Anda di halaman 1dari 51

EPIDEMIOLOGI HIV AIDS

CHRISTIN NATALIA (1710711126)


LILIS DWI SEPTIANI (1710711127)
1. EPIDEMI GLOBAL
Dalam 20 tahun terahir ini,
lebih dari 60 juta orang
terinfeksi HIV, dan 20 juta
dari mereka sudah
meninggal karena AIDS.
Jumlah orang yang hidup
dengan HIV/AIDS
diperkirakan pada tahun
2001 adalah 40 juta orang
dimana pada wanita kurang
dari 50 persen yaitu sekitar
17,6 juta orang, anak
dibawah 15 tahun yang
terkena berjumlah 2,8 juta .
EPIDEMI HIV/AIDS DI ASIA/AFRIKA

Epidemi saat ini meningkat di negara berkembang termasuk


Asia-Pasifik. Negara yang paling tinggi prevalensi HIV
adalah Kambodia, Thailand, Myanmar dan beberapa
bagian negara India yang penduduknya padat yaitu
Maharashtra dan Tamil Nadu. Faktor penularan utama di
negara tersebut adalah heteroseksual, di Thailand dan
Myanmar pengguna NAPZA suntik juga cukup tinggi.
Prevalensi HIV meningkat pada IDU dialami disebagian
China, Nepal, Indonesia, Malaysia dan Vietnam.
Thailand bila dikuti sejak
tahun 1988 sebagian besar
(70%) mengenai pengguna
NAPZA suntik, pada wanita
penjaja seks 3% dan laki-laki
yang tertular dari wanita
penjaja seks 23%. Pada tahun
1990 terjadi perubahan,
dimana laki-laki tertular dari
wanita penjaja seks sebesar
70%, kemudian pada tahun
1995 terjadi penularan dari
suami kepada isterinya, yaitu
sebesar 40%. Selanjutnya
penularan dari ibu kepada
bayinya yang mencapai >
10%.
Dengan dimulainya
program
penggunaan kondom
100% pada tahun
1995 terlihat
penurunan infeksi
HIV baru yang
sangat drastis pada
laki-laki sejak tahun
1990, dan pada
wanita sesudah
tahun 1995.
EPIDEMI HIV/AIDS DI INDONESIA
Penularan utama di
Indonesia adalah melalui
hubungan seksual tanpa
menggunakan pelindung
dan pengguna NAPZA
suntik.
Seperti terlihat pada
tabel di atas, tingkat
prevalensi HIV pada
wanita penjaja seks
bervariasi antara 0-
26,5%. Propinsi dengan
prevalensi di atas 5%
adalah: Papua, Riau dan
Jawa Barat
Di hampir semua
propinsi pada setiap
kelompok berisiko
tinggi, cenderung
meningkat terus
seperti terlihat
dalam gambar 5,
prevalensi HIV
meningkat pada
wanita penjaja seks
yang sebenarnya
bisa dicegah dengan
meningkatkan
penggunaan
Pada gambar di
atas terlihat bahwa
prevalensi HIV
pada pengguna
NAPZA suntik di
Indonesia, berkisar
antara 24,5%
sampai 53%, yaitu
DKI Jakarta 40%,
Denpasar 53%,
dan Bogor 24,5%.
Demikian juga
prevalensi HIV pada
pengguna NAPZA
suntik meningkat
tajam dari tahun ke
tahun. Pada
narapidana di Jakarta
Pusat dan Jakarta
Timur prevalensi HIV
juga meningkat sejak
tahun 1999 yang
kemungkinan besar di
antara mereka adalah
pengguna NAPZA
Bukan hanya kelompok berperilaku risiko tinggi saja
prevalensi HIV cenderung meningkat. Di banyak negara,
darah donor bisa dianggap mewakili populasi umum. Di
Indonesia tingkat prevalensi HIV pada darah donor
memang rendah tetapi seperti terlihat pada gambar 8
meningkat tajam dalam waktu 2 tahun.
Pada gambar 9, laki-laki yang melakukan hubungan seksual
tidak terlindung dengan wanita penjaja seksual, tidak hanya
menyebabkan diri mereka berisiko tinggi, tetapi juga
menyebabkan isteri, pacar, pasangan seksual lain, dan bayi-
bayi mereka berisiko tinggi pula
untuk tertular HIV atau IMS lain.
melaporkan membeli jasa pelayanan seksual di tahun sebelumnya,
dan tujuh dari sepuluh pernah melakukannya sepanjang umur
mereka. Tak terdapat bukti bahwa laki-laki menurunkan konsumsi
hubungan seksual komersialnya karena takut menderita AIDS.
Jelas juga mereka tidak melindungi dirinya sendiri maupun
keluarganya atau pasangan lain, karena 9 dari 10 pelanggan penjaja
seks tidak
selalu menggunakan kondom dalam hubungan berisiko tinggi ini.
Dari gambar di bawah (gambar 10) terlihat pengetahuan tentang
penggunaan kondom dapat mencegah HIV cukup tinggi baik pada
WPS maupun pelanggan akan tetapi perilaku penggunaan
kondom masih sangat rendah. Jadi dari sini dapat dikatakan bahwa
pengetahuan sendiri tidak cukup merubah perilaku seseorang,
perlu juga ditingkatkan pelayanan misalnya penyediaan kondom
yang mudah didapat sewaktu-waktu diperlukan, pelayanan
Situasi AIDS di Indonesia

