Anda di halaman 1dari 22

I.

PENDAHULUAN

A. Judul
Analisis Vegatasi

B. Latar Belakang
Indonesia termasuk dalam vegetasi tropical forest dimana terdapat
keanekaragaman individu tumbuhan penyusun vegetasi yang tinggi dan adanya
startifikasi vertikal dengan pepohonan berkanopi membatasi sinar matahari bagi
strata dibawahnya. Pengetahuan mengenai vegatasi dapat menunjukan informasi
kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan (Kainde
dkk., 2011), sehingga informasi tersebut dapat berguna sebagai penunjang di
berbagai bidang seperti perekonomian, industri kayu, pertanian, dan perkebunan
sebagai pemantauan jenis gulma yang mengganggu (Wahyudi dkk., 2008). Untuk
mendapat data tersebut dilakukan sebuah analisis, yaitu analisis vegetasi yang
mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur)
vegetasi dari jenis tumbuh-tumbuhan (Kusmana 1997). Analisis vegetasi
diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai
penting dari penyusun komunitas hutan tersebut.
Analisis vegetasi yang dilakukan pada praktikum kali ini
menggunakan metode petak sebagi plot-plot yang akan diletakan secara acak di
daerah berkanopi dan di daerah tak berkanopi, lalu dilakukan pengamatan banyak
macam spesies dan cacah setiap spesies yang ditemukan kemudian dilakukan
perhitungan kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif. Kemudian
dilakukan perhitungan Indeks nilai penting, indeks keanekaragman Shimson,
indeks keanekaragaman Shanon, dan indeks kesamaan Sorrensen
C. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh intensitas cahaya terhadap pembentukan strata vegetasi
2. Mengetahui komposisi vegetasi pada daerah berkanopi dan daerah tak
berkanopi
3. Mengetahui spesies yang mendominansi pada daerah berkanopi dan daerah
tak berkanopi
4. Mengetahui indeks semilaritas antar vegetasi pada daerah berkanopi dan
daerah tak berkanopi
II. TINJAUAN PUSTAKA

