Anda di halaman 1dari 3

Latar belakang REDD+

Deforetai dan degradai hutan adalah kegiatan penggundulan hutan dan pemanfaatan lahan.
Kegiatan penggundulan hutan ini dilakukan dengan cara menebang pohon, membakar pohon atau
mengubah hutan menajdi padang rumput, lahan pertanian, hingga memproduki kayu. Edangkan
kegiatan pemanfaatan lahan dilakukan dengan cara yang hampir ama dengan penggundulan hutan,
namun peredaannya pemanfaatan lahan mempunyai dampak pada pengubahan hutan yaitu
menghailkan ga yang berlebihan pada atmosfer dan memberikan dampak buruk bagi bumi.

Deforestasi dengan kegiatan penggundulan atau penebangan hutan menjadi cara untuk mencapai
tujuan yaitu membangun ekonomi baik pada tahap awal maupun akhir pengembangan ekonomi
suatu negara. Hutan ditebang untuk menghasilkan kayu, makanan dan sumber energi lain pada masa
awal pengembangan ekonomi negara, kemudian hutan dieksploitasi kembali untuk menghasilkan
minyak, bahan bakar hayati, minyak dan gas pada masa akhir pembangunan ekonomi negara.
Penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi dikarenakan beberapa hal, namun berbeda daerah
akan berbeda pula alasan penyebabnya. Namun, penyebab utama terkait deforestasi dan degradasi
adalah perubahan hutan menjadi padang rumput peternakan, pertanian, industri serta pembalakan
kayu tropis untuk keperluan ekspor. Selama beberapa tahun terakhir hasil panen untuk bahan
makanan, pakan ternak, bahan bakar dan komoditas lain yang mengancam keberlangsungan hutan
mengalami peningkatan jumlah permintaan, sehingga berdampak pada lebih dari 50% deforestasi
dan 60% degradasi hutan di negara tropis dan negara subtropis. Hal ini berdampak pada perubahan
iklim, jasa ekosistem (lingkungan) dan keberlanjutan pembangunan ekonomi jangka panjang sebuah
negara.

Pohon mengandung emisi karbondioksida, jika pohon dibakar maka emisi karbondioksida akan lepas
dan berubah menjadi karbon dengan proses yang sangat cepat. Jika hal ini terus terjadi dalam waktu
yang cukup lama, maka deforestasi hutan tidak dapat dihindari. Sejak tahun 1980 hingga tahun
1990, data peliputan tentang REDD+ menunjukkan angka pada 8 juta hingga 16 juta hektar hutan
dunia dirusak setiap tahunnya, dari perusakan ini terjadi pelepasan karbon ke atmosfer sejumlah 0,8
milyar hingga 2,4 milyar ton karbon. Data tahun selanjutnya yaitu tahun 1990 sampai tahun 2005
sekitar 13 juta hektar per tahun lahan hutan berubah menjadi lahan pertanian. Setiap tahun
terdapat sekitar 1,7 juta ton karbon terlepas dari pohon akibat dari pemanfaatan lahan terutama di
hutan negara tropis. Angka ini mewakili 17% emisi global tahunan, dimana angka 17% tersebut
merupakan angka besar yang melebihi emisi dari sektor transportasi dunia.

Total wilayah hutan dunia mencapai sekitar 4 milyar hektar area, dimana area hutan ini merupakan
30% dari wilayah daratan bumi, sisanya 70% merupakan tempat pemukiman bagi penduduk bumi.
Dari total 4 milyar hektar area hutan, 56% hutan berlokasi di wilayah tropis dan subtropis, sisanya
44% lokasi hutan menyebar di belahan dunia. Hutan menjadi sumber kehidupan bagi penduduk
dunia, sekitar 1,2 milyar penduduk dunia menggantungkan hidup dari hasil hutan, 2 milyar
penduduk dunia menggunakan bahan bakar biomassa terutama kayu bakar untuk keperluan
memasak dan menghangatkan rumah. Jumlah ini merupakan sepertiga dari populasi penduduk
dunia.

