Anda di halaman 1dari 19

Kasus Adverse Drug Rection (ADR)

OBAT ASMA

OLEH

KELAS A1C KELOMPOK 3

1. Ni Nyoman Divta Candra Oktaviani (161200074)


2. Ni Putu Gitan Purnama Sari (161200075)
3. Ni Putu Maha Anggita Putri (161200076)
4. Ni Putu Nilam Cahya Dewi (161200077)

MATA KULIAH PHARMACOVIGILLANCE

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2019
DAFTAR ISI

COVER
Daftar isi ………………………………………………………………………………………… i
BAB I ............................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................................. 2
BAB II ........................................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................................ 3
2.1 DEFINISI ASMA................................................................................................................ 3
2.2 ETIOLOGI ASMA.............................................................................................................. 3
2.3 KLASIFIKASI ASMA ........................................................................................................ 4
2.4 PATOFISIOLOGI ............................................................................................................... 5
2.5 TATALAKSANA TERAPI ................................................................................................ 5
2.5.1 Pengobatan Non Farmakologik: ................................................................................... 5
2.5.2.Pengobatan Farmakologik : .......................................................................................... 5
BAB III.......................................................................................................................................... 8
3.1 Kasus .................................................................................................................................. 8
3.2 Pembahasan Kasus ............................................................................................................. 8
3.3 EVIDENCE BASED ......................................................................................................... 11
3.3.1 EVIDENCE BASED 1 ................................................................................................... 11
3.3.2 EVIDENCE BASED 2 ................................................................................................... 12
BAB IV ....................................................................................................................................... 13
4.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14
LAMPIRAN ............................................................................................................................ 15

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma adalah penyakit kronis variabel dari sistem pernapasan yang
ditandai oleh penyempitan saluran pernapasan kecil dan bronkiolus, meningkat
bronkial sekresi atau lendir dan pembengkakan mukosa atau peradangan, sering
dalam menanggapi satu atau lebih memicu. Asma ditandai dengan serangan sesak
dada, batuk dan mengi akibat obstruksi jalan napas (Gibbs, 2014). Gejala dapat
terjadi beberapa kali dalam satu hari atau minggu pada individu yang terkena dan
bagi sebagian orang menjadi lebih buruk pada malam hari atau selama aktivitas
fisik (WHO, 2013). Gejala asma berulang sering menyebabkan gangguan sulit
tidur, rasa lelah keesokan hari, tingkat aktivitas berkurang, prestasi sekolah dan
absensi kerja buruk (Fitriani et al, 2015).
Hasil penelitian International Study on Asthma and Alergies in Childhood
pada tahun 2008 menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma
melonjak dari sebesar 4,2 persen menjadi 5,4 persen di jawa tengah 1,5 persen
menjadi 2,5 persen dan di surakarta meningkat dari 1,5 persen menjadi 2 persen.
Selama 20 tahun terakhir, penyakit ini cenderung meningkat dengan kasus
kematian yang diprediksi akan meningkat sebesar 20 persen hingga 10 tahun
mendatang. WHO memperkirakan di tahun 2015 terdapat 255 ribu penderita
meninggal dunia karena asma.
Penderita asma banyak mengeluhkan gejala pada malam hari dan kualitas
tidur menurun. Beberapa penelitian pada populasi umum menemukan bahwa
pasien asma memiliki penurunan kualitas tidur dibanding bukan asma, serta
kejadian mengantuk pada siang hari meningkat (Astuti, 2014).

1.2 Rumusan Masalah


1. Adakah Adverse Drug Rection (ADR) pada Pengobatan Asma ?
2. Bagaimana Adverse Drug Rection (ADR) Obat Asma pada kasus ?

1
3. Bagaimanakah Perhitungan Adverse Drug Rection (ADR) Obat Asma
menggunakan Naranjo Scale?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui Adverse Drug Rection (ADR) Obat Asma pada kasus yang
ditemui
2. Mengetahui Perhitungan Adverse Drug Rection (ADR) Obat Asma
menggunakan Naranjo Scale
3. Dapat Menampilkan Evidence dalam menyelesaikan kasus Adverse Drug
Rection (ADR) Obat Asma

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI ASMA


Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Menurut Nugraheni
(2015) asma sering terjadi pada balita dibawah 5 tahun dan anak-anak. Umumnya
asma pada anak-anak diklasifikasikan menjadi asma ringan, asma sedang, dan asma
berat. Klasifikasi ini di dasarkan pada frekuensi, lamanya, dan aktifitas diluar
serangan asma. Dampak buruk dari asma meliputi penurunan kualitas hidup,
produktivitas yang menurun, peningkatan biaya kesehatan, bahkan kematian.

