Anda di halaman 1dari 122

NAMA : RONA ULI MANURUNG

NIM : E1A019090

KELAS : D/VI

MATA KULIAH : EKOLOGI TUMBUHAN

DOSEN PENGAMPU : Dr.Drs. Abdul Syukur, M.Si

TUGAS 4

1. Diskripsi atau definisi dari istilah, vegetasi, tumbuhan, dan flora

2. Diskripsi dan contoh-contoh lifeform (bentuk hidup)

3. Definisi dari organisasi tumbuhan atau vegetasi dari spesies sampai komunitas dan contohnya

Jawab :

1. Vegetasi adalah komunitas tanaman atau tumbuhan yang hidup dalam habitat tertentu.
Vegetasi memiliki struktur. Struktur vegetasi dapat didefinisikan sebagai organisasi
individu-individu tumbuhan dalam ruang yang membetuk tipe vegetasi atau asosiasi
tumbuhan. Kershaw (19723) mengemukakan bahwa pembentuk vegetasi dibatasi oleh tiga
komponen pokok yaitu, 1) Stratifikasi yang adalah lapisan penyusun vegetasi (strata) yang
dapat terdiri dari pohon, tiang, perdu, sapihan, semai dan herba. 2) Sebaran horizontal dari
jenis penyusun vegetasi tersebut yang menggambarkan kedudukan antar individu.
3)Banyaknya individu (abundance) dari jenis penyusun vegetasi tertentu. Struktur dan
komposisi vegetasi tumbuhan dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang saling
berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami merupakan hasil interaksi
berbagai faktor lingkungan. Pendeskripsian vegetasi berdasarkan physiognomynya
dilakukan dengan cara menganalisis penampakkan luar vegetasi yaitu memanfaatkan ciri-
ciri-ciri utama. Struktur vegetasi adalah suatu organisasi individu–individu di dalam ruang
yang membentuk suatu tegakan (Mueller & Ellenberg, 1974). Tumbuhan adalah kumpulan
individu yang membentuk komunitas (vegetasi). Flora adalah istilah yang digunakan untuk
segala macam jenis tumbuhan atau tanaman yang memiliki klasifikasi yang hidup disuatu
habitat tertentu. Sesuai dengan kondisi lingkungannya, flora di suatu tempat dapat terdiri
dari beragam jenis yang masing-masing dapat terdiri dari beragam variasi gen yang hidup
di beberapa tipe habitat (tempat hidup). Apabila istilah flora ini dikaitkan dengan life-form
(bentuk hidup/habitus) tumbuhan, maka akan muncul berbagai istilah seperti flora pohon
(flora berbentuk pohon), flora semak belukar, flora rumput, dan sebagainya.
Istilah vegetasi berbeda, dan lebih luas cakupannya, dari flora.
2. Bentuk hidup (life form) adalah ukuran dan kenampakan umum tumbuhan atau habitus
tumbuhan sering didasarkan pada ukuran relatif tumbuhan. Variasi habitus tumbuhan pada
umumnya dikenal sebagai tumbuhan pohon, perdu, semak, dan herba. Bentuk hidup (life
form) penting untuk mendiskripsikan tumbuhan karena adanya “main ‘biological’
deviation from a straight physical/physiological characterisation of the vegetation”
(Tunstall, 2008). Bentuk kehidupan (life form) merupakan keseluruhan proses hidup dan
muncul secara langsung sebagai respon atas lingkungan. Bentuk kehidupan (life form)
dikelompokkan atas dasar adaptasi organ kuncup untuk melalui kondisi yang tidak
menguntungkan bagi tumbuhan (Chain,1950). Contoh-contoh life form (bentuk hidup)
ialah sebagai berikut,

Fanerofit : Merupakan kelompok pohon dan perdu yang mempunyai kuncup-kuncup


terminal tumbuh dari tahun ke tahun. Kuncup mencuat/terbuka ke udara. Berdasar ukuran
ketinggiannya kelompok ini sering di pecah lagi menjadi:
Megafanerofit: tinggi lebih 30 m
Mesofanerofit: tinggi 7,5 – 30 m
Mikrofanerofit: tinggi 2 – 7,5
Nanofanerofit: tinngi 0,25 – 2 m
Kamefit : Tumbuhan di permukaan tanah. Kuncup-kuncup terminal tumbuh dari tahun ke
tahun dekat dengan permukaan tanah (0-0,25 m) Jika kuncup-kuncup tumbuh lebih dari
0,3 m selama musim tumbuh, kuncup-kuncup itu akan mati dan digantikan kuncup kuncup
baru musim berikutnya. Kuncup-kuncup baru tumbuh dari batang tua yang masih tetap
hidup. Kelompok ini mencakup perdu-perdu kecil dan berbagai tumbuhan yang batangnya
menjalar di atas tanah atau membentuk rumpun yang rapat.
Hemikriptofit : Merupakan kelompok tumbuhan yang mempunyai kuncup-kuncup yang
tumbuh dari tahun ke tahun pada permukaan tanah dimana mereka dilindungi oleh tanah
sekelilingnya dan oleh sistem pucuk dari musim sebelumnya. Tumbuhan kelompok ini
sering mempunyai akar yang besar dan membengkak dan pada permukaan tanah ditutupi
oleh batang yang memadat. Dari bagian tersebut daun-daun dan kuncup-kuncup cabang
tumbuh setiap tahun. Kelompok khas tumbuhan ini adalah kelompok tumbuhan berbentuk
roset.
Kriptofit : Kelompok ini mempunyai perlindungan yang lebih besar dari pada kelompok
hemikriptofit. Kuncup-kuncup terminal tumbuh di dalam terkubur dalam tanah. Kelompok
tumbuhan ini dibagi menjadi: Geofit: Tumbuhan tanah dengan kuncup terminal terkubur
di bawah tanah, misalnya: umbi lapis, umbi, rimpang dll. Helofit: Tumbuhan rawa
musiman dengan kuncup-kuncup dalam lumpur dan terendam air Hidrofit: Tumbuhan air
dengan kuncup-kuncup yan tumbuh di permukaan air.
Terofit : Tumbuhan yang menyelesaikan daur hidupnya dalam waktu singkat, kurang dari
setahun. Adaptasi terhadap kondisi ekstrem dalam bentuk biji.
Batang sukulen dan epifit : Kedua kelompok ini merupakan tumbuhan cirri khas di habitat-
habitat tertentu. Kaktus merupakan contoh batang sukulen. Bromeliacae dan Orchidaceae
merupakan epifit yang tumbuh di cabang-cabang pohon hutan tropis.

Deskripsi bentuk hidup tumbuhan menurut Raunkiaer ini paling banyak digunakan diantara
sistemsistem lainnya yang diajukan Warming tahun 1909, Dansereau tahun 1957,
Ellenberg dan Muller-Dombois tahun 1974, Box tahun 1981 (Rana et al., 2002). Konsep
bentuk hidup menurut Raunkiaer tepat digunakan karena mengenali dan mengetahui jenis
tumbuhan di alam liar secara cepat sulit dicapai.

3. Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis


yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Vegetasi dalam ekologi adalah istilah untuk
keseluruhan komunitas tanaman. Berbagai tipe hutan, kebun, padang rumput, dan tundra
merupakan contoh-contoh vegetasi (Laksana, 2017). Dalam mekanisme kehidupan
bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun
vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem
yang hidup dan tumbuh serta dinamis. Arrijani dkk., (2006), mengatakan bahwa kehadiran
vegetasi akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang
lebih luas. Spesies adalah beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat
saling membuahi satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen) namun tidak
dapat dengan anggota kelompok yang lain. Populasi adalah sekumpulan individu dengan
ciri-ciri yang sama (spesies). Komunitas adalah sekelompok tumbuh-tumbuhan yang hidup
di suatu habitat atau tempat. Dalam suatu vegetasi tumbuhan, berbagai macam jenis
tumbuh-tumbuhan yang membentuk suatu komunitas di suatu habitat, tidak saja
berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain tetapi juga menunjukkan berbagai
penampilan sebagai reaksi dan responnya terhadap habitat dan lingkungan di sekelilingnya.
Penampilan tumbuh-tumbuhan dalam suatu komunitas pada umumnya tergantung dari
struktur komunitas dan komposisi jenis tumbuhannya, misalnya jenis-jenisnya, bentuk
hidup (life form), bagaimana cara tumbuh dan cara reproduksinya. Suatu komunitas
tumbuhan yang merupakan bagian dari masyarakat tumbuhan di suatu daerah, sering dapat
menunjukkan adanya perubahan lingkungan yang terjadi yang berlangsung dalam skala
ruang dan waktu. Perubahan terdapat dalam bentuk komposisi jenis, jarak tumbuh, tinggi
tumbuhan, bentuk tajuk atau perubahan respon terhadap tumbuhan lain secara musiman.
Beberapa sifat yang mendasar yang dimiliki oleh suatu komunitas tumbuhan al.:
1.Mempunyai ciri-ciri komposisi floristik yang tetap;
2.Fisiognomi (struktur, tinggi, tajuk dan penutupan) yang relatif seragam; dan
3.Mempunyai distribusi atau pola sebaran yang khas sesuai dengan lingkungan dan
habitatnya.
Komunitas tumbuhan pada umumnya merupakan gabungan dari berbagai jenis tumbuhan
dengan pola penyebaran yang saling tumpang tindih dan berinteraksi satu sama lainnya.
Macam-macam karakteristik suatu komunitas tumbuhan:
- Komposisi jenis
- Fisiognomi
- Pola sebaran jenis
- Keanekaragaman jenis
- Daur hara
- Perubahan dan perkembangan dalam skala ruang dan waktu
- Produktivitas setiap jenis

Organisasi komunitas tumbuhan, yaitu struktur, komposisi jenis dan organisasi tropik
suatu komunitas tumbuhan. Struktur komunitas terdiri atas: (struktur vertikal
(stratifikasi); struktur horizontal (distribusi spasial jenis); dan kelimpahan (kerapatan,
biomasa dlsb). Fungsi komunitas, yaitu aliran energi, daur hara, pola metabolisme
(struktur/jenjang tropik dan piramida ekologi), produktivitas seresah dan laju
dekomposisi.

Sebagai contoh secara umum vegetasi akan mengurangi suatu laju erosi tanah, mengatur
keseimbangan karbondioksida dan oksigen di udara, pengaturan tata air tanah, perbaikan
sifat fisik, kimia dan biologis tanah. Dalam melakukan deskripsi terhadap vegetasi,
umumnya ada tiga macam parameter kuantitatif yang diukur dari suatu tipe komunitas
tumbuhan. Tiga macam parameter tersebut, yaitu kerapatan, frekuensi, dan cover. Salah
satu contoh vegetasi adalah vegetasi hutan, Backer (1973) menyatakan bahwa di dalam
hutan terdapat berbagai keanekaragaman hayati, baik satwa liar maupun tumbuhan. Dari
keanekaragaman sumber daya hayati di hutan tersebut tidak hanya terbatas pada jenis
tumbuhan berkayu, namun juga ditumbuhi oleh beranekaragam tumbuhan bawah (ground
cover/ undergrowth) yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Tumbuhan bawah
merupakan suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali anakan
pohon. Tumbuhan bawah meliputi rumput–rumputan, herba, semak belukar dan paku–
pakuan dimana terdapat suatu hutan yang memiliki jumlah jenis dan nilai indeks
keanekaragaman yang lebih tinggi untuk tingkat pohon dan permudaannya (tiang, pancang,
dan semai), jika terdapat tumbuhan yang dominan pada hutan tersebut maka tumbuhan
yang dominan memberikan ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan.
Tumbuhan dominan adalah jenis tumbuhan yang memiliki INP yang paling besar yang
artinya, tumbuhan tersebut memiliki peranan yang paling penting dalam kawasan tersebut,
sehingga Jenis ini mempunyai pengaruh paling dominan terhadap perubahan kondisi
lingkungan maupun keberadaan jenis lainnya dalam kawasan tersebut. Pada hutan hujan
tropis terdapat jenis-jenis tumbuhan penyusun hutan seperti pohon-pohon hutan yang
tinggi, terna, tumbuhan pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik pohon, saprofit, dan parasit.
Misalnya pada jurnal “Struktur Dan Vegetasi Tumbuhan Bawah Pada Tegakan Pinus Di
Rph Kalirajut Dan Rph Baturraden Banyumas” dijelaskan komposisi vegetasi tumbuhan
bawah pada tegakan pinus di RPH Kalirajut sebanyak 32 jenis dari 17 famili yang dari
perdu (9 jenis), herba (13 jenis), rumput (7 jenis), dan paku (3 jenis). Famili tumbuhan
yang banyak ditemukan dari lokasi yang diamati adalah tumbuhan dari famili Poaceae.
Famili Poaceae memiliki jumlah jenis tertinggi pada lokasi penelitian karena semua
anggota famili ini merupakan tumbuhan yang mudah hidup pada berbagai habitat. Menurut
Rukmana dan Saputra (1999) famili Poaceae memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi,
distribusi yang luas, dan mampu tumbuh pada lahan kering maupun tergenang. Jenis
tumbuhan bawah yang memiliki indeks nilai penting tertinggi di RPH Kalirajut adalah
Ottochloa nodosa (31,58%), Oplismenus compositus (12,29%), dan Eleusine indica
(9,97%). Ketiga jenis tumbuhan bawah ini termasuk ke dalam famili Poaceae. Ewusie
(1990) menyatakan bahwa terdapat berbagai macam karakteristik lingkungan tempat
tumbuh tumbuhan dari famili Poaceae, baik lingkungan yang lembab maupun lingkungan
yang kering. Karakter paling spesifik dari jenis tumbuhan famili Poaceae adalah
kebutuhannya akan sinar matahari langsung dengan intensitas yang tinggi untuk dapat
tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Tingginya nilai INP mengartikan bahwa suatu
jenis tersebut merupakan dominan dan mempunyai daya adaptasi yang lebih baik dari jenis
lainnya. Menurut Lubis (2009), suatu jenis vegetasi dapat berpengaruh terhadap kestabilan
ekosistem karena bersifat dominan dari jenis lainnya. Indeks keanekaragaman vegetasi
tumbuhan bawah di wilayah dataran rendah (RPH Kalirajut) memiliki nilai sebesar 1,269.
Nilai ini menunjukkan bahwa jumlah jenis diantara jumlah total individu seluruh jenis yang
ada termasuk dalam kategori sedang. Kategori tersebut mengartikan bahwa komunitas
sedang menuju pada kondisi yang stabil. Miardini et al., (2010), menyatakan bahwa nilai
H’ 1 ≤ H’ ≤ 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada suatu kawasan adalah
sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan komunitas sedang.
Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman suatu jenis dipengaruhi oleh banyaknya
jenis dan jumlah individu yang ditemukan. Menurut Samingan (1976) makin banyak jenis
yang ditemukan maka akan semakin tinggi nilai indeks keanekaragamannya. Semakin
tinggi nilai keanekaragaman suatu kawasan menunjukkan semakin stabil komunitas di
kawasan tersebut. Contoh lain dari vegetasi adalah vegetasi tumbuhan pantai, dimana
disepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pantai salah satunya adalah
vegetasi hutan pantai. Pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan
ekosistem darat. Hutan pantai merupakan bagian dari wilayah pesisir dan laut yang
memiliki potensi sumberdaya alam yang produktif (Waryono, 2000). Salah satu vegetasi
yang ada di pantai adalah vegetasi hutan mangrove. Tumbuhan yang ada pada vegetasi ini
adalah tumbuhan pionir (Sonneratia alba), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba,
Avicennia sp, Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan
akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Substrat pada dapat menjadi faktor
penghambat bagi penyebaran jenis pada hutan mangrove. Pada jurnal yang berjudul
“Struktur Vegetasi Hutan Mangrove Di Kampung Kunef Distrik Supiori Selatan
Kabupaten Supiori” dijelaskan bahwa penyebaran hutan mengrove di Kampung Kunef
relatif terbatas, mengingat kawasan pesisir yang ada di daerah ini merupakan pulau-pulau
karang dengan substrat berupa pasir berkarang dan pasir berlumpur. Penyebaran hutan
mangrove di Kampung Kunef yang relatif terbatas secara tidak langsung dapat berpengaruh
terhadap jumlah jenis tumbuhan mangrove yang dijumpai pada lokasi tersebut.
Berdasarkan hasil survey vegetasi yang telah dilakukan di Kampung Kunef telah tercatat
sebanyak 8 jenis tumbuhan mangrove dari 4 famili dengan jumlah individu 1120 yang
terdiri atas vegetasi tingkat pohon, pancang dan semai. Hasil analisi komopsisi vegetasi
hutan mangrove di Kunef menunjukkan bahwa jenis Rhizophora apiculata memiliki jumlah
individu terbanyak (216) dengan komposisi vegetasi 19.32%, sedangkan Xylocarpus
granatum merupakan jenis dengan jumlah individu dan komposisi vegetasi terkecil, yaitu
39 individu dengan komposisi vegetasi 3.49%. Indeks Nilai Penting (lNP) atau Impontant
Value Index yang digunakan untuk menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam
suatu komunitas vegetasi atau menunjukkan penguasaan ruang suatu jenis pada suatu
tempat. Apabila INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis itu sangat
mempengaruhi kestabilan. Hasil analisis indeks nilai penting (INP) menunjukkan bahwa
jenis R. Apiculata memiliki INP tertinggi diantara jenis lainnya yaitu 53.33% untuk tingkat
pohon, kemudian 55.66% untuk tingkat pancang, serta 42.30% untuk tingkat semai.
Sedangkan jenis Xylocarpus granatum merupakan jenis dengan INP terkecil yaitu 20.34
untuk tingkat pohon, 20.32 untuk tingkat pancang, dan 7.75 untuk tingkat semai. Jika hasil
analisis nilai penting tersebut dikategorikan kedalam kategorisasi INP menurut Fakhrul
(2007), maka R.apiculata berada dalam kategori tinggi, sedangkan X.granatum berada
dalam kategori rendah, dimana INP > 42,66 dikategorikan tinggi, INP 21,96 – 42,66
dikategorikan sedang, INP< 21,96 dikategorikan rendah. Menurut Begen (2002) Stabilitas
dan keberadaan ekosistem mangrove sangat ditentukan oleh jenis penyusun ekosistem
mangrove tersebut dimana peranan satu jenis mangrove terhadap jenis lainnya dapat dilihat
dari indeks nilai penting. Jika suatu jenis menunjukkan nilai penting yang tinggi maka
peranan jenis tersebut sangat besar terhadap jenis lainnya dalam ekosistem mangrove.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rhizophora apiculata mempunyai peranan yang
cukup besar terutama dalam hal kontribusi bahan organik terhadap ekosistem mangrove di
Kampung Kunef. Selain itu, pada artikel jurnal yang berjudul “Struktur Vegetasi Mangrove
Alami dan Rehabilitasi Pesisir Selatan Pulau Lombok” dijelaskan bahwa Sebanyak 8
spesies mangrove ditemukan di ekosistem mangrove alami Pemongkong, sedangkan di
kawasan rehabilitasi ekosistem mangrove Gerupuk hanya ditemukan 7 spesies. Struktur
komunitas mangrove dalam penelitian ini ditunjukkan dengan menggunakan indeks nilai
penting (INP). Nilai INP diperoleh dari akumulasi nilai kerapatan relatif, dominansi relatif,
dan frekuensi relatif masing-masing spesies mangrove. INP menunjukkan seberapa penting
suatu jenis tumbuhan terhadap ekosistemnya (Alidrus, 2014). Spesies mangrove yang
memiliki INP tinggi berarti memiliki peranan yang sangat besar terhadap ekosistem
mangrove habitatnya, begitupun sebaliknya jika INP suatu spesies kecil, maka
keberadaanya tidak memberikan pengaruh yang terlalu besar terhadap ekosistem tersebut
(Sidiyasa, 2007). Berdasarkan hasil penelitian, vegetasi mangrove di ekosistem mangrove
rehabilitasi Gerupuk dan ekosistem mangrove alami Pemongkong memiliki struktur yang
jauh berbeda. Di Gerupuk, vegetasi dengan tingkat pertumbuhan pohon yang memiliki INP
tertinggi adalah jenis R. apiculata dengan INP 140.5, sedangkan pada tipe pancang yaitu
jenis R. stylosa dengan nilai penting 116.41. Tingginya INP dari genus Rhizophora
disebabkan karena kawasan ini merupakan area rehabilitasi yang dilakukan menggunakan
jenis tersebut (Anwar dan Mertha, 2017). Jika dilihat dari ukuran diameter pohon (dbh)
yang S. alba dan A. alba yan mencapai 50 cm, diperkirakan keberadaan hutan mangrove
ini telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama dan telah mencapai komunitas
klimaks, yaitu komunitas yang telah mengalami suksesi dan tetap bertahan secara alami
selama tidak ada gangguan yang berarti (Molles dan Sher, 2019). Vegetasi dalam suatu
ekosistem selalu mendapat pengaruh dari lingkungan. Karakteristik fisik dan kimia
lingkungan kedua lokasi teramati tercantum dalam tabel 3. Secara keseluruhan, kedua
ekosistem ini tidak memilik perbedaan yang terlalu signifikan pada faktor lingkungan
tersebut, kecuali pada parameter jenis dan kedalaman substrat. Perbedaan jenis dan
kedalaman substrat menyebabkan vegetasi dominan yang tumbuh pada berbagai tingkat
pertumbuhan di kawasan tersebut menjadi berbeda pula. Rhizophora spp. sangat cocok
hidup di kawasan dengan substrat berlumpur hingga lumpur berpasir, begitu pula dengan
anggota famili Rhizophoraceae lainnya (Noor et al, 2012; Alidrus, 2014). Oleh karena itu
kondisi substrat di ekosistem mangrove rehabilitasi Gerupuk cocok ditumbuhi oleh jenis
ini. Selain itu untuk jenis Rhizophora, kemampuan adaptasi dan tingkat survival dalam
terhadap kondisi lingkungan sangat tinggi sehingga jenis ini mudah hidup di setiap
kawasan. Sistem perakaran tunggang membuat jenis ini mampu mengendapkan lumpur
pada substrat yang ditumbuhi sehingga menyebabkan kawasan yang ditumbuhi jenis ini
menjadi lebih lembek dan berlumpur (Ahyadi dan Suana, 2018). Begitu pula dengan
kondisi substrat ekosistem mangrove Pemongkong yang didominasi oleh tanah lempung
hingga lumpur halus dengan kedalaman mencapai 30 cm. kondisi tersebut cocok untuk
pertumbuhan Sonneratia dan Avicennia yang memiliki perakaran longitudinal. Di kawasan
ini juga terdapat titik dengan kondisi substrat berpasir dan berbatu yang ditumbuhi oleh
Sonneratia. Menurut Noor et al (2012), Sonneratia juga dapat tumbuh di kawasan yang
berpasir hingga berbatu sehingga kondisi tersebut masih memungkinkan Sonneratia untuk
tumbuh dengan baik. Pada jurnal yang berjudul “Analisis Vegetasi Tumbuhan Pantai Pada
Kawasan Wisata Pasir Jambak, Kota Padang” dijelaskan bahwa Pada tingkat pohon
ditemukan sebanyak 5 famili, 5 jenis dan 36 individu. Pada tingkat sapling ditemukan
sebanyak 4 famili, 4 jenis dan 36 individu. Selanjutnya pada tingkat seedling ditemukan
sebanyak 12 famili, 19 jenis dan 712 individu. Menurut Johnston and Gillman (1995),
famili dikategorikan dominan pada suatu vegetasi apabila memiliki persentase > 20% dari
total individu, sedangkan yang co-dominan > 10% dan < 20%. Pada tingkatan pohon yang
mendominasi adalah famili Casuarinaceae (63,88%) dan diikuti oleh famili Apocynaceae
(27,77%). Pada tingkat sapling famili yang mendominasi yaitu famili Apocynaceae
(52,77%) dan famili Casuarinaceae (30,55%). Famili Co-Dominan pada tingkat sapling
ditemukan pada famili Simaroubaceae (13,88%),selanjutnya pada tingkatan seedling famili
yang mendominasi yaitu famili Asteraceae (72,33%) Berdasarkan hasil penelitian yang
telah didapatkan diatas diketahui pada tingkat pohon, famili Casuarinaceae memiliki
individu paling banyak yaitu 23 individu dari 1 spesies dan famili Apocynaceae memiliki
10 individu dari 1 spesies. Sedangkan pada famili yang paling sedikit yaitu famili
Arecaceae, Combretaceae dan Leguminosae masing-masing memiliki 1 individu. Pada
tingkat sapling famili Casuarinaceae memiliki sebanyak 11 individu dan Famili
Apocynaceae memiliki 19 individu kedua famili tersebut juga berasal dari 1 jenis spesies
yang sama dengan tingkatan pohon. Adapun jenis tersebut antara lain pada famili
Casuarinaceae terdapat spesies Casuarina equisetifolia L. dan Cerbera manghas L. pada
famili Apocynaceae sedangkan famili Co-dominan yang ditemukan adalah famili
simaroubaceae sebanyak 5 individu dari 1 spesies yaitu Brucea javanica. Menurut Tuheteru
dan Mahfudz (2012), famili Casuarinaceae adalah tumbuhan yang dapat tumbuh di wilayah
pantai tropis dan sub tropis. Famili ini membutuhkan banyak sinar matahari, toleran
terhadap air garam dan memiliki kemampuan beradaptasi pada tanah kurang subur selain
itu famili Apocynaceae merupakan famili yang mampu beradaptasi pada tanah pasir dan
terbuka terhadap udara dari laut. Hal inilah yang menyebabkan famili Casuarinaceae dan
Apocynaceae tersebut mendominasi wilayah pantai. Sedangkan pada struktur
komunitasnya, Nilai penting tertinggi pada tingkat pohon ditemukan pada spesies
Casuarina equisetifolia dengan sebesar 214,72% Nilai penting tertinggi kedua yaitu
Cerbera manghas sebesar 59,25% terendah ditemukan pada spesies Pongamia sp. dengan
nilai sebesar 8,22%. Uraian struktur pohon pada kawasan wisata Pasir Jambak. Nilai
penting tertinggi pada tingkat pohon adalah Casuarina equisetifolia sebesar 214,72%.
Tertinggi kedua yaitu Cerbera manghas sebesar 59,25%, sedangkan terendah ditemukan
pada spesies Pongamia sp. dengan nilai sebesar 8,22%. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa secara ekologi kedua spesies dengan nilai penting tertinggi di atas
apat menguasai kawasan pantai tersebut dan menentukan klimaks vegetasi strata pohon
dimasa yang akan datang. Jika tidak terjadi sesuatu yang dapat merubah bentang alam pada
kawasan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kecenderungan klimaks vegetasi strata
pohon adalah Casuarina equisetifolia dan Cerbera manghas. Sehingga pada vegetasi
tumbuhan pada Kawasan ini terdapat komposisi pada tingkat pohon ditemukan sebanyak
5 famili, 5 spesies dan 36 individu. Pada tingkat sapling ditemukan sebanyak 4 famili, 4
spesie dan 36 individu. Selanjutnya pada tingkat seedling ditemukan sebanyak 12 famili,
19 spesies dan 712 individu.
BIOEDUKASI ISSN: 1693-2654
Volume 7, Nomor 2 Agustus 2014
Halaman 10-17

Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi


Di Kotamadya Surakarta

Joko Ariyanto1, Sri Widoretno1, Nurmiyati1, Putri Agustina2


1
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami No. 36A Kentingan Surakarta
2
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta

*email: joko_ariyanto_30@yahoo.com

Manuscript received: 12 Mei 2013 Revision accepted: 13 Juli 2014

ABSTRACT

Surakarta memiliki luas wilayah 44 km2, terletak di dataran rendah dengan ketinggian 105 m dpl dan di pusat kota 95 m
dpl dan memiliki iklim muson tropis. Tidak semua wilayah Surakarta ditempati penduduk. Ruang terbuka di Surakarta
ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dengan berbagai bentuk kehidupan (life form). Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui berbagai tipe life form penyusun vegetasi dan mengetahui tipe life form yang paling melimpah dan dominan
di Kotamadya Surakarta. Sampling dilakukan pada 1% luas free area (area terbuka hijau) di setiap kecamatan. Ukuran
Plot yang digunakan adalah (10x10) m kemudian pada plot tersebut dilakukan pengamatan untuk diidentifikasi jenis
tumbuhan yang ada dan ditentukan tipe bentuk kehidupan (life form) dari setiap tumbuhan yang ditemukan. Cover dari
setiap bentuk kehidupan (life form) diukur dengan skala Braun-Blanquet kemudian dibandingkan dengan bentuk
kehidupan (life form) standar Raunkiaer. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa bentuk kehidupan (life form) yang
paling mendominasi vegetasi di Surakarta adalah Phanerophyte dengan persentase cover tertinggi (104%). Dengan
membandingkan bentuk kehidupan (life form) standar Raunkiaer diketahui Cryptophyte memiliki persentase di bawah
persentase Cryptophyte bentuk kehidupan (life form) standar Raunchier.

Keywords: Bentuk kehidupan (life form), Ruang terbuka bebas (free area), Vegetasi di Surakarta

LATAR BELAKANG sebelah selatan. Surakarta terletak di dataran rendah


dengan ketinggian 105 m dpl dan di pusat kota 95 m dpl.
Surakarta, atau juga disebut sebagai kota Solo atau Sala Surakarta memiliki iklim muson tropis. Sama seperti kota-
merupakan kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah, kota lain di Indonesia, musim hujan di Surakarta dimulai
Indonesia dengan dan kepadatan penduduk 13.636/ km2. bulan Oktober hingga Maret, dan musim kemarau bulan
Kota dengan luas 44 km2 ini berbatasan dengan April hingga September. Rata-rata curah hujan di
Kabupaten Karanganyar dan Boyolali di sebelah utara, Surakarta adalah 2.200 mm. Rincian luas wilayah
Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di Surakarta pada setiap kecamatan dapat dilihat pada tabel 1
sebelah timur dan barat, serta Kabupaten Sukoharjo di

Tabel 1. Daftar Luas Wilayah Kota Surakarta

No Kecamatan Luas (Km2)


1 Laweyan 8,64
2 Serengan 3,19
3 Pasar Kliwon 4,82
4 Jebres 12,58
5 Banjarsari 14,81
TOTAL 44,04

Sumber : Litbang Kompas diolah dari Badan Pusat Statistik Kota Surakarta, 2001

Adapun persentase wilayah per kecamatan dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Ariyanto, J., Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi 11

20%
34% Laweyan
7%
Serengan
11% Pasar Kliwon
Jebres
28%
Banjarsari

Gambar 1. Persentase luas wilayah per kecamatan di Surakarta


Sumber : Litbang Kompas diolah dari Badan Pusat Statistik Kota Surakarta, 2001

Wilayah di Surakarta terbagi dalam berbagai area. Ada Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat
area yang dihuni penduduk, area dirumuskan masalah yang akan diteliti adalah
persawahan/pertanian/hutan dan area terbuka. Pada area 1. Bagaimana susunan bentuk kehidupan (life form)
terbuka biasanya tumbuh berbagai jenis tumbuhan dengan tumbuhan di Kotamadya Surakarta ?
keanekaragaman yang bervariasi sesuai dengan kondisi 2. Tipe bentuk kehidupan (life form) apa yang paling
tempatnya.Kunci keanekaragaman organisme adalah melimpah dan paling dominan di Kotamadya
adaptasi. Adaptasi berarti proses evolusi yang Surakarta?
menyebabkan organism mampu hidup lebih baik di bawah Tujuan penelitian ini adalah mengetahui berbagai tipe
kondisi lingkungan tertentu dan sifat genetic yang bentuk kehidupan (life form) penyusun vegetasi di
membuat organism lebih mampu bertahan hidup (Putu A, Kotamadya Surakarta dan mengetahui tipe life form yang
2012). Keanekaragaman ini juga bersesuaian dengan paling melimpah dan dominan di Surakarta.
kondisi lingkungan yang ada di Surakarta dan secara tidak
langsung merupakan konsekuensi tidak langsung dari TINJAUAN PUSTAKA
respon tumbuhan terhadap tempat hidupnya.
Wirakusumah S, (2003) mengatakan bahwa organisme Perbedaan kondisi lingkungan menentukan
memiliki sifat responsive terhadap diri dan lingkunganya keanekaragaman tumbuhan yang ada di tempat tersebut
dan dituntut memenuhi persyaratan persyaratan tertentu sebagaimana dinyatakan oleh John, JE and Bagalow,
untuk bertahan hidup. Fenomena ini mengakibatkan sifat (1996) dengan mengatakan bahwa lingkungan mengontrol
adaptive pada proses interaksi dalam ekosistem. diversitas tumbuhan di hutan tropis seperti iklim, tanah ,
Keanekaragaman tumbuhan ini juga punya dan agensia lokal yang dapat mengintervensi struktur
konsekuensi pada bentuk kehidupan (life form) tumbuhan hutan.
penyusun vegetasi di Surakarta. Berbagai bentuk Keanekaragaman tumbuhan di suatu wilayah akhirnya
kehidupan (life form) tumbuhan dari vegetasi di Surakarta menentukan tipe vegetasi di wilayah tersebut. Salah satu
dapat dibandingkan dengan bentuk kehidupan (life form) tipe vegetasi dapat ditentukan dengan melihat
standar Raunkiaer. Penggunaan kehidupan (life form) physiognomi vegetasi tersebut. bentuk kehidupan (life
standar Raunkiaer ini lazim digunakan ahli ekologi karena form) yang paling dominan di wilayah tersbut.
sistem Raunkiaer cukup simpel dan merupakan klasifikasi Bentuk kehidupan (life form) merupakan keseluruhan
berdasarkan bentuk kehidupan (life form) yang paling proses hidup dan muncul secara langsung sebagai respon
memuaskan (Begon, et. Al, 1996). Pengetahuan atas atas lingkungan. Bentuk kehidupan (life form)
bentuk tipe kehidupan (life form) tumbuhan dapat dikelompokkan atas dasar adaptasi organ kuncup untuk
memberikan informasi berharga tentang kondisi melalui kondisi yang tidak menguntungkan bagi
keanekaragaman tumbuhan di Surakarta dan informasi ini tumbuhan (Chain,1950). Raunkier mengelompokkan
sebagai dasar kajian lebih lanjut mengenai kontribusi bentuk kehidupan (life form) tumbuhan bersarakan posisi
tumbuhan di Surakarta terhadap lingkungan. Selain itu dan tingkat perlindungan tunas dalam untuk memunculkan
dengan informasi ini juga daopat diperkirakan kondisi kembali tubuh tumbuhan pada musim yang sesuai.Sesuai
ekologis wilayah Surakarta karena menurut Mera, et all. dasar ini, maka tumbuhan dapat dikelompokkan menjadi 5
(1999) bentuk kehidupan (life form) terkarakter oleh kelas utama life form yang neliputi: Phanerophyte,
adaptasi tumbuhan terhadap kondisi ekologi tertentu. Chamaephyte, Hemikriptophyte, Chryptophyte, dan
12 BIOEDUKASI 7(2): 10-17, Agustus 2014

Therophyte. Tampilan bersama dari persentase setiap 5. Therophyte (Th)


kelas life form tersebut dinamakan spektrum biologi life Therophyte meliputi semua tumbuhan satu musim yang
form. Kemiripan distribusi persentase spektrum biologi pada kondisi lingkungan tidak menguntungkan titik
dari area yang berbeda mengindikasikan kemiripan iklim pertumbuhan berupa embrio dalam biji. Meliputi
(Raunkiaer dalam Costa, et. Al. 2007) tumbuhan semusim dan organ reproduksinya berupa biji,
Tipe vegetasi yang terdiri dari beberapa bagian keabadiannya terbesar lewat embrio dalam biji.
vegetasi dicirikan oleh bentuk kehidupan (life form) dari Biasanya dalam pengungkapan vegetasi berdasarkan
tumbuhan dominan, terbesar atau paling melimpah atau klasifikasi Raunkiaer, vegetasi dijabarkan dalam bentuk
tumbuhan yang karakteristik. spektrum yang menggambarkan jumlah setiap tumbuhan
Pendeskripsian vegetasi berdasarkan physiognominya untuk setiap bentuk tadi. Hasilnya akan memperlihatkan
dilakukan dengan cara menganalisis penampakan luar perbedaan struktur tumbuhan untuk daerah-daerah dengan
vegetasi, yaitu dengan memanfaatkan ciri-ciri utama kondisi regional tertentu. Dengan demikian sifat klimatik
(Melati, 2007). habitat yang berbeda tercermin oleh karakteristik
Uraian vegetasi yang sederhana dan mencakup makna fisiognomi anggota komunitas dan karakteristik akan
yang luas yang menggunakan system lebih lama pada diturunkan pada bentuk struktur yang dikenal dengan life
batasan physiognomi adalah system bentuk kehidupan form suatu jenis. Perbandingan bentuk kehidupan (life
dari Raunkier. Meskipun tidak bergambarseperti sistem form) dua atau lebih komunitas akan mengindikasikan
Dansereau, sistem ini telah digunakan oleh ahli ekologi sifat klimatik penting yang mengendalikan komposisi
seluruh dunia untuk menyediakan bandingan – bandingan komunitas. Sifat komunitas terhadap berbagai faktor
penting dari perbedaan luas vegetasi. Sistem ini lingkungan yang mengendalikan ruang (yang
mendasarkan pada perbedaan posisi kuncup pertumbuhan mengendalikan nilai penutupan) dan hubungan kompetitif
sebagai indikasi (tanda) dari tumbuhan bertahan pada komunitas tersebut.
musin dingin atau kering (Suwasono, 2012). Deskripsi vegetasi pada setiap tegakan tumbuhan dapat
Klasifikasi dunia tumbuhan yang didasarkan atas letak dilakukan dengan skala Braun – Blaquet. Cara ini banyak
kuncup pertumbuhan terhadap permukaan tanah. digunakan untuk komunitas tumbuhan tinggi dan rendah
Raunkiaer dalam Suwasono (2012) membagi dunia (Muller and Dombois, 1974). Nilai skala tersebut adalah
tumbuhan ke dalam 5 golongan yaitu : sebagaimana table 1 berikut.
1. Phanerophyte (P)
Merupakan kelompok tumbuhan yang mempunyai letak Tabel 2. Nilai Penutupan Kemelimpahan Braun – Blaquet yang
titik kuncup pertumbuhan (kuncup perenating) minimal Dikonversikan ke Derajat Rerata Penutupan (cover).
25 cm di atas permukaan tanah. Ke dalam kelompok
tumbuhan ini termasuk semua tumbuhan berkayu, baik Besaran Kisaran cover Rerata derajat cover
pohon, perdu, semak yang tinggi, tumbuhan yang B–B (%)
merambat berkayu, epifit dan batang succulen yang tinggi. 5 76 – 100 87,5
2. Chamaeophyte (Ch) 4 51 – 75 62,5
3 26 – 50 37,5
Kelompok tumbuhan ini juga merupakan tumbuhan
2 5 – 25 15,0
berkayu, tetapi letak kuncup pertumbuhannya kurang dari 1 <5 2,5*
25 cm di atas permukaan tanah. Ke dalam kelompok + <5 0,1*
tumbuhan ini termasuk tumbuhan setengah perdu atau r value ignored
suffruticosa (perdu rendah kecil, bagian pangkal berkayu (Muller – Dombois, 1974) *ditentukan arbitrar
dengan tunas berbatang basah), stoloniferus, sukulen Sistem Raunkiaer secara umum mendasarkan
rendah dna tumbuhan berbentuk bantalan. Chamaeophyte pada cara dan posisi organ reproduksi untuk
juga digolongkan dalam beberapa kelompok yaitu :
mempertahankan terhadap kondisi yang tidak
3. Hemycryptophyte (H)
menguntungkan.
Tumbuhan kelompok ini mempunyai titik kuncup
pertumbuhan tepat di atas permukaan tanah. Tumbuhan METODE
herba berdaun lebar musiman, rerumputan dan tumbuhan
roset termasuk dalam kelompok Hemycryptophyte. 1. Waktu Penelitian
Tumbuhan ini hidup di permukaan tanah, rumput-rumput, Penelitian dilakukan pada tahun 2011 selama kurun waktu
begitu pula tunas dan batang terlindung oleh tanah dan bulan Pebruari - Juli
bahan-bahan mati. 2. Lokasi
4. Cryptophyte (Cr) Penelitian ini dilaksanakan di beberapa lokasi di
Titik kuncup pertumbuhan berada di bawah tanah atau di Kecamatan yang ada di kota Surakarta yaitu Kecamatan
dalam air. Dalam kelompok ini termasuk tumbuhan umbi, Jebres, Serengan, Pasar Kliwon, Banjarsari dan Laweyan.
rimpang, tumbuhan perairan emergent, mengapung dan Pada tiap Kecamatan ditentukan daerah yang termasuk
berakar pada air. Kelompok tumbuhan ini kebanyakan daerah pertanian (crop area), lahan terbuka (free area),
memiliki cadangan makanan yang tertanam dalam tanah dan daerah perumahan (building area). Daerah yang dapat
atau substrat tumbuhnya. dipakai adalah lahan terbuka (free area). Pada tiap
kecamatan dihitung luas total masing-masing lahan
Ariyanto, J., Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi 13

terbuka (free area). Luas masing-masing (free area) pada Sumber: Muller and Dombois, (1974)
masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Setelah ditemukan jumlah titik yang akan di studi
kemudian jumlah titik direduksi sampai batas kemampuan
Tabel 3. Luas Lahan Terbuka Bebas (Free Area) di Kota untuk melakukan studi dengan ketentuan penyebaran titik
Surakarta yang distudi setelah direduksi harus tetap mengikuti
aturan random sampling. Selanjutnya pada tiap-tiap titik
No Kecamatan Free Area Luas (m2) dilakukan plotting dengan luas plot 10x10 m2.
1 Jebres ISI Mojosongo dalam 2800
ISI Mojosongo kanan 3300 5. Teknik Analisis Data
ISI Mojosongo depan 3200
Analisis data dilakukan dengan pembandingan sebaran
Mertoudan 1300
Taman Makam 1300
persentase bentuk kehidupan (life form) terhadap sebaran
Pahlawan 1700 persentase bentuk kehidupan (life form) standar
GOR UNS 9100 Raunkiaer. Selanjutnya ditentukan bentuk kehidupan (life
TPA Mojosongo 1900 form) yang paling dominan dan paling rendah
Pedaringan persentasenya. Adapun langkah dari analisis data adalah
2 Pasar Kliwon Benteng Vastern Burg 7500 sebagai berikut:
Semanggi 3500 1). Pada masing-masing plot dilakukan pengamatan
3 Banjarsari Balekambang 4100 spesies-spesies yang ada dalam plot tersebut kemudian
Mangkunegaran 2100 diukur diameter penutupannya meliputi diameter
Bale peternakan 1500 terpanjang (D1) dan diameter terpendek (D2).
Monumen 45 2100 Kemudian dilakukan identifikasi spesies tersebut
Manahan 700
masuk dalam tipe life form yang mana.
4 Laweyan Karangasem 3100
Kerten 2900
5 Serengan Joyotakan 3700
Danukusuman 800
D2
Sumber : Litbang Kompas diolah dari Badan Pusat Statistik Kota
Surakarta, 2001 D1
3. Jenis Data
1) Data Primer
Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di
lapangan berupa tipe bentuk kehidupan (life form)
tumbuhan, dan luas penutupan. Data ini kemudiaan diolah Pada tiap-tiap spesies kemudian dihitung diameter
untuk diketahui distribusi persentase spektrum biologi rata-rata penutupan kanopinya (Dr = D1+D2/2) dan luas
vegetasinya. cover penutupannya yaitu dengan menganalogikan
2) Data Sekunder kanopinya sebagai lingkaran.
Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber untuk
mengetahui luas wilayah ruang terbuka sehingga dapat Luas penutupan (Cover) = πr2, dimana r = Dr/2
ditentukan luas sampling (1% dari luas terbuka tersebut). 2). Setelah ditemukan luas penutupan (cover) masing-
masing jenis kemudian ditabulasikan menjadi data
4. Teknik Sampling untuk tiap bentuk kehidupan (life form) nya dengan
Sampling dilakukan dengan teknik random sebanyak 566 skala BB dengan ketentuan:
plot ukuran 10x10 m2 dengan ketentuan sebagai berikut:.
Pada masing-masing lahan terbuka bebas (free area) Tabel 4. Nilai Penutupan Kemelimpahan Braun – Blaquet yang
kemudian dihitung luas area cuplikan (LAC) dengan Dikonversikan ke Derajat Rerata Penutupan (Cover).
rumus sebagai berikut:
Besaran Kisaran cover Rerata derajat cover
Luas area cuplikan (LAC) = 1 % x Luas free area B–B (%)
5.
total 5 76 – 100 87,5
4 51 – 75 62,5
Setelah ditemukan luas area cuplikan, kemudian 3 26 – 50 37,5
dihitung jumlah plot (titik) untuk masing-masing lahan 2 5 – 25 15,0
terbuka bebas (free area) dengan ketentuan sebagai 1 <5 2,5*
+ <5 0,1*
berikut :
r value ignored
Jumlah
Rumus plot = Luaspada
berdasarkan areaMuller
cuplikan / Luas plot
– Dombois (1974)
Nb : Sumber: Muller and Dombois, (1974) *ditentukan arbitrar
6.Luas plot untuk Tipe Life Form = 10 x 10 m2
14 BIOEDUKASI 7(2): 10-17, Agustus 2014

3). Setelah ditemukan rerata derajat persentase cover


masing-masing bentuk kehidupan (life form) kemudian
100 87,5
dibandingkan dengan kehidupan (life form) standar 90
Raunkiaer sebagai berikut: 80
70 62,5
P Ch H Cr Th 60
46 9 26 6 13 (100 %) 50
46
40
30 26
Sumber: Muller and Dombois, (1974) 20
15 15
13 15
9 6
10
0
Skala Raunkier
(%)
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan, ditemu-


kan data penyusun bentuk kehidupan (life form) vegetasi Gambar 1. Histogram Hasil Pengamatan Tipe Life Form (TLF)
untuk masing-masing kecamatan sebagai berikut: Kecamatan Jebres
Histogram di atas menunjukkan bahwa besarnya
Tabel 5. Penyusun Tipe Bentuk Kehidupan (life form) di prosentase tipe Phanerophyte dan Hemicryptophyte
Kecamatan Jebres memiliki selisih yang besar antara vegetasi Jebres dengan
standard Raunkiaier. Ini menandakan bahwa kondisi
Luas lingkungan wilyah Jebres memiliki daya dukung yang
Skala
Bentuk Kehidupan Penutupan Skala lebih baik untuk kedua tipe tersebut.
Raunkier
(Life Form) (Cover) BB (%)
(%)
(%) Tabel 6. Penyusun Tipe Bentuk Kehidupan (life form) untuk
Phanerophyte 46 143.80 87.5 Kecamatan Pasar Kliwon
Chamaeophyte 9 9.99 15
Bentuk Kehidupan Skala Luas Skala
Hemycriptophyte 26 52.59 62.5 (Life Form) Raunkier Penutupan BB
(%) (Cover) (%)
Cryptophytes 6 5.89 15
(%)
Therophyte 13 5.28 15 Phanerophyte 46 74.13 62.5
JUMLAH 100 217.55 195 Chamaeophyte 9 36.80 37.5
Tabel 75 menunjukkan perbandingan komposisi Hemycriptophyte 26 5.05 15
bentuk kehidupan (life form) standar Raunkiaier dengan
Cryptophytes 6 1.39 2.5
komposisi bentuk kehidupan (life form) vegetasi
kecamatan Jebres. Bentuk kehidupan (life form) vegetasi Therophyte 13 7.31 15
Jebres di dominasi oleh Phanerophyte , selanjutnya tipe
JUMLAH 100 124.68 132.5
Hemycriptophyte menempati urutan ke dua dan urutan ini
sama dengan bentuk kehidupan (life form) standar Tabel 6 menunujukkan perbandingan komposisi
Raunkiaier meskipun persentase kedua kehidupan (life bentuk kehidupan (life form) antara vegetasi di Pasar
form) tersebut lebih besar disbanding persentase bentuk Kliwon dengan standard Raunkiaier. Tipe Phanerophyte
kehidupan (life form) yang sama pada standar Raunchier. mendominasi vegetasi Jebres lalu disusul tipe
Bentuk kehidupan (life form) Chamaeophyte memiliki Chamaeophyte, lalu tipe Hemicryptophyte dan
persentase bentuk kehidupan (life form) yang sama pada Therophyte, lalu terakhir Cryptophyte. Ini menunjukkan
vegetasi Jebres, sementara ketiga tipe tersebut pada bahwa urutan dominansi tipe vegetasi di Pasar Kliwon
standar bentuk kehidupan (life form) Raunkier memiliki berbeda dengan standar Raunkiaer yaitu pada urutan
skor berbeda. Ini berarti bahwa komposisi bentuk kedua dimana pada standar Raunchier urutan kedua
kehidupan (life form) Chamaeophyte, Therophyte, dan ditempati tipe Therophyte, sementara pada vegetasi Pasar
Hemicryptophyte pada vegetasi Jebres tidak sama dengan Kliwon ditempati tipe Chamaeophyte.
komposisi pada bentuk kehidupan (life form) standar Berdasarkan Tabel 7, dapat dibuat histogram penyusun
Raunchier. Secara keseluruhan, persentase bentuk bentuk kehidupan (life form) untuk kecamatan Pasar
kehidupan (life form) vegetasi Jebres lebih besar Kliwon sebagai berikut:
dibanding standar bentuk kehidupan (life form)
Raunkiaier.
Berdasarkan Tabel 5, dapat dibuat histogram penyusun
bentuk kehidupan (life form) untuk Kecamatan Jebres
sebagai berikut:
Ariyanto, J., Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi 15

70 62,5
87,50
60 90,00
46
JUMLAH (%)

50 37,5
40
26
80,00
30
15 13 15 70,00
20 9 6
10 2,5
SKALA RAUNKIER 60,00
0
SKALA BB 46,00
50,00 SKALA RAUNKIER
37,50 37,50
40,00 SKALA B BLANQUET
26,00
30,00
TIPE LIFE FORM 20,00 15,00 13,00
9,00
6,00
10,00 2,50
0,00
Gambar 2. Histogram Hasil Pengamatan Tipe Life Form (TLF) 1 2 3 4 5
Kecamatan Pasar Kliwon

Histogram di atas menunjukkan bahwa selisih skor Gambar 3. Histogram Penyusun Tipe Life Form
bentuk kehidupan (life form) tipe Chamaeophyte paling Histogram di atas menunjukkan bahwa selisih terbesar
besar. Ini berarti bahwa lingkungan Pasar Kliwon sangat ada pada tipe Phanerophyte, dan hanya tipe Cryptophyte
mendukung tumbuhan kelompok tipe Chamaeophyte. saja yang memiliki skor di bawah standar Raunkiaier.
Sementara itu, tipe Cryptophyte pada vegetasi Pasar Tipe lainya memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan
Kliwon nampak lebih kecil disbanding standard Raunkier. standar Raunkier. Ini menunjukkan bahwa lingkungan
Ini menunjukkan bahwa tumbuhan kelompok tipe Laweyan sangat mendukung tumbuhan kelompok
Cryptophyte di pasar Kliwon kurang terdukung oleh Phanerophyte tetapi kurang mendukung tumbuhan
lingkunganya. kelompok Cryptophyte.

