Anda di halaman 1dari 14

1

LAPORAN HASIL PENELITIAN


PENCEMARAN & PENGHINAAN MENGGUNAKAN ELEKTONIK

A. Pencemaran dan Penghinaan Nama Baik Menurut Pasal 27 Ayat (3)


Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Sungguh sangat ironis bahwa di satu sisi, perbuatan penghinaan atau
pencemaran nama baik melalui sistem elektronik (Internet) dapat dengan mudah
dilakukan, sementara pelakunya sangat sulit untuk diketahui dan di telusuri.1)
Disisi lain, pihak yang terhina atau yang namanya tercemar sulit untuk
membuktikan bahwa pelakulah yang melakukannya, karena terhalang dengan
ketentuan privasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, dan mungkin terhambat dengan teknologi
yang di milikinya, oleh karena itu, hanya aparat penegak hukumlah, dalam hal ini
Kepolisian, yang memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam menulusuri
atau mengungkapkan pelaku yang bertanggung jawab. 2)
Hukum pidana mengatur penghinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana BAB XVI, Pasal 310 sampai Pasal 321, di antaranya adalah :
1. Pasal 310 ayat (1) KUHP mengenai pencemaran menyebutkan :
“Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang,
dengan menuduh suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu
diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara
paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.”3)

2. Pasal 310 ayat (2) KUHP mengenai pencemaran tertulis


menyebutkan :
“Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah,
karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”. 4)

3. Pasal 311 ayat (1) KUHP mengenai memfitnah menyebutkan :


“Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis,
dalam hal diperbolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang
dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan

11) Abdul Wahid dan M. Labib. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Rafika Aditama. Bandung. 2005. Hal. 22-
23.
22) Ibid. Hal. 25
33) Leden Marpaung. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya. PT Grafindo
Persada. Jakarta. 2007. Hal. 11.
44) Ibid., hlm. 17.

1
2

bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena


melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” 5)

Di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi


Elektronik (ITE) terdapat 19 bentuk perbuatan yang dilarang, sebagaimana di atur
dalam Pasal 27 sampai Pasal 37, dimana salah satunya adalah tindak pidana
penghinaan yang dimuat dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (1). Ketentuan pasal
tersebut menyebutkan :
1. Pasal 27 selengkapnya menyebutkan bahwa perbuatan yang dilarang
adalah :
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.

2. Pasal 45 Ayat (1) menyebutkan bahwa : “Setiap orang yang memenuhi


unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar).”
Tindak pidana penghinaan khusus dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jika di
uraikan terdapat unsur-unsur berikut :
1. Unsur objektif
a. Perbuatan yaitu : mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat
dapat diaksesnya;
b. Melawan hukum, yaitu : tanpa hak.
c. Objeknya yaitu :
1) informasi elektronik dan/atau
2) dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik;
2. Unsur subjektif
Kesalahan, yaitu : dengan sengaja.

55) Ibid., hlm. 31.


3

Terkait dengan hal perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan,


membuat dapat diaksesnya, tidak terdapat penjelasan apa-apa mengenai tiga
perbuatan tersebut dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), oleh karena itu harus dicari di luar Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008, khususnya dari sudut harfiah yang disesuaikan dengan
teknologi informasi. Diterapkan dengan mempertimbangkan segala keadaan dan
sifat dari peristiwa konkret yang disangkakan/diduga memuat tindak pidana
bentuk penghinaan menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) tersebut.
1. Mendistribusikan
Mendistribusikan adalah kegiatan menyalurkan (membagikan,
mengirimkan) kepada beberapa orang atau beberapa tempat. 6) Dalam konteks
tindak pidana penghinaan dengan menggunakan sarana teknologi informasi
menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Informasi elektronik yang didistribusikan adalah merupakan data atau
sekumpulan data elektronik seperti tulisan, suara, gambar, gambar bergerak
bersuara maupun tidak, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik (electronik maill) telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, anda, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang mampu
memahaminya.7)
Perbuatan mendistribusikan data atau sekumpulan data elektronik
tersebut dalam rangka melakukan transaksi elektronik. Suatu perbuatan hukum
yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan
menggunakan sarana komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik
lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.8)
2. Menstransmisikan
Perbuatan menstransmisikan mengandung arti yang lebih spesipik dan bersifat
teknis. Khususnya teknologi informasi elektronika jika dibandingkan dengan
perbuatan mendistribusikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dirumuskan bahwa : “Menstransmisikan adalah mengirimkan atau meneruskan
pesan dari seseorang (benda) kepada orang lain (benda lain).”9) Dari kalimat
tersebut, dengan menghubungkannya dengan objek yang ditransmisikan,
maka perbuatan mentrasmisikan dapatlah dirumuskan sebagai : “Perbuatan
dengan cara tertentu atau melalui perangkat tertentu, mengirimkan atau
meneruskan informasi elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi

66) Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa. Edisi keempat. Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2008. Hal. 336.
77) Lihat Pasal 1 Angka 1 UU ITE.
88) Lihat Pasal 1 Angka 3 UU ITE.
99) Departemen Pendidikan Nasional. Op.Cit. Ha1. 485.
4

kepada orang atau benda (perangkat elektronik) dalam usaha melakukan


transaksi elektronik.”
Seperti juga perbuatan mendistribusikan, perbuatan menstansmisi-kan
mengandung sifat materiil. Karena perbuatan menstansmisikan dapat menjadi
selesai secara sempurna, apabila data atau sekumpulan data elektronik yang
ditransmisikan sudah terbukti tersalurkan atau diteruskan dan atau diterima
oleh orang atau benda perangkat apapun namanya dalam bidang teknologi
informasi. Keadaan ini harus dibuktikan oleh jaksa.
3. Membuat dapat diaksesnya
Perbuatan “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik sifatnya lebih
abstrak dari perbuatan mendistribusikan dan mentrasmisikan. Karena itu
mengandung makna yang lebih luas dari kedua perbuatan yang lainnya.
Kiranya ada maksud pembentuk Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi
dan Transaksi Elektronik dalam hal mencantumkan unsur perbuatan tersebut
pada urutan ketiga. Ditujukan untuk menghindari apabila terdapat kesulitan
dalam hal pembuktian terhadap dua perbuatan lainnya. Maka ada cadangan
perbuatan ketiga, yang sifatnya dapat menampung kesulitan itu.
Dihubungkan dengan objek tindak pidana menurut Pasal 27 ayat (3)
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik,
perbuatan membuat dapat diaksesnya adalah melakukan perbuatan dengan
cara apapun melalui perangkat elektronik dengan memanfaatkan teknologi
informasi terhadap data atau sekumpulan data elektronik dalam melakukan
transaksi elektronik yang menyebabkan data elektronik tersebut menjadi dapat
diakses oleh orang lain atau benda elektronik lain.
Penghinaan khusus Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan
Transaksi Elektronik, dengan perbuatan “membuat dapat diaksesnya”
merupakan tindak pidana materiil murni. Untuk terwujudnya secara sempurna
tindak pidana ini, diperlukan akibat bahwa data atau sekumpulan data
elektronik telah dapat diakses oleh orang lain atau seperangkat alat elektronik.
Jaksa harus membuktikan bahwa data elektronik tersebut telah nyata-nyata
diakses oleh orang lain. Minimal sudah terdapat/menyebar dalam perangkat
elektronik yang lain dari perangkat elektronik semula yang digunakan oleh
pembuatnya.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap unsur tindak pidana tidak berdiri
sendiri. Selalu mempunyai hubungan dengan unsur-unsur lainnya. Dari sudut
normatif, tindak pidana adalah suatu pengertian tentang hubungan antara
kompleksitas unsur-unsurnya tersebut. Dari hubungan inilah kita dapat
mengetahui alasan tercelanya perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana.
Hubungan yang dekat dengan unsur tanpa hak dari perbuatan
mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses informasi
elektronik, terdapat pada 2 unsur.
1. Secara objektif.
5