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari


beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Secara umum vegetasi
dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu tropical forest, yang dimana terdapat
startifikasi vertical dengan pepohonan berkanopi membatasi sinar matahari bagi strata
dibawahnya. Savana terdapat vegetasi pepohonan yang memiliki kerapatan rendah
karena pertumbuhannya yang terpencar-pencar. Savana didominansi rerumputan, dan
tumbuhan tak berkayu yang berukuran kecil (forb), dessert memiliki jenis tumbuhan
yang beradaptasi dengan suhu yang tinggi dan kering, dimana terjadi evaporasi yang
tinggi seperti kaktus. Chapparal, dengan iklim sedang tetapi memiliki densitas semak
belukar yang tinggi dan dapat terjadi kebakaran secara periodik (Champbell dkk.,
2011)
Adapun temperate grassland, didominansi rerumputan, dan tumbuhan tak
berkayu yang berukuran kecil (forb), northern coniferous forest, vegatasi daerah ini
didominasi oleh pepohonan yang mengerucut ke atas, seperti pinus, spruce, dan fir,
tetapi masih ditemukan kelompok herb dan shrub (semak). Temperate broadleaf
forest, vegatasi didominasi deciduous tree yang membentuk kanopi secara kompleks
menutupi strata di bawahnya. Namun masih ditemukan strata herb, epiphytes dan
shrub (semak). Vegetasi terakhir adalah pada daerah tundra didapati daratan tanpa
pohon dengan suhu rendah, hanya ditumbuhi semak atau rerumputan (Champbell
dkk., 2011)
Analisis vegetasi yaitu mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi
secara bentuk (struktur) vegetasi dari jenis tumbuh-tumbuhan (Kusmana 1997).
Struktur vegetasi dapat didefinisikan sebgai organisasi individu-individu tumbuhan
dalam ruang yang membentuk tegakan dan secara lebih luas membentuk tipe vegatis
atau asosiasi tumbuhan (Kershaw, 1973), sedangkan unsur struktur vegetasi adalah
bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk (Kusmana 1997). Sifat
komunitas atau vegetasi tersebut akan ditentukan oleh keadaan individu-individu,
dengan demikian untuk melihat suatu komunitas sama dengan memperhatikan
individu-individu atau populasinya dari seluruh jenis tumbuhan yang ada secara
keseluruhan. Ini berarti bahwa daerah pengambilan contoh itu representatif bila
didalamnya terdapat semua atau sebagian besar dari jenis tumbuhan pembentuk
komunitas tersebut (Sagala, 1997). Oleh karena itu pada suatu daerah vegetasi
umumnya akan terdapat suatu luas tertentu, dan daerah tadi sudah memperlihatkan
kekhususan dari vegetasi secara keseluruhan.yang disebut luas minimum (Odum,
1998).
Analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk
menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan
analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi
suatu komunitas tumbuhan (Greig, 1983). Analisis vegetasi dapat dilakukan dengan
metode berpetak yang merupakan teknik sampling kuadrat, petak tunggal atau ganda,
metode jalur, metode garis berpetak. Adapun metode tanpa petak, dimana terdapat
metode berpasangan acak, titik pusat kwadran, metode titik sentuh, metode garis
sentuh, metode bitterlich (Kusmana 1997).
Kershaw (1973) mengemukakan bahwa bentuk vegetasi dibatasi oleh tiga
komponen pokok, yaitu stratifikasi yang merupakan lapisan penyusun vegetasi
(strata) yang dapat terdiri dari pohon, tiang, perdu, sapihan, semai, dan herba. Kedua
yaitu sebaran horizontal dari jenis penyusun vegetasi tersebut yang menggambarkan
kedudukan antar individu, dan terakhir yaitu banyak individu (abundance) dari jenis
penyusun vegetasi tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa penguassan suatu jenis
terhadap sepsis lain ditentukan berdasarkan nilai penting, yang merupakan
penjumlahan dari kerapatan relatif, dominansi relatif, dan frekuensi relatif.
Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal.
Semakin merata penyebaran maka nilai frekuensinya semakin besar dan sebaliknya.
Kerpatan suatu jeis merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau banyaknya suatu
jenis per satuan luas. Dominansi jenis tertentu merupakan nilai yang menunjukan
penguasaan suatu jenis terhadap jenis lain pada suatu komunitas. Indeks nilai penting
suatu jenis merupakan nilai yang menggambarkan peranan keberadaan suatu jenis
dalam komunitas. Semakin besar dan merata nilai indeks nilai penting dapat menjadi
indicator bahwa suatu ekosistem dan perkembangan ekosistem yang baik untuk
mencapa kestabilan pada tahap klimaks (Kainde dkk., 2011).
Analisis vegetasi dapat menunjukan informasi kuantitatif tentang struktur dan
komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif
komunitas vegetasi dikelompokkan vegetasi, iklim dan tanah berhubungan erat dan
pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik (Kainde dkk., 2011).
Tetapi analisis vegetasi juga bergantung pada suatu tujuan, seperti tujuan budidaya
tanaman atau perkebunan, analisi vegetasi sangat penting untuk mengetahui
kompisisi jenis gulma, danan menetapkan jenis dominannya, sehingga dapat
ditentukan jenis herbisida yang akan digunakan. Untuk mengetahui kesamaan atau
perbedaan antara dua vegetasi, hal ini bergunan untuk membandingkan apakah terjadi
perubahan komposisi vegetasi gulma sebelum dan setelah pengendalian (Wahyudi
dkk., 2008).
Menurut Federal Geographic Data Committee (2008), dalam melakukan
analisi vegetasi, sampel yang didapatkan dapat dibedakan dalam growth form secara
umum, yaitu
1. Trees, merupakan tumbuhan berkayu secara umum dan memiliki satu batang
yang dapat mencapai tinggi lebih dari 5 meter
2. Shurb, atau semak belukar yang merupakan tumbuhan berkayu menjalar yang
membentuk semak dengan ketinggian kurang dari 5 meter
3. Herbs, merupakan tumbuhan berpembuluh atau tak tak berkayu yang bertunas
di permukaan tanah
4. Nonvascular, merupakan tumbuhan yang tidak memiliki jaringan pembuluh
seperti algae atau thallophytes
5. Floating. merupakan tumbuhan yang hidup di daerah permukaan air
6. Submerged, merupakan tumuhan yang hidup di daerah akuatik yang
menempel di siatu substrat, seperti rumput laut
7. Epiphyte, tumbuhan berpembuluh dan tak berpembuluh yang hidup berakar
pada tumbuhan lain
Sedangkan Kusmana (1997), juga membuat batasan untuk berbagai tingkatan
vegetasi sebagai berikut :
1. Semai (seedling atau belta) : bentuk pertumbuhan (permudaan) muai dari
kecambah sampai anakan yang mempunyai tinggi kurang dari 1,5 m atau 0-30
cm dan 30-150 cm
2. Pancang (sapihan atau sapling/terna) : bentuk pertumbuhan berupa anakan
dengan ketinggian setinggi 1,5 m dengan diameter batang kurang dari 10 cm
atau 1,5-3 m, 3-5 m dan 5-10 m.
3. Tiang (pole) : pohon muda dengan diamater batang 10 cm-<20 cm (10-35 cm)
4. Pohon (tree) : pohon dewasa dengan diameter batang 20 cm atau lebih.
5. Tumbuhan bawah : tumbuha-tumbuhan selain bentuk pertumbuhan pohon,
seperti rerumputan, herba, semak dan sebagainya.
Menurut Setyawan dkk., (2008) data yang diperoleh dapat diolah menjadi
diagram profil vegetasi yang menunjukkan adanya ruang-ruang kosong di antara
kanopi. Area kosong ini dapat berisikan herba, bibit (seedling) pohon dan bibit
semak, namun dapat pula berupa lahan yang betul-betul kosong tanpa vegetasi. Bibit
pohon umumnya masih dapat bertahan hidup pada kondisi ternaungi oleh pohon
dewasa, karena masih adanya persediaan makanan dari hipokotil, namun anakan
pohon akan mati tanpa adanya celah kanopi, karena kalah dalam berkompetisi dengan
pohon dewasa untuk mendapatkan sinar matahari. Dalam kasus tertentu area kosong
tersebut didominasi semak yang membentuk massa sangat rapat, sehingga dapat
menghambat regenerasi bibit dan anakan pohon,
Contoh herba, yaitu Maschosma plytochium dan Acalypha sp semak A.
ilicifolius dan Derris trifoliata hampir sepenuhnya menutupi area kosong di antara
kanopi pepohonan, baik ruang-ruang kosong ini akibat pembabatan pepohonan
maupun sedimentasi dan akresi yang menyebabkan terbentuknya tanah timbul.
Kehadiran semak dalam suksesi sekunder maupun primer merupakan keniscayaan,
karena tersedianya sinar matahari yang cukup dan terbukanya lantai hutan. Semak
umumnya dapat memenangi kompetisi terhadap herba karena memiliki habitus yang
lebih kuat dan lebih tinggi. Semak juga dapat mengalahkan bibit pohon yang masih
berada dalam strata herba dalam memperebutkan ruang, namun dengan adanya sisa-
sisa pohon tua atau adanya bibit dan anakan pohon yang selamat hingga mencapai
usia dewasa, maka akan terbentuk naungan dan pada kasus tertentu (Setyawan dkk.,
2008)
III. METODE PERCOBAAN