Tabel 8. Penyusun Tipe Bentuk Kehidupan (life form) untuk Tabel 9. Penyusun Bentuk Kehidupan (life form) untuk
Kecamatan Laweyan Kecamatan Serengan

Bentuk Kehidupan Skala Luas Skala BB Luas


skala
(Life Form) Raunkier Penutupan (%) Bentuk Kehidupan Skala Penutupan
BB
(%) (Cover) (life form) Raunkier (cover)
(%)
(%) (%)
Phanerophyte 46 78,43 87,50 Phanerophyte ( P ) 46 69,53 62,5
Chamaeophyte 9 13,17 15,00 Chamaeophyte ( Ch ) 9 22,1 15
Hemycriptophyte 26 44,21 37,50 Hemicrypthopyte ( H ) 26 26,86 37,5
Cryptophytes 6 1,33 2,50 Cryptophyte ( Cr ) 6 0,61 0,1
Therophyte 13 43,88 37,50 Therophyte ( Th ) 13 11,88 15
JUMLAH 100 130,98 130,1
JUMLAH 100 181,02 180,00
Tabel 9 menunjukkan bahwa Phanerophyte menempati
Tabel 8 menunjukkan bahwa tipe Phanerophyte berada urutan pertama vegetasi Serengan, sesuai dengan urutan
pada urutan pertama, sesuai dengan urutan standard standar Raunkier. Begitu juga dengan tipe
Raunchier, berikutnya tipe Hemicryptophyte dan Hemicryptophyte pada urutan kedua. Namun tipe
Therophyte yang memiliki urutan yang sama. Dalam Chamaeophyte dan Therophyte menempati urutan yang
standar Raunkier kedua tipe tersebut memiliki urutan dan sama. Hal ini berbeda dengan urutan pada standar
besaran angka yang sama. Urutan terakhir ditempati tipe Raunkiaier. Urutan terakhir adalah tumbuhan kelompok
Cryptophyte, sesuai dengan bentuk kehidupan (life form) tipe Cryptophyte.
standar Raunkiaier, tetapi skor persentase tipe Berdasarkan Tabel 9 dapat dibuat histogram penyusun
Cryptophyte lebih kecil dibanding bentuk kehidupan (life bentuk kehidupan (life form) untuk kecamatan Serengan
form) standar Raunkiaier. Hal tersebut berbeda dengan yaitu:
empat tipe lainya yang memiliki nilai lebih besar
disbanding bentuk kehidupan (life form) standar
Raunkiaier.
Berdasarkan Tabel 8, dapat dibuat histogram penyusun
bentuk kehidupan (life form) untuk kecamatan Laweyan
yaitu :
16 BIOEDUKASI 7(2): 10-17, Agustus 2014

50 46
70 45
37,5
60 40
35
50
30 26
Jumlah (%)

skala BB
40 25
Skala Raunkier 20 Skala Raunkikier
15 15 15 15
30 13
15
9
20 Rerata Derajat Kover ( % 10 6
) skala BB
5
10
0
0 P Ch H Cr Th

Gambar 5. Histogram Hasil Pengamatan Tipe Life Form (TLF)


di Kecamatan Banjarsari
Histogram di atas menunjukkan bahwa (life form)
Tipe Life Form Phanerophyte dan Hemicryptophyte berada di bawah
standar Raunkier. Sementara (life form) yang lain
memiliki nilai di atas standar Raunkier. Selisih terbesar
Gambar 4. Histogram Hasil Pengamatan Tipe Life Form (TLF) skor ada pada tipe Cryptophyte. Pada wilayah lainya tipe
di Kecamatan Serengan Cryptophytes memiliki nilai di bawah standar Raunkier.
Ini menunjukkan bahwa Wilayah Banjarsari sangat
mendukung tumbuhan kelompok Cryptophyte dan kurang
Histogram di atas menunjukkan bahwa selisih skor mendukung tipe Phanerophyte maupun Hemicryptophyte.
persentase tipe Phanerophyte antara vegetasi Laweyan Data untuk setiap Kecamatan kemudian ditabulasikan
dengan standar Raunkiaier adalah yang paling besar. menjadi data penyusun bentuk kehidupan (life form)
Selain tipe Cryptophyte tipe tipe vegetasi di Laweyan Kotamadya Surakarta seperti pada Tabel 10 berikut:
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan standar
Raunkiaier. Tabel 10. Penyusun Bentuk Kehidupan (life form) Vegetasi di
Surakarta
Tabel 10. Penyusun Bentuk Kehidupan (life form) untuk
Kecamatan Banjarsari
Bentuk Kehidupan Skala Luas Skala BB
(Life Form) Raunkier Penutupan (%)
Luas
Skala Skala (%) (Cover)
Bentuk Kehidupan Penutupan
Raunchier BB (%)
(Life Form) (Cover )
(%) (%) Phanerophyte 46 104,40 87,5
(%)
Chamaeophyte 9 11,78 15
Phanerophyte 46 34,83983 37,5
Hemycriptophyte 26 34,95 37,5
Chamaeophyte 9 6,076671 15 Cryptophytes 6 4,91 2,5
Therophyte 13 7,81 15
Hemycriptophyte 26 12,28803 15 JUMLAH 100 163,85 157,5

Cryptophytes 6 5,597942 15
90
Therophyte 13 9,027194 15 80
70
60
JUMLAH 100 67,829667 97,5 50
Cover (%)

40
Skala Raunkier
Tabel 10 menunjukkan bahwa ketidak sesuaian antara 30
20 Skala BB
urutan dominasi bentuk kehidupan (life form) vegetasi di 10
Banjarsari dengan bentuk kehidupan (life form) standar 0

Raunkiaier kecuali pada tipe Phanerophyte yang


menempati urutan pertama. Sementara itu tipe lainya
memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding standar
Raunkier.
Berdasarkan Tabel 10, dapat dibuat histogram Gambar 6. Histogram Penyusun Tipe Life Form Kotamadya
penyusun bentu kehidupan (Life Form) untuk kecamatan Surakarta
Banjarsari yaitu: Data yang dihasilkan dari keseluruhan bentuk
kehidupan (life form) vegetasi di Surakarta menunjukkan
adanya sebaran persentase yang bervariasi. Namun
demikian sebagaian besar bentuk kehidupan (life form)
(Phanerophyte, Chamaeophyte, Hemycriptophyte, dan
Ariyanto, J., Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi 17

Therophyte) memiliki persentase penutupan yang lebih


besar dibandingkan dengan persentase standar Raunkiaer.
Sementara bentuk kehidupan (life form) Cryptophytes
memiliki persentase penutupan yang lebih kecil
disbanding persentase penutupan standar Raunkiaer. Hal
ini mengindikasikan bahwa daya dukung lingkungan di
Surakarta baik untuk tumbuhan yang termasuk dalam
kelompok Phanerophyte, Chamaeophyte,
Hemycriptophyte, dan Therophyte tetapi kurang
mendukung untuk tumbuhan dari kelompok Cryptophytes.

KESIMPULAN

Dari analisis diketahui bahwa bentuk kehidupan (life


form) yang paling mendominasi vegetasi di Kotamadya
Surakarta adalah Phanerophyte dengan persentase
penutupan (cover) yang paling tinggi (104%).Berdasarkan
hasil perbandingan penyusun bentuk kehidupan (life form)
dengan bentuk kehidupan (life form) standar Raunkiaier
hanya bentuk kehidupan (life form) Cryptophyte yang
memiliki nilai persentase di bawah standar Raunkiaier.

DAFTAR PUSTAKA
Cain, S.A. 1950. Life forms and Phytoclimate. Bot. Rev.
Claredon press, Oxford.
Costa, R.C., Soares, A.F, LimaVerde, L.W. 2007. Flora and life
form Spectrum in an Area of Deciduous Thorn Woodland
(caatinga) in Northeastern, Brazil. Journal of Arid
Environments
Litbang kompas, 2001. Badan Pusat Statistik Kota Surakarta
Dalam
http://www.weatherbase.com/weather/weather.php3?s=548
69&refer==&units=metric
Mera, 1999. Aerophyte, A New Life form in Raunkier
Classification? Journal vegetation Science
Melati F, 2007. Metode Samplingm Ekologi, PT. Bumi Aksara.
Jakarta
Muller and Dumbois, 1974, Aims and Methods of Vegetation
Ecology, John Willey and Sons, Inc.
Putu A, 2012. Ekologi Tumbuhan, Udayana University Press,
Denpasar.
Slingsby and Cook, 1989. Practical Ecology, Macmillan
Publication LTD.
Suwasono H., 2012. Metode Analisis Vegetasi dan Komunitas,
PT. Rajagrafindo Persada, Depok
Wirakusumah S, 2003. Dasar-Dasar Ekologi Menopang
Pengetahuan Limu –Ilmu Lingkungn. Universitas
Indonesia Press, Jakarta
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

ANALISIS VEGETASI POHON HUTAN ALAM GUNUNG MANGLAYANG


KABUPATEN BANDUNG

Tri Cahyanto, Destiana Chairunnisa, Tony Sudjarwo


Jurusan Biologi FST, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Bandung

ABSTRACT
Forest is one of the natural resources on which there is vegetation community dominated by
trees and has a very close relationship with the natural world. The purpose of this examination
was to examine the composition and structure of natural forest vegetation, including species,
stratification and patterns of distribution of natural forest vegetation of Mount Manglayang. In
addition to known picture of the distribution of species populations and the influence of
environmental factors. The examination was conducted using the method of least squares with
purposive sampling, which is done by determining the plot is based on the height above sea
level (asl) by 4 plot. Then each plot measuring 10 × 10 m 2 (≥ 10 cm diameter) and subplot size
of 5 × 5 m2 (2 ─ rod diameter 9.9 cm). The data obtained for the calculation of the density
analysis (K) and relative density (KR), frequency (F) and relative frequency (FR), dominance
(D) and relative dominance (DR) and Important Value Index (IVI), in addition to the also
calculated species diversity and uniformity. The results indicate there are 11 types of saplings
and trees were found. Vegetation sapling that has a value (IVI) a maximum of 70.11% is kind
Pinanga coronata. Amounted to 56.21% while the tree is Ficus procera. To dominate the
diameter distribution diameter about 2 ─ 60 cm. While the height of the trees that dominate the
distribution is in stratum C (4 ─ 20 m). Distribution patterns and tree saplings are regular.
Calculation of diversity indices for saplings obtained a value of 1.64 (medium category) and
uniformity index value of 0.48 obtained (lower category) and for tree diversity index obtained
values of 2.00 (medium category) and obtained a value of the uniformity index 0.53 (lower
category).
Key Words: analisis vegetasi, hutan alam, Gunung Manglayang

1. Pendahuluan pemukiman manusia, rekreasi, pelindung


Sumberdaya alam khususnya marga satwa dan pendidikan (Pradiastoro,
sumberdaya hutan merupakan salah satu 2004). Manurut Gardner dan Robert (1999),
sumberdaya yang sangat penting dan hutan merupakan tempat tinggal bagi
potensial bagi kehidupan manusia sehingga spesies tumbuhan dan hewan, menyediakan
perlu dijaga keberadaannya sebagai fungsi lahan untuk pemukiman dan pertanian.
penyangga sistem kehidupan. Selain itu Muttaqien (2005), menjelaskan bahwa
hutan mempunyai pengaruh yang sangat seluruh hutan di Indonesia adalah hutan
luas terhadap keadaan tanah, sumber air, hujan tropis, salah satunya yaitu Hutan

145
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

Lindung Gunung Manglayang yang dalam vegetasi dan lingkungan tersebut.


merupakan bagian dari ecoregion hutan Dengan kata lain, vegetasi tidak hanya
hujan tropis pegunungan khususnya di Jawa kumpulan dari individu-individu tumbuhan
Barat. Gunung Manglayang terletak 20 Km melainkan membentuk suatu kesatuan di
disebelah timur Kota Bandung serta mana individu-individunya saling
memiliki ketinggian 1.000─1.812 meter di tergantung satu sama lain, yang disebut
atas permukaan laut (dpl). Dharmawan sebagai suatu komunitas tumbuh-tumbuhan
(1999, dalam Muttaqien, 2005) mengatakan (Soerianegara dkk., 1978 dalam Bakri
bahwa secara umum Gunung Manglayang 2009).
memiliki tiga tipe vegetasi, yaitu hutan Analisis vegetasi hutan merupakan
pinus, lahan terbuka dan hutan alam. Hutan studi yang bertujuan untuk mengetahui
pinus umumnya terdapat pada ketinggian struktur dan komposisi hutan. Arrijani dkk.,
berkisar antara 1.000─1.375 meter di atas (2006), mengatakan bahwa kehadiran
permukaan laut (dpl) dan lahan terbuka vegetasi akan memberikan dampak positif
umumnya hasil perubahan bentuk dari bagi keseimbangan ekosistem dalam skala
habitat hutan pinus ataupun dari habitat yang lebih luas. Sebagai contoh secara
hutan alam. Hutan alam umumnya terdapat umum vegetasi akan mengurangi suatu laju
pada ketinggian ˃1.250 meter di atas erosi tanah, mengatur keseimbangan
permukaan laut (dpl) serta dominan pada karbondioksida dan oksigen di udara,
ketinggian ˃1.375 m dpl, dan vegetasi hutan pengaturan tata air tanah, perbaikan sifat
alam di Gunung Manglayang merata pada fisik, kimia dan biologis tanah.
ketinggian ˃1.500 meter di atas permukaan Pengaruhnya bervariasi tergantung pada
laut (dpl). Vegetasi hutan alam juga terdapat struktur dan komposisi tumbuhan yang
pada daerah yang terjal dengan kemiringan menyusun formasi vegetasi daerah tersebut.
lereng lebih dari 40°. Penelitian mengenai analisis vegetasi
Vegetasi yaitu kumpulan dari beberapa hutan alam di Gunung Manglayang belum
jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama pernah dilaporkan dalam jurnal-jurnal atau
pada satu tempat dimana antara individu- pertemuan-pertemuan ilmiah. Hasil analisis
individu penyusunnya terdapat interaksi vegetasi hutan alam di Gunung Manglayang
yang erat, baik diantara tumbuh-tumbuhan dapat memberikan gambaran tentang
maupun dengan hewan-hewan yang hidup struktur dan komposisi jenis pohon di hutan

146
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

tersebut yang bermanfaat untuk kepentingan Setiap plot dilakukan penghitungan


yang lebih luas lagi yaitu konservasi atau jumlah individu pohon yakni pohon dewasa
restorasi. yang memiliki diameter batang lebih dari
atau sama dengan 10 cm, anak pohon yang
2. Bahan dan Metode memiliki diameter batang 2 sampai dengan
Penelitian ini dilakukan di kawasan 9,9 cm, mengukur tinggi pohon dan
hutan alam Gunung Manglayang Kabupaten spesimen contoh diambil untuk keperluan
Bandung dari bulan Januari sampai dengan identifikasi. Faktor lingkungan yang diukur
Maret 2013. Peralatan yang digunakan yaitu adalah suhu udara, kelembaban udara,
tali rapia, patok, meteran gulung 30 meter, intensitas cahaya, kelembaban tanah, pH
alat tulis, altimeter, lux meter, soil tester, tanah dan ketinggian hutan di atas
higrometer, klinometer, kertas label, sasag, permukaan laut.
kantong keresek dan kamera. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah kertas koran 2.1 Analisis Data
dan alkohol 70% untuk mengawetkan Data yang diperoleh, dilakukan
spesimen. penghitungan untuk analisis terhadap
Metode penelitian yang dilakukan kerapatan dan kerapatan relatif, frekuensi
adalah menggunakan metode kuadrat dan frekuensi relatif, luas bidang dasar
dengan pengambilan sampel secara (LBD), dominansi dan dominansi relatif,
purposif, yaitu dilakukan dengan cara serta indeks nilai penting (INP) (Saharjo,
menentukan plot berdasarkan ketinggian di 2006). Persamaan yang digunakan dalam
atas permukaan laut (dpl). Setiap plot perhitungan mengacu pada Onrizal dkk.,
berjarak sekitar 100 m dpl, yaitu plot 1 pada (2005), sebagai berikut:
ketinggian 1500 m dpl, plot 2 pada a. Kerapatan suatu jenis (K)
ketinggian 1600 m dpl, plot 3 pada 𝛴 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
K=
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
ketinggian 1700 m dpl dan plot 4 pada
b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)
ketinggian 1812 m dpl. Kemudian setiap 𝐾 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
2
KR = 𝐾 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠x 100 %
plot berukuran 10×10 m (diameter batang
≥ 10 cm) dan subplot yang berukuran 5×5 c. Frekuensi suatu jenis (F)
𝛴 𝑆𝑢𝑏− 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
m2 (diameter batang 2─9,9 cm) sebanyak 4 F= 𝛴 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑢𝑏−𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
plot. d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

147
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

𝐹 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 H'= Indeks Keanekaragaman Shannon-


FR = 𝐹 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 x 100%
Weiner
e. Dominansi suatu jenis (D)
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
s = Jumlah spesies pohon
D= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

Luas Bidang Dasar = 2.4 Pola Distribusi Pohon


𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 2
𝜋𝑥( ) Pola distribusi spasial (spatial
2

f. Dominansi relatif suatu jenis (DR) distribution pattern) individu suatu jenis
𝐷 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 pada setiap tingkat pertumbuhan dihitung
DR = 𝐷 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 x 100%
berdasarkan indeks Morishita (𝐼𝛿 )
g. Indeks Nilai Penting (INP)
(Morishita, 1959) dengan rumus sebagai
INP = KR + FR + DR
berikut:
∑𝒒𝒊=𝟏 𝒙𝒊 (𝒙𝒊 − 𝟏)
2.2 Keanekaragaman Jenis 𝑰𝜹 = 𝒒
𝑻(𝑻 − 𝟏)
Keanekaragaman jenis vegetasi dapat
Keterangan: 𝐼𝛿 = Indeks Morishita
dianalisis dengan menggunakan rumus
xi = Jumlah individu jenis X
indeks keanekaragaman Shannon-Weiner,
pada semua plot
yaitu:
q = Jumlah plot
𝒏𝒊 𝒏𝒊
H' = − ∑𝒔𝒊[( ) 𝐥𝐧( )] T = Jumlah semua individu di dalam semua
𝑵 𝑵

Keterangan: plot
Hˊ= Indeks keanekaragaman Shannon- Dengan ketentuan sebagai berikut: IM
Weiner = 1 pola distribusi adalah acak, IM> 1 pola
S = Jumlah speies pohon distribusiadalah mengelompok, IM< 1 pola
ni = Jumlah jenis i yang ditemukan distribusi adalah teratur. Satuan yang
N = Jumlah seluruh individu yang digunakandalam penelitian ini adalah
ditemukan individu per m2 (Morishita, 1959).
3. Hasil dan Pembahasan
2.3 Keseragaman jenis I.1 3.1 Komposisi Jenis
𝑯′
𝑬= Penelitian dilakukan di kawasan hutan
𝐥𝐧(𝒔)
Keterangan: alam gunung Manglayang Kabupaten

E = Indeks keseragaman (0—1) Bandung dengan luas 1.750 m2. Luas


kawasan yang diteliti 400 m2 mencakup

148
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

22,9% dari luas hutan alam Gunung dengan jumlah individu sebanyak 75
Manglayang. Hasil penelitian ditemukan 11 individu (Tabel 4.1).
jenis pohon yang termasuk ke dalam 7 suku
Tabel 4.1. Jenis-jenis pohon yang terdapat di hutan alam gunung Manglayang Kabupaten
Bandung
Plot Juml Rata-
Tingkat ah rata
Nama
Pertumbu Suku Jenis per per
Daerah 1 2 3 4
han spesie spesie
s s
Anak 1. Castanopsis
Saninten 4 0 0 1 5 1,25
Pohon argentea
Fagaceae
2. Castanopsis
Saninten 3 4 0 0 7 1,75
javanica
Rasamal
3. Ficus procera 1 0 0 0 1 0,25
a
Moraceae
Rasamal
4. Ficus cuspidata 0 2 0 0 2 0,50
a
Pittosporac 5. Pittosporum
Ki honje 0 1 0 0 1 0,25
eae ferrugineum
Arecaceae 6. Pinanga coronata Bingbin 0 0 7 4 11 2,75
7. Maxropanax
Araliaceae Cerem 0 0 0 3 3 0,75
dispermum
Total anak pohon 8 7 7 8 30
Pohon 1. Castanopsis
Saninten 4 1 0 0 5 1,25
argentea
Fagaceae
2. Castanopsis 1
Saninten 0 0 0 10 2,50
javanica 0
Rasamal
Moraceae 3. Ficus procera 8 2 0 0 10 2,50
a

149
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

Rasamal
4. Ficus cuspidata 0 5 2 0 7 1,75
a
5. Ficus variegata Kondang 0 0 1 0 1 0,25
Ki
6. Ficus elastica 0 0 0 1 1 0,25
bingbin
Pittosporac 7. Pittosporum
Ki honje 1 0 0 0 1 0,25
eae ferrugineum
Theaceae 8. Schima noronhae Puspa 1 1 2 0 4 1,00
Oleaceae 9. Fraxinus griffithii Ki Ucing 0 0 1 0 1 0,25
10.Maxropanax
Araliaceae Cerem 0 0 0 5 5 1,25
dispermum
1 1
Total pohon 6 6 45
4 9

Berdasarkan Tabel 4.1, anak pohon Schima noronhae masing-masing sebanyak


yang mendominasi pada plot 1 yang 2 individu dan untuk plot 4 yang ditemukan
ditemukan merupakan jenis Castanopsis merupakan jenis Maxropanax dispermum
argentea sebanyak 4 individu, untuk plot 2 sebanyak 5 individu (Tabel 4.1).
yang ditemukan merupakan jenis Berdasarkan Tabel 4.1 nilai untuk anak
Castanopsis javanica sebanyak 4 individu, pohon didominasi oleh P. coronata dengan
untuk plot 3 yang ditemukan merupakan jumlah 11 individu yang terdapat pada plot
jenis Pinanga coronata sebanyak 7 individu 3 dan 4 yaitu masing-masing terdapat 7
dan untuk plot 4 yang ditemukan merupakan individu dan 4 individu. Pohon dewasa yang
jenis P. coronata sebanyak 4 individu berdiameter lebih dari 10 cm didominasi
(Tabel 4.1). Sedangkan untuk pohon yang oleh C. javanica dan F. procera yang
mendominasi pada plot 1 yang ditemukan masing-masing memiliki jumlah 10
merupakan jenis Ficus procera sebanyak 8 individu, hal ini dikarenakan pohon tersebut
individu, untuk plot 2 yang ditemukan terdapat pada plot 1 berjumlah 8 individu
merupakan jenis C. javanica sebanyak 10 dan plot 2 berjumlah 2 individu, sedangkan
individu, untuk plot 3 yang ditemukan untuk jenis C. javanica hanya terdapat pada
merupakan jenis Ficus cuspidata dan

150
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

plot 2 saja dengan jumlah total 10 individu.


(Tabel 4.1).
Berdasarkan Tabel 4.1 pada ketinggian
1.500 dan 1.600 m dpl untuk anak pohon di
dominasi oleh jenis Castanopsis, hal ini
sesuai dengan yang dikatakan oleh
Heriyanto (2007), bahwa habitat
Castanopsis sp. pada daerah dengan
ketinggian tempat yang berkisar antara
200—1.600 m dpl.
Struktur dan komposisi suatu vegetasi
dipengaruhi oleh komponen ekosistem
lainnya yang saling berinteraksi, sehingga
vegetasi yang tumbuh secara alami pada
wilayah tersebut sesungguhnya merupakan
hasil interaksi berbagai faktor lingkungan
(Arrijani dkk., 2006). Rahmasari (2011)
menyatakan bahwa komposisi jenis
merupakan salah satu nilai yang digunakan
untuk mengetahui proses suksesi yang
sedang berlangsung pada suatu komunitas
yang telah terganggu.

151
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

Tabel 4.2. Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Luas Bidang Dasar (LBD), Dominansi (D), Dominansi
Relatif (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP) anak pohon dan pohon di hutan alam gunung Manglayang Kabupaten Bandung
Tingkat
Nama
Pertumbuh Suku No Jenis K KR F FR LBD D DR INP
Daerah
an
Anak Fagaceae 1.Castanopsis argentea Saninten 0,20 16,67 0,50 20,00 43,04 1,72 31,27 67,93
pohon 2.Castanopsis javanica Saninten 0,28 23,33 0,50 20,00 19,72 0,79 14,32 57,66
Moraceae 3. Ficus procera Rasamal
0,04 3,33 0,25 10,00 15,90 0,64 11,55 24,88
a
4.Ficus cuspidata Rasamal
0,08 6,67 0,25 10,00 18,03 0,72 13,10 29,77
a
Pittosporace 5.Pittosporum
Ki honje 0,04 3,33 0,25 10,00 5,72 0,23 4,16 17,49
ae ferrugineum
Arecaceae 6.Pinanga coronata Bingbin 0,44 36,67 0,50 20,00 18,50 0,74 13,44 70,11
Araliaceae 7.Macropanax
Cerem 0,12 10,00 0,25 10,00 16,73 0,67 12,16 32,16
dispermum
Total Anak pohon 100,0 100,0 100,0 300,0
1,20 2,50 137,64 5,51
0 0 0 0
Pohon Fagaceae 1. Castanopsis 2677,4
Saninten 0,05 11,11 0,5 13,33 26,77 4,66 29,11
argentea 4

152
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

2. Castanopsis 7390,3
Saninten 0,10 22,22 0,25 6,67 73,90 12,87 41,76
javanica 8
Moraceae 3. Ficus procera Rasamal 11859, 118,5
0,10 22,22 0,5 13,33 20,65 56,21
a 00 9
4. Ficus cuspidata Rasamal 8550,6
0,07 15,56 0,5 13,33 85,51 14,89 43,78
a 1
5. Ficus variegata 1103,9
Kondang 0,01 2,22 0,25 6,67 11,04 1,92 10,81
1
6. Ficus elastica Ki 1017,3
0,01 2,22 0,25 6,67 10,17 1,77 10,66
bingbin 6
Pittosporace 7. Pittosporum
Ki honje 0,01 2,22 0,25 6,67 593,66 5,94 1,03 9,92
ae ferrugineum
Theaceae 8. Schima noronhae 5065,4
Puspa 0,04 8,9 0,75 20,00 50,65 8,82 37,71
1
Oleaceae 9. Fraxinus griffithii Ki Ucing 0,01 2,22 0,25 6,67 660,19 6,60 1,15 10,04
Araliaceae 10. Macropanax 18505, 185,0
Cerem 0,05 11,11 0,25 6,67 32,23 50,00
dispermum 00 5
Total pohon 100,0 100,0 57422, 574,2 100,0 300,0
0,45 3,75
0 0 95 3 0 0

Keterangan: K = Kerapatan (ind/ha), F = Frekuensi (%), D = Dominansi berdasarkan luas Bidang Dasar (m2/ha), INP = Indeks Nilai Penting (%)

153
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

Berdasarkan Tabel 4.2, diperoleh INP di hutan alam Gunung Manglayang didapat
terbesar untuk anak pohon yang berdiameter indeks keanekaragaman sebesar 1,64 untuk
2─9,9 cm ditemukan pada jenis P. coronata anak pohon. Hal ini menunjukkan bahwa
sebesar 70,11% (kategori rendah) dengan jumlah jenis diantara jumlah total individu
kerapatan 36,67% dan luas bidang dasar seluruh jenis yang ada termasuk ke dalam
(LBD) sebesar 18,50 m2. Untuk pohon kategori keragaman spesies sedang. Indeks
dewasa INP terbesar ditemukan pada jenis keseragaman anak pohon pada lokasi
F. procera sebesar 56,21% (ketegori penelitian sebesar 0,48. Hal ini
rendah) dengan kerapatan 22,22% dan luas menunjukkan bahwa nilai keseragaman
bidang dasar (LBD) sebesar 11859,00 m2. jenis pada hutan alam gunung Manglayang
(Tabel 4.2). Romadhon (2008) mengatakan Kabupaten Bandung termasuk dalam
bahwa Indeks Nilai Penting (INP) kategori rendah.
merefleksikan keberadaan peran Berdasarkan hasil penelitian yang
(dominansi) dan struktur vegetasi suatu dilakukan di hutan alam Gunung
tegakan hutan tersebut. Indeks Nilai Penting Manglayang didapat indeks
(INP) dapat dikategorikan dalam skala keanekaragaman sebesar 2,00 untuk pohon.
0─300, yaitu pada skala 0─100 termasuk ke Hal ini menunjukkan bahwa jumlah jenis
dalam kategori rendah, skala 101─200 diantara jumlah total individu seluruh jenis
termasuk ke dalam kategori sedang dan yang ada termasuk ke dalam kategori
untuk skala 201─300 termasuk kedalam keragaman spesies sedang. Indeks
kategori tinggi. keseragaman pohon pada lokasi penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan sebesar 0,53 (kategori tinggi).
oleh Kurniawan dkk., (2008) mengatakan Menurut Indriani (2009), jika kriteria
bahwa persebaran suatu jenis tumbuhan F. nilai indeks keanekaragaman Shannon-
procera secara tidak langsung dipengaruhi Weiner adalah H' < 1 = keanekaragaman
oleh adanya suatu intraksi dengan beberapa rendah, H' 1─3 = keanekaragaman sedang,
faktor lingkungan, yaitu intensitas cahaya, dan H' > 3 = keanekaragaman tinggi.
pH tanah dan ketinggian di atas permukaan Ketersediaan nutrisi dan pemanfaatan
laut. nutrisi yang berbeda menyebabkan nilai
Berdasarkan penelitian yang dilakukan keanekaragaman dan nilai Indeks
keseragaman bervariasi. Krebs (1985 dalam

154
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

Bakri, 2009), menyatakan bahwa Indeks


Keseragaman rendah 0<E<0,5 dan
keseragaman tinggi apabila 0,5<E<1.

Tabel 4.5. Pola distribusi anak pohon dan pohon di hutan alam gunung Manglayang Kabupaten
Bandung
Tingkat Indeks Morishita Pola
Pertumbu Suku No Jenis Plot Plot Plot Plot Distrib
han 1 2 3 4 usi
Anak Fagaceae 1.Castanopsis 0,05 0 0 0
Teratur
Pohon argentea 5
2.Castanopsis 0,02 0,05 0 0
Teratur
javanica 8 5
Moraceae 3.Ficus procera 0 0 0 0 -
4.Ficus cuspidata 0 0,00 0 0
Teratur
9
Pittosporace 5.Pittosporum 0 0 0 0
-
ae ferrugineum
Arecaceae 6.Pinanga coronata 0 0 0,19 0,05
Teratur
3 5
Araliaceae 7.Macropanax 0 0 0 0,02
Teratur
dispermum 8
Pohon Fagaceae  Castanopsis 0,02 0 0 0
Teratur
argentea 4
 Castanopsis 0 0,18 0 0
Teratur
javanica 2
Moraceae  Ficus procera 0,11 0,00 0 0
Teratur
3 4
 Ficus cuspidata 0 0,04 0,00 0
Teratur
0 4

155
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

 Ficus variegata 0 0 0 0 -
 Ficus elastica 0 0 0,00 0
Teratur
4
Pittosporace  Pittosporum 0 0 0 0
-
ae ferrugineum
Theaceae  Schima noronhae 0 0 0 0 -
Oleaceae  Fraxinus griffithii 0 0 0 0,04
Teratur
0
Araliaceae  Maxropanax 0 0 0 0
-
dispermum
individu di dalam dan antar jenis dalam
Berdasarkan Tabel 4.5 di atas dapat mendapatkan hara dan ruang. Odum (1959,
diketahui bahwa pola distribusi anak pohon dalam Pradiastoro 2004) menyatakan
dan pohon di hutan alam gunung bahwa pola teratur merupakan hasil dari
Manglayang Kabupaten Bandung adalah interaksi negatif antar individu, contohnya
teratur karena hasil perhitungan Indeks kompetisi untuk memperoleh ruang dan
Morishita menunjukan bahwa kurang dari 1. makanan, atau terdapat antagonisme positif
Menurut Morishita, (1959) bahwa IM = 1 untuk mendapatkan ruang yang lebih luas.
maka pola distribusi adalah acak, jika IM > I.2 3.2 Struktur Horizontal (Distribusi
1 maka pola distribusi adalah Diameter)
mengelompok, sedangkan IM < 1 maka pola
Berdasarkan hasil pengamatan yang
distribusi adalah teratur. Namun untuk anak
dilakukan di hutan alam gunung
pohon pada jenis F. procera dan P.
Manglayang Kabupaten Bandung didapat
ferrugineum serta untuk pohon jenis F.
diameter pohon terbesar yaitu pada diameter
variegata, P. ferrugineum, S. noronhae
260 cm dan untuk diameter pohon terkecil
didapat pada diameter pohon 2 cm. Dengan
dan M. dispermum tidak dapat dihitung
demikian dapat diketahui bahwa sebaran
karena jumlahnya hanya 1 sehingga Indeks
diameter pohon di hutan alam gunung
Morishita adalah 0.
Manglayang Kabupaten Bandung sangat
Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa adanya persaingan

156
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

beragam, hal ini dapat dilihat pada Gambar


4.2 di bawah ini.
60 51

Jumlah Individu
50
40
30
18
20
10 6
0
2—60 61—120 121—260 cm
Kelas Diameter (cm)

Gambar 4.2 Sebaran kelas diameter pohon di hutan alam gunung Manglayang Kabupaten
Bandung

Berdasarkan Gambar 4.2 di atas dapat menjelaskan bahwa pohon yang memiliki
diketahui bahwa sebaran kelas diameter diameter antara 121─260 cm diperoleh
2─60 cm diperoleh 51 jumlah individu sebanyak 6 individu pohon dari 75 individu
pohon per 400 m2 dari 75 individu pohon pohon yang diamati di lokasi penelitian per
yang diamati di lokasi penelitian. Dengan 400 m2.
51 individu yang didapat dari total Berdasarkan Gambar 4.2 di atas
keseluruhan 75 individu pohon memiliki menjelaskan bahwa sebaran kelas diameter
kerapatan 0,13 m2 pada hutan alam gunung pohon pada hutan alam gunung Manglayang
Manglayang Kabupaten Bandung tersebut. Kabupaten Bandung menunjukkan hasil
Pada diameter pohon antara 61─120 cm yang sangat beragam. Meyer (1952, dalam
diperoleh 18 jumlah individu pohon dari 75 Onrizal dkk., 2008) mengatakan bahwa
individu pohon per 400 m2 dengan suatu tegakan hutan dengan distribusi
kerapatan pohon sebesar 0,045 m2. diameter dalam kondisi yang beragam,
Sedangkan untuk pohon berdiameter sehingga secara tidak langsung mampu
antara 121─260 cm yang memiliki jumlah menjamin keberlangsungan tegakan hutan
kerapatan pohon sebesar 0,015 m2, hal ini dimasa yang akan datang.
dapat dilihat pada Gambar 4.2 di atas yang

157
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

I.3 3.3 Struktur Vertikal m). Sedangkan stratum pohon yang paling
sedikit ditemukan pada startum A, yaitu
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
hanya terdapat 1 individu pohon dari 75
dilakukan di hutan alam gunung
jumlah pohon keseluruhan yang diamati per
Manglayang Kabupaten Bandungdiperoleh
400 m2.
data sebaran kelas tinggi pohon yang
mendominasi adalah pada stratum C (4─20

50 44
Jumlah Individu

40
30
20
20
10
10
1
0
Stratum A Stratum B Stratum C Stratum D
Kelas Tinggi (m)
Gambar 4.4 Sebaran kelas tinggi pohon di hutan alam gunung Manglayang Kabupaten
Bandung

Pada Gambar 4.4 di atas dijelaskan pohon dari 75 jumlah individu pohon yang
bahwa 75 jumlah individu pohon per ditemukan per 400 m2 dengan nilai
400 m2 yang diamati di lokasi penelitian, kerapatannya sebesar 0,0025 m2. Sedangkan
tinggi pohon yang mendominasi adalah untuk stratum B disusun oleh 10 individu
pada stratum C (4─20m) sebanyak 44 pohon dari 75 individu pohon yang
individu pohon dari 75 jumlah individu ditemukan per 400 m2 dengan nilai
pohon dengan nilai kerapatan sebesar 0,11 kerapatan sebesar 0,025 m2. Dengan
m2. Jumlah pohon 20 individu yang demikian dapat diketahui dari gambar 4.4 di
ditemukan pada sebaran kelas tinggi pohon atas bahwa faktor fisik lingkungan sangat
yaitu pada stratum D (1─4m) dengan nilai berpengaruh terhadap pertumbuhan serta
kerapatan sebesar 0,05 m2. tegakan pohon yang ada di hutan alam
Stratum A disusun dari 1 individu gunung Manglayang Kabupaten Bandung.

158
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

Struktur tegakan pohon sangatlah pengamatan yang dilakukan di lapangan,


penting pada suatu hutan, karena suatu diperoleh rata-rata suhu udara 18,5°C,
tegakan pohon dapat menunjukkan sebaran kelembaban udara 92%, intensitas cahaya
kelas tajuk dan sebaran diameter suatu 3115,5 lux meter, pH tanah rata-rata 6,45
pohon. Berdasarkan kelas stratifikasi tajuk dan kelembaban tanah 20%.
hutan (Pradiastoro, 2004) diketahui bahwa Setiap spesies tumbuhan, memerlukan
pohon di hutan alam gunung Manglayang kondisi lingkungan yang sesuai untuk
Kabupaten Bandung didominasi stratum C hidup, sehingga persyaratan untuk hidup
(tinggi pohon 4─20m) dan stratum D spesies berbeda-beda, dimana mereka
(tinggi pohon 1─4m). Stratum B (tinggi hanya menempati bagian yang cocok bagi
pohon 20─30m) dan stratum A (tinggi kehidupannya, sehingga tumbuhan dapat
pohon lebih dari 30 m). Stratum E (tinggi dijadikan sebagai indikator lingkungan.
0─1 m) biasanya stratum ini diisi oleh Berdasarkan hasil penelitian suku fagaceae
tingkat tumbuhan penutup tanah, sehingga akan dijumpai pada ketinggian sekitar
stratum E tidak termasuk ke dalam cakupan 1.300─1.600 meter di atas permukaan laut
penelitian. (dpl), suku Moraceae pada ketinggian
I.4 3.4 Faktor Lingkungan 1.300─1.700 meter di atas permukaan laut
(dpl), suku Araceae pada ketinggian
Berdasarkan hasil penelitian yang
1.700─1.800 meter di atas permukaan laut
dilakukan di hutan alam gunung
(dpl) dan suku Araliaceae pada ketinggian
Manglayang Kabupaten Bandung memiliki
1.600─1.800. Apabila ketinggian yang
vegetasi pembentukan hutan yang berbeda.
berbeda maka faktor lingkungannyapun
Berbagai macam variasi dan keberadaan
akan berbeda pula. Begitu pula tempat yang
suatu jenis ekosistem dari beberapa lokasi
cocok bagi vegetasi tumbuhan tersebutlah
tidak lepas dari faktor lingkungan, iklim,
spesies-spesies itu akan beradaptasi,
komposisi faktor tanah serta nutrisi yang
tumbuh dan berkembang.
mendukung pada hutan pegunungan
4. Kesimpulan dan Saran
tersebut.
4.1 Kesimpulan
Pada lokasi penelitian didapat
Berdasarkan penelitian ini dapat
perubahan faktor fisik/suhu harian yang
disimpulkan :
berpengaruh terhadap vegetasi hutan
1. Terdapat 11 jenis anak pohon dan
tersebut sehingga mampu beradaptasi
pohon yang ditemukan di lokasi
dengan keadaan lingkungan dan bisa dapat
penelitian, dengan anak pohon yang
tumbuh dengan baik. Berdasarkan
mendominasi yaitu jenis P. coronata
159
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

dengan nilai INP 70,11% dan pohon I.5 4.2 Saran


dewasa yang mendominasi yaitu jenis
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih
F. procera dengan nilai INP 56,21%
lanjut di hutan alam Gunung Manglayang
dan termasuk ke dalam kategori
Kabupaten Bandung yaitu jumlah plot lebih
rendah.
banyak agar keanekaragaman tumbuhan
2. Sebaran diameter yang mendominasi
yang diperoleh lebih beragam lagi, selain
di hutan alam gunung Manglayang
itu diteliti juga mengenai serasah yang
Kabupaten Bandung berdiameter
terdapat di lantai hutan, pengukuran tajuk
sekitar 2─60 cm. Untuk sebaran tinggi
secara komprehensif sesuai dengan titik
pohon yang mendominasi adalah pada
koordinatnya agar lebih tergali lagi potensi
stratum C (4─20m) sebanyak 44
yang dimiliki oleh hutan alam gunung
individu pohon dari 75 jumlah individu
Manglayang Kabupaten Bandung.
pohon. Serta pola distribusi anak
pohon dan pohon di hutan alam gunung
Daftar Pustaka
Manglayang Kabupaten Bandung
Arrijani. Dede, Setiadi. Edi, Guhardja dan
adalah teratur. Sedangkan hasil
Ibnul, Qayim. 2006. Analisis
perhitungan indeks keanekaragaman
Vegetasi Hulu DAS Cianjur Taman
untuk anak pohon didapat nilai sebesar
Nasional Gunung Gede-Pangrango.
1,64 (kategori sedang) serta indeks
Jurnal Biodiversitas. 7(2):147—
keseragamannya didapat nilai sebesar
153.
0,48 (kategori rendah) dan untuk
Bakri. 2009. Analisis Vegetasi Dan
pohon indeks keanekaragamannya
Pendugaan Cadangan Karbon
didapat nilai sebesar 2,00 (kategori
Tersimpan Pada Pohon Di Hutan
sedang) serta indeks keseragamnya
Taman Wisata Alam Taman Eden
didapat nilai sebesar 0,53 (kategori
Desa Sionggang Utara Kecamatan
rendah).
Lumban Julu Kabupaten Toba
3. Pada setiap ketinggian memiliki faktor
Samosir. [Tesis]. Medan:
lingkungan yang bervariasi. Sehingga
Universitas Sumatera Utara Medan.
tumbuhan yang ditemukan di setiap
Gardner, Tom and Robert Engelman. 1999.
plotnya berbeda pula.
Forest Futures: Population,
Consumption and Wood Resources.
Population Action International.
Washington.

160
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911

Heriyanto, N, M. Reny, Sawitri dan Didi Pradistoro, Andita. 2004. Kajian Tempat
Subndinata. 2007. Kajian Ekologi Tumbuh Alami Palahlar Gunung
Permudaan Saninten (Castanopsis (Dipterocarpus retusus) di
argentea (BI.) A.DC.) di Taman Kawasan Hutan Lindung Gunung
Nasional Gunung Gede Pangrango, Cakrabuana Kabupaten Sumedang
Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah. Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor:
13(1). Institut Pertanian Bogor.
Indriani, Dwi Puspa. Hanifah Marisa dan Rahmasari, Kusuma, Esty. 2011.
Zakaria. 2009. Keanekaragaman Komposisi Dan Struktur Vegetasi
Spesies Tumbuhan pada Kawasan Pada Areal Hutan Bekas Terbakar
Mangrove Nipah (Nypa fruticans (Di Areal Upt Taman Hutan Raya
Wurmb) di Kec. Pulau Rimau Kab. R. Soerjo, Malang). [Skripsi].
Banyuasin Sumatera Selatan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Jurnal Penelitian Sains. 12(3) (D) Saharjo, Bambang Hero dan Ati, Dwi,
12309. Nurhayati. 2006. Domination and
Morishita, Masaaki. 1959. Measuring of the Composition Structure Change at
Dispersion on Individuals and Hemic Peat Natural Regeneration
Analysis of the distributional Following Burning; A Case Study
patterns. Memoirs Faculty of in Pelalawan, Riau Province.
Science, Kyushu University, Seri E Biodiversitas. 7(2): 154—158
(Biology) 40: 3—5.
Muttaqien, Zaenal. 2005. Studi Vegetasi
Hutan Hujan Tropis Pegunungan Di
Gunung Manglayang Jawa Barat.
[Skripsi]. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Onrizal. Cecep, Kusmana. Bambang, Hero,
Suharjo. Iin. P. Handayani dan
Tsuyoshi, Kato. 2005. Analisis
Vegetasi Hutan Tropika Dataran
Rendah Sekunder Di Taman Nasional
Danau Sentarum, Kalimantan Barat.
Jurnal Biologi 4(6): 359—372.

161
BIOEDUKASI ISSN: 1693-2654
Volume 7, Nomor 2 Agustus 2014
Halaman 10-17

Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi


Di Kotamadya Surakarta

Joko Ariyanto1, Sri Widoretno1, Nurmiyati1, Putri Agustina2


1
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami No. 36A Kentingan Surakarta
2
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta

*email: joko_ariyanto_30@yahoo.com

Manuscript received: 12 Mei 2013 Revision accepted: 13 Juli 2014

ABSTRACT

Surakarta memiliki luas wilayah 44 km2, terletak di dataran rendah dengan ketinggian 105 m dpl dan di pusat kota 95 m
dpl dan memiliki iklim muson tropis. Tidak semua wilayah Surakarta ditempati penduduk. Ruang terbuka di Surakarta
ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dengan berbagai bentuk kehidupan (life form). Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui berbagai tipe life form penyusun vegetasi dan mengetahui tipe life form yang paling melimpah dan dominan
di Kotamadya Surakarta. Sampling dilakukan pada 1% luas free area (area terbuka hijau) di setiap kecamatan. Ukuran
Plot yang digunakan adalah (10x10) m kemudian pada plot tersebut dilakukan pengamatan untuk diidentifikasi jenis
tumbuhan yang ada dan ditentukan tipe bentuk kehidupan (life form) dari setiap tumbuhan yang ditemukan. Cover dari
setiap bentuk kehidupan (life form) diukur dengan skala Braun-Blanquet kemudian dibandingkan dengan bentuk
kehidupan (life form) standar Raunkiaer. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa bentuk kehidupan (life form) yang
paling mendominasi vegetasi di Surakarta adalah Phanerophyte dengan persentase cover tertinggi (104%). Dengan
membandingkan bentuk kehidupan (life form) standar Raunkiaer diketahui Cryptophyte memiliki persentase di bawah
persentase Cryptophyte bentuk kehidupan (life form) standar Raunchier.

