis buku ini, penulis terlebih dahulu melakukan telaah literatur
untuk menganalisis pencapaian, kekuatan dan kelemahan reformasi
kesehatan di Indonesia yang terkait dengan pemenuhan hak kesehatan.
Kerangka analisis dibatasi pada artikel yang mengeksplorasi reformasi
kesehatan Indonesia sejak tahun 1998 hingga 2014. Tahun 1998 diambil
sebagai titik permulaan analisis karena penulis menganggap bahwa era
tersebut merupakan titik mula penting dalam reformasi Indonesia secara
keseluruhan dengan banyak perubahan makro yang dihasilkan dari
reformasi politik. Titik mula ini juga menjadi penting karena menjadi
salah satu alasan bagi para pembuat kebijakan untuk melakukan akselerasi
reformasi layanan kesehatan dengan tujuan utama mencapai JKU.
Eksplorasi literatur mencakup semua sumber dari database Indonesia,
database ilmiah (yang dicari melalui Google Scholar, PubMed, dan

5
WebScience), kasus hukum lokal dan internasional, serta database
internasional seperti data WHO, World Bank dan the Joint Learning
Network (JLN) for Universal Health Coverage. Buku ini juga menetapkan
–dalam batas tertentu, Thailand dan Filipina, dua negara tetangga dengan
karakteristik yang mirip, sebagai benchmark untuk menilai apakah upaya
Indonesia secara meyakinkan telah memperbaiki dan merealisasikan secara
progresif hak terhadap standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai.10
Dalam upaya pencarian literatur ilmiah, penulis menggunakan
beberapa kata kunci, yaitu “health care reform” OR “universal coverage”
AND “Indonesia” untuk mendapatkan literatur yang relevan, kemudian
melakukan ekspansi literatur terkait lainnya dari hasil temuan literatur
yang ada. Literatur yang dimasukkan dalam analisis hanya literatur yang
berbentuk buku, artikel, laporan, dan data yang dipublikasikan, baik dalam
bahasa Inggris maupun Indonesia. Data lokal didapatkan dari database
Kementerian Kesehatan Indonesia dan kementerian lain, seperti direktorat
jenderal pendidikan tinggi dan kementerian PPN/Bappenas, yang terkait
dengan pemenuhan JKU dan hak kesehatan. Penulis tidak memasukkan
editorial, kolom komentar (comments) dan surat (letters) dari berbagai
jurnal dalam literatur yang dianalisis. Buku, artikel, laporan, dan data yang
tidak menggambarkan atau menganalisis situasi reformasi kesehatan di
Indonesia dan pencapaian JKU dan hak kesehatan secara eksplisit juga
dikeluarkan dari analisis dan dianggap tidak relevan.
Dari literatur yang didapatkan, analisis dilakukan untuk dapat
menggambarkan perspektif kebijakan (sejarah reformasi, instrumen hukum
dan kebijakan yang dibuat selama reformasi, faktor perancu, dan interaksi
antar aktor kebijakan) dan perspektif legal (kasus hukum terkait hak kesehatan
dan penilaian hak kesehatan masyarakat dengan pendekatan tiga dimensi
cakupan, serta elemen ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan dan kualitas
layanan kesehatan). Data mengenai cakupan, pengeluaran biaya kesehatan dan
benefit package, diambil dari sumber yang dianggap paling valid dan reliabel
dengan publikasi yang kontinu sejak tahun 2000 hingga 2012.

6
Untuk dapat menilai pencapaian pemenuhan hak kesehatan masyarakat,
penulis menggunakan dan mengadaptasi pendekatan Hunt (2006) dengan
menggunakan kuesioner panduan penilaian dampak, kemiskinan dan hak
asasi manusia.6

Referensi
1. Lagomarsino G, Garabrant A, Adyas A, Muga R, Otoo N. Moving towards
universal health coverage: health insurance reforms in nine developing
countries in Africa and Asia. The Lancet. 2012;380(9845):933–43.
2. Currin G. Social health insurance in developing countries: a continuing
challenge. Int Soc Secur Rev. 2002;55(2):57–69.
3. Ginneken W van. Extending social security: Policies for developing
countries. Int Labour Rev. 2003;142(3):277–94.
4. Den Exter A, editor. The right to the highest attainable standar of health.
International health law and ethics: basic documents. 2nd ed. Antwerpen:
Maklu; 2012. p. 18–23.
5. Hunt P. The human right to the highest attainable standar of health: new
opportunities and challenges. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2006;100(7):603–7.
6. Hunt P, MacNaughton G. Impact assessments, poverty and human rights:
a case study using the right to the highest attainable standar of health.
UNESCO. 2006;31:9.
7. UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR). General
Comment No. 14: The Right to the Highest Attainable Standar of Health
(Art. 12 of the Covenant). E/C.12/2000/4; 2000.
8. Hunt P, Backman G. Health systems and the right to the highest attainable
standar of health. Health Hum Rights. 2008;81–92.
9. Gufron AM. Health Insurance Reform: Indonesian Case. Yogyakarta:
PPMAK UGM; 2012.
10. UN Human Rights Council. Health systems and the right to the highest
attainable standar of health. Geneva: United Nations; 2008 Jan p. 27. Report
No.: A/HRC/7/11.

7
BAB I
JAMINAN KESEHATAN UNIVERSAL

Sulit untuk menemukan padanan kata Universal Health Coverage


dalam bahasa Indonesia yang dapat diterima dengan baik. Secara literer,
penggunaan kata Jaminan Kesehatan Semesta lebih tepat sebagai terjemahan.
Namun, kata ‘semesta’ bukan sesuatu yang dapat ditangkap dengan baik
secara langsung oleh masyarakat. Opsi lain adalah tetap menggunakan
kata ‘universal’ tanpa terjemahan atau ‘nasional’ sebagai terjemahan
teknis. Penggunaan kata ‘nasional’ untuk menginterpretasikan ‘universal’
mungkin lebih dapat ditangkap dengan baik, namun memunculkan potensi
kesalahpahaman dalam memahami dasar konsep dan berpotensi tertukar
dengan istilah Jaminan Kesehatan Nasional yang merupakan implementasi
universal health coverage yang lebih teknis di Indonesia. Kata ‘universal’,
meski merupakan kata serapan, lebih dapat menggambarkan konsep yang
komprehensif dan untuk dibandingkan memaksakan menerjemahkannya
ke kata ‘semesta’. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, buku
ini menggunakan terminologi “Jaminan Kesehatan Universal” untuk
menerjemahkan universal health coverage.
Jaminan Kesehatan Universal (JKU) bukan sebuah konsep baru dalam
pelaksanaan sistem kesehatan. Konsep ini sebenarnya telah diluncurkan
beberapa dekade lalu, namun mendapatkan perhatian dunia yang meningkat
seiring dengan perjalanan waktu dengan mempertimbangkan berbagai
kepentingan di dalamnya. Banyak negara telah berupaya untuk bergerak
mewujudkan konsep tersebut, sebagaimana Direktur Jenderal WHO,
Margaret Chan, juga menyebutkan bahwa konsep JKU merupakan “konsep
tunggal yang paling kuat yang harus disiapkan dalam kebijakan kesehatan
masyarakat.”1 Beberapa negara maju dengan pendapatan tinggi telah
berhasil mengimplementasikan JKU –dan berhasil mengubah ide proteksi

8
masyarakat menjadi realita yang diaplikasikan di hampir semua negara
maju.2,3 Bagi banyak negara berkembang, konsep JKU masih merupakan
mimpi yang harus diperjuangkan untuk dapat dicapai secara utuh.
Sebelum mendiskusikan JKU lebih jauh, buku ini akan berupaya
mengklarifikasi terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan JKU.
Beberapa literatur telah berusaha mendefinisikan JKU melalui cara dan
perspektif yang berbeda. Definisi yang paling sederhana diformulasikan dalam
World Health Report 2010 bahwa JKU adalah sebuah kondisi yang “semua
orang memiliki akses ke layanan kesehatan dan tidak mengalami kesulitan
finansial untuk membayar layanan tersebut”.3,4 WHO mendefinisikan JKU
lebih teknis dengan pendekatan ‘cakupan’ atau ‘jaminan’ (coverage). Dalam
konsep WHO, JKU terdiri dari tiga dimensi cakupan, yaitu (a) sejauh mana
cakupan populasi (siapa saja yang dicakup dalam jaminan kesehatan, who
is covered), (b) seberapa besar cakupan paket keuntungan (apa saja layanan
yang dijamin, what is covered), dan (c) seberapa besar proporsi biaya yang
dijamin (what proportion of the cost is covered).5,6 (Gambar 1.1).

Layanan:
Jenis layanan
yang ditanggung

Gambar 1.1. Konsep tiga dimensi cakupan WHO. Diadaptasi dari WHO (2013).6

9
Pada dasarnya, JKU bertujuan menyediakan layanan kesehatan yang
terjangkau bagi semua orang. Maka, wajar jika pendekatan terhadap JKU lebih
banyak ditekankan pada aspek finansial. World Health Assembly ke-58 tahun
2005 mengeluarkan rekomendasi kepada semua negara untuk “menjamin
bahwa sistem pembiayaan kesehatan mencakup metode pembayaran di
muka (pre-payment) sebagai kontribusi finansial untuk layanan kesehatan,
dengan memperhatikan konsep berbagi risiko (sharing risk) dalam populasi
dan pencegahan pengeluaran biaya kesehatan katastrofik dan pemiskinan
individu yang diakibatkan oleh upaya mencari layanan kesehatan”.7,8 Dengan
konsep ini, negara harus mengeluarkan kebijakan dalam tiga isu penting.
Pertama, negara harus menjamin akses terhadap layanan kesehatan yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Idealnya, prinsip utama dalam penyediaan
layanan kesehatan yang ekual mengharuskan negara menjamin 100%
populasi dapat mengakses layanan kesehatan. Namun, hal tersebut mustahil
dicapai dalam waktu singkat dan memerlukan perencanaan jangka panjang
dan bertahap. Meski jaminan penuh belum dapat dicapai, langkah penting
yang harus dilakukan dalam penjaminan akses layanan kesehatan adalah
penjaminan terhadap intervensi dan layanan kesehatan yang esensial dan
utama sesuai dengan kebutuhan masyarakat.9
Apa jenis layanan kesehatan yang esensial dan utama? Menjawab
pertanyaan ini, negara harus memperhatikan bahwa kebutuhan layanan
esensial sangat beragam antar negara dengan karakteristik masing-
masing bervariasi. Masalah kesehatan antar negara pun berbeda, dengan
potensi dan sumber daya manusia dan teknologi yang beragam. Sebagai
konsekuensinya, negara tidak dapat mencontoh penyediaan layanan
kesehatan esensial dari negara lain secara membabi buta. Negara butuh
menganalisis secara spesifik mengenai kebutuhan layanan esensial yang
harus dijamin dalam pelaksanaan JKU.6,9
Contoh yang paling menonjol dalam hal ini adalah Inggris dan
Thailand yang membangun institusi nasional untuk menyeleksi dan
merekomendasikan layanan kesehatan esensial yang harus dijamin dalam

10
JKU. Inggris dan Wales memiliki the National Institute for Health and
Clinical Excellence (NICE), sedangkan Thailand sudah membangun the
Health Intervention and Technology Assessment (HITAP) tidak lama setelah
reformasi kesehatan diluncurkan. Peran dari kedua institusi ini hampir
sama, yaitu mengevaluasi dan memberikan rekomendasi apakah teknologi
kesehatan, termasuk obat, intervensi, prosedur dan strategi, efektif-biaya dan
terjangkau oleh masyarakat.6,10
Keberadaan institusi nasional seperti NICE dan HITAP untuk
mengevaluasi dan memberikan rekomendasi teknologi kesehatan sangat
penting. Pemerintah, terutama di negara-negara berkembang, dapat
mengikuti apa yang telah dilakukan Thailand dengan HITAP-nya (Kotak
1.1). Tidak seperti negara-negara maju yang telah memiliki bukti intervensi
atau teknologi kesehatan dan hanya mengevaluasinya, negara-negara
berkembang perlu melakukan berbagai studi, mulai dari riset primer,
telaah sistematik (systematic review), meta-analisis hingga studi evaluasi
ekonomi terhadap satu teknologi atau intervensi kesehatan. Setelah
studi-studi tersebut selesai dilakukan, pemerintah perlu memberlakukan
kebijakan untuk melakukan studi pilot terhadap rekomendasi yang
dikeluarkan di beberapa area terlebih dahulu. Jika dianggap berhasil atau
memiliki dampak positif terhadap JKU dan pemberian layanan kesehatan
untuk masyarakat, rekomendasi baru dapat dijalankan secara nasional.

Kotak 1.1. Belajar dari HITAP, Thailand


Intervensi dan teknologi kesehatan berkembang pesat, baik obat-obatan,
peralatan, atau prosedur. Namun, tidak semua intervensi dan teknologi
kesehatan tersebut dapat diakomodasi dan dijamin dalam kerangka JKU.
Oleh karena itu, dalam JKU, menentukan benefit package yang tepat
adalah langkah krusial. Dua isu utama dalam penentuan ini adalah apakah
intervensi atau teknologi kesehatan tersebut efektif dalam tatalaksana satu
atau lebih kondisi penyakit dan sejauh mana efektivitas-biaya intervensi
atau teknologi kesehatan tersebut.

11
Thailand, setelah reformasi kesehatan, memiliki sub-komite tersendiri yang
menangani benefit package (Benefit Package subcommittee). Subkomite
ini yang meminta HITAP untuk melakukan telaah mayor dan uji terhadap
beberapa teknologi kesehatan. Permintaan telaah atau uji biasanya didasarkan
pada volume (seberapa banyak teknologi itu dipakai), dampak (seberapa besar
dampak penggunaan teknologi terhadap luaran klinis), variabilitas (seberapa
besar inkonsistensi dan ketidakpastian hasil penggunaan teknologi), dan
biaya (seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan
teknologi tersebut). HITAP, berkolaborasi dengan institusi nasional dan
internasional lainnya, mengeluarkan panduan tentang bagaimana cara
menyeleksi intervensi atau teknologi baru melalui program pengkajian
teknologi kesehatan (health technology assessment, HTA).
Untuk menjalankan proses pengkajian teknologi kesehatan, HITAP
didukung oleh sumber daya yang adekuat. Setidaknya ada 40 pekerja penuh
waktu yang bekerja di institusi tersebut dengan gaji yang memuaskan
untuk melaksanakan sekitar 40 studi per tahun dengan rerata biaya per
studi Rp 300 juta. Menjalankan proses pengkajian teknologi kesehatan
pun tidak mudah. HITAP harus selaras dengan panduan yang telah disusun
bahwa proses pengkajian teknologi kesehatan yang dilaksanakan secara
transparan, akuntabel, dan inklusif. Untuk memenuhi ketiga prinsip
pokok tersebut, HITAP berupaya mengikutsertakan seluruh pemangku
kepentingan, termasuk pembuat kebijakan, pakar kesehatan masyarakat,
dokter spesialis, perwakilan dari the Royal Colleges, industry alat
kesehatan dan farmasi, organisasi social kemasyarakatan, kelompok pasien
dan masyarakat awam. Studi yang dilakukan tidak terbatas pada efektivitas
teknologi kesehatan, namun juga mempertimbangkan etik, keamanan,
dampak sosial, dan evaluasi ekonomi. Secara khusus, panduan HITAP juga
mencakup rekomendasi untuk pengkajian ekonomi terhadap teknologi
kesehatan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk rasio efektivitas biaya
(incremental cost-effectiveness ratio, ICER) dan analisis dampak anggaran
(budget impact analysis).10,11

12
Pembentukan institusi nasional seperti NICE dan HITAP bukanlah
sesuatu yang mudah dilakukan. Institusi yang berjalan dengan baik
membutuhkan lingkungan riset yang kuat, dukungan dari institusi akademik,
hubungan kolegial dan jejaring yang kuat dengan institusi yang serupa,
transparansi, dan dukungan politik dari pemerintah. Jika tidak, pelaksanaan
studi dan rekomendasi yang telah dikeluarkan pun berpotensi terhambat.
Ketika institusi nasional ini mengeluarkan sebuah rekomendasi atau
pemerintah menerapkan kebijakan berdasarkan rekomendasi tersebut, reaksis
resistensi mungkin akan bermunculan, misalnya dari praktisi kedokteran
yang telah melakukan prosedur atau intervensi tertentu di luar kebijakan
yang baru. Oleh karena itu, institusi nasional harus menyertakan informasi
yang adekuat kepada masyarakat secara transparan dan akuntabel.10
Kedua, pemerintah harus menghilangkan, atau setidaknya
menurunkan, hambatan finansial masyarakat untuk mengakses layanan
kesehatan. Banyak negara berkembang masih berpangku pada sistem
pembayaran langsung (out-of-pocket) yang berpotensi mengakibatkan
masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan.
Jika layanan kesehatan dianggap terlalu mahal dengan kapabilitas finansial
yang tidak mendukung untuk pembayaran tersebut, akses layanan kesehatan
terhambat. Mereka yang mengalami ketidakmampuan seperti ini mungkin
akan memilih salah satu dari tiga opsi umum berikut.
(a) Mereka memaksakan diri untuk mengakses layanan kesehatan dan
mengambil risiko yang berpotensi menguras keuangan keluarga dan
membuatnya menjadi miskin (impoverishment).
(b) Mereka mengakses layanan kesehatan yang ada dan yang mampu
mereka bayar, serta tidak mengakses layanan kesehatan yang tidak
mampu dibayar meskipun masih ada keluhan kesehatan.
(c) Mereka tidak mengakses layanan kesehatan sama sekali dan
mengabaikan kondisi penyakit mereka.6

13
Ketiga pilihan tersebut tentu bukan pilihan yang menguntungkan.
Pilihan pertama membuat mereka miskin. Pilihan kedua dan ketiga
berpotensi menurunkan kapasitas kerja mereka untuk mencapai potensi
maksimal dalam mendapatkan penghasilan yang memadai sehingga
berpotensi pula memunculkan kemiskinan. Ini yang disebut dengan
‘jebakan kemiskinan’ (poverty trap). Istilah yang kerap muncul dari tesis
ini adalah: mereka miskin karena mereka miskin.
Negara perlu mencari solusi yang tepat untuk menjamin masyarakat
berada dalam proteksi risiko finansial melalui berbagai cara. Salah
satu solusi yang dapat diambil adalah metode pre-payment –yang
memungkinkan adanya pengumpulan dana untuk kembali didistribusikan
ke peserta sebagai jaminan finansial mereka mengakses layanan kesehatan.
Pemerintah negara dapat menghimpun pre-payment dari kontribusi peserta,
pajak, atau dana pemerintah lainnya. Mendapatkan dana untuk pre-payment
dari pajak merupakan opsi yang paling dominan, namun implementasinya
sangat beragam di berbagai negara. Inggris, misalnya, mendapatkan dana
untuk layanan kesehatan dari pajak, terutama dari pendapatan pajak umum.
Berbeda dengan Inggris, negara-negara Skandinavia tidak mengambil dari
pajak umum, melainkan dari pajak pendapatan lokal.12
Metode pengumpulan dana pre-payment pun sangat fleksibel dan tidak
ada ketentuan baku. Dana dapat diambil dari sumber tunggal atau campuran
dari berbagai sumber –yang secara umum diterapkan di banyak negara.4,12
Meski demikian, negara seringkali harus berhadapan dengan tantangan dana
yang terbatas. Dengan keterbatasan tersebut, negara mungkin tidak dapat
memenuhi penjaminan layanan kesehatan masyarakatnya secara utuh dan
harus memilih salah satu dari tiga dimensi jaminan yang akan ditingkatkan.
Dengan mengambil berbagai pertimbangan, negara mungkin akan memilih
untuk meningkatkan cakupan populasi yang dijamin, menyesuaikan benefit
package yang diberikan, atau menurunkan proporsi pembayaran langsung.
Pengambilan keputusan dalam keterbatasan dana yang ada pun tidak memiliki
pola baku dan kerap disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.6

14
Selain metode pre-payment, pengaturan alokasi dana negara merupakan
langkah penting dalam upaya pencapaian JKU. Jika metode pre-payment lebih
fokus ke penjaminan akses terhadap layanan kesehatan, alokasi dana lain juga
harus diatur dengan seksama untuk penjaminan determinan kesehatan lainnya
yang terkait dengan layanan kesehatan masyarakat. Namun demikian, alokasi
pendanaan untuk kesehatan tidak memiliki standar universal. Salah satu contoh
regional yang memberlakukan standar adalah Perkumpulan Negara Afrika.
Negara-negara di Afrika menetapkan patokan 15% anggaran nasional untuk
sektor kesehatan –dengan aspirasi tambahan untuk mengalokasikan 0,5% dari
produk domestik bruto (PDB) untuk program sanitasi dan higien.9,13,14

Perspektif Lain
Penggunaan istilah ‘cakupan’ atau ‘jaminan’ (coverage)
mengindikasikan bahwa JKU memberikan penekanan yang lebih besar pada
aspek finansial dibandingkan ‘layanan’.7 Hal ini mencetuskan kritik bahwa
JKU harus dilihat pula dari perspektif lain yang dapat mengakomodasi aspek
selain finansial. Dengan pendekatan perspektif lain yang lebih luas, JKU
seharusnya mempertimbangkan aspek lain di luar tiga dimensi cakupan
yang telah dijelaskan di awal. JKU juga harus mencakup penguatan sistem
kesehatan dan bukan sekadar penyediaan asuransi kesehatan berskala
nasional untuk seluruh populasi. Dari pemahaman konsep ini, akses layanan
kesehatan sudah seharusnya tidak dinilai hanya dari aspek finansial, tetapi
juga fisik, geografis, dan informasi. Jika pun negara telah menyediakan
asuransi kesehatan berskala nasional untuk seluruh masyarakatnya dengan
benefit package yang komprehensif dan tanpa biaya tambahan, masyarakat
tetap tidak dapat mengakses layanan kesehatan jika fasilitas layanan
kesehatan tidak menyediakan hal tersebut, akses fisik terganggu, tidak ada
perbaikan akses yang mempertimbangkan kondisi geografis, dan tidak ada
informasi yang adekuat. Selain itu, beberapa tema pendekatan lain juga
harus dipertimbangkan, seperti peningkatan sistem kesehatan, pendekatan
hak asasi manusia, dan proteksi sosial.2,15

15
Dengan mempertimbangkan integrasi beragam perspektif, definisi
JKU yang komprehensif seharusnya mencakup:
a. akses yang menyeluruh terhadap promosi kesehatan, layanan
pencegahan, deteksi dan rehabilitasi,
b. ketersediaan layanan kesehatan yang merata di seluruh negara,
c. layanan kesehatan yang berkualitas tinggi,
d. ekuitas, dan
e. biaya yang terjangkau atau proteksi finansial yang dapat mencegah
masyarakat dari risiko katastrofik finansial.2,4,6,16

Dengan mengimplementasikan integrasi isu ini dalam JKU, negara


akan dapat mencapai tujuan konsep WHO tentang Kesehatan untuk Semua
dan Layanan Kesehatan Primer (Health for All and Primary Health Care).2

Konsep Ekuitas Dalam JKU


Meski cakupan populasi merupakan isu penting dalam JKU, impementasi
JKU tidak hanya mempertimbangkan seberapa besar cakupan dan jaminan
yang diberikan, namun juga ekuitas di antara kelompok masyarakat.
Konsep ekuitas ini merupakan isu penting dalam layanan kesehatan dan
sudah seharusnya diletakan dalam target capaian spesifik dari kebijakan
kesehatan.12,17 Namun, sebelum mendiskusikannya lebih lanjut, definisi yang
jelas mengenai ekuitas perlu dijabarkan terlebih dahulu.
Definisi ekuitas telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Namun demikian, secara sederhana ekuitas dapat dibedakan dalam dua
bagian. Pertama, ekuitas dalam pemberian layanan kesehatan. Banyak studi
di Eropa dan Amerika yang membuat premis bahwa layanan kesehatan
harus didistribusikan sesuai dengan kebutuhan (need), bukan keinginan
(willingness) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay, ATP). Konsep
ini memberikan fokus lebih besar kepada kebutuhan kesehatan dan tidak
memedulikan status sosial ekonomi yang dianggap tidak relevan terhadap

16
kebutuhan. Ekuitas dalam pemberian layanan kesehatan terdiri atas ekuitas
vertikal dan horizontal dalam pemberian layanan kesehatan. Ekuitas vertikal
dalam pemberian layanan kesehatan akan menilai apakah individu dengan
kebutuhan yang berbeda mendapatkan tatalaksana yang berbeda, sedangkan
ekuitas horizontal berarti bahwa individu yang memiliki derajat kebutuhan
yang sama mendapatkan tatalaksana yang sama.
Kedua: ekuitas dalam pembiayaan layanan kesehatan. Berkebalikan
dengan konsep pertama, banyak studi di layanan kesehatan mengajukan
premis bahwa layanan kesehatan harus dibiayai sesuai dengan kemampuan
untuk membayarnya (ATP). Berbagai literatur juga menginterpretasikan
ekuitas dalam pembiayaan layanan kesehatan menjadi ekuitas vertikal
dan horizontal. Ekuitas vertikal dalam pembiayaan layanan kesehatan
berarti bahwa individu atau keluarga dengan kemampuan untuk membayar
yang berbeda melakukan pembayaran yang berbeda pula untuk layanan
kesehatan yang diaksesnya. Ekuitas horizontal berarti bahwa individu atau
keluarga dengan kemampuan untuk membayar yang sama juga memberikan
kontribusi pembayaran yang sama terhadap layanan kesehatan.12,18
Pertanyaannya, haruskah kelompok kaya memberikan kontribusi yang
lebih besar dibandingkan kelompok miskin yang sering disebut sebagai
sistem pembiayaan progresif?
Beberapa studi permulaan tentang progresifitas pembiayaan layanan
kesehatan mengambil data rerata pembayaran layanan kesehatan dalam nilai
absolut, bukan berdasarkan proporsi pendapatan. Dengan pendekatan seperti
ini, progresivitas sulit, bahkan mustahil, untuk dinilai karena sangat mungkin
mereka yang kaya akan mengeluarkan biaya yang lebih besar daripada
mereka yang miskin. Studi-studi berikutnya kemudian mengajukan alternatif
yang lebih baik untuk menilai progresifitas melalui perbandingan proporsi
pendapatan menurut sebaran desil pendapatan dengan proporsi pembayaran
untuk layanan kesehatan. Namun, alternatif ini masih belum dapat menilai
apakah sebuah sistem pembiayaan kesehatan lebih atau kurang progresif.

17
Belakangan muncul pendekatan dengan menggunakan indeks progresivitas
Kakwani (Kakwani Index, KI) yang dianggap sebagai pilihan terbaik untuk
mengukur progresifitas sistem pembiayaan layanan kesehatan.
Kerangka dasar dalam pengukuran ekuitas adalah koefisien Gini
(GI) yang didapatkan dari kurva Lorenz (L), seperti yang terlihat di
Gambar 1.2.19 Kurva Lorenz menggambarkan proporsi pendapatan total
yang didapatkan proporsi kumulatif pada sebuah populasi. Kondisi ekual
didefinisikan sebagai garis ekualitas diagonal 450. Jika kurva Lorenz
mengalami deviasi menjauh dari garis ekualitas, itu menunjukkan bahwa
inekualitas meningkat. Deviasi ke bawah menunjukkan bahwa proporsi
pendapatan di kelompok kaya lebih besar daripada kelompok miskin.

Gambar 1.2. Kerangka konsep kurva Lorenz. Diadaptasi dari De Maio (2007).19

Gambar 1.3 menggambarkan Kakwani index (KI). Kurva yang ditandai


dengan Lpre adalah kurva Lorenz yang mengindikasikan pendapatan sebelum
pengeluaran (pre-payment income). Kurva Lpay merupakan kurva konsentrasi
pengeluaran yang mengindikasikan proporsi kumulatif populasi terhadap
proporsi kumulatif pengeluaran layanan kesehatan. Derajat progresifitas
diukur dengan melihat perbedaan area antara Lpre dan Lpay. Jika Lpay terletak
di bawah Lpre, pembiayaan layanan kesehatan dinyatakan ‘progresif’.

18
Sebaliknya, jika Lpre terletak di bawah Lpay, pembiayaan layanan kesehatan
disebut sebagai ‘regresif’. Dari konsep ini, simulasi pada Gambar 1.3 dapat
disimpulkan sebagai pembiayaan layanan kesehatan yang progresif.
Dalam pernyataan lain, KI dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara
indeks konsentrasi pengeluaran (concentration index, CI) yang ditunjukkan oleh
kurva Lpay dengan koefisien Gini (GI) untuk pendapatan sebelum pengeluaran
yang ditunjukan oleh Lpre. Nilai KI yang positif berarti pembiayaan layanan
kesehatan yang progresif, sedangkan nilai KI yang negatif menunjukkan
struktur pembiayaan layanan kesehatan yang regresif.12,18

Gambar 1.3. Indeks Kakwani (KI) dan efek penyetaraan pengeluaran progresif.
Diadaptasi dari Wagstaff (2001)18

Lalu, apa dampaknya terhadap kebijakan pembiayaan kesehatan yang


harus diambil?
Lebih lanjut, Gambar 1.3 menunjukkan efek penyetaraan. Pengeluaran
progresif terhadap pendapatan pre-payment akan menghasilkan efek
penyetaraan dan menggeser kurva Lorenz untuk pendapatan setelah
pengeluaran (Lorenz for post-payment income, Lpost) di atas Lpre. Sebaliknya,
pengeluaran regresif terhadap pendapatan pre-payment akan menghasilkan

19
efek ketidaksetaraan (disequalizing effect) dan menggeser kurva Lorenz
untuk pendapatan setelah pengeluaran (Lpost) di bawah Lpre.
Memahami konsep ekuitas dan efek penyetaraan sangat berguna bagi
penyusun kebijakan untuk menilai kondisi sistem pembiayaan kesehatan dan
mengambil langkah yang tepat dan tidak mengakibatkan efek negatif terhadap
distribusi pendapatan setelah pengeluaran.18 Negara harus memastikan
bahwa sistem pembiayaan kesehatan berpihak kepada masyarakat miskin
dengan tidak mengakibatkan jurang yang lebih besar antara kelompok kaya
dan kelompok miskin setelah mengakses layanan kesehatan.
Negara harus pula menyusun langkah untuk menyelenggarakan
pemantauan dan evaluasi ekuitas layanan kesehatan. Pemantauan ini
dilakukan untuk mengukur kemajuan program atau intervensi kesehatan
terhadap ekuitas yang mungkin dipengaruhi oleh program atau intervensi
tersebut.20 Menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi yang berorientasi
pada ekuitas memerlukan data berkualitas baik. Oleh karena itu,
pelaksanaannya juga membutuhkan peningkatan kapasitas sumber daya
untuk memperkuat sistem informasi kesehatan, termasuk peningkatan
kualitas proses pengumpulan data, analisis, pelaporan dan diseminasi.17
Cakupan populasi memang dapat memberikan gambaran besar
mengenai pencapaian JKU, sesuai konsep yang dipaparkan WHO. Namun,
mengandalkan gambaran cakupan saja tidak cukup karena gambaran
tersebut tidak mencerminkan seberapa besar distribusi keuntungan di
populasi. Pengukuran ekuitas, dan inekuitas, juga sebaiknya memasukkan
beberapa dimensi dan mempertimbangkan detil sosial demografi populasi.
Karakteristik sosial demografi tersebut termasuk penghasilan, jenis
kelamin, usia, tempat tinggal, etnis, disabilitas, dan lain-lain. Meski
demikian, pemilihan variable karakteristik dalam pengukuran ekuitas
perlu diperhatikan dengan cermat. Jenis kelamin dan usia, sebagai contoh,
mungkin merupakan faktor penting dalam pengukuran ekuitas, namun tidak
aplikatif untuk semua indikator kesehatan yang akan diukur.17 Pemilihan

20
dimensi dan karakteristik inilah yang penting dan harus dicermati dengan
baik saat melakukan pemantauan dan evaluasi berorientasi ekuitas.
Salah satu contoh mengenai ekuitas dalam pemberian layanan
kesehatan digambarkan di Gambar 1.4. Kurva Lorenz di gambar tersebut
menunjukkan Concentration Index (CI) persalinan yang didampingi tenaga
kesehatan di Bangladesh dan Mesir. Kurva CI mengindikasikan seberapa
jauh inekuitas yang terjadi di kedua negara yang diukur berdasarkan
karakteristik pemasukan (income) rumah tangga. Gambar ini menunjukkan
bahwa inekuitas berdasarkan pemasukan rumah tangga di Bangladesh lebih
besar dibandingkan Mesir. Persalinan yang didampingi oleh tenaga kesehatan
masih didominasi oleh populasi orang kaya dibandingkan mereka yang
miskin. Dengan memahami kurva ini, pemerintah dapat menyusun rencana
program selanjutnya yang harus diambil untuk menurunkan inekuitas dan
memberikan akses utilitas yang lebih baik kepada populasi miskin.

Gambar 1.4. Inekuitas relatif pada persalinan yang didampingi tenaga kesehatan
berdasarkan pemasukan rumah tangga di Bangladesh (2007) dan Mesir (2008).
Diadaptasi dari WHO (2013).20

21
Contoh lain adalah hasil survey kesehatan dan kesejahteraan di
Thailand yang dilaksanakan secara kohort dalam beberapa tahun. Survey ini
menggambarkan bagaimana ekuitas utilitas layanan kesehatan, khususnya
utilitas layanan primer pemerintah, rumah sakit daerah pemerintah, rumah
sakit provinsi, rumah sakit swasta, dan ekuitas secara keseluruhan. Gambar
1.5 menunjukkan temuan bahwa utilisasi layanan kesehatan pemerintah di
Thailand didominasi oleh populasi miskin, sedangkan utilisasi rumah sakit
swasta didominasi oleh populasi kaya.11 Ini ditunjukkan oleh nilai CI yang
negatif –berarti utilitas layanan kesehatan pro-rakyat miskin.

Gambar 1.5. Analisis ekuitas dalam utilisasi layanan kesehatan (diukur dalam
concentration index, CI), di Thailand. Sumber: Health Insurance System
Research Office of Thailand, 2012.11

Mereduksi jurang antara populasi kaya dan miskin dalam utilisasi


layanan kesehatan dan pembiayaan layanan kesehatan merupakan langkah
penting yang harus dilakukan oleh negara. Jika negara mampu untuk
menurunkan kesenjangan tersebut, dapat dipastikan bahwa negara tengah
berjalan menuju universalisme yang progresif (progressive universalism).21
Harapan terbesar bagi suatu negara adalah menghilangkan sama sekali

22
jurang antara populasi kaya dan miskin –yang sepertinya mustahil, atau
menguranginya hingga ke jarak yang sangat pendek.

Dampak Terhadap Sistem Kesehatan


Perjalanan menuju JKU berdampak pada bagaimana sebuah negara
membangun dan memperbaiki sistem kesehatannya. Sejauh mana
pencapaian menuju JKU sangat bergantung pada kesiapan dan keseriusan
negara tersebut dalam pengembangan sistem kesehatannya.
JKU membutuhkan pondasi yang kokoh dalam sebuah sistem kesehatan, dan
layanan kesehatan primer memiliki peran yang sangat besar dalam kekokohan
pondasi tersebut. Dalam proses pencapaian JKU, negara harus meletakkan
perbaikan sistem dan layanan kesehatan primer sebagai fokus utama. Ada dua hal
penting dalam layanan kesehatan primer, yaitu mempersiapkan ketersediaan dan
meningkatkan kualitas fasilitas dan tenaga kesehatan. Dalam hal ketersediaan,
negara harus mendorong pertumbuhan fasilitas layanan kesehatan primer yang
dapat memenuhi kebutuhan hingga ke daerah terpencil dan menyediakan pula
tenaga kesehatan yang mengisi fasilitas tersebut. Ketersediaan tenaga kesehatan
seringkali menjadi masalah dalam pemberian layanan kesehatan. Selain produksi
tenaga kesehatan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan rasio tenaga kesehatan
terhadap populasi, penyebaran yang merata dan proporsional merupakan sebuah
keharusan yang tidak dapat ditawar. Tanpa hal tersebut, negara menghadapi
masalah baru, yaitu absenteeism, ketika fasilitas tersedia tanpa tenaga kesehatan
yang memadai. Selain itu, masyarakat tidak akan mendapatkan layanan
kesehatan yang maksimal meski mereka telah dijamin dengan benefit package
yang, secara teoritis, baik. Untuk mendukung penyebaran tenaga kesehatan yang
merata, negara perlu menyusun dan menawarkan insentif yang menarik, serta
lebih dari sekadar kewajiban pasca pendidikan yang masih berupa kebijakan
jangka pendek.
Kedua, fasilitas dan tenaga kesehatan harus memberikan layanan
kesehatan yang berkualitas tinggi. Dalam pelaksanaan JKU, tenaga

23
kesehatan profesional di layanan kesehatan primer memiliki peran penting
sebagai ‘penjaga pintu’ (gate keeper)’ dalam proses rujukan berjenjang dan
melakukan kontrol terhadap kualitas dan biaya. Dalam perannya sebagai
gate keeper, tenaga kesehatan di layanan kesehatan primer dituntut untuk
memiliki kompetensi yang adekuat sehingga kasus-kasus di layanan
kesehatan primer dapat ditangani dengan baik. Tanpa kompetensi dan
kualitas yang baik, sistem rujukan akan terganggu. Kasus primer yang
ditangani di layanan kesehatan sekunder akan berimbas pada inefisiensi
waktu, kompetensi, dan biaya. Pasien akan terakumulasi di layanan
kesehatan sekunder yang memperpanjang daftar tunggu dan meningkatkan
pengeluaran kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Untuk dapat mengimplementasikan perbaikan sistem kesehatan,
khususnya di layanan kesehatan primer, pemerintah harus membangun
kolaborasi yang efektif dengan asosiasi profesional dan institusi akademik,
termasuk fakultas kedokteran dan akademi/fakultas keperawatan dan
kebidanan. Kolaborasi yang efektif ini diharapkan memproduksi lulusan
tenaga kesehatan yang berkualitas baik –yang dengan pencapaian
tersebut, diharapkan akan membangun kualitas kesehatan masyarakat
yang baik. Produksi lulusan tenaga kesehatan yang berkualitas baik
dengan kurikulum dan standar kompetensi yang kuat belum cukup
tanpa adanya pendidikan profesi berkelanjutan (continuing profesional
education) yang berjalan baik pula karena pesatnya perkembangan ilmu
di bidang kesehatan dan kedokteran.
Selain berdampak pada upaya penguatan sistem kesehatan, JKU –seperti
konsep yang banyak diutarakan, lebih banyak berdampak pada bagaimana
sistem pembiayaan kesehatan dibangun. Dalam membahas JKU, banyak
literatur memberikan fokus khusus terhadap dua elemen penting, yaitu (a)
aksesibilitas finansial ke layanan kesehatan dan (b) proteksi finansial.
Sebelum mendiskusikan lebih lanjut mengenai dua elemen penting
tersebut, memahami model layanan kesehatan yang diaplikasikan di

24
berbagai negara merupakan dasar yang penting. Saat ini, dalam teori
modern, ada tiga model sistem kesehatan yang menonjol berdasarkan sistem
pembiayaannya. Pertama, sistem yang dinamai sebagai model Beveridge
atau Sistem Kesehatan Nasional (National Health System, NHS). Model
ini mendapatkan pendanaan utama dari pajak dan menggunakannya untuk
membiayai layanan kesehatan. Sistem ini diorganisir terpusat oleh National
Health Services dan mencakup seluruh populasi melalui layanan kesehatan
publik milik pemerintah. Kedua, sistem yang disebut sebagai model
‘campuran’ Bismarck. Berbeda dengan Beveridge, model ini mendapatkan
pendanaan utama dari premi yang dibayarkan lewat asuransi sosial/wajib
–sehingga model ini juga kerap disebut sebagai sistem asuransi kesehatan
sosial (Sosial Health Insurance, SHI). Model ini cenderung lebih fleksibel
dibandingkan dengan model Beveridge terkait cara pengeluaran uang untuk
layanan kesehatan. Pemerintah dengan model Bismarck dapat menjamin
biaya kesehatan yang dikeluarkan baik di layanan kesehatan publik milik
pemerintah maupun swasta. Ketiga, model spesifik yang disebut sebagai
model asuransi swasta. Model ini mendasarkan pendanaan dari premi yang
dikumpulkan melalui perusahaan asuransi swasta.3,22 Model ini dahulu pernah
berkembang di Amerika Serikat, namun berubah seiring dengan kebijakan
Presiden Obama di bidang kesehatan, yang dikenal sebagai Obama Care.
Ketiga model ini memiliki perbedaan dalam penyusunan benefit
package, pengumpulan premi, organisasi layanan kesehatan dan cara
membeli dan membayar layanan kesehatan. Namun demikian, sistem
pembiayaan kesehatan saat ini di berbagai negara sebenarnya jauh
lebih kompleks dari sekadar pemahaman dasar ketiga model tersebut.
Sebuah negara dapat mengimplementasikan satu model khusus, namun
terbuka kemungkinan untuk mencampur model yang ada sesuai dengan
kebutuhan. Tidak ada batasan yang mengikat dalam pemilihan model
sistem pembiayaan kesehatan. Begitupun dalam implementasi JKU,
membeda-bedakan model layanan kesehatan dan menetapkan organisasi
sistem kesehatan tertentu bukanlah isu utama. Hal yang menjadi perhatian

25
penting dalam JKU adalah bagaimana membangun sistem kesehatan yang
efektif dan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat.
Akesibilitas finansial ke layanan kesehatan dan proteksi finansial
bergantung pada beberapa isu, seperti bagaimana pemerintah
membangun strategi pengumpulan dana, bagaimana sistem pengumpulan
dana berjalan, bagaimana masyarakat membeli layanan kesehatan, dan
bagaimana kinerja pemberian layanan kesehatan. Strategi pengumpulan
dana sangat bervariasi antar negara dan sangat bergantung pada sumber
dana utama di sebuah negara. Kesamaan dalam pengumpulan dana
adalah kebanyakan negara tidak bergantung pada satu sumber pendanaan
saja, namun menetapkan sistem pendanaan campuran atau hybrid.3
Pemerintah dihadapkan pada kebutuhan untuk menerapkan strategi
inovatif dalam pengumpulan dana. Selain dari pajak, yang secara umum
dipakai sebagai sumber utama pendanaan, strategi pengumpulan dana
lainnya diperkenankan dan tidak dibatasi pada satu jenis stratgei. Yang
terpenting adalah bahwa proses dan strategi pengumpulan dana tidak
boleh menimbulkan efek negatif terhadap pelaksanaan JKU.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat
seringkali terkendala secara finansial saat akan mengakses layanan
kesehatan. Pembayaran langsung, atau out-of-pocket, menyebabkan
kesulitan finansial dan inekuitas.3,4,23,24 JKU, secara konseptual, hadir untuk
menghilangkan hambatan tersebut dengan mempromosikan pre-payment
dan pengumpulan risiko, yang pada akhirnya diharapkan memperbaiki
luaran kesehatan (Gambar 1.6).25

