PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
yang dapat dialami oleh semua kelompok umur mulai dari balita sampai usia
lanjut. Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada perempuan
usia ≥15 tahun sebesar 22,7%. Data SKRT tahun 2001 menunjukkan bahwa
prevalensi anemia pada rematri (usia 10-19 tahun) sebesar 30 %. Data penelitian
di berbagai daerah Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada rematri
berkisar antara 32,4%-61% (WHO-VNIS,2005; Kurniawan YAI dan Muslimatun,
2006; Marudut,2012).
Anemia gizi besi menjadi salah satu penyebab utama anemia, diantaranya
karena asupan makanan sumber zat besi yang kurang. Hasil penelitian di
Tangerang tahun 2004 (Kurniawan YAI dan Muslimatun, 2005) menunjukkan
bahwa asupan total zat besi pada anak perempuan usia 10–12 tahun yang
menderita anemia hanya sebesar 5,4 mg/hari, lebih rendah daripada kebutuhan
perhari sebesar 20 mg/hari sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013.
Angka ini menunjukkan bahwa asupan total zat besi pada remaja tersebut hanya
sekitar 25% dari AKG. Penelitian tersebut juga menunjukkan konsumsi besi heme
sebesar 0,8 mg/hari dan besi non-heme sebesar 4,6 mg/hari.
Remaja putri (rematri) rentan menderita anemia karena banyak kehilangan
darah saat menstruasi. Rematri yang menderita anemia berisiko mengalami
anemia pada saat hamil. Hal ini akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan
dan perkembangan janin dalam kandungan serta berpotensi menimbulkan
komplikasi kehamilan dan persalinan, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu
dan anak akibat perdarahan pasca persalinan (20.3%). (Sensus Penduduk, 2010)
Sesuai rekomendari WHO tahun 2011, upaya penanggulangan anemia pada
rematri dan Wanita Usia Subur (WUS) difokuskan pada kegiatan promosi dan
pencegahan, yaitu peningkatan konsumsi makanan kaya zat besi, suplementasi
Tablet Tambah Darah (TTD), serta peningkatan fortifikasi bahan pangan dengan
zat besi dan asam folat. Suplementasi zat besi berkaitan secara signifikan dengan
penurunan risiko anemia [WHO, 2011; 2016].
Rekomendasi WHO pada World Health Assembly (WHA) ke-65 yang
menyepakati rencana aksi dan target global untuk gizi ibu, bayi, dan anak, dengan
komitmen mengurangi separuh (50%) prevalensi anemia pada WUS pada tahun
2025. Menindaklanjuti rekomendasi tersebut maka pemerintah Indonesia
melakukan intensifikasi pencegahan dan penanggulangan anemia pada rematri
dan WUS dengan memprioritaskan pemberian TTD melalui institusi sekolah.
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI tahun 2015-2019 menargetkan
cakupan pemberian TTD pada rematri secara bertahap dari 10% (2015) hingga
mencapai 30% (2019). Diharapkan sektor terkait di tingkat pusat dan daerah
mengadakan TTD secara mandiri sehingga intervensi efektif dengan cakupan
dapat dicapai hingga 90% (The Lancet Series Maternal and Child Nutrition,
2013).
Indikator keberhasilan untuk program pencegahan dan penanggulangan
anemia pada rematri dan WUS adalah cakupan program anemia pada rematri dan
WUS, kepatuhan rematri dan WUS yang mengonsumsi TTD dan diharapkan
terjadi penurunan prevalensi anemia pada rematri dan WUS.
Program suplementasi zat besi telah diatur dalam buku Pedoman
Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan WUS dari Departemen
Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2006. Meskipun sudah cukup jelas,
program tersebut masih mengalami banyak kendala terutama dalam hal kepatuhan
(Depkes 2006; Risva et al. 2016).
Kepatuhan merupakan salah satu faktor yang dianggap paling berpengaruh
dalam keberhasilan program suplementasi besi (Maryani et al. 2006). Kepatuhan
mengonsumsi TTD diukur dari ketepatan jumlah tablet yang dikonsumsi dan
frekuensi mengonsumsi tablet. Pemberian TTD pada remaja putri yaitu 1
tablet/minggu dan 1 tablet/hari selama 10 hari ketika menstruasi (Depkes 2003).
Menurut Waliyo dan Agusanty (2016), kartu monitoring kepatuhan diberikan
untuk memotivasi individu menghabiskan TTD dan sebagai media komunikasi,
informasi, serta edukasi. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan model kartu
monitoring kepatuhan yang disertai dukungan guru dan orangtua, serta pemberian
informasi tambahan pada kartu mengenai anemia serta TTD.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka kami ingin mengetahui tingkat kepatuhan
konsumsi tablet Fe pada remaja di wilayah kerja Puskesmas Batu Aji.
Sarana kesehatan pemerintah yang ada di Kecamatan Batu Aji Kota Batam
meliputi Rumah sakit, Puskesmas, Pustu, sarana upaya kesehatan berbasis
masyarakat (UKBM) dan sarana kesehatan swasta menunjang sarana kesehatan
pemerintah untuk pemerataan pelayanan kesehatan di Kecamatan Batu Aji Kota
Batam yang mencakup RS. Swasta, Balai Pengobatan, Rumah Bersalin, BPS,
Apotik, Toko Obat dan pedagang besar farmasi.
Rumah Sakit
Rumah sakit di Kecamatan Batu Aji Kota Batam baik yang dikelola oleh
Pemerintah maupun swasta sampai tahun 2017 berjumlah 2 unit yaitu 1 unit
Rumah Sakit Pemerintah yang terletak di Kelurahan Bukit Tempayan dan 1 unit
Rumah Sakit swasta yang terletak di kelurahan Bukit Tempayan Kecamatan Batu
Aji Kota Batam.
