***
Embargo
sampai
09.00
WIB,
18
November
2019
***
Industri
Pulp
Memperparah
Risiko
Kebakaran
Hutan
dan
Lahan
Gambut
Indonesia
“Dari
peringatan
kebakaran
di
delapan
konsesi
HTI
yang
terkena
dampak
paling
parah,
hampir
50%-‐nya
terdeteksi
di
areal
yang
sebelumnya
ditetapkan
sebagai
Fungsi
Lindung
Lahan
Gambut”
Jakarta,
18
November
2019–
Koalisi
Anti
Mafia
Hutan
hari
ini
menerbitkan
laporan
yang
menganalisa
peran
industri
pulp
atau
bubur
kertas
di
Indonesia
dalam
kebakaran
dan
kabut
asap
yang
kerap
terjadi
dan
menimpa
wilayah
Asia
Tenggara.
Menurut
perkiraan
Copernicus
Atmosphere
Monitoring
Service
di
Uni
Eropa,
terhitung
hingga
tanggal
14
November
2019,
kebakaran
hutan
dan
lahan
di
Indonesia
telah
melepaskan
sekitar
708
megaton
karbon
dioksida
(CO2),
atau
hampir
dua
kali
lipat
emisi
CO2
dari
kebakaran
di
hutan
Amazon,
Brasil.
Hampir
satu
juta
orang
di
Indonesia
menderita
infeksi
saluran
pernafasan
akut
sebagai
akibat
dari
asap
pekat.
Dana
Anak-‐anak
Perserikatan
Bangsa-‐Bangsa
(UNICEF)
memperkirakan
bahwa
10
juta
anak
di
Asia
Tenggara
pun
terkena
dampaknya.
Meskipun
pemilik
konsesi
Hutan
Tanaman
Industri
(HTI),
terutama
pemasok
kayu
ke
industri
milik
dua
produsen
bubur
kertas
terbesar
di
Indonesia
–
yaitu
Grup
Asia
Pulp
&
Paper
(APP)
dan
Asia
Pacific
Resources
International
Limited
(APRIL)
-‐-‐
mengklaim
akan
mengurangi
risiko
kebakaran
di
konsesinya,
akan
tetapi
kebakaran
serius
di
konsesi
HTI
tetap
terjadi
pada
tahun
ini.
Dari
delapan
kebakaran
terparah
di
konsesi
HTI,
enam
di
antaranya
merupakan
pemasok
APP
dan
satu
lainnya
pemasok
APRIL
(lihat
tabel
di
bawah).
Pada
2015,
kebakaran
dan
kabut
asap
diperkirakan
menghanguskan
2,6
juta
hektar
yang
menyebabkan
kerugian
ekonomi
sebesar
Rp
220
trilyun
(US$
16
milyar)
dan
dianggap
ikut
menyebabkan
kematian
dini
terhadap
lebih
dari
100.000
orang.
Beberapa
tempat
yang
mengalami
kebakaran
terparah
berada
di
dalam
konsesi
HTI.,
Alhasil,
beberapa
perusahaan
tersebut
telah
diselidiki
oleh
pihak
penegak
hukum
di
Indonesia
maupun
Singapura.
Pasca
kebakaran
tahun
2015,
alih-‐alih
mengurangi
kapasitas
produksi,
baik
APP
maupun
APRIL
malah
berinvestasi
untuk
membangun
kapasitas
pengolahan
baru.
Sudah
bisa
ditebak,
hal
ini
akan
memperparah
tekanan
terhadap
penggunaan
lahan
gambut.
APP
membuka
salah
satu
pabrik
bubur
kertas
terbesar
di
dunia
di
Provinsi
Sumatera
Selatan
akhir
2016.
Sebagian
besar
bahan
baku
kayunya
berasal
dari
areal
HTI
di
lahan
gambut
yang
dikeringkan,
termasuk
sebagian
areal
yang
mengalami
kebakaran
terparah
tahun
2015.
APRIL
mulai
memproduksi
jenis
pulp
baru
yang
diduga
memakai
proses
produksi
khusus
dengan
bahan
bakunya
kayu
Acacia
crassicarpa,
spesies
pohon
yang
hanya
ditanam
di
lahan
gambut.
Investasi
dalam
kapasitas
pengolahan
tersebut
akan
meningkatkan
ketergantungan
APP
dan
APRIL
pada
lahan
gambut
yang
telah
dikeringkan.