Hubungan itu sangat dekat dengan sifat isi informasi elektronik yang
didistribusikan, ditransmisikan oleh pembuatnya. Sifat isi informasi atau
dokumen (objek) elektronik tersebut mengandung muatan bentuk-bentuk
penghinaan, utamanya bentuk pencemaran. Pada unsur inilah melekat sifat
melawan hukum perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan informasi
elektronik tersebut. Sekaligus merupakan alasan mengapa perbuatan
mendistribusikan dan mentransmisikan menjadi terlarang. Oleh sebab itu, jika
orang yang mengirimkan data elektronik tanpa memenuhi syarat tersebut tidak
termasuk melawan hukum, dan tidak boleh dipidana.
2. Secara subjektif.
Hubungan melawan hukum sangat dekat dengan unsur dengan sengaja
(kesalahan). Jan Remmelink menyatakan bahwa mengajarkan pada kita
bahwa cara penempatan unsur sengaja dalam kentuan pidana akan
menentukan relasi pengertian ini terhadap unsur-unsur delik lainnya: apa yang
mengikuti kata ini akan dipengaruhi olehnya.11)
Disamping itu sengaja harus juga ditujukan pada unsur tanpa hak.
Artinya bahwa pembuatnya sebelum menstransmisikan, mendistribusikan
informasi elektronik atau dokumen elektronik tersebut, telah mengetahui atau
menyadari bahwa pembuatnya tidak berhak melakukannya. Perbuatannya
melawan hukum, tercela, tidak dibenarkan dan dilarang. Kesadaran yang
demikianlah yang biasanya disebut dengan sifat melawan hukum subjektif.
Suatu kesadaran yang tidak perlu mengetahui secara persis tentang undang-
undang atau pasal yang melarang.
Cukup kesadaran bahwa perbuatan semacam itu tercela, tidak dibenarkan.
Suatu kesadaran yang selalu ada bagi setiap orang normal pada umumnya.
Orang yang berjiwa normal saja yang dapat menilai terhadap semua
perbuatan yang hendak dilakukannya sebagai halal ataukah haram. Oleh
karena itu untuk membuktikan kesadaran sifat melawan hukum perbuatan
patokannya, ialah terbukti pembuatnya berjiwa normal.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pembentuk WvS Belanda
telah mengambil sikap yang rasional mengenai unsur sifat melawan hukum.
Bahwa dengan dibentuknya tindak pidana dalam undang-undang sudah dengan
sendirinya terdapat unsur sifat melawan hukum. Dalam setiap rumusan tindak
pidana telah terdapat unsur melawan hukum. Meskipun di dalam rumusan tidak
dicantumkan. Tidak perlu setiap rumusan tindak pidana selalu mencantumkan
melawan hukum secara tegas. Hanya apabila dalam hal-hal ada alasan saja
maka unsur melawan hukum perlu dicantumkan. Hal-hal yang dimaksud ialah
apabila ada orang lain yang berhak untuk melakukan perbuatan yang sama
seperti tindak pidana yang dirumuskan undang-undang. Barulah dalam rumusan
sifat melawan hukum perbuatan perlu dicantumkan. WvS bermaksud mencegah
agar mereka yang menggunakan hak atau kewenangan mereka itu tidak

111) Jan Remmelink. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan
Padanannya dalam KUHP Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003. Hal. 152.
6