Keywords: Bentuk kehidupan (life form), Ruang terbuka bebas (free area), Vegetasi di Surakarta

LATAR BELAKANG sebelah selatan. Surakarta terletak di dataran rendah


dengan ketinggian 105 m dpl dan di pusat kota 95 m dpl.
Surakarta, atau juga disebut sebagai kota Solo atau Sala Surakarta memiliki iklim muson tropis. Sama seperti kota-
merupakan kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah, kota lain di Indonesia, musim hujan di Surakarta dimulai
Indonesia dengan dan kepadatan penduduk 13.636/ km2. bulan Oktober hingga Maret, dan musim kemarau bulan
Kota dengan luas 44 km2 ini berbatasan dengan April hingga September. Rata-rata curah hujan di
Kabupaten Karanganyar dan Boyolali di sebelah utara, Surakarta adalah 2.200 mm. Rincian luas wilayah
Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di Surakarta pada setiap kecamatan dapat dilihat pada tabel 1
sebelah timur dan barat, serta Kabupaten Sukoharjo di

Tabel 1. Daftar Luas Wilayah Kota Surakarta

No Kecamatan Luas (Km2)


1 Laweyan 8,64
2 Serengan 3,19
3 Pasar Kliwon 4,82
4 Jebres 12,58
5 Banjarsari 14,81
TOTAL 44,04

Sumber : Litbang Kompas diolah dari Badan Pusat Statistik Kota Surakarta, 2001

Adapun persentase wilayah per kecamatan dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Ariyanto, J., Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi 11

20%
34% Laweyan
7%
Serengan
11% Pasar Kliwon
Jebres
28%
Banjarsari

Gambar 1. Persentase luas wilayah per kecamatan di Surakarta


Sumber : Litbang Kompas diolah dari Badan Pusat Statistik Kota Surakarta, 2001

Wilayah di Surakarta terbagi dalam berbagai area. Ada Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat
area yang dihuni penduduk, area dirumuskan masalah yang akan diteliti adalah
persawahan/pertanian/hutan dan area terbuka. Pada area 1. Bagaimana susunan bentuk kehidupan (life form)
terbuka biasanya tumbuh berbagai jenis tumbuhan dengan tumbuhan di Kotamadya Surakarta ?
keanekaragaman yang bervariasi sesuai dengan kondisi 2. Tipe bentuk kehidupan (life form) apa yang paling
tempatnya.Kunci keanekaragaman organisme adalah melimpah dan paling dominan di Kotamadya
adaptasi. Adaptasi berarti proses evolusi yang Surakarta?
menyebabkan organism mampu hidup lebih baik di bawah Tujuan penelitian ini adalah mengetahui berbagai tipe
kondisi lingkungan tertentu dan sifat genetic yang bentuk kehidupan (life form) penyusun vegetasi di
membuat organism lebih mampu bertahan hidup (Putu A, Kotamadya Surakarta dan mengetahui tipe life form yang
2012). Keanekaragaman ini juga bersesuaian dengan paling melimpah dan dominan di Surakarta.
kondisi lingkungan yang ada di Surakarta dan secara tidak
langsung merupakan konsekuensi tidak langsung dari TINJAUAN PUSTAKA
respon tumbuhan terhadap tempat hidupnya.
Wirakusumah S, (2003) mengatakan bahwa organisme Perbedaan kondisi lingkungan menentukan
memiliki sifat responsive terhadap diri dan lingkunganya keanekaragaman tumbuhan yang ada di tempat tersebut
dan dituntut memenuhi persyaratan persyaratan tertentu sebagaimana dinyatakan oleh John, JE and Bagalow,
untuk bertahan hidup. Fenomena ini mengakibatkan sifat (1996) dengan mengatakan bahwa lingkungan mengontrol
adaptive pada proses interaksi dalam ekosistem. diversitas tumbuhan di hutan tropis seperti iklim, tanah ,
Keanekaragaman tumbuhan ini juga punya dan agensia lokal yang dapat mengintervensi struktur
konsekuensi pada bentuk kehidupan (life form) tumbuhan hutan.
penyusun vegetasi di Surakarta. Berbagai bentuk Keanekaragaman tumbuhan di suatu wilayah akhirnya
kehidupan (life form) tumbuhan dari vegetasi di Surakarta menentukan tipe vegetasi di wilayah tersebut. Salah satu
dapat dibandingkan dengan bentuk kehidupan (life form) tipe vegetasi dapat ditentukan dengan melihat
standar Raunkiaer. Penggunaan kehidupan (life form) physiognomi vegetasi tersebut. bentuk kehidupan (life
standar Raunkiaer ini lazim digunakan ahli ekologi karena form) yang paling dominan di wilayah tersbut.
sistem Raunkiaer cukup simpel dan merupakan klasifikasi Bentuk kehidupan (life form) merupakan keseluruhan
berdasarkan bentuk kehidupan (life form) yang paling proses hidup dan muncul secara langsung sebagai respon
memuaskan (Begon, et. Al, 1996). Pengetahuan atas atas lingkungan. Bentuk kehidupan (life form)
bentuk tipe kehidupan (life form) tumbuhan dapat dikelompokkan atas dasar adaptasi organ kuncup untuk
memberikan informasi berharga tentang kondisi melalui kondisi yang tidak menguntungkan bagi
keanekaragaman tumbuhan di Surakarta dan informasi ini tumbuhan (Chain,1950). Raunkier mengelompokkan
sebagai dasar kajian lebih lanjut mengenai kontribusi bentuk kehidupan (life form) tumbuhan bersarakan posisi
tumbuhan di Surakarta terhadap lingkungan. Selain itu dan tingkat perlindungan tunas dalam untuk memunculkan
dengan informasi ini juga daopat diperkirakan kondisi kembali tubuh tumbuhan pada musim yang sesuai.Sesuai
ekologis wilayah Surakarta karena menurut Mera, et all. dasar ini, maka tumbuhan dapat dikelompokkan menjadi 5
(1999) bentuk kehidupan (life form) terkarakter oleh kelas utama life form yang neliputi: Phanerophyte,
adaptasi tumbuhan terhadap kondisi ekologi tertentu. Chamaephyte, Hemikriptophyte, Chryptophyte, dan
12 BIOEDUKASI 7(2): 10-17, Agustus 2014

Therophyte. Tampilan bersama dari persentase setiap 5. Therophyte (Th)


kelas life form tersebut dinamakan spektrum biologi life Therophyte meliputi semua tumbuhan satu musim yang
form. Kemiripan distribusi persentase spektrum biologi pada kondisi lingkungan tidak menguntungkan titik
dari area yang berbeda mengindikasikan kemiripan iklim pertumbuhan berupa embrio dalam biji. Meliputi
(Raunkiaer dalam Costa, et. Al. 2007) tumbuhan semusim dan organ reproduksinya berupa biji,
Tipe vegetasi yang terdiri dari beberapa bagian keabadiannya terbesar lewat embrio dalam biji.
vegetasi dicirikan oleh bentuk kehidupan (life form) dari Biasanya dalam pengungkapan vegetasi berdasarkan
tumbuhan dominan, terbesar atau paling melimpah atau klasifikasi Raunkiaer, vegetasi dijabarkan dalam bentuk
tumbuhan yang karakteristik. spektrum yang menggambarkan jumlah setiap tumbuhan
Pendeskripsian vegetasi berdasarkan physiognominya untuk setiap bentuk tadi. Hasilnya akan memperlihatkan
dilakukan dengan cara menganalisis penampakan luar perbedaan struktur tumbuhan untuk daerah-daerah dengan
vegetasi, yaitu dengan memanfaatkan ciri-ciri utama kondisi regional tertentu. Dengan demikian sifat klimatik
(Melati, 2007). habitat yang berbeda tercermin oleh karakteristik
Uraian vegetasi yang sederhana dan mencakup makna fisiognomi anggota komunitas dan karakteristik akan
yang luas yang menggunakan system lebih lama pada diturunkan pada bentuk struktur yang dikenal dengan life
batasan physiognomi adalah system bentuk kehidupan form suatu jenis. Perbandingan bentuk kehidupan (life
dari Raunkier. Meskipun tidak bergambarseperti sistem form) dua atau lebih komunitas akan mengindikasikan
Dansereau, sistem ini telah digunakan oleh ahli ekologi sifat klimatik penting yang mengendalikan komposisi
seluruh dunia untuk menyediakan bandingan – bandingan komunitas. Sifat komunitas terhadap berbagai faktor
penting dari perbedaan luas vegetasi. Sistem ini lingkungan yang mengendalikan ruang (yang
mendasarkan pada perbedaan posisi kuncup pertumbuhan mengendalikan nilai penutupan) dan hubungan kompetitif
sebagai indikasi (tanda) dari tumbuhan bertahan pada komunitas tersebut.
musin dingin atau kering (Suwasono, 2012). Deskripsi vegetasi pada setiap tegakan tumbuhan dapat
Klasifikasi dunia tumbuhan yang didasarkan atas letak dilakukan dengan skala Braun – Blaquet. Cara ini banyak
kuncup pertumbuhan terhadap permukaan tanah. digunakan untuk komunitas tumbuhan tinggi dan rendah
Raunkiaer dalam Suwasono (2012) membagi dunia (Muller and Dombois, 1974). Nilai skala tersebut adalah
tumbuhan ke dalam 5 golongan yaitu : sebagaimana table 1 berikut.
1. Phanerophyte (P)
Merupakan kelompok tumbuhan yang mempunyai letak Tabel 2. Nilai Penutupan Kemelimpahan Braun – Blaquet yang
titik kuncup pertumbuhan (kuncup perenating) minimal Dikonversikan ke Derajat Rerata Penutupan (cover).
25 cm di atas permukaan tanah. Ke dalam kelompok
tumbuhan ini termasuk semua tumbuhan berkayu, baik Besaran Kisaran cover Rerata derajat cover
pohon, perdu, semak yang tinggi, tumbuhan yang B–B (%)
merambat berkayu, epifit dan batang succulen yang tinggi. 5 76 – 100 87,5
2. Chamaeophyte (Ch) 4 51 – 75 62,5
3 26 – 50 37,5
Kelompok tumbuhan ini juga merupakan tumbuhan
2 5 – 25 15,0
berkayu, tetapi letak kuncup pertumbuhannya kurang dari 1 <5 2,5*
25 cm di atas permukaan tanah. Ke dalam kelompok + <5 0,1*
tumbuhan ini termasuk tumbuhan setengah perdu atau r value ignored
suffruticosa (perdu rendah kecil, bagian pangkal berkayu (Muller – Dombois, 1974) *ditentukan arbitrar
dengan tunas berbatang basah), stoloniferus, sukulen Sistem Raunkiaer secara umum mendasarkan
rendah dna tumbuhan berbentuk bantalan. Chamaeophyte pada cara dan posisi organ reproduksi untuk
juga digolongkan dalam beberapa kelompok yaitu :
mempertahankan terhadap kondisi yang tidak
3. Hemycryptophyte (H)
menguntungkan.
Tumbuhan kelompok ini mempunyai titik kuncup
pertumbuhan tepat di atas permukaan tanah. Tumbuhan METODE
herba berdaun lebar musiman, rerumputan dan tumbuhan
roset termasuk dalam kelompok Hemycryptophyte. 1. Waktu Penelitian
Tumbuhan ini hidup di permukaan tanah, rumput-rumput, Penelitian dilakukan pada tahun 2011 selama kurun waktu
begitu pula tunas dan batang terlindung oleh tanah dan bulan Pebruari - Juli
bahan-bahan mati. 2. Lokasi
4. Cryptophyte (Cr) Penelitian ini dilaksanakan di beberapa lokasi di
Titik kuncup pertumbuhan berada di bawah tanah atau di Kecamatan yang ada di kota Surakarta yaitu Kecamatan
dalam air. Dalam kelompok ini termasuk tumbuhan umbi, Jebres, Serengan, Pasar Kliwon, Banjarsari dan Laweyan.
rimpang, tumbuhan perairan emergent, mengapung dan Pada tiap Kecamatan ditentukan daerah yang termasuk
berakar pada air. Kelompok tumbuhan ini kebanyakan daerah pertanian (crop area), lahan terbuka (free area),
memiliki cadangan makanan yang tertanam dalam tanah dan daerah perumahan (building area). Daerah yang dapat
atau substrat tumbuhnya. dipakai adalah lahan terbuka (free area). Pada tiap
kecamatan dihitung luas total masing-masing lahan
Ariyanto, J., Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi 13

terbuka (free area). Luas masing-masing (free area) pada Sumber: Muller and Dombois, (1974)
masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Setelah ditemukan jumlah titik yang akan di studi
kemudian jumlah titik direduksi sampai batas kemampuan
Tabel 3. Luas Lahan Terbuka Bebas (Free Area) di Kota untuk melakukan studi dengan ketentuan penyebaran titik
Surakarta yang distudi setelah direduksi harus tetap mengikuti
aturan random sampling. Selanjutnya pada tiap-tiap titik
No Kecamatan Free Area Luas (m2) dilakukan plotting dengan luas plot 10x10 m2.
1 Jebres ISI Mojosongo dalam 2800
ISI Mojosongo kanan 3300 5. Teknik Analisis Data
ISI Mojosongo depan 3200
Analisis data dilakukan dengan pembandingan sebaran
Mertoudan 1300
Taman Makam 1300
persentase bentuk kehidupan (life form) terhadap sebaran
Pahlawan 1700 persentase bentuk kehidupan (life form) standar
GOR UNS 9100 Raunkiaer. Selanjutnya ditentukan bentuk kehidupan (life
TPA Mojosongo 1900 form) yang paling dominan dan paling rendah
Pedaringan persentasenya. Adapun langkah dari analisis data adalah
2 Pasar Kliwon Benteng Vastern Burg 7500 sebagai berikut:
Semanggi 3500 1). Pada masing-masing plot dilakukan pengamatan
3 Banjarsari Balekambang 4100 spesies-spesies yang ada dalam plot tersebut kemudian
Mangkunegaran 2100 diukur diameter penutupannya meliputi diameter
Bale peternakan 1500 terpanjang (D1) dan diameter terpendek (D2).
Monumen 45 2100 Kemudian dilakukan identifikasi spesies tersebut
Manahan 700
masuk dalam tipe life form yang mana.
4 Laweyan Karangasem 3100
Kerten 2900
5 Serengan Joyotakan 3700
Danukusuman 800
D2
Sumber : Litbang Kompas diolah dari Badan Pusat Statistik Kota
Surakarta, 2001 D1
3. Jenis Data
1) Data Primer
Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di
lapangan berupa tipe bentuk kehidupan (life form)
tumbuhan, dan luas penutupan. Data ini kemudiaan diolah Pada tiap-tiap spesies kemudian dihitung diameter
untuk diketahui distribusi persentase spektrum biologi rata-rata penutupan kanopinya (Dr = D1+D2/2) dan luas
vegetasinya. cover penutupannya yaitu dengan menganalogikan
2) Data Sekunder kanopinya sebagai lingkaran.
Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber untuk
mengetahui luas wilayah ruang terbuka sehingga dapat Luas penutupan (Cover) = πr2, dimana r = Dr/2
ditentukan luas sampling (1% dari luas terbuka tersebut). 2). Setelah ditemukan luas penutupan (cover) masing-
masing jenis kemudian ditabulasikan menjadi data
4. Teknik Sampling untuk tiap bentuk kehidupan (life form) nya dengan
Sampling dilakukan dengan teknik random sebanyak 566 skala BB dengan ketentuan:
plot ukuran 10x10 m2 dengan ketentuan sebagai berikut:.
Pada masing-masing lahan terbuka bebas (free area) Tabel 4. Nilai Penutupan Kemelimpahan Braun – Blaquet yang
kemudian dihitung luas area cuplikan (LAC) dengan Dikonversikan ke Derajat Rerata Penutupan (Cover).
rumus sebagai berikut:
Besaran Kisaran cover Rerata derajat cover
Luas area cuplikan (LAC) = 1 % x Luas free area B–B (%)
5.
total 5 76 – 100 87,5
4 51 – 75 62,5
Setelah ditemukan luas area cuplikan, kemudian 3 26 – 50 37,5
dihitung jumlah plot (titik) untuk masing-masing lahan 2 5 – 25 15,0
terbuka bebas (free area) dengan ketentuan sebagai 1 <5 2,5*
+ <5 0,1*
berikut :
r value ignored
Jumlah
Rumus plot = Luaspada
berdasarkan areaMuller
cuplikan / Luas plot
– Dombois (1974)
Nb : Sumber: Muller and Dombois, (1974) *ditentukan arbitrar
6.Luas plot untuk Tipe Life Form = 10 x 10 m2
14 BIOEDUKASI 7(2): 10-17, Agustus 2014

3). Setelah ditemukan rerata derajat persentase cover


masing-masing bentuk kehidupan (life form) kemudian
100 87,5
dibandingkan dengan kehidupan (life form) standar 90
Raunkiaer sebagai berikut: 80
70 62,5
P Ch H Cr Th 60
46 9 26 6 13 (100 %) 50
46
40
30 26
Sumber: Muller and Dombois, (1974) 20
15 15
13 15
9 6
10
0
Skala Raunkier
(%)
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan, ditemu-


kan data penyusun bentuk kehidupan (life form) vegetasi Gambar 1. Histogram Hasil Pengamatan Tipe Life Form (TLF)
untuk masing-masing kecamatan sebagai berikut: Kecamatan Jebres
Histogram di atas menunjukkan bahwa besarnya
Tabel 5. Penyusun Tipe Bentuk Kehidupan (life form) di prosentase tipe Phanerophyte dan Hemicryptophyte
Kecamatan Jebres memiliki selisih yang besar antara vegetasi Jebres dengan
standard Raunkiaier. Ini menandakan bahwa kondisi
Luas lingkungan wilyah Jebres memiliki daya dukung yang
Skala
Bentuk Kehidupan Penutupan Skala lebih baik untuk kedua tipe tersebut.
Raunkier
(Life Form) (Cover) BB (%)
(%)
(%) Tabel 6. Penyusun Tipe Bentuk Kehidupan (life form) untuk
Phanerophyte 46 143.80 87.5 Kecamatan Pasar Kliwon
Chamaeophyte 9 9.99 15
Bentuk Kehidupan Skala Luas Skala
Hemycriptophyte 26 52.59 62.5 (Life Form) Raunkier Penutupan BB
(%) (Cover) (%)
Cryptophytes 6 5.89 15
(%)
Therophyte 13 5.28 15 Phanerophyte 46 74.13 62.5
JUMLAH 100 217.55 195 Chamaeophyte 9 36.80 37.5
Tabel 75 menunjukkan perbandingan komposisi Hemycriptophyte 26 5.05 15
bentuk kehidupan (life form) standar Raunkiaier dengan
Cryptophytes 6 1.39 2.5
komposisi bentuk kehidupan (life form) vegetasi
kecamatan Jebres. Bentuk kehidupan (life form) vegetasi Therophyte 13 7.31 15
Jebres di dominasi oleh Phanerophyte , selanjutnya tipe
JUMLAH 100 124.68 132.5
Hemycriptophyte menempati urutan ke dua dan urutan ini
sama dengan bentuk kehidupan (life form) standar Tabel 6 menunujukkan perbandingan komposisi
Raunkiaier meskipun persentase kedua kehidupan (life bentuk kehidupan (life form) antara vegetasi di Pasar
form) tersebut lebih besar disbanding persentase bentuk Kliwon dengan standard Raunkiaier. Tipe Phanerophyte
kehidupan (life form) yang sama pada standar Raunchier. mendominasi vegetasi Jebres lalu disusul tipe
Bentuk kehidupan (life form) Chamaeophyte memiliki Chamaeophyte, lalu tipe Hemicryptophyte dan
persentase bentuk kehidupan (life form) yang sama pada Therophyte, lalu terakhir Cryptophyte. Ini menunjukkan
vegetasi Jebres, sementara ketiga tipe tersebut pada bahwa urutan dominansi tipe vegetasi di Pasar Kliwon
standar bentuk kehidupan (life form) Raunkier memiliki berbeda dengan standar Raunkiaer yaitu pada urutan
skor berbeda. Ini berarti bahwa komposisi bentuk kedua dimana pada standar Raunchier urutan kedua
kehidupan (life form) Chamaeophyte, Therophyte, dan ditempati tipe Therophyte, sementara pada vegetasi Pasar
Hemicryptophyte pada vegetasi Jebres tidak sama dengan Kliwon ditempati tipe Chamaeophyte.
komposisi pada bentuk kehidupan (life form) standar Berdasarkan Tabel 7, dapat dibuat histogram penyusun
Raunchier. Secara keseluruhan, persentase bentuk bentuk kehidupan (life form) untuk kecamatan Pasar
kehidupan (life form) vegetasi Jebres lebih besar Kliwon sebagai berikut:
dibanding standar bentuk kehidupan (life form)
Raunkiaier.
Berdasarkan Tabel 5, dapat dibuat histogram penyusun
bentuk kehidupan (life form) untuk Kecamatan Jebres
sebagai berikut:
Ariyanto, J., Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi 15

70 62,5
87,50
60 90,00
46
JUMLAH (%)

50 37,5
40
26
80,00
30
15 13 15 70,00
20 9 6
10 2,5
SKALA RAUNKIER 60,00
0
SKALA BB 46,00
50,00 SKALA RAUNKIER
37,50 37,50
40,00 SKALA B BLANQUET
26,00
30,00
TIPE LIFE FORM 20,00 15,00 13,00
9,00
6,00
10,00 2,50
0,00
Gambar 2. Histogram Hasil Pengamatan Tipe Life Form (TLF) 1 2 3 4 5
Kecamatan Pasar Kliwon

Histogram di atas menunjukkan bahwa selisih skor Gambar 3. Histogram Penyusun Tipe Life Form
bentuk kehidupan (life form) tipe Chamaeophyte paling Histogram di atas menunjukkan bahwa selisih terbesar
besar. Ini berarti bahwa lingkungan Pasar Kliwon sangat ada pada tipe Phanerophyte, dan hanya tipe Cryptophyte
mendukung tumbuhan kelompok tipe Chamaeophyte. saja yang memiliki skor di bawah standar Raunkiaier.
Sementara itu, tipe Cryptophyte pada vegetasi Pasar Tipe lainya memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan
Kliwon nampak lebih kecil disbanding standard Raunkier. standar Raunkier. Ini menunjukkan bahwa lingkungan
Ini menunjukkan bahwa tumbuhan kelompok tipe Laweyan sangat mendukung tumbuhan kelompok
Cryptophyte di pasar Kliwon kurang terdukung oleh Phanerophyte tetapi kurang mendukung tumbuhan
lingkunganya. kelompok Cryptophyte.

Tabel 8. Penyusun Tipe Bentuk Kehidupan (life form) untuk Tabel 9. Penyusun Bentuk Kehidupan (life form) untuk
Kecamatan Laweyan Kecamatan Serengan

Bentuk Kehidupan Skala Luas Skala BB Luas


skala
(Life Form) Raunkier Penutupan (%) Bentuk Kehidupan Skala Penutupan
BB
(%) (Cover) (life form) Raunkier (cover)
(%)
(%) (%)
Phanerophyte 46 78,43 87,50 Phanerophyte ( P ) 46 69,53 62,5
Chamaeophyte 9 13,17 15,00 Chamaeophyte ( Ch ) 9 22,1 15
Hemycriptophyte 26 44,21 37,50 Hemicrypthopyte ( H ) 26 26,86 37,5
Cryptophytes 6 1,33 2,50 Cryptophyte ( Cr ) 6 0,61 0,1
Therophyte 13 43,88 37,50 Therophyte ( Th ) 13 11,88 15
JUMLAH 100 130,98 130,1
JUMLAH 100 181,02 180,00
Tabel 9 menunjukkan bahwa Phanerophyte menempati
Tabel 8 menunjukkan bahwa tipe Phanerophyte berada urutan pertama vegetasi Serengan, sesuai dengan urutan
pada urutan pertama, sesuai dengan urutan standard standar Raunkier. Begitu juga dengan tipe
Raunchier, berikutnya tipe Hemicryptophyte dan Hemicryptophyte pada urutan kedua. Namun tipe
Therophyte yang memiliki urutan yang sama. Dalam Chamaeophyte dan Therophyte menempati urutan yang
standar Raunkier kedua tipe tersebut memiliki urutan dan sama. Hal ini berbeda dengan urutan pada standar
besaran angka yang sama. Urutan terakhir ditempati tipe Raunkiaier. Urutan terakhir adalah tumbuhan kelompok
Cryptophyte, sesuai dengan bentuk kehidupan (life form) tipe Cryptophyte.
standar Raunkiaier, tetapi skor persentase tipe Berdasarkan Tabel 9 dapat dibuat histogram penyusun
Cryptophyte lebih kecil dibanding bentuk kehidupan (life bentuk kehidupan (life form) untuk kecamatan Serengan
form) standar Raunkiaier. Hal tersebut berbeda dengan yaitu:
empat tipe lainya yang memiliki nilai lebih besar
disbanding bentuk kehidupan (life form) standar
Raunkiaier.
Berdasarkan Tabel 8, dapat dibuat histogram penyusun
bentuk kehidupan (life form) untuk kecamatan Laweyan
yaitu :
16 BIOEDUKASI 7(2): 10-17, Agustus 2014

50 46
70 45
37,5
60 40
35
50
30 26
Jumlah (%)

skala BB
40 25
Skala Raunkier 20 Skala Raunkikier
15 15 15 15
30 13
15
9
20 Rerata Derajat Kover ( % 10 6
) skala BB
5
10
0
0 P Ch H Cr Th

Gambar 5. Histogram Hasil Pengamatan Tipe Life Form (TLF)


di Kecamatan Banjarsari
Histogram di atas menunjukkan bahwa (life form)
Tipe Life Form Phanerophyte dan Hemicryptophyte berada di bawah
standar Raunkier. Sementara (life form) yang lain
memiliki nilai di atas standar Raunkier. Selisih terbesar
Gambar 4. Histogram Hasil Pengamatan Tipe Life Form (TLF) skor ada pada tipe Cryptophyte. Pada wilayah lainya tipe
di Kecamatan Serengan Cryptophytes memiliki nilai di bawah standar Raunkier.
Ini menunjukkan bahwa Wilayah Banjarsari sangat
mendukung tumbuhan kelompok Cryptophyte dan kurang
Histogram di atas menunjukkan bahwa selisih skor mendukung tipe Phanerophyte maupun Hemicryptophyte.
persentase tipe Phanerophyte antara vegetasi Laweyan Data untuk setiap Kecamatan kemudian ditabulasikan
dengan standar Raunkiaier adalah yang paling besar. menjadi data penyusun bentuk kehidupan (life form)
Selain tipe Cryptophyte tipe tipe vegetasi di Laweyan Kotamadya Surakarta seperti pada Tabel 10 berikut:
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan standar
Raunkiaier. Tabel 10. Penyusun Bentuk Kehidupan (life form) Vegetasi di
Surakarta
Tabel 10. Penyusun Bentuk Kehidupan (life form) untuk
Kecamatan Banjarsari
Bentuk Kehidupan Skala Luas Skala BB
(Life Form) Raunkier Penutupan (%)
Luas
Skala Skala (%) (Cover)
Bentuk Kehidupan Penutupan
Raunchier BB (%)
(Life Form) (Cover )
(%) (%) Phanerophyte 46 104,40 87,5
(%)
Chamaeophyte 9 11,78 15
Phanerophyte 46 34,83983 37,5
Hemycriptophyte 26 34,95 37,5
Chamaeophyte 9 6,076671 15 Cryptophytes 6 4,91 2,5
Therophyte 13 7,81 15
Hemycriptophyte 26 12,28803 15 JUMLAH 100 163,85 157,5

Cryptophytes 6 5,597942 15
90
Therophyte 13 9,027194 15 80
70
60
JUMLAH 100 67,829667 97,5 50
Cover (%)

40
Skala Raunkier
Tabel 10 menunjukkan bahwa ketidak sesuaian antara 30
20 Skala BB
urutan dominasi bentuk kehidupan (life form) vegetasi di 10
Banjarsari dengan bentuk kehidupan (life form) standar 0

Raunkiaier kecuali pada tipe Phanerophyte yang


menempati urutan pertama. Sementara itu tipe lainya
memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding standar
Raunkier.
Berdasarkan Tabel 10, dapat dibuat histogram Gambar 6. Histogram Penyusun Tipe Life Form Kotamadya
penyusun bentu kehidupan (Life Form) untuk kecamatan Surakarta
Banjarsari yaitu: Data yang dihasilkan dari keseluruhan bentuk
kehidupan (life form) vegetasi di Surakarta menunjukkan
adanya sebaran persentase yang bervariasi. Namun
demikian sebagaian besar bentuk kehidupan (life form)
(Phanerophyte, Chamaeophyte, Hemycriptophyte, dan
Ariyanto, J., Bentuk Kehidupan (Life Form) Tumbuhan Penyusun Vegetasi 17

Therophyte) memiliki persentase penutupan yang lebih


besar dibandingkan dengan persentase standar Raunkiaer.
Sementara bentuk kehidupan (life form) Cryptophytes
memiliki persentase penutupan yang lebih kecil
disbanding persentase penutupan standar Raunkiaer. Hal
ini mengindikasikan bahwa daya dukung lingkungan di
Surakarta baik untuk tumbuhan yang termasuk dalam
kelompok Phanerophyte, Chamaeophyte,
Hemycriptophyte, dan Therophyte tetapi kurang
mendukung untuk tumbuhan dari kelompok Cryptophytes.

KESIMPULAN

Dari analisis diketahui bahwa bentuk kehidupan (life


form) yang paling mendominasi vegetasi di Kotamadya
Surakarta adalah Phanerophyte dengan persentase
penutupan (cover) yang paling tinggi (104%).Berdasarkan
hasil perbandingan penyusun bentuk kehidupan (life form)
dengan bentuk kehidupan (life form) standar Raunkiaier
hanya bentuk kehidupan (life form) Cryptophyte yang
memiliki nilai persentase di bawah standar Raunkiaier.

DAFTAR PUSTAKA
Cain, S.A. 1950. Life forms and Phytoclimate. Bot. Rev.
Claredon press, Oxford.
Costa, R.C., Soares, A.F, LimaVerde, L.W. 2007. Flora and life
form Spectrum in an Area of Deciduous Thorn Woodland
(caatinga) in Northeastern, Brazil. Journal of Arid
Environments
Litbang kompas, 2001. Badan Pusat Statistik Kota Surakarta
Dalam
http://www.weatherbase.com/weather/weather.php3?s=548
69&refer==&units=metric
Mera, 1999. Aerophyte, A New Life form in Raunkier
Classification? Journal vegetation Science
Melati F, 2007. Metode Samplingm Ekologi, PT. Bumi Aksara.
Jakarta
Muller and Dumbois, 1974, Aims and Methods of Vegetation
Ecology, John Willey and Sons, Inc.
Putu A, 2012. Ekologi Tumbuhan, Udayana University Press,
Denpasar.
Slingsby and Cook, 1989. Practical Ecology, Macmillan
Publication LTD.
Suwasono H., 2012. Metode Analisis Vegetasi dan Komunitas,
PT. Rajagrafindo Persada, Depok
Wirakusumah S, 2003. Dasar-Dasar Ekologi Menopang
Pengetahuan Limu –Ilmu Lingkungn. Universitas
Indonesia Press, Jakarta
D032

KONSEP RAUNKIAER’S LIFE FORM DAN HABITUS


SEBAGAI KOMPONEN KONSTRUKSI PEMAHAMAN STRUKTUR TUMBUHAN

Widodo
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta
email: wwidodo594@gmail.com

ABSTRAK

Pengenalan struktur tumbuhan diawali melalui pengenalan struktur makro berupa habitus dan bentuk hidup. Bentuk hidup (life
form) menurut Raunkiaer’s penting dalam pengenalan struktur makro variasi pola khusus kehidupan tumbuhan. Kajian ini bertujuan
mengetahui hubungan tingkat pemahaman bentuk hidup Raunkiaers dengan pemahaman struktur tumbuhan mahasiswa. Analisis
hubungan pemahaman bentuk hidup Raunkiaer dengan tingkat pemahaman konsep esensial dalam struktur tumbuhan dilakukan pada
perkuliahan Struktur dan Perkembangan Tumbuhan semester genap 2011-2012 mahasiswa Program Studi Biologi dan Pendidikan
Biologi Fakultas Saintek Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tiap mahasiswa memiliki tingkat pemahaman bentuk
hidup Raunkiaers tertentu. Tingkat pemahaman habitus dan bentuk hidup Raunkiaers mahasiswa ternyata berhubungan signifikan
(r=0,223) dengan tingkat pemahaman konseptual teoritik struktur morfologis dan anatomis tumbuhan melalui test opsional. Tingkat
pemahaman habitus bentuk hidup Raunkiaers juga berhubungan signifikan (r=0,239) dengan tingkat pemahaman konseptual visual
struktur tumbuhan melalui tes esay. Pemahaman habitus dan bentuk hidup Raunkiaers tumbuhan dapat digunakan menjadi salah satu
komponen indikator tingkat pemahaman dan konstruksi konsep pada perkuliahan struktur tumbuhan.

Kata Kunci: Raukiaer’s Life Form, konstruksi pemahaman struktur tumbuhan, analisis pembelajaran.

PENDAHULUAN
Sekuen konsep dan hirarkhi konsep merupakan aspek penting dalam perkuliahan struktur
tumbuhan. Konsep struktur tumbuhan dibangun atau terbentuk dari fakta, data, fenomena struktur morfologi
dan anatomi tumbuhan serta pengetahuan proses pembentukan detail struktur-struktur itu. Konsep struktur
tumbuhan merupakan konsep besar dan mengandung banyak detail sub konsep, fakta, data, fenomena.
Informasi dan diskripsi tentang struktur tumbuhan dapat didekati dari aspek mikro ke makro atau dari
anatomis ke morfologis tetapi dapat didekati sebaliknya dari makro ke mikro. Berkaitan dengan proses
pembelajaran, perkuliahan, belajar-mengajar, sekuen dan hirarkhi konsep perlu didasarkan pada tahapan
logika berfikir saintifik agar pembelajaran efektif.
Pertimbangan di atas diperlukan untuk merencanakan, mendesain perkuliahan struktur tumbuhan.
Desaining perkuliahan meliputi tatanan topik, urutan pertemuan, pemilihan textbook, perancangan feedback
dan evaluasi. Desaining perkuliahan dan pembelajaran pada umumnya dilihat dalam bentuk akhir tampilan
dokumen administratif dengan berbagai nama dengan blanko-blankonya.
Pengetahuan dan pemahaman struktur tumbuhan terbangun dari totalitas teori, konsep, data, fakta,
fenomena, gejala yang cukup banyak. Texbook, tulisan jurnal, obyek dan specimen cukup banyak tersedia
dan dapat digunakan untuk membentuk pemahaman yang baik serta mengeksplorasi fakta dan
pengetahuan baru. Aspek pemilihan, seleksi konsep-konsep fungsional penting dilakukan dalam desaining
penyelenggaraan perkuliahan-pembelajaran.
Pengetahuan struktur tumbuhan merupakan bangunan dasar pengetahuan biologi untuk
dikembangkan menunju pengetahuan-pengetahuan biologi modern dan biologi interdisipliner. Integritas
pemahaman biologi bagi sarjana biologi diperlukan dengan ilmu inti dasar biologi walaupun penguasaan dan
pemahaman biologi modern dan interdisipliner sangat dituntut dalam perkembangan ilmu saat ini.
Pengetahuan struktur tumbuhan sebagai ilmu inti dasar biologi tidak dapat dihapuskan.
Perkuliahan struktur tumbuhan dapat diawali dengan pengenalan makro struktur tumbuhan meliputi
indikator visual ukuran dan variasi bentuk tumbuhan. Tahap pengenalan ini sesuai dengan tahap
perkembangan ilmu biologi dan tahap perkembangan kemampuan berfikir. Pengenalan habitus tumbuhan
berdasar ukuran dan karakter kandungan kayu dapat dipilih menjadi langkah pertemuan awal perkuliahan.
Habitus tumbuhan berdasarkan ukuran didiskripsikan meliputi pohon, perdu, semak, herba.
Variasi habitus yang sangat besar menjadikan pengenalan dan kategorisasi tidak mudah dilakukan.
Aspek karakter pertumbuhan dan bentuk pertumbuhan tumbuhan dalam penyesuaiannya terhadap
lingkungan digunakan oleh Raunkiaer tahun 1934 (Loveless, 1989) untuk merumuskan pola-pola khas
bentuk hidup (life form) tumbuhan. Pola bentuk hidup dapat digunakan sebagai karakter penanda dalam
mengenal tumbuhan secara makro untuk melengkapi pengenalan habitus sebelum memahami detail struktur
Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi FKIP UNS 227
serta karakter taksonomi. Bentuk hidup merupakan karakter pertama diskripsi tumbuhan dalam teks-teks
buku-buku flora dan kajian ekologi.
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi konsep bentuk hidup dalam perkuliahan struktur
tumbuhan. Kajian didasarkan pada analisis kasus proses pembelajaran-perkuliahan struktur tumbuhan di
Program Studi Biologi dan Pendidikan Biologi Fakultas Sains dan teknologi UIN Yogyakarta. Konsep bentuk
hidup tumbuhan berdasar Raunkiaer dikembangkan dalam pertemuan awal perkuliahan setelah membahas
habitus dan bagian-bagian umum tumbuhan (terutama Spermatophyta). Pertemuan berikutnya membahas
aspek-aspek detail morfologis dan anatomis tiap-tiap organ pokok tumbuhan. Urgensi kedudukan konsep life
form Raunkiaers diprediksi berdasarkan keberadaan hubungan korelasional antara tingkat pemahaman
mahasiswa terhadap konsep life form Raunkiaers dengan pemahaman konsep struktur morfologis-anatomis
bagian-bagian tumbuhan.

HABITUS DAN BENTUK HIDUP TUMBUHAN MENURUT RAUNKIAER


Cara mengenal dan mendeskripsi tumbuhan dapat dilakukan dengan mudah tetapi dapat pula
sangat sulit. Deskripsi morfologis biasanya merupakan langkah awal untuk mengetahui karakter struktur
tumbuhan. Variasi struktur tumbuhan yang sangat banyak menuntut metode mengenali tumbuhan dengan
tepat dan cepat pada langkah awal suatu pengkajian, penelitian, eksplorasi, dalam berbagai cabang kajian
biologi. Ukuran dan kenampakan umum sebuah tumbuhan menjadi ciri pengenal awal tumbuhan untuk
pengkajian aspek ekologi, morfologi, anatomi, fisiologi, taksonomi-sistematik dan lain-lainnya. Kenampakan
umum tumbuhan atau habitus tumbuhan sering didasarkan pada ukuran relatif tumbuhan. Variasi habitus
tumbuhan pada umumnya dikenal sebagai tumbuhan pohon, perdu, semak, dan herba. Pembagian
tumbuhan secara sederhana menjadi terna (herba dan semak-semak), perdu dan pohon tidak cukup
memadai sehingga pembagian yang lebih rinci menjadi bentuk hidup (life form) sering digunakan. Bentuk
hidup (life form) penting untuk mendiskripsikan tumbuhan karena adanya “main ‘biological’ deviation from a
straight physical/physiological characterisation of the vegetation” (Tunstall, 2008).
Raunkiaer (Botaniawan Denmark) pada tahun 1934 (Lovelless, 1989, Rana et al., 2002., Decocq
dan Hermy, 2003) membuat sistem pengelompokan bentuk hidup berdasarkan jarak antara posisi tertinggi
kuncup-kuncup yang membawa tumbuhan melalui musim yang tidak menguntungkan dengan permukaan
tanah. Adaptasi terhadap musim-musim kering dan dingin yang semakin keras dicapai dengan posisi
kuncup-kuncup terminal yang semakin dekat dengan permukaan tanah sampai akhirnya kuncup-kuncup
terbenam dalam tanah. Cara ekstrem adaptasi tumbuhan setahun (annual) yang menyelesaikan daur
hidupnya dalam satu musim dilakukan melalui pembentukan jaringan embrio dalam biji yang dorman dan
resisten. Deskripsi bentuk hidup tumbuhan menurut Raunkiaer ini paling banyak digunakan diantara sistem-
sistem lainnya yang diajukan Warming tahun 1909, Dansereau tahun 1957, Ellenberg dan Muller-Dombois
tahun 1974, Box tahun 1981 (Rana et al., 2002). Pengelompokan bentuk hidup tumbuhan menurut
Raunkiaer (Raunkiaer’s life form) disarikan pada Tabel 1 dan ilustrasi skematis pada Gambar 1 (Loveless,
1989).
Tabel 1. Karakteristik Raunkiaer’s life form tumbuhan atau bentuk hidup tumbuhan menurut
Raunkiaer
No Life form Ciri-ciri pokok
1 Fanerofit Merupakan kelompok pohon dan perdu yang mempunyai kuncup-kuncup
terminal tumbuh dari tahun ke tahun. Kuncup mencuat/terbuka ke udara.
Berdasar ukuran ketinggiannya kelompok ini sering di pecah lagi menjadi:
Megafanerofit: tinggi lebih 30 m
Mesofanerofit: tinggi 7,5 – 30 m
Mikrofanerofit: tinggi 2 – 7,5
Nanofanerofit: tinngi 0,25 – 2 m
2 Kamefit Tumbuhan di permukaan tanah. Kuncup-kuncup terminal tumbuh dari tahun ke
tahun dekat dengan permukaan tanah (0-0,25 m) Jika kuncup-kuncup tumbuh
lebih dari 0,3 m selama musim tumbuh, kuncup-kuncup itu akan mati dan
digantikan kuncup kuncup baru musim berikutnya. Kuncup-kuncup baru tumbuh
dari batang tua yang masih tetap hidup. Kelompok ini mencakup perdu-perdu
kecil dan berbagai tumbuhan yang batangnya menjalar di atas tanah atau
membentuk rumpun yang rapat

Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Bangsa
228
No Life form Ciri-ciri pokok
3 Hemikriptofit Merupakan kelompok tumbuhan yang mempunyai kuncup-kuncup yang tumbuh
dari tahun ke tahun pada permukaan tanah dimana mereka dilindungi oleh tanah
sekelilingnya dan oleh sistem pucuk dari musim sebelumnya. Tumbuhan
kelompok ini sering mempunyai akar yang besar dan membengkak dan pada
permukaan tanah ditutupi oleh batang yang memadat. Dari bagian tersebut
daun-daun dan kuncup-kuncup cabang tumbuh setiap tahun. Kelompok khas
tumbuhan ini adalah kelompok tumbuhan berbentuk roset
4 Kriptofit Kelompok ini mempunyai perlindungan yang lebih besar dari pada kelompok
hemikriptofit. Kuncup-kuncup terminal tumbuh di dalam terkubur dalam tanah.
Kelompok tumbuhan ini dibagi menjadi:
Geofit: Tumbuhan tanah dengan kuncup terminal terkubur di bawah tanah,
misalnya: umbi lapis, umbi, rimpang dll.
Helofit: Tumbuhan rawa musiman dengan kuncup-kuncup dalam lumpur dan
terendam air
Hidrofit: Tumbuhan air dengan kuncup-kuncup yan tumbuh di permukaan air
5 Terofit Tumbuhan yang menyelesaikan daur hidupnya dalam waktu singkat, kurang dari
setahun. Adaptasi terhadap kondisi ekstrem dalam bentuk biji
6 Batang sukulen Kedua kelompok ini merupakan tumbuhan cirri khas di habitat-habitat tertentu.
7 Epifit Kaktus merupakan contoh batang sukulen. Bromeliacae dan Orchidaceae
merupakan epifit yang tumbuh di cabang-cabang pohon hutan tropis

Ilustrasi skematis atau diagram life form Raunkiaer’s tumbuhan disempurnakan oleh Tsuyuzaki
(2007) untuk memperlihatkan diagram bentuk hidup epifit. Bentuk hidup epifit merupakan bentuk adaptasi
lanjut dari terofit (tumbuhan setahun) (Gambar 2). Situs electronic learning Universitas Radboud Nijmegen
menggambarkan skema life form Raunkiaer’s ditunjukkan Gambar 3.

Gambar 1. Ilustrasi skematis life form tumbuhan menurut Raunkiaer (Loveless, 1989)

Fig. Raunkiaer's life form. Brown squares indicate the positions of dormant buds. (a) phanerophytes, (b) nanophanerophytes -
chamaephytes, (c) hemicryptophytes, (d) geophytes, (e) therophytes, (f) epiphytes. All Rights Reserved, Copyright © 2007 Shiro
TSUYUZAKI

Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi FKIP UNS 229


Gambar 2. Diagram skematis life form tumbuhan menurut Raunkiaer disempurnakan (Tsuyuzaki, 2007).

Gambar 3. Skema life form Raunkiaer’s tumbuhan


(http://www.vcbio.science.ru.nl/en/virtuallessons/landscape/raunkiaer/)
Radboud University Nijmegen

Konsep bentuk hidup Raunkiaer (Raunkiaer’s life form) tumbuhan lazim dibahas dalam kajian-kajian
ekologi. Konsep ini tepat digunakan karena mengenali dan mengetahui jenis tumbuhan di alam liar secara
cepat sulit dicapai. Kajian ekologi yang bersifat holistik sistemik dan lebih mementingkan pemahaman
proses totalitas organisme sebenarnya tetap memerlukan pengetahuan tentang jenis specimen agar
pengkajian lebih tepat.
Pembahasan konsep bentuk hidup tumbuhan menurut Raunkiaer’s jarang dilakukan pada mata
kuliah atau kajian struktur tumbuhan. Konsep Raunkiaers dalam kajian/mata kuliah struktur tumbuhan
ditemukan dalam buku Struktur dan Perkembangan Tumbuhan (Nugroho et al. 2010) dalam pembahasan
struktur luar batang sebagai organ vegetative. Loveless (1989) membahas bentuk hidup tumbuhan menurut
Raunkiaer’s dalam kajian komunitas tumbuhan berbunga.

TINJAUAN KOMPONEN MATERI PERKULIAHAN STRUKTUR TUMBUHAN


Komponen materi perkuliahan Struktur dan Perkembangan Tumbuhan merupakan gabungan dari
mata kuliah Morfologi Tumbuhan, Anatomi Tumbuhan, dan Embriologi Tumbuhan (Nugroho et al., 2010).
Susunan materi Struktur dan Perkembangan Tumbuhan meliputi: Bagian 1. Struktur luar organ tumbuhan
(Bab 1. Struktur luar organ vegetative, Bab 2. Struktur luar organ reproduksi tumbuhan berbiji); Bagian 2.
Struktur dan perkembangan organ-organ vegetative pada tumbuhan secara mikroskop (Bab 3. Sel, Bab 4.
Jaringan, Bab 5. Organ); Bagian 3. Struktur dan perkembanganorgan reproduksi secara mikroskopis (Bab 6.
Bunga, Bab 7. Polinasi dan pembuahan, Bab 8.Endosperm, Bab 9. Embrio, Bab 10. Buah dan biji, Bab 11.
Poliembrioni, Bab 12. Apomiksis)
Pengetahuan struktur tumbuhan sangat penting sebagai dasar mempelajari tumbuhan (Suradinata,
1998). Pengetahuan struktur tumbuhan merupakan dasar untuk mempelajari bidang morfogenesis, fisiologi,
ekologi, taksonomi, evolusi, hortikultura dan patologi tumbuhan. Dalam tulisannya, Suradinata (1998)
pembahasan struktur tumbuhan diutamakan pada struktur dalam dan perkembangannya dari bagian
vegetative tumbuhan berbiji. Tumbuhan Angiospermae lebih diutamakan sedangkan tumbuhan
Gymnospermae dibahas secara singkat. Selanjutnya dibahas struktur bunga, buah, biji, dan siklus
reproduksinya. Susunan materi Struktur Tumbuhan meliputi: Pendahuluan, Perkembangan tumbuhan berbiji,
Sel, Dinding sel, Parenkim dan kolenkim, Sklerenkim, Epidermis, Struktur sekresi, Xylem: Struktur umum
dan tipe-tipe sel, Xylem: Variasi dalam struktur kayu, Kambium pembuluh, Floem, Periderm, Akar:
Pertumbuhan primer, Akar:Pertumbuhan sekunder dan akar adventif, Batang: Struktur primer, Batang:
Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Bangsa
230
pertumbuhan sekunder dan tipe-tipe struktur, Daun: Struktur dasardanperkembangan, Bunga: Struktur dan
perkembangan, Bunga: Siklus reproduksi, Buah, Biji, Embrio.
Perkuliahan Struktur Tumbuhan meliputi materi yang luas berupa aspek morfologi, anatomi dan
reproduksi embriologi. Dimensi pendekatan ketiga aspek tersebut pada dasarnya berbeda. Integrasi kajian
morfologi, anatomi, dan embriologi reproduksi tumbuhan menjadi sebuah mata kuliah tidak mudah dalam hal
desaining struktur materi, silabi dan pertemuan, maupun alokasi waktu. Walaupun dengan alokasi maksimal
(misalnya 4 sks (sistem kredit semester)), kajian materi yang luas dalam perkuliahan struktur tumbuhan sulit
dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu diperlukan analisis dan seleksi materi untuk desaining
perkuliahan yang efektif. Konsep-konsep esensial masing-masing aspek perlu dipilih untuk dikaji sedangkan
konsep-konsep esensial lainnya dapat dikaji terintegrasi antara aspek morfologis, anatomis, reproduktif.
Sekuen materi dan desain urutan pertemuan menjadi pertimbangan penting dalam perkuliahan satu
semester 14-16 pertemuan.
Pemakaian satu textbook dalam perkuliahan tidak cukup untuk membackup satu kajian materi
perkuliahan dalam satu semester. Texbook yang telah ada pada umumnya merupakan textbook morfologi
tumbuhan dan anatomi tumbuhan. Pengkajian materi berdasarkan desain textbook seperti itu sulit dilakukan
dengan alokasi waktu yang terbatas, sehingga diperlukan desain texbook baru yang bersifat integrative.
Texbook baru dengan pendekatan morfologi dan anatomi sudah ada antara lain Struktur Tumbuhan
(Suradinata, 1998), Struktur dan Perkembangan Tumbuhan (Nughoro et al. 2010). Secara umum
kemunculan textbook seperti ini sangat membantu perkuliahan struktur tumbuhan tetapi ada beberapa hal
perlu redesain. Beberapa topik tampak menunjukkan sudut pandang pendekatan anatomis saja atau
morfologis saja. Hal ini menjadikan buku tampak seperti penyatuan dan ringkasan texbook lama morfologi
tumbuhan dan anatomi tumbuhan sehingga kajian meluas tetapi menjadi tidak mendalam. Buku yang
mengutamakan pada pendekatan anatomis dan kurangnya pembahasan aspek morfologis diasumsikan
kurang tepat pula karena aspek morfologi tumbuhan merupakan karakter penting pertama dalam identifikasi
tumbuhan yang perlu dikuasai. Tumpang tindih (overlap) kajian antar topik menimbulkan in-efisiensi
pemaparan dan pembahasan. Seleksi, restrukturisasi, penataan urutan/sekuen materi, topik, konsep-konsep
dalam pengetahuan anatomi tumbuhan serta morfologi tumbuhan perlu dilakukan untuk membentuk struktur
pengetahuan mengenai struktur tumbuhan yang lebih terintegrasi. Bowes (1995) telah membuat textbook
strutur tumbuhan berupa atlas struktur tumbuhan Angiospermae dengan paparan aspek morfologi dan
anatomi secara terintegrasi. Materi awal atau konsep awal pembahasan struktur tumbuhan perlu dicari atau
dipilih dalam memberikan wawasan umum untuk mempercepat pemahaman struktur tumbuhan. Orientasi
habitus dan bentuk hidup tumbuhan dapat dipilih sebagai materi awal perkuliahan struktur tumbuhan. Salah
satu konsep bentuk hidup (life form) tumbuhan adalah life form Raunkiaer’s. Konsep life form Raunkiaers
banyak dipakai untuk mendiskripsikan species-species tumbuhan dalam studi vegetasi sebelum identifikasi
species secara taksonomik dapat dilakukan karena tiap species tumbuhan memiliki kecenderungan bentuk
hidup tertentu dalam fase dewasanya.

KONSEP POKOK DAN POLA DESAIN MATERI DALAM PERKULIAHAN STRUKTUR TUMBUHAN DI
PODI BIOLOGI DAN PENDIDIKAN BIOLOGI UIN YOGYAKARTA
Bertitik tolak pertimbangan dan analisis di atas, perkuliahan Struktur dan Perkembangan Tumbuhan
dirancang dengan desain, topik-topik dan sekuen pertemuan yang lebih integratif, logis, dan cukup alokasi
waktu tanpa mengurangi kedalaman bahasan materi dan konsep esensial. Deskripsi mata kuliah dan
standar kompetensi mahasiswa yang diharapkan dari perkuliahan Struktur dan Perkembangan Tumbuhan
ialah:
Deskripsi matakuliah:
Mata kuliah ini membahas struktur dasar bagian-bagian tumbuhan (terutama tumbuhan
berpembuluh) baik secara morfologis maupun anatomis meliputi habitus, keragaman struktur daun,
filotaksis, keragaman struktur batang dan akar serta modifikasi batang dan akar, struktur organ reproduktif
(keragaman struktur bunga, struktur buah dan biji).

Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi FKIP UNS 231


Standar Kompetensi:
Mahasiswa mampu memahami dan mendiskripsikan struktur morfologis dan anatomis bagian-bagian
tumbuhan, variasi struktur morfologis dan anatomis tumbuhan dan proses perkembangan pembentukan
struktur pokok tumbuhan (terutama tumbuhan berpembuluh).
Tinjauan pembahasan mata kuliah Struktur dan Perkembangan Tumbuhan pada pokoknya meliputi:
aspek struktur morfologi/struktur luar (Gross Morphology) dan aspek struktur anatomi/struktur dalam
(Anatomy: Histology and Cytology). Konten atau isi problematika pembahasan dalam mata kuliah Sruktur
dan Perkembangan Tumbuhan terutama ditekankan pada aspek: Bentuk dan susunan bagian tumbuhan,
Tata letak organ dan bagian-bagiannya, Asal-usul organ tumbuhan, Perkembangan organ termasuk
metamorfose dan modifikasi. Obyek tumbuhan yang disajikan dan dibahas dalam mata kuliah ini terutama
berupa tumbuh-tumbuhan berbiji (Spermatophyta), sedangkan tumbuhan non biji ditempatkan sebagai
pembanding.
Struktur dan Perkembangan Tumbuhan merupakan mata kuliah dasar atau basic dari keilmuan
biologi yang harus dikuasai. Mata kuliah ini merupakan komponen/unsur kompetensi dasar penguasaan
keilmuan botani bersama-sama mata kuliah Reproduksi dan Embriologi Tumbuhan, Fisiologi Tumbuhan,
Sistematika Tumbuhan. Materi perkuliahan dan sekuen pertemuannya dirumuskan pada Tabel 2.
Tabel 2. Materi perkuliahan Struktur dan Perkembangan Tumbuhan dan sekuen pertemuannya
PERTEMUAN TEMA
1 Orientasi perkuliahan :
 Topik/tema-tema perkuliahan
 Metode-metode perkuliahan
 Pustaka acuan, dll
 Kontrak perkuliahan/pembelajaran
2 Bentuk dan organisasi tubuh tumbuhan
 Organisasi tubuh tumbuhan
 Habitus/Bentuk hidup tumbuhan, Bentuk hidup tumbuhan menurut Raunkiaer
 Siklus hidup tumbuhan dan pergiliran generasi (Terutama: Bryophyta, Pteridophyta,
Gymnospermae, Angiospermae)
3 Stuktur dan fungsi sel tumbuhan
 Bentuk-bentuk sel
 Susunan dasar sel tumbuhan
4 Jaringan tumbuhan
 Jaringan Dasar
 Jaringan Penguat
5  Jaringan tumbuhan
 Jaringan Pengangkut
 Jaringan Pelindung
 Idioblas
6 Struktur dan perkembangan akar
 Susunan dan bentuk akar
 Bentuk-bentuk modifikasi akar
 Struktur primer dan sekunder akar (susunan anatomis)
7 Struktur dan perkembangan batang
 Bentuk dan sifat batang
 Bentuk-bentuk modifikasi batang
8 Struktur dan perkembangan batang
 Bentuk dan sifat batang
 Bentuk-bentuk modifikasi batang
 Struktur primer dan sekunder batang (susunan anatomis)
9 Struktur morfologi daun
 Bentuk daun (macam-macam bentuk, tepi, pertulangan, permukaan)
 Daun majemuk dan tunggal
 Tata letak daun/phylotaxis
10  Struktur anatomis daun dan variasinya
 Perkembangan pembentukan jaringan-jaringan daun
11  Gametofit pada Pteridophyta
 Strobilus pada Gymnospermae
 Bunga pada Angiospermae (Dicotyledonae, Monocotyledonae
12 Struktur organ reproduktif: Bunga
 Struktur umum dan fungsi bagian-bagian bunga
 Struktur benang sari dan putik
13 Variasi struktur morfologi Bunga
 Berbagai tipe bunga
 Diagram dan rumus bunga
14 Struktur organ reproduktif: Buah dan Biji
 Struktur, fungsi dan perkembangan buah dan biji
 Keragaman tipe buah (Buah sejati tunggal, ganda dan majemuk)
 Struktur biji

Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Bangsa
232
Konsep bentuk hidup tumbuhan menurut Raunkiaer dikaji dalam pertemuan awal perkuliahan
(pertemuan 2). Materi didasarkan pada Barbour (1987), Loveless (1989), Nugroho (2010), Rana et al (2003),
Tunstall (2008), situs Universitas Radboud Nijmegen: http://www.vcbio.science.ru.nl?en/virtuallessons/
lanscape/raunkiaer/, Tsuyuzaki (2007). Perkuliahan dilanjutkan dengan kegiatan eksploratif dengan
worksheet.
Evaluasi urgensi konsep Raunkiaers life form dalam perkuliahan Struktur dan Perkembangan
Tumbuhan dievaluasi berdasar analisis pembelajaran/perkuliahan Struktur dan Perkembangan Tumbuhan
pada semester genap tahun 2011-2012 pada Program Studi Biologi dan pendidikan Biologi Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pemahaman konsep mahasiswa mengenai bentuk hidup
tumbuhan diketahui melalui tes identifikasi diagram visual pada Tabel 2. Hasil tes pemahaman visual
skematis ini dikorelasikan dengan hasil tes pemahaman struktur tumbuhan pada ujian semester.
Tabel 2. Tes pemahaman bentuk hidup tumbuhan menurut Raunkiaer
Apakah bentuk hidup gambar sketsa ini? Lengkapi keterangan nama bentuk hidup menurut Raunkiaer di bawah
gambar!

1 2 3 4

Lengkapi nama habitus dan bentuk hidupmenurut Raunkiaer’s gambar tumbuhan berikut ini pada kolom di bawah
gambar!