26
Gambar 1.6. Alur sebab-akibat antara pembiayaan kesehatan pengumpulan dana, jaminan kesehatan dan
luaran kesehatan. Diadaptasi dari Moreno-Serra, 2012.25

27
Eliminasi hambatan finansial merupakan indikator kunci dalam JKU.
Dengan menghilangkan kesulitan finansial, pengeluaran kesehatan katastrofik
juga diharapkan hilang. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk
mengukur seberapa jauh sistem kesehatan yang dibangun mampu menurunkan
insidens pengeluaran kesehatan katastrofik, rerata positif katastrofik, insidens
pemiskinan, dan peningkatan kemiskinan. (Kotak 1.2).26

Kotak 1.2. Indikator kunci dalam pengeluaran kesehatan katastrofik.26


Indikator Pengukuran
Insidens pengeluaran Proporsi rumah tangga dalam populasi yang
kesehatan katastrofik mengalami pengeluaran kesehatan katastrofik
Rerata positif kelebihan Poin persentase ketika pengeluaran kesehatan
katastrofik rumah tangga yang melebihi ambang
pengeluaran kesehatan katastrofik

Insiden pemiskinan Proporsi rumah tangga dalam populasi yang jatuh


ke dalam kemiskinan karena pengeluaran kesehatan
Peningkatan tingkat Titik ketika sebuah rumah tangga jatuh lebih jauh
kedalaman kemiskinan ke dalam kemiskinan karena pengeluaran kesehatan

Pengalaman Meksiko, sebagai contoh, menunjukkan bukti adanya


kemajuan yang signifikan dalam upaya menghilangkan pengeluaran
kesehatan katastrofik dan pengeluaran kesehatan yang dapat memiskinkan
rumah tangga (Gambar 1.7). Pengeluaran kesehatan katastrofik umumnya
didefinisikan sebagai 30% kemampuan untuk membayar,sedangkan
pemiskinan akibat pengeluaran kesehatan didefinisikan sebagai rumah
tangga yang terpaksa masuk ke bawah garis kemiskinan atau lebih jauh
di bawah garis kemiskinan karena pengeluaran untuk biaya kesehatan.
Pengalaman Meksiko menunjukkan adanya tren penurunan pengeluaran
kesehatan katastrofik dan pemiskinan dari tahun 1992 hingga 2010. Hal ini
mencerminkan kesuksesan Meksiko dalam upayanya membangun sistem
pembiayaan kesehatan yang baik dan mencapai tujuan JKU.27

28
Gambar 1.7. Tren pengeluaran kesehatan katastrofik dan pemiskinan di
Meksiko, 1992-2010. Diadaptasi dari Knaul (2012).27

Banyak negara umumnya menggunakan dua pendekatan pembiayaan


kesehatan untuk memberikan proteksi terhadap risiko finansial, yaitu asuransi
kesehatan sosial untuk pekerja formal dan pajak umum untuk masyarakat
miskin dan rentan. Selain harus mengatur sistem pengumpulan dana yang
efektif, pemerintah juga harus membangun sistem yang menjamin bahwa
masyarakat yang tidak beruntung telah dicakup oleh sistem pembiayaan yang
ada. Permalasahan yang seringkali terjadi dalam sistem pembiayaan kesehatan
adalah ‘kebocoran’ (leakage). Pemerintah sebenarnya telah membangun
sistem dan menyediakan proteksi finansial untuk masyarakatnya yang rentan
dan/atau miskin, namun kerap salah sasaran dalam hal cakupan. Sistem yang
seharusnya memproteksi masyarakat miskin justru dimanfaatkan lebih banyak
oleh masyarakat kaya sehingga mereka yang miskin tetap tidak tercakup
dalam sistem pembiayaan yang ada. Hal ini terjadi karena salah target yang

29
diakibatkan oleh dua hal dominan. Pertama, masyarakat kaya memiliki akses
informasi yang dominan dibandingkan masyarakat miskin sehingga mereka
lebih mengetahui informasi yang ada mengenai jaminan kesehatan. Mereka
yang miskin –dan biasanya tinggal di pedesaan atau daerah terpencil, tidak
menjangkau informasi secara adekuat sehingga tidak tahu bagaimana cara
pengurusan administrasi untuk masuk dalam jaminan kesehatan. Kelompok ini
biasanya baru akan mengurus jaminan kesehatan yang ditawarkan pemerintah
saat mereka sudah terpaksa mengakses layanan kesehatan dengan biaya mahal
–umumnya ketika mereka sudah harus masuk ke rumah sakit atau memerlukan
tindakan medis lebih lanjut di layanan kesehatan lebih tinggi.
Kedua, sistem cakupan pembiayaan kesehatan tidak secara otomatis
mengidentifikasi masyarakat yang berhak menerima jaminan kesehatan.
Sistem yang dibangun berdasarkan pendaftaran (enrollment) dengan tingkat
pengawasan yang rendah. Pada sistem seperti ini, masyarakat yang kaya,
meskipun tidak berhak mendapatkan jaminan kesehatan pemerintah secara
gratis, dapat dengan mudah mendapatkannya dengan melakukan praktik
suap. Aparat pemerintahan yang memberikan persetujuan bahwa seseorang
dapat dicakup oleh jaminan kesehatan pemerintah masih dapat disuap
dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan biaya kesehatan yang
harus ditanggung bila tanpa jaminan kesehatan dari pemerintah. Meskipun
pemerintah telah menetapkan kriteria obyektif mengenai siapa saja yang
berhak mendapatkan jaminan kesehatan, praktik suap seperti ini sulit untuk
diberantas bila sistem yang dibuat masih berdasarkan pendaftaran. Oleh
karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan mekanisme pelibatan dan
partisipasi publik serta penguatan transparansi bersama dengan komunitas
lokal. Kedua strategi ini diharapkan mampu mencegah kebocoran kepada
yang tidak berhak, termasuk mencegah favoritisme, seperti kesuksesan
yang telah diraih di Kamboja, Laos, dan Filipina dengan berbagai kondisi
dan keterbatasanya. Meski demikian, pemerintah harus menyadari bahwa
kebocoran sistem seperti ini merupakan potensi bahaya dan tantangan
yang harus dipecahkan.28

30
Permasalahan lain dalam cakupan jaminan kesehatan adalah populasi
yang ‘tertinggal’. Ketika pekerja sektor formal dan masyarakat miskin
umumnya telah dicakup dalam jaminan kesehatan pemerintah, masalah
lain yang cukup penting untuk dapat dipecahkan adalah proteksi terhadap
mereka yang bekerja di sektor informal yang jumlahnya cukup banyak
dalam populasi. Proporsi pekerja sektor informal berkisar antara 49%,
seperti di Kamboja, hingga 76%, seperti di Vietnam.28 Menyediakan
proteksi terhadap risiko finansial untuk kelompok ini tidaklah mudah.
Mereka umumnya tidak teridentifikasi sebagai masyarakat miskin, namun
juga tidak memiliki kapasitas finansial yang adekuat untuk membayar biaya
kesehatan yang tinggi. Di sisi lain, ketika mereka diminta untuk membayar
premi, kapasitas untuk membayar pun terbatas sehingga keinginan untuk
membayar (willingness to pay, WTP) masih rendah. Banyak negara masih
berkutat dengan masalah ini dan masih harus berjuang untuk menyelesaikan
permasalahan dan memperluas cakupan di kelompok pekerja sektor informal.
Namun demikian, setelah membahas beragam persoalan pembiayaan
kesehatan, beberapa temuan dari studi empirik menunjukkan hasil yang
inkonsisten. Sistem pengumpulan dana dan pre-payment ternyata tidak
serta merta menghasilkan luaran kesehatan yang baik. Banyak faktor di
luar sistem pembiayaan yang mempengaruhi proses dari proteksi risiko
finansial menuju luaran kesehatan masyarakat. Ini ditunjukkan dengan
panah vertikal pada Gambar 1.6.25 Sebagai contoh, meskipun pemerintah
telah mengalokasikan dana pra pembayaran, kekeliruan dalam penentuan
tipe layanan yang dijamin tidak akan meningkatkan dimensi cakupan dan
akses terhadap layanan kesehatan yang efektif dan dibutuhkan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah perlu secara cermat menentukan benefit package
yang tepat dan mampu mengatasi persoalan kesehatan secara umum di
negaranya. Bahkan, ketika pemerintah pun telah mampu menyusun benefit
package yang tepat, masih ada faktor lain yang mempengaruhi luaran
kesehatan. Utilisasi aktual sangat mungkin tidak sejalan dengan luasnya
cakupan karena akses fisik, geografis dan informasi yang tidak mendukung
masyarakat untuk memanfaatkan layanan kesehatan yang ada.

31
Referensi
1. M
argaret C. Best days for public health are ahead of us, says WHO Director-
General. Geneva; 2012.
2. McKee M, Balabanova D, Basu S, Ricciardi W, Stuckler D. Universal
Health Coverage: A Quest for All Countries But under Threat in Some. Value
Health. 2013 Jan;16(1, Supplement):S39–45.
3. G
iedion U, Andres Alfonso E, Diaz Y. The Impact of Universal Coverage
Schemes in the Developing World : A Review of the Existing Evidence.
Washington DC: World Bank Publications; 2013.
4. World Health Organization. Health systems financing: the path to universal
coverage. Geneva: World Health Organization; 2010.
5. Carrin G, Mathauer I, Xu K, Evans DB. Universal coverage of health services:
tailoring its implementation. Bull World Health Organ. 2008;86(11):857–63.
6. W
orld Health Organization. Research for universal health coverage. Geneva:
World Health Organization; 2013.
7. Sengupta A. Universal Health Coverage. International Development
Research Centre; 2013.
8. World Health Assembly. Sustainable health financing, universal coverage
and social health insurance. World Health Assembly; 2005.
9. Gostin LO, Friedman EA, Ooms G, Gebauer T, Gupta N, Sridhar D, et al.
The Joint Action and Learning Initiative: Towards a Global Agreement on
National and Global Responsibilities for Health. PLoS Med. 2011 May
10;8(5):e1001031.
10. Health Intervention and Technology Assessment Program. Health technology
assessment process guidelines. HITAP; 2012.
11. Thailand’s universal health coverage scheme: achievements and challenges.
An independent assessment of the first 10 years (2001-2010). Nonthaburi,
Thailand: Health Insurance System Research Office; 2012 p. 120.
12. Wagstaff A, van Doorslaer E. Equity in health care finance and delivery.
Handbook of health economics. 1st ed. Elsevier; 2000. p. 1803–62.
13. Organization of African Unity. Abuja declaration on HIV/AIDS, tuberculosis
and other related infectious diseases. Abuja (Nigeria): Organization of
African Unity; 2001.

32
14. Second African Conference on Sanitation and, Hygiene. The eThekwini
declaration and African action plan. African Union Summit; 2008.
15. Stuckler D, Feigl AB, Basu S, McKee M. The political economy of
universal health coverage. Background paper for the global symposium on
health systems research Geneva: World Health Organization. World Health
Organization; 2010.
16. Hunt P. The human right to the highest attainable standar of health: new
opportunities and challenges. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2006;100(7):603–7.
17. Hosseinpoor AR, Bergen N, Koller T, Prasad A, Schlotheuber A, Valentine
N, et al. Equity-Oriented Monitoring in the Context of Universal Health
Coverage. PLoS Med. 2014 Sep 22;11(9):e1001727.
18. Wagstaff, Adam. Measuring equity in health care financing: reflections on
(and alternatives to) the world health organisation’s fairness of financing
index. Washington DC: World Bank; 2001.
19. De Maio FG. Income inequality measures. J Epidemiol Community Health.
2007 Oct;61(10):849–52.
20. World Health Organization. Handbook on health inequality monitoring: with
a special fokus on low- and middle-income countries. Geneva: World Health
Organization; 2013.
21. Gwatkin DR, Ergo A. Universal health coverage: friend or foe of health
equity? The Lancet. Jun 25;377(9784):2160–1.
22. Lameire N, Joffe P, Wiedemann M. Healthcare systems—an international
review: an overview. Nephrol Dial Transplant. 1999 Dec 1;14(suppl 6):3–9.
23. Nyman JA. The value of health insurance: the access motive. J Health Econ.
1999 Apr;18(2):141–52.
24. Xu K, Evans DB, Carrin G, Aguilar-Rivera AM, Musgrove P, Evans T.
Protecting Households From Catastrophic Health Spending. Health Aff
(Millwood). 2007 Jul 1;26(4):972–83.
25. Moreno-Serra R, Smith PC. Does progress towards universal health coverage
improve population health? The Lancet. 2012;380(9845):917–23.
26. Saksena P, Hsu J, Evans DB. Finansial Risk Protection and Universal Health
Coverage: Evidence and Measurement Challenges. PLoS Med. 2014 Sep
22;11(9):e1001701.

33
27. Knaul FM, Gonzales-Pier E, Gomez-Dantes O, Garcia-Junco D, Arreola-
Ornelas H, Barraza-Llorens M, et al. The quest for universal health
coverage: achieving social protection for all in Mexico. Lancet. 2012 Aug
16;380:1259–79.
28. Tangcharoensathien V, Patcharanarumol W, Ir P, Aljunid SM, Mukti AG,
Akkhavong K, et al. Health in Southeast Asia 6 Health-financing reforms
in southeast Asia: challenges in achieving universal coverage. Lancet.
2011;377(9768):863–73.

34
BAB II
KESEHATAN DAN HAK KESEHATAN

Saat ini muncul eskalasi isu untuk menghubungkan antara kesehatan


dan hak asasi manusia, baik ditinjau dari sisi akademik maupun kebijakan
praktis. Meski demikian, masih ada banyak keterbatasan dalam pembahasan
isu tersebut. Kedua topik isu ini, yaitu kesehatan dan hak asasi manusia,
sebenarnya sangat penting dan berdaya, namun konsep untuk menggabungkan
keduanya merupakan hal yang kompleks. 1 Meskipun secara umum telah
diyakini bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia yang fundamental,
dalam praktiknya penggabungan kedua topik isu tersebut sering terkendala.
Keyakinan tidak serta merta diikuti dengan pemahaman yang baik sehingga
memunculkan praktik yang dapat –jika tidak ingin mengatakan kerap kali,
berkebalikan dengan konsep dan keyakinan dasar.
Kesulitan dalam menggabungkan kedua topik isu tersebut tercermin
dari bagaimana sulitnya para pekerja kesehatan memahami, kebingungan,
dan masih bertanya-tanya tentang aplikabilitasnya. Sebagai contoh, pekerja
di sebuah perusahaan layak untuk dapat hidup sehat sehingga mereka pun
layak untuk mendapat lingkungan pekerjaan yang sehat dan terhindar dari
risiko dan bahaya bahan yang dapat berefek negatif terhadap kesehatannya.
Hal ini tentu sudah diyakini kebenarannya oleh banyak orang dan perusahaan,
namun pratiknya seringkali tidak sejalan. Banyak faktor yang menyebabkan
hal tersebut dapat terjadi dan akan dibahas dalam bab ini.

Kesehatan dan Hak Asasi Manusia


Badan Kesehatan Dunia, WHO, telah memperkenalkan definisi kesehatan
sebagai “kondisi sehat secara fisik, mental dan sosial, dan bukan sekedar tidak
adanya penyakit atau kesakitan”. 1,2 Definisi ini mendorong pemahaman
modern mengenai kesehatan bahwa sehat tidak hanya terkait dengan kondisi

35
fisik dan patologi. Sehat juga harus mencakup aspek mental dan sosial.
Seseorang bisa saja hidup tanpa ada gangguan organ atau sistem organ apapun,
namun ia bekerja dalam lingkungan penuh tekanan yang mengakibatkan
distress dan fungsi sosialnya terganggu. Pada kondisi ini, dengan pemahaman
konsep kesehatan modern, orang tersebut tidak dapat dikatakan sehat.
Pemahaman ini juga mendorong tenaga kesehatan profesional, dan
juga pemerintah, untuk berperan dalam mendukung pencapaian kesehatan
masyarakat. Dengan definisi tersebut di atas, perspektif mengenai
tanggung jawab kesehatan pun berkembang dari sekadar hubungan
antara tenaga kesehatan profesional dengan pasien menuju dimensi
sosial yang lebih luas, yaitu antara pemerintah dan masyarakat serta di
antara masyarakat itu sendiri. Konsep ini sejalan dengan Deklarasi Alma
Alta yang menyatakan bahwa kesehatan merupakan tujuan sosial, dan
pencapaiannya membutuhkan partisipasi dari banyak pihak selain sektor
kesehatan, termasuk sektor sosial, ekonomi dan politik. Dengan memahami
konsep dasar ini, kesehatan tidak lagi dipandang sebagai konsep sakit-dan-
tenaga kesehatan, tetapi menjadi konsep sosial yang didukung perangkat
kebijakan pemerintah dan sosial kemasyarakatan.
Di sisi lain, hak asasi manusia juga memiliki definisi yang kompleks.
Dari konsep bahwa setiap orang “dilahirkan sebagai manusia bebas
dan setara dalam hak dan martabat,”1,3 konsep hak asasi manusia terus
berkembang. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia pada
tahun 1948 merupakan pondasi untuk mengimplementasikan konsep hak
asasi manusia secara universal. Setiap negara harus memiliki standar
pencapaian yang sama sesuai dengan kerangka hukum tersebut. Dalam
perkembangannya, hak asasi manusia diidentifikasi melaju keluar dari
pamahaman sekadar hak individu. Hak asasi manusia juga melihatkan hak
dan tanggung jawab antara Negara dan individu.

36
Di mana letak hubungan antara kesehatan dan hak asasi manusia?
Topik mengenai hak asasi manusia telah berkembang secara signifikan
akhir-akhir ini dan mendapat respons positif secara internasional. Ketika
dahulu hak asasi manusia lebih banyak difokuskan pada hak sipil dan
politik selama beberapa dekade, sekarang pengembangan isu hak asasi
manusia menuju realisasi progresif di luar sekadar hak sipil dan politik.
Diskusi yang berkembang mengenai hak asasi manusia mulai menyentuh
aspek ekonomi, sosial dan budaya, termasuk pendidikan dan kesehatan. 4,5
Mann (1999) mengajukan tiga kerangka konsep dalam diskusi
mengenai hubungan antara kesehatan dan hak asasi manusia.1 Kerangka
pertama, hak asasi manusia dipengaruhi, baik secara positif maupun
negatif, oleh kebijakan, program dan praktik kesehatan. 1,4 Contohnya,
sebuah kebijakan kesehatan yang dikeluarkan pemerintah dapat dianggap
melanggar hak asasi manusia ketika ada orang yang tidak beruntung tidak
mendapatkan perawatan yang cukup untuk keluhan penyakit mereka.
Kasus pasien yang telah datang ke layanan kesehatan atau rumah sakit,
tetapi tidak mendapatkan perawatan karena proses administrasi, dapat
dianggap pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, pemerintah
harus menjamin bahwa setiap orang memiliki akses yang sama ke
layanan kesehatan karena setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan
perawatan secara tepat.
Pada praktik kesehatan atau kedokteran, dokter, sebagai contoh,
harus mengumpulkan beragam informasi terkait kesehatannya melalui
anamnesis kepada pasien atau keluarganya. Pada kondisi umum,
anamnesis pasien bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan.
Namun, pada kasus-kasus tertentu, seperti pasien dengan infeksi HIV,
kanker, atau masalah genetik, anamnesis dan pengumpulan informasi
menjadi sesuatu yang sulit dan sensitif. Dokter harus berhati-hati
dalam menanyakan hal-hal terkait kondisi pasien dan kesehatannya
karena mengumpulkan informasi pada kondisi tersebut berpotensi

37
mengganggu privasi dan keamanan seseorang. Pada beberapa kasus dan
batas tertentu, misalnya saat dokter berupaya mendapatkan persetujuan
(informed consent) untuk pemeriksaan lanjutan HIV dengan cara yang
tidak tepat atau menginterferensi dengan masalah pribadi, hal itu
dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Pun begitu
pada program kesehatan, misalnya program keluarga berencana yang
dipaksakan ke masyarakat tanpa informed consent atau prosedur
pengikatan tuba faloppi tanpa persetujuan pasien, juga dapat dianggap
sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Kedua, pelanggaran hak asasi manusia berdampak pada
kesehatan.1,4,6 Selama ini pelanggaran hak asasi manusia selalu
diidentikkan dengan isu penyiksaan, pemenjaraan dalam kondisi yang
tidak manusiawi, eksekusi kematian, pemerkosaan, atau penculikan.
Konsep hubungan antara hak asasi manusia dan kesehatan tidak
terbatas pada isu-isu tersebut. Hak asasi manusia juga mencakup hak
atas informasi dan kebebasan memilih. Terkait dengan hak informasi,
masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang adekuat
mengenai produk yang berpotensi memiliki imbas terhadap kesehatan,
misalnya rokok. Untuk produk rokok, sebagai contoh, masyarakat
berhak untuk mendapatkan informasi mengenai dampak buruk rokok
terhadap kesehatan mereka yang menghisapnya atau orang-orang di
sekitar yang menjadi perokok pasif. Dengan demikian, pemerintah juga
harus mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan perusahaan rokok
untuk memberikan informasi terkait kesehatan akibat rokok. Tanpa
upaya tersebut, pemerintah dianggap mengabaikan hak informasi
masyarakat dan melanggar hak asasi manusia.
Contoh lain adalah kesehatan pekerja. Pada beberapa kondisi,
lingkungan pekerjaan berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan
dan/atau kecelakaan kerja. Pekerja pada lingkungan tersebut berhak
untuk mendapatkan informasi, panduan, dan prosedur kerja yang aman
bagi kesehatan mereka. Jika perusahaan mengabaikan hal tersebut dan

38
membiarkan pekerja dalam risiko, perusahaan dapat dianggap melakukan
pelanggaran hak asasi manusia. Pekerja harus bekerja dalam kondisi
laik kerja, aman, dan sehat. Tugas perusahaan adalah untuk memberikan
proteksi kepada pekerja dan memenuhi standar serta persyaratan tempat
kerja yang aman dan sehat.
Ketiga, promosi dan perlindungan hak asasi manusia secara
fundamental berhubungan dengan promosi dan perlindungan kesehatan.
Keduanya bukan sesuatu yang saling terpisah. Mempromosikan upaya
kesehatan adalah bagian dari upaya promosi hak asasi manusia, dan
sebaliknya. Hal ini sudah menjadi pemahaman mendasar secara umum
bahwa kesehatan dan hak asasi manusia merupakan syarat dasar untuk
mencapai kesejahteraan manusia, dan keduanya merupakan hal yang
saling melengkapi satu sama lainnya.

Hak Kesehatan
Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Namun
demikian, diskusi mengenai hak kesehatan memerlukan definisi yang
jelas terlebih dahulu tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak
kesehatan. Apakah hak kesehatan berarti setiap orang berhak untuk sehat?
Siapa yang bertanggungjawab dalam pemenuhan hak tersebut? Dan,
haruskah pemerintah turut bertanggungjawab terhadap status kesehatan
masyarakatnya?
Untuk dua pertanyaan terakhir, banyak orang akan langsung
menyimpulkan bahwa pemerintahlah yang bertanggungjawab. Tapi,
benarkah hal tersebut? Jika benar, sejauh mana peran pemerintah dalam
pemenuhan hak kesehatan masyarakat?
Beragam instrumen hukum internasional telah mengakui adanya hak
kesehatan. Upaya pengakuan hak kesehatan diawali dengan Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini menyatakan
bahwa setiap orang memiliki hak terhadap standar kehidupan yang

39
layak untuk kesehatan, termasuk layanan kesehatan. Deklarasi ini pula
yang mendasari munculnya kode internasional yang menyusun standar
untuk mengawal dan menilai upaya pemerintah dalam pemenuhan
hak kesehatan, termasuk pengembangan pengobatan dan penguatan
sistem kesehatan.3,7–9 Beberapa instrumen hukum internasional lainnya
juga menekankan pentingnya kepatuhan pemerintah berbagai negara
terhadap pemenuhan hak kesehatan, termasuk Konstitusi WHO (1946),
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
Pasal 12 (1966), Deklarasi Alma Alta (1978),dan Perjanjian Ottawa
tentang Promosi Kesehatan (1986).6
Hak kesehatan harus dilihat secara jelas; bahwa hak tersebut
bukanlah hak untuk sehat. Salah satu instrumen hukum internasional
yang penting dan mengikat, serta memberi penekanan mengenai
hak kesehatan adalah Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (the International Covenant on Economic, Sosial
and Cultural Right, ICESCR).10–12 ICESCR menyatakan bahwa hak
kesehatan sebagai ‘hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan
fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai’13,14 Dalam istilah yang
singkat, hak kesehatan sering disebut sebagai ‘hak mendapatkan standar
kesehatan tertinggi yang dapat dicapai’.4,14
Jika memang hak kesehatan bukan hak untuk sehat, lalu apa sebenarnya
hak mendapatkan standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai? Standar
kesehatan tidak sama dengan standar hidup sehat, pun tidak sama dengan
standar akses ke layanan kesehatan saja. Standar kesehatan jauh lebih luas
daripada kedua pemahaman tersebut dan mempertimbangkan standar lain
di luar layanan kesehatan, termasuk determinan dasar kesehatan lainnya,
yaitu penyediaan air minum bersih dan aman, sanitasi yang baik, dan akses
terhadap informasi terkait kesehatan.
Dengan memahami konsep hak kesehatan tersebut, pemenuhan
hak kesehatan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai. Proses

40
pencapaian dan pemenuhan hak kesehatan harus realistis dan melewati
proses yang rumit. Oleh karena itu, pemenuhan hak kesehatan harus
dipahami bukan sebagai terpenuhinya hak kesehatan secara sempurna,
tetapi kewajiban untuk mencapai pemenuhan hak kesehatan secara
progresif dan meningkatkan ketersediaan sumber daya dalam
pemenuhan hak tersebut.
Hak kesehatan dapat dipahami sebagai kewajiban negara untuk
menjamin hak rakyatnya secara progresif untuk mengakses layanan
kesehatan dan segala determinan dasar kesehatan.4,11,15 Oleh karena itu,
negara harus menyusun langkah konkret untuk mencapai realisasi penuh
hak tersebut. Langkah tersebut mencakup memberikan hak seseorang
untuk bebas dalam mengontrol kesehatan dan tubuhnya, serta bebas dari
segala intervensi negatif terhadap kesehatan mereka. Selain itu, realisasi
hak kesehatan juga harus mencakup kewajiban sistem kesehatan yang
menyediakan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk menikmati
standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai.11,12
Tantangan pencapaian ini tentu sangat besar. Dalam menyusun
langkah konkret, realisasi progresif hak kesehatan juga membutuhkan
kecermatan dalam penyusunan indikator dan benchmark untuk memantau
dan mengevaluasi pencapaian hak kesehatan. Selain itu, meski banyak
instrumen hukum menekankan peran pemerintah dalam pencapaian ini,
tanggung jawab dalam realisasi progresif hak kesehatan bukan semata
berada di pundak pemerintah. Realisasi progresif hak kesehatan juga
membutuhkan partisipasi aktif individu dan publik dalam pembuatan
keputusan dan/atau kebijakan terkait kesehatan, serta akuntabilitas dalam
proses pembuatan keputusan dan/atau kebijakan.

Dampak Terhadap Sistem Kesehatan


Karena setiap orang memiliki hak menikmati standar kesehatan
fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai, termasuk hak terhadap

41
layanan kesehatan primer esensial dan akses terhadap obat-obatan dasar,
pemerintah harus membangun sistem kesehatan yang kuat dan efektif.
4,9
Secara paradoks, sistem kesehatan di banyak negara, bukan hanya di
negara-negara berkembang, jutsru masih berjuang untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang terus berkembang. Bahkan, sistem
kesehatan di banyak negara secara teknis gagal untuk mencapai luaran
pembangunan kesehatan yang lebih baik. Banyak faktor yang mendasari
hal tersebut, di antaranya adalah munculnya masalah inekualitas (ketidak
merataan), kemunduran upaya secara kesehatan dan ketidak amanan
sistem.2,9 Dengan kondisi ini, dan pentingnya penguatan sistem kesehatan
dalam pemenuhan hak kesehatan masyarakat, kewajiban pemerintah
untuk bergerak secara progresif semakin ditekankan. Pemerintah harus
berjuang lebih keras untuk memperbaiki sistem kesehatan, termasuk
membangun peta jalan yang jelas dalam pemenuhan hak kesehatan.
Mendiskusikan hak kesehatan dan implementasinya dalam sistem
kesehatan mungkin masih dianggap absurd oleh kebanyakan orang. Ini
masih sering dianggap sebagai pewacanaan yang terlalu teoritis dan tidak
aplikatif. Meski demikian, Komentar Umum No. 14 dalam ICESCR
memberikan pemahaman dasar mengenai hak kesehatan yang membantu
Negara untuk menginternalisasikan hak kesehatan ke dalam sistem
kesehatan. Menurut Komentar Umum No 14 tersebut, hak kesehatan
melingkupi beberapa elemen penting yang harus diaplikasikan, yaitu
ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan,dan kualitas layanan kesehatan.
Lebih lanjut, fasilitas, barang dan layanan kesehatan juga harus terjangkau
oleh semua orang dan harus didasarkan pada prinsip ekuitas.11,12 Kotak
2.1 merangkum isi Komentar Umum No 14.

42
Kotak 2.1. Hak kesehatan

ICESCR menyatakan secara jelas dan ringkas, meskipun tidak sepenuhnya


lengkap, mengenai hak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang
dapat dicapai, melalui penjelasan di Komentar Umum No 14. Berikut
adalah beberapa poin rangkuman penjelasannya.
• Hak kesehatan bukan berarti hak untuk sehat. Hak tersebut lebih tepat
dipandang sebagai kebebasan dan kewajiban. Kebebasan di sini berarti
kebebasan untuk mengontrol kesehatan seseorang dan bebas dari segala
intervensi terkait kesehatan yang berdampak tidak menguntungkan
bagi seseorang. Kewajiban di sini diartikan sebagai kewajiban untuk
menyediakan kesempatan yang setara untuk menikmati standar
kesehatan tertingi yang dapat dicapai.
• Hak kesehatan tidak dapat berdiri sendiri. Hak ini sangat berkaitan
erat dan bergantung kepada realisasai hak asasi manusia lainnya. Oleh
karena itu, kewajiban Negara untuk juga memenuhi hak asasi manusia
lainnya, dan tidak hanya fokus pada hak kesehatan. Tanpa hal tersebut
dan membiarkan hak asasi manusia lainnya terabaikan, misalnya tidak
ada pemenuhan hak mendapatkan makanan, rumah dan pendidikan,
realisasi hak kesehatan tidak akan bermakna.
• Hak kesehatan tidak hanya hak terhadap akses ke layanan kesehatan,
tetapi juga mencakup penyediaan determinan dasar kesehatan yang
adekuat dan berkualitas baik.
• Negara harus menyediakan akses ke layanan kesehatan tanpa
diskriminasi dan memberikan perhatian khusus kepada individu dan
kelompok marginal.
• Selain penyediaan fasilitas, barang dan layanan kesehatan yang
berkuaitas baik, Negara juga harus menyediakan akses ke layanan
kesehatan dengan tetap menghormati etika kedokteran dan budaya.
• Negara harus menjamin bahwa penyediaan akses ke layanan kesehatan
harus setara, adil, dan tepat. Penyediaan akses layanan kesehatan tidak
terbatas pada layanan kuratif, tetapi juga layanan komprehensif yang
mencakup promosi kesehatan (misalnya, edukasi kesehatan), pencegahan
(misalnya, program skrining), dan layanan kesehatan rehabilitasi.

43
Banyak pendekatan yang dilakukan untuk memasukkan komponen
hak kesehatan ke dalam sistem kesehatan meskipun pendekatan-
pendekatan tersebut masih dalam perdebatan. Pertama, pendekatan
yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi beberapa poin
utama dalam Deklarasi Alam Alta yang kemudian dimasukkan sebagai
komponen penting dalam sistem kesehatan yang efektif. Deklarasi Alma
Alta (1978) memberikan penekanan pada beberapa poin penting untuk
diterapkan dalam sistem kesehatan, yaitu ekuitas, partisipasi komunitas,
koordinasi multi sektor, perencanaan yang baik, sistem rujukan, program
promosi kesehatan, sumber daya manusia berkualitas tinggi, dan
jejaring internasional. Prinsip-prinsip ini sebenarnya menunjang capaian
pemenuhan hak kesehatan masyarakat. Ketika didefinisikan dengan baik,
ditambah dengan penyusunan indikator yang detail dan tepat, perwujudan
rekomendasi Deklarasi Alma Alta ini sebenarnya menjadi dasar bagi Negara
untuk membangun upaya terbaiknya dengan penyusunan kebijakan dan
program dalam sistem kesehatan yang kuat sehingga membantu realisasi
hak kesehatan masyarakat secara progresif.
Kedua, pendekatan yang lain yang dapat dilakukan adalah dengan
mengidentifikasi elemen-elemen yang ada di dalam sistem kesehatan.
WHO telah memperkenalkan konsep enam elemen building blocks yang
membangun sebuah sistem kesehatan, yaitu (1) layanan kesehatan, (2)
tenaga kesehatan, (3) sistem informasi kesehatan, (4) produk medis,
vaksin dan teknologi kesehatan, (5) pembiayaan kesehatan, dan (6)
kepemimpinan, pemerintahan, dan pengaturan (Gambar 2.1). Namun,
building blocks memang tidak secara khusus dan eksplisit menjamin
adanya upaya pemenuhan hak kesehatan. Misalnya, sistem kesehatan
mungkin telah menyediakan layanan kesehatan dan obat-obatan, namun
tidak ada jaminan bahwa layanan dan obat-obatan tersebut tersedia secara
merata dan tanpa diskriminasi. Terlepas dari berbagai kritik dan usulan
modifikasi building blocks, pendekatan melalui identifikasi elemen-elemen
yang ada di dalamnya untuk dimasukkan komponen hak kesehatan masih

44
mungkin dilakukan. Namun demikian, upaya tersebut butuh kerja keras
lebih lanjut dan menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi masing-masing
Negara untuk mengintegrasikan dan mengaplikasikannya.
Salah satu cara mengintegrasikan komponen hak kesehatan ke dalam
building blocks adalah dengan mengidentifikasi dan memasukan elemen
hak kesehatan, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas,
ke dalam masing-masing blok. Mengintegrasikan komponen-komponen
tersebut mungkin akan menghadapi kendala, salah satunya karena
perbedaan karakteristik konsep. Sistem kesehatan, dan konsep building
blocks, cenderung didominasi oleh pengaturan dari atas-ke-bawah (top-
down) dengan didominasi perspektif dari pakar. Ini berbeda dengan
konsep hak kesehatan yang cenderung mengajukan perspektif individu
dan/atau populasi dibandingkan pengaturan. Perbedaan karakteristik ini
mungkin menyebabkan kesulitan integrasi, bahkan pertentangan, jika tidak
dipertimbangkan secara matang. Sebaliknya, jika Negara mampu melihat
perbedaan ini dengan baik dan memberi perhatian yang proporsional
terhadap kedua konsep tersebut, proses pembangunan sistem kesehatan
dan pencapaian hak kesehatan dapat saling melengkapi.

Gambar 2.1. Enam elemen building blocks WHO.

45
Menghadapi kendala tersebut, pendekatan lain bisa dilakukan dengan
mengintegrasikan hak kesehatan dan sistem kesehatan tanpa menggunakan
konsep enam elemen building blocks. Sistem kesehatan didefinisikan secara
beragam dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun,
perdebatan mengenai kelemahan dan kelebihan definsisi sistem kesehatan
yang ada tidak akan didiskusikan di bab ini. Pada prinsipnya, integrasi hak
kesehatan dan sistem kesehatan harus mampu mengidentifikasi komponen ciri
hak kesehatan yang dapat dimasukkan ke dalam sistem kesehatan yang ada.
Backman (2008) mengidentifikasi komponen ciri elemen hak kesehatan
yang perlu dimasukkan ke dalam pengembangan sistem kesehatan (Gambar
2.2). Bab ini tidak akan menjelaskan keseluruhan komponen ciri tersebut,
namun menjelaskan beberapa komponen ciri yang dianggap dominan dan perlu
mendapatkan perhatian lebih besar dalam pengembangan sistem kesehatan.

Pengakuan Hukum
Selain disokong oleh instrumen hukum internasional, perkembangan
progresif menuju pemenuhan hak kesehatan harus pula didukung oleh
pengakuan hukum oleh Negara. Yang dimaksud dengan pengakuan hukum
adalah Negara membangun dan memproduksi instrumen hukum lokal, baik
undang-undang maupun peraturan, yang juga menjadi dasar dan teknis
menuju pemenuhan hak kesehatan. Instrumen hukum ini yang kemudian
akan dijadikan pijakan untuk terus mendorong pemerintah membangun
sistem layanan kesehatan yang dapat diakses, efektif, dan terintegrasi.6
Pengakuan hukum merupakan langkah mendasar yang harus dilakukan
oleh Negara. Tanpa hal tersebut, pencapaian progresif menuju pemenuhan
hak kesehatan tidak akan dapat diraih, selain slogan belaka.
Apakah pengakuan hukum ini hanya merupakan tanggung jawab
pemerintah? Tidak. Pengakuan hukum membutuhkan dukungan dari
berbagai pihak selain pemerintah. Dukungan ini dapat berupa dukungan
positif atas kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan instrumen hukum

46
yang berpijak pada hak kesehatan warganya maupun tuntutan atau desakan
massif dari pergerakan sosial. Bentuk dukungan kedua yang berupa
tuntutan atau desakan banyak terjadi di negara berkembang. Dimulai dari
peningkatan kesadaran masyarakat akan hak kesehatannya, masyarakat
dapat menuntut adanya produk instrumen hukum yang dapat mendasari
kebijakan kesehatan yang berpihak kepada hak kesehatan masyarakatnya.
Komunitas pekerja kesehatan, baik dokter, perawat atau bidan, dapat
menjadi grup penekan terhadap munculnya instrumen hukum yang dapat
melindungi hak kesehatan mereka di tempat kerja atau hak mendapatkan
upah yang layak atas pekerjaan mereka. Tekanan lain dapat muncul dari
masyarakat sendiri yang menginginkan adanya proteksi kesehatan atas diri
mereka. Komunitas yang sering melakukan ini adalah komunitas pekerja
atau buruh dengan tuntutan hak sosial bagi pekerja. Peningkatan kasus yang
diduga malpraktik juga dapat menjadi isu untuk menekan dikeluarkannya
produk hukum terkait hak kesehatan. Pergerakan sosial semacam ini biasanya
dipicu oleh isu terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat
individual atau kasus hukum tertentu (misalnya, dugaan malpraktik) –yang
kemudian digulirkan menjadi isu publik yang meluas.
Pada akhirnya, komponen ciri pemenuhan hak kesehatan yang berupa
pengakuan hukum dianggap menjadi dasar dan prinsip dalam pembangunan
dan pengembangan sistem kesehatan yang efektif.

Standar
Pengakuan hukum merupakan hal penting, namun itu saja belum memadai
untuk menjamin hak kesehatan masyarakat. Produk hukum yang ada biasanya
terbatas pada hal-hal prinsip dan non-teknis sehingga membutuhkan jabaran
detail mengenai penyediaan layanan kesehatan dan fasilitas lain yang terkait
dengan kesehatan masyarakat. Untuk itu, pemerintah harus menyempurnakan
pengakuan hukum dengan menyusun standar melalui pembuatan undang-
undang, regulasi, pedoman atau standar praktis.

47
Pada tataran ini, tidak hanya pemerintah yang memiliki peran
signifikan. Penyusunan standar membutuhkan partisipasi aktif dari
kalangan akademik, praktisi, politisi, dan masyarakat. Terlebih, standar
yang diberlakukan harus mengakomodasi komponen ciri masyarakat yang
ada dan tidak dapat langsung mengadaptasi standar yang dipakai oleh
negara lain. Standar sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain
karena perbedaan komponen ciri masyarakat dan sistem yang dibangun
selama ini di negara masing-masing.

Partisipasi
Partisipasi sudah terlihat secara jelas memiliki pengaruh signifikan
terhadap perbaikan luaran kesehatan.9,16 Negara yang mampu membangun
partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan akan mampu
mengeluarkan kebijakan,program dan praktik kesehatan yang tepat untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Pengaturan langsung dari
atas-ke-bawah seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan, sedangkan
pengaturan dari bawah-ke-atas seringkali terkendala dengan ketersediaan
sumber daya. Oleh karena itu, perlu menggabungkan kedua pendekatan
tersebut dalam proporsi yang sesuai.
Pengalaman menarik dapat diambil dari beberapa negara,seperti
Brazil dan Peru, saat keduanya berupaya membangun rencana kesehatan
nasional. Kedua negara ini berupaya membangun sistem kesehatannya
dengan melibatkan berbagai komunitas dalam kerangka kerja yang inklusif.
Ini menunjukkan bahwa pelibatan komunitas dalam membangun sistem
kesehatan merupakan keniscayaan dan sangat menguntungkan untuk
keberlanjutan sistem. Selain itu, pembangunan sistem kesehatan juga harus
mempertimbangkan pelibatan individu dan kelompok lemah. Pelibatan
ini penting agar keputusan terkait layanan kesehatan tidak memunculkan
dampak diskriminasi terhadap individu atau kelompok tertentu –yang
kemudian dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

48
Transparansi
Setiap pemangku kepentingan dalam kebijakan kesehatan memiliki
kepentingannya masing-masing yang dapat memengaruhi keputusan
kebijakan. Sebuah pembuatan kebijakan terkait kesehatan dapat
menguntungkan sebagian pihak atau merugikan pihak lain yang berpotensi
memunculkan resistensi ketika kebijakan akan diimplementasikan. Oleh
karena itu, hal penting yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembuatan
kebijakan kesehatan adalah transparansi.
Penentuan benefit package dapat diambil sebagai contoh sederhana.
Penentuan paket tersebut merupakan hal sensitif yang berpotensi mendukung
atau mengganggu kepentingan beberapa pihak. Pemerintah seharusnya
mampu melibatkan semua pihak secara adekuat dan mengakomodasi
berbagai kepentingan di dalamnya. Pihak yang seharusnya terlibat dalam
proses ini adalah institusi akademik dan riset, organisasi profesi tenaga
kesehatan, asosiasi klinik dan rumah sakit, industri farmasi, pemerintah
lokal, bahkan pasien dan masyarakat. Institusi akademik dan riset dapat
mengajukan bukti berupa efektivitas atau efektivitas-biaya sebuah intervensi
yang akan dimasukkan dalam benefit package, namun apakah penyediaan
intervensi tersebut aplikatif, terkait dengan ketersediaan dan kapasitas
layanan kesehatan dalam melakukannya perlu peninjauan teknis yang lebih
mendalam. Proses dan hasil keputusan pun seharusnya dapat dipublikasikan
kepada masyarakat umum untuk menunjukkan bahwa proses yang dilakukan
sudah mengikuti prosedur yang sesuai dan tanpa manipulasi.