2.2 ETIOLOGI ASMA


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik
(atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu
alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan
(virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/
pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

3
a. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu
dengan genetik asma.
b. Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

2.3 KLASIFIKASI ASMA

Klasifikasi asma dapat dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu etiologi, derajat
penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan derajat
penyakit penting untuk pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,
semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan(Masbimoro.2019). Secara
klinis berdasarkan derajat penyakit dibagi menjadi 4 yaitu (Depkes RI.2013):

Tabel 1. Klasifikasi Asma berdasarkan tingkat keparahan

4
2.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pengalihan aliran udara yang menggerakkan kronik ini bervariasi
sesuai dengan rangsangan. Alergen akan dikeluarkan karena bronkokonstriksi akibat
pelepasan Ig-E tergantung dari sel mast saluran pernapasan dari mediator, termasuk
juga histamin, prostaglandin, leukotrien sehingga akan dapat terjadi kontraksi otot
polos. Keterbatasan aliran udara yang bereaksi akut ini disebabkan oleh saluran
pernapasan pada pasien asma sangat hiper responsif terhadap beragam jenis
rangsangan. Pada kasus asma akut, yang menyebabkan bronkokonstriksi terdiri dari
kombinasi antara pelepasan saya diator sel inflamasi dan rangsangan yang dapat
mengubah lokal atau refleks saraf pusat. pembengkakan dinding saluran dengan atau
tanpa kontraksi otot polos

2.5 TATALAKSANA TERAPI

Pengobatan pada asma bronkial terbagi 2, yaitu :

2.5.1 Pengobatan Non Farmakologik:

a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisiotherapy
e. Beri O2 bila perlu.

2.5.2.Pengobatan Farmakologik :
1. Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan:
a) Simptomatik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat :
(1) Orsiprenalin (Alupent)
(2) Fenoterol (berotec)
(3 )Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomatik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,
suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler).
Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan
Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma

5
serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel
yang sangat halus) untuk selanjutnya dihirup.

b) Santin (teofilin)
Nama obat :
(1) Aminofilin (Amicam supp)
(2) Aminofilin (Euphilin Retard)
(3) Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat. Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai
pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh
darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya
sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang
mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin
ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke
dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderitakarena sesuatu hal tidak
dapat minum teofilin (misalnya muntah ataulambungnya kering).

c. Kromalin

Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan


asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak.
Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan
efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.

d. Ketolifen

Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya


diberikan dengan dosis dua kali 1 mg / hari. Keuntungan obat ini adalah dapat
diberikan secara oral

e. Montelukast

Menurut Eleanor dan David Price tahun 2007, Montelukast adalah Obat yang
menjaga agar peradangan saluran napas tetap terkontol dan mencegah agar

6
saluran napas tidak terus menyempit hingga tahap yang dapat menimbulkan
serangan asma. Obat ini dapat digunakan sebagai obat pengontrol sehingga
penggunaanya dalam jangka waktu yang panjang. Diindikasikan untuk asma dan
rinitis Untuk orang dewasa dan anak-anak> 6 bulan diatur pemakaian sekali
sehari, Efek buruk tidak diamati, Tidak terpengaruh oleh makanan (dengan atau
tanpa makanan), Satu-satunya LTRA yang disetujui FDA di Amerika serikat.
(Seidman et al.2015)

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun sedang menderita asma. Selanjutnya terapi diberikan
dengan Tablet kunyah Montelukast dimulai dari empat bulan lalu. Pada saat disekolah, anak laki-
laki tersebut mengalami penurunan kinerja dengan perhatian yang berkurang dan kondisi pasien
yang makin memburuk seperti cemas, gelisah, dan lekas marah. Kemudian ibu pasien melaporkan
ke dokter anak dan penggunaan terapi dengan Montelukast distop sehingga terjadi perbaikan
gejala. Kemudian kejadian (adverse drug reactions) ADR dilaporkan ke Pusat Farmakovigilans
Regional (RPVC) Bern. Setelah Di RPVC, kasus ini dilaporkan secara anonim Pusat
Farmakovigilans Nasional Badan Swiss untuk Produk Terapi Swissmedic (Scholz, 2019).