A. Alat
1. Alat
a. Lux meter
b. Pasak
c. Meteran
d. Gunting
2. Bahan
a. Tali raffia

B. Cara Kerja
Daerah vegetasi tumbuhan bawah di daerah berkanopi dan daerah tanpa
kanopi dipilih secara acak, kemudian dibuat petak ukur dari pasak yang
ditancapkan membentuk persegi dan dihubungkan dengan tali raffia membentuk
batasan petak yang berukuran 0,5 x 0,5 meter pada masing-masing plot. Setiap
jenis tanaman yang ada di dalam petak ukur diidentifikasi dan dicatat serta
dihitung cacahnya, kemudian intensitas cahaya pada setiap plot diukur dengan
menggunakan lux meter. Selanjutnya, berdasarkan data yang diperoleh dilakukan
perhitungan indeks nilai penting setiap jenis tumbuhan yang ditemukan pada
tempat naungan dan tanpa naungan dihitung dengan rumus:
INP = KR + FR
jumlah individu suatu jenis kehadiran
KA= FA=
luastotal petak ukur total jumlah petak ukur
KA suatu jenis FA suatu jenis
KR= FA=
Total KA Total FA
Kemudian indeks kesamaan (IS) vegetasi tumbuhan di daerah naungan dan
tanpa naungan dihitung dengan menggunakan rumus:
2W
IS=
A +B
Indeks Keanekaragaman = 1-IS
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari


beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat membentuk suatu
struktu. Struktur vegetasi dapat didefinisikan sebgai organisasi individu-individu
tumbuhan dalam ruang yang membentuk tegakan dan secara lebih luas membentuk
tipe vegatis atau asosiasi tumbuhan (Kershaw, 1973). Vegetasi tersebut dapat
dianalisis dengan analisis vegetasi yang merupakan analisis untuk mempelajari
susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari jenis
tumbuh-tumbuhan (Kusmana 1997). Analisis vegetasi diperlukan data-data jenis,
diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas
hutan tersebut. Analisis vegetasi dapat menunjukan informasi kuantitatif tentang
struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan
kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan vegetasi, iklim dan tanah
berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik
(Kainde dkk., 2011).
Analisis vegetasi pada parktikum kali ini dilakukan pada vegetasi di daerah
berkanopi dan daerah tak berkanopi di sekitar kebun Fakultas Teknobiologi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan tujuan agar dapat mengetahui perbedaan
vegetasi yang terbentuk antara daerah berkanopi dan tak berkanopi yang dipengaruhi
oleh cahaya matahari. Petak yang digunakan adalah bentuk persegi dengan ukuran
0,5m x 0,5 m, tetapi bentuk tersebut memliki kelemahan, yaitu adanya penyudutan
yang akan mengganggu proses pendataan. Bentuk lingkaran akan lebih
menguntungkan jika dapat dipakai untuk analisis vegetasi kelompok tumbuhan yang
bergerombol karena ukuran dapat cepat diperluas dan teliti dengan menggunakan
seutas tali yang dikaitkan pada titik pusat lingkaran. berbentuk persegi panjang akan
lebih banyak kemungkinan memotong kelompok tumbuhan (Kusmana, 1997).
Hasil analisis vegetasi yang diperoleh pada daerah tanpa kanopi dan
berkanopi, yaitu terdapat beberapa spesies yang dikelompokkan menurut growth form
yang dapat dilihat pada lampiran. Pada daerah tanpa kanopi telah ditemukan 19
spesies yang didominansi oleh Desmodium sp. (INP= 24,83%) dari kelompok herba.
Berikut beberapa contoh spesies tumbuhan yang ditemukan pada daerah tanpa kanopi
kelompok semak Mimosa pudica, Panicum sp., dan Commelium benghalis.
Kelompok rumput, Zoysia japonica, Cyperus rotundus, Mariscus sp., Kylingga
monocephala, dan Hidrotis corymbosa. Adapun kelompok herba, yaitu Maschoma
plynochium, Sida sp., Ageratum conyzoides, dan Eclipta alba. Sedangkan pada
daerah berkanopi terdapat 11 spesies yang ditemukan dengan dimonansi oleh spesies
Panicum sp. (INP= 57,01%) dari kelompok rumput, beberapa contoh tumbuhan yang
diperoleh, yaitu pada kelompok rumput Paspalum dilatatum, dan Panicum sp,
kelompok herba, yaitu Maschosma plytochium, Acalypha sp, dan Commelium
benghalensis, kelompok seedling, yaitu Desmodium sp. dan Pilantus ninuri.
Berdasarkan pada kedua lokasi dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman pada
vegetasi daerah tanpa kanopi lebih tinggi dari pada daerah vegatasi berkanopi yang
disebabkan banyaknya spesies dari kelompok rumput dan herba yang memiliki
ketahanan terhadap intensitas matahari yang tinggi tanpa membutuhkan kanopi dan
kemampuannya yang mudahnya tumbuh dan berkembang biak, sehingga seringkali
membentuk massa yang sangat rapat dan menghambat regenerasi bibit dan anakan
pohon (Setyawan dkk., 2008).
Keseluruhan data awal yang diperoleh, diolah dan disajikan dalam beberapa
histogram dan diagram lingkarang. Berikut pengolahan data berkaitan dengan cacah
spesies pada setiap growth form adalah sebagai berikut:
Cacah Spesies pada setiap growthform
Perdu
Seedling
Naungan
Herba Tanpa naungan
Rumput
Semak