Puskesmas
Polindes/Poskesdes
Posyandu
Posyandu merupakan bentuk UKBM yang paling dikenal dan sudah cukup
memasyarakat dan diakui telah memberi kontribusi yang besar dalam pelayanan
kesehatan pada masyarakat terutama kesehatan ibu dan anak.
11 10 9
7
2
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
Saat ini dalam perkembangannya yang terdiri dari 4 strata yaitu Pratama,
Madya, Purnama, Mandiri. Tingkat pertumbuhan posyandu di Kecamatan Batu
Aji Kota Batam secara kuantitas cukup menggembirakan dimana pada tahun 2015
berjumlah 51 unit, dan pada tahun 2017 berjumlah 58 unit yang tersebar di 4
kelurahan dalam wilayah kerja Puskesmas Batu Aji Kota Batam.
Pengobatan Alternatif
Ruangan UGD
Ruangan Poli Anak
Ruangan Poli Umum
Ruangan Poli KIA/KB
Ruangan Poli Gigi
Ruangan Apotik
Ruangan Medical Record/Loket
Ruangan Imunisas, Pojok Asi dan Pojok URO
Ruangan Tunggu
Gudang
Toilet
Lantai II :
Ruangan Laboratorium
Ruangan Keuangan
Ruangan Pertemuan
Ruangan Pimpinan
Ruangan Program
Ruangan Tata Usaha
Koridor
Toilet
Misi ini mendukung misi pemerintah kota Batam yaitu memelihara dan
meningkatkan kesehatan individu keluarga dan lingkungannya. Kesehatan adalah
hak azasi manusia dan merupakan investasi oleh karena itu memelihara dan
meningkatkan kesehatan individu keluarga dan lingkungan sangat diperlukan
demi terwujudnya sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas.
Jika misi seperti tersebut diatas ini tercapai maka dengan sendirinya akan
membantu misi Pemerintah Kota untuk mempercepat pembangunan daerah
hinterland karena dengan mewujudkan pelayanan kesehatan prima, merata dan
tejangkau maka tercakup didalammya adalah pelayanan kesehatan daerah
hinterland.
5. Mewujudkan manajemen kesehatan yang bermutu.
2.2.4.3. Tujuan
Tujuan Pembangunan Kota Batam pada tahun 2011-2016 yang merupakan
implementasi dari Misi. Sebagai penjabaran dari Visi Puskesmas Batu Aji, maka
tujuan yang akan dicapai adalah terselenggaranya Pembangunan Kesehatan secara
berhasil-guna dan berdayaguna dalam rangka mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang optimal dengan cara :
1. Memberdayakan masyarakat agar mampu menumbuhkan perilaku hidup
bersih sehat dan lingkungan sehat;
2. Meningkatkan kinerja dan mutu upaya kesehatan;
3. Perbaikan gizi masyarakat;
4. Meningkatan Sumber Daya Kesehatan baik dari segi kuantitas maupun
kualitas;
5. Tersedianya sarana, prasaran dan obat sesuai kebutuhan;
6. Manajemen kesehatan yang dinamis dan akuntabel.
2.2.4.4. Strategi
a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, Swasta dan masyarakat madani
dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama:
a. Mendorong kerjasama antar masyarakat, kelompok/lembaga
b. Memantapkan peran masyarakat atau swasta sebagai subjek atau
pelaku dan penyelenggara pembangunan kesehatan
c. Meningkatkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM)
d. Menerapakan Promosi Kesehatan yang efektif
Dengan fokus:
2.2.4.5. Kebijakan
Pembangunan Kesehatan merupakan bagian dari pembangunan bidang
sosial budaya dan kehidupan beragama yang diarahkan untuk mencapai sasaran
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), ditandai dengan
meningkatnya IPM dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang didukung oleh
tercapainya : penduduk tumbuh seimbang, serta makin kuatnya jati diri dan
karakter bangsa. Pencapaian sasaran tersebut ditentuksn oleh :
1. Terkendalinya pertumbuhan penududuk
2. Meningkatnya Umur Harapan Hidup
3. Meninkatnya rata-rata lama sekolah
4. Menurunya angka buta aksara
5. Meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup anak dan perempuan
6. Meningkatnya jati diri bangsa
Kebijakan yang akan di terapkan sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi
Puskesmas Batu Aji sebagai berikut:
1. Peningkatan Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk
mengoptimalkan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan, diperlukan kerja
sama lintas sektor yang mantap. Demikian pula optimalisasi pembangunan
berwawasan kesehatan yang mendukung tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan, menuntut adanya penggalangan kemitraan lintas sektor dan
segenap potensi. Kebijakan dan pelaksanaan pembangunan sektor lain perlu
memperhatikan dampak dan mendukung keberhasilan pembangunan
kesehatan. Untuk itu upaya sosialisasi masalah-masalah dan upaya
pembangunan kesehatan kepada sektor lain perlu dilakukan secara intensif
dan berkesinambungan. Kerja sama lintas sektor harus dilakukan sejak
perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan pengendalian, sampai pada
pengawasan dan penilaiannya. Dalam era reformasi, masyarakat termasuk
swasta harus berperan aktif dalam pembangunan kesehatan yang dimulai
sejak penyusunan berbagai kebijakan pembangunan kesehatan.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan mendorong masyarakat agar
mampu secara mandiri menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan dan
kesinambungan pelayanan kesehatan. Kemitraan dengan swasta diarahkan
pada pengembangan upaya kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan peran
swasta dalam upaya kesehatan masyarakat.