3.2 Pembahasan Kasus


Tabel 1. Naranjo scale untuk menilai ADRs

No. Pertanyaan Perhitungan score pada Score


Naranjo

Yes No N/A

1. Apakah pasien telah ada laporan 1 0 0 1


mengenai ADRs tersebut
sebelumnya ?

2. Apakah ADRs muncul setelah obat 2 -1 0 2


yang dicurigai tersebut diberikan ?

3. Apakah ADRs membaik saat obat 1 0 0 0


yang dicurigai tersebut diberikan ?

4. Apakah ADRs makin parah jika 1 0 0 0


dosis dinaikkan/membaik jika dosis
diturunkan ?

5. Apakah ada penyebab ADRs -1 2 0 0


tersebut selain karena obat ?

8
6. Apakah ADRs tersebut muncul saat -1 1 0 0
diberikan placebo ?

7. Apakah kadar obat dalam darah 1 0 0 0


termasuk kadar toksik ?

8. Apakah ADRs muncul lagi saat obat 2 -1 0 0


diberikan kembali ?

9. Apakah pasien pernah mengalami 1 0 0 0


ADRs sejenis saat menggunakan
obat/golongan obat tertentu ?

10. Apakah ADRs tersebut didukung 1 0 0 0


dengan bukti yang meyakinkan ?

TOTAL SCORE 3

Keterangan : >9: defnite ADRs; 5-8: probable; 1-4: possible ADRs; 0: doubtfull ADRs

Kejadian ADR terjadi pada seorang anak anak penderita asma yang mendapat
terapi montelukast sejak empat bulan yang lalu. Kejadian ADR ditandai dengan gejala
rasa gugup akut, kegelisahan, dan lekas marah. Dugaan kejadian ADRS tersebut
diprediksi aktualitasnya dengan menggunakan Naranjo scale. Hasil dari perhitungan
Naranjo scale menunjukkan semua ADR yang terjadi memiliki nilai 3 termasuk
dalam kategori possible ADR dengan total nilai dari Naranjo scale point ke 1 dan 2
adalah yes, sedangkan point lainnya tidak dihitung karena data pendukung tidak
memadai.

Montelukast, satu-satunya LTRA yang dilisensikan untuk digunakan pada


anak berusia <12 tahun. Montelukast adalah antagonis reseptor 1 tipe sisteinyl-
leukotriene yang digunakan dalam pengobatan asma bronkial di orang dewasa dan
anak-anak. Gangguan kejiwaan seperti agitasi, hiperaktif psikomotorik (termasuk
lekas marah dan gelisah), gangguan perhatian dan gangguan memori (dan lainnya)
terdaftar sebagai ADR Montelukast (Bernard et al., 2017).

Resiko penghentian obat yang berhubungan dengan ADR neuropsikiatrik


mengalami 12 kali lipat lebih tinggi pada anak-anak yang diobati dengan montelukast
dibandingkan ICS. Resiko yang diamati dengan proporsi neuropsikiatrik yang tinggi

9
secara tidak proporsional (60%). Pada laporan ADR terkait montelukast, anak-anak
lebih tinggi mengalami neuropsikatrik dibandingkan dengan orang dewasa, dengan
gejala depresi dan psikotik, gangguan tidur, dan bunuh diri menunjukkan peningkatan
kerentanan dibandingkan dengan orang dewasa. Dalam penelitian menyebutkan
bahwa 75% dari anak-anak berusia lebih dari 8 tahun, ADR yang paling sering adalah
lekas marah, agresivitas, dan gangguan tidur. Sedangkan pada balita adalah gangguan
tidur. Sedangkan pada anak-anak yang berusia 2-11 tahun gejala utamanya adalah
kecemasan dan depresi, dan pada remaja gejala utama adalah perilaku bunuh diri,
depresi dan kecemasan. Waktu timbulnya ADR bergantung pada efek neuropsikiatri
spesifik, dengan gangguan tidur, agitasi, gugup, dan psikotik gangguan berkembang
dalam beberapa jam hingga beberapa hari, sedangkan depresi dan perilaku bunuh diri
terjadi dalam beberapa bulan atau tahun perawatan. Namun tidak adanya pengamatan
langsung efek samping oleh seorang profesional kesehatan, untuk membuktikan
toksisitas dan dosis tetap mencegah penilaian variasi potensial dalam keparahan efek
samping dengan perubahan dosis, mengakibatkan hilangnya otomatis tiga dari 12 poin
pada skala Naranjo, membuatnya sulit untuk menyimpulkan "pasti". Komite ajudikasi
menilai sebagian besar ADR sebagai ringan atau sangat ringan; tidak diperlukan
intervensi atau perawatan di rumah sakit. ADR neuropsikiatrik pulih dengan cepat
biasanya dalam 3 hari penghentian (Bernard et al., 2017).

