Anda di halaman 1dari 9

Buletin Kaffah, No.

157
09 Muharram 1442 H
4 September 2020 M

HARAM MELECEHKAN
AJARAN ISLAM

S
yaikh Abdullah bin Husain bin Thahir al-Ba’alawi al-
Hadhrami asy-Syafi’i (w. 1272 H) menyatakan di dalam
kitabnya Sullam at-Tawfîq: “Setiap Muslim wajib men-
jaga dan melindungi keislamannya dari apa saja yang merusak,
membatalkan dan memutusnya, yaitu riddah, wa al-‘iyâdz
billâh. Sungguh telah banyak di zaman ini sikap meng-
gampangkan dalam ucapan sampai keluar dari sebagian
mereka ucapan-ucapan yang mengeluarkan mereka dari
Islam, sementara mereka tidak memandang hal itu dosa
apalagi sebagai kekufuran.”
Beliau lalu menyatakan, “Riddah itu ada tiga bagian: i’tiqad,
perbuatan dan ucapan. Setiap bagian memiliki banyak cabang.
Di antara macam riddah yang pertama (yakni i’tiqad): Mera-

01
gukan Allah, Rasul-Nya, al-Quran, Hari Akhir, Surga, Neraka,
pahala, siksa atau semacam itu yang telah disepakati (mujma’
‘alayh); meyakini hilangnya salah satu sifat wajib Allah SWT
menurut ijmak seperi al-‘ilmu; menisbatkan kepada Allah SWT
sifat yang tidak layak dinisbatkan kepada Allah SWT menurut
ijmak, seperti al-jism; menghalalkan apa saja yang haram
menurut ijmak yang ma’lûm[un] min ad-dîn bi adh-dharûrah
dan tidak samar, seperti zina, liwath, pembunuhan, pencurian,
ghashab; mengharamkan kehalalan yang juga sudah pasti
(tidak samar) seperti jual-beli, nikah, dll; menafikan kewajiban
yang juga telah disepakati seperti shalat lima waktu, sujud di
dalam shalat, zakat, puasa, haji, wudhu…”
Semua itu termasuk nawâqid al-îmân (pembatal keimanan).
Pelakunya bisa dicap murtad.

Pelecehan Ajaran Islam


Pelecehan atau al-istihzâ` terhadap ajaran Islam sudah
sering muncul dan berulang bahkan beragam bentuk dan
ekspresinya. Sebagaimana yang diingatkan di dalam kitab
Sullam at-Tawfîq itu, pelecehan atau penistaan terhadap Allah
SWT, Rasul saw., syiar-Nya dan ajaran Islam bisa menyebabkan
pelakunya murtad.

02
Menurut Imam an-Nawawi al-Bantani di dalam Mirqât
Shu’ûd at-Tashdîq fî Syarh Sullam at-Tawfîq, riddah (murtad) itu
me-rupakan bentuk kekufuran yang paling tercela.
Al-Istihzâ` secara bahasa berarti as-sukhriyyah (ejekan/
cemoohan) atau menyatakan kurang (tanaqush). Hujjatul
Islam al-Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn (3/131)
menyatakan, makna as-sukhriyyah adalah merendahkan dan
meremehkan, menyoroti aib dan kekurangan…”
Alhasil, penistaan agama (al-istihzâ` bi ad-dîn) bisa di-
maknai: penghinaan dan cemoohan kepada Allah SWT, atau
penghinaan dan ejekan terhadap Rasul saw, atau penghinaan
dan ejekan terhadap agama Islam. Bisa juga dimaknai:
menampakkan setiap akidah (keyakinan), perbuatan atau
ucapan yang menunjukkan tikaman terhadap agama dan
meremehkannya, melecehkan Allah SWT, para rasul-Nya.
Penistaan agama itu banyak bentuknya. Menghina Allah
SWT; menistakan dan melecehkan Nabi saw.; merendahkan
dan menistakan al-Quran, malaikat, istri-istri Nabi saw. dan
Ahlul Bait beliau, dsb.
Bisa juga dalam bentuk melecehkan dan menjelek-jelekkan
Islam dan syariahnya; seperti mensifati Islam dan syariahnya
sebagai biadab, brutal, bengis, mencerminkan keter-
belakangan dan sifat-sifat buruk dan jahat lainnya.