Perencanaan yang Adekuat


Setelah rampung dengan pengakuan hukum dan pelibatan yang adekuat,
komponen ciri lain yang perlu diintegrasikan dalam sistem kesehatan
adalah perencanaan yang adekuat. Negara harus menyusun tujuan yang
jelas, indikator, strategi pencapaian, anggaran, kerangka waktu, dan standar
acuan. Negara dapat memilih satu atau lebih standar acuan dari negara
lain untuk dapat menilai pencapaian mereka. Namun, Negara harus benar-

49
benar memperhatikan standar acuan yang tepat karena kebanyakan sistem
kesehatan yang ada belum mengakomodasi elemen hak kesehatan secara
eksplisit. Sebelum menyusun standar acuan atau benchmarking, Negara
harus terlebih dahulu merencanakan dan menata elemen hak kesehatan apa
saja yang perlu mengacu pada standar negara atau sistem kesehatan lain.
Backman (2008) memberikan gambaran lengkap mengenai komponen
ciri hak kesehatan dalam sebuah sistem kesehatan pada Gambar 2.2.9
Meski tidak dijabarkan secara mendalam tentang komponen ciri lain, hal ini
tidak berarti menafikan kepentingan komponen ciri tersebut dalam sistem
kesehatan. Yang dijabarkan sebelumnya merupakan komponen dasar yang
perlu diperhatikan sebelum masuk ke dalam komponen ciri teknis lainnya.

Gambar 2.2. Komponen ciri hak kesehatan dalam sistem kesehatan. Diadaptasi
dari Backman et al (2008)9

50
Elemen Penting Dalam Hak Kesehatan
Hal yang penting dalam proses pencapaian hak kesehatan yang progresif
adalah bahwa setiap upaya terkait pembenahan sistem kesehatan, termasuk
penyediaan JKU, harus memasukkan elemen penting hak kesehatan ke
dalamnya. Hal ini seperti yang tertuang dalam Komentar Umum No 14
ICESCR bahwa pemenuhan hak kesehatan harus memasukkan empat
elemen penting yang saling berkaitan dan membutuhkan aplikasi yang
detail sesuai dengan kondisi yang memungkinkan di setiap negara.

Ketersediaan
Dalam proses menuju pemenuhan hak kesehatan, Negara harus menjamin
bahwa fasilitas, barang dan layanan kesehatan dan kesehatan publik tersedia
dan mencukupi, dalam hal kuantitas di sebuah negara. Ketersediaan yang
dimaksud adalah adanya tenaga kesehatan profesional dalam jumlah yang
memadai (termasuk rasio per populasi yang adekuat), jumlah fasilitas kesehatan
yang cukup dan berfungsi, ketersediaan obat-obatan esensial, vaksin, dan
intervensi terkait kesehatan yang adekuat. Isu mengenai ketersediaan biasanya
muncul ketika sebuah sistem kesehatan sedang berkembang, seperti saat ada
upaya Negara untuk memberlakukan JKU untuk masyarakatnya. Selain aspek
cakupan populasi yang masuk ke dalam sistem pembiayaan kesehatan, Negara
juga perlu memperhatikan dengan baik apakah jumlah tenaga kesehatan,
fasilitas dan barang terkait kesehatan dapat memenuhi kebutuhan –yang
secara sadar diasumsikan akan melonjak. Dalam beberapa kasus tertentu, isu
ketersediaan ini mungkin muncul akibat adanya satu kasus hukum individu,
misalnya pada kasus Mariela Viceconte melawan Kementerian Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial (Kotak 2.2).17
Upaya menjamin ketersediaan fasilitas, barang dan layanan kesehatan
akan sangata beragam antar negara dan kerap bergantung pada berbagai
faktor, seperti sumber daya yang dimiliki Negara dan tingkat perkembangan
sistem kesehatan Negara. Upaya ini juga bergantung pada kesiapan semua
pemangku kepentingan untuk menyediakan sumber daya yang adekuat.

51
Upaya penjaminan ini bukan semata tugas pemerintah, namun juga kesiapan
organisasi profesi dan institusi akademik dalam memproduksi tenaga kesehatan
profesional, juga kesiapan perusahaan farmasi dan teknologi kesehatan dalam
menyediakan obat-obatan, vaksin, dan intervensi terkait kesehatan. Untuk itu,
perlu koordinasi yang efektif antara pemerintah dengan pemangku kepentingan
terkait. Dalam pemenuhan jumlah dokter, pemerintah harus memberikan
gambaran pemetaan jumlah dan penyebaran dokter di seluruh daerah sebelum
berkoordinasi dengan institusi kesehatan mengenai kebutuhan, atau bahkan
ketidakbutuhan, dokter di negaranya. Dalam proses tersebut, manajemen data
yang efektif merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi untuk mendapatkan
pemetaan yang jelas dan rencana penyediaan yang optimal.
Selain itu, elemen ketersediaan tidak terbatas hanya pada layanan
kesehatan, tetapi juga pada determinan dasar kesehatan, seperti
ketersediaan fasilitas sanitasi yang adekuat dan air minum yang aman
dan bersih. Elemen ketersediaan determinan dasar kesehatan ini yang
sering luput diperhatikan. Pada implementasi JKU, pemerintah seringkali
hanya berfokus pada penyediaan layanan kesehatan kuratif –bagaimana
agar masyarakat uang membutuhkan layanan kesehatan dapat mengakses
layanan tanpa hambatan finansial. Padahal, aspek promosi dan pencegahan
yang termasuk dalam determinan dasar kesehatan tidak boleh diabaikan.
Jika layanan kesehatan tersedia tanpa penguatan promosi dan pencegahan
di masyarakat, status kesehatan masyarakat tidak akan beranjak naik secara
positif karena determinan dasar kesehatannya tidak diperbaiki.
Ketersediaan tenaga kesehatan juga seringkali diartikan secara sempit
dengan hanya mempertimbangkan jumlah dan rasio tenaga kesehatan
profesional dibandingkan jumlah populasi. Padahal, hak kesehatan
juga mencakup jaminan penyebaran tenaga kesehatan secara merata di
seluruh daerah dan jaminan bahwa tenaga kesehatan diberikan gaji yang
kompetitif secara domestik dibandingkan pekerja di sektor lain.6,12 Gaji
yang kompetitif merupakan hal penting yang tidak dapat diabaikan karena
akan terkait dengan kebersediaan tenaga kesehatan disebar ke seluruh
daerah dan kualitas layanan yang diberikan ke masyarakat.

52
Kotak 2.2. Kasus Mariela Viceconte vs Kementerian Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial Argentina17
Mariela Viceconte, bersama dengan Ombudsman Nasional Argentina,
mengajukan permohonan hukum ke Mahkamah untuk menekan pemerintah
Argentina terkait dengan kasus demam berdarah. Menurut data WHO,
demam berdarah telah menjangkiti sekitar 3,5 juta orang di dunia dan perlu
dicegah secara sistematis. Viceconte meminta pemerintah untuk mengambil
langkah khusus yang dapat melindungi warga Argentina dari penyakit
tersebut, yaitu dengan memproduksi vaksin tersertifikasi WHO; Candid#1.
Vaksin Candid#1, yang juga dikenal sebagai vaksin Junin, merupakan
satu-satunya vaksin yang dikembangkan untuk melindungi manusia dari
virus Junin yang menyebabkan demam berdarah Argentina. Demam
berdarah Argentina sendiri merupakan jenis demam berdarah yang
spesifik dan berbeda dengan jenis demam berdarah lainnya. Vaksin ini
telah dikembangkan sejak tahun 1992 dan menunjukkan efektivitas sekitar
98,1%. Karena vaksin ini secara khusus ditujukan untuk melindungi dari
demam berdarah Argentina, potensi pemasarannya menjadi terbatas.
Biaya produksi menjadi mahal dan pemerintah tidak memasukkannya ke
dalam benefit package. Dengan keterbatasan inilah, vaksin tersebut kerap
dianggap sebagai vaksin ‘yatim’ (‘orphan’ vaccine).18,19
Mahkamah menerima permohonan Viceconte karena beranggapan bahwa
penyediaan vaksin tersebut terkait dengan pemenuhan hak kesehatan
masyarakat. Karena vaksin ini efektif untuk melindungi demam berdarah
Argentina, Mahkamah memutuskan bahwa pemerintah Argentina
bertanggungjawab terhadap ketersediaan vaksin tersebut. Pemerintah
memiliki peran penting menyediakan fasilitas, barang dan layanan
kesehatan di dalam situasi ketika masyarakat berada dalam risiko terjangkit
penyakit tersebut. Lebih jauh, pemerintah Argentina dianggap memiliki
kewajiban untuk melindungi kesehatan individu; dan memproduksi vaksin
Candid#1 merupakan upaya perlindungan ketika ketersediaannya terbatas
dengan harga yang tinggi.

53
Aksesibilitas
Upaya pemenuhan hak kesehatan masyarakat berarti pula menyediakan
fasilitas, barang, dan layanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh semua
individu dan kelompok. Ada tiga konsep dasar ketika mendiskusikan
aksesibilitas, yaitu ekuitas, ekualitas dan non-diskriminasi. Ekualitas dan
non-diskriminasi secara umum dipersepsikan sebagai keadilan. Hal ini
berarti semua orang harus mendapatkan perawatan dan layanan kesehatan
yang setara tanpa adanya perbedaan, serta tidak membiarkan individu atau
kaum lemah dan minoritas tidak mendapatkan layanan kesehatan yang setara
dengan individu atau kelompok lainnya. Ekualitas dan non-diskriminasi
dapat dipertegas oleh pranata hukum. Berbeda denga ekualitas dan non-
diskriminasi, ekuitas lebih fokus pada kesetaraan utilisasi atau jaminan
pembiayaan dan mungkin sulit untuk dipertegas oleh pranata hukum.
Pengukuran terhadap aksesibilitas layanan kesehatan harus
mengeksplorasi empat dimensi yang berkaitan satu sama lain berikut ini.12

Non Diskriminasi
Layanan, barang dan fasilitas kesehatan harus dapat dijangkau oleh
semua orang. Orang atau kelompok yang hidup dalam kemiskinan,
kecacatan, keterbatasan mental, minoritas dan perempuan merupakan
individu atau kelompok yang seringkali menjadi obyek diskriminasi –yang
kemudian dikenal sebagai kelompok rentan dan terpinggirkan.9,11,12 Bentuk
diskriminasi bermacam-macam. Penelantaran, penghalangan akses layanan
dan informasi, atau tidak terakomodasinya kebutuhan tertentu merupakan
bagian dari bentuk diskriminasi. Secara umum, diskriminasi biasanya
terjadi pada orang atau kelompok cacat dan diskriminasi yang didasarkan
pada usia (mereka yang tua didiskriminasikan dan dibedakan perlakuannya
dibandingkan mereka yang muda). Negara memiliki tanggung jawab
untuk menurunkan, jika tidak mampu menghilangkan, angka diskriminasi
melalui penegakan hukum dan perbaikan sistem kesehatan.

54
Aksesibilitas Fisik
Penyediaan fasilitas, barang, dan layanan kesehatan harus
mempertimbangkan bahwa semuanya tersedia dalam jangkauan fisik yang
aman bagi semua, terutama bagi kelompok rentan dan terpinggirkan. Bukan
hanya layanan kesehatan harus berada dalam lokasi yang terjangkau, namun
juga dilengkapi dengan akses yang adekuat untuk orang cacat. Ini menunjukkan
bahwa jumlah fasilitas kesehatan saja tidak mencukupi kebutuhan masyarakat
jika secara fisik tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Negara juga harus
menjamin bahwa fasilitas layanan kesehatan harus terjangkau, baik melalui
jalur darat atau sungai/kanal (di area yang dikelilingi sungai).

Aksesibilitas Ekonomi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penyediaan proteksi finansial,
seperti upaya pengembangan skema JKU, penting agar ketersediaan layanan
kesehatan juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Proteksi finansial inilah
yang dapat memecahkan masalah keterjangkauan dan diharapkan mampu
meningkatkan utilitas fasilitas layanan kesehatan. Bagi mereka yang miskin,
proteksi finansial untuk mengakses layanan kesehatan membantu mereka untuk
keluar dari persoalan biaya kesehatan yang sebelumnya menghambat akses
secara disproporsional. Hal yang masih rumit dalam hal aksesibilitas ekonomi
adalah keterjangkauan finansial masyarakat terhadap determinan dasar kesehatan
karena mayoritas JKU masih menekankan pada aspek layanan kesehatan.

Aksesibilitas Informasi
Komponen aksesibilitas terakhir ini jarang menjadi perhatian
pemerintah dan publik. Padahal, informasi merupakan komponen penting
dalam hak kesehatan masyarakat. Setiap orang memiliki hak untuk
mencari, menerima, dan menyebarkan informasi, ide dan pendapat terkait
dengan isu kesehatan. Kenyataannya, pada banyak negara berkembang,
kesadaran akan hak informasi pun masih terbatas. Namun demikian, perlu
diperhatikan dengan seksama bahwa hak tersebut tidak boleh mengganggu
aspek kerahasiaan informasi.

55
Penerimaan
Sistem kesehatan harus mempertimbangkan bahwa fasilitas, barang,
dan layanan kesehatan yang disediakan dan diberikan harus menghormati
etik kedokteran dan dapat diterima secara kultur. Tenaga kesehatan jelas
harus melaksanakan praktik yang secara etik diterima. Pelanggaran
terhadap etik kedokteran dapat menurunkan penerimaan masyarakat
terhadap layanan kesehatan yang diberikan.
Budaya yang berkembang di tengah masyarakat sangat beragam antar
negara, bahkan antar daerah dalam satu negara. Sistem kesehatan harus membuka
peluang untuk beradaptasi dengan budaya yang berlaku. Sebuah kebijakan atau
program kesehatan dapat diterima dengan baik di satu daerah, namun tidak
diterima dengan baik, bahkan ditolak, di daerah lain. Dengan berkembangnya
desentralisasi kesehatan, seharusnya aspek penerimaan kultur dapat lebih
mudah diakomodasi oleh sistem kesehatan yang ada. Selain itu, kesadaran
untuk mengembangkan keterampilan komunikasi dan pemberian layanan lintas
budaya semakin berkembang. Keterampilan ini mulai masuk dalam kurikulum
pendidikan kedokteran dengan harapan lulusan dokter terampil untuk menangani
pasien dengan pendekatan kultur yang baik. Tenaga kesehatan profesional harus
memahami bahwa menghadapi orang dengan etnis dan kultur yang berbeda
mungkin membutuhkan strategi yang berbeda –baik dalam penanganan pasien
sebagai individu maupun masalah kesehatan masyarakat.

Kualitas
Salah satu permasalahan rumit ketika berupaya menyediakan JKU
adalah rendahnya kualitas fasilitas, barang dan layanan kesehatan yang
tersedia. Kualitas yang baik berarti bahwa penyediaan fasilitas, barang dan
layanan kesehatan harus “tepat secara ilmiah dan medis”.12 Kualitas yang
baik tidak terbatas pada bagaimana tenaga kesehatan memberikan layanan
kesehatannya, namun juga bagaimana pemerintah berupaya menyediakan
fasilitas yang memadai, termasuk bangunan fungsional dan peralatan yang
diperbarui secara berkala sehingga tidak membahayakan kondisi orang

56
yang mengakses layanan kesehatan. Selain itu, obat-obatan dan vaksin juga
harus tersedia dalam kualitas yang baik, tidak rusak atau kadaluwarsa, dan
didukung perlengkapan untuk penyimpanan yang baik.

Kotak 2.3. Konsep hak kesehatan


Konsep Ketersediaan, Aksesibilitas, Penerimaan dan Kualitas
(Availability, Accessibility, Acceptability, Quality – AAAQ): Empat
elemen esensial hak kesehatan
Ketersediaan – tersedianya fasilitas, barang dan layanan kesehatan,
termasuk determinan dasar kesehatan, obat-obatan esensial, vaksin dan
teknologi kesehatan serta penyebaran yang merata, gaji tenaga kesehatan
yang kompetitif.
Aksesibilitas – aksesbilitas fisik, ekonomi dan informasi tanpa diskriminasi..
Penerimaan – menghargai etik kedokteran, profesionalisme dan budaya
dalam penyediaan layanan kesehatan.
Kualitas – tepat secara ilmiah dan medis dan diberikan dalam kualitas yang baik.
Enam konsep: enam konsep esensial dalam hak kesehatan
Realisasi progresif – mengambil langkah konkret untuk mencapai realisasi
penuh hak kesehatan.
Kewajiban inti – implementasi penyediaan layanan kesehatan esensial dan
pembangunan sistem kesehatan yang kuat dan efektif.
Ekualitas dan non-diskriminasi – menjamin bahwa fasilitas, barang, dan
layanan kesehatan, termasuk determinan dasar kesehatan dapat diakses
secara setaratanpa diskriminasi.
Partisipasi – melibatkan semua pemangku kepentingan untuk berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan atau kebijakan terkait kesehatan.
Informasi – ketersediaan dan keterjangkauan informasi, serta menyebarkan
informasi terkait kesehatan.
Akuntabilitas – membangun mekanisme yang efektif untuk menjamin
akuntabilitas proses pembuatan keputusan dan penyediaan layanan
kesehatan, termasuk dalam upaya penempuhan jalur hukum.

57
Selain konsep ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan dan kualitas –yang
dikenal pula sebagai konsep AAAQ (availability, accessibility, acceptability
and quality), terdapat konsep lain dalam hak kesehatan, yaitu enam konsep
esensial (Kotak 2.3). Pertama, realisasi progresif yang merupakan konsep
penting. Negara memang memiliki sumber daya yang terbatas dan membuat
implementasi penuh hak kesehatan tidak mungkin dapat dicapai dalam waktu
singkat. Meski demikian, Negara harus mengambil ‘langkah yang terencana
dan konkret untuk mencapai realisasi penuh hak kesehatan’.20,21
Kedua, Negara memiliki kewajiban inti terkait implementasi hak
kesehatan. Kewajiban inti ini yang mendorong Negara untuk mengambil
langkah sesegara mungkin untuk menyediakan layanan kesahatan primer,
rumah, makanan, sanitasi dan obat-obatan. Selain pemenuhan terhadap
kebutuhan kesehatan, kewajiban inti juga termasuk implementasi sistem,
strategi dan rencana aksi kesehatan nasional yang kuat, atau setidaknya lebih
baik dari yang ada saat ini.20,22 Ketiga, ekualitas dan non-diskriminasi harus
ditekankan –seperti yang telah dijabarkan dalam poin aksesibilitas di konsep
AAAQ. Keempat, pemenuhan hak kesehatan membutuhkan partisipasi yang
adekuat. Langkah-langkah yang diambil untuk realisasi progresif hak kesehatan
jelas membutuhkan partisipasi seluruh pemangku kepentingan di tingkat lokal,
nasional, dan internasional. Partisipasi seperti ini akan berimplikasi pada hak
untuk mencari dan menyebarkan informasi terkait kesehatan, mengekspresikan
ide, kritik dan pandangan secara bebas terlibat dalam pembuatan keputusan,
dan mendapatkan transparansi dalam proses pembuatan kebijakan.
Kelima, Negara harus menjamin akses setiap orang terhadap informasi.
Informasi yang dimaksud adalah hak mendapatkan informasi yang adekuat
mengenai isu terkait kesehatan dan hak untuk menyampaikan klaim atau
komplain tentang ketersediaan, aksesibilitas, dan kualitas layanan, barang,
dan fasilitas kesehatan. Penting pula bagi pemerintah untuk menyediakan
akses informasi dalam bahasa nasional dan daerah yang dapat dipahami
secara jelas oleh populasi lokal. Beberapa etnis, terutama yang tinggal di
daerah terpencil, mungkin tidak mampu berkomunikasi dengan jelas dalam
bahasa nasional karena mereka tumbuh dan berkembang dengan bahasa

58
lokal mereka. Dalam kondisi ini Negara harus mampu memfasilitasi
dan memecahkan kendala tersebut, serta membangun sistem informasi
kesehatan yang kompatibel dijalankan di seluruh negeri.
Keenam, pemenuhan hak kesehatan mensyaratkan sistem kesehatan
yang dibangun dapat menjamin akuntabilitas. Akuntabilitas ini termasuk
akses untuk menempuh jalur hukum, setidaknya di tingkat nasional.
Beberapa negara mungkin tidak memiliki pengadilan tingkat nasional yang
spesifik untuk menangani hak asasi manusia. Meski demikian, Negara dapat
membangun mekanisme akuntabilitas lewat berbagai cara yang memiliki
autoritas yang sama untuk penempuhan jalur hukum, seperti Mahkamah
Tinggi atau Mahkamah Agung. Negara juga dapat menjamin mekanisme
akuntabilitas dengan membentuk Komisi Ombudsman Nasional dan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta memberikan kesempatan yang
luas kepada perkumpulan atau organisasi sipil untuk menjadi ‘watch dog’
terhadap segala kejadian pelanggaran hak asasi manusia.

JKU dan Hak Kesehatan


Jika hak kesehatan terlihat terlalu teoritis, JKU merupakan isu yang lebih
popular dan mudah dicerna oleh masyarakat, bahkan pemerintah dan berbagai
pemangku kepentingan. Saat kesulitan mengintegrasikan hak kesehatan
ke dalamn sistem kesehatan yang ada, momentum upaya pencapaian JKU
dapat dipakai untuk mengintegrasikan hal tersebut. Caranya adalah dengan
memasukkan elemen hak kesehatan ke dalam pencapaian JKU.
Keterbatasan yang mungkin dihadapi adalah kendala perspektif yang
kerap dipakai dalam pencapaian JKU. Seperti yang telah dijabarkan di bab
sebelumnya, JKU lebih sering dipandang dari sisi pembiayaan kesehatan
dengan menggunakan pendekatan tiga dimensi cakupan. Padahal, hak
kesehatan menawarkan perspektif yang lebih luas dan mendasar. Oleh
karena itu, penting bagi Negara untuk mengonsep ulang JKU dengan
memasukkan elemen hak kesehatan untuk menjamin keseluruhan kebutuhan
masyarakat.15 Gostin dkk (2011) mencoba mengajukan konsep bagaimana
mengintegrasikan hak kesehatan dalam dimensi cakupan JKU (Gambar 2.3)

59
Gambar 2.3. Konsep integrasi JKU dan hak kesehatan. Diadaptasi dari Gostin dkk (2011)15

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsep yang secara


popular diperkenalkan WHO mengajukan pendekatan tiga dimensi
cakupan. Pendekatan hak kesehatan mendorong penilaian yang lebih
dalam dari sekadar cakupan. Hak kesehatan mensyaratkan Negara untuk
menggunakan sebanyak-banyaknya sumber daya yang tersedia utuk
mencapai pemenuhan hak masyarakat menikmati standar kesehatan
tertinggi secara progresif.15 Ketika mendiskusikan cakupan populasi,
penilaian pencapaian bukan lagi sekadar seberapa besar proporsi
masyarakat yang tercakup dalam jaminan pembiayaan kesehatan, namun
juga Negara harus menjamin bahwa cakupan populasi tersebar merata,
ekual, dan tanpa diskriminasi. Sistem pembiayaan kesehatan harus
memberikan kesempatan yang setara kepada seluruh masyarakat tanpa
adanya diskriminasi. Sebagai contoh, mekanisme pendaftaran melalui
pendaftaran online dapat dianggap sebagai mekanisme yang diskriminatif
ketika tidak semua daerah memiliki akses terhadap koneksi internet yang
adekuat. Begitu pun dengan adanya perbedaan perlakuan antara mereka
yang dapat membayar premi secara mandiri dan mereka yang dibiayai oleh

60
kas negara dapat dianggap sebagai sistem pembiayaan yang tidak setara
dan diskriminatif. Dimensi cakupan konsep WHO tidak memicu penilaian
sedalam ini, dan harus dikonsep ulang dengan pendekatan hak kesehatan
sehingga persoalan ini dapat ditangkap dengan baik.
Selain itu, proses memperluas cakupan dan mekanisme pendaftaran
atau penerimaan anggota harus akuntabel dan transparan sehingga muncul
mekanisme kontrol yang efektif. Informasi mengenai mekanisme pendaftaran
disebarluaskan secara masif dan dipastikan diterima oleh masyarakat di
seluruh negeri. Saluran komplain juga harus dibangun secara transparan
sehingga masyarakat yang menemui berbagai kendala, baik untuk mengakses
informasi, mendaftar, melakukan pembayaran, atau mengajukan komplain
lain, dapat menyalurkannya secara efektif dan ditatalaksana dengan tepat.
Terkait dengan upaya memperluas cakupan, meminimalisir proporsi
biaya yang harus dibayar oleh peserta jaminan kesehatan merupakan
dasar dalam proteksi masyarakat terhadap potensi pemiskinan. Dalam
upaya implementasi konsep ini, Negara harus memastikan bahwa proses
pembuatan keputusan harus akuntabel dan mendorong partisipasi inklusif
seluruh pemangku kepentingan. Proses ini juga harus dipastikan bahwa
setiap layanan atau intervensi kesehatan, atau setidaknya layanan kesehatan
primer, bukan hanya tersedia, tetapi tersebar secara merata dan dapat
diakses secara fisik tanpa menimbulkan kendala finansial lainnya. Selain
kendala finansial untuk membayar biaya kesehatan langusng di klinik atau
rumah sakit, masyarakat juga harus berhadapan dengan biaya transportasi
dan akomodasi terkait dengan akses layanan kesehatan. Jika fasilitas yang
ada tidak tersebar merata atau sulit diakses secara fisik dan geografis tanpa
dukungan infrastruktur yang baik, kendala finansial mungkin akan tetap
ada dan menghambat utilisasi layanan kesehatan yang optimal.
Pendekatan konsep dimensi cakupan WHO mendorong upaya perluasan
cakupan yang lebih banyak berfokus pada penentuan benefit package yang
terkait layanan kesehatan kuratif. Isu yang berkembang dalam topik benefit

61
package adalah apakah obat A ditanggung, apakah operasi B dijamin, dan
apakah prosedur C dapat dilakukan tanpa adanya tambahan biaya. Belum banyak
pendekatan yang dilakukan untuk memasukkan pula cakupan determinan
dasar kesehatan ke dalam benefit package yang diterima. Pendekatan hak
kesehatan mendorong perluasan cakupan yang lebih luas dari sekadar cakupan
kuratif, namun juga promosi kesehatan, pencegahan, dan rehabilitasi.Dalam
praktiknya, penyediaan fasilitas sanitasi dan air minum yang aman dan bersih
tidak diakomodasi secara adekuat di banyak upaya jaminan kesehatan. Oleh
karena itu, Negara harus memberi perhatian yang cukup untuk memasukkan
promosi kesehatan dan pencegahan dalam ‘cakupan layanan’.
Bagaimana hal tersebut dapat diakomodasi dalam dimensi cakupan?
Kendala yang ditemui adalah mengkuantifikasikan biaya determinan
dasar kesehatan dalam satuan ekonomi per kepala. Dalam praktiknya,
determinan dasar kesehatan memang dikelola sebagai infrastruktur yang
membutuhkan investasi besar dan ketersediaannya seringkali terpecah
akibat koordinasi antar kementerian dan/atau badan negara. Besarnya
investasi dan kendala koordinasi menyebabkan penyediaan determinan
dasar kesehatan menjadi item dengan prioritas rendah dan kekurangan
sumber daya. Terlebih lagi, Negara –bersama dengan pemangku
kepentingan lainnya, sering memberikan investasi yang tidak memadai
untuk sanitasi dan menelantarkan isu ini secara politik.23 Beberapa alasan
mengemuka, termasuk isu dukungan politik yang rendah dan komitmen
yang terbatas untuk menyediakan determinan dasar kesehatan secara
adekuat. Akibatnya, seringkali penyediaan tersebut lebih banyak bertumpu
pada program tanggung jawab sosial korporat atau pengabdian masyarakat
yang dilakukan institusi akademik dan lembaga non-pemerintah (lembaga
sosial kemasyarakatan, LSM).
Meskipun sulit untuk mengkuantifikasikan biaya determinan dasar
kesehatan dalam satuan ekonomi per kepala, dengan konsep hak kesehatan,
Negara tetap memiliki kewajiban untuk menyediakan proporsi anggaran
kesehatan yang adekuat untuk kesehatan publik dan program promosi dan

62
pencegahan. Proporsi dari anggaran nasional untuk kesehatan bervariasi antar
negara, tetapi umumnya proporsi ditetapkan sekitar 5% dari anggaran nasional.
Jika proporsi anggaran kesehatan masih di bawah angka tersebut, Negara perlu
mengalokasikan ulang dengan lebih baik untuk kesehatan –dan pergerakan
sosial dapat menuntut peningkatan proporsi anggaran tersebut. Selain proporsi
anggaran kesehatan terhadap anggaran nasional, Negara harus memastikan
bahwa penyediaan program sanitasi dan air minum yang aman dan bersih harus
ekual sesuai kebutuhan. Masalah determinan dasar kesehatan umumnya jauh
lebih relevan di daerah pedesaan, terpencil dan populasi tak terjangkau, meski
tidak menutup kemungkinan relevansi di daerah perkotaan. Dengan demikian,
Negara perlu memperhatikan kesenjangan yang ada sebelum menentukan
prioritas yang tepat dan mengaplikasikannya.
Memberikan prioritas yang lebih besar pada upaya promosi kesehatan dan
pencegahan bukan hanya mendorong pencapaian pemenuhan hak kesehatan
masyarakat. Keseimbangan yang proporsional antara upaya promosi kesehatan
dan pencegahan dengan upaya layanan kesehatan kuratif akan menghasilkan
luaran kesehatan yang lebih baik dan berjangka panjang, serta membantu
aplikasi sistem kesehatan yang efektif.
Sebagai konsekuensinya di dalam sistem kesehatan, manajemen
informasi harus diperkuat. Dengan perluasan cakupan dengan pendekatan
hak kesehatan, sistem informasi kesehatan seharusnya tidak hanya sebagai
sistem pengumpulan data, tetapi juga menjadi bagian sistem penentuan
keputusan kebijakan. Hal ini mencakup pengumpulan data penting pada
kondisi saat itu, pemetaan, persiapan, sistem peringatan dini, analisis, dan
rekomendasi keputusan atau kebijakan. Memperkuat sistem informasi
kesehatan akan membantu sistem kesehatan dan pembuat keputusan
mengidentifikasi daerah dengan risiko tinggi terhadap penyakit tertentu
dan memudahkan perencanaan intervensi atau program kesehatan.
Untuk menjamin bahwa upaya menuju penyediaan JKU juga
mendorong realisasi progresif hak kesehatan, penilaian dan evaluasi secara
kritis perlu dilakukan dengan menggunakan perangkat penilaian yang

63
tepat dan adekuat. Hunt (2006) menawarkan panduan penilaian empat
elemen penting untuk mengukur pencapaian Negara dalam upayanya
merealisasikan hak kesehatan secara progresif di Kotak 2.4.20 Panduan
penilaian ini merupakan salah satu perangkat yang dapat membantu
evaluasi realisasi progresif hak kesehatan dalam upaya penyediaan JKU.
Kotak 2.4. Panduan penilaian empat elemen penting hak kesehatan dalam
upaya penyediaan JKU, diadaptasi dari Hunt (2006).
Hak Penilaian
Kesehatan
Ketersediaan Dampak JKU terhadap ketersediaan:
layanan kesehatan yang fungsional, termasuk layanan kesehatan primer,
sekunder dan tersier, tenaga kesehatan profesional yang mendapatkan
gaji kompetitif secara domestik, obat-obatan esensial dan layanan
kesehatan, kesiapan, tatalaksana dan kontrol terhadap penyakit epidemi
dan endemi, fasilitas sanitasi dan air minum yang aman dan bersih yang
adekuat, serta program promosi kesehatan dan pencegahan.

Aksesibilitas Dampak JKU terhadap aksesibilitas fasilitas, barang, dan layanan


kesehatan, serta determinan dasar kesehatan:
tanpa diskriminasi, dalam kaitannya dengan jarak fisik dan ketersediaan
transportasi publik, terutama di daerah pedesaan dan terpencil, dalam
hal eknomi, termasuk dampak potensial terkait layanan kesehatan
terhadap alokasi sumber daya, asuransi kesehatan, dan terbebasnya
biaya layanan kesehatan atau pengguna layanan kesehatan, serta
dalam kaitannya dengan informasi terkait kesehatan.
Penerimaan Dampak JKU terhadap penerimaan terhadap fasilitas, barang,
dan layanan kesehatan, serta determinan dasar kesehatan dengan
menghormati:
persyaratan adanya persetujuan (informed consent) untuk setiap
tatalaksana medis, kerahasiaan informasi kesehatan personal, budaya
individu, minoritas, dan komunitas, serta kebutuhan privasi dan
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Kualitas Dampak JKU terhadap kualitas:
layanan kesehatan dengan memperhatikan kebutuhan fisik dan mental,
fasilitas layanan kesehatan primer, sekunder dan tersier, peralatan
layanan kesehatan primer, klinik, rumah sakit, dan laboratorium yang
tepat secara ilmiah dan medis, tenaga kesehatan profesional, informasi
terkait kesehatan, fasilitas sanitasi, serta air minum dan determinan
dasar kesehatan lainnya.

64
Referensi
1. Mann JM, Gostin L, Gruskin S, Brennan T, Lazzarini Z, Fineberg HV.
Health and human rights. Health Hum Rights. 1994;1(1):6–23.
2. World Health Organization. Everybody’s business: strengthening health
systems to improve health outcomes: WHO’s framework for action.
Geneva: World Health Organization; 2007.
3. United Nation. The Universal Declaration of Human Rights. United
Nation; 1948.
4. Hunt P. The human right to the highest attainable standar of health: new
opportunities and challenges. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2006;100(7):603–7.
5. Yamin AE. The future in the mirror: incorporating strategies for the defense
and promotion of economic, social and cultural rights into the mainstream
human rights agenda. Hum Rights Q. 2005;27(4):1200–44.
6. Hunt P, Backman G. Health systems and the right to the highest attainable
standar of health. Health Hum Rights. 2008;81–92.
7. Brownlie I. Basic documents of international law. Oxford: Oxford
University Press; 2006.
8. Marks S. Health and human rights: Basic international documents. 2nd
ed. Cambridge: François-Xavier Bagnoud Center for Health and Human
Rights, Harvard School of Public Health; 2006.
9. Backman G, Hunt P, Khosla R, Jaramillo-Strouss C, Fikre BM, Rumble C,
et al. Health systems and the right to health: an assessment of 194 countries.
The Lancet. 13;372(9655):2047–85.
10. United Nation General Assembly. Universal declaration of human rights.
United Nation; 1948.
11. Den Exter A, editor. The right to the highest attainable standar of health.
International health law and ethics: basic documents. 2nd ed. Antwerpen:
Maklu; 2012. p. 18–23.
12. UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR).
General Comment No. 14: The Right to the Highest Attainable Standar of
Health (Art. 12 of the Covenant). E/C.12/2000/4; 2000.
13. United Nation. International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights of 1966. Dec 16, 1966.

65
14. World Health Organization. International covenant on economic, social
and cultural rights. World Health Organization;
15. Gostin LO, Friedman EA, Ooms G, Gebauer T, Gupta N, Sridhar D, et al.
The Joint Action and Learning Initiative: Towards a Global Agreement on
National and Global Responsibilities for Health. PLoS Med. 2011 May
10;8(5):e1001031.
16. United Nation. Convention on the Rights of the Child. New York: United
Nation; 1989.
17. Hunt P. Report of the Special Rapporteur on the right of everyone to the
enjoyment of the highest attainable standar of physical and mental health.
Geneva: United Nations; 2008 Jan. Report No.: A/HRC/7/11.
18. Nierengarten MB, Lutwick LI. Vaccines for Viral Hemorrhagic Fevers:
Filoviruses and Arenaviruses. Medscape infectious diseases. www.
medscape.com. 2012.
19. Enria D, Barrero Oro J. Junin virus vaccines. Arenaviruses II Current
Topics in Microbiology and Immunology. New York: Springer-Verlag;
2002. p. 239–61.
20. Hunt P, MacNaughton G. Impact assessments, poverty and human rights:
a case study using the right to the highest attainable standar of health.
UNESCO. 2006;31:9.
21. UNICEF. Fact Sheet: Implementation guidelines for the Convention on
the Rights of the Child [Internet]. UNICEF; Available from: http://www.
unicef.org/crc/files/Implementation_guidelines.pdf
22. Riddel R. Poverty: The Relevance of Human Rights to Poverty Red uction.
Geneva: International Council on Human Rights Policy; 2004.
23. Action for Global Health. Making health a right for all: universal health
coverage and water, sanitation and hygiene. Action for Global Health and
Water Aid; 2014.

66
BAB III
POLITIK DAN DESENTRALISASI: ISU PERANCU

Reformasi kebijakan kesehatan merupakan sebuah proses politik.1


Mendiskusikan isu reformasi kesehatan, termasuk JKU, akan mengantarkan
kepada diskusi mengenai interaksi yang kompleks di luar sekadar diskusi
mengenai kesehatan dan intervensi kesehatan. Interaksi tersebut mencakup
bagaimana tradisi politik, kebijakan kesehatan, bahkan kebijakan ekonomi makro
mempengaruhi sikap pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dan luaran
kebijakan itu sendiri. Tradisi politik yang berbeda secara jelas terkait dengan
corak spesifik dalam kesehatan populasi selama ini sehingga peran tradisi politik
dalam pencapaian kebijakan dan luaran kesehatan tidak dapat dinafikan. Tradisi
politik menjadi isu perancu dan akan dibahas secara spesifik di bab ini. Proses
pencapaian menuju JKU dan realisasi progresif hak kesehatan masyarakat juga
dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh tradisi politik,
iklim politik, dan perubahannya selama proses berlangsung.

Politik dan Kesehatan


Corak tradisi politik sangat beragam antar negara. Negara-negara maju
umumnya telah memiliki sistem politik yang ajeg dengan karakteristik
khusus antar kelompok politik, sedangkan negara berkembang mungkin
belum memiliki corak yang spesifik. Dari studi pada negara-negara OECD,
sebagai contoh, Navarro dkk mengajukan sebuah model bagaimana
politik dapat memengaruhi luaran kesehatan (Gambar 3.1). Gambar ini
menunjukkan bahwa tradisi politik memengaruhi luaran kesehatan melalui
dua jalur utama, yaitu pasar buruh/pekerja dan kebijakan kesejahteraan.
Beberapa negara yang secara umum pemerintahannya dikuasai oleh
partai sosial demokratik biasanya memiliki komitmen yang kuat terhadap
kebijaka redistributif (dengan rerata koesisien Gini 0,225). Negara-negara
seperti ini memiliki keberpihakan pada implementasi skema JKU dan

67
proteksi sosial untuk seluruh warganya. Berbeda dengan sosial demokratik,
negara-negara yang secara prinsip dikuasai oleh partai Kristen demokratik
atau partai konservatif umumnya memiliki komitmen yang lebih rendah
terhadap kebijakan redistributif. Meski demikian, negara-negara seperti
ini memberikan keberpihakan lebih kepada warga negaranya yang berusia
lanjut. Berbeda dengan dua karakteristik pemerintahan sebelumnya, negara
yang mayoritas dikuasai oleh partai liberal justru tidak memiliki tradisi
politik dengan komitmen yang kuat terhadap kebijakan redistributif. Negara
dengan corak politik seperti ini umumnya tidak menyediakan skema JKU,
seperti Amerika Serikat sebelum keluarnya kebijakan Obama Care.2

Gambar 3.1. Hubungan antara politik, pasar buruh dan kebijakan kesejahteraan,
inekualitas ekonomi, serta luaran kesehatan. Diadaptasi dari Navarro dkk. (2006).2

Dalam mengatur negara, ada sebuah istilah yang dikenal sebagai


sumber daya kekuatan (power resources). Istilah ini pertama kali
diperkenalkan oleh Walter Korpi, Karolinska Institute, Swedia, dan
didefinisikan sebagai “sumber daya yang digunakan oleh beragam agen
sosial untuk mengekspresikan kepentingan mereka”. Sumber daya kekuatan
akan mempengaruhi pasar buruh melalui peningkatan upaya partisipasi
dalam kekuatan buruh dan memengaruhi kebijakan kesejahteraan melalui
transfer sosial. Proses dalam membangun pengaruh pada pasar buruh
dan kebijakan kesejahteraan inilah yang akan berimplikasi pada derajat
inekualitas ekonomi yang selanjutnya berdampak pada luaran kesehatan.

68
Seperti telah dipaparkan di awal, corak politik di negara-negara
berkembang cenderung kurang khas dibandingkan negara-negara maju.
Negara-negara berkembang ini tidak memiliki kutub yang berlawanan
secara jelas dalam sikap politik, namun proses perkembangan politiknya
lebih dinamis. Terlepas dari corak politik yang ada, proses politik
dipengaruhi oleh model mekanisme politik ketika sebuah pemerintahan
berupaya untuk mengatur kebijakan kesehatannya. Model mekanisme
politik ini diperkenalkan oleh Reich (2005) dan dibagi menjadi tiga model
penting, yaitu kesungguhan politik (political will), faksi politik (political
faction), dan keberlangsungan politik (political survival).
Dalam model kesungguhan politik (political will), asumsi dasarnya
adalah bahwa keputusan yang diambil oleh pemimpin politik memang
penting dan mencukupi untuk membuat perubahan kebijakan yang
signifikan. Model ini berjalan ketika kebijakan dapat diregulasi secara ketat
melalui kepemimpinan yang kuat, Negara yang kuat, koalisi yang sempit
(dengan polarisasi kekuatan yang terbatas), dan pemberian mandat yang
kuat. Dalam model faksi politik (political faction), asumsi dasarnya adalah
bahwa kelompok yang berbeda memiliki kepentingan yang berbeda pula,
dan terdapat kebutuhan untuk melayani dan mengakomodasi sebanyak
mungkin kepentingan sebelum mengeluarkan kebijakan. Model ini memicu
kompetisi antar kelompok politik untuk memengaruhi dan menentukan
kebijakan. Karena masing-masing kelompok memiliki kepentingan
tersendiri, mereka akan berusaha sekuat mungkin agar kebijakan yang
dikeluarkan dapat memberikan keuntungan demi kepentingannya atau
tujuan dasar kelompoknya. Dalam model keberlangsungan politik
(political survival), asumsi dasarnya adalah bahwa para politisi berupaya
untuk menjamin kepentingan personalnya sebagai pemegang kekuasaan.
Pada model ini, politisi menempatkan orang-per-orang (atau dalam istilah
politik disebut sebagai ‘konstituen’) sebagai prioritas utama. Model ini agak
mirip dengan model faksi politik, namun cenderung lebih meninggalkan
idealisme kelompok demi kekuasaan. Apa yang menguntungkan dari pasar

69
konstituen akan dijadikan prioritas sebagai ‘lumbung suara’. Pada model
faksi politik, kepentingan politik para politisinya diletakkan lebih tinggi
sebagai prioritas dengan potensi kehilangan konstituen, sedangkan model
keberlangsungan politik mendorong para politisi untuk lebih berpihak
pada kepentingan konstituennya demi menjaga suara dan kekuasaan.
Pada model keberlangsungan politik, para politisi bertujuan menjaga dan
mengembangkan kontrol terhadap konstituennya. Politik dalam model ini
dapat disebut atau diberi label sebagai ‘politik oportunistik’.

