Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas segala kemampuan rahmat
dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelasaikan Tugas Laporan Masa Orientasi
Praktek Klink yang berjudul “ Keperawatan Gawat Darurat pada pasien Pneumothoraks
“.
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya, serta tak lupa sholawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad
Swt atas petunjuk dan risalahNya, yang telah membawa zaman kegelaapan ke zaman
terang benderang, dan atas doa restu dan dorongan dari berbagai pihak-pihak yang telah
membantu kami memberikan referensi dalam pembuatan makalah ini. Terutama kepada
search engine google yang ikut berperan besar dalam pembuatan makalah ini.
kami dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, oleh karena itu kami sangat menghargai akan saran dan kritik untuk
membangun makalah ini lebih baik lagi. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga
melalui makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dahulu pneumothorax dipakai sebagai modalitas terapi poada TB paru sebelum
ditemukannya pengobatan obat anti tuberkolosis dan tindakan bvedah. Kemajuan teknik
maupun kedokteran ternyata juga mempunyai peranan dalam tingkatan kasus-kasus
pneumothorax antara lain proedur diagnostik seperti biopsi pleura dan juga beberapa
tindakan terapeutik sep /; misalnya fungsi pleura, ventilasi mekanik, CVP dapat pula
menjadi sebab terjadi pneumothorax. ( Tambayong, 2000).
Pneumothorax juga dapat terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya
tuberkolosis paru, PPOK, bronkial pneumoniadan tumor paru).
Pneumothorax merupakan keadaan berkumpulnya udara didalam kavum (rongga)
pleura. Pada keadaan normal rongga plura tidak berisi supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga dada (sudoyo,2006).
Pneumothorax didapatkan diseluruh dunia, yang paling sering diofinested country,
minnesoto, Amerika serikat, stocholm Swedia. Melton eten melakukan penelitian selama
25tahun pada opasien yang terdiagnosis sebagai pneumothorax, diadapatkan 177 pasien
karena trauma dan 141 pasien karena pneumothorak spontan. Pada pasien pneumothorax
didapatkan angka insiden terjadi pada 7,4-8,60/0 pertahun untuk pria dan untuk wanita
1,20/0 pertahun. Pneumothorax sering terjadi pada laki-laki dibandingkan p[ada
perempuan dengan usia 20-30 tahun (sudoyo,2006).
Penelitian secara epidimiologi di Indonesia menunjukkan perbandingan pada laki-laki
dan perempuan 5:1 dimana pria lebih banyak dengan usia dikenai berkisar antara 30-40
tahun. Berdasarkan data yang diperoleh pemulis dari Medical Record Rumah Sakit HKBP
Blige bahwa jumlah penderita pneumothorax mulai dari bulan januari 2009 sampai april
2010 adalah sebanyak 8 dari seluruh pasien yang rawat inap di RS HKBP Balige selama
satu tahun terahir ini (Medical Record RS,HKBP Balige).
Melihat kompleks permasalahan-permasalahan Dan resiko yang timbul akibat
penyakit pneumothorax maka sangat dibutuhkan asuhan keperawatan yang profesional
untuk mengurangi angka kesakitan yang terjadi pada pasien pneumothorax.
B. Tujuan penulisan
a. Tujuan umum
1. Untuk mengetahui secara umum penyakit pneumothorax dan bagaimana asuhan
keperawatan gawat darurat pneumothorax tertutup.
b. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui definisi Pneumothorax.
2. Untuk mengetahui etiologi Pneumothorax.
3. Untuk mengetahui anatomi fisiologi paru Pneumothorax.
4. Untuk mengetahui patofisiologi Pneumothorax.
5. Untuk mengetahui komplikasi Pneumothorax.
6. Untuk mengetahui farmakologi Pneumothorax.
7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Pneumothorax.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pneumotoraks adalah pengumpulan udara di ruang pontesial antara pleura antara
visceral dan parretal (mansjoer,2000). Pneumotoraks adalah keluarnya udara dari paru
yang cidera kedalam ruang pleura sering diakibatkan karena robeknya pleura (smeltzer,
2001), Pneumotoraks adalah kolapsnya sebagian atau seluruh paru yang terjadi sewaktu
udara atau gas lain masuk ke ruang pleura yang mengelilingi paru (corwin, 2000)
B. Etiologi
Pneumotoraks dapat diklasifikasi sesuai penyebabnya.