Deforestasi dapat diketahui dengan cara mengukur menggunakan beberapa instrumen


penginderaan jauh yang digabungkan dengan survei lapangan. Selain itu biomassa hutan bergantung
pada kemampuan teknologi dan pengawasan hutan, sehingga pada setiap negara tropis akan
dihasilkan angka yang berbeda-beda. Metodologi pengukuran deforestasi mempunyai banyak cara,
namun hingga saat ini yang terus berhasil mengukur deforestasi setiap tahun adalah negara Brazil
dan India, cara yang digunakan adalah dengan menggunakan data dari satelit yang beresolusi tinggi.
Intergovernmental Panel on Climate (IPCC) telah menyetujui metode standard untuk mengukur
emisi dari deforestasi, yaitu dengan cara semakin tinggi resolusi dari satelit maka semakin mudah
untuk mengukur deforestasi. Jika mengukur deforestasi dapat dilakukan melalui data dari satelit,
maka untuk mengetahui kadar ukuran degradasi yang terbaik adalah dengan cara melakukan
pengukuran di lapangan secara langsung.

Isu pembahasan emisi karbondioksida pertama kali dibahas oleh ilmuwan Swedia yaitu Svante
Ahrrenius pada tahun 1898. Svante mengatakan bahwa emisi karbondioksida bisa menjadi penyebab
utama untuk pemanasan global. Namun seiring kemunculan isu lainnya, isu pemanasan global
kembali tenggelam. Pada tahun 1950, sebuah koran di Amerika yaitu Saturday Evening Post
memberitakan isu pemanasan global, namun isu ini kembali dianggap sebagai isu yang tidak terlalu
penting. Hingga pada tahun 1960, para peneliti mendebatkan isu ilmiah baru seperti perang nuklir,
namun hanya sedikit orang yang mengetahui isu tersebut. Ketika perdebatan ilmiah semakin
berkembang pada tahun 1970 isu terkait pendinginan global banyak diperbincangkan oleh banyak
orang. Isu pemanasan global kurang menarik banyak perhatian penduduk dunia, karena belum ada
pihak yang bisa membuktikan bahwa pemanasan global dapat mengancam keberlangsungan hidup
manusia. Pada akhir tahun 1970 National Aeronautics and Space Administration (NASA)
mengkonfirmasi bahwa kadar karbondioksida terus bertambah di udara, maka hal ini dapat menjadi
pemicu utama atas pemanasan global. Uji coba model berbasis komputer kemudian berkembang
pesat, model-model yang dapat memberikan informasi dan mengkonfirmasi terkait isu pemanasan
global terus berjalan. Hingga pada akhirnya ditemukan sebuah perubahan di atmosfer secara
empirik terkait kebenaran simulasi-simulasi komputer dengan temuan-temuan ilmiah.

Situasi menjadi serius pada tahun 1985 ketika ditemukan lubang pada lapisan ozon, meskipun masih
belum ditemukan perbedaan antara pengurangan ozon dengan perubahan iklim, namun penemuan
ini menjadi sebuah tanda bahwa atmosfer bumi telah mengalami kerentanan dengan adanya bukti
nyata berdasarkan foto dari satelit. Setelah penemuan tersebut, isu perubahan iklim menjadi isu
yang wajib untuk diperdebatkan. Menurut beberapa politisi konservatif terkait isu perubahan iklim
tidaklah perlu dibahas menjadi isu yang istimewa, namun disisi lain para politisi tingkat global telah
melakukan perundingan tentang isu perubahan iklim. Dalam perundingan tersebut, telah dihasilkan
analisa kuat dari negara-negara bagian selatan untuk menekan negara maju agar keadilan global
terwujud lewat pembagian sumber daya yang merata. Negara-negara selatan menekankan bahwa
isu perubahan iklim merupakan bukti yang sangat kuat atas ketidakadilan pembangunan, karena
penyebab utama dari peningkatan emisi global adalah penggunaan sumber daya bumi yang boros
oleh negara maju yang mengakibatkan dampak negatif bagi negara berkembang. Oleh karena itu,
karena peningkatan penemuan ilmiah mengenai perubahan iklim semakin meningkat juga maka
diperlukannya sebuah perundingan melalui konferensi.