Kasus AIDS yang dilaporkan cenderung meningkat


pada tahun 2000 dan 2001, hal ini dapat dilihat
dengan jelas pada grafik di atas (gambar 11).
Jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur,
94% menyerang usia 15-49 tahun (usia seksual aktif) dan mengenai usia 20-
29 tahun lebih banyak dibandingkan usia 30-39 tahun. Hal ini terjadi sejak
dua tahun terakhir, oleh karena sebagian besar penderita usia muda tersebut
adalah pengguna NAPZA suntik. Kasus AIDS pada balita yang dilaporkan,
terdapat 8 penderita yang tertular melalui ibunya yang mengidap HIV.
Dilihat dari jenis kelamin, proporsi kasus AIDS
sebagian besar terdapat pada laki-laki, yaitu 79,1%
dan pada perempuan 20,9%.
Dari cara penularan, bila dibandingkan tahun 1996
dengan tahun 2001, terlihat proporsi penularan infeksi
HIV pada kasus AIDS melalui heteroseksual dari 30,9%
menjadi 54,5%. Perubahan yang menyolok terjadi pada
pengguna NAPZA suntik dari 2,5% menjadi 19.7%.
Cara penularan infeksi HIV pada kasus AIDS
meningkat sangat tajam dalam 2 tahun terakhir,
terutama melalui hubungan seksual maupun
pengguna NAPZA suntik
Indah Fitri Amelia 1710711140
Mugia saidah
PSIKO  SOSIO

