Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemanasan global diperkirakan sebagai sumber terjadinya indikasi dari

perubahan iklim. Perubahan iklim mempengaruhi bergesernya musim hujan dan

kemarau, perubahan curah hujan, perubahan suhu untuk beberapa periode 30

tahunan (Samiaji, 2011). Beberapa penyebab terjadinya pemanasan global adalah

meningkatmya gas-gas rumah kaca, terutama sisa pembakaran yang mengudara

seperti karbon dioksida dan metana (Windarni, 2017). Disisi lain, meningkatnya

kebakaran hutan dan kematian berbagi vegetasi juga dapat melipatgandakan emisi

karbon di atmosfer, menjadikan sumbangan karbon di atmosfer meningkat

(Dokumen Diskusi CAN mengenai REDD, 2007). Sehingga dengan meningkatnya

jumlah karbondioksida di atmosfer dapat mengakibatkan temperatur di bumi

meningkat secara terus-menerus.

Dewasa ini muncul berbagai pertimbangan dalam mengatasi adanya

pemanasan global, salah satunya adalah dengan menjaga kelestarian hutan. Hutan

memiliki keanekaragaman struktur berupa tegakan pohon-pohon penyusun hutan,

sehingga hutan berperan penting sebagai penyediaan atmosfer udara yang baik serta

komponen oksigen yang stabil (Samsoedin et al., 2009 dalam Dewi, 2015). Setiap

Vegetasi hutan dapat melakukan proses fotosintesis. Tumbuhan memiliki

kemampuan sebagai pengonsumsi CO2 di atmosfer dan merubahnya menjadi

bentuk energi (gugus gula) yang bermanfaat bagi kehidupan, serta sebagian

besarnya tersimpan dalam bentuk biomassa (Junaedi, 2007).


Kemampuan hutan dalam menyerap karbon tergantung pada tipe hutan.

Salah satu tipe hutan dalam kemampuan menyerap karbon yaitu ekosisiem hutan

pegunungan rendah yang terdapat di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

Ekosistem hutan ini memiliki fungsi ekologis yaitu berperan dalam pelestarian

keanekaragaman hayati dan upaya mitigasi pemanasan global melalui kemampuan

setiap vegetasi yang terdapat di dalam hutan sebagai penyimpan karbon. Ekosistem

hutan pegunungan rendah dapat memanfaatkan CO2 sebagai proses fotosintesis dan

menyimpannya dalam cadangan biomassa sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.

Hutan pegunungan rendah merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan

yang terdapat di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara. Jenis

tegakan vegetasi yang terdapat didalam kawasan ini terdiri dari jenis tumbuhan

yang dapat hidup di dalam genangan air atau rawa-rawa sekunder dan jenis yang

hidup diwilayah terestrial. Keberadaan dari tegakan-tegakan vegetasi ini kemudian

yang menjadi pemeran utama sebagai penghasil jasa penyerapan karbon yang

terdapat di udara. Karbon-karbon ini kemudian diserap dan sebagai gantinya

vegetasi menghasilkan oksigen yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh karena itu,

maka perlunya kajian untuk menegtahui jasa lingkungan karbon pada tegakan yang

terdapat di hutan pegunungan rendah Taman Nasioana Rawa Aopa Watumohai.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dalam praktikum ini yaitu untuk mengetahui jasa lingkungan karbon

pada tegakan hutan pegunungan rendah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

Manfaat dalam praktikum ini yaitu dapat memberikan informasi mengenai

jasa lingkungan karbon pada tegakan yang terdapat dihutan pegunungan rendah

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kawasan Konservasi

Konservasi berasal dari kata conservation (con = togother, servare = keep

atau save) yang dapat diartikan sebagai upaya untuk memelihara apa yang kita

punga secara arif dan bijaksana ( Hamzah, 2014). Kawasan konservasi dapat

diistilahkan sebagai kawasan yang memiliki fungsi utama pengawetan

kanegaragaman hayati (Wiryono, 2003). Dalam UU No. 5 Tahun 1990 menyatakan

bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam

hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin

kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Dasar hukum hutan konservasi yang termaktub dalam UUD Kehutanan

No. 41 Tahun 1999 yang bebunyi hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan

ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Salah satu contoh kawasan konservasi

ialah kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Amolengu Desa Amolengo Kecamatan

Kolono Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.