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 1. Histogram Cacah Spesies Histogram Setiap Grothform


Berdasarkan gambar 1 diketahui bahwa pada daerah tanpa naungan dan
bernaungan terdapat spesies yang dikelompokan dalam semak, rumput, dan seedling,
sedengakan kelompok perdu tidak ditemukan serta khusus pada daerah naungan,
kelompok rumput tidak ditemukan. Growth form yang mendominasi pada lokasi
tanpa naungan adalah kelompok herba, sedangkan pada dearah bernaungan
didominasi oleh seedling. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa
kemampuan tumbuh seedling akan lebih tinggi pada vegetasi yang bernaungan atau
berkanopi, terbukti dari data tersebut tidak ditemukan adanya kelompok seedling
pada daerah tanpa naungan. Hal tersebut berkaitan dengan intensitas cahaya yang
diterima. Pada daerah berkanopi memiliki intensitas cahaya matahari yang lebih kecil
dari pada daerah yang tak berkanopi, karena tertutupi oleh pohon sebagi strata teratas
(gambar 2.). Sedangkan pada daerah tanpa kanopi hanya ditemukan kelompok
rumput, semak dan herba tanpa adaya seedling karena kemampuannya yang
mudahnya tumbuh dan berkembang biak, sehingga seringkali membentuk massa yang
sangat rapat dan menghambat regenerasi bibit dan anakan pohon atau seedling
(Kainde dkk., 2011).

Intensitas Cahaya Lokasi Naungan dan Tanpa Naungan


4500
4000
3500
3000 Naungan
2500 Tanpa Naungan
2000
1500
1000
500
0
1 2 3 4 5

Gambar 2. Histogram Intensitas Cahaya Lokasi Naungan dan Tanpa Naungan


Pengolahan data berikutnya adalah perbandingan frekuansi relatif yang
menunjukan frekuensi banyak muncul setiap spesies yang dikelompokan dalam
growth form dan kerapatan relatif yang menunjukan kerapatan setiap spesies yang
dikelompokan dalam growth form pada kedua lokasi yaitu lokasi bernaungan dan
tanpa naungan. Data disajikan dalam bentuk histogram berikut:
Perbandingan Frekuensi Relatif dan Kerapatan Relatif di
Lokasi Tanpa Naungan
Perdu
0.00
Frekuensi Relatif (%)
Seedling
0.00
Kerapatan Relatif (%)
Herba 45.16 54.84
Rumput 19.35 25.81
Semak 9.85 19.35

Gambar 3. Histogram Perbandingan Frekuensi Relatif dan Kerapatan Relatif di


Lokasi Tanpa Naungan
Berdasarkan histogram pada gambar 3 dapat diketahui perbandingan frekuensi
relatif dan kerapatan relatif pada lokasi tanpa naungan. Frekuensi relatif dan
kerapatan relatif tertinggi yaitu ditunjukan pada kelompok herba, karena kesesuaian
habitat dan kemampuannya untuk hidup dengan intensitas cahaya matahari yang
tinggi (Setyawan dkk., 2008), tetapi secara umum kelompok herba, rumput dan
semak merupakan kelompok tumbuhan yang memiliki adaptasi tinggi terhadap
intensitas cahaya matahari yang tinggi. Tingginya hasil pada Herba dapat
diasumsikan bahwa lokasi tersebut memiliki kecocokan yang lebih dengan media
tanah dengan campuran pasir dengan kelembaban rendah.
Perbandingan Frekuensi Relatif dan Kerapatan Relatif di Lokasi Naungan