sertamerta dipidana.12) Dengan mengingat petunjuk MvT WvS Belanda tersebut,


kita harus memahami maksud pembentuk Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Informasi dan Transaksi Elektronik mencantumkan unsur tanpa hak dalam
rumusan tindak pidan Pasal 27 Ayat (3). Tentu ada maksud pembentuk Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik mencantumkan
unsur tanpa hak (istilah lain dari melawan hukum) dalam rumusan tindak pidana
Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi
Elektronik tersebut. Kiranya maksud pembentuk Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 Informasi dan Transaksi Elektronik ditujukan agar orang yang berhak
melakukan perbuatan mendistribusi, mentransmisikan, membuat dapat diakses
informasi elektronik tidak boleh dipidana. Meskipun informasi yang didistribusikan
bersifat menghinakan orang lain.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik,
tidak memberikan keterangan apa-apa tentang persoalan dalam hal mana, atau
dengan syarat apa orang yang mendistribusikan, mentrasmisikan atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik yang isinya bersifat menghina tersebut
berhak melakukannya, oleh karena itu harus dicari dari sumber hukum
penghinaan, ialah Bab XVI Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) bersumber pada pencemaran sebagaimana ketentuan
Pasal 310. Bentuk-bentuk penghinaan tersebut mengandung sifat yang
sama, ialah terdapat pada pencemaran. Setiap bentuk penghinaan selalu bersifat
mencemarkan nama baik dan kehormatan orang. Oleh sebab itu pencemaran
dapat dianggap sebagai bentuk standar penghinaan.
Pada pencemaran terdapat alasan peniadaan sifat melawan hukum
perbuatan. Pencemaan tidak dipidana apabila dilakukan demi kepentingan umum
atau karena terpaksa untuk membela diri. Dua keadaan inilah yang menyebabkan
pembuatnya berhak mendistribusikan, mentransmisikan informasi elektronik
meskipun isinya bersifat penghinaan. Dengan hapusnya sifat melawan hukum
sama artinya dengan pembuatnya berhak melakukan.
Untuk dapat mengajukan alasan demi kepentingan umum. Disamping
memang sangat perlu, dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi
pembuatnya sendiri. Melainkan untuk kepentingan orang lain (umum). Juga isi
yang disampaikan haruslah benar, tidak boleh palsu. Sementara itu, untuk dapat
mengemukakan alasan membela diri, diperlukan 2 (dua) syarat yaitu :
1. Pertama, harus terlebih dulu ada perbuatan - berupa serangan oleh
orang lain yang bersifat melawan hukum.
2. Kedua, bahwa yang dituduhkan isinya harus benar. Pembuatnya harus
dapat membuktikan syarat-syarat tersebut.
Sebenarnya sangat sulit sekali untuk mendapatkan bukti digital
forensik dari kasus pencemaran nama baik yang telah berada ataupun telah

112) Ibid. Hal. 187.


7

selesai menjalani persidangan. hal tersebut terjadi karena sudah dihapus dari
dunia maya, hal ini sebagaimana contoh kasus yang ditangani Mabes Polri,
terkait bukti digital forensik dari kasus Prita Mulya Sari. Perlu diketahui bahwa
kasus ini telah berakhir dan Prita Mulya Sari tidak terbukti bersalah.
Ada beberapa kaidah hukum yang bisa ditarik, dari kasus Prita Mulya Sari,
diantarannya sebagai berikut :
1. Mengungkap sebuah perasaan berupa keluhan tentang apa yang telah
dialami selama menjalani proses pengobatan, yang dituangkan dalam sebuah
email lalu disebar luaskan melalui email kealamat email kawan-kawannya,
tidaklah dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum;
2. Tindakan mengirim atau menyebarkan email yang berisi keluhan
tersebut kepada kawan-kawannya, juga bukan merupakan sebuah
penghinaan. Tindakan tersebut bukan dianggap sebagai suatu "penyerangan"
terhadap suatu instansi, tetapi memang fakta apa yang dialami oleh pihak
terkait.
3. Email, adalah alat komunikasi yang sifatnya pribadi dan tertutup, dan
hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengakses dan membacanya,
bukanlah sebuah media umum.
4. Hak untuk menyampaikan informasi melalui berbagai media, secara
konstitusional telah diakui dan dijamin dalam pasal 28 F UUD 1945 yang
menentukan bahwa : "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia”
5. Adanya putusan hakim pidana yang telah menyatakan terdakwa di
bebaskan dari tindak pencemaran nama baik, terkait dengan gugatan perdata,
putusan pidana tersebut dapat dijadikan bahan dan dipakai sebagai salah satu
dasar atau alasan untuk menentukan bahwa perbuatan yang dilakukan
tersebut bukanlah sifat melawan hukum.

B. Konsekuensi Hukum Apabila Terjadi Tindak Pidana Pencemaran dan


Penghinaan Nama Baik Menurut Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronika
Ada 3 (tiga) hal yang perlu dipahami tentang penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik” dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 ayat (3) Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronika yaitu :
1. Unsur ini merupakan unsur keadaan yang menyertai yang melekat
pada objek informasi dan/atau dokumen elektronik. Meskipun dua unsur ini
dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan.
2. Pada unsur inilah melekat/letak sifat melawan hukum dari perbuatan
mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksenya informasi elektronik. Sekaligus di dalamnya diletakkan maksud dan
8

