Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ILMU REPRODUKSI TERNAK

“Korelasi Antara Lama Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jenis Kelamin Pedet Hasil
Inseminasi Buatan pada Sapi Bali”

DISUSUN OLEH:

Nama : Rendy Ramadhan

Nim : 2210612044

Dosen Pengampu :

Syafri Nanda, M.Si.

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah STW. karena berkat rahmat dan
karunia-Nya serta shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Korelasi antara lama Kebuntingan,Bobot lahir Dan Jenis kelamin Pedet
hasil Inseminasi pada Sapi Bali” ini di susun dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Reproduksi Ternak.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Syafri Nanda, M.Si.


selaku dosen pengampu dalam mata kuliah ini, yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk menyusun makalah ini, sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kepada saya dan juga para pembaca. Saya juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu


dan wawasan yang saya miliki, karena itu saya menerima kritik ataupun saran
yang membangun sehingga makalah ini bisa menjadi bacaan yang dapat
memberikan manfaat bagi para pembacanya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. ii

BAB I.……………………………………………………………………………………..1

PENDAHULUAN…………………………………………………………………………1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….....1

1.3 Tujuan………………………………………………...………………………1

BAB II………………………………………………………………………………….….2

PEMBAHASAN……………………………………………………………………….….2

2.1 Kebuntingan…………………………………………………………………..2

2.1.1 Periode ovum / blastula………………………….….………..2

2.1.2 Periode embrio / Organogenesis…………………………….3

2.1.3 Periode Fetus/ pertumbuhan fetus…….……………………..3

2.2 Membrana Fetus dan Plasenta………………………………………....4

2.2.1 Plasenta……………………………………………………...5

2.3 Bentuk dan Lokasi Uterus Bunting……………………………………6

2.3.1 Mekanisme Hormonal……………………………………….8

2.3.2 Cara Mendeteksi Kebuntingan Pada Sapi…………………...8

2.3.3 Metode Pemeriksaan Kebuntingan Pada Sapi………………9

2.3.4 Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon….12

BAB III…………………………………………………………………………………..16

PENUTUP……………………………………………………………………………….16
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………….…16

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………17
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebuntingan adalah keadaan dimana anak sedang berkembang


didalam uterus seekor hewan betina. Suatu interval waktu, yang disebut
periode kebuntingan (gestasi) terentang dari saat pembuahan (fertilisasi)
ovum sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup fertilisasi atau persatuan
antara ovum dan sperma. Selama periode ini sel – sel tunggal membagi
diri dan berkembang menjadi induvidu yang sempurna..
Ketahanan kebuntingan pada hewan dan diakhirnya dengan
kelahiran sebagian besar dipengaruhi oleh keseimbangan laju kerja
hormon. Kejadian ini dibuktikan oleh kenyataan perubahan perbandingan
kadar hormon sering mengakibatkan keguguran. Makalah ini akan
menjelaskan mengenai proses kebuntingan beserta mekanisme hormonal
dan cara untuk mendeteksi kebuntingan pada ternak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses kebuntingan pada ternak ?


2. Bagaimana mekanisme hormonal pada proses kebuntingan ternak?
3. Bagaimana cara mendeteksi kebuntingan pada sapi ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui proses kebuntingan pada ternak.


2. Mengetahui mekanisme hormonal pada proses kebuntingan ternak.
3. Mengetahui cara mendeteksi kebuntingan pada sapi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebuntingan

Periode kebuntingan adalah periode dari fertilisasi atau konsepsi sampai


partus atau kelahiran individu muda. Selama periode ini sel-sel tunggal membelah
dan berkembang menjadi organisasi yang lebih tinggi yaitu individu. Tingkat
kematian periode ini, yaitu ovum, embrio, maupun fetus lebih tinggi dibanding
setelah individu lahir. Keluarnya fetus atau embrio yang mati dan yang ukurannya
dapat dikenali disebut abortus. Keluarnya fetus yang hidup dan pada waktunya
disebut lahir. Keluarnya fetus yang mati pada saat partus pada babi dan hewan
lain disebut stillbirths. Lahirnya individu baru sebelum waktunya disebut
prematur.