1. Pneumotoraks spontan yaitu setiap pneumotoraks yang tiba-tiba tanpa adanya suatu
penyebab (trauma adapun latrogerik) ada dua jenis yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer suatu pneumotoraks yang terjadi tanpa ada riwayat
penyakit paru yang mendasarinnya sebelumnya, umumnya pada individu sehat,
dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisik yang berat tetapi justru
terjadi pada saat istirahat sampai sekarang belum di ketahui penyebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, terjadi karena penyakit paru yang mendasari
(tuberculosis paru , PPOK, asma bronchial, pneumonia, tumor paru).
2. Pneumotoraks traumatic yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma baik
trauma penetrasi pada dinding dada adalah luka tusuk tembak, akibat tusukan jarum
maupun pada saat dilakukan kanulasi venasentral. Pneumotoraks traumatik di bagi 2
jenis yaitu.
a. Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik adalah pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan misalnnya : jejas pada dinding dada baik terbuka
maupun tertutup.
b. Pneumotoraks (open pneumotoraks) terjadi karena luka terbuka pada dinding dan
sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar / melalui luka tersebut.
c. Pneumotoraks tension terjadi apabila terdapat gerakan udara satu arah dari paru
ke ruang pleura melalui sebuah lubang kecil d struktur tubuh (corwin, 2000)
C. Anatomi fisiologi
1. Anatomi pleura.
Selaput serosa yang dilapisi sel-sel mesotel dan juga membungkus seluruh
permukaan luar paru. Struktur lapisan viseralis membungkus seluruh permukaan luar
paru termaksud visural inter lobarus. Lapisan panitalis membungkus seluruh thoraks,
diagfragma berhubungan dengan preura viceral. Ligament pulmunel dua lapisan
pleura di bawah lapian paru. Sel pleura pipih dan heksagonal. Perdarahan dan
persarafan pleura paretalis, viseralis pembuluh darah dan syaraf dari bronchus.
Pneumotoraks traumatic disebarkan oleh trauma jaringan lunak pada region
subklavia, trauma pada trakea, trauma pada bronchus, subtur pada pleura viseralis,
trauma dinding dada dan pleura peritalis sehingga adannya penumpukan cairan di
rongga pleura
2. Fisiologi paru
Paru adalah struktur elastis yang di bungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan.
Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan dasarnya yaitu
diagfragma. Efek dari gerakan ini adalah secara bergantian meningkatkan dan
menurunkan kapasitas dada.
Ketika kapasitas dalam dada meningkat, uadara masuk melalui trakea, (
inspirasi), karena penurunan tekanan di dalam dan mengembangkan paru. Ketiak
dinding dada dan diagfragma kembali ke ukurannya semula (ekspirasi kaespirasi),
paru-paru yang elastis tersebut dan mengempis dan mendorong udara keluar melalui
bronchus dan trakea. Fase inspirasi dari pernafasan normalnya membutuhkan energi,
fase ekspirasi normalnya pasif.
3. Fisiologi pleura
Bagian keluar dari paru-paru di kelilingi oleh membran halus, licin yaitu
pleura yang juga meluas untuk membungkus dinding inferior toraks dan permukaan
superior dan diagfragma. Pleura parietal melapisi toraks dan pleura viseralis lapisi
pleura. Antara kedua pleura ini terdapat ruang yang di sebut spasium pleura, yang
mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan memungkinkan
keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi
4. Fisiologi mediastinum.
Mediastinum adalah dinding yang mambagi rongga thorak menjadi dua
bagian, terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktur thorak kecuali paru-paru
terletak antara dua lapisan pleura.
5. Fisiologi lobus
Setiap paru menjadi lobus-lobus. Paru kiri terdiri atas lobus bawah dan atas,
sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah dan bawah. Setiap lobus lebih
jauh di bag lagi menjadi dua segmen yang di pisahkan oleh firura, yang merupakan
perluasan pleura.