2. Peningkatan Kualitas Kesehatan Lingkungan, faktor lingkungan memegang
peran yang sangat penting dalam upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat. Berbagai penyakit baik menular maupun tidak menular saat ini
cenderung terjadi peningkatan, hal ini sangat erat hubungannya dengan
kondisi lingkungan permukiman masyarakat yang belum mendukung. Oleh
karena itu upaya peningkatan Kualitas kesehatan lingkungan menjadi
kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pengembangan kawasan sehat
juga perlu ditingkatkan, karena keberhasilannya merupakan kontribusi yang
positif terhadap terwujudnya visi pembangunan kesehatan secara nasional
yaitu “Indonesia Sehat 2010
3. Peningkatan pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak
menular Sesuai dengan paradigma sehat, Puskesmas Batu Aji harus
memberikan pengutamaan pada upaya kesehatan masyarakat yang dipadukan
secara serasi dan seimbang dengan upaya kesehatan perorangan. Di samping
itu upaya kesehatan bagi penduduk miskin, penanggulangan masalah gizi
pada balita dan ibu, serta pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
yang mempunyai komitmen regional dan global, promosi kesehatan dan
pendayagunaan tenaga kesehatan perlu mendapat pengutamaan, dan
penanganan secara menyeluruh, tanpa mengabaikan kerjasama yang sinergis
dengan lintas sektor, dan masyarakat termasuk swasta. Dengan peningkatan
tingkat kesehatan masyarakat maka hal ini juga akan menunjang tingkat
pertumbuhan ekonomi masyarakat.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Kepatuhan dalam Mengonsumsi Tablet Zat Besi (Fe)
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh yang berarti taat, suka menurut
perintah. Kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan
perilaku yang disarankan dokter atau oleh orang lain (Santoso, 2005). Menurut
Arisman (2004) mengartikan kepatuhan adalah sebagai tingkat pasien
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh bidannya atau
oleh orang lain. Kepatuhan dalam penelitian ini menunjuk pada kepatuhan remaja
dalam mengkonsumsi zat besi (Fe).
Perilaku mengonsumsi obat merupakan perilaku peran sakit yaitu tindakan
atau kegiatan yang dilakukan penderita agar dapat sembuh. Kepatuhan
menjalankan aturan pengobatan sangat penting untuk mencapai kesehatan secara
optimal. Perilaku kepatuhan dapat berupa perilaku patuh dan tidak patuh yang
dapat diukur melalui dimensi kemudahan, lama pengobatan, mutu, jarak dan
keteraturan pengobatan. Kepatuhan akan meningkat bila instruksi pengobatan
jelas, hubungan obat terhadap penyakit jelas dan pengobatan teratur serta adanya
keyakinan bahwa kesehatan akan pulih, petugas kesehatan yang menyenangkan
dan berwibawa, dukungan sosial keluarga pasien dan lain sebagainya
(Medicastore, 2007).
Definisi kepatuhan dalam mengkonsumsi tablet zat besi adalah ketaatan
remaja melaksanakan anjuran petugas kesehatan untuk mengkonsusmsi tablet zat
besi. Kepatuhan menurut Sackett pada pasien sebagai “Sejauh mana perilaku
individu sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional
kesehatan”(Afnita, 2004).
Kepatuhan mengkonsumsi tablet zat besi diukur dari ketepatan jumlah
tablet yang dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi tablet zat besi, frekuensi
konsumsi perhari. Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe merupakan salah
satu upaya penting dalam mencegah dan menanggulangi anemia, khususnya
anemia kekurangan besi. Suplementasi besi merupakan cara efektif karena
kandungan besinya yang dilengkapi asam folat yang sekaligus dapat mencegah
anemia karena kekurangan asam folat (Afnita, 2004).
Menurut Afnita (2004) yang dikutip Hartati (2014), kepatuhan tergantung
pada banyak faktor, diantaranya adalah pasien sering kali tidak mengakui bahwa
mereka tidak melakukan apa yang dianjurkan dokter. Untuk itu diperlukan
pendekatan yang baik dengan pasien agar dapat mengetahui kepatuhan mereka
dalam melaksanakan pengobatan.
Menurut Dinicola dan Dimatteo (1984) yang dikutip Niven (2002) cara
meningkatkan kepatuhan diantaranya melalui perilaku sehat dan pengontrolan
perilaku dengan faktor kognitif, dukungan sosial dalam bentuk dukungan
emosional dari anggota keluarga yang lain, teman, waktu dan uang merupakan
faktor yang penting dalam kepatuhan dalam program-program medis, dan
dukungan dari profesional kesehatan.
3.2 Cara Mengukur Kepatuhan
Beberapa ahli mengemukakan cara mengukur kepatuhan berobat antara
lain pengukuran kepatuhan berobat yang dinyatakan oleh Sacket, dkk (1985) dan
Sarafino (1990). Sacket, dkk (1985) menyatakan bahwa kepatuhan berobat dapat
diketahui melalui 7 cara yaitu: keputusan dokter yang didasarkan pada hasil
pemeriksaan, pengamatan terhadap jadwal pengobatan, penilaian pada tujuan
pengobatan, perhitungan jumlah tablet/pil pada akhir pengobatan, pengukuran
kadar obat dalam darah dan urin, wawancara pada pasien dan pengisian formulir
khusus. Pernyataan Sarafino (1990) hampir sama dengan Sacket yaitu kepatuhan
berobat pasien dapat diketahui melalui tiga cara yaitu perhitungan sisa obat secara
manual, perhitungan sisa obat berdasarkan suatu alat elektronik serta pengukuran
berdasarkan biokimia (kadar obat) dalam darah/urin).
Sebagai sebuah perilaku, aspek-aspek kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat dapat diketahui dari metode yang digunakan untuk
mengukurnya. Berdasarkan pendapat Lailahtushifah (2012) yang mengutip
pendapat Horne (2006), merangkum beberapa metode untuk mengukur kepatuhan
dalam mengkonsumsi obat seperti berikut:
a. Metode langsung
Metode langsung dapat dilakukan dengan observasi langsung, mengukur
metabolisme dalam tubuh dan mengukur aspek biologis dalam darah.
b. Metode tidak langsung
Metode tidak langsung dengan cara memberikan kuesioner kepada pasien
atau pelaporan diri pasien, melihat jumlah pil atau obat yang
dikonsumsi,rate beli ulang resep (kontiniutas), monitoring pengobatan
secara elektronik, catatan harian pasien dan kuesioner terhadap orang-
orang sekitar.