2.1.1 Periode ovum / blastula

Adalah periode yang dimulai dari fertilisasi sampai terjadinya implantasi.


Segera setelah terjadi fertilisasi, ovum yang dibuahi akan mengalami pembelahan
di ampullary - isthnic junction menjadi morula. Pada sapi, masuknya morula
kedalam uterus terjadi pada hari ke 3-4 setelah fertilisasi, 5-8 pada anjing dan
kucing dan 3 pada babi. Pada spesies politokus, tidak menutup kemungkinan
adanya migrasi embrio diantara kornu. Pada unipara (sapi), jarang terjadi. Setelah
hari ke 8, blastosit mengalami pembesaran secara pesat, misalnya embrio domba
pada hari ke 12 panjangnya 1 cm, 3 cm pada hari ke 13 dan 10 cm pada hari ke
14. Pada babi, 33 cm pada hari ke 13. Lama periode ini pada sapi sampai 12 hari,
kuda 12 hari, domba dan kambing 10 hari, babi 6 hari, anjing dan kucing 5 hari.
Pada periode ini, embrio yang defektif akan mati dan diserap oleh uterus.
2.1.2 Periode embrio / Organogenesis

Adalah dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan organ


tubuh bagian dalam. Pada sapi berkisar pada hari ke 12 - 45, domba 11 - 34,
anjing dan kucing 6 - 24, dan kuda 12 - 50 atau 60 setelah fertilisasi. Selama
periode ini terjadi pembentukan :

a. lamina germinativa

b. selaput ektraembrionik

Terjadi pembentukan amnion dan allantochorion dan berfungsi sampai


akhir kebuntingan. Pembentukan kantong kuning telur (yolk sac), yang terlihat
pada awal differensiasi.

c. organ-organ tubuh

Terbentuknya organ-organ dalam seperti jantung, liver, pankreas, paru-


paru dan sistim digesti. Ductus mullen berkembang menjadi organ betina.
Ductus woifli berkembang menjadi sistim ductus jantan.

2.1.3 Periode Fetus/ pertumbuhan fetus

Adalah dimulai dari terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam,


terbentuknya ekstremitas, sampai lahir. Periode ini dimulai kira-kira hari ke 34
kebuntingan pada domba dan anjing, 45 pada sapi dan 55 pada kuda. Selama
periode ini terjadi perubahan dan defferensiasi organ, jaringan dan sistem tubuh.
Sedangkan panjang badan fetus sesuai dengan tahapan kebuntingan dapat dilihat
pada Tabel dibawah ini. Pada fetus jantan, testis akan mengalami descensus
testiculorum melewati canalis inguinalis ke dalam scrotum. Descensus
testiculorum ini akan selesai menjelang pertengahan kebuntingan pada sapi,
sedang pada kuda menjelang akhir kebuntingan.
2.2 Membrana Fetus dan Plasenta

Fungsi membran fetus adalah melindungi fetus, sarana transport nutrisi


dan induk ke fetus, sarana penampung sisa hasil metabolisme, tempat sintesa
enzim dan hormon. Membran atau selaput fetus terdiri dari :

a. Kantong kuning telur primitif

Kantong kuning telur primitif asalnya dan entoderm. Suatu struktur


primitif yang berkembang pada awal embrio dan menghilang beberapa saat,
sehingga peranannya hanya pada awal kebuntingan. Berperan sebagai plasenta
yang terbatas dalam menyediakan makanan dan bahan-bahan sisa untuk embrio
muda (awal).

b. Amnion

Kantong amnion terbentuk pada han ke 13 - 16 setelah konsepsi pada


kambing, sapi dan mungkin pada kuda. Kantong amnion ini berisi cairan amnion
sehingga berfungsi sebagai pelindung mekanik fetus dan mencegah adhesi. Cairan
amnion bersifat jemth, tidak berwarna dan mukoid dan mengandung pepsin,
protein, fruktosa, lemak dan garam. Volume cairan amnion Sapi : 2000-8000
ml, Kuda: 3000-7000 ml, Kambing : 350-700 ml, Domba: 400-1200 ml, Babi :
40-200 ml, Anjing dan kucing: 8-30 ml. Sumber cairan amnion , epitel amnion
dan urine fetus (awalnya), air ludah dan sekresi nasopharynk. Cairan ini
membantu kelahiran karena licin seperti lendir.