Eichornia crassipes Solanum nigrum Caesalpinea pulcherima


5 6 7 8

Capsicum anuum
9 10 11 12

Responden peserta tes adalah mahasiswa Program Studi Biologi dan Pendidikan Biologi sejumlah
97 orang. Analisis hasil tes melalui program SPSS 15 ditujukkan Tabel 3. Tes ini dapat membedakan
kemampuan individual mahasiswa secara sangat significan (r≥0.569) berdasarkan adanya korelasi antara
variasi mahasiswa dengan variasi skor tes. Berdasar Tabel 3 diperoleh juga bahwa kemampuan
pemahaman konsep bentuk hidup tumbuhan menurut Raunkiaer antara mahasiwa berkorelasi sangat
signifikan (r≥0. 946) dengan program studi. Kemampuan pemahaman mahasiswa mengenai bentuk hidup
tumbuhan menurut Raunkiaer berkorelasi signifikan dengan pemahaman struktur akar morfologis maupun
anatomis, struktur batang morfologis, berdasarkan tes opsional (r≥0.223) maupun tes uraian (r≥0.239).

Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi FKIP UNS 233


Tabel 3. Hasil Analisis korelasi dengan Program SPSS 15 terhadap hasil tes mahasiswa
Correlations
MAHASISWA KLAS LIFEFORM OPS_1 ESSAY_1 OPS_2 ESSAY_2
MAHASIS Pearson
1 .947(**) .569(**) .229(*) .317(**) .133 .389(**)
WA Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000 .024 .002 .193 .000
N 97 97 97 97 97 97 97
KLAS Pearson
.947(**) 1 .574(**) .228(*) .335(**) .163 .399(**)
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000 .025 .001 .110 .000
N 97 97 97 97 97 97 97
LIFEFOR Pearson
.569(**) .574(**) 1 .223(*) .239(*) .176 .313(**)
M Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000 .028 .018 .084 .002
N 97 97 97 97 97 97 97
OPS_1 Pearson
.229(*) .228(*) .223(*) 1 .254(*) .234(*) .358(**)
Correlation
Sig. (2-tailed) .024 .025 .028 .012 .021 .000
N 97 97 97 97 97 97 97
ESSAY_1 Pearson
.317(**) .335(**) .239(*) .254(*) 1 .311(**) .457(**)
Correlation
Sig. (2-tailed) .002 .001 .018 .012 .002 .000
N 97 97 97 97 97 97 97
OPS_2 Pearson
.133 .163 .176 .234(*) .311(**) 1 .660(**)
Correlation
Sig. (2-tailed) .193 .110 .084 .021 .002 .000
N 97 97 97 97 97 97 97
ESSAY_2 Pearson
.389(**) .399(**) .313(**) .358(**) .457(**) .660(**) 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000 .002 .000 .000 .000
N 97 97 97 97 97 97 97
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Dari aspek pemahaman struktur batang anatomis, struktur daun morfologis dan anatomis, struktur
bunga morfologis dan anatomis, struktur buah dan biji juga berkorelasi signifikan (r≥0.313) dengan
pemahaman mahasiswa tentang Raunkiaer’s life form berdasarkan tes esay tetapi tidak berkorelasi
berdasarkan tes opsional (r≤0.176). Data seperti ini dapat menunjukkan indikasi bahwa pemahaman
Raunkiaer life form berhubungan dengan pemahaman struktur makro keseluruhan tumbuhan tetapi tidak
terlalu berhubungan dengan struktur per bagian tumbuhan maupun struktur mikro-anatomi. Pemahaman
Raunkiaer life form tepat dikembangkan pada awal perkuliahan struktur untuk membentuk kontruksi
pemahaman awal struktur tumbuhan sebelum memahami bagian-bagian detail dan mikro tanpa kehilangan
integritas/keterhubungan dan kesatuan pemahaman struktur makro-morfologis dan mikro-anatomi
tumbuhan.

PENUTUP
Konsep life form Raunkiaer’s atau bentuk hidup tumbuhan menurut Raunkiaer merupakan bagian
konsep atau pembangun konsep struktur tumbuhan yang potensial. Konstruksi (bangunan) pemahaman
struktur tumbuhan dapat dibentuk dengan dasar konsep bentuk hidup tumbuhan menurut Raunkiaer.
Penguasan konsep life form Raunkiaer mahasiswa ditumbuhkan untuk memberikan orientasi awal dan
pemetaan awal struktur tumbuhan. Pengembangan konsep life form Raunkiaer perlu dilakukan dengan
perkuliahan dilengkapi kegiatan eksploratif melalui worksheet. Pembahasan life form Raunkiaer pada
perkuliahan Struktur Tumbuhan lebih tepat dilakukan pada pertemuan awal semester dengan urutan
topik/materi-materi struktur morfologis makro misalnya akar, batang, daun. Pembahasan struktur anatomis
hendaklah diintegrasikan dan didahului pembahasan struktur morfologis.

Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Bangsa
234
DAFTAR PUSTAKA
Barbour, M.G. (1987). Terrestrial Plant Ecology. Singapore: The Benjamin Cummings Publishing Co. Inc
Bowes, B.G. (1995). A Colour Atlas of Plant Structure. Scotlandia: Manson Publishing.
Decocq, G. and Hermy, M. 2003. Are the herbaceous dryadin temperate deciduos forest?. Acta.Bot.Gallica. 150 (4): 373-
382.
Loveless, A.R. (1994). Prinsip-prinsip biologi tumbuhan untuk daerah tropis. Jilid 1 dan 2. Terj.Gramedia: Jakarta.
Munte, B. (2009).Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Insani.
Majid, A. (2005). Perencanaan Pembelajaran. Bandung, Rosdakarya.
Nugroho, L. H., Purnomo, Sumardi, I. (2010). Struktur dan Perkembangan Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rana, T.S., Datt,B., Rao,R.R. (2002).Life form and biologicalspectrum of the flora of Tons Valley, Garwal Himalaya
(Uttaranchal), India. Taiwania. 47 (2):164-169.
Rudall, P.J. (2007). Anatomy of Flowering Plant. A Introduction to Structure and Development. New York: Cambridge
University Press.
Suradinata, T. S. (1998). Struktur Tumbuhan. Bandung: Angkasa.
Tsuyuzaki. (2007). Life form (on vascular plants). Graduate School of Environmental Earth Science, Hokkaido
University. (http://hosho.ees.hokudai.ac.jp/~tsuyu/lecture/glossary/on_life_form.html)
Tunstall, B. (2008). Structural Classification of Vegetation. ERRIC. 1-17.

DISKUSI
-

Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi FKIP UNS 235


SCRIPTA BIOLOGICA | VOLUME 4 | NOMER 3 | SEPTEMBER 2017 | 155–160 | HTTPS://DOI.ORG/10.20884/1.SB.2017.4.3.407

STRUKTUR DAN VEGETASI TUMBUHAN BAWAH PADA TEGAKAN


PINUS DI RPH KALIRAJUT DAN RPH BATURRADEN BANYUMAS
NADIA DESTARANTI, SULISTYANI, EDY YANI
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Jalan dr. Suparno 63 Purwokerto 53122

ABSTRACT
A study on the undergrowth vegetation within the pine woods (Pinus merkusii) stands conducted in RPH Kalirajut and RPH Baturraden.
This study aimed to find out the composition of the shrubs of the pine woods stands on those two sites with different altitude and to
figure out the similarity of the herbs of the pine woods stands on those two locations with the different height. This study applied quadrat
sampling technique, using 30 units of 2 x 2 m quadrats divided into ten sub–transects along the main transect. We measured
environmental factors including elevation, temperature, light intensity, and pH of the soil. We found undergrowth vegetation in RPH
Kalirajut comprised of 32 species belonging to 20 families, dominated by Ottochloa nodosa, Oplismenus compositus, and Cynodon dactylon.
On the other site, we found undergrowth vegetation in RPH Baturraden composed of 19 species belonging to 20 families and dominated
by Wedelia trilobata, Paspalum conjugatum, and Clidemia hirta. The similarity of the herbs vegetation measured of those two sites was
30.85% or 69.15% different.
KEY WORDS: pinewoods, undergrowth, elevation

Penulis korespondensi: NADIA DESTARANTI | email: nadiadestar@gmail.com

dan aliran permukaan sehingga meminimalkan


PENDAHULUAN
bahaya erosi. Selain itu, vegetasi tumbuhan bawah
Hutan merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari berperan penting dalam ekosistem hutan dan
berbagai jenis tumbuh–tumbuhan dan hewan. menentukan iklim mikro (Hilwan et al., 2013).
Masyarakat tumbuh–tumbuhan dalam suatu Struktur dan komposisi vegetasi tumbuhan
ekosistem hutan memiliki hubungan erat satu sama dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang
lain dengan lingkungannya. Menurut Soerianegara & saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh
Indrawan (2005), hutan juga memiliki peran sebagai secara alami merupakan hasil interaksi berbagai
tempat tinggal dan makanan bagi berbagai jenis fauna faktor lingkungan. Struktur vegetasi adalah suatu
yang hidup di dalamnya. Populasi tumbuhan dan organisasi individu–individu di dalam ruang yang
hewan di dalam hutan membentuk masyarakat yang membentuk suatu tegakan (Mueller & Ellenberg,
saling berkaitan erat satu sama lain dengan 1974). Sedangkan komposisi hutan merupakan jenis–
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, hutan jenis penyusun yang menempati vegetasi di suatu
dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau tempat (Wirakusuma, 1980).
merupakan ekosistem yang sangat berguna bagi Perbedaan struktur dan komposisi pada setiap
kehidupan manusia. strata tumbuhan bawah berkaitan erat dengan kondisi
Backer (1973) menyatakan bahwa di dalam hutan habitat. Faktor lingkungan yang akan mempengaruhi
terdapat berbagai keanekaragaman hayati, baik satwa keberadaan pertumbuhan adalah ketinggian tempat di
liar maupun tumbuhan. Dari keanekaragaman sumber atas permukaan laut. Ketinggian tempat akan
daya hayati di hutan tersebut tidak hanya terbatas mempengaruhi kekayaan jenis, struktur dan
pada jenis tumbuhan berkayu, namun juga ditumbuhi komposisi vegetasi tumbuhan bawah, keadaan tanah,
oleh beranekaragam tumbuhan bawah (ground cover/ suhu, intensitas cahaya dan air. Ketinggian tempat
undergrowth) yang memiliki keanekaragaman jenis secara tidak langsung akan berperan dalam proses
yang tinggi. Tumbuhan bawah merupakan suatu jenis fotosintesis serta akan menjadi faktor pembatas yang
vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan akan menghambat pertumbuhan tumbuhan bawah
kecuali anakan pohon. Tumbuhan bawah meliputi (Wijayanti, 2011).
rumput–rumputan, herba, semak belukar dan paku– Menurut Juanda & Cahyono (2005), suatu wilayah
pakuan (Yuniawati, 2013). berdasarkan perbedaan ketinggian tempat dapat
Tumbuhan bawah dalam susunan stratifikasi dibedakan menjadi 3, yaitu: daerah dataran rendah
menempati lapisan D yang memiliki tinggi < 4,5 m dan yang memiliki ktinggian tempat 0–200 m dpl, daerah
diameter batangnya sekitar 2 cm (Windusari et al., dataran sedang yang memiliki ketinggian tempat 200–
2012). Jenis tumbuhan bawah bersifat annual, 700 m dpl, dan daerah dataran tinggi yang memiliki
biennial, perennial serta pola penyebarannya dapat ketinggian tempat di atas 700 m dpl.
terjadi secara acak, berumpun/berkelompok dan Lokasi penelitian dilakukan pada tegakan pinus di
merata. Nirwani (2010) melaporkan bahwa tumbuhan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Kalirajut yang
bawah yang ditemukan umumnya dari anggota suku mewakili wilayah dataran rendah dan RPH
Poaceae, Cyperaceae, Araceae, Asteraceae, dan paku– Baturraden yang mewakili wilayah dataran tinggi.
pakuan. Keberadaan tumbuhan bawah di lantai hutan Kedua RPH tersebut termasuk ke dalam wilayah
dapat berfungsi sebagai penahan pukulan air hujan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur.

| http://scri.bio.unsoed.ac.id 155
NADIA DESTARANTI, SULISTYANI, EDY YANI

Perbedaan ketinggian tersebut akan mempengaruhi didapatkan bahwa intensitas cahaya pada RPH
faktor lingkungan yang lainnya, seperti suhu, Kalirajut lebih tinggi yang memungkinkan jenis–jenis
kelembaban, intensitas cahaya, dan pH tanah yang tersebut dapat hidup dengan baik dan tersebar luas.
akan menyebabkan berbeda pula kehadiran vegetasi Tingginya nilai INP mengartikan bahwa suatu jenis
tumbuhan bawahnya. tersebut merupakan dominan dan mempunyai daya
Berdasarkan uraian diatas tujuan dari penelitian adaptasi yang lebih baik dari jenis lainnya. Menurut
ini adalah mengetahui struktur dan komposisi Lubis (2009), suatu jenis vegetasi dapat berpengaruh
tumbuhan bawah tegakan Pinus pada ketinggian yang terhadap kestabilan ekosistem karena bersifat
berbeda di KPH Banyumas Timur dan mengetahui dominan dari jenis lainnya. Indeks Nilai Penting (INP)
kesamaan jenis tumbuhan bawah tegakan Pinus pada menunjukkan peranan jenis tersebut dalam suatu
ketinggian yang berbeda di RPH Kalirajut dan RPH kawasan. Jenis yang mempunyai INP paling besar
Baturraden, KPH Banyumas Timur. berarti mempunyai peranan yang paling penting di
dalam kawasan tersebut. Jenis ini mempunyai
METODE
pengaruh paling dominan terhadap perubahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbagai kondisi lingkungan maupun keberadaan jenis lainnya
jenis tumbuhan bawah pada tegakan Pinus di RPH Kalirajut dalam kawasan tersebut (Abdiyani, 2008).
dan RPH Baturraden. Alat yang digunakan adalah patok, tali Indeks keanekaragaman vegetasi tumbuhan
rafia, meteran, kantong plastik, label, gunting, buku bawah di wilayah dataran rendah (RPH Kalirajut)
lapangan, alat tulis, soiltester, luxmeter, Global Positioning
memiliki nilai sebesar 1,269. Nilai ini menunjukkan
System (GPS), thermohigrometer, dan kamera
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa jumlah jenis diantara jumlah total individu
metode survei dengan menggunakan petak kuadrat secara seluruh jenis yang ada termasuk dalam kategori
sistematis. Petak kuadrat yang digunakan berukuran 2 x 2 m sedang. Kategori tersebut mengartikan bahwa
sebanyak 30 petak pada masing–masing lokasi penelitian. komunitas sedang menuju pada kondisi yang stabil.
Dilakukan pengambilan sampel vegetasi tumbuhan bawah Miardini et al., (2010), menyatakan bahwa nilai H’ 1 ≤
kemudian dicatat, dihitung dan didokumentasikan, setelah H’ ≤ 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis
itu dlakukan pengukuran faktor lingkungan, identifikasi pada suatu kawasan adalah sedang, penyebaran
jenis tumbuhan bawah dengan menggunakan buku jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan
Sastrapradja (1979, 1980, 1981, 1985), Heyne (1987), dan
komunitas sedang. Tinggi rendahnya nilai indeks
Steenis (1972, 1981), kemudian dilakukan analisis data
menggunakan Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Kesamaan keanekaragaman suatu jenis dipengaruhi oleh
Komunitas (IS), Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks banyaknya jenis dan jumlah individu yang ditemukan.
Kemerataan Jenis (e). Menurut Samingan (1976) makin banyak jenis yang
ditemukan maka akan semakin tinggi nilai indeks
HASIL DAN PEMBAHASAN keanekaragamannya. Semakin tinggi nilai
Komposisi vegetasi tumbuhan bawah pada tegakan keanekaragaman suatu kawasan menunjukkan
pinus di RPH Kalirajut sebanyak 32 jenis dari 17 famili semakin stabil komunitas di kawasan tersebut.
yang dari perdu (9 jenis), herba (13 jenis), rumput (7 Indeks kemerataan di RPH Kalirajut tergolong
jenis), dan paku (3 jenis). Famili tumbuhan yang tinggi yaitu sebesar 0,79. Menurut Magurran (1988)
banyak ditemukan dari lokasi yang diamati adalah apabila indeks kemerataan lebih besar dari 0,6 maka
tumbuhan dari famili Poaceae (Tabel 1). Famili sebaran individu antar jenis dapat dikatakan merata
Poaceae memiliki jumlah jenis tertinggi pada lokasi dan apabila indeks kemerataan kurang dari 0,6 maka
penelitian karena semua anggota famili ini merupakan sebaran individu antar jenis tidak merata atau terjadi
tumbuhan yang mudah hidup pada berbagai habitat. dominansi suatu jenis. Komposisi vegetasi tumbuhan
Menurut Rukmana dan Saputra (1999) famili Poaceae bawah di RPH Baturraden diperoleh sebanyak 19
memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi, distribusi jenis tumbuhan bawah yang termasuk ke dalam 11
yang luas, dan mampu tumbuh pada lahan kering famili yang terdiri dari perdu (6 jenis), herba (3 jenis),
maupun tergenang. rumput (7 jenis), dan paku (3 jenis). Seperti pada
Jenis tumbuhan bawah yang memiliki indeks nilai lokasi RPH Kalirajut, famili tumbuhan bawah yang
penting tertinggi di RPH Kalirajut adalah Ottochloa banyak ditemukan pada lokasi RPH Baturraden yaitu
nodosa (31,58%), Oplismenus compositus (12,29%), famili dari Poaceae (Tabel 2).
dan Eleusine indica (9,97%) (Tabel 1). Ketiga jenis Wedelia trilobata merupakan tumbuhan terna
tumbuhan bawah ini termasuk ke dalam famili musiman (herba) dengan panjang batang mencapai
Poaceae. Ewusie (1990) menyatakan bahwa terdapat satu meter. W. trilobata memiliki daya adaptasi yang
berbagai macam karakteristik lingkungan tempat luas namun tumbuh dan berkembang dengan baik di
tumbuh tumbuhan dari famili Poaceae, baik bawah sinar matahari yang cukup serta dengan
lingkungan yang lembab maupun lingkungan yang kondisi tanah yang cukup lembab (Syah et al., 2014).
kering. Karakter paling spesifik dari jenis tumbuhan Paspalum conjugatum merupakan salah satu
famili Poaceae adalah kebutuhannya akan sinar tumbuhan yang berasal dari Amerika. Jenis ini
matahari langsung dengan intensitas yang tinggi berkembang biak melalui biji dan juga akar rimpang,
untuk dapat tumbuh dan berkembang biak dengan namun penyebaran melalui biji lebih berpotensi
baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang karena P. conjugatum memiliki biji yang cukup

156
SCRIPTA BIOLOGICA | VOLUME 4 | NOMER 3 | SEPTEMBER 2017 | 155–160 | HTTPS://DOI.ORG/10.20884/1.SB.2017.4.3.407

banyak. P. conjugatum dapat berkembang biak dengan daerah asalnya dibanding habitat aslinya. C. hirta
baik di kondisi yang memiliki intensitas cahaya merupakan jenis tumbuhan bawah yang memiliki
matahari dan kelembaban udara yang cukup yang daya adaptasi tinggi karena mampu tumbuh secara
memungkinkan jenis ini untuk berkecambah (Binibis, optimal pada ketinggian rendah hingga mencapai
2014). Clidemia hirta berbunga sepanjang tahun, 1000 m dpl dengan kondisi lingkungan yang terbuka
tumbuhan ini berasal dari Amerika Selatan, sifatnya dan lembab serta tanah yang memiliki kandungan
menyebar dengan cepat dan lebih melimpah di luar humus yang tinggi (Ismaini, 2015).
Tabel 1. Jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di RPH Kalirajut
No. Nama Jenis Famili K KR (%) F FR (%) INP (%)
1. Ottochloa nodosa Poaceae 9,24 26,24 0,83 5,34 31,58
2. Oplismenus compositus Poaceae 2,90 8,23 0,63 4,05 12,29
3. Eleusine indica Poaceae 2,15 6,12 0,60 3,84 9,97
4. Clidemia hirta Melastomataceae 1,27 3,62 0,86 5,55 9,17
5. Pteris ensiformis Pteridaceae 1,51 4,30 0,70 4,48 8,79
6. Acalypta indica Euphorbiaceae 1,68 4,78 0,60 3,84 8,62
7. Abrus precatorus Fabaceae 1,25 3,57 0,56 3,63 7,20
8. Panicum repans Poaceae 1,18 3,36 0,56 3,63 6,99
9. Cyrtococcum acrescens Poaceae 1,18 3,36 0,53 3,41 6,77
10. Centrosema pubescens Fabaceae 0,83 2,36 0,66 4,27 6,63
11. Angiopteris avecta Marattiaceae 0,92 2,62 0,60 3,84 6,47
12. Paspalum conjugatum Poaceae 1,20 3,40 0,43 2,77 6,18
13. Pteris vittata Pteridaceae 0,90 2,55 0,50 3,20 5,76
14. Fimbristylis miliacea Cyperaceae 0,65 1,84 0,60 3,84 5,69
15. Melastoma polyanthum Melastomataceae 0,53 1,51 0,60 3,84 5,36
16. Eragrotis amabilis Poaceae 0,68 1,94 0,50 3,20 5,14
17. Molineria capitulata Hypoxidaceae 0,72 2,05 0,46 2,99 5,05
18. Colocasia esculenta Araceae 0,65 1,86 0,46 2,99 4,86
19. Kyllinga monocephala Cyperaceae 0,61 1,75 0,43 2,77 4,52
20. Mikania micrantha Asteraceae 0,50 1,44 0,43 2,77 4,22
21. Oxalis barrelieri Oxalidaceae 0,50 1,44 0,43 2,77 4,22
22. Selaginella wildenowii Selaginellaceae 1,25 3,57 0,43 2,77 4,19
23. Diplazium proliferum Athyriaceae 0,33 0,94 0,50 3,20 4,15
24. Cheilocostus speciosus Costaceae 0,55 1,56 0,40 2,56 4,12
25. Ageratum conyzoides Asteracea 0,52 1,49 0,36 2,35 3,84
27. Elephantopus scaber Asteraceae 0,39 1,11 0,33 2,13 3,24
26. Ficus septica Moraceae 0,18 0,52 0,40 2,56 3,08
28. Pisonia excels Nyctaginaceae 0,14 0,40 0,33 2,13 2,53
29. Gynura procumbens Asteraceae 0,24 0,68 0,26 1,70, 2,39
30. Urena trifolia Poaceae 0,28 0,80 0,23 1,49 2,30
31. Cyrtococcum trigonum Poaceae 0,10 0,30 0,16 1,06 1,37
32. Ananas comosus Bromeliaceae 0,06 0,18 0,13 0,85 1,04
Jumlah 35,21 100 15,60 100 200
Tabel 2. Tumbuhan bawah yang ditemukan di RPH Baturraden
No. Nama Jenis Famili K KR (%) F FR (%) INP (%)
1. Wedelia trilobata Asteraceae 23,35 54,48 1,00 15,62 70,10
2. Paspalum conjugatum Poaceae 7,75 18,08 0,86 13,54 31,61
3. Clidemia hirta Melastomataceae 1,12 2,62 0,60 9,37 11,99
4. Panicum repans Poaceae 1,01 2,37 0,43 6,77 9,14
5. Molineria capitulata Hypoxidaceae 0,80 1,88 0,43 6,77 8,65
6. Eragrotis amabilis Poaceae 0,51 1,20 0,46 7,29 8,49
7. Dryopteris filix–mas Dryopteridaceae 0,57 1,34 0,43 6,77 8,11
8. Axonopus compressus Poaceae 2,31 5,40 0,13 2,08 7,48
9. Eleusine indica Poaceae 1,60 3,73 0,23 3,64 7,37
10. Ottochloa nodosa Poaceae 1,15 2,68 0,30 4,68 7,36
11. Nephrolepis hirsutula Dryopteridaceae 0,88 2,06 0,30 4,68 6,74
12. Melastoma polyanthum Melastomataceae 0,39 0,91 0,30 4,68 5,60
13. Abrus precatorus Fabaceae 0,17 0,40 0,23 3,64 4,05
14. Astilbe rivularis Saxifragaceae 0,25 0,60 0,20 3,12 3,72
15. Selaginella wildenowii Selaginellaceae 0,25 0,58 0,16 2,60 3,18
16. Digitaria ciliaris Poaceae 0,37 0,87 0,06 1,04 1,91
17. Hedyotis vestita Rubiaceae 1,10 0,25 0,10 1,56 1,81
18. Rubus rosaefolius Rosaceae 0,15 0,35 0,06 1,04 1,39
19. Eupatorium riparium Arecaceae 0,06 0,15 0,06 1,04 1,19
Jumlah 42,87 100 6,40 100 200

| http://scri.bio.unsoed.ac.id 157
NADIA DESTARANTI, SULISTYANI, EDY YANI

Palijama et al. (2012) menyatakan bahwa, kondisi yang dibandingkan. Semakin banyak jenis tumbuhan
pH tanah, kelembaban tanah serta intensitas cahaya yang sama antar dua komunitas yang dibandingkan
sangat mendukung C. hirta untuk dapat tumbuh maka indeks kesamaan komunitasnya akan semakin
dengan cepat. Tanasale (2010) melanjutkan bahwa, C. besar.
hirta memiliki daun yang lebar sehingga lebih banyak Perbedaan komunitas terjadi disebabkan oleh
menyerap unsur N dan lebih banyak menggunakan air adanya perbedaan faktor lingkungan yang berbeda
yang menyebabkan pertumbuhannya lebih cepat. Hal pada kedua lokasi. Hasil pengukuran faktor
ini menyebabkan C. hirta ditemukan di kedua lokasi lingkungan di RPH Kalirajut dan RPH Baturraden
dengan nilai INP yang cukup tinggi yaitu 9,17% pada menunjukkan hasil yang relatif berbeda.
RPH Kalirajut dan 11,99% pada RPH Baturraden yang Tabel 3. Faktor lingkungan pada lokasi penelitian
berarti kedua lokasi penelitian tersebut merupakan
tempat tumbuh yang cocok bagi jenis C. hirta sehingga Faktor RPH RPH
dapat tumbuh dengan cepat. Lingkungan Kalirajut Baturraden
Indeks Nilai Penting (INP) menunjukkan peranan Suhu udara 28 °C–31 °C 23 °C–26 °C
Intensitas cahaya 15.430–16.540 lux 14.250–16.100 lux
jenis tersebut dalam suatu kawasan. Jenis yang
Kelembaban udara 38 %–41 % 60 %–64 %
mempunyai INP paling besar berarti mempunyai pH tanah 4,5–5,0 5,5–6,0
peranan yang paling penting di dalam kawasan
tersebut. Jenis ini mempunyai pengaruh paling Suhu lingkungan di RPH Kalirajut sebesar 28−31°C,
dominan terhadap perubahan kondisi lingkungan sedangkan di RPH Baturraden berkisar antara 23–
maupun keberadaan jenis lainnya dalam kawasan 26°C (Tabel 3). Menurut Goltenboth et al. (2006),
tersebut (Abdiyani, 2008). Menurut Sofyan (1991), perbedaan ketinggian tempat menyebabkan
jenis yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi terjadinya perbedaan suhu lingkungan. Suhu
diantara jenis yang lain disebut jenis yang dominan. lingkungan merupakan salah satu faktor penting
Hal ini mencerminkan tingginya kemampuan jenis karena mempunyai pengaruh terhadap proses
tersebut dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan metabolisme dan susunan vegetasi tumbuhan bawah.
yang ada dan dapat bersaing terhadap jenis lainnya. Tumbuhan memerlukan suhu 15–25°C untuk tumbuh
Indeks keanekaragaman Shannon–Wiener pada optimal, apabila suhu terlalu tinggi atau rendah akan
RPH Baturraden yaitu sebesar 0,73. Berdasarkan menyebabkan tumbuhan tersebut mati (Arief, 1994).
klasifikasi Barbour (1987) dalam Prasetyo (2007), Salah satu faktor penentu temperatur adalah
indeks keanekaragaman di RPH Baturraden masih intensitas cahaya. Rata–rata intensitas cahaya pada
tergolong rendah. Keadaan tersebut terjadi tegakan Pinus di RPH Kalirajut yaitu berkisar antara
disebabkan adanya variasi faktor lingkungan yang 15.430–16.540 lux sedangkan pada tegakan Pinus di
berbeda. Menurut Kartasapoetra (1992), faktor– RPH Baturraden yaitu berkisar antara 14.250–16.100
faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap lux (Tabel 3). Intensitas cahaya merupakan sumber
vegetasi diantaranya adalah ketinggian tempat, energi dalam proses fotosintesis untuk memproduksi
kelembaban udara, suhu udara serta intensitas cahaya tepung/karbohidrat dan oksigen. Intensitas cahaya
matahari. Faktor–faktor lingkungan tersebut yang rendah akan mempengaruhi proses fotosintesis
berpengaruh terhadap penyebaran jenis–jenis yang akan menyebabkan produktivitasnya menjadi
tumbuhan dan pertumbuhannya. rendah (Nahdi & Darsikin, 2014). Hal ini sesuai
Indeks kemerataan pada RPH Baturraden berbeda dengan hasil yang didapatkan bahwa intensitas
dengan nilai indeks kemerataan yang ada pada RPH cahaya pada RPH Baturraden lebih rendah
Kalirajut, yaitu sebesar 0,57. Nilai ini dikatakan dalam dibandingkan RPH Kalirajut yang memiliki
golongan yang sedang. Menurut Mawazin & Subiakto keanekaragaman jenis tumbuhan bawah lebih sedikit.
(2013), semakin tinggi nilai e, maka semakin stabil Hasil pengukuran kelembaban udara di RPH
keanekaragaman jenisnya . Kalirajut berkisar antara 38–41%, sedangkan di RPH
Indeks kesamaan (IS) diperlukan untuk Baturraden adalah 60–64% (Tabel 3). Balai Taman
mengetahui tingkat kesamaan pada tegakan yang Nasional Baluran (2000) menyatakan bahwa,
dibandingkan. Oleh karena itu, besar kecilnya nilai kelembaban yang terlalu tinggi akan menghambat
indeks kesamaan tersebut memperlihatkan tingkat proses transpirasi pada tumbuhan yang berakibat
kesamaan dari tegakan yang dibandingkan. Krebs terhambatnya penyerapan air dan garam mineral dari
(1985), menyatakan semakin besar nilai IS maka jenis dalam tanah oleh tumbuhan. Hal ini sesuai dengan
yang sama pada tegakan yang dibandingkan semakin hasil yang didapatkan bahwa tumbuhan bawah yang
banyak. Indeks kesamaan jenis Sorensen pada ditemukan pada RPH Baturraden lebih sedikit yaitu
tegakan pinus di RPH Kalirajut dan RPH Baturraden sebanyak 19 jenis, sedangkan pada RPH Kalirajut
adalah sebesar 30,85%. Nilai ini menunjukkan bahwa yaitu sebanyak 32 jenis tumbuhan bawah.
komposisi jenis di dataran rendah yaitu RPH Kalirajut Pengukuran pH tanah pada kedua lokasi
dan dataran tinggi yaitu RPH Baturraden relatif menunjukkan hasil yaitu 4,5–5,0 pada RPH Kalirajut
berbeda. Besar kecilnya nilai indeks kesamaan dan 5,5–6,0 pada RPH Baturraden (Tabel 3). Menurut
komunitas tumbuhan dipengaruhi oleh jumlah Sandoval & Rodriguez (2008), jenis Wedelia trilobata
individu dari jenis yang sama antar dua komunitas menyukai lingkungan dengan pH tanah berkisar

158
SCRIPTA BIOLOGICA | VOLUME 4 | NOMER 3 | SEPTEMBER 2017 | 155–160 | HTTPS://DOI.ORG/10.20884/1.SB.2017.4.3.407

5,5−6,5 atau sedikit asam cenderung netral. Hal ini Ismaini L. 2015. Pengaruh alelopati tumbuhan invasif (Clidemia
hirta) terhadap germinasi biji tumbuhan asli (Impatiens
sesuai dengan hasil yang didapatkan bahwa jenis W.
platypetala). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1(4):834–837.
trilobata ditemukan banyak RPH Baturraden yang Juanda DJS, Cahyono B. 2005. Teknik budidaya dan analisis usaha
memiliki pH tanah sesuai bagi pertumbuhan dan tani. Yogyakarta: Kanisius.
perkembangbiakannya. Menurut Hakim et al. (1986), Kartasapoetra G. 1992. Budidaya tanaman berkhasiat obat : kunyit
(kunir). Jakarta: PT. Rineka Cipta.
semakin tingginya pH tanah maka keragaman
Krebs CJ. 1985. Ecology: The experimental analysis of distribution
jenisnya akan semakin rendah yang disebabkan and abundance. New York: Harper & Row, INC.
karena semakin tingginya pH ketersediaan asam– Lubis SR. 2009. Keanekaragaman dan pola distribusi tumbuhan
asam tertentu akan semakin berkurang. Hal ini juga paku di Hutan Wisata Alam Taman Eden Kabupaten Toba
Samosir Provinsi Sumatera Utara. Medan: Pascasarjana
sesuai dengan hasil yang didapatkan bahwa pH pada
Universitas Sumatera Utara.
RPH Kalirajut memiliki pH yang lebih rendah dan Magurran AE. 1988. Ecological diversity and its measurement. USA:
memiliki keragaman jenis yang lebih tinggi Chapman and Hall.
dibandingkan dengan RPH di Baturraden. Mawazin, Subiakto A. 2013. Keanekaragamandan komposisi jenis
permudaan alam hutan rawa gambut bekas tebangan di Riau.
KESIMPULAN DAN SARAN Forest Rehabilitation. 1(1):59–73.
Miardini A, Boediyono A, Atmoko BD, Harjadi B, Gunawan. 2010.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: jumlah Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim.
jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di RPH Solo: Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan.
Mueller D, Ellenberg H. 1974. Aims and methods of vegetation
Kalirajut yaitu 32 jenis yang terdiri dari 17 famili, ecology. New York: Wiley International Edition.
sedangkan di RPH Baturraden yaitu 19 jenis yang Nahdi MS, Darsikin. 2014. Distribusi dan kemelimpahan jenis
terdiri dari 11 famili; dan jenis tumbuhan yang tumbuhan bawah pada naungan Pinus mercusii, Acasia
memiliki nilai penting tertinggi di RPH Kalirajut yaitu auriculiformis dan Eucalyptus alba di Hutan Gama Giri Mandiri
Yogyakarta. Jurnal Natur Indonesia.16(1):33–41.
Ottochloa nodosa, Oplismenus compositus, dan Eleusine Nirwani Z. 2010. Keanekaragaman tumbuhan bawah yang
indica, sedangkan jenis tumbuhan yang memiliki berpotensi sebagai tanaman obat di Hutan Taman Nasional
indeks nilai penting tertinggi di RPH Baturraden yaitu Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang [skripsi]. Fakultas
Wedelia trilobata, Paspalum conjugatum, dan Clidemia Kehutanan Universitas Negeri Sumatera Utara.
Palijama W, Riry J, Wattimena AY. 2012. Komunitas gulma pada
hirta; serta kesamaan jenis tumbuhan bawah pada pertanaman pala (Myristica fragrans H) belum menghasilkan
tegakan Pinus antara RPH Kalirajut dengan RPH dan menghasilkan di Desa Hutumuri Kota Ambon. Agrologia. 1
Baturraden tergolong berbeda. (2):91–169.
Perlu dilakukan penelitian secara periodik, agar Prasetyo B. 2007. Keanekaragaman tanaman buah di pekarangan
Desa Jabon Mekar Kecamatan Parung Bogor [skripsi] Jurusan
dapat memberikan gambaran dinamika komposisi Biologi. FMIPA. Tangerang: Universitas Terbuka.
tumbuhan bawah di RPH Kalirajut dan RPH Rukmana HR, Saputra US. 1999. Gulma dan teknik pengendalian.
Baturraden. Selain itu komposisi yang tercatat Jakarta: Kanisius.
diharapkan menjadi informasi agar tumbuhan bawah Samingan T. 1976. Pemantaran metode pendugaan hasil potensi
hutan dalam rangka kelestarian pemungutan hasil hutan.
yang memiliki manfaat dan nilai ekonomi tinggi dapat Buletin PERSAKI. 8 (I) :3– 9.
terjaga dengan baik. Sandoval JR, Rodríguez PA. 2008. Department of Botany. USA:
Smithsonian NMNH.
DAFTAR REFERENSI Sastrapradja S, Afriastini JJ. 1979. Jenis Paku Indonesia. Bogor:
Abdiyani S. 2008. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah Lembaga Biologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan
berkhasiat obat di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Penelitian Indonesia.
Hutan dan Konservasi Alam. 1 (5):79–92. Sastrapradja S, Afriastini JJ. 1980. Jenis rumput dataran rendah.
Arief A. 1994. Hutan alam dan pengaruh terhadap lingkungannya. Bogor: Lembaga Biologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Jakarta: Yayasan Obor. Indonesia.
Backer CA. 1973. Weed Flora of Javanese sugar–cane fields. Sastrapradja S, Afriastini JJ. 1981. Rumput pegunungan. Bogor:
Deventer:Ysel Press. Lembaga Biologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Balai Taman Nasional Baluran. 2000. Laporan pelaksanaan kegiatan Indonesia.
sarasehan peningkatan peran serta masyarakat terhadap Sastrapradja S, Afriastini JJ. 1985. Kerabat Paku. Bogor: Lembaga
pengamanan hutan. Banyuwangi: Departemen Kehutanan RI. Biologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Binibis L. 2014. Inventarisasi tumbuhan bawah di kawasan Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekosistem Hutan Indonesia.
penambangan emas Desa Juria Kecamatan Bilato Kabupaten Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Gorontalo [tesis]. Universitas Gorontalo. Sofyan MZ. 1991. Analisis vegetasi pohon di Hutan Saloguma
Ewusie JY. 1990. Ekologi tropika. Bandung: ITB. [skripsi]. Padang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetaguan
Goltenboth F, Timotius KH, Milan PO, Margraf J. 2006. Ecology of Alam Universitas Andalas
Insular South East Asia The Indonesia Archipelago 1st Edition. Steenis CGGJ Van. 1972. The mountain flora of Java. Leiden: E.J. Brill.
Elsevier B. V. The Nederlands. Steenis CGGJ Van. 1981. Flora: Untuk sekolah di Indonesia. Jakarta:
Hakim N, Nyakpa MY, Nugroho SGB, Barley HH. 1986. Dasar dasar PT. Pradanya Paramita.
Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Syah AS, Sulaeman SM, Pitopang R. 2014. Jenis–jenis tumbuhan
Hilwan I, Mulyana D, Pananjung WD. 2013. Keanekaraaman jenis Suku Asteraceae di Desa Mataue, Kawasan Taman Nasional
tumbuhan bawah pada Tegakan Sengon Buto (Enterolobium Lore Lindu. Online Jurnal of Natural Science. 3(3):297 – 312.
cyclocarpum Griseb.) dan Trembesi (Samanea saman Merr.) di Tanasale V. 2010. Komunitas gulma pada pertanaman gandaria
Lahan Pasca Tambang Batubara PT Kitadin, Embalut, Kutai belum menghasilkan dan menghasilkan pada ketinggian tempat
Kartanagara Kalimantan Timur. Jurnal Silvikultur Tropika, yang berbeda [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
4(1):6–10. Wijayanti YE. 2011. Struktur dan komposisi komunitas tumbuhan
Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia (Terjemahan) Jilid III. lantai Hutan di Kawasan Cagar Alam Ulolong Kecubung
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kecamatan Subah Kabupaten Batang [skripsi].IKIP PGRI
Semarang Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Jurusan Pendidikan Biologi.

| http://scri.bio.unsoed.ac.id 159
NADIA DESTARANTI, SULISTYANI, EDY YANI

Windusari Y. 2012. Dugaan cadangan karbon biomassa tumbuhan Yuniawati. 2013. Pengaruh pemanenan kayu terhadap potensi
bawah dan serasah di Kawasan Suksesi Alami pada area karbon tumbuhan bawah dan serasah di lahan Gambut (Studi
pengendapan Tailing PT. Freeport Indonesia. Sumatra Selatan. Kassus di Areal HTI Kayu Serat PT. RAPP Sektor Pelalawan).
Biospecies. 5(1): 22–28. Propinsi Riau. Hutan Tropis. 1(1)2337–7771.
Wirakusuma RS. 1980. Citra dan fenomena Hutan Tropika Humida
Kalimantan Timur. Jakarta: Pradya Paramita.

160
Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8

ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN MENGGUNAKAN METODE TRANSEK GARIS


(LINE TRANSEK) DI HUTAN SEULAWAH AGAM DESA PULO
KEMUKIMAN LAMTEUBA KABUPATEN ACEH BESAR

Muslich Hidayat1), Laiyanah2), Nanda Silvia3), Yenni Aulia Putri4) dan Nurul Marhamah5)
1,2,3,4,5)
Program Studi Pendidikan Biologi FTK UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Email: laiyanah22@gmail.com

ABSTRAK

Tumbuhan merupakan organisme autotrof yang dapat menghasilkan bahan organik untuk keperluan
hidupnya dan menjadi ujung rantai makanan bagi beragam jenis organisme heterotof. Hutan
seulawah agam merupakan hutan hujan tropis yang terletak di Kawasan Seulawah Agam Desa
Pulo, Kemukiman Lamteuba, Kabupaten Aceh Besar. Di dalam hutan ini terdapat berbagai jenis
tumbuhan yang sangat berguna bagi sumber kehidupan makhluk hidup. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui keanekaragaman, mengidentifikasi dan menganalisa komposisi jenis, tumbuhan,
peranan, penyebaran, dan struktur pohon dari vegetasi hutan. Penelitian dilakukan pada tanggal 22
Mei 2016 melalui observasi langsung. Pengambilan data dilakukan dengan metode line transect.
Dari hasil pengambilan data, ditemukan 44 spesies tumbuhan kepadatan terbanyak didominasi oleh
tumbuhan waru (Hibiscus tiliaceus) nilai kerapatan relatif (KR) 101,9736852% hasil tersebut
menunjukkan tidak ada jenis tumbuhan yang mendominasi wilayah tersebut. Sehingga tumbuhan di
wilayah tersebut, tergolong sangat bervariasi.

Kata Kunci: Keanekaragaman Tumbuhan, Line Transect, Vegetasi Hutan.

PENDAHULUAN
ndonesia merupakan salah satu negara vegetasi dari tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur
dengan keanekaragaman hayati vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi
terbesar di dunia (megabiodiversity dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis
countries). Keanekaragaman hayati tersebut vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter
meliputi tumbuhan dan hewan yang tersebar di dan tinggi untuk menentukan indeks nilai
seluruh wilayah Indonesia. Indonesia penting dari penyusun komunitas hutan tersebut.
menempati urutan keempat dunia untuk Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh
keanekaragaman jenis tumbuhan, yaitu memiliki informasi kuantitatif tentang struktur dan
kurang lebih 38.000 jenis. Keanekaragaman komposisi suatu komunitas tumbuhan (Syafei,
jenis tumbuhan tersebut tergambar pada hutan- 1990).
hutan yang tersebar diseluruh kawasan Untuk menentukan vegetasi suatu komu-
Indonesia (Ary, 2015). nitas dapat dengan menggunakan metode,
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh- transek garis. Transek adalah jalur
tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis sempit melintang lahan yang akan
yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. dipelajari/diselidiki. Metode transek bertujuan
Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi
terdapat interaksi yang erat, baik diantara dan perubahan lingkungan serta untuk
sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri mengetahui hubungan vegeterasi yang ada
maupun dengan organisme lainnya sehingga disuatu lahan secara cepat. Dalam hal ini,
merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh apabila vegetasi sederhana maka garis yang
serta dinamis. Analisis vegetasi merupakan digunakan semakin pendek. Untuk hutan,
suatu cara mempelajari susunan dan atau biasanya panjang garis yang digunakan sekitar
komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) 50m-100m, sedangkan untuk vegetasi semak

85
Muslich Hidayat, Dkk.

belukar, garis yang digunakan cukup 5m-10m. sejenis yang terlewati oleh garis. Kerimbunan
Apabila metode ini digunakan pada vegetasi ditentukan berdasarkan panjang garis yang
yang lebih sederhana, maka garis yang tertutup oleh individu tumbuhan, dan dapat
digunakan cukup 1 m (Odum, 1988). merupakan presentase perbandingan panjang
Garis transek merupakan garis sampling penutupan garis yang terlewat oleh individu
yang ditarik menyilang pada sebuah bentukan tumbuhan terhadap garis yang dibuat (Syafei,
atau beberapa bentukan. Transek juga dapat 1990).
dipakai dalam studi altituide dan mengetahui METODE PENELITIAN
perubahan komunitas yang ada (Heddy, 1996). Waktu dan Tempat Penelitian
Metode garis transek, sistem analisis melalui Penelitian dilaksanakan pada tanggal 22 Mei
variable-variabel kerapatan, kerimbunan, dan 2016 di Kawasan Hutan Seulawah Agam Desa
frekuensi yang selanjutnya menentukan INP Pulo, Kemukiman Lamteuba, Kabupaten Aceh
(Indeks Nilai Penting) yang akan digunakan Besar. Peta lokasi penelitian disajikan pada
untuk memberi nama sebuah vegetasi. Gambar 1.
Kerapatan dinyatakan sebagai jumlah individu

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Hutan Seulawah Agam Desa Pulo, Kemukiman Lamteuba,
Kabupaten Aceh Besar

Alat dan Bahan Penelitian Seulawah Agam Desa Pulo Kemukiman


Alat dan bahan yang digunakan dalam Lamteuba dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
penelitian vegetasi tumbuhan di kawasan hutan

Tabel 1. Alat dan Bahan Penelitian Vegetasi Tumbuhan di Hutan Sulawah Agam
No Nama Alat dan Bahan Fungsi
1 Tali rafia atau benang Untuk menentukan luas petak
2 Patok petak contoh Untuk tanda pembantas setiap petak contoh
3 Perlengkapan dan bahan pembuatan herbarium Untuk membuat herbarium
4 Kamera Untuk mengambil sampel gambar
5 Alat Tulis Untuk mencatat data
6 Gunting tumbuhan Untuk mengambil sampel
Untuk mengumpulkan hasil pengambilan sampel dari
7 Kantung plastik
lapangan.
8 Buku identifikasi Untuk mengidentifikasi sampel
9 Soiltester Untuk mengukur pH dan kelembaban tanah
10 Lux meter Untuk mengukur intensitas cahaya
11 Kertas label dan lembaran data Untuk proses pengumpulan data

86
Analisis Vegetasi Tumbuhan Menggunakan Line Transek ...

METODE PENELITIAN Dominansi (menurut Soerianegara, dalam Lily


Pengambilan data primer dilakukan Ismaini, dkk: 2015)
dengan metode Line transect, yaitu dengan
berjalan menyusuri hutan di sepanjang garis  Dominansi Mutlak
transek yang telah ditentukan. Garis transek
dibuat sepanjang 60x20 meter membelah Dm =
kawasan hutan dengan ukuran transek yaitu 10
m ke kanan dan ke kiri dan panjang jalan 60 m,  Dominansi Relatif
dilakukan pengamatan pada seluruh tiang dan
pohon yang ditemukan pada areal yang sudah Dr = x 100%
ditentukan. Parameter yang diukur adalah
jumlah dan jenis pohon, keliling pohon (DBH),  Nilai Penting
tinggi pohon dan dominansinya. Dicari indeks NP = Kr + Fr + Dr
nilai penting dan SDR nya. Serta diperhatikan Keterangan:
kondisi lingkungan hutan meliputi suhu udara, NP: Nilai penting, Kr: Frekuensi relatif,
kelembapan udara, intensitas cahaya, serta Fr: Frekuensi relatif, Dr: Dominansi relatif.
faktor-faktor edafik dan topografi. Data
sekunder diambil melalui penelusuran kajian Nilai indeks dominasi berkisar antara 0 –
pustaka terhadap berbagai literatur, baik jurnal, 1, dengan kriteria : Jika nilai D mendekati 1,
buku, makalah, mass media maupun informasi maka keanekaragamannya rendah dan
dari internet yang berkaitan dengan tema kelimpahannya tinggi/ mendominasi dari jenis
penelitian. lain. Jika nilai D mendekati 0, maka
Parameter yang dianalisa menurut Odum keanekaragamannya tinggi dan kelimpahannya
(dalam, Tania Serezova: 2015) meliputi : rendah / tidak ada jenis yang mendominasi.
 Kerapatan (Km)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Km = Kondisi Lingkungan Hutan Seulawah Agam
Hutan Seulawah Agam merupakan hutan
 Kerapatan Relatif (KR) hujan tropis dengan posisi geografis terletak di
antara 5˚25’51 Lintang Utara dan 95˚39'28
Kr = x 100% Bujur Timur secaraadministratif berada di Desa
Pulo, Kemukiman Lamteuba, Kabupaten Aceh
 Frekuensi (F) Besar, Provinsi aceh. Vegetasi hutan Seulawah
Agam merupakan vegetasi khas hutan hujan
Fm = tropis. Kondisi kanopi dalam hutan relatif rapat
dan berstratifikasi. Hutan Seulawah Agam
 Frekuensi Relatif (FR) mempunyai luas wilayah 1,4 juta hektar, berada
pada ketinggian 1800 meter diatas permukaan
Fr = x 100% laut (Mdpl) dengan suhu udara rata-rata 26°C -
28°C, kelembapan udara rata-rata 78-90% dan
permukaan lantai hutannya bergelombang,
curam serta berbatu. Secara lengkap kondisi
lingkungan di hutan Seulawah Agam disajikan
pada Tabel 2.

87
Muslich Hidayat, Dkk.

Tabel 2. Kondisi Lingkungan Hutan Seulawah Agam Desa Pulo Kecamatan Seulimuem,
Aceh Besar
Faktor Lingkungan Kisaran Kisaran
Klimatik Suhu udara (°C ) 26oC-28 °C
Kelembapan udara (%) 78-90
Intensitas cahaya (Lux) 604-1.580
Edafik Keasaman tanah 2,6-5
Suhu tanah (°C) 27-28
Kelembapan tanah 5-7
Topografi Permukaan lahan Bergelombang, curam dan berbatu

Kondisi lingkungan hutan Seulawah Agam Komposisi dan Vegetasi Tumbuhan di Hutan
seperti tersebut di atas merupakan kondisi yang Seulawah Agam
umum dijumpai pada hutan-hutan tropis di Komposisi spesies tumbuhan yang
Indonesia. Kondisi lingkungan ini sangat sesuai terdapat di hutan Seulawah Agam terdiri dari 44
bagi hidup dan berkembangnya berbagai jenis spesies dari 51 individu. Komposisi tumbuhan
tubuhan sehingga menjadi penyangga bagi dan analisis vegetasinya yang terdapat di hutan
makhluk hidup dikawasan tersebut. Seulawah Agam dapat dilihat pada Tabel 3
berikut ini.