6. Fisiologi bronchus dan bronkiolus
Terdapat beberapa divisi bronchus didalam setiap lobus paru. Pertama
bronchus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri). Bronkus lobaris
dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru kanan dan 8 pada paru kiri), yang
merupakan struktur yang di cari ketika memilih posisi drainase postural yang paling
efektif pada pasien tertentu bronkus secmental kemudian di bagi lagi menjadi
bronkus subsimental. Bronkus ini di kelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri,
limfatik dan syaraf. Bronkus subramental kemudian membentuk percabangan
menjadi bronkiolus, yang tidak mempunyai dalam dinding. Pontesi brokiolus yang
tidak mempunyai kartilago dalam didingnya potensi brokiolus seluruhnya tergantung
pada rekouil elastic otot polos sekelilingnya dan pada tekanan alveolar. Bronkiolus
mengandung kelenjar submukosa, yang memproduksi lendir yang membentuk
selimut tidak terputus untuk lapisan bagi jalan nafas. Bronkus dan brokioulus juga di
lapisin oleh “rambut” pendek yang di sebut silia. Silia ini menciptakan gerakan yang
konstan yang berfungsih untuk mengeluarkan lendir dan beda asin menjauhi paru
menuju laring.
7. Fisiologi alveolus
Paru terbentuk oleh sekitar tiga ratus juta alfiolid, yang tersusun dalam klurstar
antara 15 sampai 20 alveoli. Banyaknya alveoli ini sehingga jika mereka bersatu
untuk membenuk satu lembar akan menutupi 70 meter persegi. Terdapat tiga jenis
sel alviola, sel alviola tipe satu adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar,
sel-sel alveolar tipe dua, sel-sel yang aktif secara metaboli, menskresi survakta,
suatu vusvolipid yang melapisi permukaan dalam dan melapisi permukaan dalam
mencegah alviolar agar tidak kolaps, sel alviolid tipe tiga adalah makrofad yang
merupakan sel falgositis yang besar yang memakan benda asing ( mis : lendir,
bakteri) dan berkerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting (brunner
suddart,2002).
D. Manifestasi klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala yang sering muncul :
a. Sesak napas
b. Nyeri dada
c. Batuk-batuk mengeluarkan sputum
d. Gelisah
e. Tekanan darah menurun
(Mansjoer, 2000)
Gejala-gejala dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan derajat gangguan bisa
mulai asimtomatik atau menimbulkan gangguan ringan sampai berat, bermula pada saat
istirahat dan berakhir dalam 24 jam (Sudoyo, 2006).
E. Patofisiologis
Pneumotoraks dapat disebabkan oleh trauma dada yang dapat mengakibatkan
kebocoran/ tusukan/ laserasi pleura visceral sehingga paru-paru kolaps berhubungan
dengan udara/ cairan yang masuk kedalam ruang pleura (Silvia, 2005). Volume di ruang
pleura meningkat dan mengakibatkan peningkatan tekanan intratoraks. Jika peningkatan
tekanan intratoraks terjadi, maka mengalami distress pernapasan dan gangguan
pertukaran gas yang menimbulkan tekanan pada mediastinum sehingga mengalami
gangguan jantung dan sirkulasi sistematik (Tyo, 2009).
F. Diagnostik Penunjang
a. Anamnesis : adanya keluhan nyeri dada, sesak napas.
b. Pemeriksaan fisik : suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah
sampai menghilang, resonasi perkusi dapat normal atau meningkat/ hipersonor.
c. Pemeriksaan laboratorium : analisa gas darah arteri memberikan hasil hipoksemia
dan alkalosis respirasi akut pada sebagian besar pasien, namun hal ini bukan hal yang
penting.
d. Pemeriksaan rontgen : pada foto thoraks PA, terlihat bagian thoraks yang avaskuler.
Bila besar akan tampak pergeseran trakea dan mediastinum kesisi yang sehat
(Brunner Suddarth, 2002).
G. Komplikasi
Pneumotoraks tension atau pasien pneumotoraks dapat disebabkan oleh
pernapasan mekanis dan hal ini mungkin dapat mengancam jiwa. Pneumo-mediastinum
dan emfisema sub kutan dapat terjadi sebagai komplikasi dari pneumotoraks spontan.
Jika pneumo-mediastinum terdeteksi maka harus dianggap sebagai rupture esophagus/
bronkus (Sudoyo, 2006).
H. Penatalaksanaan Medis
1. Farmakologi
a. Terapi O2 dapat meningkatkan reabsorbsi udara dari ruang pleura.
b. Drainase sederhana untuk aspirasi udara pleura.
c. Penempatan pipa kecil yang dipasang satu jalur pada katub helimic untuk
memberikan perlindungan terhadap serangan tension pneumotoraks.
d. Obat simptomatis untuk batuk dan nyeri dada.
e. Pemeriksaan radiologik.