Gambar 3.2
Karakteristik
reaksi obat yang
merugikan dengan montelukast sebagaimana dipastikan oleh komite ajudikasi
(Bernard et al., 2017).

10
Montelukast dapat menyebabkan gejala neuropsikiatri pada anak-anak
dikarenakan montelukast dapat menghambat produksi neurotransmiter seperti
serotonin dan noradrenalin. Montelukast bahkan dapat menyebabkan penghambatan
permeabilitas sawar darah diotak. Pada anak –anak sering mengalami kejadian agitasi
yang lebih tinggi karena anak-anak memiliki lebih banyak energi karena gejala asma
yang ditimbulkan oleh montelukast dan orang tua dapat menafsirkan ini sebagai
perilaku abnormal atau agresi (de Vries dan van Hunsel 2016). Mekanisme efek
samping montelukast terjadi karena efeknya pada jenis cysteinyl leukotriene 1
(CysLT1) reseptor di sistem saraf pusat dengan menjadi sebuah antagonis reseptor
CysLT1. Peran reseptor CysLT1 di sistem saraf pusat terkait dengan perilaku dan efek
montelukast sebagai antagonis reseptor CysLT1 dan efek potensial dari montelukast
mungkin terjadi sebagai akibat dari kegiatan di luar target obat (Harmaan et al., 2017).

3.3 EVIDENCE BASED


3.3.1 EVIDENCE BASED 1
Neuropsychiatric adverse drug reactions in children initiated on
montelukast in real-life practice

Population : 106 partisipan (anak-anak berusia 1-17 tahun yang yang didiagnosis
asma)

Intervension : Intervensi pasien dimulai dengan memberikan montelukast setiap


hari sebagai monoterapi atau sebagai tambahan untuk ICS, sedangkan pasien kontrol
dimulai dengan ICS monoterapi, baik dengan dosis ICS ⩽250 μg / hari. Orang tua
dari pasien yang memenuhi syarat dihubungi melalui telepon atau secara langsung
oleh asisten peneliti yang terlatih. Menggunakan sebuah naskah wawancara tertutup,
kuesioner standar diberikan untuk mengidentifikasi ADR terkait penghentian obat.

Comparison : Penggunaan montelukast sebagai terapi tambahan untuk ICS


dibandingkan dengan penggunaan ICS

Outcomes : Risiko ADR neuropsikiatrik yang menyebabkan penghentian obat


adalah secara signifikan lebih besar dengan montelukast daripada ICS (risiko relatif
(RR) 12,0, 95% CI 1,60-90,2), Pos hoc analisis mengkonfirmasi risiko yang lebih

11
tinggi dari penghentian obat yang terkait dengan ADR yang dilaporkan orang tua
ketika membandingkan anak-anak di beri perlakuan dengan montelukast sebagai
monoterapi (RR 5.9, 95 CI 1.5–22.5) atau dengan montelukast sebagai monoterapi
atau terapi tambahan untuk ICS atau ICS / LABA (RR 7.1, 95% CI 2.1–23.4)
dibandingkan dengan ICS monoterapi. Pada anak-anak di mana ADR neuropsikiatrik
dipastikan mungkin berhubungan dengan montelukast.

3.3.2 EVIDENCE BASED 2


Montelukast and Neuropsychiatric Events in Children with Asthma: A Nested
Case Control Study

Population : Anak-anak dari umur 5-18 tahun dengan diagnosa asma sejak tahun
2004-2015 di China, Ontario, Canada yang di resepkan terapi rutin asma.

