Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

PERITONITIS

A. Pengertian Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga
abdomen) lamnya. (Arif Muttaqin, 2011).
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga abdomen dan
meliputi visera. (Brunner dan Suddarth, 2001).
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.
Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan
suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau
sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan
perforasi viskus(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber
infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis. (Fauci et al, 2008).
Peritonitis merupakan penyakit inflamasi pada membrane peritoneum,
penyebabnya yaitu adanya infeksi bakteri, penyebaran infeksi dari organ abdomen,
rupture saluran cerna dan luka tembus abdomen yang mengakibatkan terjadinya reaksi
peradangan. Terjadinya reaksi peradangan local menyebabkan proses inflamasi akut
dalam rongga abdomen sehingga terjadi pembentukan abses sebagai bentuk
pencegahan infeksi yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen (Black & Hawks,
2014; Padila, 2012).

B. Etiologi
Penyebab terjadinya peritonitis adalah
Invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum,bakteri yang paling sering
menyebabkan infeksi, meliputi
1. Gram negative meliputi Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%),
Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%).

1
2. Gram positif, seperti Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus lainnya (15%),
dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%. (Cholongitas,
2005).
Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan juga oleh berbagai kelainan pada
gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen (Rotstein, 1997)
atau perforasi organ pascatrauma abdomen (Ivatury, 1998)
Biasanya, akibat dari infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit saluran
gastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduktif internal. Peritonitis dapat juga
akibat dari sumber eksternal seperti cedera atau trauma ( misal : luka tembak atau luka
tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang berasal dari organ diluar area peritonium,
seperti ginjal
Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari
peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonitis
juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal. (Brunner
dan Suddarth, 2001).

C. TANDA DAN GEJALA


1. Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa
penderita peritonitis umum.
2. Demam
3. Distensi abdomen
4. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi
umum, t ergantung pada perluasan iritasi peritonitis.
5. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi
pada daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya.
6. Nausea
7. Vomiting
8. Penurunan peristaltik.

2
D. Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen (peningkatan
aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina dengan pembentukan
adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa merupakan reaksi penting pertahanan
tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat dikarantina dalam matriks fibrin. Matriks fibrin
tersebut memproteksi bakteri dari mekanisme pembersihan oleh tubuh (van Goor, 1998)
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran
infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi persisten dan sepsis yang
mengancam jiwa. Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen
potensi abses menuju kelingkungan steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi
agen infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen. Proses
ini dibantu oleh kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu
fagositosis. Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit
viseral primer) merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri telah
ditunjukkan untuk mengubah respon imun ke inokulasi peritoneal berulang. Hal ini dapat
mengakibatkan peningkatan insidensi pembentukan abses, perubahan konten bakteri, dan
meningkatnya angka kematian. Studi terbaru menunjukkan bahwa infeksi nosokomial di
organ lain (misalnya pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga meningkatkan kemungkinan
pembentukan abses abdomen berikutnya (Bandy, 2008)
Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka aktivitas motilitas usus menurun dan
meningkatkan risiko ileus paralitik (Price, 1995)
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, misalnya
interleukin, dapat memulai respons hiperinflamatorius sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba
untuk mengimpensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi
kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hipovolemia (finlay,1999)
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
3
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hopovolemik. Hipovolemik bertambahan dengan
adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga
peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat
usaha pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren. Pasien
dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon, dengan atau tanpa
fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien dengan kondisi penyakit
signifikan yang sudah ada sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan fungsi imun.
Meskipun jarang diamati pada peritonitis tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier
pada pasien memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah dapat mencapai 50-74%
(Sawyer, 1991)
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga abdomen
biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor.
Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi
eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan
jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran
usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan
dalam usus. (Brunner dan Suddarth, 2001)

4
E. PATHWAY
Bakteri Streptokok. Cedera perforasi Benda asing,
Stapilokok saluran cerna dialysis, tumor
eksternal

Masuk saluran
Keluarnya enzim Porte de entre
cerna
Masuk kae ginjal pancreas, asam benda asing,
lambung, empedu bakteri

