Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI REPRODUKSI HEWAN BESAR


REFERAT
“PENANGANAN PROLAPSUS UTERI PADA SAPI
PERAH”

Oleh:
YULIS INDAH ARISTYANI, S.KH
NIM. 170130100111038

PROGRAM STUDI PROFESI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini pembangunan pertanian khususnya sub sektor peternakan telah
dirasakan pentingnya dalam menunjang kehidupan masyarakat. Sub sektor
peternakan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan, memperluas lapangan
kerja, meningkatkan produktivitas dan turut serta dalam peningkatan gizi
masyarakat. Salah satu usaha budidaya peternakan yang sekarang ini banyak
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat adalah sapi perah.
Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi diantaranya retensio
sekundinarium (kondisi kegagalan pelepasan plasenta fetalis dan plasenta induk
lebih dari 12-24 jam pasca melahirkan), distokia (suatu keadaan dimana sapi
mengalami kesulitan melahirkan yang diakibatkan ukuran dan posisi fetus atau
kondisi induk sapi itu sendiri), abortus (keguguran), dan prematur. Hal ini
menyebabkan kerugian ekonomi sangat besar bagi petani yang berdampak
terhadap penurunan pendapatan peternak. Umumnya gangguan reproduksi
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya penyakit reproduksi dan buruknya
sistem pemeliharaan (Riady 2006).
Salah satu gangguan reproduksi yang sering terjadi adalah prolapsus uteri.
Prolapsus uteri terjadi ketika cornua uteri terlipat ke vagina setelah partus dan
menonjol ke vulva. Beberapa penelitian melaporkan bahwa 40% sapi bunting
setelah mengalami prolapsus uteri, jika terlambat ditangani dapat menyebabkan
kejadian septikemia yang fatal (Kumar, 2015; Burhan, 2012). Studi kasus
menyebutkan bahwa kejadian prolapsus uteri di Hokkaido, Jepang pada sapi perah
mencapai 76 ekor pada tahun 2000 yang tersebar di 42 peternakan, 10 dari 76 ekor
yang prolapsus uteri dilaporkan mengalami kematian karena terlambat dalam
penanganan (Ishii et al., 2010). Kejadian prolapsus uteri pada sapi perah berkaitan
dengan hipokalsemia, hal ini disebabkan penurunan kadar kalsium yang dapat
memicu penurunan tonus otot pada uterus dan vagina sehingga menjadi faktor
predisposisi prolapsus uteri. Berdasarkan dampak dan kejadian prolapsus uteri
pada sapi tersebut, maka diperlukan pemahaman bagi mahasiswa PPDH dalam
Penanganan Prolapsus Uteri Pada Sapi Perah.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor predisposisi prolapsus uteri pada sapi perah?
2. Bagaimana langkah-langkah penanganan prolapsus uteri pada sapi perah?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor predisposisi prolapsus uteri pada sapi perah.
2. Untuk mengetahui langkah-langkah penanganan prolapsus uteri pada sapi
perah.

1.4 Manfaat
Dalam konteks ini, diharapkan mahasiswa PPDH Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya mampu memahami dan mengetahui dalam penanganan
prolapsus uteri pada sapi perah. Sehingga ilmu yang didapatkan dapat
dimanfaatkan dan diterapkan dalam dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Reproduksi Sapi Betina