Terdapat teori utama yang diungkapkan oleh Lailahtushifah dikutip dari
pendapat Weinman dkk, menjelaskan perilaku patuh dalam mengkonsumsi obat
yaitu, :
a. Health Belief Model
Health Belief Model menjelaskan perilaku sehat (misal memeriksakan diri)
merupakan fungsi dari keyakinan personal terhadap besarnya ancaman penyakit
dan penularannya serta keuntungan dari rekomendasi yang diberikan petugas
kesehatan. Ancaman yang dirasakan berasal dari keyakinan tentang keseriusan
yang dirasakan terhadap penyakit dan kerentanan orang tersebut. Individu
kemudian menilai keuntungan tindakan yang diambil (misal: berobat akan
memperingan simptom), meskipun dibayang-bayangi oleh resiko-resiko dari
tindakan yang diambilnya, seperti takut akan efek samping atau pun biaya
pengobatan. Berdasarkan dinamika tersebut dapat dipahami bahwa kepatuhan
dalam mengkonsumsi obat merupakan proses yang diawali oleh keyakinan
seseorang akan keseriusan penyakitnya, yang berujung pada tindakan untuk
berobat ke petugas kesehatan, termasuk kepatuhan dalam mengkonsumsi obat.
b. Theory of Planned Behavior (TBP)
Teori ini berusaha menguji hubungan antara sikap dan perilaku yang focus
utamanya adalah pada intense (niat) yang mengantarkan hubungan antara sikap
dan perilaku norma subjektif terhadap perilaku, dan control terhadap perilaku
yang dirasakan. Sikap terhadap perilaku merupakan produk dari keyakinan
tentang hasil akhir, (misal : frekuensi kekambuhan epilepsy berkurang) dan nilai
yang dirasakan dari hasil akhir tersebut (kondisi jarang kambuh sangat penting
bagi orang tersebut). Norma subjektif berasal dari pandangan orang-orang
disekitar tentang perilaku berobat (misal: suami atau istri ingin agar orang tersebut
mengikuti rekomendasi dari dokter), dan motivasi untuk mendukung pandangan-
pandangan orang-orang disekitar tersebut. Contoh ibu hamil termotivasi untuk
mengkonsumsi tablet zat besi didukung ingin menyenangkan hati pasangannya
dengan mengikuti saran dan rekomendasi bidan atau dokter. Kontrol perilaku
yang dirasakan menggambarkan tentang seberapa jauh orang tersebut merasakan
bahwa perilaku patuh dapat dikendalikannya. Hal ini tergantung keyakinan orang
tersebut bahwa dirinya mampu untuk mengontrol tindakannya
3.3 Perilaku
Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat diamati pihak
luar.Perilaku seseorang atau subyek untuk patuh dipengaruhi atau ditentukan oleh
faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subyek. Skinner (1938) seorang
ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi
seseorang terhadap rangsangan dari luar (stimulus). Proses perubahan perilaku
merupakan hasil dari suatu yang kompleks, memerlukan waktu yang cukup lama
(Notoatmodjo, 2010).
Proses tersebut terdiri dari 4 tahap, yaitu:
a. Pengetahuan (knowledge) yaitu subyek yang mulai mengenal ide baru dan
baru dapat memahaminya.
b. Persuasi yaitu individu yang membentuk sikap positif atau negatif dari ide
baru tersebut.
c. Mengambil keputusan yaitu individu dapat aktif dalam menentukan
keputusan untuk menerima atau menolak ide tersebut.
d. Konfirmasi yaitu individu mulai mencari dukungan dari orang-orang
disekitar terhadap keputusan yang dibuatnya.
Dalam perilaku kesehatan menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo
(2003) terbagi tiga teori penyebab masalah kesehatan yaitu:
1. Faktor – faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seesorang, antara
lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi.
2. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya faktor
pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya
perilaku kesehatan, serta jarak sarana pelayanan kesehatan.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa perilaku berawal dari adanya pengalaman seseorang
serta didukung oleh faktor luar (lingkungan) baik fisik maupun non fisik,
kemudian dipersepsikan, diyakini, sehingga menimbulkan motivasi, niat
untuk bertindak, yang pada akhirnya terjadilah perwujudan niat yang
berupa melakukan perilaku.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku berawal dari adanya
pengalaman seseorang serta didukung oleh faktor luar (lingkungan) baik fisik
maupun non fisik, kemudian dipersepsikan, diyakini, sehingga menimbulkan
motivasi, niat dan bertindak, yang pada akhirnya terjadilah perwujudan niat yang
berupa melakukan perilaku.
3.4 Tablet Zat Besi (Fe)
Tablet tambah darah adalah tablet untuk suplementasi penanggulangan
anemia gizi yang setiap tablet mengandung 200 mg Sulfas Ferous (yang setara
dengan 60 mg besi elemental) dan 0,25 mg Asam Folat. Besarnya kandungan besi
ini telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan ahli (DepKes, 2005).
Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini
terutama diperlukan dalam hemopoboesis (pembentukan darah) yaitu sintesis
hemoglobin (Hb). Hemoglobin (Hb) yaitu suatu oksigen yang mengantarkan
eritrosit berfungsi penting bagi tubuh. Hemoglobin terdiri dari Fe (zat besi),
protoporfirin, dan globin (1/3 berat Hb terdiri dari Fe).9 Besi bebas terdapat dalam
dua bentuk yaitu ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+). Konversi kedua bentuk tersebut
relatif mudah. Pada konsentrasi oksigen tinggi, umumnya besi dalam bentuk ferri
karena terikat hemoglobin sedangkan pada proses transport transmembran,
deposisi dalam bentuk feritin dan sintesis heme, besi dalam bentuk ferro.5
Dalam tubuh, besi diperlukan untuk pembentukkan kompleks besi sulfur
dan heme. Kompleks besi sulfur diperlukan dalam kompleks enzim yang berperan
dalam metabolisme energi. Heme tersusun atas cincin porfirin dengan atom besi
di sentral cincin yang berperan mengangkut oksigen pada hemoglobin dalam
eritrosit dan mioglobin dalam otot.5,6
3.5 Fungsi Zat Besi
Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh : sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di
dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan
tubuh.11,4 Rata-rata kadar besi dalam tubuh sebesar 3-4 gram. Sebagian besar (±
2 gram) terdapat dalam bentuk hemoglobin dan sebagian kecil (± 130 mg) dalam
bentuk mioglobin. Simpanan besi dalam tubuh terutama terdapat dalam hati dalam
bentuk feritin dan hemosiderin.6,7 Dalam plasma, transferin mengangkut 3 mg
besi untuk dibawa ke sumsum tulang untuk eritropoesis dan mencapai 24 mg per
hari. Sistem retikuloendoplasma akan mendegradasi besi dari eritrosit untuk
dibawa kembali ke sumsum tulang untuk eritropoesis.7
Zat besi adalah mineral yang dibutuhkan untuk membentuk sel darah
merah (hemoglobin). Selain itu, mineral ini juga berperan sebagai komponen
untuk membentuk mioglobin (protein yang membawa oksigen ke otot), kolagen
(protein yang terdapat di tulang, tulang rawan, dan jaringan penyambung), serta
enzim. Zat besi juga berfungsi dalam sistim pertahanan tubuh.3
3.6 Sumber Zat Besi
Sumber zat besi adalah makan hewani, seperti daging, ayam dan ikan.
Sumber baik lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran
hijau dan beberapa jenis buah. Disamping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas
besi di dalam makanan, dinamakan juga ketersediaan biologic (bioavability). Pada
umumnya besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik
tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan
biologik sedang, dan besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang
mengandung asam oksalat tinggi, seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik
rendah. Sebaiknya diperhatikan kombinasi makanan sehari-hari, yang terdiri atas
campuran sumber besi berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan serta sumber
gizi lain yang dapat membantu sumber absorbsi. Menu makanan di Indonesia
sebaiknya terdiri atas nasi, daging/ayam/ikan, kacang-kacangan, serta sayuran dan
buah-buahan yang kaya akan vitamin C.
Berikut bahan makanan sumber besi :8
Tabel 3.1 Bahan Makanan Sumber Zat Besi
Bahan Makanan Kandungan Besi (mg)
Daging 23.8
Sereal 18.0
Kedelai 8.8
Kacang 8.3
Beras 8.0
Bayam 6.4
Hamburger 5.9
Hati Sapi 5.2
Susu Formula 1.2
Bahan makanan sumber besi didapatkan dari produk hewani dan nabati.
Besi yang bersumber dari bahan makanan terdiri atas besi heme dan besi non
heme. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa walaupun kandungan besi
dalam sereal dan kacang-kacangan relatif tinggi, namum oleh karena bahan
makanan tersebut mengandung bahan yang dapat menghambat absorpsi dalam
usus, maka sebagian besar besi tidak akan diabsorpsi dan dibuang bersama feses.8
3.7 Efek Samping Tablet Fe
Efek samping yang paling sering timbul berupa intoleransi terhadap
sediaan oral, dan ini sangat tergantung dari jumlah Fe yang dapat larut dan yang
diabsorpsi pada tiap pemberian. Gejala dan yang timbul dapat berupa mual dan
nyeri lambung (± 7-20%), konstipasi (±10%), diare (±5%) dan kolik. Gangguan
ini biasanya ringan dan dapat dikurangi dengan mengurangi dosis atau dengan
pemberian sesudah makan, walaupun dengan cara ini absorpsi dapat berkurang.
Perlu ditenangkan kemungkinan timbulnya feses yang berwarna hitam kepada
pasien.
Untuk menghindari akibat yang tidak diinginkan, maka remaja dengan
anemia perlu ditangani segera dengan asupan nutrisi yang baik sesuai dengan
kebutuhan antara lain makanan yang mengandung zat besi dan protein cukup
(bahan pangan hewani dan nabati seperti daging, ikan, telur, kacang-kacangan)
dan sayuran berwarna hijau yang mengandung mineral dan vitamin (Paath, dkk,
2005).
Dalam beberapa kasus, penanganan anemia kekurangan zat besi
memerlukan secara berhati-hati sesuai dengan dosis yang dianjurkan, karena
asupan zat besi (Fe) secara berlebihan tidak dibenarkan tetapi dapat menimbulkan
gangguan kesehatan. Mengkonsumsi suplemen zat besi dapat menimbulkan mual,
nyeri lambung, konstipasi, ataupun diare sebagai efek sampingnya. Untuk
mengatasinya dengan mengkonsumsi setangah dosis yang ditingkatkan secara
berlahan-lahan sampai dosis yang dianjurkan (Depkes, 1998).
3.8 Defenisi Anemia
Anemia adalah suatu kondisi tubuh dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam
darah lebih rendah dari normal (WHO, 2011). Hemoglobin adalah salah satu
komponen dalam sel darah merah/eritrosit yang berfungsi untuk mengikat oksigen
dan menghantarkannya ke seluruh sel jaringan tubuh. Oksigen diperlukan oleh
jaringan tubuh untuk melakukan fungsinya. Kekurangan oksigen dalam jaringan
otak dan otot akan menyebabkan gejala antara lain kurangnya konsentrasi dan
kurang bugar dalam melakukan aktivitas. Hemoglobin dibentuk dari gabungan
protein dan zat besi dan membentuk sel darah merah/eritrosit. Anemia merupakan
suatu gejala yang harus dicari penyebabnya dan penanggulangannya dilakukan
sesuai dengan penyebabnya.