c. Alantois

Terbentuk pada minggu kedua dan ketiga masa kebuntingan. Lapisan luar
alantois kaya pembuluh darah yang berhubungan dengan aorta fetus melalui
umbilicalis dan dengan vena cava posterior oleh vena umbilicallis. Kantong
allantois berisi cairan allantois yang jernih seperti air, kekuningan dan
mengandung albumin, fruktosa dan urea. Kantong allantoi menyimpan zat
buangan dan ginjal fetus. Volume cairan allantois akhir masa kebuntingan pada
sapi : 4000-15000 ml, kuda: 8000-18000 ml, kambing dan domba: 500-1500
ml, babi: 100-200 ml, kucing:3-15 ml, anjing: 10-50 ml. Cairan allantois berasal
dan epitel allantois.

d. Korion atau tropoblas

Terbentuk karena fusi lapisan luar allantois dengan tropoblas (korion).


Sangat kaya pembuluh darah yang menghubungkan fetus dengan endometrium,
sehingga berperan dalam pengangkutan/ pertukaran metabolit, zat-zat makanan,
gas dan bahan sisa.

2.2.1 Plasenta

Pada permulaan periode embrio, kantong kuning telur dan korion-amniotik


berfungsi sebagai plasenta pnimitif, dimana zat-zat makanan diabsorbsi dan
sekresi uterus. Selama bulan pertama/ lebih kebuntingan Blastosyt bertaut dengan
endometnium - Selaput fetus berkembang - Terjadi penonjolan villi formis dan
kripta endometrium. Pada akhir bulan ketiga kebuntingan terjadi pertautan
anatomik plasenta induk dengan fetus secara komplek.

Plasenta terdiri dan dua bagian, yaitu Plasenta fetus (korio-alantois)


disebut juga kotiledon dan Plasenta induk (endometrium) disebut juga karunkula.
Penggabungan karunkula dengan kotiledon disebut plasentom. Peranan / fungsj
plasenta : Mensintesis zat-zat yang diperlukan fetus, Menghasilkan enzimdan
hormon (P4 dan E), Menyimpan dan mengkatabolisir zat-zat lain.

Pada servik Os ekterna servik tertutup rapat-rapat. Kripta endoservikal


bertambah jumlahnya dan menghasilkan mukus yang sangat kental dan
menyumbat saluran servik (sehingga disebut sumbat, servik) selama kebuntingan
dan mencair segera sebelum partus.
Pada uterus Uterus membesar secara progresif sesuai usia kebuntingan.
Ada 3 fase adaptasi uterus selama kebuntingan yaitu proliferasi endometrium
akibat pengaruh progesteron, pertumbuhan uterus, peregangan uterus. Pada ovaria
adanya korpus luteum kebuntingan (verum) sehingga siklus estrus terhenti. Pada
ligamentum pelvis dan symphisis pubis Terjadi releksasi sejak awal kebuntingan
dan meningkat secara progresif menjelang partus.

2.3 Bentuk dan Lokasi Uterus Bunting

Pada hewan piara uterus tertarik ke depan dan ke bawah masuk ruang
abdomen. Pada ruminansia uterus bunting lokasinya disebelah kanan abdomen.
Pada akhir kebuntingan (sapi dan kuda) panjang fetus membentang dan diafragma
sampai pelvis. Pada sapi dan kuda bentuk uterusnya tubuler memanjang,
sedangkan pada babi uterusnya sangat panjang terletak pada lantai abdomen.

Posisi Fetus Dalam Uterus Pada pertengahan kebuntingan posisi fetus


terletak pada sembarangan arah. Pada kebuntingan yang lanjut, posisi fetus adalah
longitudinal terhadap sumbu panjang induk dalam presentai anterior dengan
kepala dan kedua kaki depannya mengarah ke servik. Kuda, babi, anjing dan
kucing punggung mengarah ke dinding abdomen yang kemudian merotasi
menjelang partus yaitu punggungnya mengarah punggung induk.