Aktor Politik dalam Politik Kesehatan


Secara prinsip, ada tiga aktor politik utama dalam politik kesehatan, yaitu
Negara, komunitas dan pasar.3 Negara, sebagai modus pemerintahan, memiliki
kontrol hierarkis dan autoritas untuk membangun kondisi dalam mengatur
layanan kesehatan. Motivasi Negara melalui regulasi pemerintah pusat dan
lokal adalah mengurangi risiko masyarakat yang selama ini tidak mendapatkan
jaminan atau tidak tercakup dalam jaminan sosial3 dan menjamin ketataan
pada hak kesehatan. Hal ini dapat terlihat ketika partai-partai liberal juga
harus tetap taat pada mandat internasional untuk menyediakan proteksi sosial
untuk masyarakatnya. Meskipun partai liberal mendorong kompetisi dalam
tingkatannya masing-masing, mereka tetap memiliki kewajiban untuk tidak
menelantarkan masyarakat miskin untuk membayar biaya kesehatannya dari
kantong sendiri yang akan menyebabkan efek samping, seperti pemiskinan.
Meski demikian, pemerintah juga harus menghadapi keterbatasan sumber daya
yang tersedia. Pemerintah, khususnya di negara-negara dengan pendapatan
rendah, seringkali kekurangan anggaran pendapatan domestik yang mencukupi
untuk menjamin cakupan layanan kesehatan untuk masyarakatnya.4 Kondisi
tersebut akan memunculkan debat nasional mengenai bagaimana pemerintah
seharusnya mengalokasikan anggarannya untuk kesehatan masyarakat.
Di sisi lain, komunitas memiliki kekuatan lain untuk memengaruhi
kebijakan kesehatan. Komunitas yang dimaksud mencakup masyarakat
awam, pekerja atau buruh, organisasi sosial, LSM atau para aktivis yang

70
memiliki basis kerja di masyarakat. Pengaruh terhadap kebijakan, baik
secara umum maupun kebijakan kesehatan, seringkali datang dari komunitas
buruh yang menekan pemerintah untuk memberikan proteksi sosial untuk
komunitas tersebut. LSM dan para aktivis juga memiliki pengaruh yang
kuat dengan memainkan isu kesehatan dan mendorong komunitas buruh,
secara khusus, untuk bergerak dan menuntut hak-hak mereka. Komunitas
lainnya mungkin juga memiliki potensi pengaruh, namun dengan kekuatan
yang terbatas dibandingkan komunitas buruh, LSM dan aktivis sosial.
Dalam penyusunan kebijakan terkait kesehatan, komunitas memiliki
kekuatan negosisasi untuk menuntut hak. Negara, di sisi lain, harus
mendorong partisipasi seluruh pemangku kepentingan, termasuk komunitas
yang tidak beruntung –dan merupakan tanggung jawab hak asasi manusia
bagi pemerintah.5 Perjalanan panjang reformasi layanan kesehatan
memperlihatkan interaksi yang dinamis antara Negara dan komunitas.
Komunitas dapat menekan Negara untuk menerbitkan produk hukum dan
kebijakan sebagai perangkat pemerintahan selama reformasi.6 Negara, di
pihak lain, juga memengaruhi perilaku komunitas dalam mencari layanan
kesehatan melalui produk hukum dan kebijakan yang dikeluarkan.
Aktor ketiga dalam pengaturan layanan kesehatan, pasar, mungkin tidak
memiliki hubungan langsung seperti Negara dan komunitas. Pasar berada dalam
kondisi yang lebih rumit karena tidak hanya berhubungan dengan kebijakan
yang ada, namun juga dihubungkan dengan kebijakan yang dikampanyekan
oleh kandidat presiden, gubernur atau bupati, serta isu desentralisasi. Pasar
merupakan elemen penting ketika model keberlangsungan politik (political
survival) berjalan di sebuah negara. Kesehatan sering dijadikan isu panas dalam
kampanye –dan mendorong masyarakat memilih politisi dengan pernyataan
program kebijakan kesehatan yang menarik bagi masyarakat. Masalah akan
muncul ketika para politisi lebih mengindahkan kepentingan konstituen
(meskipun kepentingan tersebut tidak sesuai dengan rencana pembangunan
kesehatan nasional) dibandingkan mendorong rencana kebijakan kesehatan
yang lebih baik dan terkonsep jelas.

71
Dalam sistem pembiayaan kesehatan, pasar juga dapat menjadi
penerima potensial dari skema asuransi kesehatan. Secara khusus, pekerja
formal, pemberi kerja, dan pekerja informal merupakan ‘pasar’ bagi
produk asuransi kesehatan pemerintah. Dengan menggunakan corak
skema asuransi sosial yang terkemuka untuk pekerja formal, menetapkan
premi dan benefit package dapat memunculkan debat tersendiri. Selain
itu, pekerja informal berada dalam posisi aneh dalam hal penggunaan
skema pembiayaan. Apakah pekerja informal dimasukkan ke dalam skema
asuransi sosial (yang dengannya mereka harus membayar premi mandiri)
atau skema asuransi dari pendapatan pajak (yang dengannya mereka masuk
dalam kelompok miskin atau hampir miskin), adalah sebuah perdebatan
yang memerlukan jalan keluar yang tepat. Cara berbagai aktor politik
dalam merespon isu tersebut akan bervariasi di berbagai negara meskipun
ada pembelajaran dari satu negara ke negara lain.
Secara khusus, proses politik merupakan isu penting dalam proses
pencapaian JKU. Realisasi progresif hak kesehatan dan proses pencapaian
JKU merupakan dua hal yang saling mendukung dan sulit untuk
memisahkan satu dari yang lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir hak
untuk menikmati standar kesehatan yang dapat dicapai menjadi salah satu
dasar alasan mengapa Negara perlu memperkuat sistem kesehatannya,
termasuk dengan menyediakan JKU. Penyusun kebijakan nasional dan
internasional, bersama-sama dengan Mahkamah, LSM, dan pemangku
kepentingan lainnya telah melaukan berbagai upaya untuk mengadopsi
dan melaksanakan karakter hak kesehatan ke dalam konstruksi kebijakan.7
Mereka telah menyadari bahwa sistem kesehatan yang kokoh dan
keberpihakan kebijakan kepada hak kesehatan merupakan elemen esensial
dalam perbaikan status kesehatan masyarakat dan mengembangkan
pencapaian masyarakat yang setara. Meski demikian, harus diakui bahwa
setiap aktor politik tersebut memiliki perannya masing-masing yang
mempertimbangkan perspektifnya tersendiri dalam melakukan pengaturan
layanan kesehatan. Proses dalam penyusunan kebijakan layanan kesehatan

72
antar beragam aktor tersebut akan memunculkan debat, ketidaksetujuan,
intimidasi, atau justru dorongan terhadap proses demokratisasi yang secara
perlahan dilangsungkan.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa langkah pertama
untuk memenuhi hak kesehatan adalah pengakuan hukum. Proses
pengakuan hukum tidak hanya membutuhkan langkah signifikan dari
pemerintah, namun juga aksi tindak lanjut dari aktor politik lainnya,
termasuk pergerakan sosial, tenaga kesehatan, aktivis, dan LSM. Jika hal
tersebut tidak dilakukan, pengakuan hukum akan menjadi sekadar janji
kosong dalam lembar kertas sejarah negara. Namun, untuk mencapai
pengakuan hukum yang disepakati bersama, perlu proses yang dinamis
antar aktor politik, termasuk bagaimana menyusun dasar hukum yang
jelas sebelum implementasi JKU. Tidak berhenti sampai di situ, proses
selanjutnya dalam penentuan standar penyediaan layanan dan fasilitas
terkait kesehatan yang jauh lebih detail juga akan melibatkan banyak aktor
politik dan interaksi yang lebih dinamis lagi.
Seluruh aktor politik akan berinteraksi satu sama lain dalam upayanya
memenuhi hak kesehatan. Bagaimana cara mereka memengaruhi satu
sama lain dalam menyusun instrumen hukum dan kebijakan aalah salah
satu contoh yang mendukung upaya reformasi layanan kesehatan. Interaksi
lain –yang berpotensi menimbulkan konflik, adalah bagaimana para aktor
tersebut menyusun prioritas pemenuhan hak kesehatan dan menyediakan
JKU. Beberapa aktor politik cenderung memilih untuk menggunakan
perspektif hukum dan hak asasi manusia dalam penyusunan prioritas,
sedangkan aktor politik lainnya mungkin memiliki kecenderungan untuk
memakai perspektif ekonomi dan mempertimbangkan sumber daya yang
dimiliki negaranya. JKU secara khusus juga mengatur benefit package
berupa intervensi atau layanan kesehatan yang tersedia di layanan kesehatan
publik dengan biaya yang ditanggung. Dalam batas tertentu, pengaturan ini
akan memberikan beban pada kondisi finansial negara, tenaga kesehatan
atau layanan kesehatan; dan akan menekankan pentingnya bagaimana

73
mengatur prioritas secara proporsional. Pemerintah, dengan demikian,
perlu mengklarifikasi benefit package yang disusun atau akan disusun,
khususnya untuk intervensi yang berbiaya tinggi untuk menekan biaya8
serta penyediaan fasilitas dan tenaga kesehatan untuk menangani jumlah
pasien yang memerlukan layanan.
Menarik untuk mengeksplorasi lebih lanjut mengenai interaksi antar
aktor politik; apakah hal tersebut menjadi faktor yang menguntungkan
bagi penyusunan kebijakan kesehatan terkait JKU atau justru sebaliknya.
Proses politik sentral dalam pergerakan menuju JKU adalah melalui dasar
hak kesehatan dan penyediaan proteksi finansial dan layanan kesehatan.
Banyak negara telah menjamin masyarakatnya untuk mengakses layanan
kesehatan dalam konstitusi negara yang dibangun –ditambah dengan
dukungan nilai hak asasi manusia, meskipun adanya konstitusi tidak
serta merta memperlihatkan implementasi riil. Proses politik menuju
pemenuhan dan implementasi hak kesehatan tersebut untuk menyediakan
aksesibilitas layanan kesehatan sepenuhnya didorong oleh berbagai tekanan
sosial. Meskipun hal tersebut berbeda antar negara, proses politik tetap
menunjukkan proses yang dinamis, persisten dan ada di berbagai tempat.9
Thailand dan Filipina, sebagai contoh, memiliki corak proses politik
yang berbeda. Reformasi sistem kesehatan di Thailand merupakan bagian dari
desain besar melakukan perombakan hubungan antara Negara dan masyarakat
sipil, serta proses demokratisasi. Berbeda dengan Thailand, reformasi sistem
kesehatan di Filipina lebih dapat dikatakan sebagai proses yang berjalan
normal dan umum, bukan sebuah rangkaian proses yang monumental.10 Ketika
reformasi sistem kesehatan di Thailand didahului dengan reformasi politik
besar-besaran, reformasi kesehatan di Filipina berjalan damai tanpa diawali
pertentangan dua kubu yang memicu demonstrasi besar-besaran.
Empat kelompok aktor politik menjalankan perannya yang menonjol
dalam pergerakan Thailand menuju JKU. Empat kelompok tersebut adalah
para peneliti, kaum reformis, politisi serta konstituen dan organisasi

74
kemasyarakatan. Para peneliti berupaya keras mencari dan memaparkan bukti
ilmiah dan desain sistem kesehatan yang akan dibangun. Politisi berperan
dalam membuat keputusan untuk menyediakan JKU, mengalokasikan
sumber daya dan menelurkan legislasi. Kaum reformis dalam hal ini berupaya
membantu untuk menjembatani kesenjangan antara para peneliti dan politisi.
Di sisi lain, konstituen dan organisasi kemasyarakatan terus memberikan
tekanan kepada politisi.11 Di sinilah potensi konflik bermunculan dan
merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.
Proses politik dalam pencapaian JKU berfokus utama pada bagaimana
Negara meningkatkan proporsi dana yang dikumpulkan untuk pembiayaan
kesehatan dan menyusun paket cakupan layanan kesehatan. Setiap negara
sebenarnya memiliki keinginan yang kuat untuk meningkatkan status
kesehatan populasinya –oleh karena itu, proses politik berpengaruh besar
dalam upaya meningkatkan proporsi dana pembiayaan kesehatan yang
dikumpulkan. Gambar 3.2 menunjukkan kemajuan yang dicapai berbagai
negara dalam meningkatkan proporsi dana pembiayaan kesehatan yang
dikumpulkannya.9 Thailand menunjukkan perubahan yang paling signifikan
karena proses politik dalam negeri berhasil meningkatkan proporsi dana
pembiayaan kesehatan yang dikumpulkan (dengan peningkatan proporsi
sekitar 27%). Ini menunjukkan bahwa kondisi politik memiliki peranan
besar dalam perbaikan sistem pembiayaan kesehatan.
Negara 1995 2009
Brazil 61% 69%
Republik Demokratik Kongo 22% 42%
Gambia 61% 67%
India 34% 49%
Indonesia 54% 64%
Thailand 57% 84%

Gambar 3.2. Peningkatan proporsi dana pembiayaan kesehatan yang dikumpulkan.

75
Desentralisasi
Kebijakan desentralisasi sesungguhnya datang untuk mengatasi
keterbatasan kebijakan sentralisasi yang ada. Kedua konsep pemerintahan ini;
sentralisasi dan desentralisasi, memang memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Sentralisasi mungkin dipersepsikan sebagai sistem yang
terlalu kaku dan tidak memberikan kebebasan untuk merespon kebutuhan
kesehatan lokal. Namun, kebijakan sentralisasi masih dianggap bermanfaat
dalam kondisi-kondisi tertentu. Jika sebuah negara membutuhkan aksi cepat
untuk mengimplementasikan program kesehatan nasional, jika layanan
kesehatan mudah distandarisasi dengan layanan yang homogen di seluruh
populasi, atau jika eksploitasi skala ekonomi siap dijalankan, sentralisasi
justru lebih efisien untuk dijalankan dibandingkan desentralisasi.12
Ketika sentralisasi gagal mencapai proses dan luaran yang efektif, maka
desentralisasi merupakan alternatif yang mungkin dapat dijalankan.
Banyak studi memaparkan bahwa desentralisasi sektor kesehatan
mungkin dapat memperbaiki penyediaan layanan kesehatan. Konsep
ini merupakan agenda politik yang sudah dijalankan selama bertahun-
tahun –dengan beragam advokasi dan debat, dan telah diadopsi secara
luas di berbagai negara. Namun demikian, implementasi kebijakan
desentralisasi bukan merupakan hal yang mudah dilakukan. Desentralisasi
akan meningkatkan penyediaan layanan kesehatan ketika Negara mampu
menyediakan derajat diskresi yang tepat (yang disebut sebagai ‘ruang
keputusan’, decision space) yang dikombinasikan dengan kapasitas
institusional yang adekuat dan akuntabilitas. Melalui penguatan ketiga
elemen tersebut, Negara akan mampu menjamin perbaikan sistem
kesehatan lokal dan nasional –dan pada akhirnya akan meningkatkan
luaran kesehatan populasi. (Gambar 3.3).13

76
Gambar 3.3. Kerangka konsep antara desentralisasi dan penyediaan layanan
kesehatan. Diadaptasi dari Bossert dan Mitchell (2011)13

Ruang keputusan (decision space) mendefinisikan desentralisasi dengan


pandangan seberapa banyak pilihan yang tersedia bagi pembuat keputusan
di tingkat lokal untuk fungsi yang berbeda, seberapa banyak dana lokal yang
diperkenankan atau disediakan dari pusat, dan seberapa besar kekuatan
autoritas lokal yang sesungguhnya ditawarkan. Tingkat ruang keputusan
terdiri atas tiga tingkat, yaitu sempit, sedang dan tinggi. Gambar 3.4,
sebagai contoh, menunjukkan seberapa besar ketersediaan ruang keputusan
di departemen Colombia. Beberapa pengalaman menyebutkan bahwa tingkat
pilihan lokal yang tinggi harus diberikan dalam layanan kesehatan, namun
hal tersebut juga harus dinilai secara hati-hati. Sektor kesehatan merupakan
hal yang kompleks dengan banyak fungsi, sehingga tingkat autonomi lokal
yang terlalu tinggi juga berpotensi bersinggungan, bahkan bertentangan,
dengan tujuan sistem kesehatan nasional yang utuh.13–15

77
Gambar 3.4. Peta ruang keputusan formal di departemen Colombia. Diadaptasi
dari Bossert (1998).16

Kapasitas institusional mencakup kapasitas dalam bidang


administrasi, teknis, finansial, organisasi, dan tenaga kerja.13,16,17 Tingkat
ruang keputusan yang lebih tinggi memungkinkan autoritas lokal untuk
membangun kapasitas institusionalnya dengan jalan proses belajar-sambil-
bekerja (learning-by-doing), dan kapasitas institusional yang meningkat
akan kembali memberikan ruang keputusan yang lebih besar. Akuntabilitas
berarti derajat keterlibatan struktur lokal dan masyarakat sipil dalam
pembuatan keputusan sektor kesehatan. Akuntabilitas yang riil akan
menghasilkan layanan kesehatan yang lebih responsif terhadap kebutuhan
kesehatan lokal dan mengurangi proses pembuatan keputusan dari-atas-ke-
bawah (top-to-bottom).13,18 Dalam kerangka konsepnya, akuntabilitas harus
mendorong munculnya pilihan yang tepat untuk ditetapkan dan memotivasi
peningkatan kapasitas. Namun, beberapa pengalaman menunjukkan bahwa
autonomi lokal yang lebih besar tidak serta merta konsisten dengan kinerja
layanan kesehatan yang lebih baik.

78
Secara khusus dalam kaitannya dengan JKU dan realisasi progresif
hak kesehatan, desentralisasi memiliki peran penting karena desentralisasi
dianggap mampu meningkatkan penyediaan layanan sosial, bukan hanya
layanan kesehatan.19 Desentralisasi memberikan autoritas lebih besar
kepada pemerintah lokal untuk mengartur program kesehatan, termasuk
anggaran penyediaan layanan kesehatan untuk warga lokal. Namun,
meskipun desentralisasi dapat memberikan hasil positif dalam batas
tertentu, desentralisasi juga memperbesar potensi masalah dalam hal
ekualitas dan inefisiensi. Masalah potensial ini dapat terjadi ketika tingkat
ruang keputusan yang tinggi tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas
institusi dan mekanisme akuntabilitas.
Desentralisasi menyebabkan perubahan mendasar dalam tanggung
jawab untuk menyediakan layanan kesehatan. Pemerintah provinsi
dan kabupaten mendapatkan autoritas lebih besar untuk mengontrol
dan mengatur sistem pembiayaan kesehatan lokal, termasuk sistem
kesehatan, tenaga kerja, dan pengeluaran. Di bawah kebijakan
desentralisasi, kabupaten juga memiliki kebebasan dan tanggung jawab
untuk menjaga proses perekrutan tanaga kerja, penyebarannya dan
penggajian tenaga kesehatan profesional.20 Namun, kapasitas pemerintah
lokal untuk mengatur semua itu bervariasi di seluruh negeri. Di samping
itu, peningkatan kapasitas lokal, pembinaan, pemantauan dan pelatihan
yang diberikan dan disupervisi oleh pemerintah pusat sangat terbatas,
termasuk di sektor kesehatan.21 Kegagalan dalam pembangunan kapasitas
institusional lokal akan menyebabkan kegagalan pula dalam mencapai
luaran hasil kebijakan desentralisasi.
Meskipun beberapa literatur menemukan bahwa kebijakan
desentralisasi lebih efektif di negara-negara berkembang, pemerintah harus
memberikan perhatian terhadap beberapa detail, seperti heterogenitas
kebutuhan kesehatan di seantero negeri, kesiapan sumber daya lokal, dan
tipe penyediaan layanan kesehatan. Beberapa studi, seperti pengalaman
Meksiko, menunjukkan bahwa penyediaan layanan kesehatan yang

79
penting masih lebih efisien jika diatur lewat kebijakan sentral daripada
desentralisasi. Namun, di beberapa negara lain, untuk penyediaan layanan
khusus dan bukan prioritas tinggi seluruh negara, desentralisasi lebih
dianggap efektif daripada kebijakan sentral. Oleh karena itu, pemerintah
harus benar-benar memerhatikan secara rinci ketika berupaya memutuskan
apakah layanan kesehatan diberikan melalui sistem sentralisasi atau
desentralisasi.12
Desentralisasi juga menyebabkan beberapa problem dalam hal
ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan profesional dan fasilitas
layanan kesehatan. Dalam sistem sentralisasi, pemerintah provinsi dan
kabupaten umumnya tidak memiliki kontrol khusus untuk mengangkat atau
memberhentikan pegawai negeri, namun masih dapat mengalokasikan gaji
pegawai negeri secara fleksibel.22 Setelah desentralisasi, autoritas untuk
mempekerjakan, menyebarkan, dan menggaji tenaga kesehatan profesional
bergeser ke pemerintah lokal.20 Namun, masalah yang mungkin dihadapi
adalah ketersediaan tenaga kesehatan profesional dan fasilitas layanan
kesehatan sangat beragam antar daerah. Pemerintah lokal memiliki
kapasitas yang berbeda untuk mengangkat tenaga kesehatan profesional
dan sumber daya yang berbeda pula untuk membangun fasilitas kesehatan
masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu membangun koordinasi
yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur sumber
daya yang ada dan tenaga kesehatan profesional yang tersedia. Jika tidak,
kebijakan desentralisasi hanya akan mengakibatkan kerusakan dalam hal
ketersediaan layanan dan tenaga kesehatan profesional.
Masalah lainnya adalah perbedaan sumber daya yang tersedia,
termasuk terbatasnya anggaran yang tersedia. Beberapa provinsi
atau kabupaten mungkin mampu untuk menyediakan akses universal
ke layanan kesehatan karena mereka memiliki kapasitas yang kuat
untuk mengimplementasikan kebijakan kesehatan lokal dan anggaran
yang mencukupi untuk pelaksanaan program terkait kesehatan. Tapi,
beberapa provinsi lain mungkin tidak memiliki kemampuan yang serupa.

80
Desentralisasi sering menawarkan ruang kepada autoritas lokal untuk
menyediakan ‘asuransi kesehatan lokal’ tambahan jika memungkinkan.
Sayangnya, jika sistem desentralisasi dibuat terlalu kaku dan tidak
memberikan ruang improvisasi antar daerah, desentralisasi justru akan
menghasilkan kesenjangan yang signifikan antara pemerintah daerah
yang memiliki sumber dana yang stabil dengan pemerintah yang memiliki
sumber dana yang lemah. Oleh karena itu, desentralisasi tidak seharusnya
ditanggapi sebagai kebijakan ‘buku resep’. Desentralisasi harus
diimplementasikan dengan fleksibel dan mempertimbangkan kapasitas
yang beragam antar daerah. Negara dengan varian heterogenitas yang
tinggi seperti Indonesia harus menilai kemungkinan penerapan kebijakan
desentralisasi secara hati-hati sebelum mengimplementasikannya.
Selain pengalaman Meksiko, Heywood (2010) berupaya
menggambarkan dampak kebijakan desentralisasi di Indonesia dalam
layanan kesehatan ibu dan anak. Studi tersebut menunjukkan bahwa
desentralisasi tidak menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada
kebijakan sentralisasi sebelumnya (Kotak 3.1).22 Selain ruang keputusan
dan kapasitas institusional, sistem kesehatam yang tengah berjalan juga
mempengaruhi dampak kebijakan desentralisasi. Jika sistem privat
berjalan secara dominan di sebuah negara, perubahan dalam dalam kinerja
layanan kesehatan tidak akan dipengaruhi secara signifikan. Desentralisasi
juga membutuhkan insentif untuk beragam inovasi karena negara harus
menghadapi banyak masalah terkait kesehatan yang berubah sepanjang
waktu dan membutuhkan pendekatan yang beragam.

81
Dalam kaitannya dengan situasi politik, terutama menjelang
pemilihan, desentralisasi telah mengubah moda pendekatan para kandidat
gubernur atau bupati kepada masyarakat. Pengalaman yang ada di beberapa
negara menunjukkan bahwa ada hubungan antara ideologi politik dengan
luaran kebijakan desentralisasi. Partai-partai sosial demokratik cenderung
menerapkan kebijakan-kebijakan pro rakyat miskin ketika mereka
memenangkan pemilihan pada zaman desentralisasi. Contoh utama adanya
hubungan ini adalah Negara Bagian West Bengal di India –yang Partai
Komunis menjadi kekuatan utama di sana, dan beberapa daerah di Brazil
–ketika Partai Demokrat dan Partai Buruh memenangkan pemilihan di
dekade 80-an dan 90-an. Namun, hubungan positif antara ideologi politik
dan kebijakan desentralisasi tidak serta merta terjadi di seluruh negara.
Banyak partai di beberapa negara lebih memilih mengambil keputusan
pragmatis. Para politisi mungkin memandang politik dan desentralisasi
sebagai kendaraan untuk mengeksploitasi kekuatan dan sumber daya;
bukan sebagai bagian dari dasar ideologi dan ekspresi politik.23 Contoh
dari Indonesia dapat mengilustrasikan tampilan politik pragmatis ini
dengan dampaknya pada desentralisasi dan program terkait kesehatan
(Kotak 3.2).

82
Kotak 3.2. Efek kebijakan desentralisasi di kabupaten Jembrana
dan Tabanan, Bali, Indonesia.23
Beberapa studi menunjukkan bahwa desentralisasi di Indonesia bergantung
lebih banyak pada kepentingan elite lokal yang temporer dibandingkan
kepentingan untuk membangun sistem yang ajeg dan mendorong kebijakan
pro rakyat miskin. Tidak ada ideologi politik spesifik yang menyokong
penyusunan keputusan di kabupaten. Politisi sering melemparkan isu politik
dan kesehatan tanpa adanya agenda politik yang kuat untuk masyarakat
dan sering pula ‘dibeli’ sebagai kendaraan politik dan bisnis para elite.
Kabupaten Jembrana dan Tabanan merupakan contoh kebijakan yang
sangat bergantung pada kepentingan elite lokal. Kedua kabupaten ini
terletak di provinsi yang sama: Bali, dan berada di bawah kontrol salah
satu partai besar di Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP). Partai ini dikenal sebagai partai sekuler-nasionalis dan memiliki
keberpihakan yang menonjol kepada rakyat miskin (yang sering disebut
sebagai wong cilik). Namun, partai ini tidak sepenuhnya memosisikan
diri sebagai spektrum politik sayap kiri karena partai sering tidak mampu
menunjukkan keberpihakannya dalam mengeluarkan program politik yang
pro rakyat miskin dan justru menyokong kepentingan bisnis tertentu.
Kebijakan kesehatan Jembrana dianggap jauh lebih pro rakyat miskin
dibandingkan Tabanan karena kepentingan elite yang ada, tanpa
mempedulikan bahwa kedua bupatinya berasal dari partai yang sama.
Bupati Jembrana yang seorang dokter gigi membangun skema asuransi
kesehatan lokal yang menyediakan akses gratis ke layanan kesehatan.
Kebijakan lokal ini dianggap monumental karena dikeluarkan jauh
sebelum munculnya kebijakan asuransi kesehatan lokal dalam skala
nasional (yang kemudian disebut sebagai Jaminan Kesehatan Daerah,
Jamkesda). Sayangnya, sang bupati tidak membangun instrumen hukum
lokal yang kuat dan membiarkannya tetap bergantung pada kepentingan
elite. Akibatnya, setelah masa jabatannya berakhir, kebijakan tersebut
diubah dan kembali ke keadaan semula tanpa adanya asuransi kesehatan
lokal yang membuat kondisi tidak lagi menguntungkan bagi rakyat miskin.

83
Tabanan, sebagai contoh kasus lainnya, sebenarnya telah berupaya untuk
membangun komitmen meningkatkan dana program, asuransi kesehatan
nasional, namun pemerintah lokal tidak berhasil menjaga komitmen
tersebut dan justru mencapai hasil negatif. Alih-alih mengeluarkan program
kesehatan pro rakyat miskin, pemerintah Tabanan justru memutuskan untuk
menyusun program ‘rumah sakit berstandar internasional’ –yang dianggap
sebagai kebijakan yang disetir kepentingan bisnis. Kebijakan ini didukung
oleh elite politik sekitar dan kepentingan yang ada. Meski kemudian
kebijakan tersebut ditentang dan sang Bupati gagal untuk mencalonkan
diri di pemilihan bupati berikutnya, kebijakan tersebut masih dilanjutkan
dengan beberapa perubahan di bawah pemerintahan lokal yang baru.

Di era desentralisasi, kandidat gubernur atau bupati dapat mengekploitasi


beragam isu untuk ditawarkan kepada konstituennya. Isu kesehatan,
khususnya mengenai cakupan asuransi kesehatan, merupakan salah satu isu
seksi dan paling popular yang ditawarkan para kandidat selama pemilihan.
Para kandidat akan menjanjikan adanya akses gratis ke layanan kesehatan
kepada konstituennya, tanpa memperhatikan kapabilitas finansial lokal dan
sumber daya lainnya yang tersedia. Mereka seringkali tidak menghitung
seberapa besar sumber daya, fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang
tersedia –dan hanya bergantung pada bagaimana masyarakat begitu antusias
pada isu-isu kesehatan seperti itu. Ketika telah terpilih, para kandidat akan
menemui kebingungan politik karena janji yang sudah disampaikan. Mereka
akan menghadapi kendala sebenarnya dalam ketersediaan finansial, fasilitas,
dan tenaga kesehatan yang ada. Sebagai akibatnya, beberapa provinsi dan
kabupaten harus menghadapi ‘bencana’ layanan kesehatan. Kunjungan
ke layanan kesehatan publik biasanya meningkat secara ekstrem setelah
pemilihan dan dikeluarkannya kebijakan tersebut. Namun, kesiapan yang
buruk dalam penyediaan layanan kesehatan hanya akan mnghasilkan
kondisi chaos. Penumpukan pasien, peningkatan kerja dan jam kerja tenaga
kesehatan tanpa insentif yang jelas, dan penurunan kualitas layanan adalah
dampak yang nyata. Kondisi seperti inilah yang harus diantisipasi dengan

84
baik oleh para kandidiat gubernur dan bupati sebelum mengeluarkan janji
dan kebijakan populis. Jika tidak, kebijakan yang semula dianggap mampu
memberikan dampak baik bagi status kesehatan masyarakat justru hanya
akan menambah komplain masyarakat terkait layanan kesehatan dan gagal
meningkatkan luaran kesehatan masyarakat. Kualitas layanan kesehatan
yang buruk justru hanya akan menurunkan capaian, bahkan mencederai hak
kesehatan masyarakat secara tidak langsung.
Semua ini merupakan dinamika politik yang dapat mempengaruhi
implementasi JKU dan realisasi progresif hak kesehatan. Apakah proses
dinamika ini, termasuk kondisi politik dan kebijakan desentralisasi,
menguntungkan atau tidak menguntungkan bagi pencapaian status
kesehatan secara keseluruhan, hal tersebut harus dianalisis lebih lanjut
secara kritis dan terperinci.

Referensi
1. Reich MR. The politics of health sector reform in developing countries: three
cases of pharmaceutical policy. Health Policy. 1995 Apr;32(1–3):47–77.
2. Navarro V, Muntaner C, Borrell C, Benach J, Quiroga Á, Rodríguez-
Sanz M, et al. Politics and health outcomes. The Lancet. 2006 Sep
22;368(9540):1033–7.
3. Streeck W, Schmitter PC. Community, market, state-and associations?
The prospective contribution of interest governance to social order. Eur
Sociol Rev. 1985;1(2):119–38.
4. Sachs JD. Achieving universal health coverage in low-income settings.
The Lancet. 2012 Sep;380(9845):944–7.
5. Hunt P, Backman G. Health systems and the right to the highest attainable
standar of health. Health Hum Rights. 2008;81–92.
6. Rose N, O’Malley P, Valverde M. Governmentality. Annu Rev Law Soc
Sci. 2006;2:83–104.

85
7. Backman G, Hunt P, Khosla R, Jaramillo-Strouss C, Fikre BM, Rumble
C, et al. Health systems and the right to health: an assessment of 194
countries. The Lancet. 13;372(9655):2047–85.
8. Teerawattananon Y, Russell S. A Difficult Balancing Act: Policy Actors’
Perspectives on Using Economic Evaluation to Inform Health-Care
Coverage Decisions under the Universal Health Insurance Coverage
Scheme in Thailand. Value Health. 2008 Mar;11, Supplement 1:S52–60.
9. Savedoff WD, de Ferranti D, Smith AL, Fan V. Political and economic
aspects of the transition to universal health coverage. The Lancet.
8;380(9845):924–32.
10. Asperas GT. The influence of equity on health reform: an analysis of the reform
process in Thailand and the Philippines. Royal tropical institute (KIT); 2008.
11. Tangcharoensathien V, Wibulpholprasert S, Nitayaramphong S.
Knowledge-based changes to health systems: the Thai experience in
policy development. Bull World Health Organ. 2004 Oct;82(10):750–6.
12. Vargas Bustamante A. The tradeoff between centralized and decentralized
health services: Evidence from rural areas in Mexico. Soc Sci Med. 2010
Sep;71(5):925–34.
13. Bossert TJ, Mitchell AD. Health sector decentralization and local decision-
making: Decision space, institutional capacities and accountability in
Pakistan. Soc Sci Med. 2011 Jan;72(1):39–48.
14. Akin J, Hutchinson P, Strumpf K. Decentralisation and government
provision of public goods: The public health sector in Uganda. J Dev
Stud. 2005 Nov 1;41(8):1417–43.
15. Homedes N, Ugalde A. Why neoliberal health reforms have failed in
Latin America. Health Policy. 2005 Jan;71(1):83–96.
16. Bossert T. Analyzing the decentralization of health systems in developing
countries: decision space, innovation and performance. Soc Sci Med.
1998 Nov;47(10):1513–27.
17. Boffin N. Health system capacity building: Review of the literatur.
Antwerp Inst Trop Med. 2002;
18. Ribot JC. African decentralization: local actors, powers and accountability.
UNRISD Geneva; 2002.

86
19. Gómez EJ. A Temporal Analytical Approach to Decentralization:
Lessons from Brazil’s Health Sector. J Health Polit Policy Law. 2008 Feb
1;33(1):53–91.
20. Rokx C, Yavuz E, Giles J, Satriawan E, Marzoeki P, Harimurti P. New
Insights into the Provision of Health Services in Indonesia : A Health
Workforce Study. Jakarta: World Bank; 2010.
21. Trisnantoro L. Pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia 2000-
2007. Yogyakarta: BPFE; 2009.
22. Heywood P, Choi Y. Health system performance at the district level
in Indonesia after decentralization. BMC Int Health Hum Rights.
2010;10(1):3.
23. Rosser A, Wilson I. Democratic Decentralisation and Pro-poor Policy
Reform in Indonesia: The Politics of Health Insurance for the Poor in
Jembrana and Tabanan. Asian J Soc Sci. 2012;40(5-6):608–34.

87
BAB IV
REFORMASI LAYANAN KESEHATAN INDONESIA
SEJARAH SINGKAT

Sejarah panjang reformasi kesehatan Indonesia sebenarnya telah


dimulai setelah kemerdekaan. Pemerintah mendirikan Asuransi Kesehatan
(Askes) Persero sebagai perusahaan asuransi kesehatan untuk pegawai
negeri sipil dan keluarganya pada tahun 1968 dan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Jamsostek) untuk pekerja swasta dan pemberi kerja pada tahun 1992.
Kedua skema asuransi kesehatan ini menunjukkan peningkatan peserta,
namun masih belum signifikan memberikan perlindungan finansial dan
akses layanan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Krisis ekonomi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 merupakan
tonggak penting untuk mengakselerasi reformasi layanan kesehatan. Krisis
tersebut memengaruhi status kesehatan masyarakat dengan menurunnya
daya beli rumah tangga. Selain masyarakat harus menghadapi kesulitan
untuk memenuhi kebutuhan primernya, seperti rumah dan makanan,
masyarakat juga harus menghadapi turunnya jumlah dan kualitas layanan
kesehatan preventif dan kuratif.1,2 Menurunnya kapasitas finansial membuat
masyarakat harus menempatkan kebutuhan primernya sebagai prioritas
utama di atas kebutuhan kesehatan –yang dianggap bukan kebutuhan primer.
Pertumbuhan asuransi kesehatan pun terhambat dan cenderung stagnan.
Masyarakat pada akhirnya tidak terjamin, terkait dengan risiko terhadap
penyakit –dan kemiskinan yang mungkin disebabkan oleh penyakitnya.
Skema asuransi kesehatan yang menonjol saat itu terbatas pada
Askes dan Jamsostek, sedangkan pertumbuhan asuransi swasta sangat
terbatas. Mayoritas masyarakat masih menggantungkan diri dengan pola
pembayaran layanan kesehatan dari kantorng sendiri (out-of-pocket)
dan tidak tercakup oleh sistem asuransi kesehatan apapun. Kondisi ini

88
membuat masyarakat cenderung meletakkan akses ke layanan kesehatan
sebagai prioritas rendah setelah pemenuhan kebutuhan penting sehari-
hari lainnya.1–4 Menghadapi situasi negatif paska krisis tersebut, penyusun
kebijakan kesehatan Indonesia menyadari adanya kebutuhan untuk
memperbaiki proteksi finansial masyarakat dan memandang krisis sebagai
kesempatan untuk memulai akselerasi reformasi layanan kesehatan.2
Sebagai respons terhadap krisis ekonomi, reformasi pembiayaan
kesehatan yang dijalankan kemudian memperkenalkan beberapa asuransi
kesehatan yang pro rakyat miskin. Respons cepat pertama yang dikeluarkan
paska krisis adalah pembentukan Jaringan Pengaman Sosial (JPS) yang
diikuti beragam program insiatif berbasis komunitas dan sukarela, seperti
Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa dan skema Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM), model asuransi kesehatan yang mengikuti
pola Health Maintenance Organizations (HMO) di Amerika Serikat.1,3,5
Beberapa skema tersebut berhasil meningkatkan cakupan asuransi kesehatan
dari 14% menjadi 20% dari total populasi di tahun 2000.
Kemajuan menuju reformasi layanan kesehatan tidak berhenti setelah
keluarnya kebijakan JPS dan JPKM. Pemerintah melakukan beberapa upaya
lain untuk dapat bergerak lebih progresif. Setelah disahkannya Undang-
Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di tahun 2004, pemerintah
mengeluarkan skema asuransi baru yang pro rakyat miskin, yaitu Asuransi
Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin). Skema ini berbeda dari skema
asuransi sebelumnya karena skema ini memberikan block grant kepada PT
Askes dan bukan program yang secara murni diatur oleh pemerintah. PT
Askes mengambil alih peran pemerintah dalam menargetkan masyarakat
miskin dengan kartu Askeskin. Target penerima Askeskin adalah individu
dan pembayarannya dilakukan berdasarkan klaim dari rumah sakit. Pada
tahun 2008, pemerintah mengubah Askeskin menjadi Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) dengan beberapa pengembangan,termasuk
perluasan cakupan untuk masyarakat miskin dan hampir miskin.3 Jamkesmas
menggunakan data dari sensus nasional yang dilakukan Badan Pusat

89
Statistik (BPS) pada tahun 2005 unuk mengidentifikasi masyarakat miskin
dan hampir miskin. Daftar peserta jaminan yang memenuhi persyaratan per
kabupaten didapatkan dengan mengkombinasikan instrumen dan kriteria
pemerintah lokal.6 Skema ini berhasil meningkatkan cakupan dari 36.1 juta
menjadi 76.4 juta pada tahun 2008.