03
Bisa juga menistakan agama itu dalam bentuk melecehkan
atau mengolok-olok sebagian hukum atau syariah Islam.
Seperti mengolok-olok jilbab, kerudung dan kewajiban
menutup aurat, melecehkan azan, menghina hukum potong
tangan, qishash, rajam, dsb.
Bisa juga dalam bentuk menistakan sebagian ajaran Islam,
seperti jihad dan khilafah; menstigma negatif jihad dan
khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam dengan
menuding keduanya sebagai ancaman, memecah-belah umat,
keterbelakangan, kemunduran dsb.
Pada masa Rasul saw., penistaan agama (Islam) itu
merupakan perilaku orang-orang kafir baik musyrik maupun
Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani). Mereka melakukan
penistaan kepada Allah SWT, Rasul saw, al-Quran, ajaran dan
hukum Islam, para sahabat, dsb. Mereka melakukan semua itu
sebagai uslub dan strategi untuk menghadang dakwah,
menghalangi manusia dari Islam dan memalingkan mereka
dari jalan Allah SWT.
Penistaan agama Islam itu juga menjadi perilaku orang-
orang munafik. Mereka menistakan ayat-ayat Allah, menista
perintah shalat, mengejek infak yang kecil, mencemooh jihad,
mencaci para Sahabat dan lainnya.

04
Penistaan terhadap Islam itu tidak lain merupakan cermin
kekufuran atau kemunafikan. Pelakunya adalah orang-orang
kafir dan munafik.
Semua bentuk penistaan terhadap Islam jelas merupakan
dosa besar. Jika pelakunya Muslim, hal itu bisa mengeluarkan
dirinya dari Islam dan menyebabkan dia kembali kafir atau
murtad, terutama jika disertai i’tiqad. Adapun jika tidak
disertai i’tiqad maka pelakunya minimal telah melakukan
perbuatan fasik dan dosa besar. Allah SWT berfirman:

‫َوإِن ﻧﱠ َﻜﺜُﻮا أ َْﳝَﺎﻧـَ ُﻬﻢ ﱢﻣﻦ ﺑـَ ْﻌ ِﺪ َﻋ ْﻬ ِﺪ ِﻫ ْﻢ َوﻃَ َﻌﻨُﻮا ِﰲ ِدﻳﻨِ ُﻜ ْﻢ ﻓَـ َﻘﺎﺗِﻠُﻮا أَﺋِ ﱠﻤ َﺔ‬
‫اﻟْ ُﻜ ْﻔ ِﺮ إِﻧـ ُﱠﻬ ْﻢ َﻻ أ َْﳝَﺎ َن َﳍُ ْﻢ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳَﻨﺘَـ ُﻬﻮ َن‬
Mereka merusak sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji.
Mereka pun mencerca agamamu. Karena itu perangilah para
pemimpin orang-orang kafir itu, karena sungguh mereka adalah
orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya
mereka berhenti (TQS at-Taubah [9]: 12).

Imam al-Qurthubi di dalam Tafsîr al-Qurthubiy menjelaskan,


sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas kewajiban
membunuh setiap orang yang menikam/mencela (ath-tha’nu)
agama Islam karena dengan itu dia telah kafir (murtad). Ath-
Tha’nu adalah menisbatkan pada agama Islam ini apa yang

05
tidak pantas atau melecehkan apa yang merupakan bagian
dari agama Islam yang telah terbukti kesahihan ushulnya dan
kelurusan furu’-nya berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (tegas).
Allah SWT berfirman:

‫ َوﻟَﺌِ ْﻦ َﺳﺄَﻟْﺘَـ ُﻬ ْﻢ ﻟَﻴَـ ُﻘﻮﻟُ ﱠﻦ إِﱠﳕَﺎ‬. ‫ِج َﻣﺎ َْﲢ َﺬ ُرو َن‬
ٌ ‫اﺳﺘَـ ْﻬ ِﺰﺋُﻮا إِ ﱠن اﻟﻠﱠ َﻪ ﳐُْﺮ‬
ْ ‫ﻗُ ِﻞ‬...
‫ َﻻ‬. ‫ﺐ ﻗُ ْﻞ أَﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ َوآﻳَﺎﺗِِﻪ َوَر ُﺳﻮﻟِِﻪ ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ ﺗَ ْﺴﺘَـ ْﻬ ِﺰﺋُﻮ َن‬ ُ ‫ﻮض َوﻧـَْﻠ َﻌ‬
ُ ُ‫ُﻛﻨﱠﺎ َﳔ‬
ٍِِ ِ ِ
‫ب‬ْ ‫ﻒ َﻋ ْﻦ ﻃَﺎﺋ َﻔﺔ ﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻧـُ َﻌ ﱢﺬ‬ ُ ‫ﺗَـ ْﻌﺘَﺬ ُروا ﻗَ ْﺪ َﻛ َﻔ ْﺮُْﰎ ﺑـَ ْﻌ َﺪ إِﳝَﺎﻧ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ﻧـَ ْﻌ‬
ِ ِ
‫ﲔ‬َ ‫ﻃَﺎﺋ َﻔﺔً ﺑِﺄَﻧـ ُﱠﻬ ْﻢ َﻛﺎﻧُﻮا ُْﳎ ِﺮﻣ‬
…Katakanlah (wahai Rasul) kepada mereka, "Teruslah kalian
(wahai kaum munafik) mengolok-olok agama. Karena Allah
akan menyingkap apa yang kalian takutkan dengan cara
menurunkan surah atau memberitahu rasul-Nya tentang hal
itu.” Jika kamu bertanya kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab,
"Sungguh kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main
saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?" Tidak usah kalian minta
maaf karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami
memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka bertobat),
niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena

06
mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa
(TQS at-Taubah [9]: 64-66).

