Anda di halaman 1dari 3

Nama : Gilang Febrian Valentino

NIM : 2004551022
No. Absen : 02
No. WA : 087766670467

WANITA KONTEMPORER: PERWUJUDAN PERAN WANITA PASCA EMANSIPASI

Perlakuan terhadap wanita saat ini, memang sudah jauh lebih baik dengan kondisi yang harus
dihadapi perempuan pada zaman Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Meutia, Wardah Hafidz,
dan Myra Diarsi ketika masih hidup. Pada masa Kartini, perempuan sangat terkungkung
dengan adat dan budaya. Persepsi lingkungan telah mengungkung kebebasan perempuan
untuk menuntut ilmu dan menempuh pendidikan berbeda seperti halnya laki-laki. Yang
kemudian kegelisahan hati Kartini tersebut menjadi dasar atas apa yang ingin dia
perjuangkan, dan dituliskan melalui bukunya berjudul Door Duiternis Tot Licht (Habis Gelap
Terbitlah Terang) pada 1911.

Kaum perempuan hari ini sudah lebih mudah menikmati akses terhadap pendidikan. Angka
perempuan buta huruf pun juga jauh berkurang setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai persentase perempuan yang buta
huruf pada tahun 2009 hingga 2013 yaitu, dari 9,20 persen menjadi 7,69 persen. Namun,
paradigma masyarakat dalam relasinya perempuan dengan media kerap menggambarkan
perempuan lebih sering menunjukkan eksistensinya menjadi objek, bukan subjek.

Idealnya, perempuan seharusnya bukan hanya menjadi objek bagi media massa, tetapi juga
perlu didorong untuk menjadi subjek. Namun sekali lagi, dalam realitasnya sangat sedikit
perempuan yang memiliki akses dan kontrol terhadap media massa. Seharusnya, mereka
banyak terlibat dan melibatkan diri dalam memanfaatkan media massa sebagai media belajar
dan juga media pengembangan potensi diri.

Jika kita membandingkan dua tokoh emansipasi wanita yaitu, R.A. Kartini dan Cut Nyak
Meutia, keduanya telah memperjuangkan hak perempuan dengan cara yang berbeda. Cut
Nyak Meutia yang telah berperang secara fisik melawan penjajah, dia bukan hanya
memperjuangkan perempuan, tetapi juga Tanah Air-nya.
Walaupun, kita tidak dapat membandingkan keduanya secara setara dari cara mereka
berjuang mewujudkan emansipasi perempuan. Cut Nyak Meutia dengan pertempuran, dan
Kartini dengan tulisannya. Hal inilah yang kemudian membedakan Kartini dengan pejuang
lainnya, dengan kontribusi gagasan melalui tulisannya itu, ia telah melanggengkan
perjuangannya hingga saat ini.

Kondisi perempuan di Indonesia memang jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan
yang dialami pada masa Kartini yang mengelabui karakter masyarakat Jawa pada saat itu
menjadi patriarkis. Faktanya di Indonesia, pada tahun 2009 hingga 2012 data BPS
menunjukkan tingkat pengangguran penduduk berdasarkan gender (perempuan) menurun dari
19,31 persen menjadi 15,48 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia
setidaknya telah mendapatkan kesempatannya untuk terlibat di luar ranah domestik dengan
bekerja di luar rumah.

Kesempatan lainnya yang telah didapatkan oleh perempuan di Indonesia pun juga dapat
dilihat di ranah politik, dimana perempuan telah diberikan kesempatan untuk mengisinya,
yaitu berdasarkan amanat UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, dan Inpres No. 9 Tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang berisi dalam proses
seleksi institusi publik harus mengakomodir setidaknya 30 persen keterwakilan gender. Yang
kemudian hal ini merupakan usaha pemerintah untuk memberikan persamaan hak terhadap
perempuan dan laki-laki.

Era perempuan kontemporer, bukan lagi mengenai bagaimana memperjuangkan hak


perempuan untuk diberikan kesempatan yang sama halnya dengan laki-laki di berbagai aspek
pendidikan, publik (politik) dan lainnya. Tetapi, perempuan kontemporer memiliki tugas dan
peran dalam berjuang untuk mengisi kesempatan yang ada dan telah diberikan hingga saat
ini.

Setidaknya, perempuan Indonesia harus belajar dari Kartini, menuliskan gagasannya, dan
menjadikan tulisannya sebagai alat perjuangan, yang hingga saat ini gagasan-gagasannya
tersebut dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia. Melalui tulisannya Kartini membawa
pesannya bahwa perempuan harus mampu merefleksikan kembali harapan perempuan
Indonesia untuk lebih terlibat dalam memajukan peradaban bangsa Indonesia. Setidaknya ada
beberapa hal yang masih harus diperjuangkan oleh perempuan Indonesia, diantaranya
merupakan melakukan penyadaran dalam mengisi dan menggunakan kesempatan yang ada.
Mengutip buku Wanita dalam Kesusastraan Perancis (Apsanti, 2003), agar perempuan tidak
lagi tertindas atau ditindas, maka seharusnya perempuan harus melawan. Setidaknya, mereka
harus berani mengemukakan wacananya sendiri yang secara alamiah bisa didapatkannya
dengan cara terus mengeksplorasi.

Perempuan harus menulis, karena dengan menulis berarti perempuan telah membangun atau
mengkonstruksi wacananya sendiri dan mendekonstruksi wacana patriarkial yang dominan.
Kesemuanya dapat dilakukan melalui bahasa. Hal tebesar dan terpenting yang ada di dunia
adalah bahasa. Perempuan harus membangun bahasanya sendiri. Perempuan harus
menjadikan kegiatan menulis itu sendiri untuk membangun dunia yang diinginkan.

Terakhir, menulis adalah berperang, tindakan pembebasan melawan kekuasaan yang


mendominasi. Perempuan memiliki kesempatan itu. Kita harus menyadari, bahwa peran
individu dalam masyarakat tidak ditentukan oleh jenis kelamin, ras, agama, atau budaya.
Tetapi, bagaimana kesempatan yang dimiliki saat ini mampu dipergunakan secara
bertanggung jawab

Anda mungkin juga menyukai