Sistem Kesehatan Indonesia


Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia berubah secara progresif
dalam dekade terakhir, namun sistem layanan kesehatan Indonesia tidak
mengalami banyak perubahan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dulu
bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan kesehatan nasional dan
pengaturan layanan kesehatan publik. Kemenkes memiliki autoritas untuk
mengangkat tenaga kesehatan profesional dan staf penting lainnya, serta
mengatur program pengendalian penyakit utama secara vertikal, seperti
tuberculosis, malaria, dan HIV/AIDS.5 Dalam batasan tertentu, meskipun
ada kebijakan desentralisasi, Kementerian Kesehatan tetap mengalokasikan
tenaga kesehatan profesional yang menyebabkan munculnya beberapa
permasalahan yang akan dijelaskan selanjutnya. Setelah reformasi politik
di Indonesia, pemerintah juga menerbitkan kebijakan desentralisasi
melalui Undang-Undang Desentralisasi tahun 2004 yang mempengaruhi
secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengaturanya kebijakan
kesehatan nasional.
Karena implementasi kebijakan desentralisasi, autoritas Kemenkes
berkurang, sedangkan pemerintah lokal, baik provinsi maupun kabupaten,
mendapatkan autoritas yang lebih besar dari sebelumnya untuk mengatur
layanan kesehatannya. Meskipun demikian, Kemenkes masih bertanggung
jawab untuk menyusun rancana kesehatan nasional –dan pemerintah lokal
dapat mengembangkan strateginya masing-masing sesuai dengan sumber
daya dan kondisi lokal. Dalam sistem pembiayaan kesehatan, Kemenkes
juga tidak menjalankan moda asuransi kesehatan nasionalnya sendiri secara
eksklusif. Kebijakan desentralisasi juga memberikan autoritas yang lebih

90
besar kepada pemerintah lokal untuk menyediakan asuransi kesehatan
lokal –yang disebut sebagai Jamkesda.
Sistem penyediaan layanan kesehatan di Indonesia merupakan campuran
antara layanan kesehatan publik dan swasta.6 Layanan kesehatan publik
mendominasi layanan kesehatan di daerah pedesaan dan layanan kesehatan
tingkat sekunder, sedangkan penyedia layanan kesehatan swasta lebih
terkonsentrasi di daerah perkotaan dan kebanyakan untuk layanan kesehatan
tingkat sekunder dan tersier. Kemenkes dan pemerintah lokal bersama-sama
mengatur pusat layanan kesehatan primer yang disebut Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas), sebagai tulang punggung layanan kesehatan primer
dan dasar yang memiliki layanan yang luas, dari program pencegahan hingga
rehabilitasi. Puskesmas beroperasi di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.
Beberapa kabupaten juga menyediakan Puskesmas Pembantu (Pustu) untuk
menjangkau daerah terpencil. Dalam layanan kesehatan sekunder dan tersier,
Kemenkes dan pemerintah lokal bersama-sama membangun rumah sakit
umum daerah untuk layanan kuratif, ditambah dengan rumah sakit swasta
yang bergerak di tingkat sekunder dan tersier.
Sistem kesehatan yang baik harus membangun sistem rujukan yang
kuat. Faktanya, pemerintah telah berupaya membangun sistem rujukan
melalui berbagai regulasi layanan kesehatan. Sistem rujukan ini secara jelas
tertulis dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Namun, sistem tersebut
belum berfungsi secara tepat, khususnya di daerah perkotaan dengan
ketersediaan layanan kesehatan yang banyak. Masyarakat dapat secara
langsung menggunakan layanan kesehatan sekunder tanpa rujukan dari
layanan primer. Layanan kesehatan primer tidak menjalankan fungsinya
sebagai gate keeper, kecuali pada mereka yang tercakup dalam jaminan
kesehatan seperti Akses, Jamsostek, Askeskin atau Jamkesmas.
Cakupan asuransi kesehatan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam
mencari layanan kesehatan dan implementasi sistem rujukan di Indonesia.
Karena kebanyakan masyarakat masih belum tercakup dalam asuransi

91
kesehatan dan mengeluarkan biaya kesehatan dari kantong sendiri, mereka
belum dapat dibatasi untuk mengakses layanan sekunder atau tersier secara
langsung meskipun keluhan yang dimiliki masih dapat ditangani oleh
layanan kesehatan primer. Di sisi lain, tidak ada pula kontrol dari layanan
sekunder untuk menerima atau menolak pasien yang datang sehingga sistem
rujukan tidak berjalan dengan baik. Persoalan lain dari sistem rujukan
adalah tidak berjalannya pula sistem rujukan balik. Pasien yang telah selesai
penatalaksanaan di layanan sekunder atau tersier seharusnya kembali ke
layanan primer, namun pada faktanya tidak terjadi. Kondisi ini dipengaruhi
oleh kedua elemen, baik elemen penyedia layanan kesehatannya dan pasien
sendiri. Penyedia layanan kesehatan sekunder cenderung ‘memelihara’ pasien
dan tidak memberikan edukasi yang adekuat untuk rujuk balik. Pasien pun,
dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman empiriknya, memilih untuk
dirawat di layanan kesehatan sekunder atau tersier dibandingkan kembali
ke layanan primer. Alasan bahwa ‘layanan sekunder lebih baik’, ‘sudah
terbiasa’, dan ‘tidak ada obat di layanan primer’ menjadi alasan utama dalam
tidak berfungsinya sistem rujuk balik.
Implementasi asuransi kesehatan seharusnya dapat mencegah
pelanggaran terhadap peran layanan kesehatan primer. Pencegahan tersebut
dilakukan dengan memberlakukan skema yang tidak memungkinkan
peserta mendapatkan jaminan atau reimbursement biaya layanan kesehatan
sekunder jika tanpa rujukan. Skema asuransi kesehatan Jamkesmas mungkin
membantu mengatasi persoalan ini dan memperbaiki sistem rujukan yang
ada. Selain memperkenankan pesertanya mengakses Puskesmas secara
gratis (atau di beberapa daerah diberlakukan retribusi dengan biaya sangat
rendah), Jamkesmas juga mendorong peran Puskesmas sebagai gate keeper
untuk menyeleksi kasus yang perlu dan tidak perlu diirujuk ke layanan
kesehatan yang lebih tinggi. Meski demikian, Jamkesmas terbatas pada
penyedia layanan kesehatan public dan tidak berlaku di layanan kesehatan
swasta sehingga pencapaiannya terbatas pada layanan kesehatan publik.
Di layanan swasta, sistem rujukan dibantu oleh sistem asuransi swasta

92
yang juga mewajibkan utilisasi layanan kesehatan berjenjang. Sayangnya,
masih banyaknya masyarakat yang belum tercakup jaminan kesehatan,
baik pemerintah maupun swasta, menyebabkan masih adanya kesenjangan
implementasi sistem rujukan.
Askes, Jamsostek dan Jamkesmas menjamin biaya layanan kesehatan,
baik rawat inap maupun rawat jalan, di rumah sakit pemerintah tingkat
sekunder atau tersier, serta beberapa rumah sakit swasta yang telah memiliki
perjanjian kerjasama. Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
pembiayaan program Jamkesmas yang diambil dari pendapatan nasional
serta menjamin biaya layanan kesehatan tanpa tambahan biaya untuk
layanan yang masuk dalam benefit package-nya. Hal ini berbeda dengan
program Askes dan Jamsostek. Meski sama-sama diatur oleh pemerintah,
peserta Askes dan Jamsostek harus memberikan kontribusi pembayaran
premi yang diambil dari proporsi gaji bulanan.
Setelah pengesahan UU BPJS, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
resmi mengimplementasikan sistem baru yang dinamakan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dengan penerapan BPJS sebagai bagian dari
pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS. Perubahan ini dilihat lebih fokus pada
reformasi sistem pembiayaan kesehatan dengan meleburnya badan jaminan
sosial menjadi dua badan, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Badan jaminan sosial terdahulu, yaitu Askes, Jamsostek, dan Asabri, serta
pengelolaan Jamkesmas kini melebur dalam dua badan tersebut.
BPJS Kesehatan fokus pada asuransi kesehatan nasional dan
menangani pengumpulan dana kesehatan. Keanggotaan BPJS Kesehatan
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan
Non-PBI. Pembayaran premi anggota PBI ditanggung oleh pemerintah
melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN)
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kelompok
ini merupakan bentukan baru dari skema semula, yaitu Jamkesmas dan
Jamkesda. Pada awal periode pemerintahan Presiden Joko Widodo di

93
akhir tahun 2014, muncul skema tambahan, yaitu Kartu Indonesia Sehat
(KIS). Skema ini merupakan produk politik atas janji kampanyenya untuk
memperluas cakupan populasi, meskipun muncul beberapa kritik terkait
kemunculan skema tersebut. Skema KIS dianggap tidak memiliki sumber
pendanaan yang jelas, daya ungkit yang rendah, dan tidak mengubah sistem
kesehatan secara keseluruhan. Terlepas dari berbagai kritik, KIS kemudian
diberlakukan dan perlu tinjauan lebih dalam lagi mengenai dampak yang
diberikannya terhadap pelaksanaan JKU.
Pada awal tahun 2015, pemerintah mewajibkan seluruh perusahaan
untuk mendaftarkan pekerjanya dalam skema BPJS Kesehatan. Di satu sisi,
hal ini merupakan regulasi yang baik untuk memperluas cakupan karena
rendahnya keterlibatan sektor formal dalam cakupan asuransi kesehatan
nasional terdahulu. Di sisi lain, muncul kebingungan dan tentangan terkait
dengan benefit package yang ada, terutama dari perusahaan besar yang
telah memiliki skema asuransi kesehatan tersendiri. Benefit package yang
ditawarkan BPJS Kesehatan umumnya lebih rendah dari yang diberikan
oleh perusahaan yang membuat pekerja memiliki persepsi akan adanya
penurunan benefit yang mereka dapatkan dari skema asuransi kesehatan
terdahulu. Inilah yang memunculkan tentangan di lapangan. Di sisi lain,
untuk memenuhi tuntutan pekerja, perusahan harus berupaya mencari celah
bagaimana skema asuransi mereka saat ini dapat dikombinasikan dengan
tepat bersama BPJS Kesehatan. Umumnya, perusahaan memberikan akses
layanan kesehatan yang besar kepada pekerja tanpa batasan di pemberi
layanan kesehatan pemerintah atau yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan. Jika perusahaan tetap mengakomodasi tuntutan pekerja, akan
muncul dua kantong pengeluaran perusahaan untuk asuransi kesehatan
yang memicu inefisiensi pembiayaan kesehatan di sektor formal. Hal
ini yang harus diwaspadai dalam proses menuju JKU. Salah satu opsi
yang dikembangkan adalah membangun coordination of benefit (COB),
meskipun pemahaman ini masih terbatas.

94
BPJS Ketenagakerjaan fokus pada asuransi sosial selain kesehatan, yaitu
jaminan hari tua, jaminan kematian, dan jaminan kecelakaan kerja –dan dimulai
pada awal tahun 2015. Ada ruang yang tumpang tindih antara BPJS Kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan pada penatalaksanaan pekerja yang mengalami
kecelekaan kerja. Apakah hal tersebut memicu inefisiensi pembiayaan kesehatan
atau tidak, perlu pengkajian lebih mendalam dan menyeluruh.
Terkait pembiayaan layanan kesehatan, JKN menawarkan pola
pembiayaan yang baru, yaitu skema pembiayaan kapitasi untuk layanan
primer dan sistem Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs) untuk layanan
sekunder dan tersier. Pembiayaan kapitasi didasarkan pada pembayaran per
kepala anggota yang terdaftar di sebuah layanan kesehatan primer. Besaran
kapitasi berbeda antara layanan kesehatan primer milik pemerintah (Rp
3000-4000 per kepala) dan milik swasta (Rp 8000-10000 per kepala). Secara
sederhana, pembiayaan kapitasi dapat dihitung sebagai berikut.

Dana yang didapat layanan kesehatan primer = jumlah anggota terdaftar * besar kapitasi

Jika peserta yang terdaftar di layanan kesehatan primer swasta dengan


layanan dokter umum, dokter gigi, laboratorium, dan farmasi sebanyak 2000
kepala, maka setiap bulan layanan kesehatan tersebut mendapatkan dana
sebesar 2000 * Rp 10.000 = Rp 20.000.000. Dana sebesar itulah yang akan
digunakan untuk membiayai akses peserta ke layanan kesehatan. Jika peserta
sakit dan berkunjung ke layanan kesehatan tersebut, maka peserta tidak lagi
ditarik biaya sesuai benefit package yang ditentukan, melainkan dana kesehatan
diambil dari dana kapitasi yang sudah diberikan ke layanan kesehatan primer.
Angka besaran kapitasi menjadi perdebatan serius di kalangan tenaga
kesehatan dan pemilik layanan kesehatan karena dianggap terlalu rendah
dari yang seharusnya ditetapkan. Dengan penghitungan sederhana, bila dari
10% dari 2000 peserta melakukan kunjungan ke layanan kesehatan tersebut
dengan kisaran biaya Rp 50.000 per kunjungan, maka akan menghabiskan
biaya Rp10.000.000 (Rp 50.000 * 200) per bulan. Sisa dana yang tersedia

95
adalah Rp 10.000.000 yang harus dibagi sesuai proporsi biaya (honor dokter,
dokter gigi, perawat, administrasi, dan profit). Jika layanan kesehatan
tidak dapat mengendalikan dan mengatur pengeluaran dengan baik, maka
kecenderungan untuk kehilangan potensi keuntungan akan semakin besar.
Sistem INA-CBGs memiliki kendala yang lain terkait besaran biaya
paket, pengkodean dan klaim. Beberapa item biaya paket kasus (karena
memakai pendekatan case-based) dianggap aneh dan terlalu kecil. Persepsi
ini wajar mengemuka karena perubahan dari sistem fee for service ke INA
CBGs membutuhkan pergeseran paradigma pembiayaan kesehatan. Tenaga
kesehatan tidak lagi dibayar berdasarkan layanan atau kunjungan yang
diberikan, tetapi berubah menjadi remunerasi. Pola pembiayaan paket pun
tidak lagi dihitung berdasarkan biaya per layanan, tetapi pendekatan kasus
yang dihitung berdasarkan panduan medis klinis yang sudah tersistemasi.
Selain itu, pola koding menimbulkan permasalahan di berbagai rumah
sakit. Sistem dianggap rumit dan merugikan rumah sakit.
Meskipun dianggap memberikan hasil positif pada proyek pilot INA-
DRG, ternyata implementasi INA-CBGs masih menimbulkan kontroversi.
Analisis lebih lanjut mengenai implementasi INA-CBG dan dampaknya
pada efisiensi biaya kesehatan secara menyeluruh harus dapat dilakukan
sebagai bahan evaluasi.

Aktor Politik dan Penyusunan Instrumen Hukum


Ada beberapa aktor politik penting selama reformasi layanan kesehatan
di Indonesia, di antaranya pemerintah pusat dan daerah, partai politik, dan
kelompok komunitas pemberi tekanan. Pemerintah pusat memainkan peran
paling menonjol dalam perjalanan reformasi layanan kesehatan Indonesia
melalui kontrol hierarkis yang dimilikinya dan autoritas untuk menyusun
regulasi. Motivasi utama dalam hal ini adalah upaya memberikan hak
kesehatan untuk seluruh masyarakat dan mengurangi risiko masyarakat yang
selama ini tidak mendapat jaminan.7 Kebijakan desentralisasi memberikan

96
mandat lebih besar kepada pemerintah lokal daripada sebelumnya dalam
mengatur kebijakan kesehatan provinsi dan kabupaten. Selain pemerintah,
tekanan sosial dalam negeri terus meluas, bervariasi dan persisten untuk
mencapai JKU di Indonesia.8 Beberapa partai politik di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan beberapa kelompok penekan dari komunitas –yang
kemudian diidentifikasi sebagai ‘kelompok penyebab’ (cause groups), juga
memberikan tekanan kepada pemerintah untuk menjamin implementasi
JKU.9 Partai-partai politik memberikan tekanan kepada pemerintah melalui
isu legislasi di parlemen, sedangkan kelompok komunitas penekan yang
secara sukarela bergerak dan tidak berupaya menjadi bagian dari mesin
pemerintahan formal memberi tekanan melalui demonstrasi, kritik publik,
dan mengajukan tuntutan kepada pengadilan tinggi. Kelompok-kelompok
ini berdiri dan terus berkembang setelah reformasi politik yang mengakhiri
era diktatorian Orde Baru dan memberikan kebebasan mengungkapkan
pendapat di muka umum (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Konstruksi organisasi masyarakat sipil dan kelompok penekan


sebagai aktor politik dalam pergerakan Indonesia menuju JKU. Persatuan
buruh dan petani diidentifikasi sebagai kelompok penekan yang terkait pasar,
sedangkan yang lainnya merupakan organisasi masyarakat sipil. Kombinasi
keduanya menghasilkan ‘kelompok penyebab’ (cause groups) yang memberikan
tekanan terhadap implementasi JKU.9

97
Interaksi ini memaksa pemerintah dan DPR untuk menerbitkan
beberapa instrumen hukum dan kebijakan terkait JKU (Kotak 4.1). Upaya
pertama adalah mengamandemen Undang-undang Dasar 1945 (UUD
1945) yang memberikan ruang bagi pemenuhan hak sosial dan kesehatan.8
Amandemen tersebut menggaris bawahi bahwa “Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat”.10 Pemerintah kemudian menerbitkan
Undang-Undangn Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No 40 tahun
2004 sebagai platform dasar untuk JKU yang memberikan mandat untuk
pembentukan beberapa skema jaminan sosial untuk warga negara, di
antaranya jaminan hari tua, asuransi kesehatan nasional dan asuransi
kecelakaan kerja. Undang-undang ini juga mewajibkan bahwa asuransi
kesehatan nasional harus menjamin seluruh warga negara Indonesia,
termasuk pekerja informal, pengangguran, dan orang miskin.
Namun demikian, upaya menjamin seluruh warga negara harus
menghadapi berbagai kendala. Kendala finansial sempat membuat
pemerintah menunda pelaksanaan JKU dan lebih memilih mengeluarkan
kebijakan skema Askeskin dibandingkan menyediakan JKU seperti
mandat UU SJSN. Meskipun Askeskin dianggap sebagai platform
permulaan untuk JKU,5 skema ini sebenarnya berbeda dengan JKU. Skema
akseskin hanya menyediakan asuransi kesehatan untuk rakyat miskin
sehingga mereka yang tidak mampu dan tidak pula digolongkan sebagai
orang miskin masih harus berjuang untuk mengakses layanan kesehatan
karena tidak mendapatkan jaminan kesehatan. Mereka tidak termasuk
dalam kepesertaan Askes dan Jamsostek, sedangkan untuk mendapatkan
jaminan kesehatan melalui asuransi kesehatan swasta hampir mustahil
terkait dengan pembayaran premi yang tidak murah. Berhadapan dengan
kondisi seperti ini, pemerintah kemudian merespons berbagai kritik
dengan mengganti skema Askeskin menjadi Jamkesmas pada tahun 2008.
Kepesertaan meluas dan melingkupi rumah tangga hampir miskin.

98
Meskipun sukses dalam melebarkan cakupan, berbagai kritik tetap
muncul terhadap skema asuransi kesehatan yang ada. Bahkan, jumlah
pemberi kerja swasta yang ikut serta dalam skema Jamsostek masih sangat
kecil yang mengakibatkan tingginya angka pekerja yang tidak memiliki
jaminan sosial dan kesehatan. Persatuan buruh dan petani, mahasiswa dan
organisasi kepemudaan, serta pemimpin komunitas kemudian membangun
kekuatan sebagai ‘kelompok penekan’ (pressure groups) (Gambar 4.1),
yang disebut sebagai (Komite Aksi Jaminan Sosial, KAJS). Kritik utama
yang disampaikan melalui Komite ini adalah (1) Jamkesmas bukanlah
skema JKU yang dimandatkan oleh UU SJSN tahun 2004 dan (2) pemerintah
tidak bersungguh-sungguh dalam menciptakan peraturan implementasi dan
badan asuransi nasional. Komite ini mengajukan tuntutan ke Pengadilan
Umum pada tahun 2010 dengan nomor registrasi 278/PDT.G/PN.JKT.
PST yang menuntut Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, dan beberapa
menteri dalam kabinet karena kegagalan mereka untuk melaksanakan
JKU setelah UU SJSN diterbitkan dalam jangka waktu 6 tahun terakhir.
Tuntutan ini memberikan tekanan yang besar kepada pemerintah untuk
menjalankan mandat UU SJSN tersebut. Pengadilan Umum memutuskan
bahwa pemerintah harus menjalankan UU SJSN, menciptakan peraturan
implementasi tentang jaminan sosial, dan menggabungkan perusahaan
asuransi yang ada sesuai dengan amanah UU SJSN.
Tekanan ini berhasil membuat pemerintah dan DPR menerbitkan
UU Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) No 24 tahun 2011.
Pengesahan UU ini monumental karena didahului dengan demonstrasi
besar-besaran para buruh di depan gedung DPR yang didukung oleh
beberapa tokoh partai. Namun, pergerakan sosial ini masih terus berjuang
untuk memonitor implementasi UU tersebut hingga pelaksanaan BPJS.
Setelah implementasi BPJS Kesehatan di awal tahun 2014, peran
aktor politik berubah dari tuntutan menjadi pemantauan dan evaluasi
kinerja BPJS Kesehatan dan JKN secara menyeluruh. Muncul peran media

99
massa dan media sosial dalam upaya pemantauan kinerja sistem kesehatan.
Media sosial merupakan wadah baru pergerakan sosial kemasyarakatan
yang perlu diperhatikan pula dengan baik oleh pemerintah. Pergerakan
sosial seringkali dimulai dari media sosial dengan pembentukan opini,
bahkan pergerakan massa. Contoh kasus Dokter Indonesia Bersatu (DIB)
yang melakukan pergerakan massa patut dikemukakan, meskipun daya
ungkitnya masih rendah. Yang menonjol adalah upaya ‘penyelamatan’
Prita Mulyasari saat dituntut dengan pasal pencemaran nama baik oleh
sebuah rumah sakit dan upaya pembebasan dr Ayu dan beberapa dokter
kebidanan dan kandungan dari jeratan kasus dugaan malpraktik. Dalam
spektrum yang lebih acak, permainan isu kesehatan terkait JKN di media
sosial masih terbatas, namun menunjukkan perkembangan.
Domain pemantauan dan evaluasi JKN kemudian banyak diisi
dari sektor akademisi formal. Dimulai dari menjamurnya seminar dan
simposium terkait rencana implementasi JKN dan BPJS Kesehatan
sebelum 2014, hingga beragam simposium terkait pemantauan JKN
selama satu tahun terakhir. JKN perlahan menjadi isu yang sangat seksi
untuk dibicarakan karena terkait dengan dua hal penting, yaitu pembiayaan
layanan kesehatan dan ketersediaan obat-obatan.

Dampak terhadap cakupan


Skema asuransi kesehatan yang dikeluarkan selama reformasi berhasil
meningkatkan jumlah kepesertaan, khususnya dari kelompok miskin.
Proporsi masyarakat yang dijamin oleh asuransi kesehatan pemerintah
meningkat dari 41.7% sebelum dilaksanakannya Askeskin menjadi 63.2%
setelah pelaksanaan Jamkesmas dan Jamkesda. Proporsi ini terus meningkat
setelah implementasi BPJS Kesehatan dan KIS. Mayoritas peserta adalah
mereka yang dijamin oleh skema asuransi kesehatan pemerintah –dengan
masyarakat miskin sebagai peserta utamanya.

100
Kotak 4.1. Sejarah reformasi layanan kesehatan dan penyusunan instrumen
hukum dan kebijakan.
Tahun Inisiatif
1968 Asuransi kesehatan untuk pegawai negeri sipil – Asuransi
Kesehatan (Askes).
1992 Jaminan sosial untuk pekerja sektor formal swasta – Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
1997-1998 Krisis ekonomi.
1999 Inisiasi Jaring Pengaman Sosial (JPS), dibantu pinjaman dari
Asian Development Bank (ADB).
2000 Amandemen UUD 1945, termasuk rekomendasi mengenai hak
kesehatan. Skema JPS diganti menjadi Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM)
2001 Pengesahan Undang-undang Desentralisasi.
2002 Amandemen UUD 1945 tentang jaminan sosial.
2004 Pengesahan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
2005 Implementasi Askeskin. Perluasan cakupan menjadi 36.4 juta
masyarakat miskin.
2008 Skema Askeskin diubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas). Perluasan cakupan untuk masyarakat miskin dan
hampir miskin menjadi 76.4 juta orang.
2009 Implementasi Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Karena
desentralisasi, skema ini disediakan oleh pemerintah provinsi/
kabupaten.
2010 Warga mengajukan tuntutan mengenai implementasi JKU.
Tuntutan dikabulkan oleh Pengadilan Umum pada tahun 2011.
2011 Pengesahan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS).
2012-2013 Persiapan pelaksanaan BPJS, termasuk formulasi benefit
packages dan besaran premi.
2014 Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan BPJS
Kesehatan. Sistem pembiayaan layanan kesehatan menjadi
kapitasi (untuk layanan primer) dan INA-CBGs (untuk layanan
sekunder dan tersier).
Sumber: Diadaptasi dari Thabrany (2003) and Rokx et al (2009).1,5

101
Jumlah peserta di skema asuransi kesehatan lainnya tidak mengalami
perubahan signifikan. Askes dan Jamsostek hanya menjamin sekitar 6%
dan 2% dari populasi. Jamsostek telah disarankan untuk meningkatkan
cakupannya karena, menurut beberapa studi International Labor Union
(ILO) dan ADB, proporsi pekerja di Indonesia menjapai 40-50% dari
populasi. Hal ini menunjukkan bahwa cakupan Jamsostek hingga tahun
2012 masih jauh di bawah target. Cakupan yang sangat rendah ini mungkin
disebabkan oleh peraturan yang dibuat oleh Jamsostek sendiri. Skema
asuransi ini hanya dapat diikuti oleh perusahaan dengan 10 atau lebih
pekerja. Selain persyaratan tersebut, perusahaan-perusahaan besar lebih
memilih untuk menyediakan asuransi kesehatan sendiri untuk pekerjanya
dibandingkan ikut serta dalam skema asuransi Jamsostek. Permasalahan
klasik lainnya adalah hambatan untuk mencakup pekerja sektor informal
–yang jumlahnya lebih dari 60 juta orang.5
Asuransi swasta masih menghadapi beberapa keterbatasan dalam
meningkatkan jumlah peserta. Hingga tahun 2008, skema asuransi swasta
hanya menjamin sekitar 3% populasi –dan mayoritas peserta berasal dari
daerah perkotaan.
Meskipun pemerintah mengklaim bahwa ada peningkatan signifikan
dari 36.1 juta pada saat permulaan skema Askeskin menjadi 76.4 juta
pada skema Jamkesmas, perubahan tersebut tidak benar-benar menonjol.
Dihitung dari skema JPKM dan kartu sehat yang secara bertahap dihapus,
peningkatan jumlah peserta hanya sebesar 10 juta (15,1 %) dari tahun
2005 hingga 2012. Yang menunjukkan peran signifikan dalam perluasan
cakupan justru skema Jamkesda dari pemerintah lokal. Skema ini telah
membantu menutup kekurangan Jamkesmas dalam hal cakupan. Perluasan
cakupan yang dicapainya berhasil menambah 21 juta orang (210%) dalam
kurun waktu empat tahun. (Tabel 4.1).

102
Tabel 4.1. Perkiraan jumlah kepesertaan asuransi kesehatan di Indonesia
Skema 2005 2008 2012 2014
Askes 14,612,789 13,619,991 17,274,520 a

Asabri ND 2,000,000 2,200,000 a

Jamsostek 4,515,254 5,393,151 5,600,000 a

Asurasi swasta 5,438,801 6,192,982 15,351,532 15,351,532


Jamkesmas 66,233,472 76,400,000 76,400,000 b

Jamkesda NA 10,800,000 31,866,390 31,866,390


Askes Komersial NA NA 2,856,539 a

BPJS Kesehatan, PBI NA NA NA 30,031,059


BPJS Kesehatan, Non NA NA NA 86,400,000
PBI
Total cakupan (%) 90,330,308 114,406,124 151,548,981 163,648,981
(41.7%) (50.1%) (63.2%) (71.9%)
Total yang tidak 126,469,634 114,033,148 88,209,619 64,051,019
tercakup (%) (58.3%) (49.9%) (36.8%) (28.1%)
Catatan: NA, skema tersebut belum tersedia; ND, tidak ada data; askema dilebur
ke dalam BPJS Kesehatan Non PBI; bskema dilebur ke dalam BPJS Kesehatan
PBI. Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.11,12

Tabel 4.1 menunjukkan kemajuan pencapaian cakupan. Proporsi


masyarakat yang belum mendapat jaminan kesehatan semakin berkurang
dari tahun 2005 hingga 2014. Jamkesmas dan Jamkesda belum dikeluarkan
pada tahun 2005. Kedua skema tersebut merupakan bentuk transformasi
dari beberapa skema sebelumnya, yaitu JPKM, kartu sehat, dan Askeskin
–dan secara signifikan berhasil mencakup masyarakat miskin hingga 45.2%.
Selain mengatur asuransi kesehatan untuk pegawai negeri, PT Askes juga
memiliki program Askes Komersial sebagai bentuk asuransi swasta yang
ditawarkannya sejak tahun 2009. Pada tahun 2014, setelah implementasi JKN,
Asabri, PT Askes, dan PT Jamsostek dileburkan menjadi BPJS Kesehatan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, BPJS Kesehatan melaksanakan
dua mekanisme pengumpulan dana berdasarkan kepesertaaannya. Peserta
PBI mendapatkan pendanaan dari pendapatan pajak pemerintah (tax-based),
sedangan peserta Non-PBI harus membayar premi secara mandiri, baik
dengan cara pemotongan gaji sebesar 5% per bulan atau membayar langsung

103
per kepala dengan kisaran premi mulai dari Rp 29.5000 (untuk kepesertaan
kelas III) hingga Rp 59.500 (untuk kepesertaan kelas I).
Di satu sisi, kebijakan desentralisasi telah membantu pemerintah pusat
dalam memperluas cakupan asuransi kesehatan pemerintah melalui skema
Jamkesda yang telah diimplementasikan di 33 provinsi dan 349 kabupaten.
Namun, di sisi lain, desentralisasi menciptakan disparitas antar provinsi yang
sangat bergantung pada masing-masing sumber daya finansialnya. Beberapa
provinsi, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Selatan, Bali, dan
Sulawesi Selatan, telah berhasil mendorong pencapaian JKU melalui kekuatan
politik lokalnya, sedangkan provinsi lain, seperti Jambi dan Banten, masih harus
berjuang untuk meningkatkan cakupannya yang masih di bawah 50%.
Skema asuransi kesehatan lain yang berhasil memperluas cakupannya
secara signifikan adalah asuransi kesehatan swasta. Meskipun total
cakupannya masih rendah, peningkatan yang dicapai dalam kurun waktu
tujuh tahun mencapai 300% -yang berarti bahwa ada peningkatan kapasitas
finansial masyarakat untuk membayar premi asuransi kesehatan swasta
dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjamin diri mereka dalam
skema asuransi kesehatan, terutama di daerah perkotaan.

Gambar 4.1. Perkiraan proporsi kepesertaan asuransi kesehatan di Indonesia

104
Sebagai perbandingan, Gambar 4.2 menunjukkan bahwa, meskipun
Indonesia telah mencapai perluasan cakupan asuransi kesehatannya,
cakupan tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan Thailand dan
Filipina. Penyebabnya mungkin terdapat pada rendahnya cakupan di
sektor pekerja formal. Proporsi cakupan pekerja formal di Indonesia hanya
2.3% pada tahun 2012 dan berupaya ditingkatkan mencapai 3% di tahun
2014. Proporsi ini masih jauh lebih rendah dari Thailand dan Filipina
yang masing-masing telah mencapai 10% dan 18.5%. Hal ini merupakan
pekerjaan rumah bagi pemerintah yang harus mendorong lebih banyak
pemberi kerja untuk ikut serta dalam skema BPJS Kesehatan (dahulunya
Jamsostek) dan menawarkan benefit package yang lebih baik untuk
menarik mereka masuk dalam skema asuransi pemerintah.

Gambar 4.2. Perbandingan cakupan antara Indonesia, Thailand dan Filipina.


Sumber: Kemenkes RI,11,12 Evans et al (2012),13 dan Philippine Health Insurance
Corporation.14

Kelompok pekerja informal merupakan kelompok yang terabaikan dan


seringkali tidak mendapatkan jaminan kesehatan. Ini adalah tantangan besar
bagi pemerintah untuk menjawab persoalan rendahnya cakupan di kelompok

105
tersebut. Kesulitan untuk menjangkau ‘kelompok terabaikan’ini terkait
dengan bagaimana mendefinisikan pendekatan pembiayaan kepada mereka.
Banyak negara menggunakan dua pendekatan pembiayaan formal yang
umum, yaitu asuransi kesehatan sosial untuk pekerja formal dan asuransi
berbasis pembiayaan pajak untuk mereka yang miskin dan lemah. Pekerja
informal justru ‘terombang-ambing di tengah’ dua kelompok tersebut.
Kelompok ini tidak tercakup oleh skema Jamsostek jika tidak mendaftarkan
diri, namun juga tidak masuk dalam kategori penerima bantuan di skema
Jamkesmas karena tidak teridentifikasi sebagai orang miskin atau hampir
miskin. Namun, kelompok ini masih rentan terhadap risiko pembiayaan
kesehatan katastrofik. Mereka akan menghadapi kesulitan mengakses
layanan kesehatan ketika menderita penyakit kronik atau perawatan dengan
biaya tinggi. Untuk menghadapi ini, pemerintah berupaya menawarkan
skema baru yang disebut Non-PBI dan membayar premi secara sukarela
dengan besaran premi yang rendah. Besaran premi dipatok antara Rp 29.500-
59.500 –yang merupakan angka yang cukup rendah untuk sebuah asuransi
kesehatan. Apakah penawaran ini berhasil memikat para pekerja informal
untuk bergabung dalam BPJS Kesehatan? Studi yang secara detail memotret
pencapaian cakupan di sektor informal perlu dilakukan untuk mendapatkan
gambaran hasil pendekatan yang telah dilakukan pemerintah.
Perbedaan lain antara Indonesia, Thailand dan Filipina adalah
keseragaman skema asuransi kesehatan. Indonesia menggabungkan semua
skema asuransi kesehatan ke dalam BPJS Kesehatan, sedangkan Thailand
dan Filipina tidak melakukan hal tersebut. Thailand masih memberlakukan
skema spesifik untuk masing-masing kelompok, termasuk skema medical
benefit untuk pegawai negeri (setara dengan Askes), skema jaminan sosial
(setara dengan Jamsostek), dan skema cakupan universal (setara dengan
Jamkesmas). Filipina juga mengimplementasikan konsep yang mirip dengan
Thailand dengan menyediakan skema spesifik untuk pekerja pemerintahan,
pekerja swasta, pembayaran individual, pembayaran tersponsor dan skema
lainnya (program pekerja luar negeri dan program seumur hidup).11–14

106
Kemajuan cakupan asuransi telah meningkatkan pengeluaran kesehatan
per kapita Indonesia secara signifikan dari 15.8 juta dollar Amerika pada
tahun 2000 menjadi 76.9 juta dollar Amerika di tahun 2010, baik melalui efek
langsung maupun tidak langsung. Pengeluaran kesehatan sebagai persentase
Produk Domestik Bruto (PDB) telah meningkat pula dari 1.97% di tahun
2000 menjadi 2.61% di tahun 2012. Pemerintah menunjukkan adanya niat
yang kuat untuk memperluas akses ke layanan kesehatan yang diindikasikan
dari meningkatnya pengeluaran kesehatan publik sebagai persentase
pengeluaran pemerintah dan pengeluaran kesehatan total. Proporsi publik
menunjukkan peningkatan dari 36.6% pada tahun 2000 menjadi 49.1%
pada tahun 2012, meskipun pengeluaran kesehatan swasta masih lebih besar
daripada pengeluaran kesehatan pemerintah hingga tahun 2010 (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Pengeluaran kesehatan Indonesia dan perbandingannya dengan negara


tetangga (dalam juta dollar Amerika).
Thailand Filipina
Indikator 2000 2005 2010 (2010) (2010)
Pengeluaran kesehatan per kapita
(US$ saat ini) 15.84 26.84 76.89 179.15 77.33
Pengeluaran kesehatan per
kapita, PPP ($ internasional
konstan tahun 2005) 46.77 66.22 112.07 329.71 142.36
Pengeluaran kesehatan, swasta
(% dari PDB) 1.25 1.06 1.33 0.97 2.34
Pengeluaran kesehatan, publik
(% dari PDB) 0.72 1.00 1.28 2.91 1.28
Pengeluaran kesehatan, publik
(% dari pengeluaran pemerintah) 4.53 5.43 7.75 12.70 7.55
Pengeluaran kesehatan, publik
(% dari pengeluaran kesehatan
total) 36.60 48.47 49.08 75.04 35.34
Pengeluaran kesehatan, total (%
dari PDB) 1.97 2.06 2.61 3.88 3.61
Sumber: World Development Index, World Bank.

107
Pengeluaran kesehatan swasta memainkan peran yang lebih besar
daripada pengeluaran kesehatan publik sebelum tahun 2005. Namun, tren ini
mulai berubah di tahun 2005. Dikeluarkannya skema Askeskin, diikuti dengan
Jamkesmas, dua skema yang menjadi titik balik penting, meningkatkan
proporsi pengeluaran kesehatan publik dan pengeluaran kesehatan total.
Proporsi pengeluaran kesehatan dari kantong sendiri (out-of-pocket) turun
secara relatif terhadap proporsi pengeluaran kesehatan publik dan swasta.16
Dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia Tenggara,
proporsi pengeluaran kesehatan publik Indonesia masih lebih tinggi dari
Filipina (49.1% vs 35.3%), namun masih jauh lebih kecil daripada Thailand
(vs 75.0%) yang telah dianggap berhasil menyediakan JKU.
Dalam hal ‘layanan yang dijamin’ dan ‘proporsi kontribusi finansial’,
pemerintah telah berhasil memperbaiki benefit package yang ada dari
waktu ke waktu. Benefit package peserta Askes dan Jamsostek relatif tidak
banyak berubah, bahkan saat adanya reformasi pembiayan kesehatan.
Yang mengalami perkembangan signifikan adalah skema Jamkesmas
dengan menyediakan paket komprehensif dari layanan kesehatan primer
di Puskesmas hingga rumah sakit sekunder dan tersier. Sebenarnya,
benefit package Jamkesmas tidak jauh berbeda dari yang diberikan kepada
Askes dan Jamsostek. Namun, Jamkesmas dianggap lebih baik, lebih
komprehensif, dan memberikan lebih banyak pilihan rumah sakit yang
dapat diakses dengan jaminan. Peserta Jamkesmas dapat mengakses rumah
sakit swasta, selain rumah sakit pemerintah, sedangkan peserta Askes
hanya dapat mengakses layanan kesehatan yang telah ditunjuk.
Jamkesmas juga menyediakan akses layanan kesehatan tanpa
adanya sharing biaya. Peserta Jamkesmas dapat mengakses layanan
kesehatan primer dan layanan rawat inap penuh di kelas III secara gratis.
Keterbatasannya adalah bahwa peserta Jamkesmas tidak dapat menaikan
kelas perawatan inap mereka ke kelas 2 atau 1, kecuali jika ada epidemi
atau kondisi khusus yang menyebabkan pasien penuh dan dikenakan harga

108
penuh untuk layanan kelas III. Dibandingkan dengan JPKM, Jamkesmas
jauh lebih baik untuk masyarakat miskin dalam hal benefit package dan
sharing biaya. JPKM yang diadopsi dari desain HMO Amerika lebih tepat
dianggap seperti asuransi kesehatan komersial. Oleh karena itu pulalah,
dengan munculnya banyak salah target kepesertaan dan ketidakpatuhan
terhadap sistem layanan kesehatan yang berkeadilan, JPKM dihapus.
Askes masih menerapkan adanya sharing biaya, khususnya untuk
permintaan di luar benefit package yang ada. Benefit package Askes pun
berbeda-beda, bergantung pada pangkat dan golongan pegawai negeri
sipil tersebut. Begitupun dengan Jamsostek yang menyediakan jaminan
kesehatan pekerja.
Beberapa perbedaan antara beberapa benefit package yang ditawarkan
oleh berbagai skema yang berbeda mungkin memunculkan isu mengenai
ekuitas. Meski demikian, kesenjangan antar benefit package yang ada masih
dapat diterima. Yang paling penting dalam cakupan adalah bahwa masyarakat
dapat mengakses layanan kesehatan dari tingkat primer hingga tersier.
Hal yang menarik setelah munculnya BPJS Kesehatan adalah
keluhan mengenai benefit package yang dianggap menurun. Anggapan
ini didasari oleh terbitnya mekanisme baru yang menyulitkan peserta,
misalnya penebusan obat di layanan sekunder atau tersier yang semula
dapat dilakukan sebulan sekali menjadi dua minggu sekali. Mekanisme ini
memang dapat memicu efisiensi di organisasi penyedia asuransi, namun
memunculkan item pengeluaran baru bagi peserta. Dengan mekanisme
tersebut, peserta harus mengeluarkan biaya ganda untuk biaya transportasi,
potensi kehilangan penghasilan, dan akomodasi –yang diidentifikasi
sebagai peningkatan biaya sosial. Sayangnya, biaya sosial ini sering tidak
diperhatikan oleh BPJS Kesehatan.

109
Referensi
1. Thabrany H. Social health insurance in Indonesia: current status and the
proposed national health insurance. Social Health Insurance Workshop by
WHO SEARO; 13-15 March 2003. 2003.
2. Hotchkiss DR, Jacobalis S. Indonesian heath care and the economic crisis: is
managed care the needed reform? Health Policy. 1999 Mar;46(3):195–216.
3. Gufron AM. Health Insurance Reform: Indonesian Case. Yogyakarta:
PPMAK UGM; 2012.
4. Radelet S. Indonesia: Long Road to Recovery. 1999. Available from:
http://www.cid.harvard.edu/archive/hiid/papers/indonesia.pdf
5. Rokx C, Schieber G, Somanathan A, Harimurti P, Tandon A. Health Financing
in Indonesia : A Reform Road Map. Jakarta: World Bank Publications; 2009.
6. Harimurti P, Pambudi E, Pigazzini A, Tandon A. The Nuts & Bolts of
Jamkesmas Indonesia’s Government-Financed Health Coverage Program.
Jakarta: World Bank; 2013.
7. Streeck W, Schmitter PC. Community, market, state-and associations?
The prospective contribution of interest governance to social order. Eur
Sociol Rev. 1985;1(2):119–38.
8. Savedoff WD, de Ferranti D, Smith AL, Fan V. Political and economic
aspects of the transition to universal health coverage. The Lancet.
8;380(9845):924–32.
9. Buse K, Mays N, Walt G. Making health policy. 2nd ed. Berkshire:
McGraw Hill; 2012.
10. Republic of Indonesia. The Constitution of Republic of Indonesia 1945.
Republic of Indonesia; 2002.
11. Ministry of Health Republic of Indonesia. Indonesian health profile 2005.
Jakarta: Ministry of Health, Republic of Indonesia; 2007.
12. Ministry of Health Republic of Indonesia. Indonesian health profile 2011.
Jakarta: Ministry of Health, Republic of Indonesia; 2012.
13. Evans TG, Chowdhury AMR, Evans DB, Fidler AH, Lindelow M, Mills A.
Thailand’s Universal Coverage Scheme: Achievements and Challenges.
An independent assessment of the first 10 years (2001-2010). Bangkok:
Health Insurance System Research Office; 2012.

110
14. Philippine Health Insurance Corporation. Annual Report 2011. Manila:
Philippine Health Insurance Corporation; 2011.
15. Tangcharoensathien V, Patcharanarumol W, Ir P, Aljunid SM, Mukti AG,
Akkhavong K, et al. Health in Southeast Asia 6 Health-financing reforms
in southeast Asia: challenges in achieving universal coverage. Lancet.
2011;377(9768):863–73.
16. Rokx C, Yavuz E, Giles J, Satriawan E, Marzoeki P, Harimurti P. New
Insights into the Provision of Health Services in Indonesia : A Health
Workforce Study. Jakarta: World Bank; 2010.

111
BAB V
PEMENUHAN HAK KESEHATAN
PELAJARAN DARI INDONESIA

Seperti yang telah dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya, seluruh


instrumen hukum sebagai dasar fundamental hak kesehatan tidak menuntut
adanya realisasi penuh hak kesehatan dalam jangka waktu yang pendek.
Realisasi tersebut akan menjadi perjalanan panjang bagi banyak negara,
dan yang menjadi tuntutan bagi negara adalah mewujudkan secara konkret
realisasi secara progresif.
Buku ini menggunakan panduan penilaian yang diperkenalkan oleh
Hunt (2006)1, dengan eksplorasi terhadap elemen AAAQ dan enam prinsip
dasar hak kesehatan. Karena hak kesehatan bukan merupakan isu popular di
banyak negara, penilaian menggunakan pendekatan hak kesehatan memang
menemui kendala, terutama ketersediaan data untuk diukur. Namun, buku
ini tetap berupaya menampilkan perspektif yang berbeda dalam mengukur
pencapaian JKU dari perspektif hak kesehatan dan menampilkan pula
konsep dasar bahwa pergerakan menuju JKU yang diimplementasikan harus
pula memenuhi hak kesehatan; bukan sekadar reformasi sistem pembiayaan
kesehatan. Sebagai salah satu negara berkembang paling menonjol di dunia,
Indonesia diambil menjadi satu contoh kasus dalam buku ini.

Ketersediaan
Ketersediaan dinilai dari beberapa elemen dasar ketersediaan, yaitu
(1) fasilitas kesehatan (yang berfungsi), termasuk Puskesmas dan rumah
sakit, (2) tenaga kesehatan profesional terlatih dan pendapatan mereka, (3)
obat-obatan esensial seperti yang didefinisikan oleh WHO, (4) program
yang terkait dengan penyakit epidemi dan endemi, (5) fasilitas sanitasi,
dan (6) program promosi kesehatan dan pencegahan.