Ketika menjelaskan ayat tersebut, Imam Ar-Razi di dalam


At-Tafsir al-Kabîr di antaranya menyatakan: “Sungguh
memperolok-olok agama Islam, bagaimanapun bentuknya,
hukumnya kafir. Sebabnya, olok-olokan itu menunjukkan
penghinaan. Padahal keimanan dibangun di atas pondasi
pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar peng-
agungan. Mustahil keduanya bisa berkumpul.”
Imam Ibnul Arabi dalam Ahkâm al-Qur’ân menjelaskan ayat
tersebut sebagai berikut: “Apa yang dikatakan oleh orang-
orang munafik tersebut tidak terlepas dari dua kemungkinan,
sungguh-sungguh atau cuma berkelakar saja. Apapun
kemungkinannya, konsekuensi hukumnya hanya satu, yaitu
kufur. Sebabnya, berkelakar dengan kata-kata kufur adalah
kekufuran. Tidak ada perselisihan di antara umat dalam
masalah ini. Sebabnya, kesungguhan itu identik dengan ilmu
dan kebenaran, sedangkan senda gurau itu identik dengan
kejahilan dan kebatilan.”
Ibnul Jauzi juga berkata di dalam Zâd al-Masîr: “Ini
menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main
dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah
sama (yakni kufur).”

07
Imam al-Alusi di dalam Rûh al-Ma’âni menambahkan, “Tidak
ada perselisihan di antara para ulama dalam masalah ini.”

Wajib Mengagungkan Syiar dan Ajaran Islam


Penistaan agama Islam tentu tidak selayaknya terjadi dari
seorang Muslim. Sebabnya, hal itu bertentangan dengan
ketakwaan yang ada dalam dirinya. Sebaliknya, ketakwaan
dirinya justru akan melahirkan sikap mengagungkan Islam,
hukum, syiar dan ajarannya. Allah SWT berfirman:

ِ ُ‫ﻚ وﻣﻦ ﻳـﻌﻈﱢﻢ َﺷﻌﺎﺋِﺮ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَِﺈﻧـﱠﻬﺎ ِﻣﻦ ﺗَـ ْﻘﻮى اﻟْ ُﻘﻠ‬
‫ﻮب‬ ِ
َ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َ ‫ذﻟ‬
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan
syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS
al-Hajj [22]: 32).

Imam Abu al-Hasan al-Mawardi di dalam tafsirnya, An-Naktu


wa al-‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), mengatakan, “Terkait
sya’âirulLâh, ada dua pendapat: Pertama, berbagai kefardhuan
Allah. Kedua, ajaran-ajaran agama-Nya.”
Imam an-Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya, Syarh Sullam
at-Tawfiq, menjelaskan ayat tersebut, bahwa di antara sifat
terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah
mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar agama-Nya.

08
Imam Abu Manshur al-Maturidi di dalam tafsirnya, Ta’wilâh
Ahli as-Sunnah, menjelaskan ayat di atas: “Siapa saja yang
mengagungkan syiar-syiar Allah dengan perbuatan lahiriahnya
maka pengagungan itu muncul dari ketakwaan hati. Begitulah
perkara yang tampak pada manusia. Jika di dalam hatinya ada
sesuatu dari ketakwaan atau kebaikan maka yang demikian itu
tampak dalam perilaku lahiriahnya. Demikian juga keburukan,
jika ada di dalam hati, maka tampak pada perilaku
lahiriahnya.”
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

HIKMAH:

Allah SWT berfirman:

‫ﻳﺪو َن أَ ْن ﻳُﻄْ ِﻔﺌُﻮا ﻧُ َﻮر اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑِﺄَﻓْـ َﻮ ِاﻫ ِﻬ ْﻢ َوﻳَﺄْ َﰉ اﻟﻠﱠﻪُ إِﱠﻻ أَ ْن ﻳُﺘِ ﱠﻢ ﻧُ َﻮرﻩُ َوﻟَ ْﻮ‬
ُ ‫ﻳُِﺮ‬
‫َﻛ ِﺮَﻩ اﻟْ َﻜﺎﻓُِﺮو َن‬
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut
mereka, tetapi Allah menolaknya, bahkan Allah berkehendak
menyempurnakan cahaya-Nya meski kaum kafir itu
membencinya. (TQS at-Taubah [9]: 32). []

09

Anda mungkin juga menyukai