2.3.1 Mekanisme Hormonal

Progesteron mempunyai peran dominan selama kebuntingan terutama


pada tahap-tahap awal. Apabila dalam uterus tidak terdapat embrio pada hari ke
11 sampai 13 pada babi serta pada hari ke 15 – 17 pada domba, maka PGF2α akan
dikeluarkan dari endometrium dan disalurkan melalui pola sirkulasi ke ovarium
yang dapat menyebabkan regresinya corpus luteum (Bearden and Fuquay, 2000).
Apabila PGF2α diinjeksikan pada awal kebuntingan, maka kebuntingan tersebut
akan berakhir. Oleh sebab itu, embrio harus dapat berkomunikasi tentang
kehadirannya kepada sistem maternal sehingga dapat mencegah PGF2α yang
dapat menginduce luteolisis. Proses biokimia dimana embrio memberi sinyal
kehadirannya inilah yang disebut sebagai ” maternal recognition of pregnancy”.

Pada sapi dan domba, unit embrionik memproduksi suatu protein, yang
disebut bovine interferon- λ dan ovine interferon- λ. Pada kedua spesies tersebut,
protein ini mempunyai perangkat antiluteolitik melalui pengubahan biosintesa
prostaglandin dan pengaturan reseptor uterin-oxytocin. Baik bovine interferon- λ
pada sapi maupun ovine interferon- λ pada domba, telah dilaporkan dapat
menghambat sintesa.

PGF2α dari endometrium. Pada domba, ovine interferon- λ telah terbukti


dapat meningkatkan konsentrasi PGE2 (sebuah hormon antiluteolitik) dalam
plasma darah pada kebuntingan hari ke 13. Sehubungan dengan hal itu, apakah
melalui peningkatan sintesa PGE2 atau penghambatan sintesis PGF2α, rasio
perbandingan yang tinggi antara PGE2 dan PGF2α adalah kondisi yang
mendukung pemeliharaan corpus luteum.

Konsentrasi tinggi progesteron, menurunkan tonus myometrium dan


menghambat kontraksi uterus. Efeknya pada myometrium tersebut, membuat
konsentrasi tinggi progesteron akan menghentikan siklus estrus dengan mencegah
dikeluarkannya gonadotropin. Progesteron diproduksi oleh corpus luteum dan
placenta.

Pada sapi, lutectomy ( pengambilan corpus luteum atau injeksi PGF2α)


pada kebuntingan tahap akhir, setelah 6 – 8 bulan kebuntingan, tidak akan
menyebabkan aborsi karena cukupnya steroid yang diproduksi placenta. Pada
domba, pengambilalihan fungsi placenta ini terjadi pada 50 hari usia kebuntingan,
sedang pada kuda sekitar 70 hari usia kebuntingan. Pada beberapa spesies, ketika
placenta mulai mengambil alih fungsi sebagai sumber progesteron pada tahap dini
kebuntingan, corpus luteum terus mensekresi progesteron dan memelihara
kebuntingan tersebut. Pregnancy-spesific protein, protein B mungkin saja
membantu corpus luteum kebuntingan pada sapi dan domba (Bearden and
Fuquay, 2000).

Polipeptida relaxin dan relaxin-like factors yang diproduksi oleh corpus


luteum (pada babi dan sapi) dan plasenta (pada kuda) adalah penting selama
terjadinya kebuntingan. Peran utamanya melunakkan jaringan, yang menyebabkan
otot-otot uterus dapat mengakomodir perkembangan fetus. Relaxin menyebabkan
saluran pelvis melebar, terutama pada tahap akhir kebuntingan.

Konsentrasi estrogen rendah selama awal kebuntingan dan meningkat pada


pertengahan dan akhir kebuntingan. Pada kuda, level estrogen cukup tinggi
selama pertengahan kebuntingan. Sumber utama estrogen ini adalah palsenta.
Estrogen mengalami kenaikan yang progresif dalam aliran darah uterus selagi
proses kebuntingan terjadi. Estrogen bekerja sama secara sinergis dengan
progesteron pada perkembangan dan persiapan kelenjar mammae untuk sintesa
susu setelah kelahiran. Laktogen plasenta juga sepertinya mempunyai peran dalam
perkembangan kelenjar mammae sebagaimana perannya dalam mengatur
pertumbuhan fetus.