tujuan dibentuknya tindak pidana ini. Sebagai memberi perlindungan hukum


terhadap harga diri, martabat dan kehormatan orang.
3. Sebagai indikator bahwa tindak pidana ini merupakan lex specialis dari
bentuk-bentuk penghinaan umum, utamanya pencemaran dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Terdapat 6 indikator lex specialis penghinaan dalam Pasal 27 Ayat (3) jo 45
Ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronika dari bentuk penghinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), khususnya pencemaran, diantaranya yaitu :
a. Dalam frasa yang memiliki muatan penghinaan, khususnya kata/unsur
penghinaan dalam kalimat rumusan Pasal 27 Ayat (3) mengandung makna
yuridis adalah semua bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI buku II
KUHP. Mulai pencemaran, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah,
menimbulkan persangkaan palsu sampai penghinaan pada orang mati.
b. Dalam frasa pencemaran nama baik sudah dapat dipastikan, bahwa
maksudnya adalah pencemaran (bentuk standar) dalam Pasal 310 Ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hanya saja rumusan Pasal
27 Ayat (3) tersebut kurang lengkap. Tidak menyebutkan objek pencemaran
yang lain ialah hehormatan (eer).
Harga diri dibidang nama baik (goeden naam) itu merupakan salah satu saja
dari objek pencemaran, selain kehormatan (eer).
Menuliskan frasa “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, dirasa
janggal. Karena kurang tepat. Sebagaimana diketahui, penghinaan (beleediging)
bukan nama/kualifikasi sebuah tindak pidana. Melainkan nama suatu kelompok
tindak pidana yang mempunyai kesamaan sifat. Terutama kepentingan hukum
yang hendak dilindungi oleh kejahatan-kejahatan tersebut. Demikian juga dengan
menggunakan kata “atau pencemaran nama baik” setelah kata penghinaan.
Seolah-olah penghinaan itu lain artinya dengan pencemaran. Padahal di dalam
penghinaan terdapat pencemaran. Seharusnya cukup menggunakan kata
penghinaan saja. Namun dapat dimengerti, apabila maksud pembentuk UU ITE
diantara sekian banyak bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP
tersebut, yang diutamakan adalah pencemaran.
Dalam KUHP juga terdapat tindak pidana penghinaan khusus. Terdapat
dalam pasal-pasal 142, 142a, 143, 144, 154a, 154, 56, 156a, 157, 207, dan
Pasal 208 KUHP. Perlu disampaikan bahwa penyebutan penghinaan khusus
dalam pasal-pasal KUHP tersebut, tidak menggunakan indikator lex specialis
sebagaimana diterangkan sebelumnya. Melainkan berdasarkan sifat umum dari
bentuk-bentuk penghinaan. Sifat umum itu ialah, bahwa penghinaan menyerang
rasa harga diri mengenai kehormatan dan nama baik individu atau sekelompok
orang. Menimbulkan perasaan malu, amarah, jengkel, sakit hati, merendahkan
harga diri pribadi atau kelompok orang. Semua perasaan tersebut membuat
orang tidak nyaman dan menyakitkan. Berdasarkan sifat umum penghinaan,
9

maka penghinaan dalam pasal-pasal tersebut dengan alasan apapun harus


diterima sebagai bagian dari bentuk-bentuk penghinaan.
Oleh karena itu apabila mendasarkan pada sifat umum penghinaan, maka
tidak ada alasan yang kuat untuk menolak bahwa penghinaan khusus dalam UU
ITE ini dapat juga diberlakukan pada bentuk-bentuk penghinaan khusus yang
terdapat dalam KUHP. Asalkan dapat terpenuhi semua unsur-unsur khusus dalam
Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Baik perbuatannya maupun objeknya sebagaimana
yang sudah diterangkan sebelumnya. Perbuatann mendistribusikan,
mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya. Sementara objeknya adalah
informasi elektronik atau dokumen elektronik, dimana isinya bersifat menghina
orang pribadi maupun kelompok orang.
Ketentuan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) banyak menuai
kontroversi, hal ini disebabkan karena aparat penegak hukum dengan mudahnya
menggunakan pasal tersebut untuk mendakwa seseorang yang dianggap
mencemarkan diri pribadi orang lain dalam ranah internet. Bunyi pasal tersebut
adalah sebagai berikut:
(3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008


(1) “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sungguh berat sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 27 ayat (3)


Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dilihat dari karakteristik internet di
atas (annonimity, bordeerless, masive effect). Kemudian, perumusan sanksi
pidana yang di atur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya memberikan batas maksimal :
"...sebanyak-banyaknya..." dan bukan perumusan "...paling singkat...dan paling
lama..." seperti perumusan dalam undang-udang pemberatasan tindak pidana
Korupsi. Berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan Hakim tergantung pada
kesalahan terdakwa.
Sebagai perbandingan berikut ini beberapa perumusan ancaman maksimal
pidana terhadap tindak pidana penyebaran informasi yang bersifat melawan
hukum, diantarnya.
1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dimuat
dalam Pasal 17 yaitu Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan dengan
kebijaksanaan Pemerintah di bidang Agamapertahanan dan keamanan
10

Negara, kesusilaan, sertaketertiban umum, ancaman pidana maksimal 5 (lima)


tahun dan atau denda maksiaml 1 miliyar.
2. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dimuat
dalam Pasal 57jo. Pasal 36 ayat(5) dan ayat (6) yaitu dilakukan dengan cara
menyiarkan :
a. Melalui radio di pidana penjara 5 tahun dan atau denda 1 miliyar;
b. Melalui televisi : pidana penjara 5 tahun dan / atau denda 10 milyar.

C. Upaya Pembelaan yang Dapat Dilakukan oleh Pelaku Tindak Pidana


Pencemaran dan Penghinaan Nama Baik Menurut Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronika
Contoh kasus yang dapat digunakan dalam hal ini adalah kasus yang
terjadi pada seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari, mantan pasien
Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang. Saat dirawat Prita
Mulyasari tidak mendapatkan kesembuhan, malah penyakitnya bertambah parah.
Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit
serta rekam medis yang diperlukan pasien.
Kemudian Prita Mulyasari warga Vila Melati Mas Residence Serpong tersebut
mengeluhkan pelayanan rumah sakit lewat surat elektronik yang kemudian
menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit
Omni Internasional marah, dan merasa dicemarkan. Lalu RS. Omni International
mengadukan Prita Mulyasari secara pidana.
Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata.
Kejaksaan Negeri Tangerang telah menahan Prita Mulyasari di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal
pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
Prita Mulyasari menjadi korban dari Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE.
Adapun menurut jaksa penuntut umum di dalam surat dakwaanya mendakwa
Prita Mulyasari sebagai berikut :
Terdakwa Prita Mulyasari pada tanggal 15 Agustus 2008 atau setidak-
tidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus 2008, bertempat di Rumah
Sakit Internasional Bintaro Tangerang atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Tanggerang, yang memenuhi unsur dalam pasal 27 ayat (3) yaitu dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik yaitu dr. Hengky Gosal, Sp.PD dan dr. Grace H.
Yarlen Nela… Selanjutnya terdakwa mengirim E-Mail tersebut melalui
alamat email “Prita Mulyasari @ yahoo.com” ke sejumlah orang yang
berjudul “Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang”
yang isinya antara lain “Saya informasikan juga dr. Hengky praktek di
RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati
11

dengan perawatan medis dari dokter ini” dan “Tanggapan dr. Grace yang
katanya adalah penanggungjawab masalah komplain saya ini tidak
profesional sama sekali” dan Tidak ada sopan santun dan etika mengenai
pelayanan customer.

Dari kutipan surat dakwaan diatas, sebenarnya Prita Mulyasari awalnya


mengirimkan emailnya ke sejumlah orang terdekatnya. Email tersebut berisi
keluh-kesah dirinya atas pelayanan yang kurang profesional dari dokter rumah
sakit tersebut. Permasalahan selanjutnya yang timbul adalah menyebarnya email
Prita dan terkait orang yang menyebarkan email Prita kepada temannya tersebut
ke ranah publik, dimana sampai saat ini tidak dapat ditelusuri siapa yang
menyebarkan email Prita tersebut.13)
Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat
pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), karena akan mengancam kebebasan berekspresi.
Beberapa aliansi menilai bahwa : 14)
Rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah
dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat
muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis, maupun individu
yang melakukan forward ke alamat tertentu. Kasus ini juga akan membawa
dampak buruk dan membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat
atau komentarnya di ranah dunia maya. Pasal 27 ayat (3) ini yang juga
sering disebut pasal karet, memiliki sanksi denda hingga Rp. 1 miliar dan
penjara hingga enam tahun.”