Tabel 3. Komposisi Spesies dan Vegetasi Tumbuhan (Frekuensi dan Kerapatan) di Hutan
Seulawah Agam Desa Pulo Kecamatan Seulimuem, Aceh Besar.
Nama
No Total FM FR (%) KM KR (%)
Daerah Ilmiah
1 Kopi Coffea arabica 9 0,1 2,2727 0,0015 7,43802
2 Kelengkeng Dimocarpus longan L. 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
3 Nangka Artocarpus heterophyllus 2 0,1 4,5455 0,0028 1,65289
4 Kemiri Aleurites moluccana 10 0,2 2,2727 0,0003 8,26446
5 Sentul Sandoricum koetjape 2 0,1 2,2727 0,0003 1,65289
6 Jengkol Archidendron pauciflorum 2 0,1 2,2727 0,0003 1,65289
7 Ara Ficus carica 3 0,1 2,2727 0,0005 2,47934
8 Mangga Mangifera indica 2 0,1 2,2727 0,0003 1,65289
10 pinang Areca catechu 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
11 kluewek Pangium edule 2 0,1 2,2727 0,0003 1,65289
12 kayu merica Symplocos fasciculata 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
13 Sentang hutan Canarium sumatranum 3 0,1 2,2727 0,0005 2,47934
14 Keruing Bunga Dipterocarpus hasseltii 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
15 Aren Arenga pinata 3 0,3 6,8182 0,0005 2,47934
16 ki besi/kayu ulin Eusideroxylon zwagen 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
17 Kingkilaban Castanopsis javanica 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
18 Sindur Sindora sp 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
20 Tampu glee Macarangatanarius 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
21 Seuiepie Aquilaria malaccensis 12 0,1 2,2727 0,002 9,91736
22 Melinjo Gnetumgnemon 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
23 Sirih dong Artocarpusnitidus 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
24 Ceuh Dryobalanopsaromatica 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
25 Pulai Alstania scholaris 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
26 Waru Hutan Hibiscus tillaceus 17 0,2 4,5455 0,0017 14,0496
27 Bunga Kupu-Kupu Bauhinia purpurea 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
28 Tengkawang Tungkul Shorea macrophylla 3 0,1 2,2727 0,0005 2,47934
29 Tongke Hutan Acasia mangium 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
31 Cengkeh Zyzygium aromaticum 3 0,1 2,2727 0,0005 2,47934
32 Ranup Dong Piper aduncum 11 0,1 2,2727 0,0018 9,09091

88
Analisis Vegetasi Tumbuhan Menggunakan Line Transek ...

Nama
No Total FM FR (%) KM KR (%)
Daerah Ilmiah
34 Bak sentang Azadiracta excelse 4 0,1 2,2727 0,0007 3,30579
35 kamboja Plumeria acuminata 2 0,1 2,2727 0,0003 1,65289
36 kedongdong Switenia mahagoni 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
37 Pohon Fallopia Fallopia japonica 2 0,1 2,2727 0,0003 1,65289
38 Pohon Galipea Galipea dasysperma 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
39 Cempaka magnolia tripetala 4 0,1 2,2727 0,0007 3,30579
40 Pohon Ulmus Ulmus pumila 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
41 Pohon Mara Makaranga tanarius 4 0,1 2,2727 0,0007 3,30579
42 bebelo Piper aduncum L 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
43 ular tenge Mallotus sp 1 0,1 2,2727 0,0002 0,82645
44 Jelatang rusa/Latong Dendrocnidae stimulans 2 0,1 2,2727 0,0003 1,65289
Total 121 4,4 100,000 0,0202 100,000

Tabel 4. Komposisi Spesies dan Vegetasi Tumbuhan (Dominansi, Indeks Nilai Penting) di Hutan
Seulawah Agam Desa Pulo Kecamatan Seulimuem, Aceh Besar.
Nama
No Total DM DR (%) INP
Daerah Ilmiah
1 Kopi Coffea arabica 9 0,0035 0,36244 10,0732
2 Kelengkeng Dimocarpus longan L. 1 0,0425 4,46482 7,5640
3 Nangka Artocarpus heterophyllus 2 0,0103 1,07681 19,6719
4 Kemiri Aleurites moluccana 10 0,0621 6,52214 19,3321
5 Sentul Sandoricum koetjape 2 0,0013 0,13132 4,0569
6 Jengkol Archidendron pauciflorum 2 0,0029 0,30641 4,2320
7 Ara Ficus carica 3 0,0088 0,92623 5,6783
8 Mangga Mangifera indica 2 0,0016 0,17071 4,0963
10 pinang Areca catechu 1 0 0,00000 3,0992
11 kluewek Pangium edule 2 0,0047 0,49025 4,4159
12 kayu merica Symplocos fasciculata 1 0,0106 1,11619 4,2154
13 Sentang hutan Canarium sumatranum 3 0,0062 0,65308 5,4051
14 Keruing Bunga Dipterocarpus hasseltii 1 0,045 4,72739 7,8266
15 Aren Arenga pinata 3 0,0877 9,21105 18,5086
16 ki besi/kayu ulin Eusideroxylon zwagen 1 0,0030 0,31516 3,4143
17 Kingkilaban Castanopsis javanica 1 0,0015 0,15758 3,2568
18 Sindur Sindora sp 1 0,0133 1,40071 4,4999
20 Tampu glee Macarangatanarius 1 0,0083 0,87544 3,9746
21 Seuiepie Aquilariamalaccensis 12 0,0200 2,09931 14,2894
22 Melinjo Gnetumgnemon 1 0,0245 2,57380 5,6730
23 Sirih dong Artocarpusnitidus 1 0,0300 3,15159 6,2508
24 Ceuh Dryobalanopsaromatica 1 0,0041 0,42897 3,5281
25 Pulai Alstania scholaris 1 0,0026 0,27664 3,3758
26 Waru Hutan Hibiscus tillaceus 17 0,0022 0,23287 4,1585
27 Bunga Kupu-Kupu Bauhinia purpurea 1 0,0002 0,01751 3,1167
28 Tengkawang Tungkul Shorea macrophylla 3 0,0006 0,06286 4,8149
29 Tongke Hutan Acasia mangium 1 0,0013 0,13132 3,2305
31 Cengkeh Zyzygium aromaticum 3 0,0027 0,27839 5,0305
32 Ranup Dong Piper aduncum 11 0,0679 7,12815 18,4918
34 Bak sentang Azadiracta excelse 4 0,0238 2,49939 8,0779
35 kamboja Plumeria acuminata 2 0,0028 0,29765 4,2233
36 kedongdong Switenia mahagoni 1 0,0250 2,62633 5,7255
37 Pohon Fallopia Fallopia japonica 2 0,0007 0,07441 4,0000
38 Pohon Galipea Galipea dasysperma 1 0,0003 0,03502 3,1342
39 Cempaka magnolia tripetala 4 0,2657 27,90909 33,4876

89
Muslich Hidayat, Dkk.

Nama
No Total DM DR (%) INP
Daerah Ilmiah
40 Pohon Ulmus Ulmus pumila 1 0,0060 0,62594 3,7251
41 Pohon Mara Makaranga tanarius 4 0,1464 15,37823 20,9567
42 bebelo Piper aduncum L 1 0,0088 0,91921 4,0184
43 ular tenge Mallotus sp 1 0,0015 0,15320 3,2524
44 Jelatang rusa/Latong Dendrocnidae stimulans 2 0,0018 0,19120 4,1168
Total 121 0,9519 100,00 300,00

Berdasarkan Tabel 1, komposisi spesies Kerapatan


tumbuhan yang terdapadi hutan Seulawah Agam Kerapatan merupakan jumlah suatu
Desa Pulo, Kemukiman Lamteuba, Kabupaten individu jenis per unit luas atau per unit volume.
Aceh Besar, terdiri dari 44 (enam) spesies. Fandeli (1992) mengkategori kerapatan ke
Secara umum tumbuhan yang mendominasi dalam 4 kategori yaitu: kategori rendah dengan
dapat ditinjau dari tingkat kehadiran dibanding nilai 12-50, kategori sedang dengan nilai 51-
spesies lainnya. Tumbuhan yang mendominasi 100, kategori baik dengan nilai >201.
titik pengamatan di hutan Seulawah Agam yaitu Dari analisis di atas diketahui bahwa
tumbuhan waru hutan (Hibiscus tillaceus) yang terdapat 2 spesies tergolong tinggi yaitu
berjumlah 17, dan ada beberapa tumbuhan yang Seuiepie (Aquilaria malaccensis) dengan nilai
tingkat kehadirannya sedikit dengan jumlah 1. kerapatan 9,91736 % dan Ranup Dong (Piper
aduncum) 9,09091 %. Sedangkan kerapatan
Frekuensi yang rendah terdiri dari banyak tumbuhan
Frekuensi adalah jumlah kehadrian suatu dengan nilai kerapatan relatif 0,82645 % (Lihat
spesies di petak contoh tempat ditemukannya Tabel 3).
suatu spesies dari jumlah petak contoh secara Berdasarkan kategori kerapatan, maka
keseluruhan yang dilakukan. Penggolongan secara umum kerapatan pohon di kawasan hutan
frekuensi didasarkan menurut Indriyanto (2006), Seulawah Agam tergolong sangat rendah yaitu
terdiri atas lima kelas yaitu: kelas A (1-20%) berada di bawah 12%.
sangat rendah, kelas B (21-40%) rendah, kelas
C (41-60%) sedang, kelas D (61-80%) tinggi, Dominansi
dan kelas E (81-100%) sangat tinggi. Dominansi adalah proporsi antara luas
Dari analisis di atas diketahui bahwa tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan
terdapat 2 spesies tergolong tinggi dibandingkan dengan luas total habitat. Dari analisis di atas
spesies lain yaitu aren (Arenga pinata) dengan diketahui bahwa terdapat 1 spesies tergolong
nilai frekuensi relatif 6,8 % dan waru hutan tinggi dibandingkan spesies lain yaitu cempaka
(Hibiscus tillaceus) dengan nilai frekuensi (Magnolia tripetala) dengan nilai dominansi
relatif 4,5 %. Sedangkan frekuensi yang rendah 27,90909 %. Sedangkan dominansi yang rendah
terdiri dari banyak tumbuhan dengan nilai adalah pinang (Areca catechu) dengan nilai
frekuensi relatif 2,27 % (Lihat Tabel 3). Hal dominansi 0,0000 %. Hal ini dikarenakan pohon
tersebut menunjukkan bahwa kedua spesies ini pinang tidak memiliki luas bidang dasar
paling sering ditemukan pada setiap plot (tajuk/percabangan batangnya).
pengamatan. Secara keseluruhan frekuensi Jenis cempaka (Magnolia tripetala)
tumbuhan yang terdapat di hutan Seulawah menguasi ruang tumbuh per satuan luas (tajuk)
Agam tergolong sangat rendah yaitu berada yang memiliki diameter yang besar dan
antara 1-20% (kelas A). menempati ruang tumbuh yang baik.

90
Analisis Vegetasi Tumbuhan Menggunakan Line Transek ...

Indeks Nilai Penting (INP) Hasil pengamatan diperoleh jumlah


Indeks Nilai Penting (INP) merupakan tumbuhan pada seluruh stasiun berjumlah 156.
nilai yang menggambarkan peranan keberadaan Nilai D (dominasi) sebesar 64,99 maka
suatu jenis dalam komunitas tumbuhan. Jenis keanekaragamannya tinggi dan kelimpahannya
INP yang tinggi sangat mempengaruhi suatu rendah atau tidak ada jenis yang mendominasi.
komunitas tumbuhan. Menurut Fakhrul (2007), Mencermati hasil penelitian ini,
kategorisasi INP adalah sebagai berikut: INP > diharapkan di hutan Seulawah Agam Desa Pulo,
42,66 dikategorikan tinggi, INP 21,96 – 42,66 Kemukiman Lamteuba, Kabupaten Aceh Besar,
dikategorikan sedang, INP< 21,96 dikategorikan memiliki tingkat keanekaragam tumbuhan yaag
rendah. lebih banyak dan yang sangat penting adalah
Dari analisis di atas diketahui bahwa perlunya pengelolaan yang lebih baik, karena
terdapat 1 spesies tergolong tinggi dibandingkan kecepatan pertumbuhan yang beranekaragaman
spesies lain yaitu cempaka (Magnolia tripetala) tinggi dapat mempengaruhi ekosistem.
dengan nilai INP 33,4876 %. Sedangkan INP
yang rendah adalah pinang (Areca catechu) KESIMPULAN
dengan INP 3,0992 %. Hasil analisis vegetasi Komposisi spesies tumbuhan yang
tumbuhan pada cempaka (Magnolia tripetala) terdapat di hutan Seulawah Agam terdiri dari 44
menunjukkan peranan penting terhadap spesies dari 51 individu. Spesies tumbuhan yang
komunitas tumbuhan di kawasan hutan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) yang tinggi
Seulawah Agam. Menurut Fakhrul (2007), adalah cempaka (Magnolia tripetala) dengan
Besarnya INP ini menggambarkan tingkat nilai INP 33,4876 %. Sedangkan spesies
pengaruh suatu jenis vegetasi terhadap stabilitas tumbuhan yang memiliki Indeks Nilai Penting
suatu komunitas maupun ekosistem. (INP) yang rendah adalah pinang (Areca
Berdasarkan kategori diatas, Indeks Nilai catechu) dengan INP 3,0992 %. Berdasarkan
Penting (INP) di kawasan hutan Seulawah kategori indeks, INP tumbuhan di kawasan
Agam berada pada kategori rendah (INP < hutan Seulawah Agam berada pada kategori
21,96) dan kategori sedang (INP 21,96 – 42,66). rendah (INP < 21,96) dan kategori sedang (INP
Hal ini mengindikasi masih adanya dilakukan 21,96 – 42,66).
kegiatan perambahan hutan oleh masyarakat
sekitar dan pengalihan fungsi lahan.

DAFTAR PUSTAKA
Fachrul, M., 2007. Metode Sampling Wardiah. 2015. Etnobotani Medis Masyarakat
Bioekologi, Indonesia: Bumi Aksara. Kemukiman Pulo Breueh Selatan
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan, Jakarta: Bumi Kecamatan Pulo Aceh Kabupaten Aceh
Aksara. Besar. Jurnal Edu Bio Tropika, 3(1) : -50.
Sada,T.J. dan Rosye H.R.T. 2010. Keragaman Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
tumbuhan Obat Tradisional di Kampung
Nasfori Distrik Supiori Utara, Kabupaten
Supiori Papua, Jurnal Biologi Papua,
2(2): 39-46. Universitas Cenderawasih.
Supriyanti, L. 2014. Studi Etnobotani jeni-jenis
Tumbuhan Obat oleh masyarakat
Kecamatan Muara Bangkahulu Kota
Bengkulu sebagai sumber belajar Biologi
SMP. Universitas Bengkulu.

91
© 2016 Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP
JURNAL ILMU LINGKUNGAN
Volume 14 Issue 1: 19-26 (2016) ISSN 1829-8907

Struktur Vegetasi Kawasan Hutan Alam dan Hutan


Rerdegradasi di Taman Nasional Tesso Nilo
Andi Kusumo1, Azis Nur Bambang2, Munifatul Izzati3
1MagisterIlmu Lingkungan, Universitas Diponegoro; email: akusoemo@yahoo.co.id
2Dosen Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro
3Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro

ABSTRAK
Hutan Tesso Nilo merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman tanaman berpembuluh dan merupakan
habitat bagi satwa terancam punah yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan gajah sumatera (Elephas
maximus sumatranus). Kawasan ini tidak luput dari kegiatan perambahan dan di konversi menjadi perkebunan dan
permukiman. Pembukaan lahan hutan akan mengakibatkan rusaknya fungsi hutan dan mengakibatkan musnahnya
berbagai jenis flora dan fauna. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh
perambahan hutan terhadap strukur vegetasi kawasan hutan. Metode yang digunakan adalah survei dengan
menggunakan sampling vegetasi petak dalam jalur dilokasi hutan alam dan hutan terdegradasi akibat perambahan.
Hasil dianalisis untuk mengetahui kelimpahan vegetasi, indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman (Shannon-
Wiener). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perambahan hutan mengakibatkan terjadinya perubahan pada
struktur vegetasi. Perambahan mengakibatkan penurunan jumlah kelimpahan vegetasi, nilai keanekaragaman, dan
dominansi jenis (indeks nilai penting) baik pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.
Kata kunci: Taman Nasional Tesso Nilo, struktur vegetasi, perambahan

ABSTRACT
Tesso Nilo forest is an area with a greater diversity of vascular plants and habitat for an endangered species, namely
the Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) and the Sumatran elephant (Elephas maximus sumatranus). This area
was not spared from encroachment and conversion to plantations and settlements. Forest clearing will cause
damage to forest functions and lead to the extinction of various species of flora and fauna. The purpose of this study
was to determine the consequences caused by the encroachment of the structure of forest vegetation. The method
used was a survey by sampling vegetation plots in the path of the location of natural forests and forests degraded
due to encroachment. The results were analyzed to determine the abundance of vegetation, an index of the
importance and diversity index (Shannon-Wiener). The results showed that deforestation resulted in a change in
the structure of vegetation. Encroachment degrades an abundance of vegetation, the value of diversity, and
dominance type (Importance Value Index) is good for seedlings, saplings, poles and trees.
Keywords: Nasional Park of Tesso Nilo, vegetation structure
Cara sitasi: Kusumo, A., Bambang, A. N., Izzati, M. (2016). Struktur Vegetasi Kawasan Hutan Alam dan Hutan Rerdegradasi di
Taman Nasional Tesso Nilo. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(1),19-26, doi:10.14710/jil.14.1.19-26

1. PENDAHULUAN kawasan hutan dan meningkatnya kebutuhan


Hutan tropis Indonesia merupakan salah akan sumberdaya meningkatkan laju konversi
satu hutan tropis terluas didunia setelah Brazil di hutan. Menurut daryono (2009) dan Purba et al
benua amerika selatan dan Kongo di benua afrika. (2014) laju konversi hutan di Indonesia saat ini
Kelimpahan flora dan fauna hutan tropis di sangat tinggi yaitu sebesar 2 sampai dengan 2,8
Indonesia sangat tinggi dan masih banyak yang juta hektar pertahun.
belum teridentifikasi (Purba et al., 2014). Namun Hutan Tesso Nilo merupakan kawasan
dengan meningkatnya jumlah manusia disekitar dengan tingkat keanekaragaman tanaman
hutan menjadi ancaman bagi kelestarian hutan. berpembuluh tinggi (Gillison, 2001). Hutan Tesso
Peningkatan jumlah manusia akan berbanding Nilo merupakan hutan dataran rendah yang
lurus dengan peningkatan kebutuhan sumberdaya tersisa di Sumatera dan merupakan habitat bagi
seperti makanan, perlindungan, peralatan, lahan satwa terancam punah yaitu harimau sumatera
dan lain sebagainya (Purwaningsih et al. 2004). (Panthera tigris sumatrae) dan gajah sumatera
Tercatat sebanyak 10,2 juta masyarakat berada di (Elephas maximus sumatranus) (TNTN,2009).
dalam dan sekitar kawasan hutan (PHKA, 2007). Kawasan hutan Tesso Nilo adalah kawasan hutan
Banyaknya masyarakat yang bermukim disekitar dataran rendah di Sumatera yang tidak luput dari

19
Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 14 (1): 19-26, 2016 ISSN : 1829-8907

kegiatan perambahan dan di konversi menjadi


perkebunan dan permukiman (TNTN, 2009). 2. METODE PENELITIAN
Pembukaan lahan hutan akan mengakibatkan Penelitian dilakukan di kawasan Taman
rusaknya fungsi hutan. rusaknya fungsi hutan Nasional Tesso Nilo, Kabupaten Pelalawan,
dapat menimbulkan bencana dan kerugian bagi Provinsi Riau. Lokasi dipilih pada kawasan hutan
manusia. alam dan kawasan terdegradasi akibat
Pembukaan dan perambahan hutan dengan perambahan. Penelitian dilakukan pada bulan Juni
cara dibakar adalah musnahnya berbagai jenis sampai Agustus 2015. Sampling vegetasi
flora dan fauna (Purbowaseso, 2004). Tujuan dilakukan dengan metode petak dalam jalur,
penelitian ini adalah untuk mengetahui akibat dengan mencatat semua vegetasi yang ada berupa
yang ditimbulkan oleh perambahan hutan vegetasi bawah, semai, pancang, tiang dan pohon
terhadap strukur vegetasi kawasan hutan. (Bismark, 2011; Fachrul 2012).
struktur vegetasi dilihat dari kelimpahan vegetasi Pada metode ini dibuat jalur dengan petak-
dan tingkat keanekaragaman jenis pada kawasan petak pengamatan yang terdiri dari petak ukuran
hutan alam dan hutan terdegradasi di kawasan 2 x 2 m yang digunakan untuk menganalisis
Taman Nasional Tesso Nilo. Hasil penelitian ini vegetasi tingkat semai. Untuk petak 5 x 5 m
diharapkan dapat memberikann manfaat untuk digunakan untuk menganalisis vegetasi tingkat
merencanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan pancang, petak ukuran 10 x 10 m untuk analisis
lahan (RHL) dan informasi mengenai jenis-jenis vegetasi tingkat tiang dan petak 20 x 20 m
yang dapat di pilih sebagai sumber benih untuk digunakan untuk analisis vegetasi tingkat pohon
memperkaya lahan terdegradasi. yang digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Petak ukur vegetasi


Keterangan: Sp = Pancang (5x5m), Sd = Semai (2x2m), T = Pohon (20x20m), P = Tiang (10x10m)
Sumber : (Bismark 2011; Fachrul 2012)

Pada masing-masing petak tersebut dilakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan


dilakukan pengukuran tinggi, diameter setinggi berdasarkan buku identifikasi tumbuhan. Hasil
dada dan identifikasi jenis pohon, tiang, identifikasi jenis tumbuhan yang diperoleh
pancang, semai dan dicatat pada tally sheet yang dihitung nilai penting dan indeks
telah disiapkan. Buku identifikasi mengacu pada keanekaragaman Shannon Weaver (Leksono,
buku identifikasi jenis pohon di hutan alam. 2007; Fachrul 2012). Untuk menentukan
Untuk jenis yang tidak dikenal pada hutan alam, persentase dan besarnya pengaruh yang
dilakukan identifikasi melalui koleksi contoh diberikan suatu jenis tumbuhan terhadap
herbarium (van Steenis et.al., 1975; komunitasnya, maka dicari indeks nilai penting
Tjitrosoepomo, 2007; Yulianto 2014). Analisis menggunakan rumus sebagai berikut:
dilakukan secara deskriptif. Jenis tanaman (Indriyanto 2006; Leksono, 2007; Fachrul
penutup tanah diambil pada titik sampel dan 2012).

20
© 2016, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP
Kusumo, A., Bambang, A. N., Izzati, M. (2016). Struktur Vegetasi Kawasan Hutan Alam dan Hutan Rerdegradasi di
Taman Nasional Tesso Nilo. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(1),19-26, doi:10.14710/jil.14.1.19-26

𝐼𝑁𝑃 = 𝐹𝑅 + 𝐾𝑅 + 𝐷𝑅

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 (𝐹) =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛

𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝐹𝑅) = 𝑥 100%
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 (𝐾) =
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡

𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝐾𝑅) = 𝑥 100%
𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 (𝐷) =
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡

𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝐷𝑅) = 𝑥 100%
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠

Untuk menentukan tingkat nilai keanekaragaman pada hutan alam sebesar


Keanekaragaman jenis tumbuhan menggunakan 2.18 untuk tingkat semai, 2.05 untuk tingkat
analisis indeks keanekaragaman Shannon- pancang, 2.34 jenis untuk tingkat tiang dan 3.05
Wienner (Leksono 2007; Fachrul 2012). untuk tingkat pohon. Pada hutan terdegradasi
sebesar 0.05 untuk tingkat semai, 0.1 untuk
𝑠
tingkat pancang, 1.31 jenis untuk tingkat tiang,
Shannon Index: H ′ = − ∑ 𝑝𝑖 ln 𝑝𝑖 dan 1.16 untuk tingkat pohon (Gambar 3).
𝑖=1 Hasil analisis vegetasi menunjukkan
bahwa pada hutan alam memiliki jumlah jenis
Dimana: dan nilai indeks keanekaragaman yang lebih
H’ = keanekaragaman yang ingin diketahui tinggi untuk tingkat pohon dan permudaannya
Pi = Ni/N (tiang, pancang, dan semai). Hal ini
Ni = jumlah individu setiap jenis menunjukkan bahwa kegiatan pembukaan lahan
N = Jumlah total individu semua jenis terutama dengan pembukaan dengan cara
pembakaran hutan mengakibatkan dampak
Indeks keanekaragaman jenis Shanon- yang besar. Dampak kebakaran hutan dapat
Whiener (H’) dibagi menjadi 4 kategori. Indeks memusnahkan berbagai macam jenis flora dan
H’ = 1-2 dikategorikan rendah, indeks H’ = 2-3 fauna (Purbowaseso, 2004).
dikategorikan sedang, indeks H’ = 3-4 Hutan di indonesia banyak di temukan
dikategorikan tinggi, dan indeks H’ > 4 tanaman yang bernilai ekonomi baik tanaman
dikategorikan sangat tinggi. berkhasiat obat, nilai kayu, tanaman endemik
bernilai estetika tinggi, pohon untuk
bersarangnya lebah madu (pohon sialang), serta
habitat bagi satwa langka terancam punah
3. HASIL DAN PEMBAHASAN seperti gajah dan harimau sumatera. Oleh
Hasil pengukuran vegetasi yang karena itu dampak kerugian yang diakibatkan
dilakukan pada pohon dan permudaannya oleh kebakaran hutan sangat mahal. Pangestu &
(tiang, pancang dan semai). Teridentifikasi pada Ahmad (1998) didalam (Purbowaseso, 2004)
hutan alam memiliki jumlah jenis sebanyak 18 menghitung dari hutan seluas 263.991 Ha hutan
jenis untuk tingkat semai, 16 jenis untuk tingkat terbakar kerugian yang ditimbulkan adalah
pancang, 15 jenis untuk tingkat tiang dan 34 sebesar Rp. 23 Milyar untuk hilangnya bahan
jenis untuk tingkat pohon. Pada hutan mentah dan bahan makanan, 27 Milyar akibat
terdegradasi memiliki jumlah jenis sebanyak 2 kehilangan sumberdaya genetik, dan 73 milyar
jenis untuk tingkat semai, 4 jenis untuk tingkat akibat kerugian rekreasi.
pancang, 5 jenis untuk tingkat tiang dan 5 jenis
untuk tingkat pohon (Gambar 2). Sementara itu

21
© 2016, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 14 (1): 19-26, 2016 ISSN : 1829-8907

35
HA HT
30
JUMLAH JENIS/SPESIES
25

20

15

10

0
Semai Pancang Tiang Pohon
STRATA VEGETASI

Gambar 2. Grafik jumlah jenis vegetasi pada plot ukur dalam tingkat pohon, tiang, pancang dan semai

3.50
indeks keanekaragaman (Shannon-Weaner)

HA HT
3.00

2.50

2.00

1.50

1.00

0.50

0.00
Semai Pancang Tiang Pohon
Strata vegetasi

Gambar 3. Grafik Indeks keragaman vegetasi dalam tingkat pohon, tiang, pancang dan semai

Data penghitungan dan pengumpulan (canopy cover) (Indriyanto, 2006). Tumbuhan


vegetasi pohon dan tingkat pertumbuhannya yang dominan memberikan ciri utama
perlu didiskripsikan agar diketahui kondisi terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan.
komunitas tumbuhan. Tiga parameter Masing-masing parameter jenis jika
kuantitatif untuk mendeskripsikan kondisi dijumlahkan akan menghasilkan Indeks Nilai
komunitas tumbuhan yaitu densitas atau Penting (INP) yang menyatakan dominansi
kerapatan, frekuensi dan dominansi atau suatu jenis dalam suatu komunitas
kelindungan yang diukur melalui luas bidang (Indriyanto, 2006).
dasar (basal cover) atau penutupan tajuk

22
© 2016, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP
Kusumo, A., Bambang, A. N., Izzati, M. (2016). Struktur Vegetasi Kawasan Hutan Alam dan Hutan Rerdegradasi di
Taman Nasional Tesso Nilo. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(1),19-26, doi:10.14710/jil.14.1.19-26
Tabel 1. Nilai Penting (NP) vegetasi dalam tingkat pohon, tiang, pancang dan semai pada hutan alam dan
hutan terdegradasi

Hutan Alam Hutan Terdegradasi

No Nama Spesies NP Nama Spesies NP

Semai
1 Shorea leprosula 58.78 Acacia Mangium 174.10
2 Syzigium garcinifolia 19.01 Garcinia parvifolia Miq 25.90
3 Dacryodes costanta Lam 17.20 - -
4 Callophylum pulcherimum 11.47 - -
5 Litsea Firma Bi 11.47 - -
6 Hydnocarpus kunstleri 9.51 - -
7 Shorea Sp. 7.62 - -
8 Scorodocarpus borneensis 7.62 - -
9 Anyshophylla distica 5.73 - -
10 Vatica stapfiana 5.73 - -
11 Scapium macropodum 5.73 - -
12 Polyalthia sp 5.73 - -
13 Palaquium hexandrum 5.73 - -
14 Archidendron microcarpum 5.73 - -
15 Gymnacranthera bancana 5.73 - -
16 Porterandia anisophylla 5.73 - -
17 Lhitocarpus Indicus Roxb 5.73 - -
18 Parashorea aptera 5.73 - -
Pancang
1 Shorea leprosula 61.83 Acacia Mangium 160.91
2 Dacryodes costanta Lam 20.84 SP1. 12.90
3 Polyalthia sp 13.70 Macaranga spp. 13.30
4 Litsea Firma Bi 12.06 Parashorea aptera 12.90
5 Cinnamomum Sp. 12.06 - -
6 Syzigium Sp2. 12.06 - -
7 Dialium platysephalum 10.42 - -
8 Syzigium garcinifolia 10.42 - -
9 Gymnacranthera bancana 6.85 - -
10 Palaquium hexandrum 6.85 - -
11 Anyshophylla distica 6.85 - -
12 Shorea Sp. 5.21 - -
13 Baccaurea macrocarpa 5.21 - -
14 Monocarpia marginalis 5.21 - -
15 Shorea macrantha 5.21 - -
16 Lhitocarpus Indicus Roxb 5.21 - -
Tiang
1 Shorea leprosula 53.40 Macaranga spp. 95.22
2 Callophylum pulcherimum 31.91 Acacia Mangium 74.16
3 Palaquium hexandrum 30.80 Macaranga sp1 52.70
4 Syzigium Sp2 22.89 SP 1. 42.17

23
© 2016, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 14 (1): 19-26, 2016 ISSN : 1829-8907

Hutan Alam Hutan Terdegradasi

No Nama Spesies NP Nama Spesies NP

5 Syzigium garcinifolia 22.89 Litsea Firma Bi 35.75


6 Dacryodes costanta Lam 17.52 - -
7 Dacryodes costanta Lam 17.52 - -
8 Artocarpus rigidus 14.08 - -
9 Ochanostachys amentacea 14.08 - -
10 Garcinia parvifolia 14.08 - -
11 Litsea Firma Bi 13.05 - -
12 Dialium platysephalum 11.95 - -
13 Artocarpus integer 11.95 - -
14 Scapium macropodum 11.95 - -
15 Horsfieldia wallichii 11.95 - -
Pohon
1 Shorea leprosula 28.83 Acacia Mangium 95.35
2 Callophylum pulcherimum 18.38 Macaranga sp1 94.67
3 Syzigium garcinifolia 18.38 Litsea Firma Bi 42.33
4 Syzigium Sp2. 17.70 Macaranga spp. 35.11
5 Palaquium hexandrum 16.14 Sp2. 32.53
6 Dacryodes costanta Lam 13.51 - -
7 Litsea Firma Bi 11.72 - -
8 Hydnocarpus kunstleri 10.66 - -
9 Baccaurea macrocarpa 10.44 - -
10 Ochanostachys amentacea 10.23 - -
11 Ixonanthes icosandra 9.32 - -
12 Xerospermum Sp. 8.67 - -
13 Durio carinatus Mast 8.26 - -
14 Scapium macropodum 7.69 - -
15 Porterandia anisophylla 7.69 - -
16 Dipterocarpus gracilis 6.63 - -
17 Garcinia parvifolia 6.63 - -
18 Melanarrhoea sp. 6.25 - -
19 Gluta aptera 6.11 - -
20 Archidendron microcarpum 6.11 - -
21 Monocarpia marginalis 6.11 - -
22 Cinnamomum Sp. 6.11 - -
23 Horsfieldia wallichii 6.11 - -
24 Palaquium stellanum 6.11 - -
25 Macaranga sp 2 5.63 - -
26 Mesua nuda 5.63 - -
27 Dialium platysephalum 5.40 - -
28 Scorodocarpus borneensis 5.40 - -
29 Artocarpus rigidus 5.19 - -
30 Pimeleodendron griffitianum 5.19 - -
31 Gymnacranthera bancana 4.98 - -
24
© 2016, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP
Kusumo, A., Bambang, A. N., Izzati, M. (2016). Struktur Vegetasi Kawasan Hutan Alam dan Hutan Rerdegradasi di
Taman Nasional Tesso Nilo. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(1),19-26, doi:10.14710/jil.14.1.19-26
Hutan Alam Hutan Terdegradasi

No Nama Spesies NP Nama Spesies NP

32 Myristica lowiana 4.98 - -


33 Memecylom costatum 4.98 - -
34 Lhitocarpus Indicus Roxb 4.98 - -
Sumber : Data primer, 2015

Nilai penting suatu jenis vegetasi pohon tanah masam dengan pH 4,5 hingga 6,5 (Orwa
menyatakan nilai kerapatan, frekuensi dan et al., 2009; Krisnawati et al., 2011).
dominansi suatu spesies sehingga akan terlihat Menurut ISAC (Invasive Spesies Advisory
peran vegetasi tersebut dalam suatu komunitas Committee) spesies invasif adalah jenis biota
(Indriyanto, 2006). Dari data indeks nilai yang tumbuh dan berkembang
penting pada tabel 1 terlihat bahwa pada hutan biak/mengintroduksi ke dalam ekosistem lain
alam tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon yang menyebabkan kerugian ekonomi atau
memiliki indeks nilai penting tertinggi pada kerusakan lingkungan atau membahayakan
spesies Shorea leprosula, Syzigium garcinifolia, kesehatan manusia. Daerah terbuka akibat
Dacryodes costanta Lam, Polyalthia sp,, pembukaan lahan dan kebakaran hutan
Callophylum pulcherimum, dan Palaquium menjadi rentan dan diambil alih oleh spesies
hexandrum. Pada hutan terdegradasi tingkat invasif (Sunaryo & Girmansyah 2015).
semai, pancang, tiang, dan pohon memiliki Pengaruh spesies invasif ini sangat besar
indeks nilai penting tertinggi pada spesies terhadap ekosistem. spesies invasif dapat
Acacia Mangium, Garcinia parvifolia Miq, merusak spesies asli dan ekosistemnya,
Parashorea aptera, Macaranga sp1, dan sehingga dapat memicu degradasi dan
Macaranga spp. hilangnya suatu habitat.
Dinamika populasi dan dominansi pohon Taman nasional di indonesia merupakan
dipengaruhi oleh kematian, pertumbuhan dan kawan konservasi ekosistem in situ untuk jenis
rekrutmen. Ada banyak jenis pohon yang tidak biota baik flora dan fauna asli dan lokal
mampu tumbuh dan berkembang di bawah setempat. Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo
naungan pohon induk. Manan (1980) dalam yang diperuntukkan untuk konservasi gajah
(Purwaningsih, 2005) mengatakan proses sumatera. Gajah sumatera membutuhkan
regenerasi dan pertumbuhan anakan beberapa habitat yang mampu menyokong kebutuhan
jenis pohon adakalanya harus dimulai dari pakan, perlindungan dan pergerakannya.
terbentuknya celah/ bukaan kanopi. Pada Keberadaan spesies invasif yang tidak
hutan alam Jenis Callophylum pulcherimum terkendali dapat mengakibatkan rusaknya
hanya ditemukan pada tingkat pohon dan tiang, habitat dan mendesak perkembangan dan
hal ini dapat terjadi karena anakan jenis ini pertumbuhan jenis tumbuhan asli yang
tidak mampu tumbuh dan berkembang merupakan sumber pakan gajah sumatera.
dibawah naungan pohon. Sementara itu jenis Dengan berubahnya komposisi ekosistem dan
Shorea leprosuladapat ditemukan pada tingkat rusaknya habitat oleh pembukaan lahan dan
pohon, tiang, pancang, dan semai. Keberadaan kehadiran spesies invasif tentunya dapat
Shorea leprosula pada tiap tingkatan ini membahayakan kelangsungan keberadaan
menunjukkan bahwa jenis ini mampu gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo.
berkembang baik dibawah naungan pohon.
Pada hutan terdegradasi terlihat bahwa
spesies Acacia Mangium mendominasi pada 4. KESIMPULAN
tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Spesies Acacia Mangium merupakan spesies perambahan hutan mengakibatkan terjadinya
invasif. Spesies ini bukan asli dari hutan hujan perubahan pada struktur vegetasi.
dataran rendah tesso nilo. Acacia mangium  Pada hutan alam teridentifikasi memiliki
merupakan tanaman legum dikelompokkan jumlah jenis sebanyak 18 jenis untuk tingkat
pada famili leguminoseae, dikenal dengan semai, 16 jenis untuk tingkat pancang, 15
nama akasia, mangium, black wattle, brown jenis untuk tingkat tiang dan 34 jenis untuk
salwood. Pohon ini tersebar di daerah tingkat pohon. Pada hutan terdegradasi
indonesia bagian timur, Papua New Guinea dan memiliki jumlah jenis sebanyak 2 jenis
Queensland bagian utara. Pohon ini merupakan untuk tingkat semai, 4 jenis untuk tingkat
tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pancang, 5 jenis untuk tingkat tiang dan 5
pada tanah tropis lembab, dataran rendah, jenis untuk tingkat pohon.
25
© 2016, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 14 (1): 19-26, 2016 ISSN : 1829-8907

 Indeks keanekaragaman Sahnnon-Wiener Krisnawati, H., Kallio, M., & Kanninen, M. (2011). Acacia
Mangium Willd: Ecology silviculture and productivity.
pada hutan alam sebesar 2.18 untuk tingkat CIFOR. Bogor.
semai, 2.05 untuk tingkat pancang, 2.34 Leksono, A. (2007). Ekologi pendekatan deskriptif dan
jenis untuk tingkat tiang dan 3.05 untuk kuantitatif. Bayumedia Publishing. Malang.
tingkat pohon. Pada hutan terdegradasi Orwa, C, A Mutua, R Kindt, R Jamnadass, and S Anthony.
2009. “Acacia Mangium.”
sebesar 0.05 untuk tingkat semai, 0.1 untuk http://www.worldagroforestry.org/treedb/AFTPDF
tingkat pancang, 1.31 jenis untuk tingkat S/Acacia_mangium.PDF. Diakses tanggal 30
tiang, dan 1.16 untuk tingkat pohon. November 2015.
 Indeks nilai penting pada hutan alam tingkat PHKA, D. (2007). Pedoman Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan
Kayu Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat
semai, pancang, tiang, dan pohon memiliki Didalam dan Sekitar Kawasan Konservasi. (D. J. PHKA,
indeks nilai penting tertinggi pada spesies Ed.)Buku pedoman. Direktorat Jenderal PHKA.
Shorea leprosula, Syzigium garcinifolia, Jakarta.
Dacryodes costanta Lam, Polyalthia sp,, Purba, C. P. ., Nanggara, S. ., Ratriyono, M., Apriani, I.,
Rosalina, L., Sari, N. ., & Meridian, A. . (2014). Potret
Callophylum pulcherimum, dan Palaquium keadaan hutan indonesia 2009 - 2013. Forest Watch
hexandrum. Pada hutan terdegradasi tingkat Indonesia. Bogor.
semai, pancang, tiang, dan pohon memiliki Purbowaseso, B. (2004). Pengendalian Kebakaran Hutan.
indeks nilai penting tertinggi pada spesies PT Rineka Cipta. Jakarta.
Purwaningsih, P. (2005). Species composition and
Acacia Mangium, Garcinia parvifolia Miq, vegetation structure in Pakuli area, Lore Lindu
Parashorea aptera, Macaranga sp1, dan National Park, Central Sulawesi. Biodiversitas, Journal
Macaranga spp. of Biological Diversity, 6(2), 123–128.
Purwaningsih, S., Hardiningsih, R., Wardah, W., & Sujadi, A.
(2004). Populasi Bakteri dari Tanah di Desa Tudu-
Aog , Kecamatan Population of bacteria from soil in
DAFTAR PUSTAKA Tudu-Aog village , Passi district , Bolaang
Bismark, M. (2011). Prosedur Operasional Standar (SOP) Mongondow, Sulawesi Utara. BIODIVERSITAS, 5, 13–
untuk survei keragaman jenis pada kawasan 16.
konservasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sunaryo, & Girmansyah, D. (2015). Identifikasi tumbuhan
Kehutanan. Kementerian Kehutanan dan asing invasif di Taman Nasional Tanjung Puting ,
International Tropical Timber Organization. Bogor. Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional
Daryono, H. 2009. “Potensi, Permasalahan Dan Kebijakan Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 1, 1034–1039.
Yang Diperlukan Dalam Pengelolaan Hutan Dan Tjitrosoepomo, G. (2007). Taksonomi tumbuhan
Lahan Rawa Gambut Secara Lestari.” Analisis spermatophyta. Gajah Mada University Press.
Kebijakan Kehutanan 6 (1981): 71–101. Yogyakarta.
Fachrul, M. (2012). Metode sampling bioekologi. Bumi TNTN. 2009. Zonasi Taman Nasional Tesso Nilo. Balai
Aksara. Jakarta. Taman Nasional Tesso Nilo. Pelalawan - Riau.
Gillison, A. (2001). Vegetation Survey and Habitat Van Steenis, C. G. G. ., Bloembergen, S., & Eyma, P. . (1975).
Assessment of the Tesso Nilo Forest Complex. Report Flora untuk sekolah di Indonesia. PT. Pradnya
Prepared for WWF-US. Jakarta paramita. Jakarta.
Indriyanto. (2006). Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara. Jakarta. Yulianto, K. (2014). Panduan lapangan pengenalan 101 jenis
pohon hutan hujan dataran rendah. WWF Riau.
Pekanbaru.

26
© 2016, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP
SCRIPTA BIOLOGICA | VOLUME 4 | NOMER 3 | SEPTEMBER 2017 | 155 160 | HTTPS://DOI.ORG/10.20884/1.SB.2017.4.3.407

STRUKTUR DAN VEGETASI TUMBUHAN BAWAH PADA TEGAKAN


PINUS DI RPH KALIRAJUT DAN RPH BATURRADEN BANYUMAS
NADIA DESTARANTI, SULISTYANI, EDY YANI
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Jalan dr. Suparno 63 Purwokerto 53122

ABSTRACT
A study on the undergrowth vegetation within the pine woods (Pinus merkusii) stands conducted in RPH Kalirajut and RPH Baturraden.
This study aimed to find out the composition of the shrubs of the pine woods stands on those two sites with different altitude and to
figure out the similarity of the herbs of the pine woods stands on those two locations with the different height. This study applied quadrat
sampling technique, using 30 units of 2 x 2 m quadrats divided into ten sub transects along the main transect. We measured
environmental factors including elevation, temperature, light intensity, and pH of the soil. We found undergrowth vegetation in RPH
Kalirajut comprised of 32 species belonging to 20 families, dominated by Ottochloa nodosa, Oplismenus compositus, and Cynodon dactylon.
On the other site, we found undergrowth vegetation in RPH Baturraden composed of 19 species belonging to 20 families and dominated
by Wedelia trilobata, Paspalum conjugatum, and Clidemia hirta. The similarity of the herbs vegetation measured of those two sites was
30.85% or 69.15% different.
KEY WORDS: pinewoods, undergrowth, elevation

Penulis korespondensi: NADIA DESTARANTI | email: nadiadestar@gmail.com

dan aliran permukaan sehingga meminimalkan


PENDAHULUAN
bahaya erosi. Selain itu, vegetasi tumbuhan bawah
Hutan merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari berperan penting dalam ekosistem hutan dan
berbagai jenis tumbuh tumbuhan dan hewan. menentukan iklim mikro (Hilwan et al., 2013).
Masyarakat tumbuh tumbuhan dalam suatu Struktur dan komposisi vegetasi tumbuhan
ekosistem hutan memiliki hubungan erat satu sama dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang
lain dengan lingkungannya. Menurut Soerianegara & saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh
Indrawan (2005), hutan juga memiliki peran sebagai secara alami merupakan hasil interaksi berbagai
tempat tinggal dan makanan bagi berbagai jenis fauna faktor lingkungan. Struktur vegetasi adalah suatu
yang hidup di dalamnya. Populasi tumbuhan dan organisasi individu individu di dalam ruang yang
hewan di dalam hutan membentuk masyarakat yang membentuk suatu tegakan (Mueller & Ellenberg,
saling berkaitan erat satu sama lain dengan 1974). Sedangkan komposisi hutan merupakan jenis
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, hutan jenis penyusun yang menempati vegetasi di suatu
dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau tempat (Wirakusuma, 1980).
merupakan ekosistem yang sangat berguna bagi Perbedaan struktur dan komposisi pada setiap
kehidupan manusia. strata tumbuhan bawah berkaitan erat dengan kondisi
Backer (1973) menyatakan bahwa di dalam hutan habitat. Faktor lingkungan yang akan mempengaruhi
terdapat berbagai keanekaragaman hayati, baik satwa keberadaan pertumbuhan adalah ketinggian tempat di
liar maupun tumbuhan. Dari keanekaragaman sumber atas permukaan laut. Ketinggian tempat akan
daya hayati di hutan tersebut tidak hanya terbatas mempengaruhi kekayaan jenis, struktur dan
pada jenis tumbuhan berkayu, namun juga ditumbuhi komposisi vegetasi tumbuhan bawah, keadaan tanah,
oleh beranekaragam tumbuhan bawah (ground cover/ suhu, intensitas cahaya dan air. Ketinggian tempat
undergrowth) yang memiliki keanekaragaman jenis secara tidak langsung akan berperan dalam proses
yang tinggi. Tumbuhan bawah merupakan suatu jenis fotosintesis serta akan menjadi faktor pembatas yang
vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan akan menghambat pertumbuhan tumbuhan bawah
kecuali anakan pohon. Tumbuhan bawah meliputi (Wijayanti, 2011).
rumput rumputan, herba, semak belukar dan paku Menurut Juanda & Cahyono (2005), suatu wilayah
pakuan (Yuniawati, 2013). berdasarkan perbedaan ketinggian tempat dapat
Tumbuhan bawah dalam susunan stratifikasi dibedakan menjadi 3, yaitu: daerah dataran rendah
menempati lapisan D yang memiliki tinggi < 4,5 m dan yang memiliki ktinggian tempat 0 200 m dpl, daerah
diameter batangnya sekitar 2 cm (Windusari et al., dataran sedang yang memiliki ketinggian tempat 200
2012). Jenis tumbuhan bawah bersifat annual, 700 m dpl, dan daerah dataran tinggi yang memiliki
biennial, perennial serta pola penyebarannya dapat ketinggian tempat di atas 700 m dpl.
terjadi secara acak, berumpun/berkelompok dan Lokasi penelitian dilakukan pada tegakan pinus di
merata. Nirwani (2010) melaporkan bahwa tumbuhan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Kalirajut yang
bawah yang ditemukan umumnya dari anggota suku mewakili wilayah dataran rendah dan RPH
Poaceae, Cyperaceae, Araceae, Asteraceae, dan paku Baturraden yang mewakili wilayah dataran tinggi.
pakuan. Keberadaan tumbuhan bawah di lantai hutan Kedua RPH tersebut termasuk ke dalam wilayah
dapat berfungsi sebagai penahan pukulan air hujan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur.

| http://scri.bio.unsoed.ac.id 155
NADIA DESTARANTI, SULISTYANI, EDY YANI

Perbedaan ketinggian tersebut akan mempengaruhi didapatkan bahwa intensitas cahaya pada RPH
faktor lingkungan yang lainnya, seperti suhu, Kalirajut lebih tinggi yang memungkinkan jenis jenis
kelembaban, intensitas cahaya, dan pH tanah yang tersebut dapat hidup dengan baik dan tersebar luas.
akan menyebabkan berbeda pula kehadiran vegetasi Tingginya nilai INP mengartikan bahwa suatu jenis
tumbuhan bawahnya. tersebut merupakan dominan dan mempunyai daya
Berdasarkan uraian diatas tujuan dari penelitian adaptasi yang lebih baik dari jenis lainnya. Menurut
ini adalah mengetahui struktur dan komposisi Lubis (2009), suatu jenis vegetasi dapat berpengaruh
tumbuhan bawah tegakan Pinus pada ketinggian yang terhadap kestabilan ekosistem karena bersifat
berbeda di KPH Banyumas Timur dan mengetahui dominan dari jenis lainnya. Indeks Nilai Penting (INP)
kesamaan jenis tumbuhan bawah tegakan Pinus pada menunjukkan peranan jenis tersebut dalam suatu
ketinggian yang berbeda di RPH Kalirajut dan RPH kawasan. Jenis yang mempunyai INP paling besar
Baturraden, KPH Banyumas Timur. berarti mempunyai peranan yang paling penting di
dalam kawasan tersebut. Jenis ini mempunyai
METODE
pengaruh paling dominan terhadap perubahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbagai kondisi lingkungan maupun keberadaan jenis lainnya
jenis tumbuhan bawah pada tegakan Pinus di RPH Kalirajut dalam kawasan tersebut (Abdiyani, 2008).
dan RPH Baturraden. Alat yang digunakan adalah patok, tali Indeks keanekaragaman vegetasi tumbuhan
rafia, meteran, kantong plastik, label, gunting, buku bawah di wilayah dataran rendah (RPH Kalirajut)
lapangan, alat tulis, soiltester, luxmeter, Global Positioning
memiliki nilai sebesar 1,269. Nilai ini menunjukkan
System (GPS), thermohigrometer, dan kamera
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa jumlah jenis diantara jumlah total individu
metode survei dengan menggunakan petak kuadrat secara seluruh jenis yang ada termasuk dalam kategori
sistematis. Petak kuadrat yang digunakan berukuran 2 x 2 m sedang. Kategori tersebut mengartikan bahwa
sebanyak 30 petak pada masing masing lokasi penelitian. komunitas sedang menuju pada kondisi yang stabil.
Dilakukan pengambilan sampel vegetasi tumbuhan bawah Miardini et al., trsr á •‡•›ƒ–ƒ•ƒ• „ƒŠ™ƒ •‹Žƒ‹ ï s ¶
kemudian dicatat, dihitung dan didokumentasikan, setelah ï ¶ u •‡•—•Œukkan bahwa keanekaragaman jenis
itu dlakukan pengukuran faktor lingkungan, identifikasi pada suatu kawasan adalah sedang, penyebaran
jenis tumbuhan bawah dengan menggunakan buku jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan
Sastrapradja (1979, 1980, 1981, 1985), Heyne (1987), dan
komunitas sedang. Tinggi rendahnya nilai indeks
Steenis (1972, 1981), kemudian dilakukan analisis data
menggunakan Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Kesamaan keanekaragaman suatu jenis dipengaruhi oleh
‘•—•‹–ƒ• á •†‡•• ‡ƒ•‡•ƒ”ƒ‰ƒ•ƒ• ï †ƒ• •†‡•• banyaknya jenis dan jumlah individu yang ditemukan.
Kemerataan Jenis (e). Menurut Samingan (1976) makin banyak jenis yang
ditemukan maka akan semakin tinggi nilai indeks
HASIL DAN PEMBAHASAN keanekaragamannya. Semakin tinggi nilai
Komposisi vegetasi tumbuhan bawah pada tegakan keanekaragaman suatu kawasan menunjukkan
pinus di RPH Kalirajut sebanyak 32 jenis dari 17 famili semakin stabil komunitas di kawasan tersebut.
yang dari perdu (9 jenis), herba (13 jenis), rumput (7 Indeks kemerataan di RPH Kalirajut tergolong
jenis), dan paku (3 jenis). Famili tumbuhan yang tinggi yaitu sebesar 0,79. Menurut Magurran (1988)
banyak ditemukan dari lokasi yang diamati adalah apabila indeks kemerataan lebih besar dari 0,6 maka
tumbuhan dari famili Poaceae (Tabel 1). Famili sebaran individu antar jenis dapat dikatakan merata
Poaceae memiliki jumlah jenis tertinggi pada lokasi dan apabila indeks kemerataan kurang dari 0,6 maka
penelitian karena semua anggota famili ini merupakan sebaran individu antar jenis tidak merata atau terjadi
tumbuhan yang mudah hidup pada berbagai habitat. dominansi suatu jenis. Komposisi vegetasi tumbuhan
Menurut Rukmana dan Saputra (1999) famili Poaceae bawah di RPH Baturraden diperoleh sebanyak 19
memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi, distribusi jenis tumbuhan bawah yang termasuk ke dalam 11
yang luas, dan mampu tumbuh pada lahan kering famili yang terdiri dari perdu (6 jenis), herba (3 jenis),
maupun tergenang. rumput (7 jenis), dan paku (3 jenis). Seperti pada
Jenis tumbuhan bawah yang memiliki indeks nilai lokasi RPH Kalirajut, famili tumbuhan bawah yang
penting tertinggi di RPH Kalirajut adalah Ottochloa banyak ditemukan pada lokasi RPH Baturraden yaitu
nodosa (31,58%), Oplismenus compositus (12,29%), famili dari Poaceae (Tabel 2).
dan Eleusine indica (9,97%) (Tabel 1). Ketiga jenis Wedelia trilobata merupakan tumbuhan terna
tumbuhan bawah ini termasuk ke dalam famili musiman (herba) dengan panjang batang mencapai
Poaceae. Ewusie (1990) menyatakan bahwa terdapat satu meter. W. trilobata memiliki daya adaptasi yang
berbagai macam karakteristik lingkungan tempat luas namun tumbuh dan berkembang dengan baik di
tumbuh tumbuhan dari famili Poaceae, baik bawah sinar matahari yang cukup serta dengan
lingkungan yang lembab maupun lingkungan yang kondisi tanah yang cukup lembab (Syah et al., 2014).
kering. Karakter paling spesifik dari jenis tumbuhan Paspalum conjugatum merupakan salah satu
famili Poaceae adalah kebutuhannya akan sinar tumbuhan yang berasal dari Amerika. Jenis ini
matahari langsung dengan intensitas yang tinggi berkembang biak melalui biji dan juga akar rimpang,
untuk dapat tumbuh dan berkembang biak dengan namun penyebaran melalui biji lebih berpotensi
baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang karena P. conjugatum memiliki biji yang cukup