Sapi betina memiliki organ reproduksi primer dan sekunder. Organ reproduksi
primer yaitu ovarium.Ovarium menghasilkan ova (sel telur) dan hormon-hormon
kelamin betina (estrogen dan progesteron).Organ reproduksi sekunder atau saluran
reproduksi terdiri dari oviduk, uterus, serviks, vagina, dan vulva.
Ovarium menghasilkan sel telur dengan proses oogenesis yang disebut sebagai
siklus estrus memiliki rangkaian peristiwa yang pasti, baik fisiologis maupun
perilaku.Folikel-folikel pada ovarium mencapai kematangan melalui tingkatan
perkembangan yaitu folikel primer, folikel sekunder, folikel tersier (folikel yang
sedang tumbuh), dan folikel de Graaf (folikel matang). Pada ovulasi, bagian tipis
pada folikel akan pecah. Setelah ovulasi, sel yang berkembang di dalam folikel
berdiferensiasi membentuk korpus luteum, yang memiliki fungsi penting
memproduksi progesteron.Sel telur yang dilepaskan tertangkap oleh infundibulum
dan bergerak ke saluran telur, di mana pembuahan terjadi jika ada sperma,
kemudian bergerak melalui saluran telur dan masuk ke uterus. Jika dibuahi, maka
akan terjadi perkembangan embriologis di dalam uterus (Turner, 2014) Uterus
terdiri dari kornu, korpus, dan serviks, melakukan sejumlah fungsi: kontraksi
uterus mempermudah pengangkutan sperma ke tuba fallopii, uterus merupakan
tempat pembentukan plasenta dan perkembangan fetus, menghasilkan
prostaglandin yang bisa menghancurkan fungsi korpus luteum
ovarium.Permukaan dalam uterus ruminansia mengandung penonjolan-penonjolan
seperti cendawandisebut caruncula.
Uterus sapi memiliki 70-120 caruncula yang berdiameter 10 cm dan terlihat
seperti spon karena banyak lubang-lubang kecil (crypta) yang menerima villi
chorionik placental. Villi-villi chorion hanya berkembang pada daerah tertentu
pada selubung fetus (cotyledon) yang memasuki caruncula. Cotyledon dan
caruncula bersama-sama disebut placentoma (Lellan, 2009). Serviks adalah suatu
struktur berupa sphincter, terdapat dalam bentuk lereng-lereng transversal dan
saling menyilang disebut cincin-cincin annuler. Berfungsi untuk mencegah
masuknya mikroorganisme atau benda-benda asing ke lumen uterus. Pada saat

3
estrus, serviks akan terbuka sehingga memungkinkan sperma memasuki uterus
sehingga terjadi pembuahan serta menghasilkan cairan mucus yang keluar melalui
vagina (Prange, 2007).
2.2 Uterus
Uterus merupakan bagian saluran alat kelamin yang berbentuk buluh, berurat
daging licin, berfungsi untuk menerima ovum yang telah dibuahi atau embrio dini
dari tuba falopi, dan memberi makan serta perlindungan bagi fetus, selanjutnya
untuk mendorong fetus ke arah luar pada saat kelahiran Hardjopranjoto (1995).
Sedangkan Toelihere (1985), berpendapat bahwa uterus adalah suatu struktur
selubung muskuler yang diperuntukkan bagi penerimaan ovum yang telah
dibuahi, pemberian makanan dan perlindungan terhadap fetus, dan bagi fase
permulaan pengeluaran fetus pada waktu partus. Uterus merupakan organ yang
sangat khusus dibandingkan dengan organ yang lain. Sebab dapat mengadakan
adaptasi, menerima dan memelihara embrio yang akan melakukan implantasi.
Semua perubahan keadaan ini diatur oleh ovarium yang selanjutnya dibantu oleh
hormone plasenta (Wirjaatmadja, 2005).

2.2.1 Anatomi Uterus

Toelihere (1985), berpendapat bahwa letak uterus terdapat pada lantai pelvis
atau pada tepi pelvis. Pada hewan betina yang sudah beranak umumnya
menggantung melampaui tepi pelvis pada lantai caudal rongga perut. Uterus
biasanya terletak dorsal atau lateral dari kantung air seni dan dipertautkan di
sebelah dorsolateral oleh ligamentum lata atau mesometrium, selama kebuntingan
uterus sangat membesar dan tertarik ke depan dan ke bawah ke dalam rongga
perut. Letak uterus bisa di atas simfisis pelvis, di tepi kranial dari ruang pelvis di
atas os pubis, bisa pula lebih ke muka sedikit lagi yaitu dalam ruang abdomen
sebelah kaudal. Umumnya pada pluripara (induk yang telah sering kali beranak)
letak uterusnya sering kali dalam ruang abdomen bagian paling caudal, dan
terhadap kandung kencing, uterus bisa terletak di atasnya bisa pula di sebelahnya.
Jika kandung kencing penuh, uterus yang tidak bunting terletak di sampingnya.
Kalau kandung kencing ini kosong, hampir selalu kandung ini berada di bawah
uterus. Ligamentum penggantung ini sering disebut mesometrium penggantung