Restorasi
lahan
gambut
yang
dicanangkan
akan
semakin
sulit
dilakukan.
Koalisi
memperkirakan
risiko
kebakaran
lahan
gambut
semakin
meningkat
pada
tahun-‐tahun
mendatang,
jika
upaya
restorasi
lahan
gambut
secara
masif
di
konsesi
HTI
tidak
dilakukan.
Apalagi
siklus
El
Niño
akan
semakin
intens.
Sejumlah
brand
ternama
terlacak
menggunakan
produk
APP
maupun
APRIL
sebagai
bahan
bakunya.
Produk
APP
misalnya
digunakan
oleh
Nestlé
berdasarkan
informasi
yang
tersedia
di
website
perusahaan
tersebut.
Pulp
APRIL
dipasok
ke
perusahaan
terafiliasi
Sateri
untuk
diproses
lebih
lanjut
menjadi
viscose
staple
fiber
(VSF),
yang
digunakan
untuk
memproduksi
tekstil
sintetis.
Berdasarkan
laporan
tahun
2017
Changing
Markets,
pelanggan
Sateri
tampaknya
termasuk
pengecer
pakaian
yang
mendunia,
Zara
dan
H&M.
Untuk
menekankan
keterkaitan
antara
lahan
gambut
yang
dikeringkan
dan
risiko
kebakaran,
perlu
dicatat
bahwa
40%
titik
panas
tahun
2019
yang
terdeteksi
di
dalam
areal
konsesi
HTI
terjadi
di
lahan
gambut.
Setelah
kebakaran
tahun
2015,
Pemerintah
Indonesia
melindungi
12,4
juta
hektar
lahan
gambut
melalui
Peraturan
Pemerintah
Nomor
57
Tahun
2016
tentang
Perubahan
atas
Peraturan
Pemerintah
Nomor
71
Tahun
2014
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Ekosistem
Gambut
(PP
57/2016)
yang
mewajibkan
perusahaan
HTI
untuk
melakukan
kegiatan
pembasahan
kembali
dan
restorasi
gambut.
Namun,
pada
bulan
April
2019,
ketentuan
perlindungan
tersebut
dilemahkan
secara
signifikan
melalui
peraturan
baru
dari
Kementerian
Lingkungan
Hidup
dan
Kehutanan
(KLHK),
yaitu
Peraturan
Menteri
LHK
Nomor
P.10/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019
tentang
Penentuan,
Penetapan
dan
Pengelolaan
Puncak
Kubah
Gambut
Berbasis
Kesatuan
Hidrologis
Gambut
(P.10/2019).
Laporan
koalisi
menemukan
bahwa
hampir
50%
peringatan
kebakaran
di
delapan
konsesi
HTI
yang
mengalami
paling
banyak
titik
panas,
terjadi
di
dalam
areal
yang
telah
ditetapkan
sebagai
Fungsi
Lindung
Lahan
Gambut
berdasarkan
kebijakan
Pemerintah
sebelumnya
(PP.
57/2016)
tentang
pengelolaan
gambut.
Laporan
koalisi
tersebut
menyampaikan
rekomendasi
kepada
APP
dan
APRIL
beserta
perusahaan
pemasok
bahan
baku
kayunya
untuk
melakukan
restorasi
dan
perlindungan
secara
masif
di
ekosistem
gambut.
Untuk
mencapai
hal
ini,
perusahaan
tersebut
perlu
mengadopsi
rencana
kerja
yang
akuntabel
dengan
jadwal
yang
pasti
untuk
secara
bertahap
menutup
kegiatan
HTI
di
lahan
gambut.
Rekomendasi
laporan
ini
kepada
Pemerintah
Indonesia
yaitu
memperkokoh
ketentuan
mengenai
pengelolaan
dan
perlindungan
lahan
gambut,
serta
memperkuat
penegakan
hukum
sehingga
para
produsen
pulp/bubur
kertas
dan
pemegang
izin
HTI
dapat
dimintai
pertanggungjawaban
secara
hukum
karena
menyebabkan
kondisi
rentan
kebakaran
di
lahan
gambut.
Kontak:
Syahrul
Fitra,
Auriga:
syahrul@auriga.or.id
Aidil
Fitri,
Hutan
Kita
Institute:
aidilplg@gmail.com
Sergio
Baffoni,
Environmental
Paper
Network:
sergio.baffoni@environmentalpaper.org
Brihannala
Morgan,
Rainforest
Action
Network:
bmorgan@ran.org