156
SCRIPTA BIOLOGICA | VOLUME 4 | NOMER 3 | SEPTEMBER 2017 | 155 160 | HTTPS://DOI.ORG/10.20884/1.SB.2017.4.3.407

banyak. P. conjugatum dapat berkembang biak dengan daerah asalnya dibanding habitat aslinya. C. hirta
baik di kondisi yang memiliki intensitas cahaya merupakan jenis tumbuhan bawah yang memiliki
matahari dan kelembaban udara yang cukup yang daya adaptasi tinggi karena mampu tumbuh secara
memungkinkan jenis ini untuk berkecambah (Binibis, optimal pada ketinggian rendah hingga mencapai
2014). Clidemia hirta berbunga sepanjang tahun, 1000 m dpl dengan kondisi lingkungan yang terbuka
tumbuhan ini berasal dari Amerika Selatan, sifatnya dan lembab serta tanah yang memiliki kandungan
menyebar dengan cepat dan lebih melimpah di luar humus yang tinggi (Ismaini, 2015).
Tabel 1. Jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di RPH Kalirajut
No. Nama Jenis Famili K KR (%) F FR (%) INP (%)
1. Ottochloa nodosa Poaceae 9,24 26,24 0,83 5,34 31,58
2. Oplismenus compositus Poaceae 2,90 8,23 0,63 4,05 12,29
3. Eleusine indica Poaceae 2,15 6,12 0,60 3,84 9,97
4. Clidemia hirta Melastomataceae 1,27 3,62 0,86 5,55 9,17
5. Pteris ensiformis Pteridaceae 1,51 4,30 0,70 4,48 8,79
6. Acalypta indica Euphorbiaceae 1,68 4,78 0,60 3,84 8,62
7. Abrus precatorus Fabaceae 1,25 3,57 0,56 3,63 7,20
8. Panicum repans Poaceae 1,18 3,36 0,56 3,63 6,99
9. Cyrtococcum acrescens Poaceae 1,18 3,36 0,53 3,41 6,77
10. Centrosema pubescens Fabaceae 0,83 2,36 0,66 4,27 6,63
11. Angiopteris avecta Marattiaceae 0,92 2,62 0,60 3,84 6,47
12. Paspalum conjugatum Poaceae 1,20 3,40 0,43 2,77 6,18
13. Pteris vittata Pteridaceae 0,90 2,55 0,50 3,20 5,76
14. Fimbristylis miliacea Cyperaceae 0,65 1,84 0,60 3,84 5,69
15. Melastoma polyanthum Melastomataceae 0,53 1,51 0,60 3,84 5,36
16. Eragrotis amabilis Poaceae 0,68 1,94 0,50 3,20 5,14
17. Molineria capitulata Hypoxidaceae 0,72 2,05 0,46 2,99 5,05
18. Colocasia esculenta Araceae 0,65 1,86 0,46 2,99 4,86
19. Kyllinga monocephala Cyperaceae 0,61 1,75 0,43 2,77 4,52
20. Mikania micrantha Asteraceae 0,50 1,44 0,43 2,77 4,22
21. Oxalis barrelieri Oxalidaceae 0,50 1,44 0,43 2,77 4,22
22. Selaginella wildenowii Selaginellaceae 1,25 3,57 0,43 2,77 4,19
23. Diplazium proliferum Athyriaceae 0,33 0,94 0,50 3,20 4,15
24. Cheilocostus speciosus Costaceae 0,55 1,56 0,40 2,56 4,12
25. Ageratum conyzoides Asteracea 0,52 1,49 0,36 2,35 3,84
27. Elephantopus scaber Asteraceae 0,39 1,11 0,33 2,13 3,24
26. Ficus septica Moraceae 0,18 0,52 0,40 2,56 3,08
28. Pisonia excels Nyctaginaceae 0,14 0,40 0,33 2,13 2,53
29. Gynura procumbens Asteraceae 0,24 0,68 0,26 1,70, 2,39
30. Urena trifolia Poaceae 0,28 0,80 0,23 1,49 2,30
31. Cyrtococcum trigonum Poaceae 0,10 0,30 0,16 1,06 1,37
32. Ananas comosus Bromeliaceae 0,06 0,18 0,13 0,85 1,04
Jumlah 35,21 100 15,60 100 200
Tabel 2. Tumbuhan bawah yang ditemukan di RPH Baturraden
No. Nama Jenis Famili K KR (%) F FR (%) INP (%)
1. Wedelia trilobata Asteraceae 23,35 54,48 1,00 15,62 70,10
2. Paspalum conjugatum Poaceae 7,75 18,08 0,86 13,54 31,61
3. Clidemia hirta Melastomataceae 1,12 2,62 0,60 9,37 11,99
4. Panicum repans Poaceae 1,01 2,37 0,43 6,77 9,14
5. Molineria capitulata Hypoxidaceae 0,80 1,88 0,43 6,77 8,65
6. Eragrotis amabilis Poaceae 0,51 1,20 0,46 7,29 8,49
7. Dryopteris filix mas Dryopteridaceae 0,57 1,34 0,43 6,77 8,11
8. Axonopus compressus Poaceae 2,31 5,40 0,13 2,08 7,48
9. Eleusine indica Poaceae 1,60 3,73 0,23 3,64 7,37
10. Ottochloa nodosa Poaceae 1,15 2,68 0,30 4,68 7,36
11. Nephrolepis hirsutula Dryopteridaceae 0,88 2,06 0,30 4,68 6,74
12. Melastoma polyanthum Melastomataceae 0,39 0,91 0,30 4,68 5,60
13. Abrus precatorus Fabaceae 0,17 0,40 0,23 3,64 4,05
14. Astilbe rivularis Saxifragaceae 0,25 0,60 0,20 3,12 3,72
15. Selaginella wildenowii Selaginellaceae 0,25 0,58 0,16 2,60 3,18
16. Digitaria ciliaris Poaceae 0,37 0,87 0,06 1,04 1,91
17. Hedyotis vestita Rubiaceae 1,10 0,25 0,10 1,56 1,81
18. Rubus rosaefolius Rosaceae 0,15 0,35 0,06 1,04 1,39
19. Eupatorium riparium Arecaceae 0,06 0,15 0,06 1,04 1,19
Jumlah 42,87 100 6,40 100 200

| http://scri.bio.unsoed.ac.id 157
NADIA DESTARANTI, SULISTYANI, EDY YANI

Palijama et al. (2012) menyatakan bahwa, kondisi yang dibandingkan. Semakin banyak jenis tumbuhan
pH tanah, kelembaban tanah serta intensitas cahaya yang sama antar dua komunitas yang dibandingkan
sangat mendukung C. hirta untuk dapat tumbuh maka indeks kesamaan komunitasnya akan semakin
dengan cepat. Tanasale (2010) melanjutkan bahwa, C. besar.
hirta memiliki daun yang lebar sehingga lebih banyak Perbedaan komunitas terjadi disebabkan oleh
menyerap unsur N dan lebih banyak menggunakan air adanya perbedaan faktor lingkungan yang berbeda
yang menyebabkan pertumbuhannya lebih cepat. Hal pada kedua lokasi. Hasil pengukuran faktor
ini menyebabkan C. hirta ditemukan di kedua lokasi lingkungan di RPH Kalirajut dan RPH Baturraden
dengan nilai INP yang cukup tinggi yaitu 9,17% pada menunjukkan hasil yang relatif berbeda.
RPH Kalirajut dan 11,99% pada RPH Baturraden yang Tabel 3. Faktor lingkungan pada lokasi penelitian
berarti kedua lokasi penelitian tersebut merupakan
tempat tumbuh yang cocok bagi jenis C. hirta sehingga Faktor RPH RPH
dapat tumbuh dengan cepat. Lingkungan Kalirajut Baturraden
Indeks Nilai Penting (INP) menunjukkan peranan Suhu udara 28 °C 31 °C 23 °C 26 °C
Intensitas cahaya 15.430 16.540 lux 14.250 16.100 lux
jenis tersebut dalam suatu kawasan. Jenis yang
Kelembaban udara 38 % 41 % 60 % 64 %
mempunyai INP paling besar berarti mempunyai pH tanah 4,5 5,0 5,5 6,0
peranan yang paling penting di dalam kawasan
tersebut. Jenis ini mempunyai pengaruh paling Suhu lingkungan di RPH Kalirajut sebesar 28«31°C,
dominan terhadap perubahan kondisi lingkungan sedangkan di RPH Baturraden berkisar antara 23
maupun keberadaan jenis lainnya dalam kawasan 26°C (Tabel 3). Menurut Goltenboth et al. (2006),
tersebut (Abdiyani, 2008). Menurut Sofyan (1991), perbedaan ketinggian tempat menyebabkan
jenis yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi terjadinya perbedaan suhu lingkungan. Suhu
diantara jenis yang lain disebut jenis yang dominan. lingkungan merupakan salah satu faktor penting
Hal ini mencerminkan tingginya kemampuan jenis karena mempunyai pengaruh terhadap proses
tersebut dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan metabolisme dan susunan vegetasi tumbuhan bawah.
yang ada dan dapat bersaing terhadap jenis lainnya. Tumbuhan memerlukan suhu 15 25°C untuk tumbuh
Indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada optimal, apabila suhu terlalu tinggi atau rendah akan
RPH Baturraden yaitu sebesar 0,73. Berdasarkan menyebabkan tumbuhan tersebut mati (Arief, 1994).
klasifikasi Barbour (1987) dalam Prasetyo (2007), Salah satu faktor penentu temperatur adalah
indeks keanekaragaman di RPH Baturraden masih intensitas cahaya. Rata rata intensitas cahaya pada
tergolong rendah. Keadaan tersebut terjadi tegakan Pinus di RPH Kalirajut yaitu berkisar antara
disebabkan adanya variasi faktor lingkungan yang 15.430 16.540 lux sedangkan pada tegakan Pinus di
berbeda. Menurut Kartasapoetra (1992), faktor RPH Baturraden yaitu berkisar antara 14.250 16.100
faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap lux (Tabel 3). Intensitas cahaya merupakan sumber
vegetasi diantaranya adalah ketinggian tempat, energi dalam proses fotosintesis untuk memproduksi
kelembaban udara, suhu udara serta intensitas cahaya tepung/karbohidrat dan oksigen. Intensitas cahaya
matahari. Faktor faktor lingkungan tersebut yang rendah akan mempengaruhi proses fotosintesis
berpengaruh terhadap penyebaran jenis jenis yang akan menyebabkan produktivitasnya menjadi
tumbuhan dan pertumbuhannya. rendah (Nahdi & Darsikin, 2014). Hal ini sesuai
Indeks kemerataan pada RPH Baturraden berbeda dengan hasil yang didapatkan bahwa intensitas
dengan nilai indeks kemerataan yang ada pada RPH cahaya pada RPH Baturraden lebih rendah
Kalirajut, yaitu sebesar 0,57. Nilai ini dikatakan dalam dibandingkan RPH Kalirajut yang memiliki
golongan yang sedang. Menurut Mawazin & Subiakto keanekaragaman jenis tumbuhan bawah lebih sedikit.
(2013), semakin tinggi nilai e, maka semakin stabil Hasil pengukuran kelembaban udara di RPH
keanekaragaman jenisnya . Kalirajut berkisar antara 38 41%, sedangkan di RPH
Indeks kesamaan (IS) diperlukan untuk Baturraden adalah 60 64% (Tabel 3). Balai Taman
mengetahui tingkat kesamaan pada tegakan yang Nasional Baluran (2000) menyatakan bahwa,
dibandingkan. Oleh karena itu, besar kecilnya nilai kelembaban yang terlalu tinggi akan menghambat
indeks kesamaan tersebut memperlihatkan tingkat proses transpirasi pada tumbuhan yang berakibat
kesamaan dari tegakan yang dibandingkan. Krebs terhambatnya penyerapan air dan garam mineral dari
(1985), menyatakan semakin besar nilai IS maka jenis dalam tanah oleh tumbuhan. Hal ini sesuai dengan
yang sama pada tegakan yang dibandingkan semakin hasil yang didapatkan bahwa tumbuhan bawah yang
banyak. Indeks kesamaan jenis Sorensen pada ditemukan pada RPH Baturraden lebih sedikit yaitu
tegakan pinus di RPH Kalirajut dan RPH Baturraden sebanyak 19 jenis, sedangkan pada RPH Kalirajut
adalah sebesar 30,85%. Nilai ini menunjukkan bahwa yaitu sebanyak 32 jenis tumbuhan bawah.
komposisi jenis di dataran rendah yaitu RPH Kalirajut Pengukuran pH tanah pada kedua lokasi
dan dataran tinggi yaitu RPH Baturraden relatif menunjukkan hasil yaitu 4,5 5,0 pada RPH Kalirajut
berbeda. Besar kecilnya nilai indeks kesamaan dan 5,5 6,0 pada RPH Baturraden (Tabel 3). Menurut
komunitas tumbuhan dipengaruhi oleh jumlah Sandoval & Rodriguez (2008), jenis Wedelia trilobata
individu dari jenis yang sama antar dua komunitas menyukai lingkungan dengan pH tanah berkisar

158
SCRIPTA BIOLOGICA | VOLUME 4 | NOMER 3 | SEPTEMBER 2017 | 155 160 | HTTPS://DOI.ORG/10.20884/1.SB.2017.4.3.407

5,5«6,5 atau sedikit asam cenderung netral. Hal ini Ismaini L. 2015. Pengaruh alelopati tumbuhan invasif (Clidemia
hirta) terhadap germinasi biji tumbuhan asli (Impatiens
sesuai dengan hasil yang didapatkan bahwa jenis W.
platypetala). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1(4):834 837.
trilobata ditemukan banyak RPH Baturraden yang Juanda DJS, Cahyono B. 2005. Teknik budidaya dan analisis usaha
memiliki pH tanah sesuai bagi pertumbuhan dan tani. Yogyakarta: Kanisius.
perkembangbiakannya. Menurut Hakim et al. (1986), Kartasapoetra G. 1992. Budidaya tanaman berkhasiat obat : kunyit
(kunir). Jakarta: PT. Rineka Cipta.
semakin tingginya pH tanah maka keragaman
Krebs CJ. 1985. Ecology: The experimental analysis of distribution
jenisnya akan semakin rendah yang disebabkan and abundance. New York: Harper & Row, INC.
karena semakin tingginya pH ketersediaan asam Lubis SR. 2009. Keanekaragaman dan pola distribusi tumbuhan
asam tertentu akan semakin berkurang. Hal ini juga paku di Hutan Wisata Alam Taman Eden Kabupaten Toba
Samosir Provinsi Sumatera Utara. Medan: Pascasarjana
sesuai dengan hasil yang didapatkan bahwa pH pada
Universitas Sumatera Utara.
RPH Kalirajut memiliki pH yang lebih rendah dan Magurran AE. 1988. Ecological diversity and its measurement. USA:
memiliki keragaman jenis yang lebih tinggi Chapman and Hall.
dibandingkan dengan RPH di Baturraden. Mawazin, Subiakto A. 2013. Keanekaragamandan komposisi jenis
permudaan alam hutan rawa gambut bekas tebangan di Riau.
KESIMPULAN DAN SARAN Forest Rehabilitation. 1(1):59 73.
Miardini A, Boediyono A, Atmoko BD, Harjadi B, Gunawan. 2010.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: jumlah Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim.
jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di RPH Solo: Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan.
Mueller D, Ellenberg H. 1974. Aims and methods of vegetation
Kalirajut yaitu 32 jenis yang terdiri dari 17 famili, ecology. New York: Wiley International Edition.
sedangkan di RPH Baturraden yaitu 19 jenis yang Nahdi MS, Darsikin. 2014. Distribusi dan kemelimpahan jenis
terdiri dari 11 famili; dan jenis tumbuhan yang tumbuhan bawah pada naungan Pinus mercusii, Acasia
memiliki nilai penting tertinggi di RPH Kalirajut yaitu auriculiformis dan Eucalyptus alba di Hutan Gama Giri Mandiri
Yogyakarta. Jurnal Natur Indonesia.16(1):33 41.
Ottochloa nodosa, Oplismenus compositus, dan Eleusine Nirwani Z. 2010. Keanekaragaman tumbuhan bawah yang
indica, sedangkan jenis tumbuhan yang memiliki berpotensi sebagai tanaman obat di Hutan Taman Nasional
indeks nilai penting tertinggi di RPH Baturraden yaitu Gunung Leuser Sub Seksi Bukit Lawang [skripsi]. Fakultas
Wedelia trilobata, Paspalum conjugatum, dan Clidemia Kehutanan Universitas Negeri Sumatera Utara.
Palijama W, Riry J, Wattimena AY. 2012. Komunitas gulma pada
hirta; serta kesamaan jenis tumbuhan bawah pada pertanaman pala (Myristica fragrans H) belum menghasilkan
tegakan Pinus antara RPH Kalirajut dengan RPH dan menghasilkan di Desa Hutumuri Kota Ambon. Agrologia. 1
Baturraden tergolong berbeda. (2):91 169.
Perlu dilakukan penelitian secara periodik, agar Prasetyo B. 2007. Keanekaragaman tanaman buah di pekarangan
Desa Jabon Mekar Kecamatan Parung Bogor [skripsi] Jurusan
dapat memberikan gambaran dinamika komposisi Biologi. FMIPA. Tangerang: Universitas Terbuka.
tumbuhan bawah di RPH Kalirajut dan RPH Rukmana HR, Saputra US. 1999. Gulma dan teknik pengendalian.
Baturraden. Selain itu komposisi yang tercatat Jakarta: Kanisius.
diharapkan menjadi informasi agar tumbuhan bawah Samingan T. 1976. Pemantaran metode pendugaan hasil potensi
hutan dalam rangka kelestarian pemungutan hasil hutan.
yang memiliki manfaat dan nilai ekonomi tinggi dapat Buletin PERSAKI. 8 (I) :3 9.
terjaga dengan baik. Sandoval JR, Rodríguez PA. 2008. Department of Botany. USA:
Smithsonian NMNH.
DAFTAR REFERENSI Sastrapradja S, Afriastini JJ. 1979. Jenis Paku Indonesia. Bogor:
Abdiyani S. 2008. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah Lembaga Biologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan
berkhasiat obat di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Penelitian Indonesia.
Hutan dan Konservasi Alam. 1 (5):79 92. Sastrapradja S, Afriastini JJ. 1980. Jenis rumput dataran rendah.
Arief A. 1994. Hutan alam dan pengaruh terhadap lingkungannya. Bogor: Lembaga Biologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Jakarta: Yayasan Obor. Indonesia.
Backer CA. 1973. Weed Flora of Javanese sugar cane fields. Sastrapradja S, Afriastini JJ. 1981. Rumput pegunungan. Bogor:
Deventer:Ysel Press. Lembaga Biologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Balai Taman Nasional Baluran. 2000. Laporan pelaksanaan kegiatan Indonesia.
sarasehan peningkatan peran serta masyarakat terhadap Sastrapradja S, Afriastini JJ. 1985. Kerabat Paku. Bogor: Lembaga
pengamanan hutan. Banyuwangi: Departemen Kehutanan RI. Biologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Binibis L. 2014. Inventarisasi tumbuhan bawah di kawasan Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekosistem Hutan Indonesia.
penambangan emas Desa Juria Kecamatan Bilato Kabupaten Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Gorontalo [tesis]. Universitas Gorontalo. Sofyan MZ. 1991. Analisis vegetasi pohon di Hutan Saloguma
Ewusie JY. 1990. Ekologi tropika. Bandung: ITB. [skripsi]. Padang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetaguan
Goltenboth F, Timotius KH, Milan PO, Margraf J. 2006. Ecology of Alam Universitas Andalas
Insular South East Asia The Indonesia Archipelago 1st Edition. Steenis CGGJ Van. 1972. The mountain flora of Java. Leiden: E.J. Brill.
Elsevier B. V. The Nederlands. Steenis CGGJ Van. 1981. Flora: Untuk sekolah di Indonesia. Jakarta:
Hakim N, Nyakpa MY, Nugroho SGB, Barley HH. 1986. Dasar dasar PT. Pradanya Paramita.
Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Syah AS, Sulaeman SM, Pitopang R. 2014. Jenis jenis tumbuhan
Hilwan I, Mulyana D, Pananjung WD. 2013. Keanekaraaman jenis Suku Asteraceae di Desa Mataue, Kawasan Taman Nasional
tumbuhan bawah pada Tegakan Sengon Buto (Enterolobium Lore Lindu. Online Jurnal of Natural Science. 3(3):297 312.
cyclocarpum Griseb.) dan Trembesi (Samanea saman Merr.) di Tanasale V. 2010. Komunitas gulma pada pertanaman gandaria
Lahan Pasca Tambang Batubara PT Kitadin, Embalut, Kutai belum menghasilkan dan menghasilkan pada ketinggian tempat
Kartanagara Kalimantan Timur. Jurnal Silvikultur Tropika, yang berbeda [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
4(1):6 10. Wijayanti YE. 2011. Struktur dan komposisi komunitas tumbuhan
Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia (Terjemahan) Jilid III. lantai Hutan di Kawasan Cagar Alam Ulolong Kecubung
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kecamatan Subah Kabupaten Batang [skripsi].IKIP PGRI
Semarang Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Jurusan Pendidikan Biologi.

| http://scri.bio.unsoed.ac.id 159
NADIA DESTARANTI, SULISTYANI, EDY YANI

Windusari Y. 2012. Dugaan cadangan karbon biomassa tumbuhan Yuniawati. 2013. Pengaruh pemanenan kayu terhadap potensi
bawah dan serasah di Kawasan Suksesi Alami pada area karbon tumbuhan bawah dan serasah di lahan Gambut (Studi
pengendapan Tailing PT. Freeport Indonesia. Sumatra Selatan. Kassus di Areal HTI Kayu Serat PT. RAPP Sektor Pelalawan).
Biospecies. 5(1): 22 28. Propinsi Riau. Hutan Tropis. 1(1)2337 7771.
Wirakusuma RS. 1980. Citra dan fenomena Hutan Tropika Humida
Kalimantan Timur. Jakarta: Pradya Paramita.

160
View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE
provided by Portal Jurnal Malahayati (Universitas Malahayati)

72
VOLUME 3 NOMO2 2, AGUSTUS 2019

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI FLORA DAN FAUNA


PADA SITE PLANT PT POLYTAMA PROPINDO

Elli Prastyo1), Puji Astuti Ibrahim1), Hana Rizkia Armis2)


1) Akademi Minyak dan Gas Balongan

Jl. Soekarno Hatta, Indramayu, (0234) 5746742


2)PT. Polytama Propindo

Jl. Raya Juntinyuat Km.13 Limbangan Balongan Indramayu Jawa Barat


e-mail:
elli.prastyo@gmail.com, pujiastutiibrahim32@gmail.com

ABSTRAK

Kebutuhan lahan yang semakin meningkat karena perkembangan industrialisasi telah menyebabkan
perusakan habitat, fragmentasi, dan penggantian spesies asli yang sensitif dengan spesies yang tidak
asli. Konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian khususnya pada negara berkembang
dimana pertumbuhan penduduk dan industrialisasi semakin meningkat. Pengembangan konservasi
merupakan proses untuk menciptakan perencanaan dan pelaksanaan awal sebagai dasar perlindungan
ekologi. Partisipasi aktif dari pemangku kepentingan dan masyarakat lokal merupakan strategi penentu
keberhasilan keanekaragaman hayati. Oleh karena penting mengkaji tanggung jawab perusahaan
dalam usaha perlindungan dan konservasi keanekaragaman hayati. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peran PT. Polytama Propindo dalam melaksanakan program konservasi keanekaragaman
hayati. Pengambilan data keanekaragaman hayati diperoleh dari site plant PT. Polytama Propindo.
Hasil penelitian menunjukkan PT. Polytama Propindo telah memanfaatkan lahan di area site plant
untuk konservasi kehati dari tahun 2015 sampai 2019. Indeks biota air, flora, dan fauna mengalami
trend peningkatan dari tahun 2015 sampai 2019. Nilai dan prinsip dasar dari konservasi
keanekaragaman hayati oleh PT. Polytama Propindo pada site plant berdasarkan pada keselarasan dan
pelestarian flora dan fauna endemic khas Kabupaten Indramayu.

Kata kunci : PT. Polytama Propindo, keanekaragaman hayati, konservasi, indeks, flora, fauna

ABSTRACT

Biodiversity Conservation of Flora and Fauna On The Plant Site of PT Polytama Propindo.
Increasing land requirements due to the development of industrialization have caused habitat
destruction, fragmentation, and replacement of sensitive native species with non-native species.
Biodiversity conservation is a particular concern for developing countries as population growth and
industrialization continue to increase. Conservation development is the process of making initial
planning and implementation as a basis for ecological protection. Active participation from
stakeholders and local communities is a decisive strategy that succeeded in achieving biodiversity.
Therefore, it is important to assess the company's responsibility in protecting and compensating for
biodiversity. This research is to find out the role of PT. Polytama Propindo in implementing the
biological completion program. Retrieval of biological contribution data obtained from the site plant
of PT. Polytama Propindo. The results showed that PT. Polytama Propindo has utilized land in the
area of the factory location to support the lives of 2015 to 2018. The index of air biota, flora and fauna
increases the upward trend from 2015 to 2018. Polytama Propindo on plant sites based on harmony
and preservation of endemic flora and fauna typical of Indramayu Regency.

Keywords : PT. Polytama Propindo, biodiversity, index, flora, fauna

Prastyo, Elli., dkk./ Jurnal Rekayasa, Teknologi, dan Sains


73
VOLUME 3 NOMO2 2, AGUSTUS 2019

1. LATAR BELAKANG Balongan, Kabupaten Indramayu. Kondisi


Pengelolaan sumber daya alam yang tidak lingkungan pada area pengamatan PT. Polytama
memperhatikan prinsip keberlanjutan telah Propindo berupa daratan rata yang dikelilingi oleh
menyebabkan terjadinya krisis lingkungan, lahan pertanianpadi dan pohon mangga. Kondisi
perubahan iklim, krisis pangan dan krisis air bersih. saat pengamatan relatif ramai, banyak terjadi
Krisis lingkungan telah menjadi persoalan serius aktivitas manusia di area plant PT. Polytama
masyarakat internasional, sehingga berbagai Propindo. Sedangkan, pada area pengamatan lahan
konvensi dan kesepakatan mengenai skema sekitar plant merupakan area pertanian yang lebih
pelestarian lingkungan hidup dan konservasi luas dibandingkan pada area plant. Pada area
keanekaragaman hayati tanaman terus digalakan. pengamatan lahan sekitar plant relative sepi dan
Keanekaragaman hayati memiliki peran strategis jarang dijumpai dijumpai aktivitas masyarakat
mengendalikan krisis lingkungan, karena potensi sekitar.
penggunaannya sebagai sumber bahan pangan dan
obat-obatan untuk manusia, serta jasa 2.2 Alat
lingkungannya menjaga keseimbangan ekosistem Peralatan dan bahan yang digunakan dalam
alam (Frison dkk., 2006; Jones dan Mulder, 2009; penelitian keanakeragaman hayati diantaranya
Nesbitt dkk., 2010 dan Robinson dkk., 2013). adalah:
Keanekaragaman hayati terus menerus - Binokuler (teropong) digunakan untuk mengamati
mengalami kemerosotan karena meningkatnya satwa jarak jauh
aktivitas industrialisasi. Pemanfaatan potensi - Kamera DSLR Canon 700D dengan Canon tele
sumber daya alam telah mendorong meningkatnya lens 70-200 mm digunakan untuk
kebutuhan lahan untuk industry menyebabkan mendokumentasikan hasil pengamatan berupa
perusakan habitat, fragmentasi, dan penggantian objek yang diamati, kondisi lingkungan sekitar,
spesies asli yang sensitif dengan spesies yang tidak dan kegiatan. Dari hasil dokumentasi, dapat
asli. Pemanfaatan keragaman hayati secara ekonomi memudahkan identifikasi objek yang diamati.
masih berorientasi pada keuntungan yang besar
tanpa memperhatikan dampak terhadap kerusakan
- Kompas digunakan untuk menentukan arah
pergerakan objek yang diamati.
lingkungan.
Upaya mengatasi ancaman pada keragaman - Buku panduan identifikasi satwa liar dan flora
hayati telah dilakukan di Indonesia, antara lain digunakan sebagai panduan dalam identifikasi
secara praktis mendorong proses suksesi ekologis hewan dan tumbuhan.
untuk mewujudkan kondisi lingkungan yang - Alat tulis dan lembar pengamatan digunakan
heterogen sehingga memberikan kesempatan semua untuk mencatat kondisi lingkungan, waktu dan
spesies dapat berkembang secara alami. Dalam hasil kegiatan.
implementasi komitmennya terkait kebijakan - Jam tangan digital untuk menentukan waktu.
pembangunan berwawasan lingkungan - GPS (Global Positioning System) diguanakan
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. untuk menentukan posisi saat pengambilan data
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan secara akurat.
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan perlu - Roll meter digunakan untuk mengukur suatu
melakukan upaya konservasi terhadap dampak yang luasan area pengamatan atau lebar dan panjang
ditimbulkan akibat kegiatan yang dilakukan. Salah sebuah benda.
satu upaya konservasi yang dilakukan oleh PT.
- Plastik sebagai tempat mengambil sampel objek
Polytama Propindo adalah dengan program
untuk diamatai selanjutnya.
konservasi keanekaragaman hayati khususnya
tanamana endemic khas Kabupaten Indramayu. - Kertas label sebagai penanda sampel yang
Program dilakukan di kawasan konservasi yang diambil.
berada di desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, - HeadlampI digunakan untuk penerangan saat
Kabupaten Indramayu. Analisis dan inventarisasi pengamatan malam hari.
dilakukan dalam kawasan Desa Limbangan yang - Hook stick digunakan untuk menangkap hewan
bertujuan untuk mengetahui perkembangan atau reptil terutama ular.
peningkatan keanekaragaman hayati yang ada - Grek stick digunakan untuk menangkap hewan
didalamnya reptil terutama ular.
- Sarung tangan lateks untuk melindungi tangan
2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi dari gigitan serangga.
Konservasi terletak di site plant PT. Polytama 2.3 Evaluasi Perhitungan
Propindo dan sekitarnya yang berada di Limbangan,

Prastyo, Elli., dkk./ Jurnal Rekayasa, Teknologi, dan Sains


74
VOLUME 3 NOMO2 2, AGUSTUS 2019

Indeks keanekaragaman hayati dievaluasi H’ < 1.0 Sangat rendah


menggunakan dasar perhitungan Shannon-Weaver
Diversity Index
H’ = -Σpi ln pi 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
H’ = indeks keanekaragaman Shannon 3.1 Indeks Biota Air
Pi = ni/N, perbandingan antara jumlah Kualitas perairan semakin tercemar akibat konversi
individu spesies ke-i dengan jumlah total lahan hutan menjadi pemukiman, daerah industri
individu, dan lahan perkebunan serta aktivitas pembangunan
ni = jumlah suatu jenis lainnya. Semakin baik kualitas perairan tersebut
N = jumlah total individu tentu berkorelasi dengan nilai indeks biota air yang
Tabel tingkat keanekaragaman dianalisis tinggi dan begitu pula sebaliknya. Hendrawan
berdasarkan kriteria Lee et al., (1978), yaitu : (2005) menyebutkan bahwa menurunnya daya guna,
hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya
Nilai H’ Keterangan tampung dari sumberdaya air karena menurunnya
kualitas air sehingga menyebabkan penurunan
H’ ≥ 3.0 Sangat tinggi
kekayaan sumberdaya alam. PT. Polytama Propindo
2.0 ≤ H’ < 3.0 Tinggi telah memiliki program konservasi kehati salah
1.5 ≤ H’ < 2.0 Sedang satunya adalah meningkatkan indeks
1.0 ≤ H’ < 1.5 Rendah keanekaragaman hayati biota air. Hal ini dapat
dilihat pada diagram dibawah ini.

Indeks Keragaman (H') Jenis Biota Air Pada Hasil Pemantauan


di Perairan PT Polytama Propindo dan Sekitarnya
1.50
1.386
1.099 1.099 1.099
1.00 0.693

0.50

0.00
2015 2016
2017
2018
2019

Gambar 1. Indeks Keanekaragaman Hayati


Gambar 1. menunjukkan PT. Polytama Apabila istilah flora ini dikaitkan dengan life-form
Propindo telah melakukan konservasi kehati (bentuk hidup/habitus) tumbuhan, maka akan
khususnya biota air dimulai dari tahun 2015 sampai muncul berbagai istilah seperti flora pohon (flora
saat ini. Grafik indeks biota air menunjukkan berbentuk pohon), flora semak belukar, flora
kenaikan dari tahun 2015 sampai 2019. Hal ini rumput, dsb.
menunjukkan bahwa terdapat kenaikan biota air dari Sesuai dengan kondisi lingkungannya, flora di
awal program dijalankan tahu 2015 sampai 2019. suatu tempat dapat terdiri dari beragam jenis yang
Secara keseluruhan terdapat penambahan 2 jenis masing-masing dapat terdiri dari beragam variasi
biota air dari awal program dijalankan sampai tahun gen yang hidup di beberapa tipe habitat (tempat
2019. Biota air yang terdapat di PT. Polytama hidup). Oleh karena itu, muncul istilah
Propindo bukan merupakan biota air langka dan keanekaragaman flora yang mencakup makna
endemic khas Kabupaten Indramayu. Biota air yang keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik
terdapat merupakan hasil kerjasama dengan dari jenis, dan keanekaragaman habitat dimana
kelompok masyarakat sekitar yang tujuannya untuk jenis-jenis flora tersebut tumbuh. PT. Polytama
menumbuhkan kesadaran masyarakat sekitar untuk Propindo telah melakukan konservasi
menjaga dan meningkatkan konservasi keanekaragaman flora yang terdapat di site plant.
keanekaragaman hayati. PT. Polytama Propindo berusaha melestarikan dan
memberi ruang untuk flora pada umumnya dan
3.2 Indeks Flora endemik yang dapat dilihat pada gambar dibawah
Istilah flora diartikan sebagai samua jenis ini.
tumbuhan yang tumbuh di suatu daerah tertentu.

Prastyo, Elli., dkk./ Jurnal Rekayasa, Teknologi, dan Sains


75
VOLUME 3 NOMO2 2, AGUSTUS 2019

Peningkatan Indeks (H') Keanekaragaman


Hayati Flora di Kawasan PT Polytama Propindo

4.00 3.255 3.334


2.655 2.822
2.306
2.00

0.00
2015 2016 2017 2018 2019

Gambar 2. Indeks Kehati Flora


Gambar 2. menunjukkan PT. Polytama Propindo Indramayu. Total flora dari awal program
telah melakukan konservasi kehati khususnya flora konservasi kehati berjumlah 648 di tahun 2015, pada
dimulai dari tahun 2015 sampai saat ini. Grafik tahun 2019 meningkat menjadi 1270 pohon. Hal ini
indeks flora menunjukkan kenaikan dari tahun 2015 menandakan bahwa program konservasi kehati flora
sampai 2019. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat di site plant Pt. Polytama Propindo telah sukses
kenaikan jenis flora atau tanaman dari awal program dijalankan sampai tahun 2019 yang ditandai dengan
dijalankan tahu 2015 sampai 2019 di site plant PT. peningkatan jumlah flora secara keseluruhan.
Polytama Propindo. Indeks flora yang meningkat
menandakan bahwa terdapat jenis tumbuhan lain 3.3 Indeks Fauna
yang berbeda dari segi varietas, maupun gen.
Peningkatan indeks flora akan berdampak
Terdapat berberapa jenis flora endemic khas
positif terhadap peningkatan indeks fauna. Hal ini
Kabpuaten Indramayu yang dilestarikan oleh PT.
dikarenakan fauna akan mendapat tempat dan
Polytama Propindo. Jeruk segeran merupakan salah
ekosistem yang nyaman baginya, sehingga
satu flora yang masuk dalam program konservasi
memberikan kesempatan semua spesies dapat
kehati oleh PT. Polytama Propindo yang ditanam
berkembang secara alami. Profil indeks fauna yang
pada tahun 2019. Penanaman jeruk segeran khas
dilaksanakan oleh PT. Polytama Propindo melalui
Kabupaten Indramayu meningkatkan indeks kehati
konservasi kehati dapat dilihat melalui diagram
flora yang dapat dilihat pada gambar 3.2. Selain
berikut.
jeruk segeran, terdapat pohon mangga gedong gincu
yang juga merupakan flora khas Kabupaten

Peningkatan indeks keanekaragaman hayati

3.600 3.555
3.550 3.526 3.526

3.500
3.434
3.450 Tahun
3.401
3.400
3.350
3.300
2015 2016 2017 2018 2019

Gambar 3. Indeks Kehati Fauna


Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa satwa- 2015 sampai 2017. Indeks keanekaragaman satwa
satwa mengalami peningkatan indeks dari tahun memiliki nilai stabil dari tahun 2017 sampai 2019.

Prastyo, Elli., dkk./ Jurnal Rekayasa, Teknologi, dan Sains


76
VOLUME 3 NOMO2 2, AGUSTUS 2019

Nilai indeks yang stabil berkorelasi dengan nilai Melles, S. J. (2005). Urban bird diversity as an
indeks flora yang stabil juga di tahun yang sama. indicator of human social diversity and
Satwa-satwa yang ditemukan di area plant sekitar economic inequality in Vancouver, British
pabrik umumnya adalah jenis-jenis yang sudah biasa Columbia. Urban Habitats, 3(1), 25-48.
berada di sekitar pemukiman manusia. Jenis-jenis Nesbitt, M., McBurney, R. P., Broin, M., & Beentje,
tersebut sudah beradaptasi dengan kondisi habitat H. J. (2010). Linking biodiversity, food and
yang dekat dengan aktifitas manusia.
nutrition: The importance of plant
Jumlah spesies yang relatif sedikit juga
disebabkan oleh luasan lahan bervegetasi yang identification and nomenclature. Journal of
sempit dan keanekaragaman jenis vegetasi yang food composition and analysis, 23(6), 486-498.
masih relative rendah. Di samping itu, suasana Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
pabrik yang bising dan intensif dengan aktifitas Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009
manusia juga bukan merupakan habitat yang baik Tentang Pedoman Konservasi
bagi fauna khususnya satwa liar. Keanekaragaman Hayati di Daerah.
Jenis-jenis pohon yang relatif masih sedikit Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 2009.
dan luasan habitat yang tercipta juga masih sempit, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
belum memberikan daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup.
bagi banyak jenis satwa. Menurut Setiawan et al. Robinson, D. A., Hockley, N., Cooper, D. M.,
(2006) terdapat korelasi yang positif antara Emmett, B. A., Keith, A. M., Lebron, I., ... &
keanekaragaman jenis burung dan keanekaragaman Whalley, W. R. (2013). Natural capital and
pohon, Idilfitri dan Mohamad (2012) menambahkan
ecosystem services, developing an appropriate
bahwa adanya buah, nektar, biji-bijian serta bentuk
kanopi pada pohon merupakan daya tarik bagi soils framework as a basis for valuation. Soil
burung. Oleh sebab itu, pengelolaan tata ruang bagi Biology and Biochemistry, 57, 1023-1033.
hutan kota memerlukan kebijakan yang tepat untuk Setiawan, A., Alikodra, H. S., Gunawan, A., &
mampu digunakan sebagai habitat yang baik bagi Darnaedi, D. (2006). Keanekaragaman Jenis
burung termasuk keberadaan vegetasi pohon Pohon dan Burung di Beberapa Areal Hutan
(Melles 2005). Kota Bandar Lampung (Tree and Bird Species
Diversity in Several Urban Forest Area of
4. SIMPULAN Bandar Lampung City). Jurnal Manajemen
Indeks Keanekaragaman hayati dari tiga Hutan Tropika, 12(1).
parameter (biota air, flora, fauna) menunjukkan Shannon, C. E., & Weaver, W. (1949). The
peningkatan dari 2015 sampai 2019. Fauna yang mathematical theory of communication–
terdapat di plant PT. Polytama Propindo merupakan
University of Illinois Press. Urbana, 117.
dampak dari konservasi flora yang dilakukan.
Kenaikan indeks kehati flora berkorelasi dengan
kenaikan indeks fauna yang terdapat di plant PT.
Polytama Propindo.

DAFTAR PUSTAKA
Frison, E. A., Smith, I. F., Johns, T., Cherfas, J., &
Eyzaguirre, P. B. (2006). Agricultural
biodiversity, nutrition, and health: making a
difference to hunger and nutrition in the
developing world. Food and nutrition
bulletin, 27(2), 167-179.
Hendrawan, D. (2005). Kualitas air sungai dan situ
di DKI Jakarta. Makara Journal of
Technology, 9(1).
Idilfitri, S., & Mohamad, N. H. N. (2012). Role of
ornamental vegetation for birds’ habitats in
urban parks: case study FRIM,
Malaysia. Procedia-Social and Behavioral
Sciences, 68, 894-909.
Jones-Walters, L., & Mulder, I. (2009). Valuing
nature: The economics of biodiversity. Journal
for Nature Conservation, 17(4), 245-247.

Prastyo, Elli., dkk./ Jurnal Rekayasa, Teknologi, dan Sains


ANALISIS VEGETASI HUTAN LINDUNG GUNUNG TUMPA
VEGETATION ANALYSIS OF THE MOUNT TUMPA PROTECTION FOREST

R.P. Kainde1), S.P.Ratag1), J.S.Tasirin1) dan D. Faryanti2)


1)Dosen Fakultas Pertanian Unsrat Manado_95115
2)Alumni Fakultas Pertanian Unsrat Manado

ABSTRACT

This research was carried out in the Mount of Tumpa Protection Forest from February to March 2003,
aiming to asses Important Value (IV) Index. Simple random sampling with plot was used to collect
species data. The observation for collecting specie data was number individual of each species, trees,
poles diameter and species presence. The data were analysed for density, relatif density, frequency,
relatif frequency, dominancy, relatif dominancy and Important Values (IV)
The results showed that at seedling level, Important Value of Tepu was the highest (41,83%) and
lowest was Calophyllum soulattri (10,03 %). The highest Important Value at the sapling level was
Calamus sp (38,73%) and the lowest was Knema latericia (10,11%). The highest Important Value at
the pole level was Spathodea campanulata (74,01%) and the lowest was Dracontomelum mangiverum
(10,05%). The highest Important Value at tree level was Spathodea campanulata (88,86%) and the
lowest was Calophyllum soulattri (10,22%).
Keywords : Important Value Index, Vegetation Analysis

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Lindung Gunung Tumpa Provinsi Sulawesi Utara yang berlangsung
mulai Februari s/d Maret 2003, dengan tujuan untuk mengetahui Indeks Nilai Penting (INP). Penelitian
ini menggunakan metode simple random sampling dengan petak. Pengamatan untuk mendapatkan
data jenis dan jumlah individu masing-masing jenis, diameter pohon dan tiang, dan ada tidaknya jenis
tertentu pada petak yang diamati. Data yang diperoleh di hitung kerapatan dan kerapatan relatif,
frekuensi dan frekuensi relatif, dominansi dan dominansi relatif dan Indeks Nilai Penting (INP).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai INP tertinggi pada vegetasi tingkat semai adalah tepu
yaitu 41,83 % dan terendah adalah Calophyllum soulattri, 10,03 %. INP tertinggi pada vegetasi tingkat
sapihan adalah 38,73% yaitu Calamus sp dan terendah Knema latericia dengan INP 10,11%. Nilai INP
tertinggi vegetasi tingkat tiang adalah Spathodea campanulata dengan INP yaitu 74,01% dan terrendah
adalah Dracontomelum mangiverum yaitu 10,05%. Nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon adalah
88,86% yaitu Spathodea campanulata dan terendah Calophyllum soulattri 10,22%.
Kata kunci : Indeks Nilai Penting, Analisis Vegetasi
Eugenia Volume 17 No. 3 Desember 2011
Eugenia Volume 17 No. 3 Desember 2011

PENDAHULUAN nilai dominansi suatu jenis, makin besar pengaruh


penguasaan jenis tersebut terhadap jenis lain. INP
Hutan Lindung Gunung Tumpa (HLGT) suatu jenis merupakan nilai yang menggambarkan
terletak di sebelah utara wilayah Kota Manado, peranan keberadaan suatu jenis dalam komunitas.
secara geografis terletak antara 1o30’- 1o40’ LU dan Makin besar INP suatu jenis makin besar pula pe-
124o40’ - 126o 50’ BT. Secara administratif terletak ranan jenis tersebut dalam komunitas. INP dengan
pada dua wilayah yaitu Kota Manado dan Minahasa nilai yang tersebar merata pada banyak jenis lebih
Utara. Luas HLGT sekitar 215 ha dengan ketinggi- baik dari pada bertumpuk atau menonjol pada se-
an 610 m dpl (Anonimus, 2002). Palenewen, dkk. dikit jenis karena menunjukkan terciptanya relung
(1994) melaporkan bahwa ada 156 jenis Flora di (niche) yang lebih banyak dan tersebar merata,
HLGT yang meliputi, 88 genus, diantaranya jenis spesifik dan bervariasi. INP yang merata pada ba-
yang dilindungi dan endemik seperti Caryota sp, nyak jenis juga sebagai indikator semakin tingginya
Livistona rotundifolia, Pigafetta filaris, Balanophora keanekaragaman hayati pada suatu ekosistem dan
sp, Diospyros sp, Dillenia celebica dan Osmoxylon perkembangan ekosistem yang baik untuk menca-
masarangense. pai kestabilan pada tahap klimaks.
Fungsi HLGT sebagai hutan lindung sa- Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
ngat ditentukan oleh vegetasi yang menutupi kawa- Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi di Hutan Lin-
san tersebut dimana keberadaan vegetasi dapat di- dung Gunung Tumpa.
gambarkan dengan menganalisis struktur vegetasi.
Menurut Dansereau dalam Dumbois dan Ellenberg METODE PENELITIAN
(1974), struktur vegetasi dapat didefinisikan seba-
gai organisasi individu-individu tumbuhan dalam Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Lin-
ruang yang membentuk tegakan dan secara lebih dung Gunung Tumpa, Kecamatan Molas, Kota
luas membentuk tipe vegetasi atau asosiasi tumbu- Manado. Waktu penelitian adalah dua bulan yaitu
han. Kershaw (1973) mengemukakan bahwa ben- Februari sampai April 2003.
tuk vegetasi dibatasi oleh tiga komponen pokok
yaitu : (1) stratifikasi yang adalah lapisan penyusun Metode Penelitian
vegetasi (strata) yang dapat terdiri dari pohon, Pengamatan dilakukan pada areal yang
tiang, perdu, sapihan, semai dan herba. (2) sebaran masih berhutan dengan menggunakan metode
horisiontal dari jenis penyusun vegetasi tersebut simple random sampling dimana petak pengamatan
yang menggambarkan kedudukan antar individu diletakkan pada delapan aspek lereng yaitu Utara,
(3) Banyaknya individu (abundance) dari jenis pe- Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya,
nyusun vegetasi tertentu. Selanjutnya dikatakan Barat, Barat Laut. Masing-masing arah lereng di
bahwa penguasaan suatu jenis terhadap spesies buat 3 petak pengamatan yang ditentukan secara
lainnya ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting acak. Data yang dikumpulkan adalah berupa spe-
(INP), yang merupakan penjumlahan dari kerapatan sies dan jumlah individu per spesies pada masing-
relatif, dominansi relatif dan fekuensi relatif. masing fase pertumbuhan. Untuk fese tiang dan
Frekuensi suatu jenis menunjukkan penye- pohon dihitung luas bidang dasar. Ukuran petak
baran suatu jenis dalam suatu areal. Semakin me- untuk tingkat pohon 20 x 20 m, tiang 10 x 10 m,
rata penyebaran jenis tertentu, nilai frekuensinya sapihan 5 x 5 m dan semai 2 x 2 m dengan jumlah
semakin besar sedangkan jenis yang nilai frekuen- petak masing arah mata angin, 3 petak. Data yang
sinya kecil, penyebarannya semakin tidak merata diperoleh dianalisis dengan menghitung kerapatan,
pada suatu areal atau kawasan yang diamati. Ke- kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, domi-
rapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang me- nansi, dominansi relatif Indeks Nilai Penting (INP)
nunjukkan jumlah atau banyaknya suatu jenis per- untuk masing-masing spesies dengan rumus setiap
satuan luas. Dominansi suatu jenis merupakan nilai pada fase pertumbuhan.
yang menunjukkan penguasaan suatu jenis terha-
dap jenis lain pada suatu komunitas. Makin besar
Kainde, R.P., dkk. : Analisis Vegetasi Hutan Lindung ……………..