2.2. Taman Nasional

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990

Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Bab VII pasal

30 menyebutkan bahwa kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan

sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Suatu taman nasional dicirikan oleh keberadaannya sebagai kawasan

konservasi untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang

penting secara nasional ataupun internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan

ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alam ini relatif cukup luas dan materinya

tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumber daya. Secara

terperinci, suatu taman nasional mempunyai fungsi sebagai berikut: (1)

mempertahankan contoh ekosistem dalam kondisi alaminya; (2) mempertahankan

keanekaragaman ekologi dan pengaturan lingkungan; (3) melestarikan sumber daya

plasma nutfah; (4) menyediakan pendidikan, penelitian dan pemantauan lingkunga;

(5) melestarikan kondisi kawasan tangkap air; (6) mengendalikan erosi, sedimentasi

dan melindungi investasi kawasan liar; (7) menyediakan pelayanan rekreasi dan

pariwisata; (8) melindungi keindahan alam dan tempat terbuka; (9).mendorong

pemanfaatan rasional dan berkelanjutan dari kawasan marginal dan pembangunan

(Anggraeni, 2017).

Taman nasional memiliki fungsi dan manfaat sebagaimana tertuang pada

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Bab VII pasal 31 ayat 1 yang

menyebutkan bahwa di dalam Taman Nasional dapat dilakukan kegiatan untuk

kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

budaya, dan wisata alam (Anggraeni, 2017). Dimana pada suatu taman nasional

terdapat zonasi atau penetapan kawasan sebagaimana yang tercantum pada

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut-Ii/2006 Tentang Pedoman

Zonasi Taman Nasional Menteri Kehutanan, Bab II pasal 3 ayat 1 yang

menyebutkan bahwa Taman Nasioanl memiliki; (1) zona inti, yaitu mewakili
formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas

ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan

belum diganggu oleh manusia; (2) zona rimba, yaitu kawasan yang merupakan

habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan mendukung upaya

perkembangbiakan dari jenis satwa liar; (3) zona pemanfaatan, yaitu kawasan yang

mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem

tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik, serta mempunyai luasan

yang cukup untuk menjamin kelestarian potensl dan daya tarik untuk dimanfaatkan

bagi mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam,

rekreasi, penelitian dan pendidikan; (4) zona lainnya, yaitu kawasan seperti zona

tradisional, rehabilitasi.religi, budaya, dan sejarah. Penataan dan penetapan zonasi

taman nasional tersebut didasarkan pada potensi dan juga fungsi yang ada di setiap

taman nasional dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi, dan juga

budaya.

2.3. Jasa Lingkungan

Jasa lingkungan didefinisikan sebagai jasa yang diberikan oleh fungsi

ekosistem alam maupun buatan yang nilai dan manfaatnya dapat dirasakan secara

langsung (tangible) maupun tidak langsung (intangible) oleh para pemangku

kepentingan (stakeholder) dalam rangka membantu memelihara dan/atau

meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan

pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan (Suprayitno 2008). Ada empat jasa

lingkungan yang paling banyak dibayarkan yaitu penyerapan karbon, konservasi

keanekaragaman hayati, perlindungan DAS dan keindahan lanskap

(Landell-Mills dan Porras 2002).


Menurut RUPES (2009), definisi jasa lingkungan adalah penyediaan,

pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi

alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Jadi

dengan demikian, pemanfaatan jasa lingkungan adalah suatu upaya pemanfaatan

potensi jasa (baik berupa jasa penyediaan, jasa pengaturan, jasa budaya, maupun

jasa pendukung) yang diberikan oleh fungsi ekosistem dengan cara tidak merusak

dan tidak mengurangi fungsi pokok ekosistem tersebut

Salah satu bentuk jasa lingkungan yang keberadaannya menyangkut hajat

hidup orang banyak adalah air. Pada pengelompokan jasa lingkungan bentuk jasa

lingkungan air termasuk ke dalam jasa perlindungan DAS. Dixon dan Easter (1986)

menyebutkan bahwa DAS merupakan penyatu ekosistem alami antara wilayah hulu

(dari puncak gunung/bukit) dengan wilayah hilir (sampai dengan muara sungai dan

wilayah pantai yang masih terpengaruh daratan) melalui siklus/daur hidrologi/air.