4
atau peritoneum, sewaktu bunting uterus ini tertarik ke depan, ke bawah dan ke
dasar ruang abdomen. Pada hewan yang tidak bunting, uterus berada 25-40 cm ke
depan dari lubang vulva, tepat di depan servix. Pada sapi muda yang tidak
bunting, hampir seluruh uterus berada di dalam ruang pelvis dengan hanya
sebagian kecil dari cornua uteri menjulur mencapai pelvis. Uterus dari sapi yang
telah beberapa kali melahirkan dapat terletak seluruhnya di rongga perut
(Salisbury dkk, 1985). Uterus sapi berbentuk dua tanduk, setiap tanduk
melengkung ke arah sisi dan ke bawah di bagian ujung depan dan bersambung
dengan ujung yang sempit dari tuba falopi. Ujung posterior cornua uteri
bersambung dengan corpus uteri. Hardjopranjoto (1995), mengatakan bahwa
bentuk uterus pada berbagai spesies hewan berbeda-beda menurut derajat
persenyawaan dari saluran muller pada periode embrional.

Dinding uterus sapi memiliki tebal 9-12 mm pada pangkal tanduk uterus.
Mulai dari titik ini sampai ujung cornua yang kecil dindingnya tipis, dan pada
tempat sambungan dengan tuba falopi tebalnya hany kira-kira 2 mm. Pada sapi
panjang corpus uteri kira-kira 2,5 sampai 4 cm.Tergantung pada umur dan bangsa
sapi panjang cornua uteri mencapai 20 sampai 40 cm dengan diameter 1,25
samapai 5 cm pada keadaan tidak bunting. Dinding uterus terdiri dari tiga lapis
urat daging licin – dua lapis urat daging membujur dan satu lapis urat daging
melingkar di tengah-tengah dan selaput lender (Wirjaatmadja, 2003) Serabut-
serabut urat daging berkesinambungan dari urat daging servix dan ligament
uterus. Mucosa uterus juga berkesinambungan dengan mucosa servix. Mukosa
uterus memiliki kelenjar-kelenjar uterus dan banyak sekali karunkula, yang
memiliki liang-liang bercabang tempat penjuluran selaput fetus masuk selama
masa kebuntingan. Partodihardjo (1982), membagi dinding uterus terdiri 3 lapis,
dari luar ke dalam yaitu :

a. Lapis pertama : membrane serosa yang merupakan lapis pertama dari luar
atau merupakan dinding paling luar.
b. Lapis kedua : “myometrium”, lapis urat daging licin yang terdiri dari luar ke
dalam yaitu serabut-serabut urat daging licin berjalan longitudinal, lapis

5
tengah yang mengandung urat syaraf dan pembuluh darah, dan lapis serabut
urat daging licin yang berjalan circulair.

c. Lapis ketiga : endometrium, yaitu lapis yang merupakan dinding lumen


uterus dan terdiri atas : epitel, lapisan kelenjarkelenjar uterus dan tenunan.

2.2.2 Fungsi Uterus

Uterus merupakan jalan yang dilewati oleh spermatozoa menuju ke tempat


fertilisasi di dalam tuba falopi, menerima dan memelihara ovum yang telah
dibuahi. Uterus pada umumnya mempunyai fungsi penting dalam proses
reproduksi, dimana dia berfungsi meneruskan sel mani yang telah masuk ke dalam
uterus ke tuba falopi (Hardjopranjoto, 1995). Sedangkan menurut Partodihardjo
(1987), fungsi uterus pada umumnya mempunyai fungsi penting dalam proses
reproduksi, dimana dari hewan betina birahi sampai bunting dan melahirkan,
uterus mengalami berbagai perubahan. Perubahanperubahan tersebut erat
hubungannya dengan perubahan-perubahan yang telah terjadi pada embrio dan
ovarium, antara lain :