Kerapatan (K)= jumlah individu/luas petak sample kan pembagian menurut mata angin, maka arah
Kerapatan Relatif (KR): kerapatan suatu jenis / Utara terdapat 6 spesies, dimana Ficus sp. memiliki
kerapatan seluruh jenis X100 % nilai INP terendah yaitu 10,64% dan tertinggi tepu
Frekuensi (F) : jumlah petak pengamatan dengan INP 39,60%. Arah Timur laut terdapat 3
ditemukannya suatu jenis /jumlah seluruh petak spesies, dimana terendah adalah Zingeberaceae
pengamatan dengan INP 24,97% dan tertinggi Calamus sp de-
Frekuensi (FR) : Frekuensi suatu jenis / frekuensi ngan INP 36,34%. Arah timur terdapat 4 spesies,
seluruh jenis X 100 % dengan nilai terendah Artocarpus sp. dengan INP
Dominansi (D) : jumlah luas bidang dasar suatu 16,96% dan tertinggi tepu dengan INP 41,83%.
jenis / luas petak conto Arah tenggara terdapat 7 spesies, dengan INP te-
Dominansi Relatif (DR) : dominansi suatu jenis / rendah 10,03% adalah Calophyllium soulattri dan
dominansi seluruh jenis X 100% tertinggi adalah Flagellaria indica dengan INP
Indeks Nilai Penting (INP) : 30,05%. Arah selatan terdapat 7 spesies, dimana
KR + FR (untuk semai dan sapihan) Pinanga sp. dengan INP terendah yaitu 12,36%
KR + FR + DR (untuk tiang dan pohon) dan tepu INP tertinggi yaitu 43,43%. Arah Barat da-
ya terdapat 9 spesies, dimana INP terendah Knema
HASIL DAN PEMBAHASAN latericia (12,88%) dan tertinggi tepu (31,19%).
Nilai INP tertinggi vegetasi tingkat semai di
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Nilai Gunung Tumpa adalah Poaceae (tepu) yaitu
Penting pada tingkat semai, sapihan, tiang dan po- 41,83% dan terendah adalah Calophyllum soulattri,
hon di 8 arah mata angin, maka diperoleh hasil se- 10,03%. Calamus sp. adalah spesies yang terdapat
perti pada tabel 1, 2, 3 dan 4. di semua arah mata angin Gunung Tumpa. Menurut
Hasil analisis struktur vegetasi tingkat se- Arah mata angin di Gunung Tumpa, maka rata-rata
mai, menunjukkan ada 25 spesies dengan INP > INP tertinggi adalah arah timur laut (31,39%) dan
10%, dapat dikatogorikan sebagai penyusun utama terendah Barat Laut (16,15%).
komunitas tumbuhan di Gunung Tumpa. Berdasar-

Barat Daya

Barat

Barat Laut

Selatan

Tenggara

Timur

Timur Laut

Utara

0 5 10 15 20

Persentase Jumlah Spesies

Gambar 1. Jumlah spesies tingkat semai pada 8 arah mata angin


(Figure 1. Seedling spesies number at the 8 direction)
Eugenia Volume 17 No. 3 Desember 2011

Tabel 1. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai


(Table 1. Important Value at Seedling Level)
Arah Mata Angin
No. Jenis Utara Timur Timur Tenggara Selatan Barat Barat Barat
(%) Laut (%) (%) (%) (%) Daya(%) (%) Laut (%)
1 Aglaia sp. 11,14 13,06
2 Alocasia sp. 13,47 20,10 17,84
3 Ardisia celebica 12,40
4 Artocarpus sp. 16,96
5 Calamus sp. 36,34 23,64 20,86 20,76 21,40
6 Calophyllum soulattri 10,03
7 Caryota mitis 11,37 13,56 16,89 10,27
8 Ficus benyamina 11,82
9 Ficus sp. 10,64 15,61 18,82
10 Flagellaria indica 30,05
11 Khortalasia celebica 13,34
12 Knema latericia 18,06 12,88 15,11
Koordersiodendran
13
pinatum 10,27
14 Leea indica 15,95
15 Luecosyke capitelata 27,10 10,29
16 Malloyhus sp. 13,57
Melanolepis
17
multiglandulosa 22,36
18 Mucuna alberitsii 26,36
19 Paku-pakuan 38,98 10,39
20 Pinanga sp. 12,36
21 Piper aduncum 21,53 17,66
Raphidophora
22
ternatensis 12,71
23 Spathodea campanulata 29,71
24 Poaceae (tepu) 39,60 32,85 41,83 43,43 31,19 32,94 22,07
25 Zyngeberaceae 24,97 18,31 15,95

Tabel 2. Indeks Nilai Penting tingkat sapihan


(Table 2. Important Value at Sapling Level)
Timur Barat
No. Jenis Utara Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat
Laut Laut
1 Aglaia sp. 11,27
2 Alocasia sp. 13,23
3 Ardisia celebica 14,26 12,87
4 Areca vestiaria 12,95
5 Arenga pinata 22,78 11,74
6 Calamus sp. 26,21 38,73 26,02 10,56 10,39 27,33 23,48 10,61
7 Calophyllum soulattri 12,70
8 Cananga adorata 13,25
9 Canarium communa 11,32
10 Canarium sp. 14,60 21,11
11 Caryota mitis 13,59
Kainde, R.P., dkk. : Analisis Vegetasi Hutan Lindung ……………..

Lanjutan Tabel 2.
12 cinnamomum coodesi 13,71
Dracontomelum
13 mangiverum 12,77 15,26
14 Eugenia sp. 21,21
15 Ficus sp. 11,42 12,95 11,36
16 Ficus sp. (buah kuning) 17,92
17 Garcinia sp. 13,89
18 Garcinia tetandra 19,88
19 Gnetum gnemon 12,69 11,14
20 Homalium foetidum 13,08
Kjellbergiodendron
21 celebicum 11,02
22 Knema latericia 10,11 10,56 12,50
23 Knema sp. 13,50
24 Leea indica 14,26
25 Litsea sp. 11,02
26 Luecosyke capitelata 16,42
27 Macaranga hispida 10,39
Melanolepis
28 multiglandulosa 15,00
29 Mucuna alberitsii 10,39
30 Palaquium abovatum 12,12
31 Pandamus sp. 12,41 16,72 11,48
32 Parishia philipinensis 13,92
33 Pinanga sp. 15,26
34 Piper aduncum 34,63 11,93
35 Pometia pinata 15,74
Raphidophora
36 ternatensis
37 Spathodea campanulata 28,82 22,20
38 Terminalia celebica 10,12
39 Zyngeberaceae 15,35 14,35 10,66 27,68 15,68
40 Zyzyphus javanensis 11,80

Tabel 3. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang


(Table 3. Important Value at Pole Level)
Timur Barat
No. Jenis Utara Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat
Laut Laut
1 Albizia saponaria 16,69
2 Ardisia celebica 16,63 10,62 10,52 23,58 10,66
3 Areca vestiaria 27,08 39,69 21,39
4 Artocarpus frestessic 11,40
5 Artocarpus reticulatus 11,94
6 Calophyllum soulattri 14,02 18,98
7 Calophyllum sp. 12,94
8 Canarium sp. 20,63 30,35 13,30
Canarium sp. (batang
9 merah) 19,26 10,62
10 Capparis micrachanta 12,40
11 Carallia brachiata 11,51
12 Caryota mitis 23,30
Eugenia Volume 17 No. 3 Desember 2011

Lanjutan Tabel 3.
13 cinnamomum coordesi 10,62
14 Dillenia ochreata 23,71 26,74
Dracontomelum
15 mangiverum 10,05
16 Dyospiros pylosanthera 12,68
17 Dyospiros sp. 12,59
18 Eugenia sp. 24,66 22,36 13,16
19 Euodia speciosa 11,23
20 Ficus elastica 13,38
21 Ficus celebensis 12,44 12,04
22 Ficus fistulosa 16,20 24,46
23 Ficus minahasae 17,90
24 Ficus sp. 24,44 10,76 11,04 27,98 31,35
25 Ficus sp. (buah kuning) 12,58
26 Ficus sp. (daun besar) 19,68 33,36 44,27
27 Garcinia sp. 16,05 11,99
28 Gastonia papuan 10,53
Gymnocranthera
29 paniculata 12,59
30 Homalium foetidum 11,02
31 Ixora sp. 26,62
32 Kibatalia arborea 23,59
33 Khortalasia celebica 15,06
Kjellbergiodendron
34 celebicum 24,56
35 Knema latericia 19,40 11,59 25,16
36 Knema sp. 39,30 12,60
Koordersiodendran
37 pinatum 12,85 27,68
38 Leea indica 13,88 27,03 29,27 43,68
39 Litsea sp. 18,18 10,08
40 Lopopethalum javanicum 23,99
41 Luecosyke capitelata 43,15 16,44 13,03 25,82
42 Macaranga gigantea 11,85
43 Macaranga hispida 37,33 18,60 11,48 13,25 12,88
44 Mallothus sp. 15,26
45 Mangivera sp. 10,59
46 Mucuma sp. 11,78
47 Musa sp. 20,95
48 Myristica maxima 13,22 21,11
49 Palaquium obtusifolium 37,79
50 Palaquium sp. 11,23 24,07
51 Pandamus sp. 18,75 26,75 10,53 11,43 42,12
52 Parishia philipinensis 18,48 41,97 36,64
53 Pinanga sp. 15,52
54 Piper aduncum 27,00 23,33
55 Polyalthia lateriflora 20,69
56 Pometia pinata 34,33 24,39
57 Pterocarpus indicus 14,00
58 Pterospermum celebicum 20,57 12,99 15,55
Kainde, R.P., dkk. : Analisis Vegetasi Hutan Lindung ……………..

Lanjutan Tabel 3

59 Spathodea campanulata 74,01


60 Sterculia comosa 10,41
61 Terminalia celebica 27,92

Dalam analisis struktur vegetasi tingkat sa- di klasifikasikan sebagai penyusun utama komu-
pihan, terdapat 40 spesies yang di klasifikasikan nitas (INP > 10%) Berdasarkan mata angin, maka
sebagai penyusun utama komunitas (INP > 10%). arah Utara terdapat 13 spesies, dimana
Pembagian Gunung Tumpa menurut mata angin, Cinamomum coordesi dengan nilai INP 10,62%
maka arah Utara terdapat 7 spesies, dimana yang terendah dan tertinggi adalah Leucosyke
Knema latericia dengan nilai INP 10,11% (teren- capilata yaitu 43,15%. Arah Timur Laut terdapat 13
dah) dan tertinggi adalah Calamus sp. dengan INP spesies, dimana terendah Sterculia comosa dengan
26,21%. Arah Timur laut terdapat 8 spesies, dima- INP 10,41% dan tertinggi Leea indica dengan INP
na terendah Litsea sp. (INP 11,02%) dan tertinggi 27,03%. Arah Timur terdapat 14 spesies, dengan
Calamus sp dengan INP 38,73%. Arah timur INP terendah adalah Dracontomelum mangiverum
terdapat 7 spesies, dengan nilai terendah dengan INP 10,05% dan tertinggi adalah Pharisia
Zyngeberaceae dengan INP 10,66% dan tertinggi phillipinensis dengan INP 41,97%. Arah Tenggara
Calamus sp. dengan INP 26,02%. Arah tenggara terdapat 11 spesies, dengan INP terendah adalah
terdapat 8 spesies, jenis dengan INP terendah ada- Mangivera sp yaitu 10,59% dan tertinggi adalah
lah Knema latericia yaitu 10,56% dan tertinggi ada- Spathodea campanulata yaitu 74,01%. Arah Sela-
lah Piper aduncum dengan INP 34,63%. Arah Sela- tan terdapat 14 spesies, dimana INP terendah ada-
tan terdapat 11 spesies, dimana INP terendah ada- lah Pandanus sp. yaitu 10,53% dan tertinggi adalah
lah Mucuna albertisii yaitu 10,39% dan INP tertinggi Areca vestiaria dengan INP 39,69%. Arah Barat
adalah Spathodea campanulata yaitu 22,20%. Arah Daya terdapat 18 spesies, INP terendah adalah
Barat Daya terdapat 10 spesies, INP terendah ada- Homalium foetidum (11,02%) dan tertinggi Ficus sp.
lah Canarium communa (11,32%) dan tertinggi daun besar (44,27%). Arah Barat terdapat 13 spe-
Zyngeberaceae (27,68%). Arah barat terdapat 7 sies, INP terendah adalah Ardisia celebica yaitu
spesies, INP terendah adalah Pandanus sp. yaitu 10,66% dan INP tertinggi adalah Leea indica yaitu
11,46% dan tertinggi adalah Calamus sp. dengan 43,68%. Arah Barat Laut terdapat 14 spesies, INP
INP 23,48%. Arah Barat Laut terdapat 5 spesies, terendah adalah Artocarpus frestessic yaitu 11,40%
INP terendah adalah Leucosyke capitelata yaitu dan tertinggi adalah Koordersiodendron pinnatum
10,35% dan tertinggi adalah Eugenia sp. yaitu yaitu 27,68%.
21,21%. Nilai INP tertinggi vegetasi tingkat tiang di
Nilai INP tertinggi vegetasi tingkat sapihan Gunung Tumpa adalah Spathodea campanulata
di Gunung Tumpa adalah 38,73% yaitu Calamus sp dengan INP yaitu 74,01% dan terendah adalah
dan terendah Knema latericia dengan INP 10,11%. Dracontomelum mangiverum yaitu 10,05%. Ada 4
Calamus sp. adalah spesies yang terdapat di se- spesies tingkat tiang yang terdapat di 5 arah mata
mua arah mata angin Gunung Tumpa. Menurut angin Gunung Tumpa, yaitu Ardisia celebica (Utara,
Arah mata angin di Gunung Tumpa, maka rata-rata Timur Laut, Timur, Barat Daya dan Barat), Ficus sp.
INP tertinggi adalah arah timur laut (31,39%) dan (Utara, Timur, Tenggara, Selatan dan Barat),
terrendah Barat Laut (16,15%). Macaranga hispida (Tenggara, Selatan, Barat Da-
Persentase sebaran spesies vegetasi ting- ya, Barat dan Barat Laut) dan Pandamus sp. (Uta-
kat sapihan dapat dilihat pada gambar 2. ra, Timur Laut, Selatan, Barat Daya dan Barat).
Dalam analisis struktur vegetasi tingkat
tiang di Gunung Tumpa, terdapat 61 spesies yang
Eugenia Volume 17 No. 3 Desember 2011

Barat Laut
Barat
Barat Daya
Selatan
Tenggara
Timur
Timur Laut
Utara

0 5 10 15 20
Persentase Jumlah Spesies
Gambar 2. Jumlah spesies tingkat sapihan pada 8 arah mata angin
(Figure 2. Seedling Spesies Number at the 8 Direction)

Barat Laut
Barat
Barat Daya
Selatan
Tenggara
Timur
Timur Laut
Utara

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Persentase Jumlah Spesies
Gambar 3. Jumlah Spesies Tingkat Tiang pada 8 Arah Mata Angin
(Figure 3. Pole Spesies Number at the 8 Direction)

Tabel 4. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon


(Table 4. Important Value at Tree Level)
Timur Barat
No. Jenis Utara Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat
Laut Laut
1 Alstonia ranvolfia 10,82
2 Ardisia celebica 34,16 10,47 22,36
3 Arenga pinata 17,41 12,00 31,74 36,08 18,92 30,76 13,33
4 Artocarpus frestessic 37,13
5 Artocarpus sp. 19,03
6 Baringtonia acutangula 10,43
7 Calophyllum soulattri 26,95 10,52 13,89 41,86 10,22
8 Canarium communa 13,78
9 Canarium hirsutum 12,71
10 Canarium sp. 28,87 17,65
11 Capparis micrachanta 22,86 13,05
12 Carallia brachiata 12,04 12,57
13 Caryota mitis 12,29 16,64 11,69
14 Dillenia ochreata 40,31 19,09
15 Dyospiros sp. 11,05
Kainde, R.P., dkk. : Analisis Vegetasi Hutan Lindung ……………..

Lanjutan Tabel 4

16 Eugenia sp. 12,30 12,62 10,85


17 Ficus ampelas 22,41
18 Ficus elastica 25,31
19 Ficus fistulosa 18,26
20 Ficus sp. 41,12 19,73 20,61 18,81
21 Ficus sp. (buah kuning) 13,36 11,36
22 Ficus sp (batang merah) 12,72 18,69
23 Ficus sp. (daun besar) 24,99
24 Garcinia daedalanthera 11,01 36,16
25 Garcinia sp. 16,70 64,78
Gymnocranthera
26 paniculata 12,79 22,06
27 Gymnocranthera sp. 10,69
28 Homalium foetidum 12,88
29 Ixora sp. 25,67
30 Khortalasia celebica 17,70
Kjellbergiodendron
31 celebicum 14,69
32 Knema latericia 20,27 21,63 23,29
33 Knema sp. 10,25
Koordersiodendran
34 pinatum 17,48
35 Lapopethalum javanicum 10,52 40,66
36 Leea aculeata 21,20
37 Leea indica 33,03 21,95 19,35
38 Litsea sp. 14,31
39 Macaranga gigantea 15,03
40 Macaranga hispida 18,92
41 Mangivera sp. 15,13
42 Myristica fragrans 19,59
43 Palaquium abovatum 16,57 41,18
Pimelodendron
44 ambonicum 10,58
45 Pandamus sp. 13,46
46 Pangium edule 19,13
47 Parishia philipinensis 11,32 11,84 22,68 24,46 17,66
48 Pinus merkusii 11,93
49 Polyalthia lateriflora 25,28 10,30
50 Pometia pinata 11,97
51 Pterospermum celebicum 31,83 29,91 24,59 10,58 49,41
52 Spathodea campanulata 15,43 88,86 65,77 57,76
53 Sterculia comosa 22,61 25,75

Dalam analisis struktur vegetasi tingkat Artocarpus frestessic INP 37,13%. Arah Timur laut
pohon di Gunung Tumpa, terdapat 53 spesies yang terdapat 14 spesies, dimana terendah Polyalthia
di klasifikasikan sebagai penyusun utama komuni- lateriflora (INP 10,30%) dan tertinggi Ficus sp. de-
tas (INP > 10%). Pembagian Gunung Tumpa me- ngan INP 41,32%. Arah Timur terdapat 13 spesies,
nurut mata angin, maka arah Utara terdapat 13 dengan nilai terendah Ardisia celebica (INP
spesies, dimana Baringtonia acutangula dengan 10,47%) dan tertinggi Canarium sp. (INP 28,87%).
nilai INP 10,43% (terendah) dan tertinggi
Eugenia Volume 17 No. 3 Desember 2011

Barat Laut
Barat
Barat Daya
Selatan
Tenggara
Timur
Timur Laut
Utara

0 2 4 6 8 10 12 14 16
Persentase Jumlah Spesies
Gambar 4. Jumlah Spesies Tingkat Pohon pada 8 Arah Mata Angin
(Figure 4. Tree Spesies Number at the 8 Direction)

Arah Tenggara terdapat 10 spesies, dengan INP te- dan terendah adalah Knema latericia 10,11%. Nilai
rendah 12,29% yaitu Caryota mitis dan tertinggi INP tertinggi vegetasi tingkat tiang adalah
Spathodea campanulata INP 88,86%. Arah Selatan Spathodea campanulata dengan INP yaitu 74,01%
terdapat 10 spesies, dimana Homalium foetidum dan terendah adalah Dracontomelum mangiverum
INP 12,88% (terendah) dan Spathodea yaitu 10,05%. Nilai INP tertinggi tingkat pohon ada-
campanulata INP 65,77% (tertinggi). Arah Barat lah 88,86% yaitu Spathodea campanulata dan te-
daya terdapat 11 spesies, INP terendah Knema sp. rendah Calophyllum soulattri, 10,22%.
(10,25%) dan tertinggi Spathodea campanulata
(57,76%). Arah Barat terdapat 14 spesies, DAFTAR PUSTAKA
Calophyllum soulattri INP 10,22% (terendah) dan
Lapopethalum javanicum INP 40,66% (tertinggi). Anonimus. 2002. Profil dan Rencana Tata Ruang
Arah Barat Laut terdapat 15 spesies, INP 10,69 Kota Manado 2002 – 2011. Manado.
Gymnocranthera sp. (terendah) dan 49,41% Dumbois, D,M. and H. Ellenberg. 1974. Aims and
Pterospermum celebicum (tertinggi). methods of Vegetation Ecology. John
Nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon Wiley and Sons. New York, Chichester,
di Gunung Tumpa 88,86% yaitu Spathodea Vriesbane,Toronto.
campanulata dan terendah Calophyllum soulattri Kershaw, K.A, 1973. Quantitatif and Dynamic Plant
10,22%. Arenga pinata hampir terdapat di semua Ecology. Second Edition. Edward Arnold
arah mata angin di Gunung Tumpa kecuali di arah (Publisher) Limited, London.
Utara. Palenewen,J.L., H.Walangitan dan H.Pollo. 1994.
Pengkajian dan Pengembangan Hutan
KESIMPULAN Kota di Gunung Tumpa Kotamadya
Manado. Laporan Penelitian. Kerja sama
INP tertinggi pada tingkat semai adalah Fakultas Pertanian UNSRAT Manado dan
tepu (Poaceae) yaitu 41,83% dan terendah adalah Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Utara.
Calophyllum soulattri, 10,03 %. INP tertinggi pada Manado.
tingkat sapihan adalah yaitu Calamus sp, 38,73%
View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE
provided by E-Journal Universitas Muhammadiyah Semarang

Seminar Nasional Edusainstek ISBN : 978-602-5614-35-4


FMIPA UNIMUS 2018

STRUKTUR VEGETASI HUTAN MANGROVE


DI KAMPUNG KUNEF DISTRIK SUPIORI SELATAN
KABUPATEN SUPIORI

Maklon Warpur
Jurusan Ilmu Perikanan dan Kelautan, FMIPA, Universitas Cenderawasih
email: womnis_warpur@yahoo.com

Abstrak

Ekosistem hutan mangrove merupakan suatu vegetasi yang tumbuh di


lingkungan estuaria pantai yang dapat ditemukan pada garis pantai tropika
dan subtropika yang memiliki fungsi secara ekologi, biologi, ekonomi dan
sosial budaya, namun saat ini keberadaannya telah mengalami degradasi
akibat pemanfaatan yang kurang tepat, dan/atau mengalami perubahan fungsi.
Penelitian tentang struktur vegetasi hutan mangrove di Kampung Kunef Distrik
Supiori Selatan Kabupaten Supiori dilakukan pada bulan Maret 2018 dengan
tujuan untuk mengetahui struktur vegetasi hutan mangrove di kampung Kunef.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode transek garis (line
transect). Hasil analisis data menunjukkan bahwa struktur vegetasi hutan
mangrove di Kampung Kunef terdiri atas 6 jenis dari 3 famili dengan komposisi
vegetasi antara 3.49%-19.32%, sedangkan nilai keanekaragaman jenis (H’)
termasuk kategori sedang, karena memiliki Nilai H’<3, yaitu berkisar antara
1.09-2.04.

Kata kunci: Vegetasi Hutan mangrove, Masyarakat Kunef

1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai daerah tropis mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, baik di
darat maupun di laut khususnya di wilayah pesisir. Tingginya keanekaragaman hayati
tersebut tidak lepas dari kondisi dan letak geografis perairan Indonesia (Begen 2002;
Supriharyono 2002; Dahuri et al, 2001). Salah satu unsur keanekaragaman hayati wilayah
pesisir dan laut adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove sebagai suatu kelompok
tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis dari suku yang berbeda, namun memiliki
daya adaptasi, morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang selalu dipengaruhi
oleh pasang surut air laut (Kustanti, 2011; Arief, 2007). Hutan bakau atau hutan mangrove
memiliki beberapa nilai penting, baik secara ekologis maupun ekonomis dan sial budaya
bagi masyarakat di sekitarnya,
Secara ekologis keberadaan hutan mangrove merupakan suatu ekosistem penyangga
bagi ekosistem di kawasan pesisir lainnya seperti ekosistem pantai, ekosisten padang
lamun, ekosistem terumbu karang. Selain itu berfungsi sebagai habitat bagi berbagai biota
air seperti ikan, udang, kepiting, dan organisme lainnya yaitu sebagai daerah asuhan (nursery
ground), daerah untuk bertelur (spawning ground), dan daerah untuk mencari makan
(feeding ground). Fungsi secara ekonomi adalah hutan mangrove dimanfaatkan sebagai
tempat mencari ikan, udang, kepiting, kerang, kayu bakar, bahan konstruksi rumah dan
jembatan, bahan obat-obatan tradisonal serta kegunaan lainnnya bagi masayarakat di
sekitarnya. Sedangkan fungsi secara budaya adalah sebagai tempat upacara adat. Walaupun
memiliki fungsi ganda, namun saat ini keberadaan hutan mangrove telah mengalami
degradasi akibat pemanfaatan yang kurang tepat, dan/atau mengalami perubahan fungsi.
Degradasi ekosistem hutan mangrove diakibatkan oleh berbagai faktor teutama faktor
kebutuhan ekonomi dan kegagalan kebijakan.
Provinsi Papua memiliki ekosistem hutan mangrove terluas di Indonesia yaitu
sekitar 1.326.990 ha atau 30% dari luas hutan mangrove yang terdapat di Indonesia

71
Seminar Nasional Edusainstek ISBN : 978-602-5614-35-4
FMIPA UNIMUS 2018

(Paramudji 2010 dalam Troce dkk, 2017) yang tersebar luas teruatama selatan Papua.
Kabupaten Supiori menurut BPDAS Mamberamo (2007) memiliki hutan mangrove seluas
3036 ha dengan perincian 1349 ha telah mengalami rusak berat, 1236 ha rusak, dan 431 ha
tidak mengalami kerusakan. Penurunan luas mangrove juga terjadi di Kabupaten Supriori
akibat dari aktivitas manusia, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk
yang diikuti oleh peningkatan kebutuhan hidup yang terus bertambah. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui struktur vegetasi hutan mangrove dan
pemanfaatannya pada masyarakat Kunef.

2. METODE PENELITIAN
Untuk mengetahui struktur vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan
metode transek garis (Fahrul, 2007) yang diletakkan tegak lurus dengan garis pantai.
Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan pada 3 stasion pengamatan, dan masing-
masing stasion dibuat 2 transek dengan 5 plot tiap transek. Selanjutnya dibuat petak ukuran
bertingkat masing-masing 10 m²x10 m² untuk tingkat pohon (∅ > 10 cm), 5 m² x 5 m² untuk
tingkat pancang ( 4 cm < ∅< 10 cm), dan 1m x 1m untuk tingkat semai (∅ < 4 cm).

a a
b b
c c
c b
a

Arah Laut Arah Darat


Arah Kontur
Keterangan :
Petak a : Sub-plot ukuran 10 m x 10 m, untuk pohon
Petak b : Sub-plot ukuran 5 m x 5 m, untuk pancang
Petak c : Sub-plot ukuran 1 m x 1 m, untuk semai

ANALISIS DATA
Analisis strukutur vegetasi hutan mangrove dilakukan dengan menghitung nilai
kerapatan, frekwensi, dominansi, dan indeks nilai penting dengan menggunakan formula
analisa vegetasi menurut Cox (1985); Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974 dalam
Kustanti, 2011) sebagai berikut:
Indeks Nilai Penting: dihitung berdasarkan seluruh nilai frekwensi relatif, kerapatan relatif
dan dominansi relatif yang diperoleh sebagai berikut:
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan = Luas seluruh plot pengamatan
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan relatif = x 100%
Kerapatan seluruh jenis
Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Frekwensi =
Jumlah seluruh plot
Frekwensi suatu jenis
x 100%
Frekwensi Relatif = Frekwensi seluruh jenis
Luas basal areal
Dominansi =
Luas petak contoh
Dominansi Domonansi suatu jenis

72
Seminar Nasional Edusainstek ISBN : 978-602-5614-35-4
FMIPA UNIMUS 2018

Relatif = x 100%
Dominansi seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP) = Kerapatan relatif + Frekwensi relatif + Dominansi relatif
2. Tingkat keanekaragaman jenis (H´), dihitung dengan menggunakan rumus indeks
keanekaragaman berdasarlan Shannon-Wienner (1949) dalam Fakhrul (2007)
n
H' = -∑ ni/N log ni/N
i=1
Dimana : H' = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
ni = Jumlah individu dari suatu jenis i, i= 1,2,3,...
N = Jumlah total individu seluruh jenis

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Komposisi dan Strukutr Vegetasi Hutan Mangrove
3.1 Komposisi Vegetasi Hutan mangrove
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
penyebaran hutan mengrove di Kampung Kunef relatif terbatas, mengingat kawasan pesisir
yang ada di daerah ini merupakan pulau-pulau karang dengan substrat berupa pasir
berkarang dan pasir berlumpur. Penyebaran hutan mangrove di Kampung Kunef yang relatif
terbatas secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap jumlah jenis tumbuhan mangrove
yang dijumpai pada lokasi tersebut. Berdasarkan hasil survey vegetasi yang telah dilakukan
di Kampung Kunef telah tercatat sebanyak 8 jenis tumbuhan mangrove dari 4 famili dengan
jumlah individu 1120 yang terdiri atas vegetasi tingkat pohon, pancang dan semai. Hasil
analisi komopsisi vegetasi hutan mangrove di Kunef menunjukkan bahwa jenis Rhizophora
apiculata memiliki jumlah individu terbanyak (216) dengan komposisi vegetasi 19.32%,
sedangkan Xylocarpus granatum merupakan jenis dengan jumlah individu dan komposisi
vegetasi terkecil, yaitu 39 individu dengan komposisi vegetasi 3.49% (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah Famili dan Jenis Tumbuhan mangrove di Kampung Kunef


No Famili Jenis Jumlah Komposisi
individu vegetasi
mangrove (%)
1. Rhizophoraceae 1. Rhizophora apiculata 216 19.32
2. Rhizophora stylosa 197 17.62
3. Bruguiera gymnorrhissa 183 16.37
4. Bruguiera sexangula 179 16.01
5. Bruguiera cylindrica 162 14.22
2. Soneratiaceae 6. Sonneratia alba 78 6.98
7. Sonneratia caseolaris 67 5.99
3. Meliacaee 8. Xylocarpus granatum 39 3.49
Jumlah 1121 100

1. STRUKTUR VEGETASI HUTAN MANGROVE


a. Kerapatan Jenis
Kerapatan merupakan jumlah suatu individu jenis per unit luas atau per unit volume.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa Jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa dan
Bruguiera gymnorrhissa memiliki penyebaran yang merata dan selalu hadir dalam setiap
plot pengamatan dengan jumlah indivudu yang lebih banyak dari jenis lainnya, sehingga
lebih dominan pada lokasi pengamatan baik pada tingkat pohon, pancang, maupun semai
(tabel 2). Menurut Kustanti (2011), bahwa Rhizophora merupakan salah satu jenis
tumbuhan mangrove yang dominan dalam suatu kawasan hutan mangrove karena mampu
beradabtasi dengan baik terhadap lingkungannya jika dibandingkan dengan jenis lainnya.

73
Seminar Nasional Edusainstek ISBN : 978-602-5614-35-4
FMIPA UNIMUS 2018

Tabel 2. Kerapatan Relatif, Frekwensi Relatif dan Dominansi Relatif


Tingkat Pohon, Pancang dan Semai
Jenis Tingkat Pohon Pancang Semai
KR FR DR KR FR DR KR FR
Rhizophora 17,3 21,7
apiculata 17,23 18,62 17,37 21,19 19,55 14,93 7 4
15,6 19,1
R.stylosa 14,77 17,24 15,68 20,00 18,05 13,43 8 3
Bruguera 15,2 16,5
gymnoriza 14,15 16,55 15,25 18,10 17,29 14,93 5 2
13,9 15,6
B.cylindrica 13,54 13,79 13,98 14,52 15,79 13,43 8 5
11,0
B.sexangula 12,92 11,72 11,02 12,86 9,77 11,94 2 9,57
Sonneratia alba 11,38 10,34 9,75 5,71 6,77 10,45 9,75 6,96
S.caseolaris 10,77 5,52 8,05 4,52 4,51 11,94 8,05 5,22
Xylocarpus granatum 5,23 6,21 8,90 3,10 8,27 8,96 8,90 5,22
100 100 100 100 100 100 100 100
Dari analisis Tabel 2 diketahui bahwa jenis Rhizophora apiculata, memiliki nilai
kerapatan relatif yang tinggi untuk tingkat pohon (17,23%) (21.19%) untuk tingkat pancang
dan (17,37%) untuk tingkat semai. Kemudian diikuti oleh R.stylosa dengan nilai kerapatan
relatif (14. 77%) untuk tingkat pohon, (20.00%) untuk tingkat pancang dan (15.68%) untuk
tingkat semai. Selanjutnya B. Gymnoriza dengan nilai kerapatan relatif (14.15%) untuk
tingkat pohon, (18.10%) untuk tingkat semai dan (15.25%) untuk tingkat semai. Tingginya
nilai kerapatan relatif ke 3 jenis tersebut didukung oleh faktor lingkungan berupa substrat
pasir berkarang dan pasir berlumpur dengan suplai air tawar dari sungai kecil di sekitar
lokasi pengamatan. Sedangkan jenis Xylocarpus granatum merupakan jenis dengan nilai
kerapatan relatif kerkecil baik pada tingkat pohon, pancang maupun semai, hal ini
dikarenakan substrat pada lokasi pengamatan menjadi faktor penghambat bagi penyebaran
dari jenis tersebut. Nilai kerapan vegetasi mangrove di Kunef baik pada tingkat pohon,
pancang dan semai lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai kerapatan vegetasi mangrove
di Kampung Rayori (Warpur, 2012). Berdasarkan hasil analisis struktur vegetasi yang
dikompilsikan dengan hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa vegetasi
hutan mangrove di Kunef telah mengalami gangguan terutama dari aktivitas masyrakat.
Menurut Fachrul (2007) kerapatan dapat digunakan untuk melihat besarnya gangguan
terhadap suatu habitat. jika nilai kerapatan jenis tumbuhan pada suatu habitat rendah/kecil
maka pada habitat tersebut telah mengalami kerusakan, sebaliknya jika nilai kerapatan jenis
tumbuhan tersebut besar/tinggi maka pada habitat tersebut belum mengalami kerusakan.

b. Frekuensi
Frekuensi adalah jumlah kehadiran suatu jenis dalam petak contoh penganatan. Hasil
analisis data dalam tabel 2 di atas menunjukkan bahwa Jenis Nilai frekwensi relatif (FR)
R.apiculata untuk tingkat pohon adalah 18.62%, kemudian 19.55% untuk tingkat pancang
serta 21.74% untuk tingkat semai. Selanjutnya diikuti oleh R.stylosa dengan nilai frekwnsi
relatif 17.24% untuk tingkat pohon, 18.05 untuk tingkat semai serta 19.13% untuk tingkat
semai. B.gymnoriza merupakan jenis yang memiliki nilai frekwensi terbesar ketiga, yaitu
16.55% untuk tingkat pohon, 17.29% untuk tingkat pancang, serta 16.52% untuk tingkat
semai. Secara umum nilai frekuensi tumbuhan mangrove di Kampung Kunef dikategorikan
ke dalam kategori sangat rendah berkisar antara 5.22%- 21.74%. Menurut Indriyanto (2006)
jika nilai frekwesni berkisar antara 1-20% dikategorikan ke dalam kelas A yaitu sangat
rendah, kemudian jika nilai frekwensi berkisar antara 21-40% dikategorikan ke dalam kelas
B yaitu rendah, 41%-60% kelas C yaitu sedang, 61-80 % kelas D yaitu tinggi, dan 82-100%
sangat tinggi.
Tingginya nilai frekwensi relatif dari R.apiculata, R. stylosa dan B.gymnorrhissa karena
selalu hadir dalam setiap plot pengamatan dengan jumlah indivudu yang lebih banyak dari

74
Seminar Nasional Edusainstek ISBN : 978-602-5614-35-4
FMIPA UNIMUS 2018

jenis lainnya, sehingga lebih dominan pada lokasi pengamatan baik pada tingkat pohon,
pancang, maupun semai (tabel 2). Hal ini diperkuat oleh pendapat Kustanti (2011), bahwa
Rhizophora merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang dominan dalam suatu
kawasan hutan mangrove karena mampu beradabtasi dengan baik terhadap lingkungannya
jika dibandingkan dengan jenis lainnya. Menurut Abdulhaji (2001) dalam Alik dkk(2012),
bahwa sebagian besar hutan mangrove yang ada di Indonesia didominasi oleh familia
Rhizophoracaceae.

c. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Keanekaragaman (H’)


Indeks Nilai Penting (lNP) atau Impontant Value Index yang digunakan untuk
menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam suatu komunitas vegetasi atau
menunjukkan penguasaan ruang suatu jenis pada suatu tempat. Apabila INP suatu jenis
vegetasi bernilai tinggi, maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan. Hasil analisis indeks
nilai penting (INP) menunjukkan bahwa jenis R. Apiculata memiliki INP tertinggi diantara
jenis lainnya yaitu 53.33% untuk tingkat pohon, kemudian 55.66% untuk tingkat pancang,
serta 42.30% untuk tingkat semai. Sedangkan jenis Xylocarpus granatum merupakan jenis
dengan INP terkecil yaitu 20.34 untuk tingkat pohon, 20.32 untuk tingkat pancang, dan 7.75
untuk tingkat semai. Jika hasil analisis nilai penting tersebut dikategorikan kedalam
kategorisasi INP menurut Fakhrul (2007), maka R.apiculata berada dalam kategori tinggi,
sedangkan X.granatum berada dalam kategori rendah, dimana INP > 42,66 dikategorikan
tinggi, INP 21,96 – 42,66 dikategorikan sedang, INP< 21,96 dikategorikan rendah.
Menurut Begen (2002) Stabilitas dan keberadaan ekosistem mangrove sangat
ditentukan oleh jenis penyusun ekosistem mangrove tersebut dimana peranan satu jenis
mangrove terhadap jenis lainnya dapat dilihat dari indeks nilai penting. Jika suatu jenis
menunjukkan nilai penting yang tinggi maka peranan jenis tersebut sangat besar terhadap
jenis lainnya dalam ekosistem mangrove. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Rhizophora apiculata mempunyai peranan yang cukup besar terutama dalam hal kontribusi
bahan organik terhadap ekosistem mangrove di Kampung Kunef. Indeks nilai penting jenis
mangrove pada tingkat pohon, sapihan, dan semai di kampung Kunef dapat dilihat pada tabel
4.21 di bawah ini.
Tabel 3. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Keanekaragaman (H’)
Jenis Pohon Pancang Semai
INP H’ INP H’ INP H’
Rhizophora 42,3
apiculata 53,22 0,30 55,66 0,30 0 0,32
39,1
R.stylosa 47,69 0,28 51,48 0,28 3 0,32
Bruguera 35,1
gymnoriza 45,96 0,28 50,31 0,27 1 0,31
31,7
B.cylindrica 41,31 0,27 43,75 0,21 1 0,29
23,3
B.sexangula 35,66 0,26 34,57 0,24 7 0,27
11,7
Sonneratia alba 31,48 0,25 22,93 0,27 5 0,14
S.caseolaris 24,34 0,24 20,98 0,20 8,88 0,12
Xylocarpus granatum 20,34 0,15 20,32 0,15 7,75 0,09
300 2,04 300,00 2,03 200 1,90

Indeks Keanekaragaman
Tingkat keanekaragaman jenis vegetasi dapat dilihat dari jumlah individu dalam
setiap jenis,. Menurut Barnes et al., (1998) komponen dari keanekaragaman jenis terdiri atas
penyebaran dan kekayaan jenis. Perhitungan H’ (indeks keanekaragaman jenis Shanon
Wienner) di lokasi pengamatan menghasilkan nilai yang berkisar antara 0.15-0.30 untuk

75
Seminar Nasional Edusainstek ISBN : 978-602-5614-35-4
FMIPA UNIMUS 2018

vegetasi tingkat pohon, kemudian 0.15-0.30 untuk vegetasi tingkat pancang dan 0.09- 0.32
untuk tingkat semai (Tabel 3). Jika dilihat perjenis maka nilai H’ untuk semua tingkatan
vegetasi adalah rendah karena H<1, tetapi secara keseluruhan untuk vegetasi tingkat pohon
adalah 2.04, kemudian vegetasi tingkat pancang 2.03, serta semai 1.09 dengan demikian
keanekaragaman jenis pada daerah tersebut tergolong sedang karena menurut klasifikasi
Odum (1971) dalam Warpur (2016) nilai ideks keanekaragaman antara 1 – 3 memiliki nilai
keanekaragaman sedang dan indeks keanekaragaman lebih dari tiga merupakan
keanekaragaman yang tinggi.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, dijumlai sebanyak 8 jenis tumbuhan
mangrove dari 3 familia dengan jumlah inividu 1121. Komposisi vegetasi mangrove berkisar
antara 3.49%-1932%. Nilai Keanekaragaman jenis di Kampung Kunef termasuk kategori
sedang, karena memiliki Nilai H’<3, yaitu berkisar antara 1.09-2.04.

5. REFERENSI
Alik. T.S.D, Umar M.R,. Priosambodo D. 2012. analisis vegetasi mangrove di pesisir pantai
mara’bombang - kabupaten pinrang. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin, Makassar
Arief, A. 2007. Hutan Mangrove: Fungsi dan Manfaat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Mamberamo. 2007. Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakrta.
Bambang, M. 2003. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan Ekologi Bakau. Departemen
Kelautan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Proyek Pembangunan
Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta:
Penerbit Cofish Proyect.
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan mangrove. Bogor: PT.Penerbit IPB Press.
Noor, Y.R., Khazali, M., Suryadiputra. I.N.N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. Wetlands International. Indonesia Program. Bogor.
Supriharyono, 2008. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut
Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Troce Mayor, Herny E.I. Simbala, Roni Koneri 2017 Biodiversitas Mangrove di Pulau
Mansuar Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat (The Biodiversity of
Mangrove in the Mansuar Island Raja Ampat District West Papua Province).
Program Studi Biologi, Jurusan Biologi FMIPA UNSRAT Manado. jurnal
bioslogos, vol. 7 nomor 2 agustus 2017,
Warpur M. 2016. Struktur Vegetasi Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya di Kampung
Ababiaidi Distrik Supiori Selatan Kabupaten Supiori. Jurnal Biodjati 1(1):
19-26.
Warpur M. 2012. Etnoekologi Hutan mangrove pada Masyarakat Supiori Sebagai Landasan
Penyusunan Model Kelembagaan Dalam Pengelolaan Hutan Secara
Berkelanjutan di kabupaten Supori. Disertasi. PPS.Unpad. bandung.

76
Jurnal Biologi Tropis
Original Research Paper

Struktur Vegetasi Mangrove Alami dan Rehabilitasi Pesisir Selatan Pulau


Lombok
Laily Hunawatun Sani1, Dining Aidil Candri2*, Hilman Ahyadi3, Baiq Farista4
1,2,3,4 Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mataram, Indonesia

Riwayat artikel Abstrak: Rehabilitasi mangrove merupakan salah satu upaya yang dilakukan
Received : 18 September 2019 untuk mengurangi laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia salah satunya
Revised : 27 September 2019 di kawasan Teluk Gerupuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
Accepted : 7 Oktober 2019 mangrove hasil rehabilitasi di Teluk Gerupuk dengan mebandingkan struktur
Published : 5 November 2019 vegetasi mangrove di kawasan tersebut dengan ekosistem mangrove alami.
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan April-Juni 2019 di dua kawasan
*Corresponding Author: hutan mangrove di pesisir selatan pulau Lombok yaitu hutan mangrove alami
Dining Aidil Candri desa Pemongkong dan hutan mangrove rehabilitasi Teluk Gerupuk.
Program Studi Biologi, Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode transek berpetak
Fakultas Matematika dan Ilmu dengan ukuran petak 10 x 10 m untuk tipe pohon, sub petak 5 x 5 m untuk tipe
Pengetahuan Alam, Universitas
pancang, dan petak semai berukuran 2 x 2 m. Terdapat 11 spesies mangrove
Mataram, Mataram, Indonesia
Email: aidilch@unram.ac.id
ditemukan di dalam plot penelitian dengan persebaran spesies yaitu 8 spaesies
ditemukan di hutan mangrove alami Pemongkong dan hanya 7 spesies
ditemukan di hutan mangrove rehabilitasi Gerupuk. Spesies mangrove yang
dimaksud termasuk ke dalam 4 famili yaitu Avicenniaceae (Avicennia alba, A.
marina, A. lanata), Rhizophoraceae (Ceriops decandra, C. tagal, Rhizophora
apiculata, R. mucronata, R. stylosa), Rubiaceae (Scyphiphora
hydrophyllaceae) dan Sonneratiaceae (Sonneratia alba, S. casiolaris). Struktur
vegetasi kedua ekosistem sangat berbeda terlihat pada vegetasi penyusunnya.
Hutan mangrove alami Pemongkong didominasi oleh jenis Sonneratia alba dan
Avicennia alba yang memiliki Indeks nilai penting (INP) untuk tipe pohon dan
pancang dengan nilai masing-masing 132,37 dan 141,52, sedangkan hutan
mangrove rehabilitasi didapatkan INP tertinggi pada tipe pohon dan pancang
yaitu jenis R. apiculata dan R. stylosa dengan INP berturut-turut 140,5 dan
116,41. Rehabilitasi hutan mangrove dengan metode yang selama ini dilakukan
telah mengubah struktur vegetasi hutan mangrove di Pulau Lombok yang juga
dapat mempengaruhi fauna asosiasi dan ekosistem sekitar mangrove. Oleh
karena itu, diperlukan perencanaan serta analisis terlebih dahulu terhadap
lokasi tujuan rehabilitasi mangrove agar untuk terbentuknya hutan mangrove
rehabilitasi yang lebih sesuai dengan biota asosiasi dan ekosistem sekitar yang
telah ada sebelumnya.

Kata Kunci: Struktur Komunitas, Mangrove, Alami, Rehabilitasi

Abstract: Rehabilitation of mangrove vegetation was an effort in order to


decrease the rate of mangrove ecosystem destruction. This research aimed to
determine the vegetation structure and the community status of natural and
rehabilitation mangrove forest at South Lombok seashore. This research held
on March – June 2019 at two types of mangrove ecosystem such as natural
ecosystem at pemongkong, East Lombok and rehabilitation ecosystem at
Gerupuk bay, Central Lombok. Data collection used plotted transect method
by placed a plot sized 10x 10 m alternately. There are 11 species of mangrove
found which belong to 4 families such as Avicenniaceae (Avicennia alba, A.
marina, A. lanata), Rhizophoraceae (Ceriops decandra, C. tagal, Rhizophora
apiculata, R. mucronata, R. stylosa), Rubiaceae (Scyphiphora

Publisher © 2019 The Author(s). This article is open access


UPT Mataram University Press
Candri, DN et al., Jurnal BiologiTropis, 19 (2) : 268 – 276
DOI: 10.29303/jbt.v19i2.1363

hydrophyllaceae) and Sonneratia (Sonneratia alba, S. casiolaris). Vegetation


structure in these 2 location was different based on the composition each
vegetation and it proportion. Natural mangrove forest in pemongkong
dominated by Sonneratia alba with importance value reached 132,37,
meanwhile the rehabilitation area of mangrove ecosystem Gerupuk dominated
by Rhizophora apiculata with number of importance value reached 140,5.
These differences drove the value of persent of similarity (PS) between these
ecosystem only reached 10.41% which categorized as low similarity. Mostly
of rehabilitation of mangrove ecosystem conducted cause the alteration of
vegetation structure of mangrove in Lombok coastal and affect the mangrove
associated fauna and ecosystems. In that case, it really important to analys the
condition of mangrove rehabilitation plan location to determine the mangrove
species to plant in order to formed a rehabilitiation of mangrove area which
more compatible to its associated biota and ecosystems.

Keyword: Structure, Mangrove, Natural, Rehabilitation.

Pendahuluan Rehabilitasi hutan mangrove yang hanya


memanfaatkan satu jenis pohon saja dapat mengubah
Hutan mangrove Indonesia merupakan luasan sistem zonasi alami yang telah berlangsung di ekosistem
hutan mangrove tertinggi di dunia yaitu sekitar 4,25 juta tersebut. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan
Ha (Indriyanto, 2005; Noor et al., 2012; Kordi, 2014). memonitoring struktur vegetasi mangrove di kawasan
Akan tetapi, laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia yang telah dilakukan rehabilitasi (Wijaya dan Huda,
juga sangat tinggi sehingga diperkirakan luas ekosistem 2018). Monitoring atau pemantauan kondisi ekosistem
mangrove telah berkurang 2,15 juta Ha dari total mangrove rehabilitasi merupakan salah satu upaya yang
sebelumnya (Noor et al., 2012). Kerusakan hutan diperlukan untuk memastikan keberhasilan rehabilitasi
mangrove merupakan masalah serius yang kini sedang hutan mangrove serta sebagai bahan evaluasi untuk
terjadi hampir di seluruh Indonesia, termasuk di pulau melanjutkan upaya rehabilitasi yang telah dilakukan
Lombok. Mujiono (2016) memenyatakan kawasan hutan
(Sani, 2019)
mangrove Pulau Lombok yang masih dalam kondisi baik
Keberhasilan upaya rehabilitasi yang dilakukan
hanya sekitar 1.643 ha atau sekitar 49,7% dari total 3.305
dapat dilihat dengan membandingkan antara kawasan
ha kawasan hutan mangrove Pulau Lombok. Sebagai
upaya mengurangi laju kerusakan hutan mangrove, maka mangrove hasil rehabilitasi dengan ekosistem mangrove
dilakukannlah rehabilitasi ekosistem mangrove. yang telah ada secara alami terutama pada aspek
Rehabilitasi hutan mangrove di Indonesia sejauh biologisnya (Sani, 2019). Salah satu komponen yang
ini hanya dilakukan dengan menggunakan satu jenis dapat diamati adalah struktur vegetasi dari kedua tipe
tumbuhan mangrove saja yaitu dari genus Rhizophora ekosistem mangrove tersebut. Secara alami, dua
spp. (Anwar dan Mertha, 2017; Ahyadi et al., 2018) tanpa ekosistem mangrove yang memiliki kondisi lingkungan
memperhatikan kondisi ekosistem yang di rehabilitasi dan yang mirip akan memiliki struktur vegetasi mangrove
zonasi tumbuhan mangrove yang sebelumnya ada. Secara yang tidak jauh berbeda pula (Noor et al., 2012; Alidrus,
alami, tumbuhan mangrove memiliki zonasi tertentu 2014). Oleh karena itu, sebagai pembanding dari kawasan
berdasarkan jenis tumbuhan yang cocok hidup di kondisi rehabilitasi yang diamati, haruslah ekosistem mangrove
spesifik ekosistem mangrove (Indriyanto, 2005; yang berada dalam region yang sama.
Di pulau Lombok, kawaan yang masih memiliki
Supriharyono, 2009; Noor et al., 2012; Alidrus, 2014;
kedua tipe ekosistem mangrove tersebut adalah kawasan
Kordi, 2012). Zonasi alami mangrove dari laut ke daratan
pesisir selatan. Pesisir selatan pulau Lombok merupakan
secara umum terdiri atas zona Avicennia dan Sonneratia,
kawasan yang berhadapan langsung dengan samudera
zona Rhizophora dan Bruguiera, zona Lumnitzera, dan Hindia. Hal tersebut menyebabkan rehabilitasi kawasan
zona Nypa (Bengen, 2003; Indriani, 2008; Noor et al., mangrove di kawasan ini menjadi sangat penting
2012). Zonasi tumbuhan mangrove ini sangat dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mencegah erosi
mempengaruhi peranan mangrove baik secara fisik karena gelombang dari arah samudera. Ekosistem
maupun peranan secara ekologis, terutama terhadap mangrove rehabilitasi dengan jenis Rhizophora spp. dapat
kelangsungan hidup biota asosiasi mangrove (Sani et al., ditemukan di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah,
2019). sedangkan ekosistem mangrove alami salah satunya

269
Candri, DN et al., Jurnal BiologiTropis, 19 (2) : 268 – 276
DOI: 10.29303/jbt.v19i2.1363

berada di Desa Pemongkong, Lombok Timur. Monitoring Bahan dan Metode


struktur vegetasi mangrove di kedua ekosistem tersebut
a. Pelaksanaan penelitian
diharapkan dapat memberikan gambaran akan perubahan
ekosistem mangrove yang terjadi akibat rehabilitasi yang Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juni 2019
dilakukan selama ini, sehingga diharapkan didapatkan di 2 lokasi hutan mangrove yang termasuk kawasan
cara yang lebih tepat untuk memperbaiki ekosistem pesisir selatan pulau Lombok yaitu hutan mangrove
mangrove yang rusak ke depannya. rehabilitasi Gerupuk, Lombok Tengah dan hutan
mangrove alami Pemongkong, Lombok Timur.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian.