2. Diit
M2 (BBR), tinggi kalori protein +ekstra putih telur 5-6 butir/ telur.
3. Pemasangan WSD (water seated draignage) : suatu sistem draignage menggunakan
water seal untuk mengalirkan udara/ cairan dari cavum pleura (rongga pleura) yang
tujuannya mengalirkan/ drainage udara atau dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut (Hendra Arif, 2008).
Diagnosa 3 : Nyeri berhubungan dengan batuk menetap adanya selang dada, ditandai
dengan nyeri dada, gelisah, keadaan umum lemah.
1. Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol.
2. Kriteria hasil :
a. Nyeri tidak ada.
b. Tampak rileks
c. Intervensi dan Rasional Nyeri
1) Tentukan karakteristik nyeri.
a) Kaji pernyataan verbal dan non verbal nyeri pasien.
b) Dorong pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
c) Bantu aktivitas perawatan diri, pernapasan dan latihan tangan.
d) Berikan periode istirahat, berikan lingkungan tenang.
e) Berikan analgesik rutin sesuai indikasi. - Penggunaan skala/
rentang nyeri membantu pasien dalam mengkaji tingkat nyeri,
meningkatkan kontrol nyeri.
f) Ketidaksesuaian antara petunjuk verbal/ non verbal dapat
menunjukkan derajat nyeri.
g) Meningkatkan relaksasi dan penglihatan perhatian.
h) Mendorong dan membantu fisik diperlukan untuk beberapa
waktu sebelum pasien mampu untuk kreativitas karena nyeri/
takut nyeri.
i) Penurunan kelemahan, menghemat energi dan meningkatkan
koping.
j) Mempertahankan kadar obat lebih konstan menghindari
puncak periode nyeri.
BAB III
KASUS
RESUM DAN ASKEP
Orientasi (tempat,waktu,orang) :
Pemeriksaan fisik :
Secondary a. Kepala :
survey - Bentuk : Bulat lonjong
- Ukuran : Normal
- Posisi : Simetris
- Keadaan rambut/ warna :
Hitam, distribusi baik, dan
tidak rontok.
- Kebersihan : Kulit kepala dan
rambut kurang bersih.
b. Leher :
- Kelenjar Getah Bening :
Tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening.
- Kelenjar tyroid : Tidak ada
pembesaran kelenjar tyroid
- Vena Jugularis : Normal
- Kekakuan : Tidak ada
kekakuan
c. Wajah :
1. Mata
- Sklera : Tidak ikterik
- Konjungtiva : Anemis tidak
ada
- Posisi mata : Simetris
- Reflek cahaya : Baik, bila
mata klien diberi cahaya
mengecil terhadap cahaya.
- Muka : Pucat
- Pemakaian alat bantu : Tidak
ada menggunakan alat bantu
penglihatan.
2. Hidung
- Bentuk dan posisi : Simetris
- Peradangan : Tidak ada
peradangan
- Perdarahan : Tidak ada
perdarahan
- Polip/ Penyumbatan : Tidak
ada polip/ sumbatan
- Pada hidung terpasang : O2
terpasang (2-3 l/ menit) RR:
28x/m
3. Mulut
- Bibir : Simetris atas dan
bawah
- Mukosa Gigi : Normal
- Lidah : Bersih, tidak ada
kelainan.
- Tonsil/ Faring : Tidak ada
pembesaran tonsil
- Peradangan : Tidak ada
peradangan
- Perdarahan : Tidak ada
perdarahan
- Kebersihan : Cukup bersih
- Fungsi Pengecapan : Pasien
merasa kepahitan di daerah
mulut dan air ludah.
- Kemampuan berbicara : Baik,
pasien dapat melafalkan kata-
kata dengan benar.
- Kemampuan Menelan : Baik,
mampu menelan dengan baik
d. Dada / Thoraks :
1. Paru-paru
- Inspeksi thorax :
Ekspansi paru dan kanan
simetris.
- Auskultasi : Bunyi napas
vesikuler, terdapat bunyi
tambahan ronchi basah.
- Palpasi :
Fremitus taktil melemah di
lapang paru.
- Perkusi :
Hiperesonan
- Nyeri Dada : Ada, skala
nyeri 7-10
- Produksi sputum : Tidak
ada produksi sputum.
- Irama Pernapasan : Irreguler,
28 x/menit
2. Jantung
- Inspeksi Jantung : Tampak
adanya pulsasi di daerah
apeks jantung.
- Palpasi (ictus cordis): Teraba
adanya pulsasi di daerah ICR-
5 parasternum sinistra kualitas
kuat.
- Perkusi (batas jantung): Batas
jantung atas ICR- 2, batas
kanan = linea sternum dekstra
ICR – 2, batas kiri - linea
midklavikularis anterior
bawah ICR-5 parasternalis
sinistra.
1) Irama denyut jantung :
Irreguler
2) Bunyi jantung 1 :
Terdengar Lup di
tricuspidalis (ICR-5 linea
parastrenalis) dan
Bicuspidalis (ICR-5
midklavikularis).
3) Bunyi jantung 2 :
Terdengar DUP diorta
(ICR-2 sinistra) dan
pulmo (ICR-2 dekstra).
4) Bunyi jantung tambahan:
Tidak ada bunyi jantung
tambahan.
5) Bising Murmur : Tidak
ada bising/ murmur.
e. Abdomen :
- Inspeksi : Simetris
- Auskultasi : Peristaltik
usus (+), normal 5-6 x/i
- Perkusi : Timpani
- Palpasi Tanda- tanda nyeri
tekan : Tidak ada nyeri tekan
- Benjolan/ massa : Tidak ada
benjolan
f. Ekstermitas :
1) Atas :
- Bentuk dan kekuatan :
Normal dan kekuatan otot
(2)
- Rentang gerak : Terbatas
dan normal
- Lain- lain : Terpasang
infuse pada tangan kiri Rl
20 tpm/ m
2) Bawah :
- Bentuk dan kekuatan :
Normal dan kekuatan otot
(2)
- Rentang gerak : Terbatas
dan normal.
- Reflek patologis : Babinski
(-)
- Lain- lain : Kekuatan otot
nilai 2 didapatkan gerakan,
tetapi gerakan ini tidak
mampu melawan gaya
berat (gravitasi).
3) Kekuatan Otot :
2 2
2 2
Intervensi (NIC):
P : Intervensi dilanjutkan.
Intervensi (NIC):
Pada bab ini penulis akan membahas kasus tentang “Asuhan Keperawatan pada Tn.D
dengan Gangguan Sistem Pernapasan : Pneumotoraks di Zaal CFR, Kamar II IGD Seruni Rumah
Sakit HKBP Balige”. Adapun aspek pembahasan yang penulis uraikan sesuai dengan proses
keperawatan yang meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan
evaluasi sebagai berikut :
A. Pengkajian
Tahap pengkajian keperawatan dalam proses keperawatan merupakan langkah awal
yang dilaksanakan penulis terhadap pasien dengan gangguan sistem pernapasan ;
‘Pneumotoraks” yang dilakukan mulai tanggal 03 Juni 2010 sampai dengan tanggal 07
juni 2010 di Rumah Sakit HKBP Balige.
Dalam hal ini penulis mengumpulkan data-data langsung dari pasien, keluarga dan
bekerjasama dengan tim kesehatan lainnya yang ada di ruangan, khususnya ruangan zaal
CFR Rumah Sakit HKBP Balige. Dalam pengumpulan data penulis tidak menemukan
kesulitan atau hambatan. Hal ini karena pasien dan keluarga dapat menerima kehadiran
penulis dan bersifat terbuka serta kooperatif. Disamping itu adanya kerjasama yang baik
dari pihak-pihak terkait.
Pada pengkajian diteoritis dan kasus terdapat adanya kesenjangan. Adapun
kesenjanngan yang terdapat antara tinjauan teoritis dengan tinjauan kasus antara lain :
1. Integritas ego, secara teori ditemukan adanya : stressor, masalah finansial, gelisah,
ketakutan. Data-data ini tidak ditemukan pada tinjauan kasus karena emosi pasien
stabil, dapat memenuhi kebutuhan rumah, hubungan keluarga harmonis, pasien
percaya bahwa penyakitnya akan sembuh.
2. Makanan/ cairan, secara teoritis ditemukan adanya : mual dan muntah, kulit
kering dengan turgor buruk, malnutrisi. Data-data ini tidak ditemukan pada
tinjauan kasus karena nafsu makan pasien normal, mual dan muntah tidak
ada,malnutrisi tidak ada,turgor kulit baik
3. Neurosensori, secara teoritis ditemukan adanya : sakit kepala, perubahan mental
(bingung, somnolent). Data-data ini tidak ditemukan pada tinjauan kasus karena
pasien tidak mengalami sakit kepala dan perubahan mental (bingung, somnolent).
B. Diagnosa Keperawatan
Pada tahap diagnosa keperawatan penulis menemukan kesenjangan antara teori
dengan kasus. Pada teori menurut Doenges W. Marilynn ada 4 diagnosa yang dijumpai,
yaitu :
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru dalam paru/
akumulasi cairan / udara ditandai dengan dispnoe dan takipnoe.
2. Resiko tinggi terhadap trauma/ pengobatan napas berhubungan dengan alat dari
luar (sistem drainase dada), proses cidera.
3. Nyeri berhubungan dengan batuk menetap, adanya selang dada ditandai
dengan nyeri dada, gelisah, keadaan umum lemah.
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan pengobatan berhubungan dengan
kurang terpajangnya informasi ditandai dengan meminta informasi.
Sedangkan diagnosa keperawatan yang terdapat pada kasus yang dijumpai :
1. Tidak efektifnya pola pernapasan berhubungan dengan trauma dada ditandai
dengan klien mengatakan sulit bernapas, tampak sesak, frekuensi pernapasan
28 x/i terpasang O2 (2-3 l/i)
2. Gangguan rasa aman nyeri berhubungan dengan trauma thoraks/ kebocoran/
udara masuk kedalam ruang pleura terpasang WSD ditandai dengan klien
mengatakan nyeri dada sebelah kiri, tidak bisa tidur, meringis kesakitan dengan
skala nyeri 7-10, klien lemah dan gelisah.
3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka pemasangan
WSD ditandai dengan adanya tanda infeksi kemerahan, nyeri pemasangan
WSD.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pemasangan WSD ditandai dengan
klien mengatakan tidak mampu beraktivitas, klien tampak lemah dan terpasang
WSD di daerah thoraks sela iga ke5, aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
Adapun diagnosa secara teoritis tetapi tidak dijumpai dalam kasus, yaitu:
1. Resiko tinggi terhadap trauma/ penghentian dalam kasus, yaitu (resiko drainase
dada), proses cidera. Diagnosa ini tidak muncul dalam kasus karena sistem
drainase dada yang digunakan dalam posisi yang baik sesuai dengan tehnik
bedah yang telah dilakukkan dokter bedah.
Diagnosa keperawatan yang terdapat pada kasus tetapi tidak dijumpai pada teoritis,
yaitu :
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pemasangan WSD ditandai dengan
klien mengatakan tidak mampu beraktivitas, klien tampak lemah dan terpasang
WSD di daerah thoraks sela iga 5, aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
2. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan pemasangan WSD ditandai
dengan adanya tanda infeksi kemerahan, nyeri pemasangan WSD.
Hal ini penulis angkat sebagai diagnosa keperawatan karena pasien tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri dan dalam perawatan diri dibantu oleh
keluarga. Resiko tinggi terjadinya infeksi karena adanya luka pemasangan WSD dan tampak
adanya tanda infeksi nyeri dan kemerahan.
C. Perencanaan/ Intervensi
Penulis membuat perencanaan dimulai dari penentuan prioritas masalah menurut
kebutuhan dasar A. Marlon, merumuskan tujuan dan membuat rencana tindakan
keperawatan.
Pada tahap ini penulis merencanakan tindakan keperawatan berdasarkan teori yang
disesuaikan dengan keadaan pasien serta fasilitas yang ada di RS HKBP Balige. Penulis,
pasien dan keluarga bersama-sama membuat perencanaan kemudian mendokumentasikan
perencanaan yang telah dibuat pada catatan keperawatan.
D. Pelaksanaan/ Implementasi
Pada tahap pelaksanaan penulis melakukan tindakan keperawatan sesuai perencanaan
dan prosedur yang ada di RS HKBP Balige. Pada tahap pelaksanaan penulis melibatkan
berbagai pihak yaitu : pasien, keluarga dan perawat ruangan serta tim kesehatan lainnya.
Bila ada belum dipahami penulis berkonsultasi dengan perawat ruangan dan tim
kesehatan lainnya. Untuk setiap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dan hasil
dari tindakan selalu dicatat dalam catatan perkembangan pasien. Dalam melakukan
tindakan, penulis mengadakan pendekatan komunikasi teraupetik dengan jalan
mendengarkan keluhan pasien secara aktif sehingga pasien dapat mengungkapkan perasaan
dan kecemasan yang dialaminya. Perawat mengadakan kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian terapi.
E. Evaluasi
Untuk mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan mulai dari tanggal 24
November 2017. Penulis menggunakan dua macam evaluasi yaitu: evaluasi proses dan
evaluasi akhir. Evaluasi proses diperoleh pada saat selesai memberikan tindakan
keperawatan, sedangkan evaluasi akhir diperoleh dengan tujuan yang ditetapkan pada
perencanaan tindakan masing-masing, diagnosa keperawatan yang telah didokumentasikan
pada catatan perkembangan.
Adapun masalah yang belum teratasi :
1. Tidak efektifnya pola pernapasan berhubungan dengan trauma dada, masalah belum
teratasi pada tanggal 24 November 2017 dengan hasil evaluasi : sesak, irama pernapasan
ireguler dengan frekuensi pernapasan 28x/i.
2. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya pemasangan WSD. Maslaah
belum teratasi pada tanggl 24 November 2017 dengan hasil evaluasi, nyeri, tampak
adanya tanda infeksi seperti kemerahan didaerah insersi pemasangan WSD.
3. Gangguan rasa aman nyeri berhubungan dengan thoraks/ kebocoran/ cidera cairan masuk
kedalam ruang pleura. Masalah belum teratasi pada tanggal 24 November 2017.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada tahap pengkajian, penulis tidak mendapat kesulitan untuk mengumpulkan data
pasien, dimana pasien dan keluarganya bekerjasama untuk memperoleh data yang
diperlukan.
2. Pada tahap perumusan diagnosa keperawatan yang dilakukan penulis adalah
berdasarkan prioritas masalah yang ditemukan pada pasien. Adapun diagnosa
keperawatan yang ditemukan pada klien Tn. T.H yaitu tidak efektif pola pernapasan,
gangguan rasa aman nyeri, resiko tinggi terjadi infeksi.
3. Pada tahap perencanaan keperawatan, penulis memfokuskan sesuai dengan masalah
dan keadaan pasien secara holistik, dengan adanya kerjasama antara perawat, klien dan
keluarga.
4. Pada tahap pelaksanaan keperawatan, keberhasilan asuhan keperawatan dapat
mendukung proses penyembuhan pasien dengan kolaborasi tim kesehatan lainnya.
5. Pada tahap evaluasi tidak semua hasil yang diharapkan dapat teratasi oleh karena
keterbatasan waktu penulis.
B. Saran
a. Kepada Perawat
1. Diharapkan perawat dapat mempertahankan asuhan keperawatan yang berkualitas
disemua aspek dalam memberikan perawatan pada pasien secara komprehensif
untuk mencapai tujuan yang optimal.
2. Dalam menerapkan aspek diharapkan perawat untuk menjalin hubungan kerjasama
yang baik antara sesama perawat, dokter, tim kesehatan dan juga keluarga serta
dengan klien sendiri guna mempermudah keberhasilan perawatan.
b. Kepada Klien
1. Disarankan kepada pasien agar minum obat secara teratur, tidak merokok dan
istirahat yang cukup untuk mempercepat penyembuhan.
2. Diharapkan pasien agar mengkonsumsi makanan yang mengandung diet tinggi
kalori, tinggi protein serta susu, telur, roti.
3. Dukungan keluarga sangat penting untuk keberhasilan pengobatan selalu
mengingatkan pasien untuk berobat secara teratur.
4. Diharapkan pada pasien untuk selalu kontrol ulang ketempat pelayanan kesehatan
terdekat mengenai kondisi penyakit sesuai instruksi dokter.
c. Kepada Institusi Pendidikan Akper HKBP Balige
Supaya terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pada mahasiswa dalam
pembekalan, pengetahuan dan keterampilan terutama dalam pemberian askep kepada
klien dengan gangguan pernapasan “Pneumotoraks”.
DAFTAR PUSTAKA