2.3.2 Cara Mendeteksi Kebuntingan Pada Sapi

Deteksi kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan


setelah ternak dikawinkan. Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan
dalam hal mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan
atau IB, sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan
dengan penanganan yang tepat seperti ternak harus dijual atau diculling. Hal ini
bertujuan untuk menekan biaya pada breeding program dan membantu
manajemen ternak secara ekonomis. Biasanya para peternak mendeteksi
kebuntingan dengan memperhatikan tingkah ternak tersebut, apabila ternak telah
dikawinkan tidak terlihat gejala estrus maka peternak menyimpulkan bahwa
ternak bunting dan sebaliknya. Namun cara tersebut tidaklah sempurna dan sering
terjadi kesalahan deteksi kebuntingan.
Menurut Partodihardjo (1987) tidak adanya gejala estrus bisa saja karena
adanya corpus luteum persistent atau gangguan hormonal lainnya, hingga siklus
berahi hewan terganggu. Pemeriksaan kebuntingan ternak khususnya sapi
umumnya dilakukan dengan explorasi rectal atau palpasi rektum.

2.3.3 Metode Pemeriksaan Kebuntingan Pada Sapi Antara Lain :

1. Non Return to Estrus (NR)

Selama kebuningan, konseptus menekan regresi corpus luteum (CL) dan


mencegah hewan kembali estrus. Oleh sebab itu, apabila hewan tidak kembali
estrus setelah perkawinan maka diasumsikan bunting. Pada sapi dan kerbau,
ketidakhadiran estrus setelah perkawinan digunakan secara luas oleh peternak dan
sentra-sentra IB sebagai indikator terjadinya kebuntingan, tetapi ketepatan metoda
ini tergantung dari ketepatan deteksi estrusnya. Pada kerbau, penggunaan metoda
NR ini tidak dapat dipercaya karena sulitnya mendeteksi estrus.

2. Eksplarasi Rektal

Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat


dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah
palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi
selama kebuntingan, fetus atau membran fetus. Teknik yang dapat digunakan pada
tahap awal kebuntingan ini adalah akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui.
Sempitnya rongga pelvic pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal
untuk mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan (Arthur, et al., 1996). Palpasi
transrectal pada uterus telah sejak lama dilakukan. Teknik yang dikenal cukup
akurat dan cepat ini juga relative murah. Namun demikian dibutuhkan
pengalaman dan training bagi petugas yang melakukannya, sehingga dapat tepat
dalam mendiagnosa. Teknik ini baru dapat dilakukan pada usia kebuntingan di
atas 30 hari.
3.Ultrasonografi

Ultrasonography merupakan alat yang cukup modern, dapat digunakan


untuk mendeteksi adanya kebuntingan pada ternak secara dini. Alat ini
menggunakan probe untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga
abdomen. Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran dari
cornua uteri. Harga alat ini masih sangat mahal, diperlukan operator yang terlatih
untuk dapat menginterpretasikan gambar yang muncul pada monitor. Ada resiko
kehilangan embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan
pobe. Pemeriksaan kebuntingan menggunakan alat ultrasonografi ini dapat
dilakukan pada usia kebuntingan antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia
kebuntingan diatas 30 hari.