a. Pada Waktu Estrus Pada waktu estrus kelenjar-kelenjar endometrium


menghasilkan cairan uterus. Volume cairan yang dihasilkan sangat sedikit, hanya
cukup untuk membasahi lumen uterus. Cairan ini sangat diperlukan bagi
spermatozoa yang masuk ke dalam uterus untuk mendewasakan dirinya hingga
kemampuan membuahi telur bertambah. Peristiwa ini disebut “kapasitasi”. Pada
waktu kopulasi uterus berkontraksi, kontraksi ini masih berjalan terus meskipun
kopulasi telah selesai. Kontraksi ini ternyata sangat diperlukan bagi pengangkutan
spermatozoa dari uterus ke tuba falopi. Tanpa adanya kontraksi uterus,
diperkirakan spermatozoa tidak mungkin mencapai tuba falopi, karena ruang
uterus sangat luas dibanding dengan ukuran spermatozoa.

b. Pada waktu metestrus dan awal diestrus Setelah ovulasi, secara perlahan-lahan
korpus luteum terbentuk. Sejak korpus luteum terbentuk, hormone progesterone
pun dihasilkan, hormone ini mempengaruhi uterus menjadi tenang. Kelenjar-
kelenjar endometrium yang pada waktu estrus hanya berbentuk lumen pendek,
kini mulai tumbuh memanjang, sementara itu cairan yang dihasilkan sangat

6
sedikit. Jika telur yang dibuahi masuk ke dalam uterus, maka cairan merupakan
makanan yang cocok bagi pertumbuhan embrio muda. Peristiwa konseptus
berjalan terus hingga konseptus tersebut menemukan tempat yang cocok untuk
melekatkan pada endometrium. Peristiwa melekatnya konseptus pada
endometrium tersebut disebut implantasi atau nidasi. Selanjutnya jika konseptus
selamat dan tumbuh menjadi embrio, maka hewan menjadi bunting. Uterus
mengalami perubahan besar secara perlahan-lahan.

c. Pada Waktu kebuntingan Jika hewan bunting uterus membesar secara pelan-
pelan sesuai dengan pertumbuhan embrio. Pembesaran ini cukup menakjubkan
karena dalam tubuh mengalami pembesaran seperti uterus. Pada sapi tidak
bunting, ukuran dalam uterus hanya satu sampai satu setengah jari, tetapi pada
waktu bunting ukuran tersebut menjadi satu sampai satu lengan panjangnya.

d. Pada Waktu Melahirkan Selama kebuntingan berjalan, embrio tumbuh terus


dan uterus mengimbangi pertumbuhan embrio. Pada waktu kelahiran serabut-
serabut urat daging licin yang terdapat dalam dinding uterus, mulai berkontraksi
hal ini disebabkan oleh adanya rangsangan hormone hipofisa posterior. Karena
sedemikian kuatnya kontraksi tersebut sehingga sapi dapat mengangkat fetus
seberat 50kg dari dasar abdomen ke atas sampai melampaui simfisis pelvis, dan
keluar badan.

e. Pada Waktu Selesai Partus (Post Partus) Setelah melahirkan, uterus mengalami
perubahan pengecilan hingga mencapai dimensi tidak bunting. Proses ini disebut
involusio uteri. Involusi pada sapi memakan waktu cukup lama yaitu 60 hari,
sedang pada babi hanya 30 hari.

2.3 Prolapsus Uteri

Hardjopranjoto (1995), berpendapat bahwa yang dimaksud dengan


prolapsus uteri yaitu, suatu keadaan dinding uterus membalik keluar dari vulva
dengan mukosa terbalik berada di bagian luar dari dinding uterus, sedangkan
serosanya berada di dalam. Kasus ini terjadi setelah kelahiran yang tidak normal
dan tergolong jarang terjadi. Menurut Toelihere (1985), prolapsus uteri yaitu
dimana seluruh uterus membalik dan menggantung keluar dari vulva. Sedangkan

7
menurut Partodihardjo (1987) menyatakan bahwa yang disebut dengan prolapsus
uteri yaitu suatu penyembulan mukosa uterus keluar dari bahan vagina,
penyembulan ini ada yang total dan ada pula yang sebagian saja.