Daerah hulu yang biasanya berupa kawasan hutan berfungsi sebagai penyedia air

bagi masyarakat di sekitar kawasan maupun pengguna air di bagian hilir.

Pemanfaatan jasa lingkungan air dari maupun di kawasan hutan telah

dilakukan tanpa disadari oleh masyarakat, serta telah berlangsung baik secara non

komersial (digunakan oleh masyarakat setempat guna keperluan rumah tangga)

maupun komersial (perusahaan air minum, perusahaan air minum dalam kemasan,

pembangkit listrik/hydro-power, perhotelan, perkebunan, dan lain-lain).

Pemanfaatan air di dalam kawasan hutan ataupun hulu yang berkaitan dengan

kelestarian ekosistem kawasan hutan belum diatur dalam regulasi. Sedangkan untuk

pemanfaatan air di luar kawasan hutan ataupun hilir telah ada beberapa undang-

undang dan peraturan. Beberapa peraturan tersebut umumnya 7 belum


mengakomodir kepentingan bagi pendanaan untuk kepentingan pengelolaan dan

kelestarian ekosistem hutan di bagian hulu (Suprayitno 2008).

2.4. Biomassa dan Karbon

2.4.1. Biomassa

Energi biomassa telah ada sejak lama sebelum orang berbicara tentang

energi terbarukan atau sumber energi alternatif. Ada suatu masa ketika kayu adalah

bahan bakar utama untuk pemanasan dan memasak di seluruh dunia. Hal tersebut

sampai saat ini masih berlaku dibeberapa negara seperti Indonesia, meskipun sudah

mulai sedikit lagi penggunanya (Tajalli, 2015).

Biomassa merupakan sumber daya terbaharui dan energy yang diperoleh

dari biomassa disebut energi terbarukan. Biomassa disebut juga sebaga “fitomassa”

dan seringkali diterjemahkan sebagai bioresource atau sumber daya yang diperoleh

dari hayati. Basis sumber daya meliputi ratusan dan ribuan spesies tanaman, daratan

dan lautan, berbagai sumber pertanian, perhutanan, dan limbah residu dan proses

industri, limbah dan kotoran hewan. Tanaman energi yang membuat perkebunan

energi skala besar akan menjadi salah satu biomassa yang menjanjikan, walaupun

belum dikomersialkan pada saat ini. Biomassa secara spesifik berarti kayu, rumput

Napier, rapeseed, eceng gondok, rumput laut raksasa, chlorella, serbuk gergaji,

serpihan kayu, jerami, sekam padi, sampah dapur, lumpur pulp, kotoran hewan, dan

lain-lain (Yokoyama, 2008).

Penilaian biomassa penting untuk berbagai tujuan yaitu untuk penggunaan

sumber daya dan pengelolaan lingkungan. Pada tujuan penggunaan sumberdaya,

dilakukan untuk mengetahui banyaknya bahan bakar kayu yang tersedia untuk
digunakan dan mengetahui banyaknya biomassa yang tersedia pada satu waktu

tertentu. Sedangkan pada tujuan dalam pengelolaan lingkungan, penilaian biomassa

adalah penting untuk menilai produktivitas dan keberlanjutan hutan. Biomassa juga

merupakan indikator penting dalam penyerapan karbon, sehingga dapat diketahui

berapa banyak biomassa yang hilang atau terakumulasi dari waktu ke waktu

(Zheng et al., 2004 dalam Rakhmawati, 2012).

2.4.2. Karbon

Isu emisi karbon yang semakin gencar saat-saat ini membuat para pengelola

hutan harus lebih bijaksana dalam mengelola hutan. Demikian juga halnya dengan

kegiatan pemanenan kayu di hutan tanaman rawa gambut. Karbon merupakan

komponen utama penyusun biomassa tanaman melalui proses fotosintesis. Adanya

peningkatan karbondioksida di atmosfer secara global telah menyebabkan

timbulnya masalah lingkungan. Hutan tanaman selain diharapkan mampu

menggantikan peran utama hutan alam dalam menyediakan kebutuhan bahan baku

kayu bagi industri perkayuan di Indonesia, dikarenakan semakin menurunnya

potensi kayu dari hutan alam (Yuniawati dan Sona, 2014).