112
Fasilitas Layanan Kesehatan (Fungsional)
Dalam hal fasilitas layanan kesehatan primer, pemerintah Indonesia
telah sukses meningkatkan jumlah layanan kesehatan primer publik
yang merupakan layanan kesehatan paling esensial di komunitas (Tabel
5.1). Layanan kesehatan primer milik pemerintah –yang disebut sebagai
Puskesmas, tumbuh di daerah perkotaan dan pedesaan. Puskesmas
dengan layanan rawat inap menunjukkan pertumbuhan signifikan di
daerah perkotaan, sedangkan Puskesmas tanpa rawat inap dan Puskesmas
Pembantu (Pustu) mengalami pertumbuhan signifikan di daerah pedesaan.
Meskipun fasilitas layanan kesehatan primer pemerintah ini meningkat
secara pesat, Indonesia masih mengalami masalah dalam hal disparitas
antara daerah perkotaan dan pedesaan. Jumlah Puskesmas di daerah
pedesaan, terutama daerah terpencil, masih dianggap tidak memadai.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah berupaya dengan
membangun Pustu di daerah terpencil –meski sesungguhnya Pustu juga
tersedia di beberapa daerah dengan karakteristik perkotaan. Lingkup
wilayah Pustu adalah kelurahan atau desa. Berbeda dengan Pustu di
wilayah dengan karakteristik perkotaan yang masih dapat diisi oleh dokter,
Pustu di wilayah terpencil memang didesain oleh pemerintah daerah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat daerah tersebut meskipun tanpa dokter.
Tenaga kesehatan yang biasanya ditempatkan di fasilitas tersebut adalah
bidan dan perawat. Kebijakan ini laik dipertanyakan terkait dengan upaya
pencapaian JKU karena Pustu –dengan ketiadaan dokter dan fasilitas yang
sangat minimal, tidak memberikan layanan kesehatan berkualitas baik, tidak
beroperasi secara regular, dan kerap kekurangan obat dan perlengkapan
diagnostik. Sebagai konsekuensinya, pasien yang membutuhkan layanan
kesehatan dasar dengan cepat seringkali menemui hambatan dan harus
pergi ke layanan kesehatan yang lebih tinggi dan terdekat dari lokasi
mereka dengan tambahan biaya untuk transportasi dan akomodasi.
Pertanyaannya adalah: ketika JKU berupaya mereduksi hambatan finansial
masyarakat tidak mampu, ketersediaan dan kualitas layanan kesehatan di

113
daerah pedesaan dan tertinggal justru tidak mendukung hal tersebut dan
menambah pelik hambatan finansial untuk populasi sekitarnya.
Tabel 5.1. Pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan
Tipe 2001 2005 2011
Puskesmas
Dengan rawat inap 1818 2077 3019
Tanpa rawat inap 5416 5592 6302
Puskesmas Pembantu (Pustu) 20286 22171 No data
Rumah sakit pemerintah 527 564 751
Rumah sakit swasta 618 704 970
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia tahun 2001, 2006 dan 2011.2–4

Masalah ketersediaan tidak terbatas hanya pada fasilitas Pustu, tetapi


juga Puskesmas di daerah pedesaan secara keseluruhan. Harimurti dkk (2013)
menemukan bahwa 25% Puskesmas tidak memiliki dokter.5 Masalah ini
dikenal sebagai ‘absenteeism’. Persoalan absenteeism di Puskesmas dapat
dianggap sebagai salah satu dari dua hal, yaitu absentessism mutlak (pemerintah
tidak menempatkan satu dokter pun di Puskesmas dan membiarkan perawat
dan/atau bidan mengatur Puskesmas) atau absenteeism relatif (pemerintah
sebenarnya menempatkan dokter di Puskesmas, namun dokter tersebut
sering tidak berada di tempat dan tidak memberikan pelayanan kesehatan
untuk masyarakat). Problem absenteeism ini juga terjadi di beberapa negara
berkembang yang dapat disebabkan oleh insentif yang rendah, akses terbatas
yang tidak menguntungkan, dan negosiasi antara pemerintah dan dokter yang
sudah ‘direncanakan’ –artinya, sistem yang membuat pemerintah dan dokter
saling tawar menawar untuk saling menguntungkan.6
Terkait fasilitas layanan kesehatan sekunder, Indonesia menunjukkan
pertumbuhan yang konsisten, baik pada rumah sakit pemerintah maupun
swasta, dalam 10 tahun terakhir. Namun, peningkatan jumlah ini lebih banyak
terkonsentrasi di daerah perkotaan yang mengakibatkan munculnya diskrepansi
yang tinggi antara daerah perkotaan dan pedesaan.2–4,7,8 Rumah sakit swasta,
secara khusus, cenderung berorientasi pada laba dan lebih memilih beroperasi

114
di daerah perkotaan dengan kapasitas finansial masyarakat yang lebih tinggi
daripada di daerah pedesaan. Bahkan, rumah sakit pemerintah yang belakangan
didirikan juga banyak terdapat di daerah mirip perkotaan, bukan berupaya
menjangkau daerah pedesaan. Pemerintah sebenarnya telah merencanakan
sebuah sistem penyediaan layanan kesehatan untuk memecahkan persoalan
ini. Salah satunya adalah dengan membangun rumah sakit dengan layanan
dasar –yang disebut sebagai rumah sakit pratama (setara dengan rumah sakit
tipe D). Jenis fasilitas ini didirikan di 42 kabupaten, ditambah dengan pendirian
Puskesmas di 383 kecamatan. Pemerintah bermaksud menyediakan akses
yang lebih luas bagi kasus-kasus rujukan dari layanan primer ke layanan
sekunder. Jenis fasilitas ini dianggap dapat menjadi ‘fasilitas penghubung’ dari
layanan primer ke sekunder. Namun demikian, kebijakan ini masih dianggap
kontroversial oleh beberapa pihak. Bukannya menyediakan layanan kesehatan
sekunder dengan kualitas baik, rumah sakit pratama atau tipe D tampak seperti
fasilitas layanan kesehatan primer dengan ditempelkan layanan rawat inap
sebagaimana Peraturan Menteri kesehatan no 71 tahun 2013 juga menyetarakan
tipe fasilitas ini sebagai fasilitas layanan kesehatan primer. Pola pembiayaan
layanan kesehatannya pun adalah kapitasi.9 Dengan kebijakan ini, pertumbuhan
rumah sakit pratama pun lebih terpusat di daerah mirip perkotaan dibandingkan
di pedesaan sehingga permasalahan terbatasnya layanan kesehatan sekunder di
pedesaan belum dapat terpecahkan secara optimal.

Tenaga Kesehatan Profesional dan Gajinya


Permasalahan yang sama juga terjadi pada ketersediaan tenaga kesehatan
profesional (Tabel 5.2.). Meskipun ada peningkatan, rasio dokter per 100,000
populasi masih rendah dengan rerata produksi dokter baru yang rendah dan
kapasitas pengangkatan tenaga kerja oleh pemerintah yang masih terbatas.2–5,10
Sebelum berdiskusi mengenai terbatasnya jumlah tenaga kesehatan
di Indonesia, masalah dasar mengenai data perlu didiskusikan terlebih
dahulu. Masalah data adalah masalah klasik di Indonesia. Ada beragam set
data yang disediakan oleh institusi yang berbeda. Set data pertama adalah

115
yang dipublikasikan oleh Kemenkes melalui Profil Kesehatan Indonesia
yang mengindikasikan jumlah tenaga kesehatan profesional, terutama yang
bekerja di fasilitas layanan kesehatan publik. Set data lain adalah yang
diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang memperlihatkan
jumlah dokter yang lulus dan teregistrasi, tanpa memandang apakah dokter
tersebut fungsional dan berpraktik atau tidak.
Kedua set data tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Data dari Kemenkes menunjukkan jumlah dokter yang lebih sedikit
dibandingkan sumber data dari KKI.8 Ini masuk akal karena data dari KKI
tidak menunjukkan jumlah aktual dokter yang berpraktik, sedangkan
data dari Kemenkes lebih berorientasi pada mereka yang berpraktik di
fasilitas pemerintah. Jika melihat hanya melihat data dari KKI, pemerintah
mungkin akan terjebak pada intrepetasi yang keliru dengan menganggap
bahwa jumlah dokter umum di Indonesia sudah mencukupi. Padahal, dari
sekian dokter yang teregistrasi, ada dokter (umum) yang memutuskan
tidak praktik, mengambil spesialisasi atau studi di bidang lain. Jika hanya
melihat dari Profil Kesehatan Indonesia, pemerintah akan terpaku pada
ketersediaan dokter di layanan kesehatan pemerintah –yang mungkin tidak
mencakup ketersediaan dokter di layanan swasta.
Perbedaan pendekatan data ini menciptakan kesenjangan angka.
Pertanyaan yang muncul dan harus dijawab dengan tepat adalah berapa banyak
dokter yang sebenarnya praktik dan fungsional di Indonesia? Pemerintah jelas
membutuhkan sumber data yang lebih baik yang menyediakan data secara
detail. Survei secara regular dan dikerjakan secara paralel dengan pemantauan
dan evaluasi JKU merupakan langkah penting yang harus dilakukan.
Terlepas dari kesenjangan yang ada, buku ini menggunakan data tenaga
kesehatan profesional dari Kemenkes karena data yang dilaporkan melalui
Profil Kesehatan Indonesia menyediakan data regular secara prospektif
yang penting untuk melihat perkembangan dari waktu ke waktu. Namun,
permasalahan lain sumber data tersebut muncul. Ketersediaan tenaga

116
kesehatan profesional masih terkendala dengan validitas dan reliabilitas
data. Dari laporan Profil Kesehatan Indonesia, ada hal yang ganjil, yaitu
jumlah dokter umum dan perawat yang menurun dari tahun 2006 ke tahun
2011. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah pengumpulan data
dilakukan dengan teknik, instrumen dan definisi operasional yang berbeda?
Indonesia telah memiliki 72 fakultas kedokteran yang pasti memproduksi
dokter umum setiap tahun. Pertumbuhan negatif jumlah dokter jelas
mustahil. Temuan ini merupakan isu penting yang harus diselesaikan
karena validitas data merupakan syarat dasar untuk dapat memberikan
masukan terhadap penyusunan keputusan dan kebijakan. Pemerintah harus
memperbaiki estimasi jumlah tenaga kesehatan profesional terlebih dahulu
sebelum menganalisis dan menyusun beberapa strategi untuk meningkatkan
jumlah tenaga kesehatan profesional. Jika tidak, strategi yang disusun tidak
akan menyelesaikan masalah ketersediaan tenaga kesehatan profesional.
Pemerintah, bersama-sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan KKI
harus merevisi metode dalam pendataan tenaga kesehatan profesional dan
saling melengkapi data satu sama lain. Database juga harus diperbarui
secara regular, baik di tingkat lokal maupun nasional, untuk memotret
ketersediaan tenaga kesehatan profesional di seantero negeri.

Tabel 5.2. Jumlah tenaga kesehatan professional di Indonesia


Tenaga 2001 2005 2011 Thailand Filipina
kesehatan (2007) (2011)
n (rasio)a n (rasio)a n (rasio)a n (rasio)a n (rasio)a
Dokter 6,039 (2.9) 11,765 (5.4) 16,836 (7.1) 12,701
spesialis (13.4)
Dokter 15,428 40,963 32,492 (13.8) 22,000 10,773
umum (8.9) (18.7) (35.7)b (11.4)
Perawat 70,857 284,039 220,575 110,000
(40.3) (129.8) (93.5) (142.8)
Bidan 16,103 73,201 124,164 522 (0.6)
(7.9) (33.5) (52.6)
Rasio per 100,000 populasi, bJumlah total dokter (dokter umum dan spesialis). Sumber:
a

Profil Kesehatan Indonesia,2–4 Evans dkk (2012),11 dan PhilHealth12.

117
Meski ada peningkatan jumlah, kekurangan tenaga kesehatan profesional,
khususnya dokter spesialis, masih tampak jelas. Rasio dokter umum di delapan
provinsi masih lebih rendah daripada rerata nasional. Sebaliknya, hanya di
Sembilan provinsi rasio dokter spesialis lebih tinggi daripada rerata nasional
(Gambar 5.1). Rasio dokter gigi, perawat, dan bidan relative lebih baik.
Bahkan, jumlah perawat sudah melebihi kebutuhan yang ada.

Gambar 5.1. Rasio dokter umum dan spesialis di Indonesia. Garis horizontal
merah menunjukkan rerata rasio dokter umum nasional. Garis horizontal
biru menunjukkan rerata dokter spesialis nasional. Diadaptasi dari data Profil
Kesehatan Indonesia (2011).4

Sebagai perbandingan dengan negara tetangga, proporsi tenaga


kesehatan profesional per 100,000 populasi di Indonesia masih lebih rendah
daripada Thailand. Indonesia mungkin sebaiknya menetapkan Thailand
sebagai benchmark untuk pencapaian JKU karena Thailand telah berhasil
mencapai JKU dan menyediakan proporsi tenaga kesehatan yang adekuat
terhadap populasi di atas persyaratan minimal (20:100,000 populasi).
Filipina adalah contoh kasus lain. Rasio dokter spesialis di Filipina

118
lebih tinggi daripada Indonesia, namun rasio dokter umum dan perawat
menunjukkan hal sebaliknya. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya angka
migrasi tenaga kesehatan profesional Filipina ke negara lain, khususnya
dokter umum dan bidan. Kekurangan tenaga kesehatan profesional di
Filipina telah menjadi perhatian utama di negara berkembang lainnya,
yang dikenal sebagai ‘brain drain’. Kondisi seperti itu memperburuk
ketersediaan tenaga kesehatan profesional yang sebenarnya masih rendah
di negara miskin dan berkembang, serta memperbesar inekuitas kesehatan
di dunia.13 Mengekspor tenaga kesehatan profesional sebenarnya juga telah
terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan, namun jumlahnya
masih terbatas –dengan perawat sebagai mayoritas tenaga yang diekspor.
Terkait minimnya kuantitas dokter, pemerintah melalui Kemenkes dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kini berubah menjadi Kementerian
Pendidikan Tinggi dan Riset telah merupaya mendorong pendirian fakultas
kedokteran baru untuk mengatasi kekurangan tersebut. Saat ini telah berdiri
73 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia –yang 53 di antaranya telah
meluluskan dokter umum (pada tahun 2013). Kualitas fakultas kedokteran,
berdasarkan tingkat akreditasinya, beragam: 18 fakultas kedokteran dengan
level akreditasi A, 21 dengan level akreditasi B, dan 34 lainnya dengan
akreditasi C. Tiga puluh satu fakultas kedokteran yang ada saat ini adalah
miliki pemerintah, sedangkan mayoritas sisanya merupakan milik swasta.
Tantangan bagi pemerintah adalah bagaimana menentukan secara
akurat provinsi mana yang membutuhkan pendirian fakultas kedokteran
baru sesuai dengan rasio dokter umum yang ada saat ini (Gambar 5.2).
Namun, masalah lain muncul. Pertama, distribusi fakultas kedokteran saat
ini didominasi di daerah perkotaan. Pertumbuhan fakultas kedokteran
baru dalam satu dekade terakhir pun didominasi oleh institusi swasta di
daerah perkotaan yang mensyaratkan uang masuk yang tinggi. Kondisi ini
justru meningkatkan peluang mereka yang kaya dan kebanyakan berasal
dari perkotaan untuk mendaftar di fakultas kedokteran. Hasilnya, lulusan
dokter umum pun lebih memilih untuk berpraktik di daerah perkotaan

119
daripada pergi ke daerah pedesaan atau daerah terpencil; ditambah dengan
alasan ekonomi untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Kedua,
kualitas fakultas kedokteran baru di daerah pedesaan masih meragukan.
Dengan fasilitas dan sumber daya yang terbatas, produksi dokter umum
mungkin belum sebaik yang diharapkan.

Gambar 5.2. Rasio dokter umum dan fakultas kedokteran yang ada di seluruh
provinsi. Diadaptasi dari data Profil Kesehatan Indonesia (2011) dan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud.

120
Tantangan selanjutnya bagi pemerintah adalah menyelesaikan
problem inekualitas jumlah tenaga kesehatan profesional. Inekualitas
antara perkotaan dan pedesaaan memang secara umum terjadi di banyak
negara, khususnya negara dengan wilayah teritorial yang luas. Inekualitas
itu sendiri secara jelas berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi lokal.
Selama masih ada kesenjangan yang besar dalam pertumbuhan ekonomi
antara daerah perkotaan dan pedesaan, tenaga kesehatan profesional masih
akan memilih berpraktik di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan.
Kesenjangan ketersediaan tenaga kesehatan antara daerah perkotaan
dan pedesaan mungkin disebabkan pula oleh kebijakan penyebaran
tenaga kesehatan profesional. Di akhir tahun 1960-an dan tahun 1970-an,
Kemenkes meluncurkan kebijakan wajib kerja bagi pegawai negeri sipil
untuk bekerja dalam periode tertentu di fasilitas kesehatan yang sudah
ditentukan. Hingga akhir tahun 1990-an, seluruh dokter umum lulusan
baru diwajibkan untuk mengabdi selama 2-5 tahun di Puskesmas yang
lokasinya telah ditentukan oleh Kemenkes. Setelah pengabdian di pedesaan
dan daerah terpencil, mereka akan mendapatkan izin praktik dokter
dan memiliki kesempatan lebih besar untuk diterima masuk pendidikan
spesialis. Dengan melaksanakan program ini, Indonesia sebenarnya telah
mendekati pencapaian JKU dalam hal layanan primer dan dasar. Namun,
gelombang reformasi menerbitkan beberapa kebijakan yang bertentangan
dengan menghentikan pengangkatan pegawai negeri sipil dan penempatan
dokter umum lulusan baru ke pedesaan dan daerah terpencil.7
Di sisi lain, desentralisasi menciptakan koordinasi yang rumit dan
memusingkan antara pemerintah pusat dan daerah. Menurunnya kapasitas
pengangkatan pegawai negeri sipil, termasuk untuk tenaga kesehatan
profesional, terlihat jelas.5 Pemerintah pusat melepaskan autoritas untuk
merekrut tenaga kesehatan profesional kepada pemerintah lokal, sedangkan
pemerintah lokal harus berhadapan dengan minimnya kapasitas finansial
lokal untuk membayar tenaga kesehatan yang baru. Ini menunjukkan
adanya kebijakan kontradiktif yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketika

121
ketersediaan tenaga kesehatan profesional dianggap sebagai elemen
penting dalam pencapaian JKU, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan
yang berdampak negatif terhadap tujuan awal tersebut.
Bagi beberapa pemerintahan lokal yang memiliki sumber daya dan
kapasitas finansial yang adekuat, kekurangan tenaga kesehatan profesional
dan berhentinya penyebaran dokter umum lulusan baru secara nasional
dapat diatasi dengan memberikan gaji tambahan –atau bahkan membuka
peluang pekerja tidak tetap (PTT) provinsi atau kabupaten. Sayangnya,
tidak semua pemerintah lokal memiliki kemampuan yang serupa.
Kebijakan lokal ini juga seringkali masih terkendala dengan tingginya
harga komoditas dasar dan transportasi. Pemerintah perlu meningkatkan
anggaran untuk peningkatan gaji dokter yang bekerja di layanan kesehatan
pemerintah dengan menyusun regulasi yang kuat mengenai standar gaji
dokter. Gaji yang lebih tinggi dapat mengundang lebih banyak dokter untuk
berpraktik di daerah pedesaan dan terpencil sebagai kompensasi yang baik.
Gaji tenaga kesehatan profesional juga merupakan hal penting
yang harus dipertimbangkan dalam JKU dan pemenuhan hak kesehatan.
Pendapatan dokter biasanya meningkat dengan peningkatan jumlahnya
secara eksponensial, sedangkan pendapatan tenaga kesehatan lainnya
meningkat dengan peningkatan jumlahnya secara linear (Gambar 5.3).
Dalam upaya mendorong pemenuhan hak kesehatan, pemerintah seharusnya
tidak hanya menjamin ketersediaan tenaga kesehatan profesional, namun
harus pula memastikan bahwa tenaga kesehatan profesional mendapatkan
penghasilan yang kompetitif dibandingkan standar profesi lokal lainnya.
Rerata gaji dokter yang berpraktik di Puskesmas berkisar antara Rp
2,500,000 hingga Rp 4,500,000 per bulan –yang bergantung pada
golongan dan jabatan bagi pegawai negeri sipil dan jabatan fungsional
yang dimilikinya. Dalam nilai absolut, kisaran gaji tersebut lebih tinggi
daripada gaji yang didapatkan tenaga kesehatan lainnya. Namun, dalam
nilai relatif terhadap beban kerja, kisaran gaji tersebut jelas lebih rendah
daripada perawat dan bidan. Dengan beban kerja yang tinggi, sekitar 33-

122
40 jam per minggu, rerata gaji tersebut jelas tidak kompetitif bagi tenaga
kesehatan profesional. Akibatnya, pendapatan yang kecil cenderung
menurunkan kualitas layanan kesehatan dan meningkatkan peluang untuk
melakukan aktivitas lain di jam kerja.

Gambar 5.3. Korelasi antara ketersediaan tenaga kesehatan profesional dengan


pendapatan.

Selain gaji dasar bagi tenaga kesehatan profesional di fasilitas layanan


kesehatan publik, diskusi juga terbuka dengan mempertimbangkan
potensi gaji lain yang ditawarkan sistem pembiayaan layanan saat ini di
Indonesia. Setelah implementasi JKN, pemerintah membagi dua sistem
pembiayaan layanan kesehatan menjadi dua mekanisme di bawah autoritas
BPJS Kesehatan. Pertama, BPJS Kesehatan akan mendistribusikan dana
ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan melalui pendanaan kapitasi. FKTP akan mendapatkan
dana kapitasi sesuai dengan seberapa banyak peserta BPJS Kesehatan yang
terdaftar di fasilitas tersebut. Pemerintah telah menetapkan dana kapitasi
dalam kisaran Rp 3,000-6,000 per kapita untuk FKTP milikpemerintah
dan Rp 8,000-10,000 per kapita untuk rumah sakit pratama, klinik pratama
dan FKTP swasta lainnya. Pendanaan kapitasi ini akan digunakan untuk
seluruh item biaya di layanan kesehatan primer, termasuk gaji tenaga

123
kesehatan profesional, biaya tes laboratorium, obat-obatan, struktur dan
infrastruktur, serta laba yang dialokasikan.
Dalam kalkulasi sederhana, jika diasumsikan bahwa sebuah FKTP
memiliki dua dokter umum, seorang perawat, dan seorang staf administrasi
yang mencakup 5,000 peserta. Dengan pola kapitasi, FKTP tersebut akan
mendapatkan dana Rp 40,000,000 per bulan dan harus membagi jumlah
dana kapitasi tersebut untuk seluruh item biaya. Dengan asumsi bahwa
hanya 10% peserta yang mengunjungi FKTP dalam sebulan dan rerata
biaya pengobatan sebesar Rp 50,000, pengeluaran total biaya pengobatan
menjadi Rp 25,000,000 dan dana yang tersisa sebesar Rp 15,000,000. Dana
sisa tersebut harus dibagi untuk gaji dokter, perawat, staf admininstrasi,
struktur dan infrastruktur, serta laba. Apakah dengan pendanaan kapitasi
seperti itu memberikan penghasilan kompetitif secara domestik? Sangat
bergantung! Dengan sistem pembiayaan seperti ini, tenaga kesehatan
profesional harus menurunkan kunjungan pasien dan biaya pengobatan
untuk menghasilkan pendapatan yang besar. Untuk itu, mereka harus
berjuang dengan program promosi kesehatan dan pencegahan, serta
meningkatkan efisiensi bisnis. Jika tidak, mereka akan kehilangan peluang
mendapatkan gaji yang tinggi. Namun, melaksanakan program promosi
kesehatan pencegahan untuk menurunkan kunjungan pasien dan biaya
pengobatan merupakan hal rumit dan membutuhkan upaya keras. Inovasi
program lain juga dibutuhkan.
Kedua, sistem pembiayaan layanan kesehatan sekunder didasarkan pada
sistem INA-CBGs. Tenaga kesehatan profesional akan mendapatkan gaji
mereka berdasarkan sistem remunerasi. Sebagai konsekuensinya, tenaga
kesehatan profesional tidak lagi mendapatkan penghasilan berdasarkan
fee-for-service. Sistem pembiayaan ini mungkin menguntungkan bagi
beberapa dokter spesialis, namun juga berpotensi merugikan bagi dokter
spesialis lainnya, khususnya mereka yang dapat menghasilkan pendapatan
tinggi dari layanan yang diberikan.

124
Obat-obatan dan Layanan Esensial
Pemerintah telah meningkatkan ketersediaan obat-obatan di fasilitas
layanan kesehatan pemerintah. Pada tahun 2010, ketersediaan obat-
obatan esensial yang ditetapkan WHO di mayoritas layanan kesehatan
pemerintah masih di bawah 80%, dan hanya 15% fasilitas kesehatan yang
memiliki obat-obatan esensial di atas 80%.5 Pada tahun 2011, 122 dari 135
(90.4%) obat-obatan esensial telah tersedia lebih dari 80% dari kebutuhan
obat-obatan di seluruh fasilitas kesehatan pemerintah.4,14 Pencapaian ini
menunjukkan ketersediaan obat-obatan yang baik, namun masalah klasik
terkait diskrepansi antara perkotaan dan pedesaan masih muncul.
Bagaimana dengan layanan kesehatan esensial? Secara ideal,
pemerintah harus menyusun benefit package sesuai dengan dasar ilmiah
yang kuat. Layanan kesehatan apa yang dianggap sebagai layanan
kesehatan esensial harus ditentukan oleh institusi yang independen.
Implementasi JKU akan mencetuskan pertanyaan mengenai layanan apa
yang harus dijamin oleh skema asuransi nasional. Dalam hal ini, pemerintah
dan badan asuransi nasional tidak hanya mempertimbangkan efikasi atau
efektivitasnya, namun juga efektivitas biaya dan dampak pada anggaran
total. Studi mengenai analisis efektivitas biaya dan analisis dampak
anggaran (budget impact analysis) harus dikembangkan oleh pemerintah.
Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, HITAP di Thailand
dan NICE di Inggris merupakan contoh terbaik untuk institusi yang
melangsungkan berbagai studi untuk penyusunan benefit package. Indonesia
sebenarnya telah berusaha untuk mendirikan institusi serupa, yaitu Komite
Pengkajian Teknologi Kesehatan (KPTK), namun harus menghadapi
beberapa kendala dalam implementasinya sehingga perkembangannya
masih sangat terbatas. Studi mengenai pengkajian teknologi kesehatan
(health technology assessment, HTA) juga masih terbatas dilakukan hanya
di beberapa sentra terkemuka, seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
dan Rumah Sakit dr Soetomo. Itu pun dengan jumlah yang terbatas dan
belum mengeksplorasi lebih dalam mengenai kajian efektivitas biaya.

125
Untuk membangun lembaga pengkajian teknologi kesehatan yang
serupa dengan HITAP dan NICE, pemerintah harus memberikan dukungan
politik, sumber daya dan dana. Sebagai contoh, HITAP di Thailand dapat
berjalan dengan baik dan menjadi contoh bagi negara berkembang setelah
mereka mengangkat staf yang dibayar penuh untuk meneliti dengan
bayaran yang memuaskan. Tidak dimungkiri bahwa untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, pemerintah harus mengalokasikan dana yang
cukup besar bagi peneliti. Dana untuk penelitian pun disediakan dengan
alokasi yang memadai; sekitar Rp 300 juta untuk satu studi, dan HITAP
mampu melakukan 10-20 studi dalam kurun waktu satu tahun. Mencontoh
pengalaman HITAP, tentu perlu dorongan kuat dari pemerintah dan
Kemenkes untuk bergerak lebih progresif. Dukungan dari ahli ekonomi
kesehatan untuk melakukan berbagai studi efektivitas biaya dan
analisis dampak anggaran juga sangat dibutuhkan karena terkait dengan
rekomendasi yang dikeluarkan akan berkaitan dengan beban anggaran.
Hasil studi komite pengkajian teknologi kesehatan ini akan menjadi dasar
rekomendasi penyusunan benefit package; layanan atau intervensi apa
yang dicakup dalam skema asuransi BPJS Kesehatan dan mana yang tidak.
Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan perkembangan teknologi
kesehatan yang dinamis, pemerintah perlu melakukan penyelarasn terhadap
masalah terkait kesehatan terkini dan teknologi yang berkembang untuk
dapat menyusun keputusan dengan tepat.
Distribusi layanan kesehatan, tenaga kesehatan profesional dan obat-
obatan esensial yang tidak merata merupakan permasalahan klasik. Namun,
justru hal ini yang akan menyebabkan benefit package tidak bermakna sama
sekali. Sebagus apapun pemerintah menyusun daftar layanan yang dijamin
oleh BPJS Kesehatan, namun jika layanan tersebut tidak dapat diberikan,
maka tidak akan ada kemajuan yang dicapai dalam JKU. Ada kesenjangan
antara teori dan konsep di atas kertas dengan kondisi lapangan –yang benar-
benar harus dapat diwaspadai oleh pemerintah. Alih-alih mendapatkan
layanan yang komprehensif, masyarakat justru harus berhadapan dengan

126
layanan kesehatan yang terbatas. Masyarakat mungkin tidak menemukan
layanan hemodyalisis di beberapa tempat, meski secara konsep layanan
tersebut dijamin oleh BPJS Kesehatan karena tidak tersedianya layanan
dan tenaga kesehatan yang mendukung. Begitu pun dengan layanan
lain, seperti layanan rawat intensif atau rehabilitasi. Bahkan, di beberapa
daerah pedesaan dan terpencil, layanan kesehatan dasar masih sangat
terbatas, seperti ketersediaan vaksin dan antibiotik. Prosedur diagnostik
pun demikian. Misalnya, masyarakat tidak dapat didiagnosis tuberkulosis
dengan tepat di Puskesmas karena tidak tersedianya prosedur uji dahak.
Pasien suspek tuberkulosis pun harus pergi mencari pengobatan ke rumah
sakit terdekat dengan biaya transportasi dan akomodasi yang membengkak.
Ketersediaan seluruh layanan inilah yang harus dipantau dan dievaluasi
oleh pemerintah, bukan sekadar berfokus pada seberapa banyak orang
yang dicakup dalam jaminan kesehatan.
Terkait dengan sumber daya yang terbatas, pemerintah belum
melakukan aksi apapun untuk melakukan penjatahan layanan kesehatan
(health care rationing). Kebijakan penjatahan layanan kesehatan sudah
marak terjadi di negara-negara maju ketika ada ketidakberimbangan
antara persediaan dan permintaan. Yang dapat terjadi ketika tidak ada
keseimbangan antara kedua hal tersebut adalah panjangnya waktu tunggu
atau menurunnya kualitas layanan kesehatan. Kebijakan penjatahan
layanan kesehatan dilakukan –meskipun kontroversial, dengan alasan
bahwa layanan kesehatan terbatas karena sumber daya yang dialokasikan
pun terbatas. Kebijakan tersebut dapat dilakukan dari dua sisi, yaitu
dari sisi persediaan (supply) dan permintaan (demand). Sebagai contoh,
pemerintah tetap menjaga persediaan layanan tetap rendah (supply) –yang
mengakibatkan panjangnya waktu tunggu. Contoh lain di sisi demand
adalah lembaga asuransi memberlakukan kebijakan user fees –asuransi
tidak membayar penuh biaya kesehatan dan ada proporsi yang tetap
harus dibayarkan sendiri oleh peserta. Contoh yang menonjol dalam hal
ini adalah kebijakan deductible payment (peserta membayarkan biaya

127
kesehatan sampai batas tertentu yang dianggap sebagai risiko pribadi
sebelum ditanggung oleh asuransi) dan co-payment (peserta dan asuransi
membagi proporsi pembayaran biaya kesehatan).
Pembatasan benefit package hampir tidak dilakukan. Hal tersebut
mungkin dilakukan karena adanya tekanan politik. Saat pemerintah
dituntut untuk menyediakan cakupan universal, pembatasan terhadap
intervensi atau layanan kesehatan –bukan hanya yang sangat dibutuhkan
masyarakat, tetapi juga penyakit dengan prevalensi sangat rendah,
bukanlah kebijakan populer dan dapat mencetuskan gelombang protes
publik. Di sisi persediaan, meski pemerintah meyakini bahwa sumber daya
layanan kesehatan terbatas, pemerintah juga tidak menyusun regulasi untuk
pembatasan. Sebagai akibatnya, layanan kesehatan publik tidak mampu
merawat pasien dengan kualitas yang baik karena jumlah kunjungan pasien
bertambah pesat dengan adanya skema Jamkesmas dan BPJS Kesehatan.
Implementasi Kartu Jakarta Sehat –skema asuransi yang diberikan khusus
oleh pemerintah provinsi Jakarta, adalah contoh kasus yang mutakhir.
Setelah program tersebut diluncurkan sebagai skema asuransi lokal
tambahan terhadap Jamkesmas, jumlah masyakarat yang mencari layanan
kesehatan meningkat secara tajam, baik ke Puskesmas maupun rumah
sakit. Pemerintah lokal justru mengambil kebijakan untuk meningkatkan
persediaan di rumah sakit dan bukan melakukan pembatasan layanan
kesehatan dengan alasan hak asasi manusia. Kondisi seperti ini memicu
penurunan kualitas layanan dan inefisiensi. Sekitar 16 rumah sakit swasta
kemudian memutuskan untuk keluar dari daftar penyedian layanan untuk
peserta Jamkesmas karena merasa kewalahan berhadapan dengan jumlah
pasien yang luar biasa tinggi dan tidak mampu menahan biaya kesehatan.
Selalu ada yang menarik saat mendiskusikan mengenai apa kebijakan
pemerintah untuk menghadapi masalah seperti ini dan apakah ada
kebijakan pembatasan yang dilakukan. Ada beberapa kebijakan penting
yang dapat diambil, yaitu (1) memperkuat fungsi layanan kesehatan primer

128
sebagai gate keeper yang harus melakukan skrining kasus secara tepat
sebelum merujuknya ke layanan sekunder atau tersier, (2) meningkatkan
keterampilan tenaga kesehatan profesional dan fasilitas layanan kesehatan
primer yang kualitasnya dianggap masih rendah saat ini, dan (3)
memperkuat sistem rujukan dari layanan primer ke sekunder dan tersier.
Pembatasan dari sisi permintaan mungkin masih mustahil dilakukan dalam
kondisi Indonesia yang seperti ini. Pembagian pembiayan dan pembatasan
benefit package mungkin akan dianggap sebagai langkah mundur ketika
pemerintah tengah berupaya mencapai JKU.

Fasilitas Sanitasi
Dalam penilaian pencapaian hak kesehatan, ketersediaan determinan
dasar kesehatan juga harus dipertimbangkan. Dua determinan dasar
kesehatan tersebut adalah penyediaan air bersih dan sanitasi yang baik.
Tabel 5.3 menunjukkan pencapaian dalam penyediaan air bersih dan
sanitasi di Asia Tenggara. Penyediaan air bersih dan sanitasi di Indonesia
memang masih merupakan permasalahan yang perlu dipecahkan. Selain
persentasenya yang rendah dibandingkan Thailand, Malaysia, dan Filipina (tiga
Negara berkembang di Asia Tenggara), kesenjangan yang besar antara daerah
perkotaan dan pedesaan juga menjadi persoalan yang harus segera diatasi.
Jelas bahwa kebanyakan masyarakat yang tinggal di pedesaaan merupakan
masyarakat miskin dan sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan air
bersih dan sanitasi yang baik. Sanitasi yang buruk dan terbatasnya ketersediaan
air bersih akan menyebabkan permasalahan kesehatan lainnya yang
berkembang dari praktik sanitasi yang buruk, seperti tidak melakukan upaya
cuci tangan dengan baik dan pembuangan feses yang keliru.15 Praktik tersebut
akan menyebabkan masalah diare atau penyakit infeksi lainnya. Sanitasi
yang buruk juga berhubungan dengan determinan kesehatan lainnya, seperti
tingginya angka buta huruf, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya
kapasitas finansial yang semuanya menjadi penyebab status kemiskinan dan
pemiskinan lagi yang lebih dalam. (Gambar 5.4).

129
Selain itu, Kristiansen dan Santoso (2006) melaporkan bahwa
upaya pencapaian JKU masih berfokus pada tatalaksana pengobatan dan
layanan kuratif dibandingkan layanan preventif. Hal ini berimplikasi
kepada rendahnya prioritas terhadap ‘layanan kesehatan sosial’, termasuk
penyediaan fasilitas toilet dan air minum bersih yang juga merupakan bagian
dari hak kesehatan.16 Layanan preventif dan kesehatan sosial merupakan
hal penting dalam pemenuhan hak kesehatan dan membantu masyarakat
untuk menggapai status kesehatan mereka yang baik. Bahkan, masyarakat
di beberapa area di Jakarta yang dekat dengan pantai pesisir Jakarta, masih
mengalami kesulitan untuk mengakses air yang aman dan bersih untuk
diminum. Mereka yang tinggal di area tersebut harus membeli air dalam
kemasan atau galon/tong karena tidak mungkin meminum air tanah yang
bercampur dengan air laut. Permasalahan lebih besar dialami oleh masyarakat
yang tinggal di pedesaan dan daerah terpencil, misalnya di Kalimantan yang
dekat dengan area pertambangan dan beberapa daerah gambut.
Jika pemerintah tidak melakukan tindakan signifikan untuk mengatasi
permasalahan tersebut, sistem kesehatan dapat dianggap gagal dalam
menyediakan sistem yang tidak diskriminatif dan menelantarkan masyarakat

130
yang tinggal di daerah pedesaan dan terpencil dalam kondisi yang tidak
menguntungkan. Salah satu upaya yang pemerintah harus lakukan adalah
mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan pembiayaan publik dalam
penyediaan air bersih dan sanitasi. Pos pembiayaan ini mungkin belum –dan
masih sulit, diintegrasikan dengan pembiayaan premi asuransi kesehatan
nasional, namun pemerintah dapat melakukannya dengan mangalokasikan
dana yang lebih besar dari sumber lain untuk mengatasi permasalahan
air bersih dan sanitasi. Selain peningkatan pembiayaan publik, program
edukasi masyarakat yang dilaksanakan secara menyeluruh merupakan hal
penting dan harus menjadi perhatian pemerintah. Hingga saat ini, program
air bersih dan sanitasi masih berpangku pada upaya CSR perusahaan yang
besarannya terbatas sehingga upaya pemerintah untuk mendorong upaya
penyediaan air bersih dan sanitasi yang lebih besar tidak dapat ditawar lagi.

Gambar 5.4. Siklus kesehatan dan kemiskinan. Diadaptasi dari Wagstaff (2002)15

131
Aksesibilitas
Aksesibiliats dinilai dalam hal (1) dapat diakses secara fisik yang
berarti bahwa layanan kesehatan dapat diakses secara aman oleh seluruh
bagian populasi, termasuk mereka yang tinggal di pedesaan, (2) dapat
diakses secara ekonomi yang berarti bahwa layanan kesehatan terjangkau
oleh seluruh populasi, dan (3) dapat diakses tanpa adanya diskriminasi
dalam segala hal yang dilarang.

Aksesibilitas Fisik
Aksesibilitas fisik merupakan masalah penting, terutama di daerah
pedesaan, meskipun hal ini mungkin bukan merupakan isu yang problematik
di daerah perkotaan. Masalah ini juga terkait dengan ketersediaan
layanan kesehatan dan hambatan finansial. Secara umum, hanya ada
satu Puskesmas di setiap kecamatan yang terdiri dari beberapa kelurahan
atau desa. Satu rumah sakit umum pemerintah juga mungkin beroperasi
untuk 1-3 kabupaten yang berdekatan. Hambatan fisik, bersamaan dengan
hambatan finansial akibat biaya transportasi, mengakibatkan utilisasi yang
rendah terhadap fasilitas layanan kesehatan pemerintah yang tersedia,
seperti yang ditemukan Arifianto dkk (2005) setelah dikeluarkannya
skema JPK-Gakin di tiga kabupaten. Meskipun pemerintah menyediakan
akses gratis untuk mengakses layanan kesehatan pemerintah, kendala fisik
menyebabkan tingginya biaya transportasi yang tidak dijamin oleh skema
asuransi kesehatan manapun.17 Masalah ini muncul, baik dalam skema
jaminan kesehatan nasional maupun lokal. Skema Jamkesmas memang
berhasil meningkatkan jaringan layanan kesehatan dengan melibatkan lebih
banyak rumah sakit swasta.5 Namun, dengan menggunakan data nasional
dan wawancara mendalam, Utomo menemukan bahwa kesenjangan akses
antara masyarakat yang kaya dan miskin masih ada meskipun akses ke
layanan kesehatan sudah diperbaiki dengan adanya Jamkesmas dan
Jamkesda. Ketika masyarakat miskin harus mengeluarkan biaya layanan
kesehatan yang tidak sepenuhnya gratis, mereka juga harus berhadapan

132
dengan biaya lain selama kunjungan atau perawatan di rumah sakit, seperti
obat-obatan, transportasi, akomodasi, makan, dan minum.18
Masalah aksesibilitas fisik harus ditangani melalui koordinasi
multi sektor. Tanggung jawab utama dalam kasus Indonesia ini adalah
seharusnya dipegang oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Masyarakat.
Masalah akses fisik bukan hanya tanggung jawab Kemenkes, namun
Menteri Koordinator harus mendorong kementerian dan badan lain, seperti
Kementerian Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Transportasi,
dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Koordinasi yang
kuat antara pemerintah pusat dan daerah juga mutlak diperlukan untuk
mendorong perbaikan aksesibilitas fisik tersebut.