3.9 Kekurangan Gizi Besi
Kekurangan gizi besi pada tahap awal mungkin tidak menimbulkan gejala
anemia tapi sudah mempengaruhi fungsi organ. Penderita kekurangan gizi besi
jumlahnya 2,5 kali lebih banyak dari jumlah penderita anemia kekurangan gizi
besi.
Sumber : Ray Yip. Iron Nutritional Status Defined. In: Filer IJ, ed. Dietary
Iron :birth to two years. New York, Rven Press, 1989: 19-6.
3. Bayi lahir dengan cadangan zat besi (Fe) yang rendah akan berlanjut
menderita anemia pada bayi dan usia dini.
1. Buah-buahan sumber vitamin C (jeruk, pepaya, mangga, jambu biji dan lain-
lain).
2. Sumber protein hewani, seperti hati, ikan, unggas dan daging.
35
Remaja putri kelas VII, VIII, IX di SMPN 53 Kibing dan SMPIT
Darussalam Buliang
4.2.1 Kriteria Eksklusi
Remaja putri yang tidak kooperatif
4.5 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
4.1.1 Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh dari pengisian lembar kepatuhan yang telah
disiapkan oleh peneliti dengan teknik wawancara.
4.2.1 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu lembar kepatuhan
yang telah diisi oleh guru dan atau PMR dan responden sendiri.
4.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
4.1.1 Teknik Pengolahan Data
a. Pengolahan Data (editing)
Meneliti kembali apakah lembar kepatuhan sudah cukup baik
sehingga dapat di proses lebih lanjut. Editing dapat dilakukan
di tempat pengumpulan data sehingga jika terjadi kesalahan
maka upaya perbaikan dapat segera dilaksanakan.
b. Pengkodean (Coding)
Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut
macamnya, menjadi bentuk yang lebih ringkas dengan
menggunakan kode.
c. Pemasukan Data (Entry)
Memasukan data kedalam perangkat computer sesuai dengan
kriteria.
d. Pembersihan Data (Cleaning data)
Data yang telah di masukan kedalam computer diperiksa
kembali untuk mengkoreksi kemungkinan kesalahan.
4.2.1 Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini digunakan analisa univariat yaitu analisis yang
dilakukan terhadap setiap variable dari hasil penelitian dalam
analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap
36
variabel yang diteliti yaitu patuh dan ketidakpatuhan remaja putri
dalam mengkonsumsi tablet Fe.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Responden
5.1.1 Kelas
Tabel 5.1 Tabel Kepatuhan Konsumsi Tablet Fe pada Kelas VII SMPN 53
I
KELAS
PATUH TIDAK
VII A 15 0
VII B 16 1
VII C 17 0
VII D 18 0
VII E 7 10
VII F 17 0
VII G 18 0
TOTAL 108 11
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja putri yang patuh sebanyak
108 orang, sedangkan yang tidak patuh sebanyak 11 orang
37
120
100
80
60 I PATUH
40
I TIDAK
20
0
VII A VII B VII C VII D VII E VII F VII G TOTAL
Tabel 5.2 Tabel Kepatuhan Konsumsi Tablet Fe pada Kelas VII SMPIT
Darussalam
I
KELAS
PATUH TIDAK
VII A 13 2
VII B 15 0
VII C 12 2
VII D 15 0
VII E 12 0
TOTAL 67 4
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja putri yang patuh sebanyak 67
orang, sedangkan yang tidak patuh sebanyak 4 orang.
80
70
60
50
40 I PATUH
30 I TIDAK
20
10
0
VII A VII B VII C VII D VII E TOTAL
38
Gambar 5.2 Karakteristik Responden Kelas VII SMPIT Darussalam
Tabel 5.3 Tabel Kepatuhan Konsumsi Tablet Fe pada Kelas VIII SMPN 53
I
KELAS
PATUH TIDAK
VIII A 17 0
VIII B 16 1
VIII C 17 0
VIII D 18 1
VIII E 15 1
VIII F 19 1
TOTAL 99 4
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja putri yang patuh sebanyak 99
orang, sedangkan yang tidak patuh sebanyak 4 orang.
120
100
80
60 I PATUH
40 I TIDAK
20
0
VIII A VIII B VIII C VIII D VIII E VIII F TOTAL
Tabel 5.4 Tabel Kepatuhan Konsumsi Tablet Fe pada Kelas VIII SMPIT
Darussalam
I
KELAS
PATUH TIDAK
VII A 16 0
VII B 17 0
VII C 15 2
VII D 17 0
TOTAL 65 2
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja putri yang patuh sebanyak 65
orang, sedangkan yang tidak patuh sebanyak 2 orang.
39
70
60
50
40
I PATUH
30
I TIDAK
20
10
0
VIII A VIII B VIII C VIII D TOTAL
I
KELAS
PATUH TIDAK
IX A 14 3
IX B 16 1
IX C 17 0
IX D 15 2
IX E 20 0
TOTAL 82 6
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja putri yang patuh sebanyak 82
orang, sedangkan yang tidak patuh sebanyak 6 orang.
100
80
60
I PATUH
40
I TIDAK
20
0
IX A IX B IX C IX D IX E TOTAL
40
Tabel. 5.6 Tabel Kepatuhan Konsumsi Tablet Fe pada Kelas IX SMPIT
Darussalam
I
KELAS
PATUH TIDAK
VII A 19 4
VII B 7 0
VII C 10 2
VII D 12 0
TOTAL 48 6
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja putri yang patuh sebanyak 48
orang, sedangkan yang tidak patuh sebanyak 6 orang.