Penyebab prolapsus uteri adalah atoni uteri pasca melahirkan disertai


kontraksi dinding perut yang kuat, mendorong dinding uterus membalik keluar,
sedang servik dalam keadaan terbuka lebar atau ligamentum lata uteri kendor,
serta posisi tubuh belakang lebih rendah dibandingkan dengan bagian tubuh
depan, sehingga memudahkan terjadinya prolapsus uteri. Demikian pula kontraksi
uterus yang kuat disertai tekanan dinding perut yang berlebihan pada waktu
melahirkan, dapat menyebabkan keluarnya fetus bersama-sama selaput fetus dan
dinding uterusnya (Hardjopranjoto, 1995). Di samping di atas, faktor lain
penyebab prolapsus uteri adalah retensio sekundinarum, karena berat sekundinae
yang menggantung di luar tubuh sehingga dapat menyebabkan dinding uterus ikut
tertarik keluar dan membalik di luar tubuh, apalagi pada saat itu ada tekanan
dinding perut yang cukup kuat. Selain itu faktor lainnya adalah induk hewan yang
kurang bergerak, selalu dalam kandang. Kelemahan alat penggantung uterus yaitu
ligamentum lata, karena terlalu sering melahirkan juga merupakan faktor
predisposisi terjadinya prolapsus uteri.

8
BAB III
PEMBAHASAN

Prolapsus uteri yaitu suatu keadaan dinding uterus membalik keluar dari
vulva dengan mukosa terbalik berada di bagian luar dari dinding uterus,
sedangkan serosanya berada di dalam. Kasus ini terjadi setelah kelahiran yang
tidak normal dan tergolong jarang terjadi. Menurut Toelihere (1985), prolapsus
uteri yaitu dimana seluruh uterus membalik dan menggantung keluar dari vulva.
Sedangkan menurut Partodihardjo (1987) menyatakan bahwa yang disebut dengan
prolapsus uteri yaitu suatu penyembulan mukosa uterus keluar dari bahan vagina,
penyembulan ini ada yang total dan ada pula yang sebagian saja.

Prolaps uteri dan vagina terjadi terutama pada sapi bunting, namun
kondisi ini juga terlihat pada kondisi tidak bunting. Hal ini dianggap sebagai
kondisi darurat dan harus ditangani sebelum edema yang berlebihan, trauma
mukosa, kontaminasi dan perdarahan fatal mengarah ke prognosis kematian .
Perubahan hormonal yang terjadi selama trimester terakhir kehamilan, terutama
peningkatan estrogen, menyebabkan relaksasi ligamen panggul dan struktur
jaringan lunak sekitarnya. Kombinasi relaksasi jaringan ini dengan peningkatan
tekanan intra-abdomen yang disebabkan oleh uterus yang bunting dianggap
sebagai faktor predisposisi pertama dan utama untuk prolaps . Kandungan
estrogen yang tinggi hadir dalam pakan seperti jagung yang mengakibatkan
tingginya tingkat insiden prolaps cervico-vaginal. Faktor-faktor mekanis seperti
meningkatnya tekanan intraabdominal pada gestasi terlambat dan gravitasi yang
bekerja melalui lantai miring saat hewan ditambatkan dianggap signifikan dalam
menyebabkan kondisi ini. Berbagai faktor diet seperti hipokalsemia dan
merumput di padang rumput juga telah dikaitkan dengan gangguan tersebut.
Selain itu, diasumsikan bahwa terjadinya prolaps memiliki hubungan dengan
genetik pada sapi (Umesh et al, 2016).