Aksesibilitas Ekonomi
Aksesibilitas ekonomi berhubungan erat dengan kelompok dan layanan
yang dijamin oleh skema asuransi yang ada. Beberapa instrumen hukum yang
dikeluarkan selama 10 tahun terakhir telah berhasil meningkatkan cakupan
–yang dijelaskan di bab sebelumnya. Hampir semua studi menunjukkan
bahwa masing-masing skema asuransi telah meningkatkan utilisasi layanan
kesehatan dalam batas tertentu. Namun, meskipun cakupan layanan secara
mendasar telah diatur secara hukum, implementasinya masih sangat beragam
dan rendahnya ketaatan terhadap regulasi masih belum dapat diperbaiki.
Arifianto (2005) menemukan bahwa meskipun skema JPK-Gakin ditujukan
kepada masyarakat miskin, distribusi subsidi tersebut justru cenderung pro
masyarakat kaya dibandingkan mereka yang miskin.17 Pemerintah telah
berupaya untuk memperbaiki masalah penargetan di skema Askeskin dan
Jamkesmas agar bergeser menjadi pro masyarakat miskin daripada meraka
yang kaya, namun indikasi adanya kebocoran ke peserta yang ‘sebenarnya’
bukan masyarakat miskin masih tinggi, hingga 15.5%.5,19,20 Kondisi tersebut
diperburuk dengan adanya beberapa indikasi biaya illegal yang diminta oleh
‘oknum’ yang menuntut masyarakat miskin membeli kartu Jamkesmas atau
Jamkesda dari tokoh masyarakat atau pimpinan formal komunitas.20

133
Untuk menyelesaikan hal tersebut, strategi penargetan peserta
cakupan asuransi harus diperbaiki. Menggunakan kader kesehatan
komunitas dianggap lebih efektif untuk distribusi kartu karena mereka
dianggap lebih mengenal karakteristik masyarakat yang ada (siapa yang
benar-benar membutuhkan dan siapa yang tidak) dibandingkan staf atau
aparat kelurahan/desa.17 Masalah kebocoran harus segera diselesaikan oleh
pemerintah. Karena JKU pada dasarnya berupaya menghilangkan kendala
finansial dalam mengakses layanan kesehatan. Kebocoran jutsru akan
menmpengaruhi pencapaian JKU secara negative.
Upaya untuk meminimalisir kendala finansial dihambat dengan persepsi
yang luas mengenai kualitas layanan kesehatan di fasilitas pemerintah yang
dianggap rendah. Masyarakat kemudian lebih memilih mencari pengobatan
ke praktik swasta yang justru tidak ditanggung oleh asuransi kesehatan
pemerintah.16,17 Hambatan lainnya bagi masyarakat miskin untuk mengakses
layanan kesehatan pemerintah adalah adanya kecurigaan biaya illegal –
rumah sakit meminta uang muka kepada pasien sebelum pasien masuk
perawatan, yang masih menjamur di layanan kesehatan milik pemerintah.
Rosser (2012) melaporkan bahwa sekitar 13.6% rumah sakit pemerintah
meminta uang muka ilegal tersebut sebelum memberikan layanannya
kepada pasien.20 Selain menurunkan aksesibilitas ke layanan kesehatan, uang
muka ilegal juga melanggar etika kedokteran. Karena layanan kesehatan
merupakan hak asasi manusia, pemberi layanan kesehatan seharusnya
tidak menghalang-halangi siapapun untuk mendapatkan layanan kesehatan
karena alasan finansial, budaya, jender, atau agama. Berbagai permasalahan
tersebut menciptakan sebuah situasi paradoks. Ketika pemerintah berupaya
memenuhi hak kesehatan warga negaranya, pemberi layanan kesehatan
justru membuat layanan kesehatan tidak terakses secara ekonomi.
Beberapa solusi diajukan untuk mengatasi persoalan tersebut, termasuk
membangun mekanisme atau sistem penyaluran komplain seperti yang
telah dilakukan di sistem Kartu Jakarta Sehat (KJS). Masyarakat yang
ditolak dirawat oleh rumah sakit dan mengirimkan komplainnya dengan

134
mudah melalui pusat pesan “Jakarta Care”. Namun, Dinas Kesehatan
Provinsi terkendala dengan minimnya kapasitas untuk menangani
banyaknya komplain sehingga komplain yang masuk sering terabaikan.
Dalam kasus ini, LSM sebahrusnya dapat memainkan peran pentingnya
untuk dapat mengadvokasi kepentingan publik terkait dengan aksesibilitas
layanan kesehatan. Lebih lanjut, pemerintah bersama dengan Kemenkes
dan Dinas Kesehatan harus mampu menjamin bahwa tidak ada penolakan
tanpa alasan dari rumah sakit dan mengedepankan hukuman untuk mereka
yang terbukti melanggar regulasi tersebut.
Dalam studi perbandingan di negara-negara berkembang di Asia dan
Asia Tenggara, akses yang tidak setara dan cenderung pro masyarakat
kaya diindikasikan terjadi di Indonesia karena peran penyediaan layanan
kesehatan swasta yang makin berkembang. Dominasi pemerintah dalam
layanan kesehatan cenderung melemah, terutama untuk masyarakat
miskin.21 Meskipun seluruh skema asuransi telah meningkatkan akses dan
utilisasi layanan kesehatan, subsidi untuk layanan kesehatan non-rumah
sakit, rawat jalan dan rawat inap rumah sakit masih tidak setara antara
masyarakat miskin dan kaya. Subsidi untuk masyarakat miskin didominasi
untuk layanan non-rumah sakit, seperti klinik dan Puskesmas, sedangkan
subsidi untuk layanan rawat inap dan jalan rumah sakit didominasi oleh
masyarakat kaya.22 Beberapa regulasi memang telah menyediakan jaminan
kesehatan untuk masyarakat miskin, namun kendala fisik dan ekonomi
membuat aksesibilitas secara faktual menurun.
Selain hambatan fisik dan ekonomi, aksesibilitas dipengaruhi oleh persoalan
administrasi, namun laporan mengenai hal tersebut masih terbatas. Dalam dua
tahun terakhir, banyak kasus yang dipublikasikan di surat kabar dengan indikasi
adanya kasus penolakan pasien yang seharusnya mendapat perawatan di rumah
sakit. Penyebab yang mungkin adalah adalah masalah ‘salah kartu’ dan layanan
kesehatan lintas kabupaten, tanpa memperhatikan hak masyarakat miskin utnuk
mendapatkan tatalaksana yang tepat. Misalnya, pasien dengan kartu kabupaten
A tidak dapat mengakses layanan kesehatan di kabupaten B dengan jaminan

135
kesehatan. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak masyarakat miskin
yang terabaikan sehingga diskriminasi, sebagaimana banyak studi melaporkan,
masih terkait erat dengan status ekonomi.

Aksesibilitas Informasi Terkait Kesehatan


Masyarakat memiliki hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan
informasi terkait kesehatan. Terkait dengan program asuransi kesehatan
nasional yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, masyarakat mengalami
kesulitan untuk mendapatkan informasi yang tepat. Penyebaran informasi
dianggap belum adekuat dengan kurangnya diseminasi ke masyarakat
dan koneksi website yang buruk (untuk akses digital). Sistem informasi
kesehatan yang buruk tidak hanya menimpa masyarakat, tetapi juga rumah
sakit yang harus melaksanakan mekanisme baru dengan sistem INA-
CBGs. Awalnya, banyak rumah sakit menolak mengimplementasikan
sistem INA-CBGs di layanan mereka sebagai sistem pembiayaan yang baru
karena persepsi yang berkembang bahwa biaya layanan yang ditawarkan
oleh sistem pembiayaan tersebut tidak sesuai –dan cenderung jauh lebih
rendah, daripada biaya yang biasanya diberlakukan. Ada kesenjangan
persepsi antara BPJS Kesehatan, Kemenkes (dalam hal ini NCC), dan
rumah sakit terkait dengan hal tersebut. Ketika banyak pimpinan rumah
sakit masih mempersepsikan sistem pembiayaan sebagai sistem fee-for-
service, sistem INA-CBGs sesungguhnya berbeda jauh dengan sistem fee-
for-service tersebut. Kurangnya kesempatan diseminasi informasi yang
tepat inilah yang menjadi penyebab mengapa banyak rumah sakit masih
mengungkapkan penolakannya terhadap sistem pembiayaan yang baru.
Dalam perkembangannya, Kemenkes berupaya meyakinkan bahwa
penggunaan sistem INA-CBGs di beberapa rumah sakit pemerintah
menguntungkan; berkebalikan dengan persepsi yang selama ini
berkembang. Namun, menampilkan hasil tersebut masih belum tepat
sehingga perlu pemantauan dan evaluasi yang tersistemasi untuk menilai
perkembangan pemakaian sistem INA-CBGs tersebut.

136
Salah satu contoh pencapaian yang menggembirakan terkait dengan
informasi kesehatan adalah implementasi UU Produk tembakau dan
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang produk Tembakau.
UU dan Permenkes tersebut mewajibkan seluruh produk tembakau untuk
menampilkan efek negatif merokok terhadap kesehatan di bungkus rokok.
Peraturan ini menunjukkan pencapaian yang baik dalam hal pemenuhan
hak kesehatan terkait informasi kesehatan.
Aksesibilitas informasi terkait kesehatan lainnya adalah akses untuk
menyampaikan ide terkait isu-isu kesehatan. Dalam era kebebasan
informasi setelah jatuhnya era Orde Baru Soeharto, menyampaikan ide
ke area publik menjadi sesuatu yang diterima secara luas. Tidak ada lagi
hambatan untuk mengekspresikan ide, termasuk isu-isu kesehatan. Namun,
pemerintah masih belum membangun mekanisme formal bagi masyarakat
untuk menyampaikan keluhan dan melontarkan ide meskipun akses untuk
menyampaikan keluhan secara virtual sudah terbuka luas, misalnya melalui
media sosial. Dalam kaitannya dengan hak mendapatkan dan menyebarkan
informasi, pemerintah perlu tanggap terhadap kebutuhan tersebut dan
mencari jalan pemenuhan dalam waktu yang cepat karena perkembangan
implementasi JKU pun berlangsung dinamis dan cepat.

Penerimaan
Dalam hal penerimaan, fasilitas, barang, dan layanan kesehatan harus
menghargai etik kedokteran, termasuk kebutuhan terhadap informed
consent (persetujuan) dan kerahasiaan informasi kesehatan personal, serta
dapat diterima secara budaya. Terkait dengan etik kedokteran, jumlah
pelanggaran etik dan hukum menunjukkan tren yang meningkat. Indonesia
memiliki dua majelis yang terkait dengan etik dan hukum kedokteran.
Pertama, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang berada di
bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kewenangan MKEK adalah
menerima aduan pelanggaran etik dan persidangan etik kedokteran yang

137
bertujuan mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme, dan keluhuran
profesi dokter. Kedua, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) yang merupakan lembaga autonom di bawah Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI) dan didirikan atas mandat UU no 29 tahun 2004. MKDKI
berwenang menerima aduan dan melaksanakan persidangan terkait
disiplin profesi. Jika ditemukan adanya pelanggaran etik kedokteran,
maka MKDKI dapat meneruskan kasus tersebut ke MKEK. Kedua majelis
tersebut melaksanakan persidangan di luar gugatan perdata atau pidana
yang dilaksanakan oleh pengadilan.
Sebagai ilustrasi, MKEK IDI wilayah DKI Jakarta menerima 99 laporan
kasus dugaan pelanggaran etik kedokteran selama kurun waktu delapan
tahun (1997-2004). Namun, tidak semua laporan dilanjutkan dan hanya
74 (75%) kasus yang dianggap memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai
kasus yang disidangkan oleh MKEK. Dari 74 kasus tersebut, 24 (32.4%)
di antaranya dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi oleh MKEK. Dari
sekian banyak pelanggaran etik kedokteran, dokter bedah, dokter kebidanan
dan ginekologi, serta dokter umum mendominasi kasus terlapor.
Sedikit berbeda dengan MKEK, laporan yang diterima oleh MKDKI
terkait disiplin kedokteran mencapai 182 keluhan selama periode 2006-
2012. Laporan tersebut tidak dipublikasikan secara luas. Dokter umum
mendominasi ‘tersangka’ pelanggaran disiplin kedokteran dengan 60
kasus, diikuti oleh 49 kasus dokter bedah, 33 kasus dokter kebidanan dan
ginekologi, serta 6 kasus dokter anak. Dari 182 kasus yang masuk, MKDKI
memutuskan bahwa 29 (15.9%) ‘tersangka’ pelanggaran bersalah dan surat
izin praktik mereka dicabut.23,24
Peningkatan jumlah aduan memang jelas terjadi. Namun, masalah
yang mendasari adanya peningkatan laporan masih belum jelas; apakah
karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menyampaikan aduan,
tindakan dokter banyak menyimpang, atau faktor lain yang menstimulasi
adanya peningkatan angka tersebut. Beberapa kasus diteruskan ke

138
pengadilan negeri karena terindikasi sebagai pelanggaran kriminal.
Dengan menganalisis kasus dari direktori Mahkamah Agung Republik
Indonesia, kebanyakan kasus dipicu oleh komunikasi yang lemah dan
informed consent yang tidak jelas. (Kotak 5.1. Kasus hukum Ny Darmoko
dan RS PI). Permasalahan etik dan disiplin kedokteran akan memengaruhi
penerimaan masyarakat terhadap layanan kesehatan meskipun perhatian
terhadap masalah ini masih terkonsentrasi di daerah perkotaan.

Kotak 5.1. Kasus hukum Ny Darmoko vs RS PI: informed consenta


yang tidak jelas dan informasi tidak lengkap?
Salah satu kasus hukum yang diduga akibat informed consent dan informasi
yang tidak adekuat adalah kasus Ny Darmoko vs RS PI. Pada bulan Februari
2005, Ny Darmoko melakukan operasi untuk mengangkat ovariumnya dan dia
mendapat informasi bahwa tumor tersebut jinak. Faktanya, hasil laboratorium
terakhir menyebutkan bahwa tumor tersebut ganas, namun dokter kebidanan
dan dokter patologi tidak menginformasikan data mengenai keganasan
tersebut. Akibatnya, pasien merasa tidak menerima tatalaksana yang adekuat
dan kondisinya memburuk.
Pada Februari 2006, hasil laboratorium menunjukkan bahwa pasien telah
mengalami kanker stadium 4 karena sudah dideteksi adanya metastasis dari
kanker ovariumnya. Pasien memutuskan untuk pergi ke Singapura untuk
mencari opini lain. Setelah memeriksan dua sampel jaringan ovarium
yang semula sudah diperiksa di RS PI, hasil laboratorium di Singapura
menunjukkan bahwa sampel konsisten terhadap karsinoma endometroid
ovarium sedang dan perbatasan ke keganasan (borderline) dengan fokasl
metaplasia endoservikal. Kanker telah menyebar ke otak dan menyebabkan
kematiannya di tahun 2006.
Kasus ini diajukan ke pengadilan negeri pada tahun 2007. Dengan
menggunakan UU Praktik Kedokteran, rRS Pi dinyatakan bersalah oleh
pengadilan. Pengadilan meyakini bahwa tim dokter rumah sakit tidak
memberikan informasi yang lengkap mengenai hasil pemeriksaan untuk
memberikan tatalaksana selajutnya. Permohonan kasasi ditujukan oleh
pihak rumah sakit ke Mahkamah Agung, namun keputusan yang diberikan
tidak jauh berbeda dengan keputusan Pengadilan Negeri.25

139
Kasus fenomenal lain adalah kasus hukum keluarga Siska Makatey vs
tiga dokter kebidanan dan ginekologi pada tahun 2011. Siska Makatey yang
melakukan operasi sesar meninggal setelah operasi. Masalah yang mendasari hal
tersebut dan memunculkan dugaan kasus hukum adalah tim dokter dianggap tidak
memberikan penjelasan yang adekuat kepada keluarga pasien mengenai potensi
komplikasi dan efek samping operasi, termasuk potensi kematian (Kotak 5.2).26
Kasus ini memicu munculnya aksi solidaritas dari sejawat profesi kedokteran
karena mereka menganggap bahwa masyarakat salah mempersepsikan hal
yang disebut sebagai malpraktik. Malpraktik harus dibedakan dari prosedur
yang maladministrasi –yang mereka anggap lebih cocok disebut terjadi di kasus
ini. Solidaritas dokter juga menekankan hak dokter yang selama ini dianggap
terabaikan dan keputusan pengadilan yang dianggap tidak adil.

Kotak 5.2. Kasus hukum keluarga Siska Makatey vs tiga dokter


kebidanan dan ginekologi: informasi tidak lengkap?26
Pada 10 April 2010, tiga dokter kebidanan dan ginekologi melakukan
operasi sesar segera (cito) dalam kondisi kegawatan di RS K, Manado.
Tim dokter melakukan operasi tersebut sesuai dengan prosedur yang
berlaku. Namun, sebelum dilakukan operasi, tim dokter tidak menjelaskan
kepada keluarga pasien mengenai potensi komplikasi operasi, termasuk
kematian. Tim dokter juga tidak melakukan beberapa pemeriksaan, seperti
elektrokardiografi (EKG), foto toraks dan pemeriksaan laobratorium
lainnya. EKG baru dilakukan setelah operasi.
Siska meninggal setelah operasi. Penyebab kematiannya disebutkan akibat
emboli paru –yang sesungguhnya, menurut saksi ahli, tidak dapat diprediksi.
Meski demikian, keluarga Siska mengajukan tuntutuan ke Pengadilan
Negeri Manado. Mereka menganggap bahwa kematian Siska disebabkan
oleh malpraktik ketiga dokter tersebut. Pengadilan Negeri mengeluarkan
keputusan dan mendakwa ketiga dokter bersalah dalam menyebabkan
kematian. Ketiga dokter tersebut kemudian dihukum penjara.
Kasus ini memicu aksi para dokter kebidanan dan ginekologi di leuruh
Indonesia karena mereka menganggap bahwa ada kesalahpahaman antara kasus
malpraktik dan maladministrasi. Keputusan pengadilan dianggap tidak adil dan
menempatkan dokter hanya sebagai obyek potensial terhadap tuntutan hukum.

140
Kedua kasus tersebut mengindikasikan bahwa pola komunikasi dan
informasi yang diberikan kepada pasien merupakan hal dasar dan penting.
Keduanya akan memengaruhi penerimaan pasien dan keluarga terhadap
layanan kesehatan yang diberikan kepada mereka. Di sisi lain, mispersepsi
mengenai definisi malpraktik masih sering terjadi dan menyebabkan
adanya tuntutan hukum dari pasien atau keluarga pasien kepada dokter
atau fasilitas layanan kesehatan. Hal yang juga penting diperhatikan adalah
bagaimana memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat mengenai
tindakan apa yang dapat didefinisikan sebagai malpraktik dan tindakan
mana yang bukan. Kecenderungan penerimaan yang rendah umumnya
diakibatkan oleh tingginya ekspektasi pasien atau keluarga pasien terhadap
luaran hasil intervensi layanan kesehatan setelah mereka mengeluarkan
biaya yang banyak untuk mengakses layanan tersebut. Sensitivitas untuk
bereaksi terhadap petugas kesehatan profesional dan penyedia layanan
kesehatan meningkat ketika ekspektasi mereka tidak terpenuhi.
Laporan atau studi lain terkait penerimaan layanan kesehatan masih
sangat terbatas. Kebanyak kasus merupakan kasus penyakit spesifik,
seperti HIV/AIDS dan tuberkulosis yang masih kerap mendapatkan stigma
buruk di masyarakat. Butt (2011) melaporkan bahwa ada beberapa bukti
mengenai rendahnya kerahasiaan pada konseling HIV/AIDS di Papua dan
pengabaian terhadap budaya lokal dalam penyusunan modul pelatihan
HIV/AIDS. Beragam pelanggaran terhadap kerahasiaan sering terjadi
ketika tenaga kesehatan professional melakukan observasi di klinik.27
Bukti lainnya dalam praktik adalah penolakan untuk menatalaksana orang
dengan HIV positif, tatalaksana yang dibedakan untuk orang dengan HIV/
AIDS (ODHA), dan membuka informasi status HIV seseorang ke orang
lain yang melanggar prinsip kerahasiaan, serta isolasi fisik ODHA.28
Penyediaan layanan kesehatan yang tidak tepat secara budaya pernah
dilaporkan terjadi di daerah pedesaan. Preferensi masyarakat untuk
berobat secara tradisional dibandingan mendapatkan layanan kesehatan
modern banyak dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Titaley (2010)

141
melaporkan kasu-kasus persalinan di daerah pedesaan –ketika banyak
perempuan lebih memilih bersalin di rumah dibandingkan pergi ke fasilitas
layanan kesehatan. Mereka beranggapan bahwa dengan begitu mereka
tetap bisa menjaga anggota keluarganya dan mengelola urusan harian
keluarganya. Membawa perempuan keluar dari rumahnya, bahkan untuk
tujuan persalinan ke fasilitas kesehatan, mungkin tidak dapat diterima oleh
sebuah masyarakat.29 Namun, harus dicatat bahwa kasus tersebut terbatas
di daerah pedesaan dan terpencil, sedangkan masyarakat perkotaan jauh
lebih terbuka terhadap layanan kesehatan modern. Bagaimanapun, faktor
sosial dan budaya harus dipertimbangkan dalam penyusunan rencana
pembangunan kesehatan dan program kesehatan, khususnya di daerah
pedesaaan dan terpencil, terkait dengan penerimaan secara budaya.

Kualitas
Kualitas diukur secara luas, mulai dari kualitas program, bangunan,
fasilitas, peralatan dan tenaga kesehatan professional. Terkait dengan empat
aspek pertama, pengukuran kualitas melingkupi sumber air internal, tempat
tidur rawat inap, tempat tidur fungsional, layanan tuberculosis, vaksin
campak, dan vaksin hepatitis. Kualitas, dalam kaitannya dengan indikator
struktur, telah meningkat baik di layanan kesehatan pemerintah dan swasta.
Menariknya, layanan tuberkulosis justru menunjukkan penurunan di tahun
2007, padahal program tuberkulosis nasional sudah meluncurkan program
nasional Directly Observed Tuberculosis Shortcourse (DOTS). Ketika
program tuberkulosis di layanan kesehatan swasta tidak mendapatkan
fokus utama, program tersebut di layanan kesehatan pemerintah tidak
menunjukkan peningkatan yang signifikan, bahkan menurun di Pustu
(Tabel 5.4). Fakta menarik ini harus dipertanyakan lebih lanjut karena
Indonesia masih terus berjuang mengatasi masalah tuberkulosis. Program
yang dilangsungkan oleh LSM dan tatalaksana berbasis rumah sakit yang
progresif mungkin dapat menjadi alasan yang menyebabkan sumber daya
jauh lebih rendah di layanan primer, baik pemerintah maupun swasta.

142
Tabel 5.4. Indikator kualitas struktur, persen di tahun 1997 (2007), data IFLS
Layanan pemerintah Layanan swasta
Ukuran kualitas Puskesmas Pustu Perawat Bidan Dokter Seluruh
swasta swasta swasta layanan
Sumber air 65 (89) 33 (71) 67 (80) 76 (84) 76 (89) 66 (84)
internal
Tempat tidur 18 (28) 0 (3) 1 (3) 19 (28) 2 (3) 10 (18)
rawat inap
Mikroskop 81 (79) 0 (5) 1 (1) 2 (3) 8 (7) 22 (25)
fungsional
Layanan 96 (95) 53 (30) 16 (8) 6 (2) 56 (44) 46 (38)
tuberculosis
Vaksin campak 94 (97) 29 (51) 4 (45) 43 (48) 21 (11) 41 (51)
tersedia
Vaksin hepatitis 92 (97) 25 (55) 4 (9) 36 (59) 25 (12) 39 (55)
tersedia
Angka tanpa kurung adalah data persentase data IFLS tahun 1997, sedangkan angka di
dalam kurung adalah data tahun 2007. Diadaptasi dari Rokx (2010)7 dan Barber (2007).30

Fasilitas, barang, dan layanan kesehatan harus tepat secara ilmiah dan
medis. Area geografis yang luas dan distribusi layanan kesehatan yang
tidak merata mengakibatkan kualitas penyediaan layanan kesehatan sangat
bervariasi. Penyedia layanan kesehatan di luar Jawa dan Bali dipercaya
memiliki kualitas yang lebih buruk dibandingkan mereka yang berpraktik
di Jawa dan Bali karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki.8 Layanan pre
natal, kesehatan anak dan pengobatan orang dewasa cenderung diberikan
dengan kualitas yang rendah, sedangkan layanan kesehatan mental masih
belum jelas karena terbatasnya data dari berbagai studi yang ada. Barber
dkk menunjukkan bahwa terdapat bukti yang jelas mengenai rendahnya
pengetahuan praktik berbasis bukti (evidence based practice) di seluruh
kelompok tenaga kesehatan profesional, khususnya pada pengobatan
orang dewasa dan pemeriksaan layanan pre natal.30 Secara khusus, layanan
pre-natal harus diiberikan prioritas untuk diperbaiki segera. Bahkan,
pada penyedian layanan swasta yang dianggap menyediakan layanan

143
kesehatan yang lebih baik daripada layanan pemerintah juga memberikan
layanan praktik yang berkualitas rendah. Kondisi di pedesaan jauh lebih
buruk daripada perkotaan –yang diperparah dengan minimnya fasilitas
berkualitas tinggi dan akses yang terbatas.
Peningkatan jumlah praktik solo swasta (membuka praktik sendiri
secara individu) yang jauh lebih tinggi daripada peningkatan layanan
kesehatan pemerintah memperburuk kualitas layanan kesehatan milik
pemerintah di daerah pedesaan. Dibayar dengan gaji yang rendah di
layanan kesehatan pemerintah, tenaga kesehatan profesional akhirnya
lebih memilih untuk praktik lebih banyak di klinik solo swastanya daripada
praktik di layanan kesehatan pemerintah agar mendapatkan lebih banyak
uang. Sebagai konsekuensinya, mereka kerap mendelegasikan pemeriksaan
dan pengobatan pasien di layanan kesehatan pemerintah kepada perawat
yang ada, dan hanya memonitor secara minimal dari kejauhan.7,31,32 Pasien
juga sering harus lama menunggu dokter yang datang terlambat karena
praktik terlebih dahulu di klinik pribadinya. Masalah ini memperburuk
kualitas layanan kesehatan pemerintah.
Pemerintah dianggap masih kurang dalam melakukan pemantauan dan
supervisi kepada penyedia layanan solo swasta, bahkan di daerah perkotaan.31
Padahal, dokter harus memenuhi persyaratan sebelum dapat praktik dan
seharusnya dimonitor secara regular. Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten
memiliki wewenang untuk melakukan prosedur tersebut, namun kepatuhan
terhadap regulasi itu sendiri masih lemah yang menyebabkan banyak dokter
yang berpraktik tanpa akreditasi yang memadai dan tidak dipantau. Selain
itu, data penyedia layanan solo swasta yang dikelola oleh Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten masih lemah, bahkan di kota besar seperti Jakarta.
Pemerintah harus menjamin bahwa tenaga kesehatan professional
yang ditunjuk untuk praktik di layanan kesehatan pemerintah harus praktik
sesuai dengan tugas dan kewajiban mereka. Beberapa provinsi, seperti
Jakarta, menaikkan gaji dokter yang praktik di Puskesmas dan layanan

144
kesehatan pemerintah lainnya sebagai bagian dari control kualitas. Gaji
dokter yang praktik di layanan kesehatan pemerintah saat ini umumnya
rendah bila dibandingkan dengan beban kerja dan profesi lain. Gaji dokter
umum non PNS yang bekerja di layanan kesehatan pemerintah rata-rata Rp
1,800,000 per bulan dan meningkat sesuai upah minimum regional (UMR).
Bagi mereka yang PNS mendapatkan gaji dasar lebih tinggi dengan kisaran
Rp 2,500,000 per bulan dan meningkat sesuai UMR. Meningkatkan gaji
mungkin dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan kualitas layanan
kesehatan, namun beberapa studi menyatakan bahwa standar gaji bukanlah
satu-satunya faktor yang memotivasi atau menurunkan motivasi pekerja.
Sistem pembayaran yang diperbaiki dan kontrak pekerja seharusnya dapat
lebih berpengaruh dibandingkan hanya menaikkan gaji.33
Menambah gaji dan menyusun sistem pembayaran yang berorientasi
pada kinerja dan luaran mungkin dapat menyelesaikan masalah motivasi
tenaga kesehatan profesional, kemudian memperbaiki kualitas layanan
kesehatan. Namun, harus disadari bahwa tidak mudah untuk mengukur
kinerja tenaga kesehatan professional. Beberapa studi mengenai
pembayaran atas kinerja (pay for performance, P4P) menunjukkan bukti
yang terbatas. Sistem ini harus didukung oleh sistem layanan kesehatan
yang kuat dan kesiapan sistem teknologi informasi. Terkait kebutuhan
terhadap kedua hal tersebut, mekanisme pembayaran seperti ini mungkin
belum dapat dijalankan di Indonesia –dan masih membutuhkan waktu
dalam jangka menengah atau panjang untuk mempersiapkannya.
Kualitas penyedia layanan kesehatan juga banyak ditentukan dari pola
komunikasi dokter pasien. Banyaknya keluhan terkait dengan kualitas
penyedia layanan kesehatan mengindikasikan bahwa komunikasi efektif
merupakan hal penting dalam praktik keseharian. Sebagai contoh, Claramita
dkk menemukan bahwa banyak pasien tidak merasa puas dengan gaya
konsultasi dokter yang masih paternalistik, namun kebanyakan pasien tidak
dapat mengekspresikan ketidakpuasannya tersebut di banyak kondisi.34

145
Pemerintah pusat belum membangun sistem yang terintegrasi untuk
mengontrol kualitas penyediaan layanan kesehatan. Salah satu solusi
yang dapat diambil adalah sistem kontrak. Semakin banyak negara yang
berubah haluan dan menggunakan sistem ini untuk mempebaiki kinerja
sistem kesehatan mereka dalam 10 tahun terakhir. Dalam sistem kontrak,
pemerintah sebagai ‘pembeli’ layanan kesehatan menyediakan kompensasi
kepada para penyedia layanan kesehatan (yang kemudian disebut sebagai
‘kontraktor’) sebagai daya tukar terhadap layanan kesehatan yang telah
ditentukan untuk target spesifik di bawah kesepakatan kontrak (contractual
agreement). Beberapa negara, seperti Afghanistan, Bangladesh, Kamboja,
Haiti, dan India memiliki pengalaman dalam sistem kontrak kepada penyedia
layanan kesehatan non pemerintah.35 Mengontrak penyediaan layanan
kesehatan memunculkan isu menarik yang potensial, seperti (a) menjamin
fokus yang lebih besar dalam pencapaian hasil yang dapat diukur, (b)
mengatasi berbagai kendala agar pemerintah dapat menggunakan sumber
dayanya, (c) memanfaatkan fleksibilitas penyedia layanan kesehatan
swasta yang lebih besar dan moral mereka yang umumnya lebih baik untuk
memperbaiki layanan kesehatan, (d) meningkatkan autonomi pengelolaan,
(e) mendorong kompetisi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi,
dan (f) menjadikan pemerintah dapat lebih fokus dalam melaksanakan
peran lainnya pada pengelolaan layanan kesehatan.36 Beberapa kesulitan
mungkin terjadi, seperti kemungkinan yang kecil saat dilakukan dalam
skala besar, misalnya dalam skala nasional, biaya layanan kesehatan yang
lebih mahal, memicu inekuitas, dan masalah keberlangsungan.
Tipe layanan kesehatan dalam sistem kontrak beragam antar negara
dan lebih banyak bergantung pada program. Beberapa moda secara umum
adalah sebagai berikut.
a. Layanan spesifik untuk kondisi kesehatan tertentu, seperti
pengelolaan diare, infeksi pernapasan akut, masalah demam pada
anak-anak, dan malnutrisi pada seluruh populasi.

146
b. Layanan kesehatan primer yang dipaketkan dan spesifik, di
antaranya kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana (KB), dan
beragam kombinasi layanan kesehatan primer.
c. Layanan kesehatan primer yang tidak spesifik.35

Sistem kontrak dianggap mampu memberikan hasil positif dalam


pengembangan kualitas layanan kesehatan. Beberapa studi di Rumania,
Bangladesh, India melaporkan bahwa sistem kontrak menghasilkan peningkatan
kepuasan pasien, layanan gawat darurat dan berorientasi pasien yang lebih baik,
dan peningkatan persentase intervensi tatalaksana penyakit yang menggunakan
pedoman praktik klinik yang terstandarisasi. Dalam hal memperbaiki luaran
kesehatan, sistem kontrak dapat menghasilkan dampak positif seperti di
Madagaskar, namun juga mungkin tidak memberikan keuntungan apapun di
skala yang lebih besar, seperti pengalaman di Bangladesh.35
Saat ini, tidak ada sistem kontrak antara pembeli layanan kesehatan (BPJS
Kesehatan dan Kemenkes) dan penyedia layanan kesehatan dalam kaitannya
dengan pencapaian JKU. Jika tindakan ini akan diaplikasikan di Indonesia,
pemerintah harus mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, kualitas harus
didefinisikan secara operasional terlebih dahulu, dan sistem kontrak harus
menyusun indikator terkait kualitas yang memiliki struktur yang baik. Kedua,
indikator kualitas harus dihubungkan dengan pembayaran kepada penyedia
layanan kesehatan meskipun jumlah intervensi yang terhubung dengan sistem
pembayaran berdasarkan kinerja (P4P) rendah. Ketiga, indikator kualitas harus
dihubungkan erat dengan utilisasi layanan yang dikontrakkan.35
Upaya yang pernah diajukan untuk menjamin kualitas layanan
di Indonesia terkait dengan pencapaian JKU datang dari pemerintah
Jakarta yang mensyaratkan seluruh penyedia layanan kesehatan sekunder
diakreditasi. Upaya ini masih diragukan meskipun akreditasi merupakan
salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas. Pemerintah Jakarta masih
belum membangun kebijakan yang rinci, termasuk penetapan deadline dan

147
rencana hukuman bagi penyedia layanan kesehatan sekunder yang tidak
memenuhi akreditasi yang diharapkan.
Perbaikan kualitas layanan kesehatan seharusnya dimulai dari layanan
kesehatan primer, bukan hanya fokus pada layanan berbasis rumah sakit.
Masalahnya, belum ada tindakan yang signifikan dari pemerintah untuk
menangani permasalahan di layanan kesehatan primer. Pemerintah memang
sudah berupaya menunjukkan keberpihakan kepada layanan kesehatan
primer dengan munculnya istilah ‘Dokter Layanan Primer’ dan peta jalan
pemenuhan dokter tersebut. Konsep ini merupakan pengembangan konsep
dokter keluarga yang telah dikembangkan sejak tahun 1980-an. Sayangnya,
konsep dokter keluarga berjalan stagnan dan belum berhasil meningkatkan
kualitas layanan kesehatan, termasuk upaya pencegahan dan sistem rujukan.
Upaya perbaikan kualitas dengan menawarkan konsep dokter layanan
primer mendapat tentangan secara politik dari perhimpunan profesi dan
masih memerlukan pendekatan agar dapat berjalan sesuai dengan rencana.
Alternatif lain untuk memperbaiki kualitas layanan kesehatan, terutama
di daerah pedesaan dan terpencil, adalah dengan mengirimkan tenaga
kesehatan professional yang memiliki keterampilan berbeda. Eksperimen
ini tampak menjanjikan, dibandingkan bergantung hanya pada insentif
finansial.7 Sempat dikerjakan oleh Universitas Gajah Mada, eksperimen
ini kemudian diikuti oleh Kantor Utusan Khusus Presiden RI dengan
mengeluarkan program “Pencerah Nusantara”. Idenya adalah mengirimkan
tim tenaga kesehatan professional yang terdiri dari dokter, perawat,
bidan, dan pemerhati kesehatan (non-tenaga kesehatan) yang masing-
masing memiliki fungsi tersendiri dalam pencapaian program. Sebelum
diterjunkan ke lapangan, tim tersebut dilatih oleh Universitas Indonesia
dan lembaga training lainnya terlebih dahulu untuk mempersiapkan
pengetahuan dan keterampilan, termasuk kemampuan mengelola program
dan pemberdayaan masyarakat. Meskipun dianggap baik, belum ada studi
yang menilai pencapaian ini secara obyektif sehingga studi mengenai

148
dampak pengiriman tim “Pencerah Nusantara” perlu dilakukan dan
dipublikasikan sebagai dasar penyusunan kebijakan berikutnya. Salah satu
kendala dari program ini adalah tingginya biaya yang dibutuhkan sehingga
pemerintah –jika ingin mengadopsi program ini, harus mampu membangun
efisiensi dalam pembiayaan program tersebut.
Berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas layanan kesehatan harus
berhadapan dengan permasalahan meningkatnya jumlah tenaga kesehatan
profesional. Ketika pemerintah berupaya meningkatkan jumlah dokter
dengan mendorong peningkatan jumlah fakultas kedokteran, pemerintah
juga harus berhadapan dengan masalah kualitas lulusan dokter yang sangat
bervariasi. Setidaknya ada lima organisasi penting dalam upaya menjaga
kualitas lulusan dokter Indonesia.
a. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (kini bergabung dengan Kementerian
Pendidikan Tinggi dan Riset) bertanggung jawab terhadap
pemberian dan pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan fakulta
kedokteran.
b. Fakultas kedokteran memproduksi dokter
c. IDI bertanggung jawab terhadap uji kompetensi dokter secara
regular, bersama dengan AIPKI.
d. KKI menerima pendaftaran dan mencatat dokter umum yang
teregistrasi, menyusun standar kompetensi untuk dokter umum, dan
berwenang dalam aplikasi disiplin kedokteran untuk diajarkan di
fakultas kedokteran.
e. MKEK dan MKDI bertanggung jawab dalam menjamin isu etik
dan disiplin kedokteran dalam praktik dokter, menerima aduan
terkait pelanggaran etik dan disiplin, melakukan persidangan, dan
memberikan keputusan hukuman kepada dokter yang diputuskan
menyalahi etik dan disiplin kedokteran.

149
Upaya memberikan lisensi atau akreditasi fakultas kedokteran masih
samar sehingga kualitas lulusan dokter pun masih dipertanyakan, khususnya
dari fakultas kedokteran yang baru.8 Nyatanya, dari 73 fakultas kedokteran
yang ada, baru 18 (24.6%) fakultas kedokteran yang memiliki akreditasi
A dan beberapa fakultas kedokteran masih memiliki akreditasi di bawah A
meskipun sudah lama berdiri. Upaya lain untuk menjamin kualitas adalah
dengan menguatkan kurikulum pendidikan kedokteran. Profesi kedokteran
Indonesia memiliki KKI dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia
(MKKI) yang berperan dalam memperbaiki pendidikan profesi kedokteran.
Dalam perkembangannya, lulusan dokter Indonesia tidak langsung
mendapatkan sertifikat dan teregistrasi sebagai dokter umum. Sejak
tahun 2011, Kemenkes dan IDI menerapkan program baru yang disebut
program internship. Program ini mewajibkan lulusan dokter disebar ke
daerah pedesaan dan terpencil selama satu tahun. Mereka akan praktik di
Puskesmas dan RSUD secara bergiliran. Namun, program ini tidak sepi
dari kritik. Kurangnya sumber daya untuk supervisi mengakibatkan dokter
lulusan baru mendapatkan pemantauan yang minim, selain sumber daya
yang mengontrol dianggap tidak memiliki kemampuan yang mumpuni
dalam hal supervisi. Supervisor di lapangan bukan dosen atau staf
pengajar meski mendapat pelatihan minimal dalam supervisi. Kemenkes
dan IDI memang harus memetakan fasilitas dan daerah yang laik guna
untuk program internship walaupun hal tersebut harus terkendala dengan
kebutuhan fasilitas yang semakin meningkat.
Permasalah lain adalah masalah gaji. Pemerintah belum dapat
memberikan gaji yang laik bagi dokter yang praktik dalam program
internship. Gaji dasar untuk mereka masih sangat rendah, sekitar Rp 1,25-
1,5 juta per bulan dan mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir.
Padahal, mereka harus melakukan banyak tugas di layanan kesehatan milik
pemerintah. Terkait hal tersebut, pemerintah harus mempertimbangkan
peningkatan insentif finansial karena program ini, selain terkait dengan
kualitas dokter lulusan baru, juga terkait dengan kualitas layanan kesehatan.

150
IDI pun melangsungkan uji kompetensi bagi seluruh lulusan dokter
sebagai pra-syarat mendapatkan lisensi praktik dan mensyaratkan pula
meninjau ulang surat tanda registrasi (STR) setiap lima tahun. Dalam
perkembangan beberapa tahun terakhir, uji kompetensi mengalami
perubahan mekanisme. Awalnya, uji kompetensi dilakukan setelah
mahasiswa kedokteran lulus dari fakultas kedokteran. Lalu, mekanisme
diubah menjadi sebelum kelulusan dengan mempertimbangkan bahwa
tanggung jawab pendidikan masih berada di tangan fakultas sebelum
dinyatakan lulus kompetensi. Undang-undang no 20 tahun 2003
menyatakan bahwa mahasiswa wajib “lulus uji kompetensi yang bersifat
nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi”.37
Perkembangan politik kesehatan berlanjut dengan adanya ide penghapusan
uji kompetensi. Konflik pun ikut berlanjut dengan munculnya perselisihan
antara IDI dan AIPKI mengenai mekanisme uji kompetensi. Setelah
berbulan-bulan diliputi perselisihan, Ditjen Dikti memediasi dan akhirnya
terbentuklah kesepakatan dengan adanya dua uji kompetensi, yaitu (a) exit
exam yang diselenggarakan AIPKI –yang kemudian dikenal sebagai Uji
Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) dan (b) entry
exam yang diselenggarakan IDI. Dua jenis uji kompetensi ini diharapkan
menjadi titik temu dari perselisihan yang ada, meskipun menimbulkan
konsekuensi baru terkait dengan semakin rumitnya proses mahasiswa
kedokteran untuk menjadi dokter dan memiliki izin praktik.
Uji kompetensi merupakan bagian dari kontrol kualitas lulusan dokter.
Faktanya cukup mengejutkan yang menunjukkan bahwa jumlah peserta uji
kompetensi yang dinyatakan tidak lulus masih tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan kedokteran di beragam fakultas kedokteran masih
sangat bervariasi dan belum terstandarisasi secara menyeluruh. Ditjen
Dikti mengeluarkan kebijakan yang bijaksana dengan menutup peluang
pendirian fakultas kedokteran baru, kecuali jika disertai alasan yang
sangat kuat. Kebijakan ini juga seharusnya disertai dengan kebijakan
untuk memperkuat metode akreditasi fakultas kedokteran dan membantu

151
berbaagai keterbatasan yang ada, khususnya bagi fakultas kedokteran baru
di daerah pedesaan dan milik pemerintah.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di poin Penerimaan, MKDKI
dan MKEK memainkan peran penting pula dalam mengontrol kualitas praktik
dokter. Sebanyak 16% dokter yang izin praktiknya dicabut menunjukkan
bahwa MKEK dan MKDKI berperan signifikan dalam menegakkan standar
profesi kedokteran dengan mempertimbangkan aspek ketepatan etik dan
profesionalitas.23,24 Namun, kedua lembaga tersebut masih beraksi dalam
tataran hilir. Hal yang masih harus dikelola lebih lanjut adalah bagaimana
merencanakan langkah pencegahan yang dapat menjamin dokter melakukan
praktiknya dengan ketaatan terhadap isu etik dan profesionalitas, serta tepat
secara ilmiah kedokteran dan sesuai dengan standar yang berlaku.
Selain permasalahan kualitas dokter, kualitas dokter gigi, perawat dan
bidan juga merupakan persoalan yang harus diatasi. Jumlah sekolah atau
akademi perawat dan bidan meningkat secara cepat dari tahun ke tahun
tanpa adanya proses kredensial yang tepat. Reformasi yang dipelopori
oleh organisasi profesi memang tengah berlangsung, namun peningkatan
kualitas belum Nampak secara jelas. Penyebab yang harus diperbaiki
adalah terbatasnya pelatihan sebelum praktik, serta penyediaan dan kualitas
internship yang buruk walaupun jumlah sekolah atau akademi menunjukkan
peningkatan.7 Wewenang pengelolaan sekolah atau akademi keperawatan
dan kebidanan juga tidak jelas. Sekolah atau akademi kesehatan seharusnya
menjadi wilayah yuridiksi Kemendikbud, namun pada kenyataan ada sekitar
33 sekolah atau akademi kesehatan yang berada di bawah kontrol Kemenkes.
Bahkan, Kemenkes dapat berperan serta dalam proses akreditasi bersama
dengan Badan Akreditasi Negara (BAN) yang berpotensi menimbulkan
konflik kepentingan. Kedua hal ini, yaitu kewenangan dan akreditasi,
bukan merupakan pendekatan yang umum dan perlu diperbaiki. Peliknya
permasalahan ini diperparah dengan dengan pertumbuhan sekolah atau
akdemi kesehatan yang dapat dididirikan hanya dengan izin dari bupati di
tingkat kabupaten. Meski bertujuan baik, yakni meningkatkan produksi

152
tenaga kesehatan, namun kontrol terhadap kualitas menjadi tidak terarah.
Hasilnya adalah proses pendidikan yang bermutu buruk dan kualitas lulusan
perawat dan bidan yang tidak terkontrol dengan baik.8
Uji kompetensi dokter gigi, perawat, dan bidan juga telah dilangsungkan.
Uji kompetensi dokter gigi dilakukan mirip dengan uji kompetensi dokter
umum, namun tanpa adanya konflik antara institusi akademik dan organisasi
profesi. Uji kompetensi bidan dan perawat dilaksanakan atas dasar Surat
Edaran Dirjen Dikti No 704/E.E3/DT/2013 pada 24 Juli 2013 yang
mewajibkan uji kompetensi bagi calon lulusan pendidikan tinggi bidang
kebidanan dan keperawatan. Uji kompetensi perawat sempat diwajibkan
dan digunakan sebagai exit exam dan persyaratan kelulusan dari sekolah
atau akademi keperawatan. Pada tahun 2014, kebijakan tersebut diubah
dan menghapus ketentuan bahwa uji kompetensi juga merupakan syarat
kelulusan. Uji kompetensi perawat akhirnya berfungsi sebagai bagian
dari ‘pemetaan kualitas dan pembinaan’. Kebijakan ini perlu didukung
oleh kebijakan lain yang mengevaluasi ‘pemetaan’ tersebut secara berkala
dan bekelanjutan. Tanpa hal tersebut, maka uji kompetensi perawat
tidak bermakna apa-apa. Berbeda dengan perawat, uji kompetensi bidan
masih sesuai dengan kebijakan awal sesuai surat edaran Dikti –bahwa uji
kompetensi menjadi bagian syarat kelulusan bidan.