Jumlah cadangan karbon antar lahan berbeda-beda, tergantung pada

keanekaragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara

pengelolaannya. Penyimpanan karbon pada suatu lahan menjadi lebih besar bila

kondisi kesuburan tanahnya baik, karena biomasa pohon meningkat, atau dengan

kata lain cadangan karbon di atas tanah (biomasa tanaman) ditentukan oleh

besarnya di dalam tanah (bahan organik tanah). Untuk itu pengukuran banyaknya

karbon yang disimpan dalam setiap lahan perlu dilakukan (Hairiah et al., 2011).
Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui proses

fotosinthesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya

karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan menempati

salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun vegetasi baik

pohon, semak, liana dan epifit merupakan bagian daribiomassa atas permukaan.

Dibawah permukaan tanah, akar tumbuhan juga merupakan penyimpan karbon

selain tanah itu sendiri. Pada tanah gambut, jumlah simpanan karbon mungkin lebih

besar dibandingkan dengan simpanan karbon yang ada di atas permukaan. Karbon

juga masih tersimpan pada bahan organic mati dan produk-produk berbasis

biomassa seperti produk kayu baik ketika masih dipergunakan maupun sudah

berada di tempat penimbunan. Carbon dapat tersimpan dalam kantong karbon

dalam periode yang lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang

tersimpan dalam karbon pool ini mewakili jumlah carbon yang terserap dari

atmosfer (Sutryo, 2009).


III. METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 2019 pukul 08.00

WITA sampai selesai. Praktikum yang dilakukan bertempat di kawasan hutan

pegunungan rendah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Provinsi Sulawesi

Tenggara.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah tegakan hutan

pegunungan rendah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Alat yang digunakan

dalam praktikum ini adalah : pita meter, tally sheet, alat tulis dan handphone.

3.3. Prosedur Praktikum

Prosedur praktikum valuasi jasa ekosistem hutan di hutan pegunungan

rendah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai adalah sebagai berikut :

1. Menyiapkan alat yang akan digunakan utntuk memepermudah dalam proses

pengambilan data yang dilakaukan dengan cara pengukuran langsung

dilapangan.

2. Mengukur setiap keliling tegakan yang berada di jalur tracking hutan

pegunungan rendah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

3. Mengidentifikasi setiap jenis tegakan yang di ukur.

4. Mengambil titik kooordinat setiap tegakan yang di ukur.


3.4. Analisis Data

Perhitungan stok karbon dilakukan dengan menggunakan persamaan

alometrik melalui pengolahan data yang meliputi penghitungan biomassa dan stok

karbon pada seluruh komponen di atas permukaan tanah. Biomassa dan stok karbon

pada masing-masing komponen dihitung dengan cara berbeda. Data yang diperoleh

dilapangan di analisis dengan menggunakan beberapa persamaan yaitu:

1. Untuk menghitung nilai biomassa karbon tumbuhan berkayu digunakan

persamaan alometrik (Kalterings, 2011 dalam Former, 2014) sebagai berikut:

BK = 0,11 × 𝜌 × 𝐷2,62

Keterangan :

BK : Berat kering

𝜌 : Berat jenis kayu (gram/cm3)

D : Diameter pohon (cm)

2. Biomassa perstuan luas (Ton/Ha)

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
𝐵𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑎𝑠 = (Hairiah, et al., 2009)
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎

3. Estimasi jumlah karbon tersimpan pada bagian atas tanah

𝑆𝑡𝑜𝑘 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛 = 𝐵𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑎𝑠 × 0,46


Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Sekretariat Negara.
Jakarta.

Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut II/2006


tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Menteri Kehutanan. Sekretariat. Jakarta.

RUPES (Rewards For Use Of And Shared Investment In Pro-Poor Environmental Service).
2009. Gagas Kebijakan Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan di
Indonesia. Bogor: RUPES World Agroforestry Center ICRAF Southeast Asia Regional Office.

Anda mungkin juga menyukai