Gelombang ultrasonografi tidak terdengar oleh telinga manusia dan


dioperasikan pada frekuensi 1 – 10 megahertz (MHz). Ada dua tipe ultrasonografi
yang digunakan pada manusia dan kedokteran hewan yaitu : fenomena Doppler
dan prinsip pulse-echo. Pada fenomena Doppler transducer atau probe ketika
diaplikasikan pada dinding abdominal atau dimasukkan ke dalam rektum, akan
memancarkan cahaya gelombang frekuensi tinggi (ultrasonic). Pergerakan jantung
fetus dan aliran darah dalam fetus (pembuluh umbilical) serta sirkulasi maternal
(arteri uterina) merubah frekuensi gelombang dan memantul kembali ke probe dan
dikonversi ke suara yang dapat terdengar. Sedang pada pulse-echo ultrasound
getaran ultrasound yang digerakkan oleh kristal piezoelectric dalam transducer
ketika kontak dengan jaringan akan memantul kembali ke transducer kemudian
dikonversi ke dalam energi elektrik dan diidsplay pada osciloscope. Prinsip dasar
diagnostik secara fisik dari ultrasonografi telah banyak diketahui. Komponen
utama dari alat ultrasound adalah : a. Generator elektrik pulse, b. Trasducer, c.
scan konverter dan d. video display.
4.Diagnosa Imunologik

Teknik Imunologik untuk diagnosa kebuntingan berdasarkan pada


pengukuran level cairan yang berasal dari konseptus, uterus atau ovarium yang
memasuki aliran darah induk, urin dan air susu. Test imonologik sebagaimana
pada Tabel 4, mengukur dua macam cairan yaitu:

1. Pregnancy Specific yg hadir dalam peredaran darah maternal : eCG dan EPF

2. Pregnancy Not Specific, perubahan-perubahan selama kebuntingan, konsentrasi


dalam darah maternal,urin dan air susu, contoh : progesteron dan estrone sulfate.

Beberapa protein-like substance telah diidentifikasi dari dalam peredaran


darah maternal selama terjadi kebuntingan. Substansi ini merupakan produk yang
berasal dari konseptus yang dapat digunakan sebagai indikator adanya
kebuntingan.(Jainudeen dan Hafez, 2000). Interaksi konseptus dengan sistem
imun melibatkan baik anti-sperma maupun respon imun anti-konseptus yang
membatasi keberhasilan kebuntingan dan juga membatasi efek yang
menguntungakan dari pengeluaran cytokine dari sel-sel lymphoid pada
perkembangan embrio dan ekspresi gennya (Hansen, 1995).

Sistem imun ini bekerja di uterus maka terdapat respon imun anti-
konseptus yang potensial.Juga ada beberapa sistem kontrol yang membatasi
respon imun anti-konseptus. Hal ini terutama karena tidak adanya atau sedikit
ekspresi major histocompatibility antigen pada trophoblast. Aktivasi respon imun
anti-konseptus yang mengarah pada respon cytolytic selanjutnya dibatasi oleh
kehadiran molekul-molekul yang dapat menghambat transformasi lymphosit.

Peristiwa ini terutama karena adanya prostaglandin E2 (PGE2) dari


plasenta dan jaringan 9 endometrial, interferon-tau (IFN-λ) dari sel-sel trophoblast
selama awal kebuntingan dan protein endometrial yang disebut uterin milk protein
(UTMP) (Hansen, 1995). Early pregnancy factor (EPF) pertama kali dilaporkan
berada dalam sirkulasi darah wanita hamil (pre-implantasi stage), kemudian
dilaporkan ditemukan pula ditemukan pada babi, domba dan sapi. EPF bersifat
immunosuppressive, dapat dideteksi dari serum dalam beberapa hari setelah
konsepsi pada babi, domba dan sapi. EPF juga merupakan bioassay, berdasarkan
formasi inhibitornya. Pregnancy-Associated Antigen (PSA) yaitu antigen spesifik
pada kebuntingan yang dilaporkan terdapat dalam jaringan maternal pada spesies
ternak termasuk domba, sapi dan kuda. Sebagian besar antigen ini dapat dideteksi
dalam darah maternal selama kebuntingan.

Bovine conceptus memproduksi beberapa signal selama awal kebuntingan


(Jainudeen dan Hafez, 2000). Protein dari jaringan plasenta ini sebagian sudah
berhasil dipurifikasi yaitu pregnancy specific protein B (bPSPB). bPSPB ini dapat
dideteksi dengan menggunakan teknik radio immuno assay (RIA) mulai hari ke
24 kebuntingan sampai kelahiran (Sasser, et al, 1986). RIA berdasarkan bPSPB
ini lebih akurat dari pada RIA berdasarkan progesteron, karena bPSPB ini adalah
protein pregnancy secific. bPSPB ini tidak terdeteksi pada air susu atau urine.