Faktor Predisposisi Prolapsus Uteri Pada Sapi Perah


Prolapsus uteri dilaporkan terjadi pada semua spesies hewan, meskipun
umumnya ditemukan di sapi perah berkaitan dengan post partus. Angka kejadian
prolapsus uteri post partus yaitu 6,6 – 12,9 %. Beberapa saat setelah prolaps,

9
jaringan yang muncul pada umumnya normal, namun setelah beberapa jam
jaringan tersebut membesar dan edema. Beberapa hewan biasanya menunjukkan
shock hipovolemik, secondary to internal blood loss, dan laserasi pada organ
yang prolaps. Dampak sekunder terjadinya prolaps uteri yaitu hemoragi, shock,
septic metritis, peritonitis, infertilitas bahkan kematian. Dilaporkan angka
kematian akibat prolapsus uteri yaitu 9,09% dan 18,18% menunjukkan gejala
metritis (Paul et al, 2017).
Faktor predisposisi dari prolapsus uteri salah satunya adalah kadar serum
kalsium. Rendahnya kadar serum kalsium pada sapi perah menunjukkan
terjadinya hipokalsemia. Penurunan kadar kalsium yang tersebut dapat memicu
penurunan tonus otot pada uterus dan vagina sehingga menjadi faktor predisposisi
prolapsus uteri. Nilai normal serum kalsium yaitu 9.7-12.4 mg/dl, serum
magnesium 1.8-2.3 mg/ dl dan serum phospor 5.6-6.5 mg/dl, defisiensi dari ketiga
parameter tersebut dapat menjadi faktor predisposisi saluran genital pada sapi
perah (Paul et al, 2017).
Kebutuhan kalsium pada sapi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
umur, bobot badan serta tahapan produksi. Menurut Suttle (2010), kebutuhan
kalsium sapi perah pada periode laktasi minimal adalah 1,23 g/kg susu dan 13,7 g/
kg berat badan fetus. Puncak kebutuhan kalsium terjadi pada minggu minggu
akhir sebelum kelahiran karena terjadi proses kalsifikasi tulang fetus. Defisiensi
serum kalsium atau hipokalsemia pada saat melahirkan sampai beberapa hari
setelah melahirkan merupakan kasus yang sering terjadi, terutama pada sapi
perah. Defisiensi tersebut akan mengakibatkan perubahan rasio Ca : P sehingga
mempengaruhi fungsi ovarium melalui aksi blok pada kelenjar pituitari. Hal
tersebut mengakibatkan waktu estrus dan ovulasi menjadi lebih lama, involusi
uterus tertunda, meningkatnya prolaps uteri, kejadian distokia dan retensi
plasenta. Hipokalsemia dapat mengakibatkan kegagalan induk mengeluarkan
plasenta karena kelemahan otot atau hilangnya kontraksi uterus. Lebih lanjut,
rendahnya konsentrasi Ca dalam darah juga berkaitan dengan kejadian anestrus.
Rendahnya sekresi prostaglandin F2α, oksitosin dan konsentrasi Ca serum yang
berperan mengatur kontraksi uterus akan mengakibatkan prolapsus uteri
(Yanuartono dkk, 2016).