Perdu
0.00

Seedling 9.57 43.75


Frekuensi Relatif (%)
Kerapatan Relatif (%)
Herba 42.61 25.00

Rumput 47.83 31.25

Semak
0.00

Gambar 4. Histogram Perbandingan Frekuensi Relatif dan Kerapatan Relatif di


Lokasi Bernaungan
Berdasarkan histogram pada gambar 4 dapat diketahui perbandingan frekuensi
relatif dan kerapatan relatif pada lokasi bernaungan. Frekuensi relatif tertinggi
ditunjukan pada kelompok rumput karena penyebarannya yang luas tetapi
kerapatannya yang sedang, hasil yang lebih rendah juga ditunjukan oleh kelompok
herba, sehingga dapat disimpulkan bahwa rumput dan herba tetap dapat tumbuh di
daerah bernaungan tetapi dengan tingkat pertumbuhan lebih rendah dibandingkan
lokasi tanpa naungan dengan intensitas cahaya paling tinggi. Sedangkan kelompok
semak tidak ditemukan, sehingga dapat diasumsikan bahwa kelompok semak sulit
berkompetisi dengan starta vegetasi di atasnya. Kerapatan relatif tertinggi yaitu
ditunjukan pada kelompok seedling yang sangat cocok dengan daerah berkanopi yang
memiliki intensitas cahaya yang rendah dengan kelembaban relatif sedang (Setyawan
dkk., 2008).
Pengolahan data terakhir adalah melihat kesamaan antar kedua lokasi, yaitu
lokasi bernaungan / berkanopi dengan lokasi tanpa naungan / tak berkanopi. Data
disajikan dalam diagram lingkaran berikut:

Diagram Perbandingan IS

0.08
IS
ID

0.92

Gambar 5. Diagram Perbandingan Indeks Similaritas Antara Lokasi Bernaungan Dan


Tanpa Bernaungan
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa indeks similaritas hanya
sebesar 0,08, sedangkan indeks disemilaritas mencapai 0,92, sehingga dapat
disimpulkan bahwa vegetasi kedua lokasi hanya menunjukan kesamaan yang rendah
pada kelompok herba dan rumput, sedangkan perbedaan yang sangat tinggi terlihat
dari seedling yang tidak didapati pada daerah tak bernaungan.
V. KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukah, dapat disimpulkan bahwa:


1. Intensitas cahaya matahari mempengaruhi pembentukan strata vegetasi, dimana
pada lokasi tanpa naungan dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi hanya
ditumbuhi oleh strata bawah terutama kelompok semak, rumput dan herba,
sedangkan lokasi bernaungan dengan intensitas cahaya yang lebih rendah banyak
ditumbuhi kelompok seedling, tetapi masih dijumpai strata vegetasi dibawah
2. Komposisi vegetasi pada daerah bernaungan adalah kelompok rumput, herba dan
seedling, sedangkan pada lokasi tanpa naungan tersusun oleh kelompok rumputm
herba, dan semak
3. Dominansi pada daerah tanpa naungan, yaitu spesies Desmodium sp. dengan INP=
24,83% dari kelompok herba, sedangkan pada daerah tanpa naungan didominansi
oleh spesies Panicum sp. dengan INP= 57,01% dari kelompok rumput
4. Indeks similaritas pada daerah berkanopi dan daerah tak berkanopi, yaitu 0,08

DAFTAR PUSTAKA

Champbell, N. A., Reece, J. B., Urry, L. A., Cain, M. L., Wasserman, S.A., Minorsky,
P.V., dan Jackson, R. B. 2011. Biology Ninth Edition. Pearson Education,
San Francisco.

Federal Geographic Data Committee. 2008. National Vegetation Classification


Standard, Version 2. Management and Budget Circular A-16, Virginia.

Greig,S. P. 1983. Quantitative Plant Ecology. Blackwell Scientific Publications,


Oxford.

Kainde, R.P., Ratag, S. P., Tasirin, J. S., dan Faryanti, D. 2011. Analisis Vegetasi
Hutan Lindung Gunung Tumpa. Eugenia 17 (3).
Kershaw, K.A., 1973. Quantitatif and Dynamic Plant Ecology. Edward Arnold
Limited Publisher, London.