Intervension :

Kasusnya adalah anak-anak dengan kunjungan rawat inap atau gawat darurat dengan
kejadian neuropsikiatri. Kasus dicocokkan dengan 4 kontrol berdasarkan pada tahun
kelahiran, tahun diagnosis asma, dan jenis kelamin. Pasien yang diberikan resep untuk
montelukast (ya / tidak) dan jumlah resep montelukast yang dibagikan sebelum
tanggal indeks. Regresi logistik kondisional digunakan untuk mengukur unadjusted
OR dan AOR dan 95% CI untuk resep montelukast dengan kejadian neuropsikiatri.

Comparison : -

Outcomes :

Secara total, 898 kasus dengan peristiwa neuropsikiatrik dan 3497 kontrol yang
sesuai. Anak-anak yang pernah mengalami onset baru kejadian neuropsikiatrik
memiliki hampir 2 kali kemungkinan di resepkan terapi montelukast, dibandingkan
dengan kontrol (OR 1,91, 95% CI 1,15-3,18; P = 0,01). Sebagian besar kasus
mengalami kecemasan (48,6%) dan / atau gangguan tidur (26,1%). Kesimpulan Anak-
anak dengan asma yang mengalami peristiwa neuropsikiatrik dengan onset baru
hampir dua kali lipat memiliki kemungkinan telah diresepkan montelukast di tahun
sebelum kejadian terjadi. Dokter harus menyadari hubunga antara montelukast dan
kejadian neuropsikiatri pada anak dengan asma, untuk menginformasikan peresepan
dan tindak lanjut secara klinis.

12
BAB IV
PENUTUP

13
4.1 Kesimpulan
Asma adalah penyakit kronis variabel dari sistem pernapasan yang ditandai
oleh penyempitan saluran pernapasan kecil dan bronkiolus, ssma ditandai dengan
serangan sesak dada, batuk dan mengi akibat obstruksi jalan napas. Pada Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun sedang menderita asma. Kemudian berobat ke dokter
anak dengan kondisi rasa gugup akut, kegelisahan, dan lekas marah Pasien telah diberikan
dengan Tablet kunyah Montelukast dimulai dari empat bulan lalu. Kemudian kejadian
(Adverse Drug Reactions) Penggunaan terapi dengan Montelukast distop sehingga terjadi
perbaikan gejala. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Naranjo Scale termasuk dalam
kategori possible ADR dengan total nilai dari Naranjo scale point ke 1 dan 2 adalah yes,
sedangkan point lainnya tidak dihitung karena data pendukung tidak memadai.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti P. 2014. Prevalensi dan Gejala Klinis Obstruktive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien
Asma. J Indon Med. 61(7).

14
Benard, Bastien, Benjamin et al. 2017. Neuropsychiatric Adverse Drug Reactions in
Children Initiated on Montelukast in Real-life Practice. Canada: Universitas
Montreal.
De Vries TW and van Hunsel F. 2016. Adverse drug reactions of systemic antihistamines
in children in the Netherlands. Arch Dis Child 101: 968–970.
Masbimoro Waliyy E., 2019. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Umum Asma
dengan Tingkat Kontrol Asma di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Fitriani F., Yunus F., Rasmin M., 2015. Prevalence of Asthma In a Group of 13-14 Years
Old Students Using The ISAAC Written Questionnaire and Bronchial Provocation
Test in South Jakarta. Jurnal Respirologi Indonesia. 31:2.
Gibson, John. 2014. Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Glocker-Lauf et al.,2019. Montelukast and Neuropsychiatric Events in Children with
Asthma : A Nested Case-Control Study. The Journal of Pediatrics
Haarman, Hunsel, danVries. 2017. Adverse Drug Reactions Of Montelukast In Children And
Adults. Journal Pharmacol Res Perspect. Vol. 5.

Scholz, Banholzer, Haschke. 2019. Neuropsychiatric disorder and Montelukast: a case


report and VigiBase® analysis. Journal BMj. Vol 104. P:54-70.
Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner JR, et al. Clinical
practice guideline: allergic rhinitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2015;152(1)
Suppl;S1–43
Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2013.
Nugraheni, D. 2015. Peran Perawat tentang Penanganan Asma pada Anak di IGD
Puskesmas Sibela Mojosongo Surakarta. Skripsi. Stikes Kusuma Husada
Surakarta.

LAMPIRAN

15
16
17

Anda mungkin juga menyukai