10
Gambar 3.1 Prolapsus uteri pada sapi perah (Paul et al, 2017).

Langkah-langkah Penanganan Prolapsus Uteri


a. Anestesi dan Reposisi
Anestesi epidural sapi diberikan dengan dosis 10 ml larutan lidokain 2%
disuntikkan ke ruang epidural. Anestesi epidural digunakan untuk memblokir
saraf coccygeal dan sacral sehingga menurunkan kepekaan ekor, anus, perineum,
vulva dan vagina (Ramsingh et al, 2013). Pada awalnya daerah yang dikelilingi
dicuci dengan air bersih. Kemudian uterus yang keluar dicuci dengan air bersih
dan larutan kalium permanganat. Larutan gula dibasuh di permukaan uterus untuk
mengurangi volume prolaps uteri. Uterus dicuci dengan larutan garam. Uterus
didorong melalui vagina oleh tekanan manual untuk menempatkannya pada posisi
normal. Penutupan sementara dilakukan dengan jahitan pada vulva. Antibiotik
yang diberikan berupa (Procaine Penicillin @ 200000 IU / kg berat badan, I / M
rute), saline DNS - solusi 5%, rute I / V, antihistamin (Promethazine
hydrochloride @ 1 mg / kg berat badan, I / M. Sebelum dilakukan anestesi
epidural uterus dilakukan. Reposisi uterus dilakukan sedikit demi sedikit, dimulai
dari bibir vulva bagian atas dan bawah. Uterus yang prolaps didorong ke vagina
dengan tekanan manual. Procaine pencillin diberikan untuk mencegah infeksi
bakteri sekunder. Dengan tekanan, kotiledon terdekat didorong ke dalam vagina.
Pada hewan telentang, kebutuhan mendesak adalah untuk menutupi massa prolaps
dengan kain bersih dan basah untuk menjaga massa lembab dan bebas dari
kontaminasi. Pada hewan dengan kondisi posisi berdiri, massa yang keluar tidak
perlu dibungkus namun vulva tetap ditahan kearah atas. Penanganan organ

11
prolaps selalu mengarah ke tenesmus dan oleh karena itu anestesi epidural ringan
adalah wajib (Ramsingh et al, 2013).
b. Manajemen Klinis
Di bawah anestesi epidural caudal menggunakan 2% Lignocaine
hydrochloride (Lidocaine®), 5 ml, massa prolaps diirigasi dengan larutan
antiseptik potassium permanganat (1: 1000) untuk menghilangkan kontaminan.
Pengurangan massa prolaps dicapai dengan mengangkat di atas tingkat lengkung
iskus untuk mengalirkan urin. Untuk reposisi yang mudah, massa prolaps diolesi
dengan campuran gel lignokain hidroklorida, parafin cair dan bubuk sefaleksin
(Lixen®). Kemudian, dengan bantuan alat dan telapak tangan massa prolaps itu
direposisi hingga ke vagina. Kemudian, massa rahim yang prolaps didorong
perlahan oleh pertama melalui vagina, leher uterus dan corpus uterus. Empat bolus
Furea ditempatkan di intrauterin. Untuk menghindari kekambuhan prolaps, jahitan
buhner yang dimodifikasi diaplikasikan menggunakan IV steril. Infus set tabung
sebagai bahan jahitan. Untuk itu, satu sayatan tusukan dilakukan pada dorsal dan
kedua pada ventral vulval commissure, sekitar 3-4 cm dari margin vulva. Jarum
buhner yang disterilkan dimasukkan dari sayatan tusuk ventral dari satu bibir
vulva ke arah atas, tanpa menembus permukaan vulva. Ujung jarum ditarik
melalui sayatan tusukan dorsal dan berulir dengan infus I. v. Infus set tabung ke
mata, ditarik keluar dari titik masuk. Kemudian, jarum dibelokkan dan
dimasukkan kembali sebagai prosedur di atas di sisi berlawanan dari vulva dan
simpul licin diaplikasikan dan diikat dengan kuat di ventiss commissure. Insisi
dorsal stab dijahit dengan jahitan matras horizontal yang terganggu (Kapadiya et
al, 2015).

12
Gambar 3.2 Jahitan Buhner pada vulva Sapi Perah (Paul et al, 2017).

Hewan diobati dengan Inj. Normal saline, Inj. Pitocin (100 IU) dan Inj.
Calborol (450 ml) diberikan secara intravena sementara Inj. Oxytetracycline (40
ml), Inj. Melonex (15 ml), Inj. Anihistamin (15 ml) dan Inj. Utrasafe (5 ml)
diberikan secara intramuskular (Kapadiya et al, 2015). Kasus ini menunjukkan
respon yang sangat baik terhadap pengobatan, karena prolaps tidak muncul
kembali setelah selesainya pengobatan awal dan kemudian sampai jahitan buhner
dan horizontal matras dilepas setelah delapan hari perawatan selesai.