 KULTURAL
 SPIRITUAL
/BUDAYA
1. Diskriminasi,
memperlakukan orang
secara berbeda-beda dan
tanpa alasan yang tidak
relevan, misalnya
diskriminasiterhadap ras,
gender, agama dan politik.
Dalam kasus pemberitaan
HIV / AIDS, media sering
melakukan pembedaan
atas seseorang menurut
kehendaknya sendiri
 2. Kekerasan ,Pada
kasus pemberitaan
terhadap seorang
pekerja seks
misalnya, media
melakukan kekerasan
karena telah
mengekspose seorang
pekerja seks tanpa
meminta ijin.
 3.Stigmatisasi
Proses pelabelan
(stereotip) yang
dilakukan pada
orang lain ini sering
dilakukan oleh
media ketika
memberitakan
tentang pekerja
seks dan HIV / AIDS
 4. Sensasional Dalam
pemberitaan HIV / AIDS,
seringkali judul berita
menampilkan sesuatu yang
sangat bombastis, tidak
sesuai dengan realitas
sebenarnya. Adanya stigma
dan diskriminasi akan
berdampak pada tatanan
sosial masyarakat. Penderita
HIV dan AIDS dapat
kehilangan kasih sayang dan
kehangatan pergaulan sosial.
 Menurut Roper (2002) American Psychologists Association
menyebutkan bahwa dalam upaya peningkatan koping individu
dikala sakit, serta mempercepat proses penyembuhan selain
terapi medis yang diberikan, maka aspek kebutuhan spiritual
perlu diperhatikan. Seseorang yang mengalami gangguan
keseimbangan imunitas hingga terkena suatu panyakit maka
energi seseorang tersebut akan menipis. Selain itu, semangat
untuk memaknai hidup pada orang tersebut juga akan
terpengaruh. Aspek spiritual dapat menjadi intervensi yang
sangat baik, hal ini dikarenakan spiritualitas dapat meningkatkan
koping, mempromosikan perilaku sehat, mengurangi depresi dan
kecemasan, dukungan sosial, optimisme dan harapan, serta
mendukung perasaan relaksasi pada pasien dengan penyakit
kronis, salah satunya kasus HIV AIDS.
 Terdapat beberapa hal yang diakui sebagai kebutuhan
spiritual diantaranya yaitu agama/keyakinan,
pengampunan, kebutuhan untuk dicintai ,proses mencari
makna baru dalam kehidupan, dan pengharapan (Potter &
Perry, 2005). Penemuan makna baru dalam kehidupan ini
akan memfasilitasi pasien HIV/AIDS untuk pengampunan
terhadap dirinya sendiri. Pemenuhan kebutuhan spiritual
merupakan hal yang sangat sulit pada Orang Dengan HIV
AIDS (ODHA). Oleh karena itu perawat dapat berperan
penting untuk memenuhi kebutuhan spiritual ODHA.
Sebelum melakukan intervensi untuk memenuhi kebutuhan
spiritual tersebut, maka diperlukan survei dasar untuk
mengidentifikasi kebutuhan spiritual pasien HIV/AIDS
 Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada
dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan perubahan
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan
sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat,
yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama
warga menjadi semakin rasional; perubahan dalam sikap
dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi makin
komersial; perubahan tata cara kerja sehari-hari yang
makin ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi
kegiatan yang makin tajam; Perubahan dalam
kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin
demokratis; perubahan dalam tata cara dan alat-alat
kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya.
Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh
tahapan perubahan nilai, norma, dan tradisi kehidupan
sehari-hari masyarakat yang bersangkutan, yang juga dapat
ASPEK PSIKO
• Watstein & Chandler (dalam
Bezuidenhoudt,et.al.,2006) menyatakan adanya
beberapa respon emosionalyang merupakan gejala
efek psikologis yang dirasakan oleh mereka yang
terinfeksi HIV yang juga terkait dengan relasi social
mereka dengan masyarakat di sekitarnya.
• Yang pertama adalah munculnya rasa
terkonfrontasi untuk mengevaluasi kembali
identitas seksual mereka serta pilihan-pilihan
tingkah laku yang perlu mereka ambil dalam rangka
mendukung identitas seksual tersebut. Jika
• Kedua, sering muncul rasa dipandang “tidak
diinginkan” oleh masyarakat yang memandang
mereka sebagai seseorang yang “menular”. Hal ini
merupakan suatu situasi emosional ang bias
mengakibatkan ODHA untuk menarik diri, tidak
mengekpresikan perasan mereka, dan menjadi
terisolasi secara social. Isolasi ini juga bias
disebabkan oleh menjauhnya keluarga dan orang-
orang terdekat lainnya.
• Yang terakhir adalah munculnya perasan
dependen/bergantung. Dependen ini terjadi karena
ODHA seringkali harus menjadi sangat bergantung
pada keluarga dan orang terdekat untuk dukungan
• Dapat dilihat bahwa dampak psikologis dari diagnosis
HIV_AIDS sesungguhnya sangat besar, mempengaruhi
banyak pihak, dan membutuhkan penanganan serius.
Sayangnya, belum banyak inisiatif baik dari pihak
pemerintah maupun swasta untuk penyediaan layanan
psikologis yang terjangkau bagi ODHA maupun bagi
masyarakat luas. Sejauh ini, layanan yang disediakan lebih
banyak layanan psikiatrik berupa pengobatan antidepresan
dan antipisikotk. Bahkan pelayanan bagi perawat adiksi tidak
dijamin baagi semua orang karena dipandang sebagai
“tindakan yang menyakiti diri sendiri”. Padahal, layanan
pendamping psikologis dapat menjadi bentuk tindakan
promotif, preventif, serta kuratif dan rehabilitative jika
diterapkan dalam konteks yang sesuai dengan
kebutuhannya.
• Layana psikologis makin dirasa dibutuhkan, dan hal
tersebut juga di akui dalam UU Kesehatan Jiwa
tersebut. Pasal 19 dalam UU Kesehatan Jiwa
menyebutkan wewenwng psikolog untuk menegakkan
diagnose gangguan jiwa, dan Pasal 56 menyebutkan
layanan praktik psikolog, pekerja social, pusat
rehabilitasi, serta rumah singgah sebagai fasilitas
penyediaan layanan kesehatan jiwa di luar fasilitas
kesehatan. Im plementasi undang-undang ini perlu
dikawal agar layana psikologis yang mendukung
kesehtan jiwa, termasuk bagi ODHA dapat disediakan
bagi seluruh warga Indonesia.
3
Pemeriksaan Fisik dan
Diagnostik pada Klien
dengan HIV/AIDS
Sanaya Azizah Puteri
1710711079
Pemeriksaan Fisik
● Pemeriksaan umum: meliputi ● Pemeriksaan kepala, telinga, mata,
berat badan, tinggi badan, dan hidung, dan tenggorokan (meliputi
tanda-tanda vital. pemeriksaan lengkap mulut):
pemeriksaan fundoskopi dibutuhkan
● Pemeriksaan kulit: lihat apakah pasien dengan HIV yang cukup
ada dermatitis seboreik, parah. Untuk pemeriksaan lebih
sarcoma Kaposi, infeksi jamur detail rujukkan ke dokter mata.
di folikel, psoriasis, dan Periksa orofaring apakah terdapat
kandidiasis oropharyngeal.
manifestasi dermatologis dari
hepatitis C (prurigo nodularis)