IPCC dan INC/FCC

Efek penemuan ilmiah atas perubahan iklim yang pada akhirnya membuat negara-negara
berkembang dan negara maju sepakat untuk membentuk konferensi antar pemerintah yang fokus
pada perubahan iklim. Tahun 1998, konferensi pertama diselenggarakan di Toronto, Kanada,
konferensi ini membahas kerangka kerja global yang komprehensif untuk melindungi atmosfer.
Mengarah pada proposal yang diajukan, Majelis Umum PBB memberikan respon terkait perubahan
iklim dengan mengadopsi resolusi 43/53. Resolusi ini berisi dua aspek yaitu pengakuan atas
perubahan iklim yang menjadi masalah bersama karena iklim merupakan masalah untuk
keberlangsungan kehidupan dan kedua adalah penentuan atas tindakan yang perlu diambil dalam
jangka waktu yang tepat untuk diambil dalam kerangka kerja global untuk menghadapi perubahan
iklim. Setelah mengidentifikasi perubahan iklim sebagai masalah penting pada tahun 1979 disusun
sebuah Program Iklim Dunia (World Climate Programmer). Para peneliti terus melakukan penelitian
ilmiah pada perubahan iklim untuk mendukung pembuatan kebijakan, UNEP dan WMO melanjutkan
dengan membentuk IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Tugas dari IPCC adalah
untuk melakukan asesmen terhadap pengetahuan tentang sistem iklim dan perubahan iklim
lingkungan, serta dampak sosial dan ekonomi dari perubahan iklim. Laporan pertama yang
dikerjakan oleh IPCC pada tahun 1990, laporan ini berisi tentang persetujuan dari para ilmuwan atas
kajian ilmiah dari perubahan iklim. Laporan ini memberikan efek kuat bagi pembuat kebijakan publik
dan berpengaruh terhadap negosiasi atas konvensi perubahan iklim. Tahun 1990, konferensi kedua
IPCC diselenggarakan di Genewa yang dihadiri oleh para menteri-menteri negara, dalam pertemuan
konferensi ini dilahirkan Deklarasi Menteri yang berisi upaya nyata termasuk rekomendasi untuk
membentuk perjanjian kerangka kerja mengenai perubahan iklim. Isi dari deklarasi tersebut
diantaranya yaitu pertama disepakati bahwa tidak ada target spesifik atas pengurangan emisi, kedua
dukungan terhadap beberapa prinsip dalam pengembangan konvensi perubahan iklim, dan ketiga
jika terjadi ancaman serius atau kerugian yang tidak bisa dihindari sehingga kurangnya kepastian
ilmiah tidak akan menjadi alasan untuk menunda tindakan efektif untuk mencegah mutu lingkungan.
Setelah dibentuk IPCC dan memberikan hasil nyata dari penelitian para ilmuwan, masyarakat
internasional mulai menujukkan reaksi positif meskipun tidak secara langsung namun banyak berita
tentang pemanasan global yang diberitakan secara terus-menerus. Sehingga, karena pemberitaan
yang berkelanjutan Majelis Umum PBB pada tahun 1990 melakukan perundingan untuk membentuk
sebuah perjanjian. Hasilnya didapatkan yaitu resolusi 45/21 bahwa Majelis Umum PBB membentuk
The Intergovernment Negotiating Commitee for a Framework Convention on climate Change
(INC/FCCC).

INC/FCCC merupakan wadah utama dan satu-satunya untuk proses negosiasi antar pemerintah di
bawah naungan Majelis Umum PBB. Sejak Februari 1991 hingga Mei 1992 telah dilaksanakan empat
kali pertemuan oleh INC/FCCC . dalam pertemuan ini disusunlah sebuah kerangka kerja perubahan
iklim dengan waktu yang terbatas agar bisa mencapai pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi di
Rio de jeneiro Brazil tahun 1992. Setelah pembentukan INC/FCCC yang hanya 15 bulan, pada bulan
Mei 1992 INC akhirnya memberikan draf akhr untuk diajukan ke New York yang diakibatkan karena
perdebatan antar negara untuk mencapai kepentingan masing-masing yang membuat pada
pertemuan berikutnya membentuk kerangka kerja baru.

Anda mungkin juga menyukai