60
50
40
30 I PATUH
20 I TIDAK
10
0
VII A VII B VII C VII D TOTAL
a. SMPN 53
Tabel 5.7 Persentase Kepatuhan Kelas VII, VIII, Dan IX SMPN 53
KELAS PATUH TIDAK
VII 90,75 9,25
VIII 96,11 3,89
IX 93,18 6,82
Dari tabel diatas dapat dilihat persentase kepatuhan dan ketidak patuhan
remaja putri SMPN 53.
41
120
100
80
60 PATUH
40 TIDAK
20
0
VII VIII IX
42
5.3 Persentase Kepatuhan SMPN 53 dengan SMPIT Darussalam
Tabel 5.9 Persentase Kepatuhan SMPN 53 dengan SMPIT Darussalam
KELAS SMP 53 SMPIT Darussalam
VII 90,75 94,36
VIII 96,11 97,01
IX 93,18 88,88
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persentase kepatuhan remaja putri
terbanyak kelas VII (94,36%) dan VIII (97,01%) di SMPIT Darussalam.
Sedangkan untuk kelas IX persentase kepatuhan terbanyak di SMPN 53 sebanyak
93,18 %.
98
96
94
92
SMP 53
90 SMPIT Darussalam
88
86
84
VII VIII IX
43
12
10
8
6 SMP 53
SMPIT Darussalam
4
2
0
VII VIII IX
44
Susanti et al. (2016) bahwa penyebab rendahnya kepatuhan konsumsi TTD
selama menstruasi adalah suplemen tersebut dibekalkan ke rumah sehingga
pengonsumsiannya tidak dapat ditinjau secara efektif.
a. Faktor predisposing dan kepatuhan konsumsi TTD
Motivasi adalah faktor yang timbul karena ada-nya pengetahuan,
keyakinan (kepercayaan), sarana yang ada, dan kebutuhan yang dirasakan.
Berdasarkan hasil uji beda, terdapat perbedaan motivasi yang signifikan antara
tiga kelompok perlakuan (p<0,05). Namun, sama halnya dengan pengetahuan
gizi, motivasi remaja putri tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
kepatuhan konsumsi TTD (p=0,114) (Tabel 4).
Mayoritas subjek pada penelitian ini memiliki motivasi, namun ternyata
motivasi tersebut belum mampu membuat subjek patuh untuk mengonsumsi
TTD. Rendahnya tingkat kepatuhan subjek mengonsumsi TTD saat menstruasi
disebabkan oleh kurangnya minat mengonsumsi TTD yang didasari karena in-
dividu merasa tidak sakit dan tidak memerlukan TTD (Lestari et al. 2015).
b. Faktor reinforcing (penguat) dan kepatuhan konsumsi TTD
Dukungan orangtua dan guru adalah faktor reinforcing (penguat) terhadap
kepatuhan konsumsi TTD (Green & Kreuter 2005). Dukungan dari pihak
keluarga, terutama orangtua termasuk dalam upaya untuk mengingatkan individu
mengonsumsi TTD sesuai anjuran (Rahmawati & Subagio 2012).
Adanya dukungan yang diberikan oleh orangtua dalam mengonsumsi TTD
tidak menjamin subjek patuh mengonsumsi TTD. Hal ini dapat terjadi karena
orangtua hanya mengingatkan saja tanpa memastikan subjek benar-benar
mengonsumsi TTD sehingga tidak ada dorongan dalam diri subjek untuk patuh
mengonsumsi TTD sesuai anjuran.
Mayoritas subjek (75,4%) mendapatkan dukungan guru yang baik untuk
mengonsumsi TTD. Dukungan guru pun diketahui berbeda nyata antara ketiga
kelompok perlakuan (p<0,05). Berbeda dengan dukungan orangtua, terdapat
hubungan antara dukungan guru dengan kepatuhan konsumsi TTD (p=0,000)
(Tabel 5).
Hal ini sesuai dengan penelitian Dhikale et al. (2015) terhadap remaja
putri di India bahwa 70,1% remaja putri mengonsumsi tablet besi karena
45
mendapat dukungan dari guru. Peran guru sangat penting untuk membuat remaja
putri patuh mengosumsi TTD karena waktu remaja putri lebih banyak dihabiskan
di sekolah setiap harinya daripada di rumah. Adanya dukungan guru di sekolah
yang mengingatkan remaja putri mengonsumsi TTD serta memberikan informasi
mengenai TTD dapat memberikan sikap positif dalam diri remaja putri yang akan
mewujudkan perilaku positif pula, yaitu patuh megonsumsi TTD sesuai anjuran
(Listiana 2016).
Anderman et al. (2009) menyatakan bahwa anak sekolah lebih dapat
menerima informasi dan mengikuti contoh yang disampaikan oleh guru
dibandingkan pihak lain. Hal ini karena guru dianggap sebagai tokoh penting
bagi anak sekolah.
Kekuatan penelitian ini adalah melihat faktor-faktor internal yang ada pada
remaja putri serta faktor-faktor eksternal yang berasal dari lingkungan yang dapat
mempengaruhi kepatuhan konsumsi TTD. Selain kekuatan, penelitian ini pun
memiliki kelemahan. Kelemahan pada penelitian ini adalah peneliti kesulitan
untuk mencari bukti bahwa subjek benar patuh mengonsumsi TTD karena
penentuan tingkat kepatuhan hanya beradasarkan pengisian subjek pada kartu
monitoring kepatuhan.
BAB IV
46
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Disarankan adanya pemberian kartu monitoring kepatuhan disertai dengan
kerjasama yang baik dengan orangtua juga guru untuk membantu memonitoring
remaja putri dalam mengonsumsi TTD. Selain itu, pelaksanaan konsumsi TTD
bersama di sekolah dapat membantu remaja putri untuk lebih patuh mengonsumsi
TTD.