34
Pemeriksaan Fisik
● Sistem limfatik: adenopati ● Pemeriksaan Kardiovaskular:
generalisata, adenopati lokal, meliputi pemeriksaan peredaran
atau splenomegaly merupakan darah tepi
tanda-tanda infeksi. ● Pemeriksaan abdomen
● Pemeriksaan ● Pemeriksaan musculoskeletal
respiratorik/thoraks: meliputi
pemeriksaan payudara

35
Pemeriksaan Fisik
● Pemeriksaan neurologis ● Pemeriksaan genitourinaria
meliputi pemeriksaan umum pria/wanita: lakukan
fungsi kognitif. Lakukan pemeriksaan rektal, prostat,
pemeriksaan pada cara dan pelvis jika terindikasi.
berjalan, gerak, getaran, dan Periksa dengan hati-hati di area
panca indera karena pasien anogenital untuk mengetahui
bisa saja memiliki distal sensory apakah ada PMS seperti
polineuropati. condyloma atau luka herpes.

36
Pemeriksaan Diagnostik
● Imunologi (jumlah sel ● tes kehamilan dan PAP smear
CD4/CD8); jika terindikasi;
● uji viral load HIV (PCR HIV); ● peneltian lab penyakit kelamin
● pemeriksaan darah lengkap; atau rapid plasma regain
(RPR);
● panel multikimia (puasa)
meliputi lemak, trigliserida, ● kultur gonorrhea/klamidia jika
kolesterol, dan glukosa; terindikasi.
● urianalisis dengan mikroskop;

37
Pemeriksaan Diagnostik
● Tuberculin skin testing (PPD) dapat dilakukan jika pasien
belum pernah mendapatkan hasil positif pada tes
sebelumnya. Jika pasien punya riwayat positif PPD, lakukan
perawatan isoniazid dan x-ray dada.
● Imunisasi jika terindikasi dan direkomendasi.
● Tes resistensi jika terindikasi, pertimbangkan apakah pasien
baru saja terinfeksi.