Referensi
1. Hunt P, MacNaughton G. Impact assessments, poverty and human rights:
a case study using the right to the highest attainable standar of health.
UNESCO. 2006;31:9.
2. Ministry of Health Republic of Indonesia. Indonesian health profile 2001.
Jakarta: Ministry of Health, Republic of Indonesia; 2002.
3. Ministry of Health Republic of Indonesia. Indonesian health profile 2005.
Jakarta: Ministry of Health, Republic of Indonesia; 2007.

153
4. Ministry of Health Republic of Indonesia. Indonesian health profile 2011.
Jakarta: Ministry of Health, Republic of Indonesia; 2012.
5. Harimurti P, Pambudi E, Pigazzini A, Tandon A. The Nuts & Bolts of
Jamkesmas Indonesia’s Government-Financed Health Coverage Program.
Jakarta: World Bank; 2013.
6. Chaudhury N, Hammer JS. Ghost doctors: absenteeism in rural
Bangladeshi health facilities. World Bank Econ Rev. 2004;18(3):423–41.
7. Rokx C, Yavuz E, Giles J, Satriawan E, Marzoeki P, Harimurti P. New
Insights into the Provision of Health Services in Indonesia : A Health
Workforce Study. Jakarta: World Bank; 2010.
8. World Bank. Indonesia’s Doctors, Midwives and Nurses : Current Stock,
Increasing Needs, Future Challenges and Options. Jakarta: World Bank; 2009.
9. Ministry of Health Republic of Indonesia. Ministry of Health Regulation
of 71/2013. 71 2013.
10. Kanchanachitra C, Lindelow M, Johnston T, Hanvoravongchai P,
Lorenzo FM, Huong NL, et al. Human resources for health in southeast
Asia: shortages, distributional challenges, and international trade in health
services. The Lancet. 2011;377(9767):769–81.
11. Evans TG, Chowdhury AMR, Evans DB, Fidler AH, Lindelow M, Mills A.
Thailand’s Universal Coverage Scheme: Achievements and Challenges.
An independent assessment of the first 10 years (2001-2010). Bangkok:
Health Insurance System Research Office; 2012.
12. World Health Organization, Ministry of Health of Philippines. Health Service
Delivery Profile: Philippines 2012. Geneva: World Health Organization; 2012.
13. Pang T, Lansang MA, Haines A. Brain drain and health professionals.
BMJ. 2002 Mar 2;324(7336):499–500.
14. World Health Organization. WHO Model Lists of Essential Medicines.
World Health Organization; 2011.
15. Wagstaff A. Poverty and health sector inequalities. Bull World Health
Organ. 2002 Jan;80(2):97–105.
16. Kristiansen S, Santoso P. Surviving decentralisation?: Impacts of regional
autonomy on health service provision in Indonesia. Health Policy. 2006
Aug;77(3):247–59.

154
17. Arifianto A, Marianti R, Budiyati S, Tan E. Making Services Work for
the Poor in Indonesia: A Report on Health Financing Mechanisms (JPK-
Gakin) Scheme in Kabupaten Purbalingga, East Sumba, and Tabanan.
SMERU Research Insitute; 2005.
18. Utomo B, Sucahya PK, Utami FR. Priorities and realities: addressing the
rich-poor gaps in health status and service access in Indonesia. Int J Equity
Health. 2011;10(1):1–14.
19. Sparrow R, Suryahadi A, Widyanti W. Social Health Insurance for the
Poor: Targeting and Impact of Indonesia’s Askeskin Programme. Soc Sci
Med [Internet]. 2012 [cited 2013 Apr 23]; Available from: http://www.
sciencedirect.com/science/article/pii/S0277953612007095
20. Rosser A. Realising Free Health Care for the Poor in Indonesia: The
Politics of Illegal Fees. J Contemp Asia. 2012;42(2):255–75.
21. Ramesh M, Wu X. Realigning public and private health care in Southeast
Asia. Pac Rev. 2008;21(2):171–87.
22. O’Donnell O, van Doorslaer E, Rannan-Eliya RP, Somanathan A, Adhikari
SR, Akkazieva B, et al. Who pays for health care in Asia? J Health Econ.
2008 Mar;27(2):460–75.
23. Kasus Malpraktik Meningkat [Internet]. eksposnews.com. Available from:
http://eksposnews.com/view/18/17453/Kasus-Malapraktik-Meningkat.html
24. Izin 29 Dokter Dicabut Karena Lakukan Mal Praktik [Internet]. Portal
KBR - Izin 29 Dokter Dicabut Karena Lakukan Mal Praktik. Available
from: /berita/nasional/2530379_4202.html
25. Court decision of appeal hearing No. 515 PK/Pdt/2011. Sect. Indonesian
Supreme Court, 515 PK/Pdt/2011 Jakarta: Indonesian Supreme Court; 2011.
26. Public Court of Manado. Court decision of appeal hearing No. 90/
PID.B/2011/PN.MDO. Manado: Public Court of Manado; 2011.
27. Butt L. Can You Keep a Secret? Pretences of Confidentiality in HIV/
AIDS Counseling and Treatment in Eastern Indonesia. Med Anthropol.
2011;30(3):319–38.
28. Merati T, Supriyadi, Yuliana F. The disjunction between policy and
practice: HIV discrimination in health care and employment in Indonesia.
AIDS Care. 2005;17(S2):175–9.

155
29. Titaley CR, Hunter CL, Dibley MJ, Heywood P. Why do some women
still prefer traditional birth attendants and home delivery?: a qualitative
study on delivery care services in West Java Province, Indonesia. BMC
Pregnancy Childbirth. 2010 Aug 11;10(1):43.
30. Barber SL, Gertler PJ, Harimurti P. The Contribution Of Human Resources
For Health To The Quality Of Care In Indonesia. Health Aff (Millwood).
2007 May 1;26(3):w367–79.
31. Heywood P, Harahap N. Human resources for health at the district level
in Indonesia: the smoke and mirrors of decentralization. Hum Resour
Health. 2009;7(1):6.
32. Heywood P, Harahap NP. Health facilities at the district level in Indonesia.
Aust N Z Health Policy. 2009;6(1):13.
33. Kolosnitsyna M. Remuneration Reforms in Public Sector: A Case of
Russian Healthcare. Chin Bus Rev. 2012;11(1):109–18.
34. Claramita M, Dalen JV, Van Der Vleuten CP. Doctors in a Southeast Asian
country communicate sub-optimally regardless of patients’ educational
background. Patient Educ Couns. 2011;85(3):e169–74.
35. Liu X, Hotchkiss DR, Bose S. The effectiveness of contracting-out primary
health care services in developing countries: a review of the evidence.
Health Policy Plan. 2008 Jan 1;23(1):1–13.
36. Loevinsohn B, Harding A. Buying results? Contracting for health service
delivery in developing countries. The Lancet. 2005;366(9486):676–81.
37. Republic of Indonesia. Undang-undang Pendidikan Kedokteran. 20/2013
Aug 6, 2013.

156
BAB VI
SIMPULAN: TINDAK LANJUT

Upaya pencapaian JKU merupakan bagian dari realisasi progresif


pemenuhan hak kesehatan masyarakat. Upaya tersebut berjalan sangat
dinamis dan beragam antar negara, namun memiliki karakteristik yang
sama –bahwa pergerakan sosial memiliki peran penting di dalamnya.
Pemerintah, meskipun menjadi aktor politik utama, harus mendapat tekanan
oleh kelompok penekan dari komunitas untuk menjamin bahwa upaya
pemenuhan JKU berjalan progresif. Tekanan tersebutlah yang membantu
tersusunnya berbagai instrumen hukum dan kebijakan dan secara simultan
sukses memperbaiki tiga dimensi cakupan, serta ketersediaan, aksesibilitas,
penerimaan, dan kualitas fasilitas, barang, dan layanan kesehatan.
Dalam proses pencapaian JKU dan pemenuhan hak kesehatan, ada
beberapa isu perancu, di antaranya adalah desentralisasi dan iklim politik.
Kebijakan desentralisasi dapat menciptakan dampak positif dalam hal
mengembangkan akses universal terhadap layanan kesehatan. Namun,
efek negatif juga mungkin muncul dengan adanya akses yang tidak setara
antar daerah. Karena kapasitas pemerintah lokal beragam antar daerah,
beberapa daerah mungkin berhasil membantu pemerintah pusat dalam
penyediaan JKU, sedangkan daerah lain gagal memenuhi hal tersebut.
Hal yang penting dipertimbangkan dalam kebijakan desentralisasi adalah
pemetaan ruang keputusan, kapasitas institusional dan akuntabilitas antar
daerah, kemudian secara paralel pemerintah pusat membantu daerah yang
masih lemah dalam ketiga hal tersebut untuk dikembangkan.1,2
Iklim politik, di sisi lain, menjadi persoalan penting yang juga harus
diperhatikan dengan baik. Di dalamnya ada kepentingan elite yang dapat
memberikan dampak positif atau negatif terhadap upaya pencapaian JKU,
baik dalam jangka waktu singkat, menengah atau panjang. Akibat kebijakan

157
desentralisasi, iklim politik –terutama di negara-negara berkembang,
masih menempatkan isu kesehatan sebagai ‘topik politik’ belaka dan
bukan merupakan isu kesejahteraan masyarakat yang perlu diperhatikan
secara mendalam. Kesehatan masih menjadi isu hangat sebagai pemikat
suara masyarakat, namun tidak disertai tindakan yang signifikan untuk
membangun status kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Latar
belakang politik memengaruhi bagaimana elite dan partai politik
mengambil tindakan terkait JKU.
Beragamnya perspektif dalam memantau dan mengevaluasi pencapaian
JKU menghasilkan banyaknya pendekatan yang dibuat oleh beberapa
studi. Selain menilai pencapaian JKU dari tiga dimensi cakupan (populasi,
layanan, dan proporsi biaya),3 pendekatan lain juga diperlukan, salah
satunya penilaian dari perspektif hak kesehatan. Penilaian hak kesehatan
terkait JKU mengambil pendekatan melalui empat elemen hak kesehatan,
yaitu ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas (AAAQ) dan
enam prinsip dasar hak kesehatan.4
Upaya pencapaian JKU dan pemenuhan hak kesehatan memang
diyakini bukan usaha yang dengan mudah dapat dicapai dan membutuhkan
proses bertahun-tahun untuk dapat mewujudkannya. Terkait kasus Indonesia,
beberapa keterbatasan dapat dilihat dengan jelas. Meskipun cakupan telah
meningkat, proporsi masyarakat yang belum tercakup dalam jaminan
kesehatan masih tinggi dan lebih tinggi daripada dua negara tetangga,
yaitu Thailand dan Filipina.5,6 Ketersediaan layanan kesehatan harus
berhadapan dengan kurangnya tenaga kesehatan professional, terutama
dokter dan dokter spesialis, dan distribusi yang tidak merata. Di sisi lain,
ketersediaan perawat dan bidan telah melampaui jumlah yang dibutuhkan,
namun produksi terus bertambah dengan banyaknya sekolah atau akademi
keperawatan dan kebidanan. Masalah diskrepansi jumlah tenaga kesehatan
banyak memengaruhi ketersediaan layanan kesehatan di daerah pedesaan
dan terpencil. Meskipun pemerintah telah meningkatkan cakupan dan
menyediakan benefit package yang komprehensif di atas kertas, masyarakat

158
di daerah pedesaan dan terpencil tidak dapat mengakses layanan tersebut
karena tidak tersedianya tenaga kesehatan yang memadai serta fasilitas dan
obat-obatan yang terbatas. Selain masalah fasilitas dan tenaga kesehatan,
pemerintah juga harus memerhatikan ketersediaan determinan dasar
kesehatan, seperti ketersediaan air minum bersih dan fasilitas sanitasi.
Aksesibilitas menunjukkan peningkatan dalam hal cakupan, namun
aksesibilitas fisik, ekonomi dan informasi masih perlu diperbaiki secara
berkelanjutan. Perbaikan aksesibilitas fisik memerlukan koordinasi lintas
sektor dari autoritas yang lebih tinggi dan melingkupi beberapa kementerian.
Meskipun masyarakat sudah mendapat jaminan kesehatan, buruknya
aksesibilitas fisik menyebabkan masyarakat masih harus berhadapan dengan
kendala ekonomi terkait dengan tingginya biaya transportasi dan akomodasi
yang menyebebkan rendahnya utilisasi fasilitas dan layanan kesehatan.
Masalah penerimaan layanan kesehatan memang belum dieksplorasi
secara mendalam karena terbatasnya studi yang menilai hal tersebut. Namun,
beberapa contoh kasus yang menonjol terkait etik dan disiplin kedokteran
memunculkan isu penting, yaitu faktor komunikasi dan kejelasan informasi
yang saling menghargai antara tenaga kesehatan profesional dan pasien.
Kualitas layanan kesehatan memang masih perlu diperbaiki, baik
dari aspek fasilitas maupun tenaga kesehatan profesional. Kebijakan yang
menjamin kualitas layanan kesehatan saat ini sudah dilakukan, namun
masih sangat terbatas, bahkan ada yang justru memberikan efek negatif.
Produksi dokter yang terus digenjot harus disertai dengan upaya kontrol
kualitas yang berkesinambungan dan penghindaran aspek politis dalam
beragam kebijakan yang dikeluarkan.

Tindak Lanjut
Beberapa provinsi dan kabupaten telah sukses mencapai JKU
melalui beragam strategi kebijakan lokal. Hal penting yang harus
dilakukan pemerintah adalah menilai beberapa pengalaman lokal dan

159
mengidentifikasi pelajaran yang dapat diambil dari daerah yang telah
berhasil dan belum berhasil sebagai bagian dari pengembangan kebijakan
nasional selanjutnya. Meski kebijakan desentralisasi memberikan ruang
autoritas yang lebih besar kepada pemerintah lokal untuk mengambil
kebijakan lokal masing-masing terkait JKU,1 pemerintah pusat perlu
memberikan arahan yang tepat, melakukan pemetaan dengan cermat, dan
membantu provinsi atau kabupaten yang masih belum dapat mencapai
JKU secara konsep dan teknis.
Pemetaan dapat dilakukan dengan mengategorikan kapasitas
institusional pemerintah lokal dengan ‘baik’, ‘sedang’, dan ‘buruk’ di
level kabupaten, bukan hanya provinsi –karena luasnya cakupan wilayah
provinsi dengan variabilitas tinggi. Pemerintah pusat perlu membantu
pemerintah lokal dengan kapasitas ‘sedang’ dan ‘buruk’ dalam hal supervisi
agar mampu mengelola sumber daya yang ada secara tepat. Penetapan
target nasional dalam penguatan kapasitas lokal dan sistem kesehatan
lokal mungkin dapat dilakukan sebagai solusi yang menjanjikan; dan
tidak melepas pemerintah lokal berjibaku sendirian dengan tindakan lokal
masing-masing. Kontrol kebijakan kesehatan juga perlu dilakukan untuk
meminimalisir adanya konflik kebijakan antara pusat dan daerah, terutama
yang diakibatkan oleh janji politik sesaat para kandidat pemimpin lokal
yang dikeluarkan dalam kampanye politiknya.

1.1 Peningkatan Cakupan
Saat ini, tidak ada permasalahan signifikan dalam hal benefit package
dan proporsi biaya yang harus dibayar peserta jaminan kesehatan.
Namun, aplikasi keduanya masih perlu diperhatikan secara detail
terkait dengan ketersediaan layanan kesehatan. Di atas kertas,
benefit package sudah komprehensif, namun apakah disertai dengan
ketersediaan fasilitas, tenaga kesehatan, obat yang dibutuhkan serta
efektif secara klinis, masih perlu dinilai lebih lanjut. Formularium
nasional perlu dievaluasi secara mendalam dengan melibatkan

160
semua pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, institusi akademik,
organisasi profesi, fasilitas kesehatan nasional dan lokal, komite
kajian teknologi kesehatan, perusahaan farmasi dan teknologi
kesehatan, serta masyarakat. Bukan hanya konten formularium
nasional yang perlu direvisi, namun monitoring terhadap ketersediaan
jenis dan jumlah obat yang terdaftar di formularium nasional juga
perlu dilakukan secara regular.
Terkait dengan cakupan populasi, tindak lanjut yang harus dilakukan
pemerintah adalah bagaimana menarik sebanyak mungkin pemberi
usaha (perusahaan) dan pekerja informal masuk dalam skema jaminan
kesehatan nasional. Upaya mewajibkan perusahaan untuk masuk dalam
skema BPJS Kesehatan per Januari 2015 memang merupakan langkah
penting, namun perlu disertai dengan kesiapan jejaring fasilitas yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan mekanisme coordination of
benefit yang jelas. Banyak perusahaan menengah, apalagi perusahaan
besar dan multinasional, yang telah menyediakan jaminan kesehatan
bagi pekerjanya dengan benefit yang lebih baik dari standar BPJS
Kesehatan, baik dari sisi akses fasilitas ke layanan kesehatan swasta,
kemudahan administrasi, dan layanan kesehatan yang dijamin.
Ekspansi ke pekerja informal merupakan tantangan tersendiri. Studi
mengenai kesediaan untuk membayar (willingness to pay) pekerja
informal terhadap premi asuransi kesehatan nasional masih sangat
terbatas. Meskipun pemerintah telah menetapkan premi yang sangat
rendah (Rp 29,500-59,500 per kapita per bulan), kesediaan para
pekerja informal untuk membayar premi tersebut masih belum jelas.
Upaya ekspansi ini memang sangat menantang di banyak negara
berkembang, seperti Brazil, China, Meksiko, dan Thailand.7 Upaya
promosi, penyediaan akses informasi dan persuasi secara khusus ke
pekerja informal merupakan konsep yang jelas dibutuhkan.

161
1.2 Peningkatan Ketersediaan
Sebelum berdiskusi lebih lanjut mengenai ketersediaan dokter dan
tenaga kesehatan profesional, pemerintah terlebih dahulu harus mampu
memperbaiki data tenaga kesehatan profesional yang ada sehingga dianggap
valid dan reliabel. Kemenkes, KKI dan himpunan profesi, seperti IDI,
PDGI, IBI dan PPNI, harus secara bersama-sama membangun metode yang
lebih baik dan terkoordinasi dalam registrasi data. Saat ini, data tenaga
kesehatan terpecah-pecah dan tidak lengkap. Registrasi dokter di KKI,
sebagai contoh, harus dicek secara regular dengan data Kemenkes dan IDI
untuk meminimalisir kesenjangan data antara input dan kondisi faktual
di lapangan. Memperbarui database tenaga kesehatan profesioanl secara
teratur, baik di tingkat lokal maupun nasional, menjadi prasyarat dalam
memberikan gambaran ketersediaan tenaga kesehatan profesional di seluruh
negeri. Selain itu, langkah penting lain adalah menggabungkan perencanaan
sumber daya tenaga kesehatan dengan reformasi dan perencanaan pegawai
negeri sipil secara keseluruhan agar berjalan secara beriringan.8
Lebih lanjut, diskusi mengenai jumlah dan sebaran tenaga kesehatan
profesional menjadi menarik. JKU mensyaratkan pemenuhan 100% indikator
terkait ketersediaan tenaga kesehatan (Kotak 6.1). Masalah yang ada saat ini
cukup pelik sehingga diperlukan strategi yang tepat dalam upaya pencapaian
target indikator tersebut. Pemetaan dan rencana persebaran tenaga kesehatan
harus didasarkan pada data yang akurat dan reliabel, serta mengikutsertakan
seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah, fasilitas layanan kesehatan yang ada, perhimpunan profesi di tingkat
pusat dan daerah, serta mendorong keikutsertaan perwakilan masyarakat –
yang dapat diambil dari peserta BPJS Kesehatan.
Komponen tenaga kesehatan di rumah sakit dan Puskesmas harus
sesuai dengan standar yang ditetapkan di dalam Peraturan Menteri
Kesehatan serta dipantau dan dievaluasi secara berkala oleh Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Upaya monitoring dan evaluasi

162
merupakan masalah tersendiri ketika upaya tersebut masih terfragmentasi
dan tidak terintegrasi antara satu program pemantauan dengan program
pemantauan lainnya. Konsep integrasi dalam pemantauan dan evaluasi,
termasuk pendataan dan publikasi yang selama ini dilakukan oleh Pusat
Data dan Informasi melalui Profil Kesehatan, merupakan hal penting agar
pemerintah mendapat gambaran yang jelas dan utuh, serta menjadi dasar
bagi pembuatan kebijakan selanjutnya.
Kotak 6.1. Indikator JKU terkait tenaga kesehatan profesional dan permasalahannya.
Indikator kunci Masalah Pengukuran dan
strategi
Rasio tenaga Validitas dan reliabilitas Survey nasional
kesehatan profesional data
di daerah tertinggal: Pemetaan dan rencana
2,28/1000, sesuai Disparitas antar daerah persebaran
standar WHO

Rasio dokter/perawat Jumlah dokter inadekuat Pemetaan per daerah


: 5.0 di daerah dan disparitas antar dan rencana rekrutmen
tertinggal daerah
Komponen tenaga Belum ada pemantauan Pemantauan dan
kesehatan di rumah dan evaluasi berkala evaluasi JKN dengan
sakit dan Puskesmas standar ketersediaan
sesuai dengan aturan tenaga kesehatan per
fasilitas (Permenkes)
Diadaptasi dari Kementerian PPN/Bappenas (2014)9

Sejalan dengan itu, penempatan dokter baru lulus sebagai pekerja tidak
tetap (PTT) ke daerah pedesaan dan terpencil perlu dikaji kembali. Di satu sisi,
kebijakan ini membantu memenuhi ketersediaan dokter di daerah pedesaan
dan terpencil, meskipun –di sisi lain, tidak menjamin keberlangsungan
(sustainability) program dan layanan kesehatan yang ada. Jikapun kebijakan
ini diberlakukan kembali sebagai sebuah kewajiban, kebijakan tersebut harus
dibatasi hanya sebagai kebijakan jangka pendek –yang secara paralel diikuti

163
dengan kebijakan persebaran dokter tetap di daerah pedesaan dan terpencil.
Selain itu, kebijakan desentralisasi terkait pengelolaan dokter PTT harus
disesuaikan dengan kebutuhan dengan analisis lebih rinci. Selain pemetaan
secara terpusat, evaluasi berkala yang dikoordinasi pemerintah pusat perlu
dijalankan secara efektif untuk memastikan bahwa persebaran dokter merata
dan mencukupi kebutuhan yang ada.
Kebijakan PTT seharusnya tidak terbatas pada dokter, namun juga tenaga
kesehatan lainnya dan penempatan dalam tim perlu dipertimbangkan. Tim
setidaknya terdiri dari dokter dan/atau dokter gigi, perawat, dan bidan dengan
opsi tambahan tenaga non kesehatan yang bertujuan tidak hanya memperbaiki
layanan kuratif, namun juga meningkatkan kapasitas layanan kesehatan
masyarakat. Program inisial telah dilakukan melalui Pencerah Nusantara,
namun perlu dianalisis lebih lanjut mengenai indikator keberhasilan, dampak
yang dihasilkan, dan dana yang dikeluarkan agar dapat menghasilkan kebijakan
yang efektif, berdaya ungkit besar, serta efisien dalam anggaran.
Salah satu masalah persebaran tenaga kesehatan adalah akses, selain dari
sekadar aspek finansial. Hambatan akses fisik dan informasi menjadi salah satu
faktor yang dapat memengaruhi tenaga kesehatan untuk memilih tidak bekerja
di daerah pedesaan dan terpencil. Oleh karena itu, kebijakan penyediaan dan
persebaran tenaga kesehatan tidak boleh hanya bergantung pada Kemenkes,
namun juga dikombinasikan dengan kementerian lain untuk memberikan
insentif non-finansial. Perbaikan akses fisik dan informasi diharapkan mampu
mendorong peningkatan preferensi tenaga kesehatan bekerja di daerah pedesaan
dan terpencil. Pemerintah lokal juga perlu menyesuaikan kebijakan tersebut
dengan kebijakan rekrutmen pegawai tetap secara berkesinambungan dan
pembangunan progresif, termasuk menyediakan infrastruktur yang lebih baik.
Menyediakan JKU harus pula diimbangi dengan penyediaan fasilitas
layanan kesehatan publik yang adekuat dan tersebar secara merata di seluruh
negeri. Kemenkes memiliki peranan penting dalam mendesain rencana
nasional dan membagi-bagikan autoritas antara pemerintah pusat dan daerah

164
secara jelas dan terperinci dengan mempertimbangkan variabilitas kapasitas
lokal yang ada. Langkah ini akan membutuhkan dana yang besar sehingga
advokasi anggaran negara ke pemerintah pusat dan DPR menjadi sangat
penting untuk memastikan bahwa proporsi anggaran kesehatan, terutama
pembangunan fasilitas kesehatan, meningkat. Anggaran pemerintah untuk
kesehatan di tahun 2014 mencapai 47,4 triliun rupiah10 yang sebagian
besar digunakan untuk pembayaran gaji dan cakupan asuransi kesehatan
publik. Proporsi pembangunan fasilitas, terutama di daerah pedesaan dan
terpencil, belum menunjukkan peningkatan signifikan, bahkan terkendala
dengan masalah serapa dana yang rendah. Memperbaiki hal tersebut
membutuhkan upaya koordinasi dengan dan pengembangan kapasitas
autoritas lokal, serta dilengkapi dengan perencanaan penempatan tenaga
kesehatan yang adekuat. Dalam batas tertentu, tekanan dari pergerakan
sosial diperlukan untuk memastikan bahwa anggaran kesehatan nasional
mencapai minimal 5% dari total anggaran belanja nasional.
Selain layanan kesehatan kuratif, JKU juga harus mampu mendorong
peningkatan upaya promosi kesehatan dan prevensi. Pemerintah dan
BPJS Kesehatan sebagai pihak asuransi harus mempertimbangkan hal
ini dan memberikan perhatian yang besar. Penghitungan biaya untuk
promosi kesehatan dan prevensi memang sulit dilakukan dan seringkali
disederhanakan dengan memasukkan upaya tersebut dalam dana kapitasi
yang diberikan untuk penyedia layanan kesehatan primer. Namun demikian,
perlu kontrol yang baik untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut
dilaksanakan dengan adekuat. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan dana
kapitasi di layanan kesehatan primer perlu dilakukan –yang kemudian
ditambah dengan kebijakan lisensi dan reward and punishment. BPJS
Kesehatan dan Kemenkes perlu menyusun standar layanan sebagai
indikator kinerja fasilitas kesehatan primer sebagi kontrol.
Pembiayaan kapitasi sendiri perlu ditinjau ulang dari segi besaran maupun
kebutuhan perangkat sistem pembiayaan lainnya. Ada kecenderungan
ketidakadilan dalam pembiayaan kapitasi. Ketika Puskesmas mendapat

165
aliran dana dari beragam sumber, termasuk alokasi gaji tetap dari anggaran
pemerintah, klinik primer swasta harus mengalokasikan gaji dari dana
kapitasi yang didapat dengan besaran yang dianggap tidak memadai. BJS
Kesehatan dan Kemenkes perlu menyiasati apakah diperlukan perangkat
sistem pembiayaan lain, seperti pay for performance, dengan memberikan
insentif tambahan bagi mereka yang mampu mencapai indikator keberhasilan
atau top-up kapitasi, dengan memberikan tambahan atau pengurangan dana
kapitasi sesuai dengan pencapaian indikator keberhasilan.
Selain itu, keberpihakan pemerintah dalam menyediakan sarana
kesehatan prevensi dan fasilitas terkait determinan dasar kesehatan perlu
dikuatkan. Koordinasi lintas kementerian merupakan hal yang wajib dengan
pendekatan perspektif bahwa kesehatan bukan hanya milik kementerian
kesehatan, namun milik negara secara keseluruhan.
Hal penting yang tidak boleh diabaikan adalah penyusunan benefit
package yang tepat dengan mendasarkan pada kajian teknologi kesehatan.
Pembentukan dan penyempurnaan institusi terkait pengkajian teknologi
kesehatan merupakan hal penting –yang disempurnakan dengan
koordinasi lintas struktur. Indonesia perlu memiliki institusi independen
yang mengkaji teknologi kesehatan dalam skala nasional seperti HITAP di
Thailand dengan pendanaan yang memadai, staf yang kompeten dan digaji
secara kompetitif, serta perencanaan studi yang tepat dengan mendirong
keikutsertaan semua pemangku kepentingan.11

1.3 Memperluas Aksesibilitas


Perubahan sistem pembiayaan kesehatan menjadi sistem kapitasi
untuk layanan primer dan sistem INA-CBGs untuk layanan sekunder
dan tersier terdengar menarik dalam upaya efisiensi biaya dan layanan
kesehatan. Namun, pemerintah bersama dengan BPJS Kesehatan perlu
mendukung sistem tersebut dengan memperkuat sistem informasi,

166
menyebarkan informasi yang tepat seluas-luasnya, dan membangun
kanal akses informasi yang adekuat.
a. Masyarakat harus dapat dengan mudah mendaftarkan diri masuk
dalam sistem asuransi kesehatan publik di bawah BPJS Kesehatan.
Akses informasi harus dijamin bahwa semua orang dapat
mengakses informasi apa saja yang dibutuhkan dalam pendaftaran,
mekanisme dan pembayaran yang ditanggung. Akses informasi
bagi masyarakat di daerah perkotaan sudah dianggap baik, meski
masih terdapat misinterpretasi dan kurangnya informasi bagi
masyarakat miskin. Berbeda dengan perkotaan, akses informasi
di daerah pedesaan dan terpencil masih menghadapi kendala
signifikan dan harus segera dibenahi.
b. Akses informasi yang inadekuat berpotensi memunculkan masalah
salah target. Mereka yang mendapatkan informasi seringkali berasal
dari masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas sehingga
pemanfaatan asuransi kesehatan publik didominasi oleh kelompok
tersebut. Kondisi ini didukung dengan semakin mudahnya
orang mendaftarkan diri masuk ke dalam asuransi tanpa langkah
kredensialing yang ketat. Masyarakat dapat mendaftar ke Puskesmas
dengan hanya membawa KTP dan KK untuk mendapatkan jaminan
kesehatan publik. Jika ini terus dibiarkan terjadi, potensi inekualitas
semakin besar –dan sistem pembiayaan kesehatan bergeser menjadi
pro-masyarakat kaya (pro-rich) dibandingkan pro-masyarakat
miskin (pro-poor) yang semula diharapkan.
c. Aksesibilitas fisik membutuhkan koordinasi multisektor –yang
kerap kali disalahtafsirkan sebagai ‘mengerjakan pekerjaan
institusi lain di dalam institusi sendiri’. Koordinasi multisektor
bukan berarti tentara ikut serta dalam proses diseminasi keluarga
berencana, namun kebijakan yang dikeluarkan dari berbagai
kementerian seharusnya saling bersinergi untuk mencapai visi

167
kesehatan negara. Presiden, bersama dengan menteri koordinator,
memegang peranan penting dalam menentukan target capaian
dan melakukan tindakan konkret untuk mengatasi kendala fisik,
terutama di pedesaan dan daerah terpencil. Strategi ini harus
dijalankan secara paralel dengan pembangunan ekonomi yang
berwawasan kesehatan.
d. Menghapus penagihan biaya rawat di muka dan penolakan perawatan
oleh fasilitas kesehatan membutuhkan upaya bersama antara
Kemenkes, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kota/Kabupaten, asosiasi
rumah sakit, dan komunitas. Institusi pemerintaha berperan dalam
membuat mekanisme komplain, menyusun perjanjian kerjasama
(MoU) dengan rumah sakit, dan membangun mekanisme penalti
yang adekuat bagi fasilitas kesehatan yang melanggar perjanjian
tersebut. Asosiasi rumah sakit bertugas menjaga performa layanan
rumah sakit dan melakukan supervisi yang merata. Di sisi lain,
komunitas –termasuk LSM di dalamnya, harus berjuang mendorong
pelaksanaan program dan pemantauan yang baik terhadap segala
potensi pelanggaran yang ada di lapangan.

1.4 Penerimaan yang Lebih Baik


a. Diskriminasi, khususnya pada penyakit tertentu seperti HIV/AIDS
dan tuberkulosis, harus ditekan dengan melebur isu penyakit spesifik
ke dalam program kesehatan secara keseluruhan. Saat ini, program
untuk penyakit spesifik diimplementasikan dalam struktur, program
dan anggaran yang terfragmentasi atau terpecah dengan program
kesehatan secara keseluruhan. Hal ini berakibat pada efektivitas dan
keberlangusngan program yang rendah. Tuberkulosis, misalnya,
hanya fokus mengurus bagaimana program terkait tuberkulosis
dapat berjalan dengan baik dengan pendanaan yang ada –dan
banyak didapat dari donor luar negeri. Sedikit sekali kontribusi

168
yang dihasilkan terhadap sistem kesehatan secara keseluruhan.
Meskipun pada beberapa kondisi terakhir muncul isu ini dan sudah
berlangung upaya penguatan sistem kesehatan (health system
strengthening) melalui pendanaan program spesifik, program yang
lebih luas perlu dikembangkan lagi dengan meningkatkan proporsi
bagi sistem kesehatan dan peleburan program spesifik ke dalam
program kesehatan secara keseluruhan.
b. Terkait layanan yang harus menghargai etik kedokteran, MKEK,
MKDKI dan IDI harus menyusun upaya pencegahan yang
lebih kuat dan tidak hanya membangun alur komunikasi untuk
mengakomodasi keluhan masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Tindakan untuk menjamin layanan yang menghargai etik kedokteran
mungkin akan tumpang tindih dengan upaya mengembangkan
kualitas layanan yang akan dijelaskan berikutnya.

1.5 Meningkatkan Kualitas


Memperbaiki kualitas layanan berarti memperbaiki dua hal, yaitu kualitas
tenaga kesehatan profesional dan kualitas fasilitas kesehatan. Kualitas
tenaga kesehatan pertama kali harus dijamin melalui uji kompetensi –
dengan syarat bahwa aspek politis dalam pelaksanaan uji kompetensi
harus diminimalisir. Adanya dua uji kompetensi dapat berpotensi
menghabiskan sumber daya, baik finansial maupun waktu, bagi dokter
dan kebijakan kesehatan itu sendiri. Lulusan dokter jelas perlu menambah
pengeluaran dan waktu hingga akhirnya dapat mengikuti rangkaian
internship dan, pada akhirnya, mengalami keterlambatan berpraktik.
Dari sisi kebijakan, hal tersebut menambah waktu keterlambatan untuk
memenuhi ketersediaan dokter dengan kebijakan yang inefisien.
Uji kompetensi dengan pendekatan yang sama seharusnya juga
berlaku bagi tenaga kesehatan profesional lainnya, seperti dokter gigi,
perawat dan bidan. Meski sudah dilakukan bagi perawat dan bidan,

169
uji kompetensi belum menjadi bagian dari pra syarat kelulusan –dan
sudah seharusnya kebijakan ditujukan untuk pembangunan kualitas,
bukan lagi sekadar pemetaan.
Terkait dengan kompetensi lulusan dokter, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi perlu melalukan telaah akreditasi dan memperkuat
regulasi, seperti membatasi daya tampung mahasiswa kedokteran
bagi fakultas kedokteran dengan akreditasi rendah. Begitupun juga
bagi sekolat tinggi kesehatan –yang selama ini seringkali luput dari
perhatian. Banyaknya sekolah tinggi kesehatan yang memproduksi
perawat dan bidan memerlukan pemantauan yang lebih ketat untuk
memastikan bahwa kualitas lulusan yang dihasilkan memenuhi
standar yang diharapkan. Secara paralel, konsil tenaga kesehatan
profesional membangun standar pendidikan dan kompetensi yang
menjadi anutan telaah kompetensi bagi berbagai profesi.
Kebijakan mutakhir mewajibkan layanan kesehatan primer untuk
memiliki kompetensi 155 penyakit –meski beberapa pihak menganggap
pendekatan ini kurang tepat. Pemberian lisensi dan telaah secara
periodik melalui perpanjangan surat tanda registrasi (STR) atau surat
izin praktik (SIP) tidak dapat menggambarkan dengan tepat bagaimana
kualitas layanan sesungguhnya. Terlepas dari perdebatan mengenai hal
tersebut, pemerintah bersama dengan perhimpunan profesi seharusnya
melakukan pemantauan bersama terkait kualitas layanan. Strategi yang
lebih akurat adalah dengan mengintegrasikan pemantauan kualitas
dengan pemantauan pembiayaan layanan kesehatan, khususnya di
primer. Menggabungkan keduanya; dengan melihat seefektif apa
layanan yang diberikan kemudian memberikan rewards atau penalty
melalui mekanisme pembiayaan, mungkin akan lebih efektif dari
sekadar perpanjangan STR dan SIP yang lebih bersifat administratif.
Metode pembayaran dalam skema pembiayaan performance-based
payment, baik dalam skema pay-for performance maupun top-up

170
kapitasi secara teoritis mampu memperbaiki kualitas layanan keseatan.
Selain itu, sistem pembiayaan seperti ini membantu menjaga efisiensi
pembiayan kesehatan secara keseluruhan dan memberikan perlakuan
yang sama bagi sektor layanan kesehatan publik maupun swasta. Meski
demikian, tantangan dalam membangun sistem pembiayaan seperti ini
adalah perbaikan infrastruktur dan penyusunan program yang tepat dan
memerhatikan kondisi faktual di berbagai wilayah. Melakukan studi
pilot di wilayah perkotaan mungkin menjadi alternatif inisial sebelum
dievaluasi untuk pengembangan di seluruh wilayah Indonesia.

Referensi
1. Bossert TJ, Mitchell AD. Health sector decentralization and local decision-
making: Decision space, institutional capacities and accountability in
Pakistan. Soc Sci Med. 2011 Jan;72(1):39–48.
2. Ribot JC. African decentralization: local actors, powers and accountability.
UNRISD Geneva; 2002.
3. World Health Organization. Everybody’s business: strengthening health
systems to improve health outcomes: WHO’s framework for action.
Geneva: World Health Organization; 2007.
4. Hunt P, MacNaughton G. Impact assessments, poverty and human rights:
a case study using the right to the highest attainable standar of health.
UNESCO. 2006;31:9.
5. Wagstaff A, Manachotphong W. The Health Effects of Universal Health
Care : Evidence from Thailand. 2012 Jul [cited 2013 Mar 29]; Available
from: https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/11937
6. Philippine Health Insurance Corporation. Annual Report 2011. Manila:
Philippine Health Insurance Corporation; 2011.
7. Wagstaff A, Manachotphong W. Universal Health Care and Informal
Labor Markets: The Case of Thailand [Internet]. Rochester, NY: Social
Science Research Network; 2012 Jul [cited 2013 Jun 11]. Report No.: ID
2100293. Available from: http://papers.ssrn.com/abstract=2100293

171
8. Rokx C, Yavuz E, Giles J, Satriawan E, Marzoeki P, Harimurti P. New
Insights into the Provision of Health Services in Indonesia : A Health
Workforce Study. Jakarta: World Bank; 2010.
9. Kementerian PPN/Bappenas. Health sector review: consolidated report.
Kementerian PPN/Bappenas; 2014.
10. Trisnantoro L, Hendrartini Y, Susilowati T, Meliala A, Kurniawan M, Putra
W. Skenario pelaksanaan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional: Apakah
ada potensi memburuknya ketidak adilan sosial di sektor kesehatan? Pusat
Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM; 2014.
11. Health Intervention and Technology Assessment Program. Health
technology assessment process guidelines. HITAP; 2012.

172
RIWAYAT PENULIS

Ahmad Fuady lahir di Jakarta, 7 April 1986. Setelah menyelesaikan


pendidikan dasar dan menengah, Fuady melanjutkan kuliah kedokteran di
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sejak tahun 2003 hingga 2009.
Sebelum lulus dari FK, Fuady sudah mengenali ketertarikannya kepada
dunia kebijakan kesehatan sehingga memilih untuk bergabung menjadi
staf pengajar di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI. Tahun
2012, Fuady melanjutkan studi master di Erasmus Universiteit Rotterdam,
Belanda dan mengambil program Health Economics, Policy and Law –dan
saat menulis buku ini, tengah berencana melanjutkan studi doktoralnya
di universitas yang sama. Fuady juga mendapatkan beberapa fellowship
untuk mengikuti kursus dalam bidang kedokteran komunitas, public health
dan European Health Law and Ethics, baik di dalam maupun luar negeri.
Beberapa riset dan publikasi dalam bidang manajemen layanan
kesehatan, disaster management dan penyakit tropis infeksi sudah
diterbitkan. Fuady juga aktif dalam penulisan artikel populer dan opini di
surat kabar nasional. Untuk kontak lebih lanjut, silakan menghubungi via
email ke dr.ahmadfuady@yahoo.com atau ahmad.fuady01@ui.ac.id.

173

Anda mungkin juga menyukai