Dan bPSPB ini hadir terus dlm darah sampai beberapa bulan setelah
kelahiran sehingga dapat mempengaruhi diagnosa dini kebuntingan apabila
digunakan sebagai bahan marker kit diagnostik. Selain bPSPB, protein pregnancy
specific yang lain adalah pregnancy serum protein (PSP60) yang dapat dideteksi
dengan RIA pada hari ke 28 kebuntingan pada sapi (Mialon, eta al., 1994).
Progesteron berperan utama dalam menghambat respon imun yang difasilitasi
oleh sekresi dari endometrium yaitu uterin milk protein (UTMP).

2.3.4 Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon

Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat


dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metoda-metoda yang menggunakan
plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini
dibandingkan dengan metoda rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000).
A. Progesteron

Progesteron dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir


selama awal kebuntingan pada semua spesies ternak. Level progesteron dapat
diukur dalam cairan biologis seperti darah dan susu , kadarnya menurun pada
hewan yang tidak bunting. Progesteron rendah pada saat tidak bunting dan tinggi
pada hewan yang bunting. Test pada susu lebih dianjurkan dari pada test pada
darah, karena kadar progesteron lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma
darah. Lagi pula sample susu mudah didapat saat memerah tanpa menimbulkan
stress pada ternaknya. Sample susu ditest menggunakan radio immuno assay
(RIA). Sample ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi.

Teknik koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari


pemerahan sore hari. Bahan preservasi seperti potasium dichromate atau mercuris
chloride ditambahkan untuk menghindari susu menjadi basi selama transportasi ke
laboratorium. Metoda ini cukup akurat, tetapi relatif mahal, membutuhkan
fasilitas laboratorium dan hasilnya harus menunggu beberapa hari. ”Kit”
progesteron susu sudah banyak digunakan secara komersial di
peternakanpeternakan dan dapat mengatasi problem yang disebabkan oleh
penggunaan RIA yaitu antara lain karena keamanan penanganan dan disposal
radioaktivnya.. Test dapat dilakukan baik dengan enzyme-linked immuno assay
(ELISA) maupun latex aggluination assay. Evaluasi hasilnya berdasarkan warna
atau reaksi aglutinasi yang terjadi, dibandingkan dengan standard yang sudah
diketahui (Kaul and Prakash, 1994).

Test progesteron susu lebih sesuai untuk mendiagnosa ketidakbuntingan


dari pada kebuntingan dan dapat mengidentifikasi hewan yang tidak bunting jauh
lebih dini dari pada dengan metoda palpasi rektal. Test progesteron susu
aplikasinya terbatas pada spesies-spesies ternak lain. ELISA assay P4 pada hari ke
24 post inseminasi, adalah 100 % akurat untuk yang tidak bunting dan 77 % untuk
yang bunting (Kaul and Prakash, 1994). Karena domba tidak laktasi pada saat
kawin, maka test dilakukan dengan sampel darah. Pada kambing, test ELISA
dapat digunakan untuk diagnosa dini dengan sample susu yang diambil pada hari
ke 20 setelah perkawinan (Engeland, et al. 1997), tetapi gagal untuk membedakan
kebntingan dengan hydrometra. Sedang pada babi dan kuda, keakuratan test ini
adalah rendah karena corpus luteum persisten (CLP) menyebabkan
pseudopregnancy pada hewan yang tidak bunting.

B. Estrone Sulphate

Estrone sulphate adalah derifat terbesar estrogen yang diproduksi oleh


konseptus dan dapat diukur dalam plasma maternal, susu atau urine pada semua
species ternak. Estrone sulphate dapat dideteksi dalam plasma lebih awal pada
babi ( hari ke 20) dan kuda (hari ke 40), dibandingkan pada domba dan kambing
(hari ke 40 sampai 50) atau sapi (hari ke 72). Kedua level hormon baik estrone
sulphate maupun eCG dapat digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan pada
kuda setelah hari ke 40 kebuntingan. Karena fetus yang berkembang
mengeluarkan sejumlah besar estrone sulphate ke dalam sirkulasi maternal antara
hari ke 75 – 100 kebuntingan, maka estrone sulphate lebih dapat dimanfaatkan
dari pada eCG untuk mengetahui adanya kehadiran fetus.