Terkait dengan permasalahan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal


27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak, pelaku
maupun korban adalah sebagaimana ketentuan sebagai berikut :
1. Pasal 38, menyebutkan :
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi
Informasi yang menimbulkan kerugian.
(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap
pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau meng-gunakan
Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

2. Pasal 39, menyebutkan :


(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.

113) http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/1294/Kasus.Prita.Mulyasari. Diakses 8 Juni 2013 : 19:00 Wib.


114) Ibid.
12

(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau
lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.

Hal diatas ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008,


dimana dengan ketentuan tersebut memberi ruang bagi para pihak untuk
menyelesaikan perdamaian diluar pengadilan ataupun menempuh melalui proses
perdata. Setelah tindak pidana tersebut diproses dan mendapatkan putusan
berkekuatan hukum tetap (in kracth), korban dapat mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHP perdata dengan dasar
putusan pidana tersebut.
Dari pemahaman pembahasan diatas, maka para pihak dalam
menyelesaiakan permasalahan terkait ketentuan Pasal 27 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat
diselesaikan secara perdata, seperti melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya sebelum dilanjutkan ke ranah pidana.
Bagi pelaku yang didakwakan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik upaya hukum yang dapat dilaksanakan dalam pelaksanaan perkara
pidananya adalah dengan melakukan mediasi penal, upaya hukum biasa, upaya
hukum luar biasa.
Mediasi penal hanya dapat dilakukan apabila para pihak memang telah setuju
untuk tidak membawa perkaranya ke ranah peradilan pidana, sedangkan upaya
hukum biasa dapat dilaksanakan setelah adanya putusan pengadilan pertama
dalam bentuk banding dan kasasi dan upaya hukum luar biasa dapat dilakukan
dengan melakukan upaya peninjauan kembali.
13

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tentang pencemaran dan penghinaan nama baik menurut Pasal 27
ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronika dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Pencemaran dan penghinaan nama baik dapat dilakukan dengan cara
mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya
informasi, dengan melawan hukum (tanpa hak) dan dilakukan secara
sengaja.
b. Objek pencemaran dan penghinaan nama baik adalah informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
c. Ketentuan pasal ini tidak memberikan keterangan tentang dalam hal
mana, atau dengan syarat apa orang yang mendistribusikan,
mentrasmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang
isinya bersifat menghina tersebut berhak melakukannya, oleh karena itu
harus dicari dari sumber hukum penghinaan, ialah Bab XVI Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Konsekuensi hukum apabila terjadi tindak pidana pencemaran dan
penghinaan nama baik menurut Pasal 27 ayat (3) Undang-undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika sebagaimana
ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
3. Upaya pembelaan yang dapat dilakukan oleh pelaku tindak pidana
pencemaran dan penghinaan nama baik menurut Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 adalah dengan melakukan mediasi penal, upaya hukum biasa
maupun upaya hukum luar biasa.
Mediasi penal hanya dapat dilakukan apabila para pihak telah setuju untuk
tidak membawa perkaranya ke ranah peradilan pidana, sedangkan upaya
hukum biasa dapat dilaksanakan setelah adanya putusan pengadilan pertama
dalam bentuk banding dan kasasi sedangkan upaya hukum luar biasa
dilakukan dengan melakukan peninjauan kembali.

B. Saran-Saran
1. Terkait dengan tindak pencemaran dan penghinaan nama baik
menurut Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronika sebaiknya ditinjau kembali terkait dengan
delik tersebut, terutama dengan ketentuan sanksi pidananya
2. Apabila konsekuensi hukum terkait dengan tindak pidana pencemaran
dan penghinaan nama baik menurut Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika akan diterapkan,
14

hendaknya diterapkan dalam kondisi yang benar-benar menunjukkan adanya


efek negatif pencemaran nama baik yang menimbulkan kerugian, khususnya
bagi msayarakat luas dan Negara.
3. Upaya pembelaan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana
pencemaran dan penghinaan nama baik menurut Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 apabila dimungkinkan sebaiknya dilakukan melalui mediasi
sebelum menggunakan jalur perdata dan pidana.

Anda mungkin juga menyukai