Kusmana, C. 1997. Metode survey vegetasi. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

Odum, P. E. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press,


Yogyakarta.

Sagala, E.H.P. 1997. Analisa Vegetasi Hutan Sibayak II pada Taman Hutan
Rakyat Bukit Barisan Sumatera Utara. Naskah Skripsi-S1. FMIPA
Universitas Sumatra Utara Medan. Medan

Setyawan, A. D., Winarno, K., Indrowurayatno, Wiryanto, dan Sisilowati, A. 2008.


Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 3. Diagram Profil Vegetasi.
Biodiversitas 9 (4): 315-321.

Wahyudi, Panggabean, T. R., dan Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao


Menajemen Agribisnis dari hulu hingga hilir. Penebar Swadaya, Jakarta.

LAMPIRAN

A. Analisi FR Dan KR Pada Vegetasi Bernaungan

Kerapatan Relatif
No Nama Spesies (%) Frekuensi Relatif (%) Nilai Penting
Growthform Rumput
1 Paspalum dilatatum 9.57 12.50 22.07
4 Panicum sp. 38.26 18.75 57.01
Kemelimpahan rumput 47.83 31.25 79.08
Growthform Herba
2 Maschosma plytochium 4.35 6.25 10.60
15* Acalypha sp 2.61 6.25 8.86
3 Commelium 35.65 12.50 48.15
benghalensis
Kemelimpahan herba 42.61 25.00 67.61
Growthform seedling
5 Desmodium sp. 2.61 12.50 15.11
6 Pilantus ninuri 0.87 6.25 7.12
7 Mirip jambu 3.48 6.25 9.73
8 Daun bulat telur 0.87 6.25 7.12
9 Mirip leunca 0.87 6.25 7.12
10 Tanaman Krisna 0.87 6.25 7.12
Kemelimpahan seedling 9.57 43.75 53.32
Growthform perdu
1 0.00%
Kemelimpahan perdu 0.00%
TOTAL KOMUNITAS 100.00 100.00 200.00

Tabel 1. Intensitas Cahaya lokasi


Naungan
Plot Intensitas Cahaya
6 3000
7 3000
8 3000
9 3000
10 3000
B. Analisi FR Dan KR Pada Vegetasi Tanpa Naungan

Frekuensi Relatif Nilai


No Nama Spesies Kerapatan Relatif (%) (%) Penting
Growthform Semak
16 Mimosa pudica 2.27 9.68 11.95
17 Panicum sp. 6.06 3.23 9.29
18 Commelium benghalis 0.76 3.23 3.98
19 Euphatorium sp. 0.76 3.23 3.98
Kemelimpahan semak 984.85% 1935.48% 29.20
Growthform Rumput
1 Zoysia japonica 3.03 3.23 6.26
2 Cyperus rotundus 6.82 3.23 10.04
3 Mariscus sp. 9.09 3.23 12.32
4 Kylingga monocephala 1.52 3.23 4.74
5 Digitaria sanguinalis 11.36 6.45 17.82
6 Hidrotis corymbosa 4.55 3.23 7.77
7 Paspapalum dilatatum 3.03 3.23 6.26
kemelimpahan rumput 25.81 65.20
Growthform
Herba
8 Maschoma plynochium 11.36 12.90 24.27
9 Desmodium sp 15.15 9.68 24.83
10 Pilantus niruri 4.55 9.68 14.22
11 Octinum sp. 3.03 3.23 6.26
12 Sida sp. 3.79 6.45 10.24
13 Ageratum conyzoides 5.30 6.45 11.75
14 Vernonia cinerea 6.82 3.23 10.04
15 Eclipta alba 0.76 3.23 3.98
Kemelimpahan herba 54.84 105.60
TOTAL KOMUNITAS 109.85 145.16 200.00

Tabel 2. Intensitas Cahaya lokasi Tanpa


Naungan
Plot Intensitas Cahaya
1 4000
2 4000
3 4000
4 4000
5 4000

C. Gambar
Gambar 6. Analisi vegetasi daerah Gambar 7. Analisi vegetasi daerah
bernaungan tanpa naungan

Anda mungkin juga menyukai