C. Gonadotropin

Equine chorionic gonadotropin (eCG atau PMSG) muncul dalam darah


kuda 40 hari setelah konsepsi dan deteksi kehadirannya merupakan bukti
terjadinya kebuntingan. Diagnosa kebuntingan secara imunologi pada kuda
berdasarkan pada eCG tersebut, dimana kehadirannya dalam sampel darah
diperiksa dengan hemagglutination – inhibition ( HI ) test. Bila terjadi aglutinasi
dari sel darah merah berarti negative (yaitu tidak bunting) dan apabila terjadi
inhibisi dari aglutinasi, artinya hasilnya positive. Test ini akan lebih akurat apabila
dilakukan antara hari ke 50 dan 100 kebuntingan. Pada kejadian fetus yang mati
dalam periode ini, plasma eCG akan tetap tinggi. Oleh sebab itu apabila
pengukuran eCG dilakukan setelah fetus mati, maka akan menghasilkan false
positive.
BAB III

KESIMPULAN

Periode kebuntingan adalah periode dari fertilisasi atau konsepsi sampai


partus atau kelahiran individu muda. Berdasarkan ukuran individu dan
perkembangan jaringan serta organ, periode kebuntingan dibedakan atas tiga
bagian yaitu:

1. Periode ovum / blastula adalah periode yang dimulai dari fertilisasi sampai
terjadinya implantasi.

2. Periode embrio / Organogenesis adalah dimulai dari implantasi sampai saat


dimulainya pembentukan organ tubuh bagian dalam.

3. Periode Fetus/ pertumbuhan fetus adalah dimulai dari terbentuknya alat-alat


tubuh bagian dalam, terbentuknya ekstremitas, sampai lahir.

Hormon yang berperan dalam pengaturan kebuntingan berasal dari korpus


luteum, plasenta dan hipofisa anterior, misalnya hormon Progesteron, Estrogen,
LH, Relaxin. Adapun cara untuk mendeteksi kebuntingan pada sapi antara lain :

 Non Return to Estrus (NR)


 Eksplarasi Rektal
 Ultrasonografi
 Diagnosa Imunologik
 Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon
DAFTAR PUSTAKA

Arthur, G. F.; Noakes, D.E.;Pearson, H. and Parkison,T.M. 1996. Veterinary


Reproduction and Obstetrics. London : W.B.Sounders.

Engeland, I.V.;Ropstad,E.;Andresen, O. And Eik,L.O. 1997. Pregnancy diagnosis


in dairy goats using progesteron assay. Anim. Reprod.Sci.47 : 237 – 243.

Helmer, S.D; Hansen, P.J;Anthony, R.V.; Thatcher, W.W.; Bazer,F.W. and


Roberts,R.M. 1987. Identification of bovine trophoblast protein-1, a
secretory protein immunologically relatd to ovine trophoblast protein-1.
Endocrinology.132:1869.

Jainudeen, M.R. and Hafez. E.S.E. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez,
E.S.E and Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia.

Kaul V. and Prakash, B.S. 1994. Accuracy of pregnancy/no pregnancy diagnosis


in zebu and crossbred cattle and Murrah buffaloes by milk progesterone
determination post insemination. Trop. Anim. Health Prod. 26 : 187 – 192

Mialon, M.M.; Renand, G.; Camous, S.; Martal, J. and Menissier, F. 1994.
Detection of pregnancy by radioimmunoassay of a pregnancy srum protein
(PSP60) in cattle.eprod. Nutr. Dev. 1994;34: 65 – 72.

Partodihardjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

Saser,R.G.;Ruder,C.A.;Ivani,K.A.;Butler,J.E. and Hamilton,W.C. 1986. Detection


of pregnancy by radioimmunoassay of a novel pregnancy-specific protein
serum of cows and a profile of serum concentrations during gestation.
Biol.Reprod. 1986;35: 936 – 942.

Tim Dosen UGM. Faal Kebuntingan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai