Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Definisi

Asma adalah gangguan pada bronkus dan trakhea yang memiliki reaksi

berlebihan terhadap stimulus tertentu dan bersifat reversibel (Padila, 2015).

Definisi asma juga disebutkan oleh Reeves dalam buku Padila yang

menyatakan bahwa asma adalah obstruksi pada bronkus yang mengalami

inflamasi dan memiliki respon yang sensitif serta bersifat reversible.Asma

merupakan penyakit kronis maka terkadang membutuhkan pengobatan jangka

panjang yang bertujuan untuk menjaga gejala asma tetap terkontrol sehingga

mempertahankan kualitas hidup pasien (Suza & Sitepu, 2019).

Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu jalan napas akibat

adanya inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas sehingga

menjadi sangat sensitif terhadap masuknya benda asing yang menimbulkan

reaksi berlebihan. Akibatnya saluran nafas menyempit dan jumlah udara yang

masuk dalam paru-paru berkurang. Hal ini menyebabkan timbulnya napas

berbunyi (wheezing), batuk-batuk, dada sesak, dan gangguan bernapas

terutama pada malam hari dan dini hari (Soedarto. 2012).Inflamasi

menginduksi dilepaskannya mediator-mediator yang dapat mengaktivasi sel

target di saluran nafas dan mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran

mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf.

Faktor pencetus asma menyebabkan fase sensitisasi, antibodi IgE meningkat.

10
11

Alergen berikatan dengan antibodi IgE dengan cara melekat pada sel mast.

Sel mast mengandung neutral triptase yang mempunyai bermacam aktivitas

proteolitik antara lain aktivasi komplemen, pemecahan fibrinogen dan

pembentukan kinin menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan

berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah

histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin yang

berperan pada bronkokonstriksi. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal

pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mucus yang kental dalam lumen

bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan

inflamasi saluran napas (Rizki et al., 2015). Asma merupakan suatu penyakit

obstruksi saluran nafas yang dapat mengenai mereka yang memiliki faktor

resiko. Penyakit ini mempunyai spektrum gejala klinis yang bervariasi mulai

dari ringan hanya berupa batuk, sampai berat berupa serangan yang

mengancam jiwa. Keluhan yang sering dilaporkan pasien kepada dokter

beragam, tergantung persepsi masing-masing pasien (Sabri & Chan, 2018).


12

2. Anatomi Terapan

Gambar 2.1 Anatomi Pernafasan (et al, 2020).

a. Pernapasan

Pernapasan secara harfiah berarti pergerakan oksigen dari atmosfer

menuju ke sel untuk proses metabolisme dalam rangka menghasilkan

energi dan keluarnya karbondioksida sebagai zat sisa metabolisme dari

sel ke udara secara bebas. Sistem pernapasan merupakan suatu rangkaian

saluran udara yang menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan

membran kapiler alveoli (Price & Wilson, 2016).


13

b. Anatomi Pernapasan

Menurut Price (2016) anatomi penghantar udara yang membawa

udara ke dalam paru meliputi: a) hidung dengan rongga bermukosa,

berambut, memiliki kelenjar minyak dan keringat untuk menyaring,

melembabkan dan menghangatkan udara serta menangkap benda asing

yang masuk ke saluran pernapasan; b) faring adalah pipa berotot yang

meliputi nasofaring, orofaring, dan laringofaring dari dasar tengkorak

sampai persambungan dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan

krikoid; c) laringmerupakan rangkaian cincing tulang rawan yang

dihubungkan oleh otot yang mengandung pita suara, bermuara ke trakea;

d) trakea dibentuk oleh cincin tulang rawan dengan panjang sekitar 12,5

cm dan struktur trakea dan bronkus disebut pohon trakeobronkial; e)

bronkus bercabang menjadi bronkiolus dan bercabang lebih kecil sampai

bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius menuju alveolus; f)

paru mengisi rongga dada yang terletak di sebelah kanan dan kiri rongga

dada, terdiri atas jaringan parenkim, alveolus-alveolus yang berisi udara

serta pembuluh darah kapiler pulmonal yang bersirkulasi.

c. Thorax

Thorax dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior

oleh thoracic inletdan inferior oleh thoracic outlet; dengan batas luar

adalah dinding thorax yang disusunoleh vertebra torakal, costae, sternum,

muskulus, dan jaringan ikat. Rongga thoraxdibatasi dengan rongga


14

abdomen oleh diafragma. Rongga thorax dapat dibagi ke dalamdua

bagian utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan mediastinum.

Mediastinumdibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan posterior.

Mediastinum terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah

tempat organ-organ penting thorax selain paru- paru (yaitu: jantung,

aorta, arteri pulmonalis, vena cava, esofagus, trakhea, dll.).Thoracic inlet

merupakan “pintu masuk” rongga thoraks yang disusun oleh: permukaan

ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari iga I kiri dan

kanan(lateral), serta manubrium sterni(anterior). Thoracic inlet memiliki

sudut deklinasisehingga bagian anterior terletak lebih inferior dibanding

bagian posterior. Manubriumsterni terletak kira-kira setinggi vertebra

torakal II. Batas bawah rongga thoraks atauthoracic outlet (pintu keluar

thoraks) adalah area yang dibatasi oleh sisi ventral vertebratorakal XII,

lateral oleh batas bawah costae dan anterior oleh processus xiphoideu

thoraks) adalah area yang dibatasi oleh sisi ventral vertebratorakal XII,

lateral oleh batas bawah costae dan anterior oleh processus xiphoideus.
15

Gambar 2.2 Anatomi Thoraks

d. Fisiologi Pernapasan

Pernapasan terdiri dari organ pertukaran gas yaitu paru dengan

pompa ventilasi yang terdiri atas dinding dada, otot diafragma, isi dan

dinding abdomen serta pusat pernapasan di otak. Otot pernapasan primer

adalah diafragma yang berbentuk kubah, berada pada dasar torak yang

memisahkan torak dengan abdomen sedangkan otot pernapasan

tambahan terdiri dari intercosta eksterna dan interna, otot

sternocleidomastoideus dan elevator scapula. Otot pernapasan

dipersyarafi oleh nervus phrenikus yang mengendalikan otot diafragma

dan otot dinding abdomen yang terdiri dari rectus abdominis, obliges

internus dan eksternus serta transverses abdominis (Guyton & Hall,

2006). Kerja inspirasi dibagi menjadi 3 yaitu: kerja


16

compliance/elastisitas, kerja resistensi jaringan dan kerja resistensi jalan

napas. Mekanisme pernapasan terdiri dari inspirasi dan ekspirasi melalui

peranan compliance paru dan resistensi jalan napas. Selama inspirasi

normal, hampir semua otot-otot pernapasan berkontraksi, sedangkan

selama ekspirasi hampir seluruhnyapasif akibat elastisitas paru dan

struktur rangka dada. Sebagian besar kerja dilakukan oleh otot-otot

pernapasan untuk mengembangkan paru (Guyton & Hall, 2006).

Otot diafragma berkontraksi dan mendatar pada saat inspirasi dan

menyebabkan longitudinal paru bebrtambah. Otot diafragma mengalami

relaksasi dan naik kembali ke posisi istirahat pada saat ekspirasi. Dalam

keadaan normal otot tambahan tidak aktif, mulai berperan pada saat

aktivitas atau resistensi jalan napas dan rongga torak meningkat.

Mekanisme compliance paru dengan mengangkat rangka dan elevasi iga,

sehingga tulang iga dan sternum secara langsung maju menjauhi spinal,

membentuk jarak anteroposterior dada ± 20% lebih besar selama

inspirasi maksimal dari pada ekspirasi. Compliance paru tergantung pada

ukuran paru untuk melakukan perubahan volume intratorak. Usia dan

ukuran tubuh berpengaruh terhadap kemampuan compliance paru

(Guyton & Hall, 2006).

Tahapan proses pernapasan menurut Price & Wilson (2006), meliputi:

1) Ventilasi

Ventilasi adalah proses keluar masuk udara dari dan ke paru

yang membutuhkan koordinasi otot paru dan torak yang elastis


17

dengan persyarafan yang utuh. Adequasi ventilasi paru ditentukan

oleh volume paru, resistensi jalan napas, sifat elasitik atau

compliance paru dan kondisi dinding dada. Perbedaan tekanan udara

antara intrapleura lebih rendah dengan tekanan atmosfer, pada

inspirasi tekanan intrapleura lebih rendah dari pada tekanan atmosfer

sehingga udara masuk ke alveoli. Fungsi ventilasi paru tergantung

pada: 1) bersihan jalan napas, 16 adanya sumbatan/obstruksi jalan

napas; 2) sistem saraf pusat dan pusat pernapasan; 3) kemampuan

pengembangan dan pengempisan (compliance) paru; 4) kemampuan

otot-otot pernapasan seperti; otot diafragma, otot interkosta eksterna

dan interna, otot abdomen.

2) Perfusi

Perfusi paru adalah proses pergerakan darah melewati sistem

sirkulasi paru untuk di oksigenasi, selanjutnya mengalir dalam arteri

pulmonalis dan akan memperfusi paru serta berperan dalam proses

pertukaran gas O2 dan CO2 di kapiler paru dan alveoli.

3) Difusi

Difusi adalah pergerakan gas O2 dan CO2 dari area dengan

bertekanan tinggi ke tekanan rendah antara alveolus dengan

membran kapiler.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa mekanisme dasar pernapasan

meliputi: 1) ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara

antara alveoli dan atmosfer; 2) difusi dari oksigen dan karbondioksida


18

antara alveoli dan darah; 3) transport oksigen dan karbondioksida dalan

darah dan cairan tubuh ke dan dari sel; 4) pengaturan ventilasi (Guyton &

Hall, 2006).

3. Patofisiologi

Asma ditandai dengan konstriksi spastik dari otot polos bronkiolus yang

menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas

bronkiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada

asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang alergi membentuk

sejumlah antibodi IgE abnormal. Pada asma, antibodi ini terutama melekat

pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat

dengan bronkiolus dan bronkus. Bila seseorang terpapar alergen maka

antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang

telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan

berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi

lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan

bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan menghasilkan edema

lokal pada dinding bronkiolus maupun sekresi mukus yang kental dalam

lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan

tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma, diameter

bronkiolus berkurang selama ekspirasi dari pada selama inspirasi karena

peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar

bronkiolus. Bronkiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya


19

adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat

terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan

inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi hanya sekali-sekali melakukan

ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan

volume residu parumenjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat

kesulitan mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal in dapat menyebabkan

barrel chest (Lewis et al, 2000). Asma terjadi karena penderita asma telah

mengembangkan tingkat kedalaman pernapasan yang jauh melebihi yang

seharusnya, dan tubuh penderita mengkompensasinya dengan langkah-

langkah defensif untuk memaksa penderita agar dapat mengurangi frekuensi

pernapasannya. Hal ini menyebabkan restriksi saluran napas dan peningkatan

mucus. Rata-rata penderita asma bernapas 3-5 kali lebih sering dan lebih

cepat dibandingkan yang normal (Dupler, 2015). Sindrom hiperventilasi

adalah keadaan dimana dalam keadaan santai dapat menyebabkan rasa pusing

dan kadangkadang pingsan. Dahulu, hal ini dikaitkan dengan penurunan

saturasi oksigen. Namun, bila berdasarkan efek Bohr, hal itu disebabkan oleh

ketidakseimbangan rasio antara kadar karbondioksida dengan kadar oksigen

dalam darah yang mempengaruhi pelepasan atau penahanan oksigen dari

darah.
20

Skema 2.1: Mekanisme Terjadinya Asma (Lewis etal, 2017)

Gejala yang ditimbulkan di atas merupakan gejala hipersensitivitas

asma, dimana gejala ini sangat berbahaya bagi keselamatan penderitanya,

gejala diatas dapat membuat penderita asma meninggal dalam seketika

(GINA, 2005).
21

4. Tanda dan Gejala Asma Bronkial

Gambar 2.3:Normal Bronkus & Asthma Bronchiale (et al, 2020).

Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala yang

di timbulkan berupa batuk-batuk pada pagi, siang, dan malam hari, sesak

napas, bunyi saat bernapas (wheezing atau ”ngik..ngik..), rasa tertekan di

dada, dan gangguan tidur karena batuk atau sesak napas. Gejala ini

terjadisecara reversibel dan episodik berulang (Yayasan Asma Indonesia,

2018, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016, Lewis et al, 2000). Pada

keadaan asma yang parah gejala yang ditimbulkan dapat berupa peningkatan

distress pernapasan (tachycardia, dyspnea, tachypnea, retraksi iga, pucat),

pasien susah berbicara dan terlihat lelah. Gejala yang berat adalah keadaan

gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah

serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan tersengal-sengal,

sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit tidur dengan

posisi tidur yang dianggap nyaman adalah dalam keadaan duduk, dan
22

kesadaran menurun ( Depkes RI, 2017). Gejala asma dapat diperburuk oleh

keadaan lingkungan, seperti terpapar oleh bulu binatang, uap kimia,

perubahan temperatur, debu, obat (aspirin, beta-blocker), olahraga berat,

serbuk, infeksi sistem respirasi, asap rokok dan stres (GINA, 2014). Gejala

asma dapat menjadi lebih buruk dengan terjadinya komplikasi terhadap asma

tersebut sehingga bertambahnya gejala terhadap distress pernapasan yang di

biasa dikenal dengan status asmatikus (Brunner & Suddarth, 2016). Status

Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa pernapasan wheezing,

ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika bernapas), kemudian bisa

berlanjut menjadi pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi), pembesaran

vena leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan

kemudian berakhir dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di

bronkus maka suara wheezing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda

bahaya gagal pernapasan (Brunner & Suddarth, 2016).

5. Komplikasi

Komplikasi asma dapat mencakup status asmatikus, fraktur iga,

pneumonia, dan atelektasis. Obstruksi jalan napas, terutama selama episode

asmatik akut, sering mengakibatkan hipoksemia membutuhkan pemberian

oksigen dan pemantauan gas darah arteri. Cairan diberikan karena individu

dengan asma mengalami dehidrasi akibat diaphoresis dan kehilangan cairan

tidak kasat mata dengan hiperventilasi (Smeltzer & Suzanne, 2019),

sedangkan prognosis Asma pada umumnya baik bila segera ditangani secara
23

adekuat dan edukasi secara terus menerus-menerus, Asma karena faktor

imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya lebih

baik dari pada yang muncul sesudah dewasa, dan angka kematian meningkat

bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai(Vitahealth, 2020).

6. Sesak nafas

Sesak nafas (dyspnea) adalah suatu istilah yang menggambarkan suatu

persepsi subjektif mengenai ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari

berbagai sensasi yang berbeda intensitinya, Sesak nafas dimana kondisi kita

susah bernafas biasanya terjadi ketika kita melakukan aktivitas fisik dan bisa

terjadi pada orang dewasa maupun anak-anak dan bayi sekalipun, sesak nafas

juga suatu gejala dari beberapa penyakit yang dapat bersifat kronis (Thoracic

Society America, 2020). Kesulitan bernafas tersebut merupakan hasil dari

kombinasi impuls yang diteruskan ke otak dari ujung saraf di paru-paru,

tulang rusuk, otot dada, atau diafragma kemudian dikombinasikan dengan

persepsi pasien dan interpretasi.Ada banyak hal di lingkungan sekitar yang

dapat memicu sesak nafas. Pemicu ini bervariasi, tetapi yang sering terjadi

adalah udara dingin, alergi seperti debu, jamur, bulu binatang dan kotoran

serangga, serta infeksi virus. Ketika saluran udara bersentuhan dengan

alergen, jaringan di dalam bronkus dan bronkiolus menjadi meradang, pada

saat yang sama, otot-otot di bagian luar saluran udara mengalami

penyempitan dan hal ini menyebabkan sesak nafas.


24

7. Teknik Pernapasan Buteyko

Gambar 2.4: Buteyko Breathing Techniques (et al, 2020).

a. Pengertian Teknik Pernapasan Buteyko

Pernapasan Buteyko merupakan suatu metode manajemen

/penatalaksanaan asma yang bertujuan untuk mengurangi konstriksi

jalan napas dengan prinsip latihan bernapas dangkal. Terapi ini

dirancang untuk memperlambat atau mengurangi intake udara ke dalam

paru-paru sehingga dapat mengurangi gangguan pada saluran

pernapasan (Dupler, 2018). Teknik pernapasan buteyko adalah sebuah

teknik pernapasan yang dikembangkan oleh profesor konstantin

buteyko dari rusia. Ia meyakini bahwa penyebab utama penyakit asma

menjadi kronis karena masalah hiperventilasi yang tersembunyi, dengan

program dasar memperlambat frekuensi pernapasan agar menjadi

normal. Program tersebut termasuk sebuah panduan untuk memperbaiki

pernapasan diafragma (dada) dan belajar bernapas melalui hidung

(Wiwit Febrina, 2018).Teknik pernapasan Buteyko merupakan salah

satu alternatif pencegahan kekambuhan asma. Teknik pernapasan


25

Buteyko dapat membantu mengurangi kesulitan bernapas dengan cara

hiperventilasi (Mubarok, 2017).

b. Tujuan Latihan Teknik Pernapasan Buteyko

Tujuan pelaksanaan teknik pernapasan Buteyko ini adalah

menggunakan serangkaian latihan bernapas secara teratur untuk

memperbaiki cara bernapas penderita asma yang cenderung bernapas

secara berlebihan agar dapat bernapas secara benar. Selain itu, tujuan

lain dari teknik pernapasanini adalah untuk mengembalikan volume

udara yang normal (Vita Health, 2006). Secara garis besarnya, teknik

pernapasan Buteyko bertujuan untuk memperbaiki pola napas penderita

asma dengan cara memelihara keseimbangan kadar CO2 dan nilai

oksigenasi seluler yang pada akhirnya dapat menurunkan gejala asma

(Dupler, 2019).

Menurut Roy (2016), tujuan umum dari teknik pernapasan Buteyko

adalah untuk rekondisi penderita agar dapat bernapas normal dengan

cara-cara sebagai berikut:

1) Belajar bagaimana untuk membuka hidung secara alami dengan

melakukan latihan menahan napas.

2) Menyesuaikan pernapasan dan beralih dari pernapasan melalui

mulut menjadi pernapasan melalui hidung.

3) Latihan pernapasan untuk mencapai volume pernapasan yang

normal dengan melakukan relaksasi diafragma sampai terasa

jumlah udara mulai berkurang.


26

4) Latihan khusus untuk menghentikan batuk dan wheezing.

5) Perubahan gaya hidup dibutuhkan untuk membantu hal tersebut

diatas, sehingga memfasilitasi jalan untuk dapat sembuh dan

rekondisike tingkat normal.

c. Manfaat Latihan Teknik Pernapasan Buteyko

Teknik Pernapasan Buteyko memanfaatkan teknik pernapasan

alami secara dasar dan berguna untuk mengurangi gejala dan

memperbaiki tingkat keparahan pada penderita asma. Teknik

Pernapasan Buteyko berguna untuk mengurangi ketergantungan

penderita asma terhadap obat/medikasi asma. Selain itu, teknik

pernapasan ini juga dapat meningkatkan fungsi paru.

d. Prinsip Latihan Teknik Pernapasan Buteyko

Selama serangan asma, penderita asma bernapas dua kali lebih

cepat dibandingkan orang normal, yang kemudian kondisi ini dikenal

dengan istilah hiperventilasi (Dupler, 2016). Teori Buteyko menyatakan

bahwa dasar penyebab dari penyakit asma adalah kebiasaan bernapas

secara berlebihan (over-breathing) yang tidak disadari (VitaHealth,

2020).

Teori yang mendasari Buteyko dalam mengembangkan tekhnik

pernapasan ini adalah:

1) Bila penderita asma melakukan pernapasan dalam, maka

jumlah CO2 yang dikeluarkan akan semakin meningkat. Hal ini


27

dapat menyebabkan jumlah CO2 di paru-paru, darah dan

jaringan akan berkurang.

2) Terjadinya difisiensi CO2 disebabkan oleh cara bernapas dalam

yang dapat menyebabkan pH darah menjadi alkalis. Perubahan

pH dapat menganggu keseimbangan protein, vitamin dan proses

metabolisme. Bila pH mencapai nilai 8, maka hal ini dapat

menyebabkan gangguan metabolik yang fatal.

3) Terjadinya defisiensi CO2 menyebabkan spasme pada otot

polos bronkus, kejang pada otak, pembuluh darah, spastik usus,

saluran empedu dan organ lainnya. Bila penderita asma

bernapas dalam, maka semakin sedikit jumlah oksigen yang

mencapai otak, jantung, ginjal dan 37 organ lainnya yang

mengakibatkan hipoksia disertai dengan hipertensi arteri

(Murphy, 2020).

4) Kekurangan CO2 dalam pada organ-organ vital (termasuk otak)

dan selsel saraf meningkatkan stimulasi terhadap pusat

pengendalian pernapasan di otak yang menimbulkan

rangsangan untuk bernapas, dan lebih lanjut meningkatkan

pernapasan sehingga proses pernapasan lebih intensif yang

kemudian dikenal dengan hiperventilasi atau overbreathing

(VitaHealth, 2020).

5) Over-breathing dapat menyebabkan ketidakseimbangan kadar

CO2 di dalam tubuh (terutama paru-paru dan sirkulasi)


28

sehingga hal ini akan mengubah kadar O2 darah dan

menurunkan jumlah O2 seluler. Keseimbangan asam-basa

tubuh juga dipengaruhi oleh pola nafas dan konsentrasi

O2/CO2. Pada waktu serangan, over-breathing dapat

menyebabkan stres pada tubuh (Pegasus Neuro Linguistic

Programming, 2019).

Menurut Buteyko, kesulitan bernapas seperti yang dialami oleh

penderita asma merupakan salah satu tanda over-breathing dan faktanya

respon alami tubuh terhadap hal ini adalah mengurangi intake udara ke

dalam paru-paru (Pegasus Neuro Linguistic Programming, 2019). Lebih

lanjut ia menjelaskan bahwa ketika seorang bernapas secara berlebihan,

tubuh akan mengorganisasikan mekanisme pertahanan alami untuk

mempertahankan tingkat karbondioksida normal, dengan cara sebagai

berikut:

1) Spasme saluran pernapasan dan alveolus. Keduanya bergerak

menguncup untuk mempersempit bukaan jalaan napas dalam

upaya mempertahankan CO2 di paru-paru.

2) Timbulmya mukus dalam saluran pernapasan, yang merupakan

cara lain dari tubuh untuk mempersempit saluran udara dalam

mempertahankan CO2.
29

3) Pembengkakan lapisan permukaan saluran pernapasan sebelah

dalam dengan tujuan yang sama yaitu mempertahankan CO2

(VitaHealth, 2020).

Teknik Pernapasan Buteyko bertujuan untuk memperbaiki

kebiasaan buruk penderita asma yaitu over-breathing atau hiperventilasi

dan mengubahnya menjadi kebiasaan baru yaitu bernapas lebih lambat

dan lebih dangkal. Teknik Pernapasan Buteyko meliputi dua hal penting

yaitu relaksasi dan latihan. Pada tahapan relaksasi, postur tubuh diatur

secara rileks terutama tubuh bagian atas. Teknik pernapasan ini

dilakukan untuk merilekskan otot pernapasan dan iga secara perlahan-

lahan yaitu adanya peregangan ke arah luar selama inspirasi dan

penarikan iga ke arah dalam selama ekspirasi. Penderita dianjurkan

untuk mengurangi melakukan pernapasan melalui mulut, tetapi lebih

diutamakan untuk melakukan pernapasan melalui hidung saat serangan

asma terjadi (Dupler, 2019). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam

melakukan teknik pernapasan Buteyko adalah mengajarkan penderita

asma untuk lebih terorientasi pada pernapasan melalui hidung, bukan

melalui mulut (Mortin, 1999 dalam Thomas, 2004). Menurut Buteyko,

bernapas melalui hidung akanmengurangi hiperventilasi (bernapas

dalam) sehingga cara terbaik untuk menghemat CO2 yang keluar adalah

dengan merelaksasikan otot-otot pernapasan sehingga insufisiensi udara

yang terjadi saat serangan asma dapat berkurang (Thomas, 2004).


30

Selain itu, selama latihan perlu diperhatikan pula control pause

yaitu waktu untuk menahan napas secara terkendali. Lamanya waktu

penderita menahan napas harus dicatat. Pada penderita asma, control

pause hanya bisa dicapai selama 5-15detik. Bila melakukan teknik

pernapasan Buteyko secara benar, maka tubuh dapat menahan napas

atau mencapai waktu control pause selama 40-60 detik (Dupler, 2005,

USA Buteyko Clinic, 2008).

Latihan-latihan yang digunakan dalam Teknik Pernapasan Buteyko

berbeda panjang dan frekuensinya, tergantung pada tingkat keparahan

penyakit yang diderita. Latihan pernapasan Buteyko dilakukan sebelum

makan atau menunggu setidaknya dua jam setelah makan karena

pencernaan dapat mempengaruhi pernapasan (Roy, 2016).

Adapun beberapa persiapan dasar yang perlu dipahami dalam

melakukan teknik pernapasan Buteyko ini menurut Thomas (2004)

adalah sebagai berikut:

1) Pengukuran waktu control pause; Dalam melakukan latihan

pernapasan Buteyko, sebelum dan sesudah latihan harus

diperiksa terlebih dahulu control pause.

2) Postur (sikap tubuh); Dalam melakukan latihan pernapasan

Buteyko, postur yang baik sangat berperan penting dalam

keberhasilan latihan untuk mengurangi hiperventilasi.

Penggunaan kursi yang memiliki sandaran tegak dan tinggi

memungkinkan untuk mengistirahatkan kaki di lantai


31

dengan nyaman dan memungkinkan untuk duduk dengan

posisi yang benar. Jika tidak memiliki kursi dengan sandaran

yang lurus, maka posisi kepala, bahu, dan pinggul harus

diatur supaya tegak lurus.

3) Konsentrasi; Tutup mata dan fokus pada pernapasan.

Rasakan udara yang bergerak masuk dan keluar dari lubang

hidung dan gerakan berbeda dari tubuh ketika menarik napas

dan menghembuskan napas. Walaupun berkonsentrasi pada

pernapasan mungkin dirasakan sebagai hal yang aneh, tetapi

kita tidak dapat mengubah pola pernapasan kita jika tidak

menyadari bagaimana kita bernapas.

4) Relaksasi bahu; Bahu merupakan bagian penting untuk

memperbaiki pernapasan. Oleh karena tejadi ketegangan dan

kekakuan menyebabkan kesulitan untuk menaikkan otot

bahu saat bernapas sehingga mempengaruhi jumlah udara ke

dalam paru-paru. Cobalah untuk sesantai mungkin dan

biarkan bahu rileks dengan posisi alamiah setiap kali

bernapas. Relaksasi juga akan membantu mengatur

pernapasan.

5) Memantau aliran udara; Rasakan jumlah aliran udara melalui

lubang hidung dengan cara meletakkan jari di bawah hidung

sehingga sejajar dengan lantai. Aliranudara harus dapat

dirasakan keluar dari lubang hidung, tetapi posisi jari tidak


32

boleh terlalu dekat ke lubang hidung karena dapat

mengganggu aliran udara yang masuk dan keluar dari lubang

hidung.

6) Bernapas dangkal; Ketika mulai terasa aliran udara

menyentuh jari saat menghembuskan napas, maka mulailah

menarik napas kembali. Hal ini akan menyebabkan

penurunan jumlah udara untuk setiap kali bernapas. Setelah

melakukan hal ini, akan terjadi peningkatan jumlah napas

yang dihirup per menit, tapi tidak masalah jika tujuannya

adalah untuk mengurangi volume udara. Udara yang sedikit

hangat terasa di jari menandakan semakin berhasilnya

penurunan volume udara setiap kali bernapas. Tujuannya

adalah untuk terus bernapas dengan cara ini selama 3-5

menit.

Kemungkinan yang terjadi adalah tidak dapat

menyelesaikan 5 menit penuh saat pertama kali latihan. Seperti

latihan lain pada umumnya, akan lebih mudah dipahami melalui

praktek. Jika mengambil napas dari udara, maka hal itu berarti

adanya usaha untuk mengurangi volume udara yang terlalu

cepat dan perlu untuk memperlambatnya. Tujuannya adalah

untuk memperoleh hasil yaitu pernapasan dapat dikurangi

selama 3-5 menit pada suatu waktu. Cara untuk latihan bernapas

dangkal ini adalah sebagai berikut:


33

Langkah I

Bernapas hanya melalui hidung, baik inspirasi maupun

ekspirasi. Pastikan muluttertutup sewaktu bernapas.

Langkah 2

Bernapaslah hanya dengan diafragma, tidak dengan

pernapasan dada. Atur posisi dan duduklah di depan cermin.

Letakkan tangan di perut, lalu tarik napas. Perhatikan bahwa

tidak terjadi penggunaan otot-otot dada untuk bernapas, yang

bergerak turun hanya tangan yang sebelumnya diletakkan di

perut. Ketika menghembuskan napas, tangan yang diletakkan di

perut harus bergerak naik ke posisi normal (posisi sebelumnya).

Langkah 3

Letakkan jari di bawah hidung.Napas haruslah sangat

dangkal dimana hampir tidak terasa pergerakan udara (saat

tarikan dan hembusan napas).

1) Pengukuran Control Pause dan Pemeriksaan Denyut Nadi

Setelah menyelesaikan tahapan 5 menit seperti yang tersebut

di atas , selama apapun waktunya untuk mulai latihan, maka

harus diperiksa kembali denyut nadi dan control pause.

2) Istirahat Sebelum memulai tahapan 5 menit berikutnya,

sebaiknya istirahat. Untuk memperoleh manfaat besar dari

latihan pernapasan Buteyko ini, maka dibutuhkan waktu

minimal 20 menit per hari.


34

3) Latihan Blok Setiap sesi terdiri dari 4 blok penurunan

frekuensi bernapas dengan memeriksa denyut nadi dan

control pause sebelum dan setelah latihan.Dibandingkan

dengan sesi awal, maka control pause harus lebih panjang

waktunya dan untuk denyut nadi harus lebih rendah.

8. Uji Latihan berjalan

Dalam kondisi normal kemampuan seseorang melakukan latihan

tergantung kapasitas sistem sirkulasi dan respirasi untuk meningkatkan

transpor oksigen ke otot-otot yang sedang bekerja dan faktor lokal yang

menentukan apakah peningkatan jumlah oksigen yang mencapai bagian

dalam sel, tempat digunakan untuk meghasilkan kontraksi otot.

Terdapat beberapa uji yang digunakan dalam mengevaluasi kapasitas

fungsional suatu latihan. Beberapa uji menyajikan asesmen lengkap dari

performa latihan (high tech), sementara uji yang lain memberikan informasi

mendasar tetapi lebih low tech dan lebih mudah untuk dikerjakan. Uji yang

terpilih didasari oleh hasil yang ingin diperoleh dan ketersediaan alat. Uji

latihan yang paling umum adalah uji jalan 6 menit, uji menaiki tangga,

shuttle walk test, cardiac stress test (protokol Bruce), uji latihan

Kardiopulmonal. (ATS, 2002).

a. 6 Minute Walking Test (6MWT)

PPOK ditandai dengan obstruksi jalan napas yang irreversible dan

sesak napas, dan pasien penderita PPOK berat umumnya mengalami


35

eksaserbasi berulang, disfungsi otot perifer, dan pembatasan aktivitas

yang signifikan. Walaupun PPOK irreversible, beberapa penelitian

menunjukan peningkatan parameter fungsional termasuk sesak napas dan

kapasitas latihan dapat diukur oleh jarak berjalan. (Enfield, et al., 2010)

Uji jalan dengan waktu telah digunakan secara luas sebagai

evaluasi klinis pada pasien dengan gangguan kronik kardiopulmonal,

terutama karena sederhana. Saat ini, disadari bahwa uji ini menambahkan

informasi prognosis pada pasien PPOK, hipertensi pulmonal primer, dan

gagal jantung. Uji jalan dengan waktu memperlihatkan sensitif pada

perubahan pasca intervensi seperti inhalasi bronkodilator, bedah reduksi

volume, dan rehabilitasi paru. (Trooster, et al., 2002)

Pada awal 1960an, Balke mengembangkan uji sederhana dalam

evaluasi kapasitas fungsional dengan mengukur jarak ditempuh dengan

berjalan selama suatu periode waktu. Uji jalan 12 menit dikembangkan

saat itu guna evaluasi tingkat kebugaran fisik dari individu sehat. Uji

jalan juga diadaptasi dalam menilai disabilitas pada pasien penderita

bronkitis kronis. Mengakomodir penderita gangguan pernapasan yang

mana uji jalan 12 menit terlalu melelahkan, uji jalan 6 menit

diperkenalkan dan memberi hasil yang sama dengan uji jalan 12 menit.

Ulasan terbaru uji jalan menyimpulkan bahwa “Uji Jalan 6 Menit

merupakan uji yang mudah dikerjakan, ditoleransi dengan baik dan lebih

merefleksikan aktivitas harian dibandingkan dengan uji jalan lainnya.

(ATS, 2002)
36

Uji ini menilai jarak yang dapat ditempuh pasien secepatnya pada

permukaan yang datar dan padat selama periode waktu 6 menit. Uji ini

mengevaluasi respon global dan terintegari dari keseluruhan sistem tubuh

yang terlibat selama latihan, yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler,

sirkulasi sistemik, sirkulasi perifer, darah, neuromuskular dan

metabolisme otot. Uji ini tidak dapat menampilkan informasi spesifik

terkait sistem dan organ yang berbeda selama latihan. Uji jalan 6 menit

menilai tingkat kapasitas fungsional submaksimal. Dimana pasien tidak

dapat mencapai kapasitas maksimal saat uji jalan 6 menit; pasien

menentukan sendiri intensitas uji dan diizinkan untuk berhenti dan rehat

sejenak saat uji. Akan tetapi, kebanyakan aktivitas harian dilakukan

dengan tingkat submaksimal sehingga uji jalan 6 menit dapat

merefleksikan tingkat latihan fungsional pada aktivitas harian. (ATS,

2002)

1) Indikasi 6MWT

Indikasi terbaik dari 6 Minute Walking Test adalah untuk

mengukur respon dari intervensi medis pada pasien penyakit jantung

atau paru dengan gangguan sedang-berat. 6MWT juga dilakukan

sebagai pengukuran satu waktu dalam menilai status fungsional

pasien, juga menjadi prediktor morbiditas dan mortalitas. (ATS,

2002).

Jarak rata-rata pasien PPOK sedang sampai berat adalah 283 –

383 meter, dengan range 160 – 600 meter, dan jarak yang kurang
37

atau sama dengan 350 meter dihubungkan dengan resiko rawat inap

dan mortalitas yang lebih tinggi. (Ghofraniha, Sani, Vakilian,

Khajedalooyi, & Arabshahi, 2015).

Tabel 2.1. Indikasi 6 Minute Walking Test (Ghofraniha, Sani, Vakilian,


Khajedalooyi, & Arabshahi, 2015)
Perbandingan pra-pengobatan dan pasca-pengobatan

• Transplantasi paru

• Reseksi paru

• Bedah reduksi volume paru

• Rehabilitasi paru

• PPOK

• Hipertensi pulmonal

• Gagal jantung

Tabel 2.2. Indikasi Uji Jalan 6 Menit (lanjutan) (Ghofraniha, Sani,


Vakilian, Khajedalooyi, & Arabshahi, 2015)
Status fungsional (pengukuran satu waktu)

• PPOK

• Kistik fibrosis

• Gagal jantung

• Penyakit vaskuler perifer


38

• Fibromialgia

• Pasien usia tua

Prediktor morbiditas dan mortalitas

• Gagal jantung

• PPOK

• Hipertensi pulmonal primer

2) Kontraindikasi

Kontraindikasi absolut Uji Jalan 6 Menit yaitu, angina unstable

dan infark miokard sebulan sebelumnya. Kontraindikasi relatif yaitu

denyut jantung istirahat lebih dari 120, tekanan darah sistol lebih dari

180 mmHg, dan tekanan diastol lebih dari 100 mmHg.

Alasan penghentian segera uji jalan 6 menit

a) Nyeri dada

b) Sesak napas yang tidak tertoleransi

c) Kaki kram

d) Sempoyongan

e) Diaforesis

f) Pucat (ATS, 2002)

3) Lokasi, Persiapan Alat dan Persiapan Pasien

Uji jalan 6 menit sebaiknya dilakukan indoor, pada jalur yang

mendatar dan lurus dengan permukaan padat. Panjang jalur

sebaiknya 30 m. Pengunaan treadmill pada uji jalan 6 menit dapat

menghemat tempat tetapi tidak disarankan. Hal ini dikarenakan


39

pasien tidak mampu mengatur ritme jalan mereka sendiri dengan

treadmill. Pada suatu penelitian, uji jalan 6 menit dengan treadmill

(dengan kecepatan yang diatur oleh pasien) memberi hasil rerata

jarak lebih pendek dibandingkan uji jalan 6 menit standar. Sehingga

uji treadmill dengan uji jalan 6 menit tidak dapat saling

mengantikan. Adapun alat yang dibutuhkan diantaranya; (ATS,

2002)

a) Timer atau stopwatch

b) Alat penghitung mekanis

c) Dua cone sebagai penanda belokan

d) Kursi yang dapat dipindahkan sepanjang jalur

e) Kertas kerja

f) Sumber oksigen

g) Spigmomanometer

h) Telefon

i) Defibrilator

Sebelum melakukan 6MWT, diperlukan beberapa persiapan yang

harus dilakukan pasien, diantaranya; (ATS, 2002)

a) Mengenakan pakaian yang nyaman

b) Mengunakan sepatu yang nyaman

c) Pasien dapat mempergunakan alat bantu jalan yang biasa

dipakai

d) Regimen pengobatan pasien tetap dikonsumsi


40

e) Diperbolehkan makan ringan sebelum uji di pagi hari atau di

sore hari

f) Pasien tidak boleh olahraga berat 2 jam sebelum uji dimulai

(ATS, 2002)

4) Pengukuran 6 Minute Walking Test (6MWT) (ATS, 2002)

a) Pengujian berulang sebaiknya dilakukan pada jam yang sama

guna meminimalisir variabilitas harian

b) Tidak diperlukan pemanasan sebelum uji dilakukan

c) Pasien dipastikan dalam keadaan stabil sebelum melakukan uji

Pasien duduk istirahat di kursi dekat tempat start 5 menit

sebelum uji dimulai. Dilakukan pemeriksaan kontraindikasi,

pengukuran denyut nadi dan tekanan darah, dan pastikan

mengunakan pakaian yang sesuai.

d) Minta pasien untuk berdiri dan lakukan pengukuran baseline

dyspnea dan kelelahan menyeluruh mengunakan Skala Borg.

e) Set stopwatch untuk 6 menit dan alat penghitung ke posisi 0

f) Posisikan pasien pada garis start kemudian mulai berjalan

bersamaan dengan stopwatch dihidupkan

g) Beri penjelasan pada pasien sebagai berikut:

“Tujuan uji ini adalah untuk berjalan sejauh mungkin

selama 6 menit. Anda akan berjalan bolak balik sepanjang

koridor ini. waktu yang dibutuhkan 6 menit, jadi anda mungkin

akan kelelahan. Jika anda merasa sesak napas atau kelelahan.


41

Anda diperbolehkan untuk berjalan lebih pelan, berhenti atau

beristirahat. Anda dapat bersandar pada dinding saat beristirahat,

tetapi segera jalan lagi jika merasa sudah mampu.

Anda akan berjalan bolak balik pada cone penanda. Anda

berputar pada cone dan berjalan lagi ke arah berlawanan tanpa

ragu. Sekarang saya akan menunjukan caranya. Perhatikan cara

saya berputar tanpa ragu.”

Demonstrasikan dengan berjalan satu putaran. Jalan dan

berputar pada cone.

“apakah anda siap? Saya akan mengunakan alat penghitung ini

untuk menghitung jumlah putaran yang anda jalani. Ingat

tujuannya adalah berjalan sejauh mungkin selama 6 menit, tetapi

jangan berlari atau melompat. Kita akan mulai sekarang”

h) Posisikan pasien pada garis start. Pemeriksa berdiri dekat garis

start selama uji. Jangan berjalan bersama dengan pasien.

i) Jangan berbicara dengan orang lain. Jika pasien butuh istirahat

stopwatch jangan dimatikan. Jika tidak dapat meneruskan maka

uji dibatalkan.

j) Uji dihentikan bila stopwatch telah berdering

k) Catat jarak yang ditempuh dalam meter

l) Pasca uji: catat Borg dyspnea dan tanyakan apa yang

menyebabkan tidak mampu berjalan lebih jauh.

m) Catat jumlah putaran yang dilakukan


42

n) Catat jarak tempuh tambahan, lalu kalkulasikan keseluruhan

jarak, bulatkan ke meter terkecil dan catat di kertas kerja

o) Beri ucapan selamat pada pasien atas usahanya dan tawarkan

pasien untuk minum.

b. Six Minute Step Test (6MST)

Melangkah pertama kali diperkenalkan sebagai alat evaluasi latihan

pada awal 1940. Selama beberapa dekade, uji langkah telah

memperlihatkan kegunaan secara klinis dalam memperkirakan toleransi

latihan, evaluasi resiko komplikasi pasca operasi dan dalam menilai

hipoksemia yang berhubungan dengan aktivitas pada penyakit tertentu.

Melangkah menjadi hal yang menarik minat karena memerlukan lokasi

minimum dan tenaga ahli yang tidak memerlukan pelatihan tinggi. (Dal

Corso, et al., 2007).

6 minute step test menyerupai seperti menaiki anak tangga. Uji ini

dapat menjadi alternatif dibandingkan 6 minute walking test karena tidak

memerlukan tempat yang cukup luas. (Pichon, et al., 2016) 6 minute step

test diusulkan untuk mengatasi masalah kekurangan tempat pada 6

minute walking test. Didapati korelasi yang baik antara 6 minute walking

test dan 6 minute step test dalam hal ambilan oksigen dan denyut jantung.

(Coquart, Lemaitre, Castres, Saison, Bart, & Grosbois, 2014) 6 minute


43

step test merupakan uji dengan self-paced dengan tempat yang terbatas

dan uji ini mudah serta dapat menjadi alternatif yang efektif karena

memerlukan tempat terbatas dengan alat yang portabel. (Borel, Fabre,

Saison, Bart, & Grosbois, 2010) Durasi waktu 6 menit dipilih

dikarenakan memberi evaluasi yang lebih baik pada hasil uji dan

berkorelasi dengan 6MWT. Korelasi ini lebih terlihat pada menit terakhir

pada uji terkait persepsi lelah dan sensitivitas uji saat dibandingka

dengan 6MWT. (Dal Corso, et al., 2007)

1) Lokasi, persiapan alat dan persiapan pasien

Uji ini dilakukan di tempat yang tertutup, dengan alat stepper

diletakan 40 cm menghadap ke dinding sehigga partisipan dapat

berpegangan pada dinding untuk mengatasi masalah keseimbangan.

(Pichon, et al., 2016) (Coquart, Lemaitre, Castres, Saison, Bart, &

Grosbois, 2014). Persiapan diadaptasi dari protokol 6 minute

walking test dari ATS ditambahkan dengan stepper, diantaranya:

a) Timer atau stopwatch

b) Alat penghitung mekanis

c) Kertas kerja

d) Sumber oksigen

e) Spigmomanometer

f) Telefon

g) Defibrilator (ATS, 2002)


44

h) Stepper dengan ketinggian 20 cm (Pessoa, Arcuri, Labadessa,

Costa, Sentanin, & Pires di Lorenzo, 2014)

2) Pengukuran 6 Minute Step Test

6 minute step test akan mengadaptasi dari intruksi ATS yang

ditujukan untuk 6 minute walking test.(Pichon, et al., 2016) Pasien

diintruksikan untuk melangkah naik dan turun selama 6 menit,

dengan target jumlah langkah maksimal. (Pessoa, Arcuri, Labadessa,

Costa, Sentanin, & Pires di Lorenzo, 2014)

a) Pengujian berulang sebaiknya dilakukan pada jam yang

sama guna meminimalisir variabilitas harian

b) Tidak diperlukan pemanasan sebelum uji dilakukan

c) Pasien dipastikan dalam keadaan stabil sebelum melakukan

uji

d) Pasien duduk istirahat di kursi dekat tempat start 5 menit

sebelum uji dimulai. Dilakukan pemeriksaan kontraindikasi,

pengukuran denyut nadi dan tekanan darah, dan pastikan

mengunakan pakaian yang sesuai.

e) Minta pasien untuk berdiri dan lakukan pengukuran baseline

dyspnea dan kelelahan menyeluruh mengunakan Skala Borg.

f) Set stopwatch untuk 6 menit dan alat penghitung ke posisi 0

g) Posisikan pasien pada posisi kemudian mulai melangkah

bersamaan dengan stopwatch dihidupkan

h) Beri penjelasan pada pasien sebagai berikut:


45

“ Tujuan uji ini adalah untuk menghitung jumlah langkah

sebanyak mungkin selama 6 menit. Anda akan melangkah

naik turun alat stepper ini. waktu yang dibutuhkan 6 menit,

jadi anda mungkin akan kelelahan. Jika anda merasa sesak

napas atau kelelahan. Anda diperbolehkan untuk melangkah

lebih pelan, berhenti atau beristirahat. Anda dapat bersandar

pada dinding saat beristirahat, tetapi segera mulai lagi jika

merasa sudah mampu.

Demonstrasikan dengan melangkah pada alat stepper.

“apakah anda siap? Saya akan mengunakan alat penghitung

ini untuk menghitung jumlah langkah yang anda jalani.

Ingat tujuannya adalah melangkah sebanyak mungkin

selama 6 menit. Kita akan mulai sekarang”

i) Posisikan pasien dekat stepper. Pemeriksa berdiri dekat

pasien. Jangan berjalan bersama dengan pasien.

j) Jangan berbicara dengan orang lain. Jika pasien butuh

istirahat stopwatch jangan dimatikan. Jika tidak dapat

meneruskan maka uji dibatalkan.

k) Uji dihentikan bila stopwatch telah berdering

l) Catat langkah yang ditempuh dalam jumlah langkah

m) Pasca uji: catat Borg dyspnea dan tanyakan apa yang

menyebabkan tidak mampu melangkah lebih banyak.


46

n) Beri ucapan selamat pada pasien atas usahanya dan tawarkan

pasien untuk minum.

Sebagai hasil evaluasi terapi terhadap aktifitas fungsional

pasien, penulis menggunakan pemeriksaan dengan The Six

Minutes Walk Test. Dari tindakan intervensi dan

pemeriksaan aktivitas fungsional yang di lakukan sebanyak 5

kali pertemuan di dapatkan hasil peningkatan jarak tempuh

pada aktivitas berjalan selama 6 menit seperti pada grafik

berikut ini : Dari hasil pengukuran The Six Minutes Walk

Test tersebut terlihat adanya penambahan jumlah jarak

tempuh uji berjalan pasien seiring dengan berkurangnya

sesak napas yang diderita oleh pasien, ini menunjukkan

bahwa toleransi aktivitas pasien sudah bertambah dari

aktivitas sebelumnya.

B. Penelitian Relevan

1. Pada penelitian yang dilakukan oleh MELASTUTI, Erna; HUSNA, Lailya.

Efektivitas Teknik Pernafasan Buteyko Terhadap Pengontrolan Asma Di

Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang. Nurscope: Jurnal Penelitian

dan Pemikiran Ilmiah Keperawatan, 2015, 1.2: 1-7.Hasil : Sebanyak 34

responden telah menyelesaikan penelitian. Hasil analisa menggunakanhasil

uji paired sample T-Test dengan hasil rata –rata (mean) pengontrolan asma
47

meningkat yaitu 20,35 menjadi 21,29 sertanilai signifkansinya ( p value <

0,05) adalah 0,00.

Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan kontrol asma

sebelum dan sesudah dilakukan teknik pernafasan buteyko.

2. Pada penelitian yang dilakukan oleh SISWANTI, Heny. Efektifitas

Pemberian Teknik Pernapasan Buteyko terhadap Kekambuhan pada Pasien

Asma. Proceeding of the URECOL, 2019, 796-801. Hasil uji

statistikdidapatkan p value 0,000 berarti ada perbedaan antara pengontrolan

asma sebelum dan sesudah pelaksanaan pernafasan Buteyko. Dapat

disimpulkan pernafasan Buteyko bermafaat dalam pengontrolanasma.

Disarankan pada pihak Puskesmas untuk mengadakan sosialisasi dan

pelatihan agar semua perawatmemiliki kesamaan kemampuan dalam

melaksanakan teknik pernapasan Buteyko pada penderita asma.

3. Pada penelitian yang dilakukan oleh JUWITA, Lisavina; SARY, Ine Permata.

Pernafasan Buteyko Bermanfaat dalam Pengontrolan Asma. REAL in Nursing

Journal, 2019, 2.1: 10-20. Hasil uji statistikdidapatkan p value 0,000 berarti

ada perbedaan antara pengontrolan asma sebelum dan sesudahpelaksanaan

pernafasan Buteyko. Dapat disimpulkan pernafasan Buteyko bermafaat dalam

pengontrolan asma.
48

C. Kerangka Pikir

Faktor internal: ASMA Faktor eksternal:

1. Usia 1. Olahraga Berlebihan

2. Alergi 2. Suhu dingin\panas

3. Genetik 3. Polusi udara debu\asap

1. Peningkatan Mucus
2. Spasme Otot Broncus
3. Edema Mukosa
4. Bronco Kotraksis

1. Penurunan Aktivitas Berjalan


2. Sesak nafas
3. Penurunan Ekspansi Thoraks
4. Spasme otot Pernafasan

Penurunan Aktivitas Berjalan

6 Minute Walking
Buteyko Breathing
Techniques Test (6MWT)
49

1. Peningkatan Aktivitas Berjalan


2. Penurunan derajat Sesak nafas
3. Peningkatan Ekspansi Thoraks
4. Penurunan Spasme otot Pernafasan

Skema 2.2: Kerangka Pikir (Nonewa 2022)

D. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Meningkatkan
Buteyko Breathing Techniques aktivitas berjalan

Skema 2.3: Kerangka Konsep

E. Hipotesa

Ada pengaruh Buteyko breathing techniques terhadap peningkatkan aktivitas

berjalan pada penderita Asma Bronchiale.

Anda mungkin juga menyukai