38
Pemeriksaan Diagnostik
Dilakukan jika belum pernah sebelumnya:
● Antibody hepatitis A; antigen permukaan hepatitis B, antibody
permukaan dan antibody inti; antibody hepatitis C.
● Toxoplasmasis, cytomegalovirus, dan tes antibody varicella.
● Level Glukosa-6-fosfat dehydrogenase (G6PD) untuk meyakinkan
tidak ada kontraindikasi terhadap obat-obatan seperti Septra yang
mungkin digunakan sebagai profilaksis atau pengobatan untuk
infeksi oportunistik

39
PATOFISIOLOGI, DIAGNOSA, &
PENATALAKSANAAN
MASTIKA CHUSNUL KHOTIMAH 1710711067
RIZKA YUSRIYAH 1710711143
FAKTOR RISIKO
Menggunakan alat suntik yang
1 terkontaminasi darah untuk menyiapkan
obat

Menggunakan kembali air untuk


2 melarutkan obat

Menggunakan kembali tutup botol, sendok,


3 atau wadah lainnya untuk melarutkan obat
dalam air dan untuk memanaskan larutan obat

Menggunakan kembali sebagian kecil


4 kapas atau filter rokok untuk menyaring
partikel yang dapat menyumbat jarum
PATOFISIOLOGI

Virus HIV Perlekatan Virus melepas RNA virus di Di transport


di limfoid glikoprotein 2 utas benang transkip mjd ke nukleus →
virus pd CD4 RNA DNA virus DNA pro virus

Infeksi Reaksi imun DNA provirus bereplikasi


Oportunistik mengalami dalam jumlah besar →
kelumpuhan CD4 menurun
→ CD4 <200
Sistem Neurologi

Sistem Respirasi

Sistem Integumen

Sistem
Pencernaan Infeksi
Oportunistik
Tahap 1
Limfadenofatik, Tahap 2
Demam, Sistem Integumen
Candidiasis oral → Ruam Bercak
01 02 Merah

Tahap 3 Tahap 4
Ensefalopati,
BB turun, Malaise,
Diare 03 04 Meningitis, TB
Paru, Pneumonia
Tahap 1 HIV
Tahap
2 HIV
Tahap
3 HIV
Tahap 4 HIV
DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Risiko tinggi terhadap infeksi (progresi menjadi sepsis/awitan infeksi opurtunistik) Risiko tinggi
terhadap kekurangan volume cairan
2. Pola nafas tak efektif/ kerusakan pertukaran gas
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan
4. Nyeri
5. Kerusakan Integritas kulit (aktual/risiko)
6. Penurunan tingkat aktivitas, perubahan sensasi, malnutrisi ; perubahan status metabolism, lesi kulit,
ulserasi, formasi ulkus dekubitus (aktual.)
7. Perubahan membran mukosa oral
8. Kelelahan
9. Perubahan proses pikir
10. Ansietas
11. Isolasi sosial
12. Intoleransi aktivitas
13. Ketidakberdayaan
14. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan
PENATALAKSANAAN

1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik


Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian
infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.

2. Terapi AZT (Azidotimidin)


Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang
jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif
asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3

3. Terapi Antiviral Baru


Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a. Didanosine
b. Ribavirin
c. Diedoxycytidine
d. Recombinant CD 4 dapat larut
4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.
a. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat, hindari stress,gizi yang kurang, alcohol
dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
b. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency
Virus (HIV).

Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Vol 3. Jakarta : EGC.
Zuya Urahman. 2009. Asuhan Keperawatan HIV. (online). available.
http://www.indonesianurse.com/2009/12/14/asuhan-keperawatan-hivaids. 1 maret 2011.

Anda mungkin juga menyukai