Gambar 2. Ekosistem mangrove rehabilitasi Teluk Gambar 3. Ekosistem mangrove alami Pemongkong,
Gerupuk, Lombok Tengah Lombok Timur

270
Candri, DN et al., Jurnal BiologiTropis, 19 (2) : 268 – 276
DOI: 10.29303/jbt.v19i2.1363

b. Pengambilan data

Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan Hasil dan Pembahasan


dengan menggunakan metode transek berpetak (plot).
Garis transek ditempatkan secara sistematik dengan a. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Mangrove
menarik transek lurus ke arah pantai dan memotong
formasi mangrove. Pengambilan data ini bertujuan untuk Ekosistem mangrove rehabilitasi dengan jenis
mengetahui keanekaragaman jenis dan indeks nilai Rhizophora spp. dapat ditemukan di Teluk Gerupuk,
penting (INP) mangrove (Pradnyawati, 2018; Ahyadi et Lombok Tengah, sedangkan ekosistem mangrove alami
al, 2018).) Plot-plot pengamatan diletakkan berseling salah satunya berada di Desa Pemongkong, Lombok
pada setiap transek. Pohon dengan diameter (≥10 cm) Timur. Berdasarkan hasil inventarisasi jenis mangrove
dibuat plot dengan ukuran 10 x 10 m, pancang (tinggi > yang dilakukan di hutan mangrove Teluk Gerupuk dan
1,5 m-diameter batang <10 cm) dibuat plot dengan ukuran Desa Pemongkong ditemukan 11 spesies mangrove yang
5 x 5 m, dan semai dibuat plot dengan ukuran 2 x 2 m termasuk ke dalam 4 famili yaitu Sonneratiaceae
(Ningsih, 2008). Selanjutnya dilakukan penghitungan (Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris),
jumlah individu dan pengukuran diameter batang setinggi Avicenniaceae (Avicennia alba, Avicennia marina, dan
dada (dbh) tiap jenis tumbuhan mangrove (Anwar dan Avicennia lanata), Rhizophoraceae (Rhizophora
Mertha, 2017). apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa,
Ceriops decandra, dan Ceriops tagal) dan Rubiaceae
c. Analisis data (Scyphiphora hydrophyllacea).
Sebanyak 8 spesies mangrove ditemukan di
Penentuan data vegetasi mangrove dapat ekosistem mangrove alami Pemongkong, sedangkan di
ditentukan dengan mengetahui Indeks Nilai Penting (INP) kawasan rehabilitasi ekosistem mangrove Gerupuk hanya
suatu populasi mangrove dalam suatu komunitasINP ditemukan 7 spesies (Tabel 1). Jumlah tersebut jauh lebih
merupakan akumulasi dari nilai kerapatan relative, sedikit dibandingkan dengan jumlah spesies yang
frekuensi relatif, dan dominansi relative dari masing- ditemukan Ahyadi dan Suana (2018) di seluruh kawasan
masing spesies yang terdapat di suatu lokasi penelitian ekosistem mangrove Gerupuk yang menemukan 21
(Alidrus, 2014; Anwar dan Mertha, 2017; Dombois dan spesies mangrove. Perbedaan jumlah spesies ditemukan
Ellenberg, 1974 dalam Pradnyawati, 2018). Selain itu, ini dikarenakan luasan area penelitian yang lebih kecil dan
dilakukan penghitungan tingkat keanekaragaman jenis terbatas di kawasan mangrove rehabilitasi. Selain itu,
mangrove dengan menggunakan rumus indeks Shannon- rehabilitasi hutan mangrove di ekosistem mangrove
Wienner, sedangkan tingkat similaritas kedua stasiun Gerupuk hanya menggunakan jenis Rhizophora (Anwar
ditentukan dengan menggunakan Indeks Similaritas dan Mertha, 2017; Ahyadi dan Suana, 2018) sehingga
Sorensen (ISS) untuk menentukan persamaan kedua jenis-jenis mangrove yang tumbuh cenderung seragam
lokasi berdasarkan jenis mangrove yang ditemukan dan dan keanekaragaman jenis yang ditemukan menjadi
Persen Similaritas (PS) untuk menentukan persamaannya rendah.
berdasarkan pada proporsi masing-masing spesies di
lokasi tersebut (Smith and Smith, 2012; Molles Jr. and
Sher, 2019; Aji dan Widyastuti, 2017).

271
Candri, DN et al., Jurnal BiologiTropis, 19 (2) : 268 – 276
DOI: 10.29303/jbt.v19i2.1363

Tabel 1. Keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di ekosistem mangrove alami Pemongkong dan kawasan
rehabilitasi mangrove Gerupuk.

Lokasi Sebaran
No Famili Nama Jenis Mangrove Mangrove
Gerupuk Pemongkong
Mangrove
1. Avicenniaceae 1. Avicennia alba - √
2. Avicennia lanata √ -
3. Avicennia marina - √
2. Rhizophoraceae 4. Ceriops decandra √ √
5. Ceriops tagal √ -
6. Rhizophora apiculata √ √
7. Rhizophora mucronata √ √
8. Rhizophora stylosa √ -
3. Rubiaceae 9. Scyphiphora hydrophyllaceae - √
4. Sonneratiaceae 10. Sonneratia alba √ √
11. Sonneratia casiolaris - √
Jumlah jenis 7 8
Keterangan: (√) : ada; (-) tidak ada.

b. Struktur Komunitas Mangrove masing spesies mangrove. INP menunjukkan seberapa


penting suatu jenis tumbuhan terhadap ekosistemnya
Struktur komunitas terdiri atas jumlah spesies, (Alidrus, 2014). Spesies mangrove yang memiliki INP
kelimpahan relatif, serta jenis perbandingan spesies tinggi berarti memiliki peranan yang sangat besar
dalam suatu komunitas (Molles Jr. dan Sher, 2019). terhadap ekosistem mangrove habitatnya, begitupun
Struktur komunitas mangrove dalam penelitian ini sebaliknya jika INP suatu spesies kecil, maka
ditunjukkan dengan menggunakan indeks nilai penting keberadaanya tidak memberikan pengaruh yang terlalu
(INP). Nilai INP diperoleh dari akumulasi nilai kerapatan besar terhadap ekosistem tersebut (Sidiyasa, 2007).
relatif, dominansi relatif, dan frekuensi relatif masing-

Diagram 1. Struktur vegetasi ekosistem mangrove alami dan rehabilitasi pada tingkat pertumbuhan pohon.

INP tipe pohon


160 140.5 Gerupuk
140 132.37
Indeks nilai penting

Pemongkong
120 108.19
100
80
53.9 52.7
60 42.82
34.25
40
18.12
20 6.79 10.38
0 0 0 0 0 0 0 0
0

272
Candri, DN et al., Jurnal BiologiTropis, 19 (2) : 268 – 276
DOI: 10.29303/jbt.v19i2.1363

Diagram 2. Struktur vegetasi ekosistem mangrove alami dan rehabilitasi pada tingkat pertumbuhan pancang.

INP tipe pancang


160
141.52 Gerupuk
140
Indeks nilai penting

Pemongkong
116.41
120

100 90.89

80 71.32
56.32
60
41.59
36.37
40
17.75 17.48
20 10.31
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0

Berdasarkan hasil penelitian, vegetasi mangrove telah mengalami suksesi dan tetap bertahan secara alami
di ekosistem mangrove rehabilitasi Gerupuk dan selama tidak ada gangguan yang berarti (Molles dan
ekosistem mangrove alami Pemongkong memiliki Sher, 2019).
struktur yang jauh berbeda. Di Gerupuk, vegetasi dengan Merujuk kepada diagram 1 dan 2, terlihat bahwa
tingkat pertumbuhan pohon yang memiliki INP tertinggi struktur vegetasi di ekosistem mangrove Teluk Gerupuk
adalah jenis R. apiculata dengan INP 140.5, sedangkan juga tersusun oleh jenis Ceriops tagal meskipun kawasan
pada tipe pancang yaitu jenis R. stylosa dengan nilai tersebut adalah hasil rehabilitasi dengan jenis
penting 116.41. Tingginya INP dari genus Rhizophora Rhizophora. Keberadaan C. tagal menunjukkan bahwa
disebabkan karena kawasan ini merupakan area secara alami jenis ini dapat tumbuh dengan mudah di
rehabilitasi yang dilakukan menggunakan jenis tersebut kawasan tersebut. Hal tersebut dapat mengindikasikan
(Anwar dan Mertha, 2017). Lebih lanjut Ahyadi dan bahwa C. tagal merupakan jenis yang sangat cocok hidup
Suana (2018) menyatakan bahwa hutan mangrove dengan kondisi lingkungan di Teluk Gerupuk.
Gerupuk termasuk kawasan rehabilitasi dengan Selain indeks nilai penting, indeks
menggunakan jenis bakau (nama lokal Rhizophora). keanekaragaman merupakan parameter penting dalam
Berbeda dengan kondisi hutan mangrove suatu kajian vegetasi (Pradnyawati, 2018). Hidayatullah
Gerupuk, struktur vegetasi hutan mangrove Pemongkong dan Eko (2014) menyatakan semakin tinggi nilai indeks
didominasi oleh jenis Sonneratia alba dan Avicennia keanekaragaman maka tingkat keragaman jenis pada
alba pada tipe pohon dengan nilai penting masing- wilayah tersebut juga semakin tinggi yang kemudian
masing 132.37 dan 108.19, sedangkan INP tertinggi mendorong terjadinya kestabilan dalam suatu ekosistem
untuk tipe pancang adalah jenis A. alba dengan nilai (Molles dan Sher, 2019). Nilai indeks keanekaragaman
penting yaitu 141.52. Kealamian ekosistem ini dapat (H’) beserta kerapatan mangrove pada masing-masing
dilihat pada heterogenitas baik jenis, ukuran, atau tingkat pertumbuhan di kedua lokasi penelitian
diameter batang pohon, maupun jarak antar pohon dicantumkan dalam tabel 2.
(Ahyadi et al, 2018). Jika dilihat dari ukuran diameter
pohon (dbh) yang S. alba dan A. alba yan mencapai 50
cm, diperkirakan keberadaan hutan mangrove ini telah
berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama dan
telah mencapai komunitas klimaks, yaitu komunitas yang

273
Candri, DN et al., Jurnal BiologiTropis, 19 (2) : 268 – 276
DOI: 10.29303/jbt.v19i2.1363

Tabel 2. Indeks keanekaragaman (H’) dan kerapatan yang ditumbuhi sehingga menyebabkan kawasan yang
mangrove di ekosistem mangrove alami ditumbuhi jenis ini menjadi lebih lembek dan berlumpur
Pemongkong dan ekosistem mangrove (Ahyadi dan Suana, 2018).
rehabilitasi Gerupuk. Begitu pula dengan kondisi substrat ekosistem
mangrove Pemongkong yang didominasi oleh tanah
Mangrove lempung hingga lumpur halus dengan kedalaman
No. Stasiun
H’ K (ind/Ha) mencapai 30 cm. kondisi tersebut cocok untuk
S 1,746 1.096 pertumbuhan Sonneratia dan Avicennia yang memiliki
1. Pemongkong Pa 1,493 117,3 perakaran longitudinal. Di kawasan ini juga terdapat titik
Po 1,065 62,3 dengan kondisi substrat berpasir dan berbatu yang
S 1,084 2.025 ditumbuhi oleh Sonneratia. Menurut Noor et al (2012),
2. Gerupuk Pa 1,224 488 Sonneratia juga dapat tumbuh di kawasan yang berpasir
Po 1,720 39 hingga berbatu sehingga kondisi tersebut masih
memungkinkan Sonneratia untuk tumbuh dengan baik.
Indeks keanekaragaman (H’) di ekosistem Namun tidak halnya dengan jenis Rhizophora. Faktor
mangrove alami Pemongkong dan kawasan rehabilitasi inilah yang kemungkinan menyebabkan sedikit
ekosistem mangrove Gerupuk termasuk ke dalam ditemukannya jenis Rhizophora di ekosistem mangrove
kategori rendah – sedang sehingga kedua ekosistem alami Pemongkong.
mangrove tersebut tidak dapat dikatakan dalam keadaan
stabil berdasarkan keanekaragaman jenis mangrovenya. Tabel 3. Karakteristik fisik dan kimia lingkungan
Kerapatan mangrove pada masing-masing tipe ekosistem mangrove Pemongkong dan
pertumbuhan juga berbeda-beda. Berdasarkan tabel 2, Gerupuk.
terlihat bahwa ekosistem mangrove rehabilitasi Gerupuk
memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan No. Parameter Pemongkong Gerupuk
dengan ekosistem mangrove alami Pemongkong.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kerapatan 1. Tipe substrat pasir
tanah
yang tinggi di hutan mangrove rehabilitasi Gerupuk berlumpur –
diantaranya adalah jarak tanam pohon mangrove saat lempung –
lumpur
rehabilitasi yang terlalu dekat dengan jarak sekitar 2 m. lumpur halus
berpasir
Kerapatan pohon mangrove mempengaruhi intensitas 2. Kedalaman
cahaya yang masuk ke dasar hutan mangrove. Intensitas 10 – 35 cm 2 – 10 cm
substrat
cahaya yang masuk kemudian berpengaruh pada suhu 3. Suhu substrat 32 – 34 ℃ 30 – 34 ℃
lingkungan dan keberlangsungan hidup alga dan 4. Suhu udara 32 – 34 ℃ 29 – 32 ℃
fitoplankton di ekosistem mangrove (Poedjirahajoe, 5. Kelembaban
2017). substrat saat 60 – selalu 65 – selalu
Vegetasi dalam suatu ekosistem selalu mendapat surut tergenang tergenang
pengaruh dari lingkungan. Karakteristik fisik dan kimia maksimal
lingkungan kedua lokasi teramati tercantum dalam tabel 6. Kelembaban
3. Secara keseluruhan, kedua ekosistem ini tidak memilik 61 – 74 75 – 86
udara
perbedaan yang terlalu signifikan pada faktor lingkungan
7. pH substrat 6.05 - 6.5 6.4 - 6.5
tersebut, kecuali pada parameter jenis dan kedalaman
8. pH air 8 7–8
substrat. Perbedaan jenis dan kedalaman substrat
menyebabkan vegetasi dominan yang tumbuh pada
9. Salinitas 20 – 24 ‰ 22 – 30 ‰
berbagai tingkat pertumbuhan di kawasan tersebut
menjadi berbeda pula. Rhizophora spp. sangat cocok Indeks similiaritas Sorensen (ISS) dan
hidup di kawasan dengan substrat berlumpur hingga presentase similiaritas (PS) merupakan dua komponen
lumpur berpasir, begitu pula dengan anggota famili yang digunakan untuk mengukur tingkat persamaan
Rhizophoraceae lainnya (Noor et al, 2012; Alidrus, antara dua ekosistem yang diamati (Smith dan Smith,
2014). Oleh karena itu kondisi substrat di ekosistem 2012). Indeks similiaritas Sorensen (ISS) merupakan
mangrove rehabilitasi Gerupuk cocok ditumbuhi oleh salah satu indeks yang digunakan untuk menghitung
jenis ini. Selain itu untuk jenis Rhizophora, kemampuan similiaritas antara dua area atau plot sampel berdasarkan
adaptasi dan tingkat survival dalam terhadap kondisi komposisi spesiesnya. Adapun PS merupakan cara
lingkungan sangat tinggi sehingga jenis ini mudah hidup menghitung tingkat kesamaan antara dua area penelitian
di setiap kawasan. Sistem perakaran tunggang membuat berdasarkan proporsi kelimpahan relatif dari spesies di
jenis ini mampu mengendapkan lumpur pada substrat komunitas yang dibandingkan (Smith dan Smith, 2012).

274
Candri, DN et al., Jurnal BiologiTropis, 19 (2) : 268 – 276
DOI: 10.29303/jbt.v19i2.1363

Kesimpulan
Diagram 4.1. Indeks dan presentase Monitoring kondisi ekosistem mangrove
similiaritas Ekosistem Hutan Mangrove rehabilitasi merupakan salah satu kegiatan yang perlu
Gerupuk dan Pemongkong dilakukan dalam membandingkan struktur vegetasi
mangrove rehabilitasi dengan alami. Ekosistem
0.6
Nilai Persamaan

mangrove alami dan rehabilitasi peisisir Lombok Selatan


0.4 memiliki perbedaan pada struktur vegetasi yang
menutupi kedua tipe ekosistem tersebut. Perbedaannya
0.2 yaittu tertinggi di Pemongkong untuk tipe pohon adalah
Soneratia alba (INP 132.37), pancang dan semai
0 Avicennia alba (INP 141.52 dan 55.34), sedangkan untuk
ISS PS (%)
kawasan Gerupuk, INP tertinggi untuk tipe pohon adalah
1 Mangrove 0.549 10.41% jenis Rhizophora apiculata (INP 140.527) dan pada tipe
pancang didominasi oleh R. stylosa dan Ceriops
Keterangan; ISS: Indeks similiaritas Sorensen; PS: decandra((INP 116.41 dan 51.29).
Presentase similiaritas

ISS vegetasi mangrove di lokasi penelitian


Ucapan Terima Kasih
bernilai 0.549 dan termasuk kategori tingkat similiaritas
sedang karena hampir setengah dari total spesies yang Peneliti menyampaikan terima kasih atas
ditemukan di lokasi penelitian satu ditemukan di lokasi dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu
penelitian lainnya. Sebanyak 4 dari 11 spesies tumbuhan hingga terlaksanya penelitian ini. Ucapan terima kasih
mangrove ditemukan di kedua lokasi penelitian. Hal kepada bapak Wirya Arman dan keluarga yang telah
tersebut menjelaskan bahwa kedua lokasi penelitian memberikan berbagai bantuan dalam pelaksanaan
memiliki persamaan jika dilihat dari jenis-jenis vegetasi penelitian, dosen pembimbing penelitian, serta pihak
yang ditemukan. Universitas Mataram.
Perbedaan yang besar antara kedua lokasi terlihat
pada presentase similiaritas (PS). Presentase similiaritas Daftar Pustaka
untuk vegetasi mangrove terhitung hanya 10.407 % dan
tergolong sangat rendah. Nilai PS memiliki rentang 0 – Ahyadi, H. & I. W. Suana. (2018). Kajian Biodiversitas
100 % untuk menunjukkan similiaritas terendah ke Mangrove dan Burung di The Mandalika,
tertinggi (Smith dan Smith, 2012). Rendahnya nilai PS Indonesia Tourism Development Corporation
menunjukkan perbedaan yang besar antara kedua lokasi (ITDC), Lombok.
penelitian dalam hal proporsi dari masing-masing spesies
di dalam komunitasnya, baik untuk vegetasi mangrove Ahyadi, H., Sani. L. H., Riandinata, S. K. & S. Hadi.
maupun moluska asosiasinya. Perbedaan yang besar (2018). The Condition of Mangrove Ecosystem
tersebut disebabkan karena proporsi dari masing-masing Around Shipyard Project Site at Lembar Bay,
spesies yang ditemukan di salah satu lokasi penelitian Lombok. Dipresentasikan pada seminar 1st
sangat rendah dibandingkan dengan proporsi spesies International Conference and Workshop of
yang sama di lokasi yang lain, serta adanya perbedaan Bioscience and Biotechnology, Mataram, 27
jumlah jenis yang ditemukan di kedua lokasi penelitian. November 2018.
Jika dilihat dari fauna asosiasi mangrove yang
ditemukan di kedua lokasi penelitian, keanekaragaman Aji, L. P. & A. Widyastuti. (2017). Molluscs Diversity in
jenis fauna di ekosistem mangrove alami Pemongkong Coastal Ecosystem of South Biak, Papua.
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem Oseanologi dan Limnologi Di Indonesia, 2 (1),
rehabilitasi Gerupuk. Terdapat 34 spesies moluska pp. 25 – 37.
asosiasi seperti Cherithidea spp., Littorina spp., dan
sebagainya (Zvonareva et al., 2015; Mujiono, 2016; Al Idrus, Agil. (2014). Mangrove Gili Sulat Lombok
Yolanda, 2016) ditemukan diekosistem mangrove Timur. Arga Puji Press, Mataram.
Pemongkong, sedangkan di ekosistem mangrove
Gerupuk hanya ditemukan 17 spesies. Keanekaragaman Anwar, H. & Mertha, I. G. (2017). Komposisi Jenis
jenis biota asosiasi dapat dijadikan sebagai bioindikator Mangrove Di Teluk Gerupuk Kabupaten Lombok
kondisi lingkungan mangrove yang baik untuk biota- Tengah. Jurnal Sangkareang Mataram, 3 (2): 25-
biota mangrove. 31.

275
Candri, DN et al., Jurnal BiologiTropis, 19 (2) : 268 – 276
DOI: 10.29303/jbt.v19i2.1363

Budhiman, S., R. Dewanti, C. Kusmana & N. Smith, T. M. & R. L. Smith. (2012). Element of Ecology
Puspaningsih. (2001). Kerusakan Hutan 8th Edition. Pearson Education Inc., USA.
Mangrove Di Pulau Lombok Menggunakan Data
Landsat-TM dan Sistem Informasi Geografis Sulastini, Dian (2012). Seri Buku Informasi dan Potensi
(SIG), Warta LAPAN, 3 (4), pp. 200 – 210. Mangrove Taman Nasional Alas Purwo. Balai
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Hidayatullah, M. & Pujiono Eko (2014). Struktur dan
Komposisi Jenis Hutan Mangrove Di Golo Sulistiyowati, H. (2009). Biodiversitas Mangrove di
Sepang-Kecamatan Boleng Kabupaten Cagar Alam Pulau Sempu. Saintek, 8 : 59─61.
Manggarai Barat, Bandung. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea, 3: pp. 151-162. Supriharyono (2009). Konservasi Ekosistem Sumber
Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis,
Indriyanto (2006). Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kordi K., M. Ghufran H. (2012).Ekosistem Mangrove:
Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan, PT. Rineka Wijaya, Nirmalasari Idha & Muhammad Huda (2018).
Cipta, Jakarta Monitoring Sebaran Vegetasi Mangrove yang
Direhabilitasi Di Kawasan Ekowisata mangrove
Molles Jr., Manuel C. & A. A. Sher. (2019). Ecology: Wonorejo Surabaya. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Concepts and Applications, 8th Edition. McGraw- Kelautan Tropis, 10 (3): pp. 747-755. DOI:
Hill Education, New York. http://dx.doi.org/10.29244/jitkt.v10i3.21271.

Mujiono, N. (2016). Gastropoda Mangrove dari Pulau Yolanda, R., Asiah & B. Dharma (2016). Mudwhelks
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Oseanologi dan (Gastropoda: Potamididae) in Mangrove Forest of
Limnologi di Indonesia, 1 (3), pp.39-50. Dedap, Padang Island, Kepulauan Meranti
District, Riau Province, Indonesia. Journal of
Ningsih S.S. (2008). Inventarisasi Mangrove Sebagai Entomology and Zoology Studies, 4 (2), pp. 155 –
Bagian dari Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir 161.
Kabupaten Deli Serdang. Thesis, Universitas
Sumatera Utara. Zvonareva, S., Y. Kantor, X. Li & T. Britayev (2015).
Long-term Monitoring of Gastropoda (Mollusca)
Noor, Y. R., M. Khazali & I N. N. Suryadiputra. (2012). Fauna in Planted mangroves in Central Vietnam.
Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Zoological Studies (DOI 10.1186/s40555-015-
Wetland International, Bogor. 0120-0), pp. 1 – 16.

Poedjirahajoe, E., Marsono D. & Wadhani FK. (2017).


Penggunaan Principal Component Analyisis
dalam Distribusi Spasial Vegetasi Mangrove di
Pantai Utara Pemalang. Ilmu Kehutanan,11 : 29-
42.

Pradnyawati, Putu (2018). Struktur dan Analisis Vegetasi


Mangrove Di Teluk Ekas Kecamatan Jerowaru
Kabupaten Lombok Timur. Skripsi. Program
Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas
Mataram.

Sani, Laily Hunawatun (2019). Komposisi Moluska


Asosiasi Mangrove Alami dan Rehabilitasi Pesisir
Lombok Selatan. Skripsi. Program Studi Biologi
Fakultas MIPA Universitas Mataram.

Sidiyasa, K. (2007). Vegetasi dan Keanekaragaman


Tumbuhan di Sekitar Areal Tambang Batubara
Daeng Setuju dan Tanah Putih Pulau Sebuku
Kalimantan Selatan. Info Hutan, 4 : 111-121.

276
Biocelebes, Desember 2016, hlm. 32-42
ISSN: 1978-6417 Vol. 10 No. 2

ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN PANTAI PADA KAWASAN


WISATA PASIR JAMBAK, KOTA PADANG

Annisa Novianti Samin1), Chairul1), Erizal Mukhtar1)

1)
Laboratorium Ekologi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang, 25163, Indonesia
E-mail:annisa_1110423019@gmail.com

ABSTRACT

Research on the Analysis of Plant Vegetation on Coastal Tourism Regions Pasir


Jambak, Padang City had been done starting from May till September 2015. The goal of
this research is to find out the composition and the structure of coastal vegetation on
Tourism Regions Pasir Jambak, Padang city. This research uses a plot squared method
using belt transects and laying a plot carried out systematically sampling. The results
shown at tree level found as many as 5 families, 5 species and 36 individuals. The next
level of sapling found as many as 4 families, 4 species and 36 individuals, while at the
level of seedling was found as many as 12 families, 19 species and 712 individuals. The
highest important value at the level of the tree that Casuarina equisetifolia (214.72%)
and the lowest was Pongamia sp. (8.22%). Furthermore, on the level of sapling which
has the highest importance Cerbera manghas (156.6%) and the lowest was Glochidon
sp. (16.2%), while the highest rate of seedling Spaghneticola trilobata (105.5%), the
lowest was Ardisia littoralis, Lantana camara and Blumea chinensis with the value
(1.8%). Diversity index is low both at tree level (0.33), the level of sapling (0.46) and the
level of seedling (0.77).

Keyword : Composition, Structure, Diversity, Plant on coastal

32

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes Vol. 10 No. 2

PENDAHULUAN di sepanjang pantai Teluk Amurang,


Sulawesi Utara.
Indonesia merupakan negara
Seiring berkembangnya aktifitas
yang dikenal memiliki tingkat
pembangunan terhadap hutan pantai
biodiversity yang tinggi dengan potensi
dikawasan ini, akan berdampak kepada
kekayaan alam yang melimpah
hilangnya vegetasi tumbuhan yang
didukung oleh wilayah yang luas
semula hidup dikawasan tersebut.
dengan banyak kepulauan dan berada
Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu,
di daerah tropis. Menurut Tuheteru dan
(2001) menyatakan bahwa adanya
Mahfudz (2012) Indonesia memiliki
aktifitas kegiatan di daerah pariwisata
sekitar 17.508 pulau dengan panjang
atau rekreasi dapat menimbulkan
garis pantai sekitar 81.000 km. Di
masalah ekologis yang khusus
sepanjang pantai tersebut ditumbuhi
dibandingkan dengan kegiatan ekonomi
oleh berbagai vegetasi pantai salah
lain mengingat bahwa keindahan dan
satunya adalah vegetasi hutan pantai.
keaslian alam merupakan modal
Dimana pantai merupakan daerah
utama, bila suatu wilayah pesisir
perbatasan antara ekosistem laut dan
dibangun sebagai tempat rekreasi
ekosistem darat. Hutan pantai
masyarakat, biasanya fasilitas
merupakan bagian dari wilayah pesisir
pendukung lain juga berkembang
dan laut yang memiliki potensi
pesat.
sumberdaya alam yang produktif
Faktor pemicu kerusakan
(Waryono, 2000).
lingkungan yang terjadi baik pada
Hutan pantai ini memiliki banyak ekosistem laut, ekosistem pantai
manfaat yaitu dapat meredam maupun ekosistem lain adalah
hempasan gelombang tsunami, kebutuhan ekonomi (economic driven)
mencegah terjadinya abrasi pantai, dan kegagalan kebijakan (policy failure
melindungi ekosistem darat dari driven). Dimana sebagian penduduk
terpaan angin dan badai, pengendali yang berada di wilayah pesisir
merupakan penduduk yang sering
erosi, habitat flora dan fauna, tempat
tergolong miskin. Kemiskinan dan
berkembangbiak,pengendalipemanasa ketidakpastian hidup menyebabkan
n global, penghasil bahan baku industri kacaunya pola pemanfaatan sumber
kosmetik,biodisel dan obat-obatan serta daya alam tersebut. Pola konsumsi
sebagai penghasil bioenergi (Tuheteru yang tinggi terhadap sumber daya
dan Mahfudz, 2012). Salah satu alam akan mengakibatkan kegagalan
kebijakan pengelolaan sumber daya
manfaat tersebut telah dilakukan oleh
alam akibat kegiatan ekonomi yang
Sitanggang (2007) mengenai peranan dapat merusak lingkungan (Fauzi,
vegetasi Ipomoea pes-caprae (L.) 2005). Dengan adanya kegiatan
Sweet bahwa penyusun formasi pes- pembangunan diikuti dengan
caprae ini dapat mereduksi erosi gisik terbatasnya jalur penghijauan di
kawasan pantai akan berdampak
33

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes Vol. 10 No. 2

terhadap hilangnya vegetasi tumbuhan tegak lurus pada pinggirpantai hingga


pantai yang dapat memberikan banyak kearah daratan yang masih terdapat
manfaat salah satunya memberikan vegetasi kemudian peletakkan plot
perlindungan terhadap bahaya tsunami. dilakukan secara sistematik
Oleh karena itu penelitian tentang samplingsebanyak 20 plot. dimulai dari
analisis vegetasi tumbuhan pantai ini pinggir pantai yang terdapat vegetasi
perlu dilakukan dengan tujuan untuk diatas garispasang surut kearah darat
mengetahui komposisi dan struktur dengan meletakkan tiga jalur transek
vegetasi tumbuhan pantai yang yang paralel satu sama lain dengan
terdapat pada kawasan wisata Pasir jarakantara transek± 50 m.Pengukuran
Jambak. panjang transek ditentukan dari
tingkatyang disesuaikan dengan
METODOLOGI PENELITIAN ketebalanvegetasi yang ada.
Selanjutnya transek tersebut
Waktu dan Tempat Penelitian dibagi atas sub petak (plot) kuadrat
Penelitian ini dilaksanakan pada dengan ukuran 10x10m untuk
bulan Mei-September 2015 di kawasan pengamatan pohon dengan diameter
wisata pantai Pasir Jambak, Kelurahan batang >10 cm, 5x5m untuk sapling
Pasia Nan Tigo, Kecamatan Koto yaitu anakan dengan diameter < 10 cm
Tangah, Kota Padang, Sumatera dan tinggi > 1,5 m serta 2x2 m untuk
Barat.Identifikasi tumbuhan dilakukan di pengamatan vegetasi tingkat seedling
Herbarium Universitas Andalas (ANDA) yaitu anakan dengan tinggi tumbuhan
dan analisis data dilakukan di <1,5 m (Fachrul, 2012).
Laboratorium Ekologi, Jurusan Biologi, Kemudiandilakukan pengamatan
Universitas Andalas, Padang. pada setiap plot dengan mengamati
jenis, jumlah individu, serta habitus dari
Alat dan Bahan setiap jenis tumbuhan yang ditemukan.
Khusus untuk pohon dan sapling
Alat yang digunakan adalah
dilakukan pengukuran diameter batang
meteran atau tali, kamera digital, GPS,
untuk menghitung nilai dominansi.
karet, gunting tanaman, pancang, alat
tulis, kertas koran, spidol, plastik, label Analisa Data
gantung, kalkulator,termometer udara,
- Komposisi
sling
pysichometer,soiltermometer,soilmoistu Komposisi tumbuhan dianalisa
re meter dan pH meter tanah. Bahan berdasarkan pada jumlah famili,
yang dibutuhkan adalah alkohol 70%. spesies dan individu.
Komposisi famili dominan dianalisa
Metode Penelitian menggunnakan rumus berikut:
Metode yang digunakan yaitu
Persentase =
plot kuadrat dengan cara belt transek
sebanyak tiga jalur transek dan jarak 100
antara masing-masing transek ± 50 m. Famili
Setiap transek dibuat dengan posisi Famili Dominan pada suatu vegetasi
vertikal dimana panjang garis transek apabila memiliki persentase > 20 %
34

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes Vol. 10 No. 2

total individu, sedangkan yang Co-


Dominan > 10% dan <20 % (Johnston
dan Gillman, 1995). Keterangan:
H′ = Indeks Shannon = Indeks
- Struktur Keanekaragaman Shannon
Untuk mengetahui struktur vegetasi n.i = Nilai penting dari spesies ke i
perlu diketahui sejumlah karakteristik N = Total nilai penting semua jenis
vegetasi meliputi kerapatan,
frekuensi, dominansi dan nilai penting Menurut Mueller-Dombois dan
dari masing-masing jenis dengan Ellenberg (1974), Southwood dan
menggunakan rumus berikut : Henderson (2000) menyatakan bahwa
Jumlah individu suatu spesies
indeks keanekaragaman Shannon
Kerapatan (K) = memiliki nilai yang berkisar antara 1-3,
Luas seluruh petak contoh
dimana:
Kerapatan Relatif (KR) H’ > 3,0 = Keanekaragaman
Kerapatan suatu spesies
= 100% sangat tinggi
Kerapatan seluruh spesies
H’ > 1,5-3,0 = Keanekaragaman
Frekuensi tinggi
Jumlah petak ditempati suatu spesies
= H’ 1,0-1,5 = Keanekaragaman
Jumlah seluruh petak contoh
sedang
Frekuensi Relatif (FR) H’ < 1 = Keanekaragaman
Frekuensi suatu spesies
= rendah
Frekuensi seluruh spesies
× 100 %

Luas Basal Area


HASIL DAN PEMBAHASAN
Dominasi (D) =
Luas petak contoh Komposisi
Berdasarkan hasil penelitian
Dominasi Relatif (DR)
Dominansi suatu jenis yang telah dilakukan pada kawasan
= x 100% wisata pantai Pasir Jambak, Kota
Dominansi seluruh jenis
Padang. Pada tingkat pohon ditemukan
Indeks Nilai Penting untuk Pohon dan sebanyak 5 famili, 5 jenis dan 36
sapling = KR + FR + DR individu. Pada tingkat sapling
Indeks Nilai Penting untuk seedling ditemukan sebanyak 4 famili, 4 jenis
dan tumbuhan bawah = KR + FR
dan 36 individu. Selanjutnya pada
(Mueller-Dombois dan Ellenberg,
1974). tingkat seedling ditemukan sebanyak
12 famili, 19 jenis dan 712 individu.
Uraian komposisi famili dominan dan
- Indeks keanekaragaman jenis co-dominan secara rinci dapat dilihat
(index Shannon) pada Tabel 1, 2 dan 3.
n. i n. i Menurut Johnston and Gillman
H′ = − log
N N (1995), famili dikategorikan dominan
35

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes Vol. 10 No. 2

pada suatu vegetasi apabila memiliki (52,77%) dan famili Casuarinaceae


persentase > 20% dari total individu, (30,55%). Famili Co-Dominan pada
sedangkan yang co-dominan > 10% tingkat sapling ditemukan pada famili
dan < 20%. Pada tingkatan pohon yang Simaroubaceae (13,88%),selanjutnya
mendominasi adalah famili pada tingkatan seedling famili yang
Casuarinaceae (63,88%) dan diikuti mendominasi yaitu famili Asteraceae
oleh famili Apocynaceae (27,77%). (72,33%).
Pada tingkat sapling famili yang
mendominasi yaitu famili Apocynaceae
Tabel 1. Komposisi Famili Dominan dan Co-Dominan Tingkat Pohon pada kawasan Wisata Pasir
Jambak, Kota Padang
Jumlah Persentase
No Famili Spesies
Jenis Individu Famili
1 Casuarinaceae Casuarina equisetifolia L. 1 23 63,88**
2 Apocynaceae Cerbera manghas L. 1 10 27,77 **
3 Arecaceae Cocos nucifera L. 1 1 2,77
4 Combretaceae Terminalia cattapa L. 1 1 2,77
5 Leguminosae Pongamia sp. 1 1 2,77
Total 5 36 99,96
Ket: Dominan = **

Tabel 2. Komposisi Famili Dominan dan Co-Dominan Tingkat Sapling pada kawasan Wisata
Pasir Jambak, Kota Padang
Jumlah Persentase
No Famili Spesies
Jenis Individu Famili
1 Apocynaceae Cerbera manghas L. 1 19 52,77**
2 Casuarinaceae Casuarina equisetifolia L. 1 11 30,55 **
3 Simaroubaceae Brucea javanica (L.) Merr 1 5 13,88*
4 Euphorbiaceae Glochidion sp. 1 1 2,77
Total 4 36 99,97
Ket: Dominan = ** ; Co-dominan = *

36

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes, Vol. 10 No. 2

Berdasarkan hasil penelitian yang manghas L. pada famili Apocynaceae


telah didapatkan pada tabel (Tabel 1) sedangkan famili Co-dominan yang
diatas diketahui pada tingkat pohon, famili ditemukan adalah famili simaroubaceae
Casuarinaceae memiliki individu paling sebanyak 5 individu dari 1 spesies yaitu
banyak yaitu 23 individu dari 1 spesies Brucea javanica.
dan famili Apocynaceae memiliki 10 Menurut Tuheteru dan Mahfudz
individu dari 1 spesies. Sedangkan pada (2012), famili Casuarinaceae adalah
famili yang paling sedikit yaitu famili tumbuhan yang dapat tumbuh di wilayah
Arecaceae, Combretaceae dan pantai tropis dan sub tropis. Famili ini
Leguminosae masing-masing memiliki 1 membutuhkan banyak sinar matahari,
individu. toleran terhadap air garam dan memiliki
Pada tingkat sapling (Tabel 2), famili kemampuan beradaptasi pada tanah
Casuarinaceae memiliki sebanyak 11 kurang subur selain itu famili Apocynaceae
individu dan Famili Apocynaceae memiliki merupakan famili yang mampu
19 individu kedua famili tersebut juga beradaptasi pada tanah pasir dan terbuka
berasal dari 1 jenis spesies yang sama terhadap udara dari laut. Hal inilah yang
dengan tingkatan pohon. Adapun jenis menyebabkan famili Casuarinaceae dan
tersebut antara lain pada famili Apocynaceae tersebut mendominasi
Casuarinaceae terdapat spesies wilayah pantai.
Casuarina equisetifolia L. dan Cerbera

Tabel 3. Komposisi Famili Dominan dan Co-Dominan Tingkat Seedling dan Tumbuhan bawah pada
kawasan Wisata Pasir Jambak, Kota Padang
Jumlah Persentase
No Famili Spesies
Jenis Individu Famili
Spaghneticola trilobata
1 Asteraceae Ageratum conyzoides 3 515 72,33**
Blumea chinensis
Paspalum conjugatum
2 Poaceae Isachne globosa 3 62 8,70
Ischaemum muticum
3 Rubiaceae Borreria leavis 1 38 5,33
4 Convolvulaceae Ipomoea pes-caprae 1 27 3,79
Lantana camara
5 Verbenaceae 2 26 3,65
Clerodendron sp.
Desmodium umbellatum
6 Leguminosae Crotalaria mucronata 3 15 2,10
Cassia tora
7 Simaroubaceae Brucea javanica 1 15 2,10
8 Apocynaceae Cerbera manghas 1 8 1,12
9 Cyperaceae Cyperus sp. 1 2 0,28
10 Mimosaceae Mimosa pudica 1 2 0,28
11 Myrsinaceae Ardisia littoralis 1 1 0,14
12 Rutaceae Clausaena excavata 1 1 0,14
Total 19 712 99,96
Ket : ** = Famili Dominan ; * = Famili Co-Dominan

37

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes, Vol. 10 No. 2

Berdasarkan tabel diatas (Tabel 3) Berdasarkan hasil penelitian yang


pada tingkat seedling dan tumbuhan didapatkan sebelumnya oleh Djufri (2010)
bawah Famili Asteraceae memiliki individu bahwa famili yang mendominasi di desa
tertinggi sebanyak 515 individu dari 3 jenis dLhok Bubon Aceh adalah famili Poaceae
spesies yaitu Spaghneticola trilobata 27,70%, kemudian famili Asteraceae
sebanyak 510 individudan adapun 22,22%. Hal ini tidak berbeda jauh dengan
beberapa jenis yang ditemukan untuk hasil yang didapatkan pada kawasan
Famili Asteraceae diantaranya Ageratum pantai pasir jambak dimana tingkat
conyzoides sebanyak 4 individu dan seedling didominasi oleh Famili
Blumea chinensis sebanyak 1 individu Asteraceae karena famili ini memiliki
sedangkan untuk Famili yang memiliki individu dan spesies yang banyak
individu terbanyak diposisi kedua yaitu ditemukan karena memiliki kemampuan
Famili Poaceae, dimana beberapa jenis adaptasi yang tinggi serta reproduksi yang
diantaranya Isachne globosa, Ischaemum cepat. Dibandingkan dengan penelitian
muticum dan Paspalum conjugatum. yang telah dilakukan oleh Armos (2013)
Dominan dan Co-dominan sutau menyatakan bahwa Wedelia biflora atau
famili dapat ditentukan oleh jumlah Spaghneticola trilobata mendominasi
spesies penyusun famili dan individu yang kawasan stasiun III pada kawasan wisata
terdapat dalam famili tersebut. Famili Boe Makassar, dimana kelompok Famili
Asteraceae merupakan famili yang Asteraceae ini memiliki perkembangbiakan
memiliki persentase famili tertinggi jika yang relatif cepat.
dibandingkan dengan famili lainnya (72,33 Hal tersebut sesuai dengan
%), dengan jumlah 3 spesies dan 515 pernyataan Oosting (1956) bahwa
individu. Dominanya famili ini disebabkan organisme hidup dipengaruhi oleh
karena jumlah individu yang melimpah lingkungan, dimana lingkungan
sedangkan spesies penyusunnya sedikit. merupakan himpunan beberapa faktor
Menurut Cronguist (1981) Famili alam yang berbeda termasuk substansi air
Asteraceae atau sembung-sembungan dan tanah, kondisi (Suhu dan cahaya),
merupakan kelompok tumbuhan yang angin, organisme dan waktu. Faktor
terdiri dari 1.100 marga meliputi 20.000 lingkungan abiotik sangat menentukkan
spesies. Tumbuhan bawah atau vegetasi penyebaran, pertumbuhan populasi suatu
dasar merupakan komponen penting organisme. Tiap jenis organisme hanya
dalam ekosistem hutan yang harus dapat hidup pada kondisi abiotik tertentu
diperhitungkan perannya. Tumbuhan yang berada dalam kisaran toleransi yang
bawah adalah lapisan tumbuhan penutup sesuai dengan organisme tersebut (Suin,
tanah yang terdiri dari herba, semak, 2002).
perdu, liana dan paku. Didalam komunitas
hutan tumbuhan bawah merupakan strata Struktur
yang cukup penting dalam menunjang Nilai penting tertinggi pada tingkat
kehidupan jenis tumbuhan lain (Manan, pohon ditemukan pada spesies Casuarina
1976). equisetifolia dengan sebesar 214,72%
Nilai penting tertinggi kedua yaitu Cerbera
38

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes, Vol. 10 No. 2

manghas sebesar 59,25% terendah merupakan indeks kepentingan yang


ditemukan pada spesies Pongamia sp. menggambarkan pentingnya peranan
dengan nilai sebesar 8,22%. Uraian suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya,
apabila indeks nilai penting suatu jenis
struktur pohon pada kawasan wisata Pasir
vegetasi bernilai tinggi, maka jenis
Jambak, dapat dilihat pada Tabel 4. tersebut sangat mempengaruhi kestabilan
Nilai penting tertinggi pada tingkat ekosistem tersebut.
pohon adalah Casuarina equisetifolia Dengan demikian dapat
sebesar 214,72%. Tertinggi kedua yaitu dikemukakan bahwa secara ekologi kedua
Cerbera manghas sebesar 59,25%, spesies dengan nilai penting tertinggi di
sedangkan terendah ditemukan pada atas (Tabel 4 dan 5) dapat menguasai
spesies Pongamia sp. dengan nilai kawasan pantai tersebut dan menentukan
sebesar 8,22%. klimaks vegetasi strata pohon dimasa
Nilai penting tertinggi ditemukan yang akan datang. Jika tidak terjadi
pada spesies Cerbera manghas dengan sesuatu yang dapat merubah bentang
nilai sebesar 156,6% sedangkan untuk alam pada kawasan tersebut, maka dapat
nilai penting terendah ditemukan pada dipastikan bahwa kecenderungan klimaks
spesies Glochidion sp. sebesar 16,2%. vegetasi strata pohon adalah Casuarina
Menurut (Fachrul, 2012) menyatakan equisetifolia dan Cerbera manghas.
bahwa indeks nilai penting (INP)

Tabel 4. Struktur vegetasi tumbuhan pantai tingkat pohon pada kawasan wisata Pasir
Jambak, Kota Padang
No Spesies JI KR(%) FR(%) DR(%) INP
1 Casuarina equisetifolia L. 23 63,88 57,89 92,95 214,72
2 Cerbera manghas L. 10 27,77 26,31 5,17 59,25
3 Cocos nucifera L. 1 2,77 5,26 1,37 9,4
4 Terminalia catappa L. 1 2,77 5,26 0,3 8,33
5 Pongamia sp. 1 2,77 5,26 0,19 8,22
Total 36 99,96 99,98 99,98 299,92

Tabel 5. Struktur vegetasi tumbuhan pantai tingkat sapling pada kawasan wisata Pasir
Jambak Kota Padang.
No Spesies JI KR(%) FR(%) DR(%) INP
1 Cerbera manghas L. 19 52,7 46,6 57,3 156,6
2 Casuarina equisetifolia L. 11 30,5 26,6 30,8 87,9
3 Brucea javanica (L.) Merr 5 13,8 20 4,8 38,6
4 Glochidion sp. 1 2,7 6,6 6,9 16,2
Total 36 99,7 99,8 99,8 299,3

39

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes, Vol. 10 No. 2

Tabel 6. Struktur vegetasi tumbuhan pantai tingkat seedling dan Tumbuhan bawah pada
kawasan wisata Pasir Jambak, Kota Padang
No Spesies KR (%) FR (%) INP Habit
1 Spaghneticola trilobata DC 71,6 33,9 105,5 Semak
2 Borreria leavis (Aubl.) DC 5,3 6,7 12 Herba
3 Clerodendron sp. 3,5 8,4 11,9 Perdu
4 Ischaemum muticumL. 5,4 5 10,4 Rumput
5 Ipomoea pes-capraeRoth 3,8 5 8,8 Liana
6 Cerbera manghas L. 1,1 6,7 7,8 Anakan Pohon
7 Brucea javanica (L) Merr 2,1 5 7,1 Anakan Pohon
8 Crotalaria mucronata DESV 0,9 5 5,9 Semak
9 Paspalum conjugatum BERG 2,1 3,4 5,5 Rumput
10 Isachne globosa KUNTZE 1,1 3,4 4,5 Rumput
11 Desmodium umbellatum DC. 0,7 3,4 4,1 Semak
12 Cassia tora L. 0,4 1,7 2,1 Herba
13 Ageratum conyzoides L. 0,5 1,7 2,2 Herba
14 Mimosa pudicaL. 0,2 1,7 1,9 Perdu
15 Cyperus sp. 0,2 1,7 1,9 Rumput
16 Ardisia littoralisAndr. 0,1 1,7 1,8 Semak
17 Blumea chinensis DC 0,1 1,7 1,8 Semak
18 Clausena excavata Burn. 0,1 1,7 1,8 Semak
19 Lantana camaraL. 0,1 1,7 1,8 Semak
Total 99,3 99,5 198,8
(0,33), pada tingkatan sapling (0,46) dan
Nilai penting tertinggi pada tingkat tingkat seedling (0,77). Hal ini
seedling dan tumbuhan bawah ditemukan menunjukkan spesies yang terdapat pada
pada spesies Spaghneticola trilobata daerah ini sedikit. Keanekaragaman
dengan nilai sebesar 105,5 % sedangkan spesies pada kawasan wisata pantai Pasir
nilai penting terendah ditemukan pada tiga Jambak tergolong rendah yang memiliki
spesies yaitu Lantana camara,Clausena indeks keanekaragaman < 1 dimana
excavata, Ardisia littoralis dan Blumea indeks keanekaragaman yang rendah
chinensis dengan nilai sebesar 1,8%. menunjukkan bahwa jenis yang ditemukan
Indeks keanekaragaman tumbuhan sedikit dan hanya ditemukan jenis spesies
pantai pada kawasan wisata Pantai Pasir yang sama. Uraian indeks keanekargaman
Jambak tergolong dalam kategori rendah. dapat dilihat pada Tabel 7.
Pada tingkatan pohon didapatkan sebesar

Tabel 7. Indeks keanekaragaman vegetasi tumbuhan pantai pada kawasan wisata Pasir
Jambak Kota Padang
Tingkat Indeks Keanekargaman
No. Keterangan
Vegetasi (H’)
1. Pohon 0,33 Keanekaragaman Rendah
2. Sapling 0,46 Keanekaragaman Rendah
3. Seedling 0,77 Keanekaragaman Rendah
Menurut Indriyanto (2006) tersebut disusun oleh sedikit spesies dan
menyatakan bahwa suatu komunitas jika hanya ada sedikit saja spesies yang
dikatakan memiliki keanekaragaman dominan, sebaliknya suatu komunitas
spesies yang rendah jika komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman yang
40

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes, Vol. 10 No. 2

tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh DAFTAR PUSTAKA


banyak spesies.
Nilai indeks keanekaragaman Armos, N., H. 2013. Studi Kesesuaian
rendah menunjukkan bahwa terdapat Lahan Pantai Wisata Boe Desa
tekanan ekologi baik dari faktor biotik ( Mappakalompo Kecamatan Galesong
persaingan antar individu tumbuhan) atau Ditinjau Berdasarkan Biogeofisik.
faktor abiotik. Keanekaragaman rendah Skripsi Sarjana Ilmu
biasanya terdapat pada komunitas yang Kelautan.UniversitasHasanuddinMak
ada di daerah dengan lingkungan yang asar.
ekstrim seperti daerah kering, tanah
miskin, (Resosoedarmo, Kuswata & Cronguist, A. 1981. An Integrated System
Apriliani, 1985). of Classification of Flowering Plants.
New York: Colombian University
Press.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian Dahuri, R, J. Rais, S. P. Ginting dan M. J.
mengenai Analisis Vegetasi Tumbuhan Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber
Pantai pada Kawasan Wisata Pasir Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Jambak, Kota Padang maka dapat Secara Terpadu. PT. Pradnya
disimpulan bahwakomposisi pada tingkat Paramita. Jakarta.
pohon ditemukan sebanyak 5 famili, 5
spesies dan 36 individu. Pada tingkat Djufri, 2010. Analisis Vegetasi Pantai
sapling ditemukan sebanyak 4 famili, 4 Barat Aceh Pasca Tsunami. Jurnal.
spesie dan 36 individu. Selanjutnya pada Universitas Unsyiyah Darussalam.
tingkat seedling ditemukan sebanyak 12 Banda Aceh.
famili, 19 spesies dan 712 individu.
Tingkat pohon yang memiliki nilai Fachrul, M. F. 2012. Metode Sampling
penting tertinggi yaitu Casuarina Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
equisetifolia (214,72%), terendah pada
Pongamia sp. (8,22%) tingkat sapling Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan
Cerbera manghas (156,6%),terendah Kelautan. Gramedia Pustaka Utama.
ditemukan Glochidion sp. (16,2%) Jakarta.
selanjutnya pada tingkat seedling
Spaghneticola trilobata (105,5%). Indeks Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi
keanekaragaman tergolong rendah baik Aksara. Jakarta.
pada tingkat pohon, tingkat sapling
maupun tingkat seedling. Johnston, M dan M. Gillman. 1995. Tree
Population Studies In Low Diversity
SARAN Forest, Guyana. I. Floristic
Keanekaragaman vegetasi pantai Composition and Stand Structure.
pada kawasan Pasir Jambak ini tergolong Biodiversity and Conservation 4: 339-
rendah oleh karena itu perlu dilakukannya 362.
pelestarian dan penghjauan serta
perlindungan terhadap kawasan wisata ini Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan
agar dapat mencegah abrasi pantai dan Manajemen Daerah Aliran Sungai.
meminimalisir kerusakan akibat terpaan Fakultas Kehutanan IPB.Bogor.
angin kencang yang dapat merugikan
masyarakat sekitar kawasan tersebut.
41

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417


Samin, dkk. Biocelebes, Vol. 10 No. 2

Mueller-Dombois dan H. Ellenberg. 1974. https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoenwaryono/fil


Aims and Methods of Vegetation es/2009/12/5reklamasi-pantai.pdf. 19
Ecology. John Wiley and Sons. New Desember 2014.
York.

Oosting, H.J. 1956. The Study of Plant


Communities. W.H. Freeman
Company. San Fransisco.

Resosoedarmo. R. S., Kuswata .K.,


Apriliani S. 1985. Pengantar Ekologi.
CV. Remaja Karya. Bandung.

Sitanggang, P., E. 2007. Peranan


Vegetasi Batata Pantai (Ipomoea pes-
caprae) Dalam Mereduksi Erosi Gisik
di Sepanjang Pantai Teluk Amurang,
Sulawasi Utara. Ilmu Kelautan 12 (2):
104-110.

Southwood, T.R.E. dan Henderson P.A.


2000. Ecological Methods (3rd
Edition). Blackwell Science. Oxford.

Suin, N., M. 2002. Metoda Ekologi.


Penerbit Universitas Andalas.
Padang.

Tuheteru, F., D dan Mahfudz. 2012.


Ekologi, Manfaat & Rehabilitasi,
Hutan Pantai Indonesia. Balai
Penelitian Kehutanan Manado.
Manado.

Waryono, T. 2000. Reklamasi Pantai


Ditinjau Dari Segi Ekologi Lansekap
Dan Restorasi.Kumpulan Makalah
Periode 1987-2008, Diskusi Penataan
Ruang Wilayah Pantai dan Laut
KabupatenCilacap

42

Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, Desember 2016, ISSN: 1978-6417

Anda mungkin juga menyukai