1. Untuk pihak sekolah
Dihimbau supaya selalu berkoordinasi dengan puskesmas atau instansi terkait
agar siswinya dapat diberi tablet tambah darah sehingga terhindar anemia.
2. Untuk pemerintah
Supaya selalu melakukan upaya – upaya yang mampu untuk pencegahan
anemia dengan pemberian tablet tambah darah secara teratur dan terpantau.
3. Untuk peneliti selanjutnya
Penelitian ini sebagai dasar dalam penelitian selanjutnya untuk pengenbangan
ilmu pengetahuan terutama tentang pencegahan anemia dalambidang kesehatan.
Diharapkan peneliti selanjutnya dilakukan penambahan sampel.
47
DAFTAR PUSTAKA
Aditian, N. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Anemia
Gizi Remaja Putri SMP 133 Pulau Pramuka Kepulauan Seribu Tahun 2009.
Skripsi, Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Ahmady, dkk. 2016. Penyuluhan Gizi Dan Pemberian Tablet Besi
Terhadap Pengetahuan Dan Kadar Hemoglobin Siswi Sekolah Menengah Atas
Negeri Di Mamuju. Jurnal Kesehatan Manarang, Vol.2, No.1
Barasi, M.E. 2009. At a Glance Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga. Ikhmawati,
Y. 2013. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Anemia Dan Kebiasaan Makan
Terhadap Kadar Hemoglobin Pada Remaja Putri Di Asrama SMA MTA
Surakarta. Prosiding Seminar Nasional Food Habit and Degenerative Diseases.
Kemenkes RI. 2011. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Sandra F, dkk. 2004. Pengaruh Suplementasi Zat Besi Satu dan Dua Kali
Per Minggu Terhadap Kadar Hemoglobin Pada Siswi yang Menderita Anemia.
Universa Medicina, Vol. 24 No. 4 (Diakses tanggal 11 Januari 2017).
Suryani Desri, dkk. 2015. Analisis Pola Makan Dan Anemia Gizi Besi
Pada Remaja Putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas,
Vol.10, No.1 Oktober 2015 (Diakses tanggal 10 Agustus 2019).
Lewa, AF. 2016. Hubungan Asupan Protein, Zat Besi dan Vitamin C
Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di MAN 2 Model Palu. Jurnal
Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 1.
Royani. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia
Pada Remaja Putri Di SMU Negeri Payakumbuh. Skripsi, FKM-UI, Depok.
Sahlan NU. 2011. Hubungan Pola Makan Dengan Status Hemoglobin
(Hb) Ibu Hamil di Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru. Skripsi, Universitas
Hasanuddin: Makassar.
Susanti, Yeti, dkk. 2016. Suplementasi Besi Mingguan Meningkatkan
Hemoglobin Sama Efektif Dengan Kombinasi Mingguan dan Harian pada Remaja
Putri. Jurnal Gizi Pangan, Vol.11, No.1.
48
Yuniarti, dkk. 2015. Hubungan Antara Kepatuhan Minum Tablet Fe
Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di MA Darul Imad Kecamatan
Tatah Makmur Kabupaten Banjar. Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat
Indonesia,Vol. 2, No. 1.
Zulaekah. 2007. Efek Suplementasi Besi, Vitamin C dan Pendidikan Gizi
Terhadap Perubahan Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar Yang Anemia Di
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Tesis, Program Pascasarjana
Universitas Diponogoro Semarang.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013.
2. Bapenas RI. Kerangka Kebijakan: Gerakan Sadar Gizi dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta : Badan Pe-rencanaan dan
Pembangunan Nasional; 2012.
3. Briawan D, Adriyani A, Pusporini. Determinan Keberhasilan Program
Suplementasi Zat Besi pada Siswi Sekolah. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.
2009;6(2):78-83.
4. Kheirouri S, Alizadeh M. Process Evaluation of A National School-Based
Iron Supplementation Program for Adolescent Girls in Iran. BMC Public Health.
2014;14:959.
5. Bappeda. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Bogor: Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah; 2015.
6. WHO. Iron Deficiency Anaemia Assessment, Prevention and Control. A
Guide for Programmed Managers. Geneva: World Health Organization; 2001.
7. Casey GJ, Phuc TQ, MacGregor L, Montresor A, Mihrshahi S, Thach TD,
Nong Tien, Biggs Beverley-Ann. A Free Weekly Iron-Folic Acid
Supplementation and Regular Deworming Program is Associated with Improved
Hemog-lobin and Iron Status Indica Tors in Vietna-mese Women. BMC Public
Health. 2009; 9:261.
8. Susanti Y, Briawan D, Martianto D. Suplementasi Besi Mingguan
Meningkatkan Hemoglobin Sama Efektif dengan Kombinasi Mingguan dan
Harian pada Remaja Putri. J. Gizi Pangan. 2016;11(1):27-34.
9. Mahan LK, Raymond JL. Krause’s Food and The Nutrition Care Process.
Missouri: Elsevier; 2017.
50
10. Permaesih D, Herman S. Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Anemia pada Remaja. Bul Penel Kes. 2005;33(4):162-171.
11. Kaur M, Singh A, dan Bassi R. Nutritional Status and Anaemia in
Medical Students of Sgrdimsar, Amritsar. National Journal of Physiology,
Pharmacy & Pharmacology. 2015;5(1):35–49.
12. Brown JE. Nutrition Through The Life Cycle. Wadsworth:
Cengage Learning; 2011.
13. Briawan D. Efikasi Fortifikasi Cookies Ubi Jalar untuk Perbaikan
Status Anemia Siswi Sekolah. Majalah Kesehatan Bandung. 2013; 45(4):206–12.
14. Rati SA, Jawadagi S. Prevalence of Anemia Among Adolescent
Girls Studying in Selected Schools. International Journal of Science and Research.
2014;3(8):1237-1242.
51