Gambar 3.3 Recovery pada sapi perah setelah penanganan


Pada ruminansia, prolaps uterus pasca partum umumnya cenderung
terjadi atau diakibatkan karena tenasmus yang keras, uterus lembek, retensi
plasenta terutama pada kutub ovarium dari tanduk gravid, traksi berlebihan pada
janin dan retained fetal membrane, hyperestrogenism, rendah nutrisi, kurang
gerak, hipocalcemia, kelemahan ekstrim dari perineum dan bibir vulva dll.

13
Kalsium yang lebih rendah, fosfor yang lebih rendah dan konsentrasi serum
magnesium yang lebih tinggi juga diamati pada ternak yang menderita prolapsus
uterus. Dalam kasus ini, prolaps uterus berulang dari tanduk gravid mungkin
disebabkan oleh perlekatan yang kuat mempertahankan membran janin pada
kutub ovarium dan reposisi yang tidak tepat bersama dengan putusnya tenasmus.
Prolaps uterus pasca partum terjadi terutama setelah partus karena kombinasi
kehilangan kontraksi miometrium dan meningkatkan tekanan intra abdomen.

14
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan :
1. Prolapsus uteri yang terjadi disebabkan oleh defisiensi kalsium yang
memicu terjadinya hipokalsemia yang dapat mempengaruhi kontraksi otot
pada uterus dan vagina.
2. Penanganan prolapsus uteri adalah mereposisi uterus ke dalam rongga
abdomen, mengirigasi uterus dengan menggunakan air yang dicampur
garam, melakukan jahitan Buhner dan pemberian Procaine Penicillin G
dan vitamin melalui injeksi intramuscular.

5.2 Saran
Untuk mencegah terjadinya prolapsus uteri maka disarankan agar induk
bunting dibiarkan bergerak, memperhatikan kemiringan kandang, dan mencegah
terjadinya hipokalsemia sebagai faktor predisposisi prolapsus uteri pada sapi
perah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Fakultas Kedokteran


Hewan. Universitas Airlangga Surabaya.

Kapadiya, P.S. P.M. Chauhan, H.C. Nakhashi, V.K. Sharma and T.V. Sutaria.
2015. Recurrent post-partum uterine prolapse in a primiparous
Mehsana buffalo- A case report. Journal of Livestock Science (ISSN
online 2277-6214) 6:109-112
Lellan, B. 2009. Anatomy of the Cow's Reproductive System. Alberta agricultural
and forestry.
Umesh, Kumar. Lakde C.K, Patil M.S, Sahatpure S.K, Gawande A.P. 2015. Pre
and post partum prolapse in a crossbred Jersey cow: A case report .
Sch J Agric Vet Sci., Dec-2015-Jan 2016; 3(1):48-50
Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan Fakultas Kedokteran Veteriner.
Jurusan Reproduksi. Institut Pertanian Bogor.
Paul, Pranab. Monir Hossan, Saroj Kumar Yadav ,Tanjila Hasan. 2017. Correction and
management of uterine prolapse in a Holstein Friesian cow. Asian
Australas. J. Biosci. Biotechnol. 2017, 2 (3), 251-254
Prange, and Duby. 2007. Anatomy of the Cow’s Reproductive Tract. West
Virginia University Extension Service

Ramsingh, K Murali Mohan, K Sadasiva Rao. 2013. Correction And Management


Of Uterine Prolapse In Crossbred Cows. Int. J. Agric.Sc & Vet.Med.
2013
Salisbury, G.W., N.L. Vandemark dan R. Januar. 1985. Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan Pada Sapi. Gadjah Mada University Press.
Suttle, N.F. (2010). Mineral Nutrition of Livestock: 4th Edition. CABI, United
Kingdom.
Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Turner, J. 2014. Reproductive Tract Anatomy and Physiology of the Cow.
Department of Extension Animal Sciences and Natural Resources,
New Mexico State University.
Wirjaatmadja, R. 2005. Ilmu Kebidanan. Diktat Kuliah. Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
Yanuartono, Alfarisa Nururrozi, Soedarmanto, Indarjulianto, Hary
Purnamaningsih. 2016. Peran Makromineral pada Reproduksi
Ruminansia. JSV 34 (2), Desember 2016

16

Anda mungkin juga menyukai