Peradangan
saluran cerna Perdangan ginjal

Masuk ke rongga
peritoneum

PERITONITIS

Fase Merangsang Merangsang pusat Perangsangan


penyembuhan aktivitas nyeri di talamus pirogen di
parasimpatik hipotalamus

Perlekatan fibrosa
nyeri hipertermi
Absorpsi menurun

Obstruksi usus

Diare

Refluk makan ke
atas
5
Kekurangan
volume cairan dan

Mual, muntah,
anoreksia

Intake inadekuat

Perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan

WOC NYA DITAMBAH


WOC/Pathway pasca bedah:

PATHWAY PENYAKIT

OPERASI

BEDAH ANESTESI

PROSEDUR PERDARAHAN GENERAL REGIONAL


TRANSDUKSI/AGEN
PEMBEDAHAN ANESTESI ANESTESI
CEDERA FISIK

TIDAK VASODILATASI
NYERI RISIKO HIPOVOLEMIA SADAR PEMBULUH DARAH
CEDERA

RISIKO GANGGUAN
GANGGUAN BERSIHAN JALAN SIRKULASI SPONTAN
POLA NAFAS NAFAS TDK
6 EFEKTIF
F. Manisfestasi klinis
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari peritonitis
adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini.
a. Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi,
lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh gerakan. Area yang
sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan, dan otot menjadi kaku.
Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat terjadi.
b. Mual dan muntah
c. Penurunan peristaltik.
d. Suhu dan frekuensi nadi meningkat,
e. Terdapat peningkatan jumlah leukosit.

G. Komplikasi
a. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
b. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
c. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan
dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah
a. Eviserasi luka
b. Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang
mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka” harus dilaporkan.
Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukkan adanya
dehisens luka.

H. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila terjadi
kehilangan darah. Elektrolit serum dapat menunjukkan perubahan kadar kalium,
natrium, dan klorida.

7
b. Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung usus yang
terdistensi.
c. Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses.
d. Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan teraspirasi dapat
menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab.

I. Penatalaksanaan
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari penatalaksanaan
medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah
besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus kedalam rongga peritoneal dan
menurunkan cairan dalam ruang vaskuler.
b. Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri.
c. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
d. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan
dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan
distres pernapasan.
e. Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan oksigenisasi
secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi
diperlukan.
f. Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis besar
dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai organisme penyebab
infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang tepat dapat dimulai.
g. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.
Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi dengan atau tanpa
anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang
luas, perlu dibuat diversi fekal.

J. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Biodata/ identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose, tanggal
masuk, dan alamat
2. Riwayat penyakit
8
a) Keluhan utama
Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit sering
kali membosankan dan kurang terlokalisasi (peritoneum viseral). Kemudian
berkembang menjadi mantap, berat, dan nyeri lebih terlokalisasi (peritoneum
parietal). Jika tidak terdapat proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada
beberapa penyakit tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut
berat, iskemia usus) nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal
b) Riwayat kesehatan sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan suhu
tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan didapatkan penurunan
kesadaran akibat syok sirkulasi dari septikemia
c) Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang menyebabkan
kondisi peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis, perawat dapat melihat
pada tabel. Penyebab dari peritonitis sebagai bahan untuk mengembangkan
pernyataan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi dan
tuberkulosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi pola
makan, gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita keluarga sehingga
dapat menyebabkan peritonitis seperti penyakit apendititis, ulkul peptikum,
gastritis, divertikulosis dan lain-lain
3. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana
pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah
4. Pemeriksaan fisik
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan
b) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan hemodinamik.
c) Suhu badan meningkat ≥38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien
tampak legarti serta syok hipovolemia
d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
1) Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen
didapatkan pada hampir semuja pasien dengan peritonitis dengan
9
menunjukkan peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien dengan
peritonitis berat sering menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul
tertekuk untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Perut sering
mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini mencerminkan
ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut juga mengungkapkan
peradangan massa
2) Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah satu
tanda ileus obstruktif
3) Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh,
adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum
menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular. Pekak hati dapat
menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma. Pemeriksaan rektal
dapat memunculkan nyeri abdomen, colok dubur ke arah kanan mungkin
mengindikasikan apendisitis dan apabila bagian anterior penuh dapat
mengindikasikan sebuah abses.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan untuk
mendeteksi penyakit radang panggul (misalnya endometritis, salpingo-
ooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi temuan sering sulit diinterprestasikan
dalam peritonitis berat
4) Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen
5. Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal berikut :
1) Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan
leukositosis (>11.000 sel/µL)
2) Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
3) Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk mendeteksi
disfungsi pembengkuan
4) Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
5) Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih, namun
pasien dengan perut bagian bawah dan infeksi panggul sering
menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan mikrohematuria
6) Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia

10
7) Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur
cairan peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit; basil tuberkel diindikasi dengan kultur
b) Pemeriksaan radiografik
1) Foto polos abdomen
Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin didapatkan
usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas hadir dalam
kebanyakan kasus anterior perforasi lambung dan duodenum, tetapi jauh
lebih jarang dengan perforasi dari usus kecil dan usus besar, serta tidak
biasa dengan appendiks perforasi. Tegak film berguna untuk
mengidentifikasi udara bebas di bawah diafragma (paling sering disebalah
kanan) sebagai indikasi adanya viskus berlubang
2) Computed tomography scan (CT scan)
CT scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan
untuk abses peritoneal. CT scan ditunjukkan dalam semua kasus dimana
diagnosis tidak dapat dibangun atas dasar klinis dan temuan foto polos
abdomen. Abses peritoneal dan cairan lain dapat diambil untuk diagnostik
atau terapi dibawah bimbingan CT scan
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnostis dicurigai
abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan penurunan itensitas
sinyal pada gambar T1-weighted dan homogen atau peningkatan intensitas
sinyal heterogen pada gambar T2-weighted. Terbatasnya 
c) USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan atas (misalnya
perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreatitis, pankreas pseudocyst),
kuadran kanan bawah, dan patologi pelvis (misalnya appendisitis, abses tuba-
ovarium, abses Douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi terbatas
karena adanya nyeri, distensi abdomen dan gangguan gas usus. USG dapat
mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites), tetapi
kemampuannya untuk mendeteksi jumlah kurang dari 100 ml sangat terbatas

b. Diagnosa Keperawatan
11
1. Nyeri b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan nyeri tekan
pada abdomen
2. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya
asupan makanan yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan anoreksia
3. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan tubuh ditandai
dengan muntah yang berlebihan
4. Risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, sekunder dari syok
sepsis ditandai dengan mual, muntah, dan demam.
c. Intervensi Keperawatan
No Diagnose Perencanaan
keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri b.d infeksi, Tupan : Setelah 1. Kaji nyeri dengan 1. Pendekatan
inflamasi dilakukan tindakan pendekatan PQRST dapat
intestinal, abses keperawatan 3 x 24 PQRST secara
abdomen ditandai jam diharapkan komprehensif
dengan nyeri tekan nyeri hilang menggali
pada abdomen Tupen : Dalam kondisi nyeri
waktu 1 x 24 jam pasien :
nyeri berkurang P=Penyebab
atau teradaptasi nyeri bisa
Kriteria evaluasi : diakibatkan
 Secara oleh respons
subjektif iritasi atau
pernyataan inflamasi
nyeri intestinal, abses
berkurang atau abdomen, kram
teradaptasi abdomen
 Skala nyeri 0-1 Q=Kualitas
(0-4) nyeri seperti
 TTV dalam tumpul,
batas normal, terbakar, kram,
wajah pasien dan mulas
rileks R=Area nyeri

12
yang dirasakan
seperti nyeri
pada abdomen
bawah atau atas
S=Pasien
mengalami skla
nyeri 4 (0-5)
T=Nyeri
bertambah
2. Beri oksigen pada waktu
nasal apabila ditekan atau
skala nyeri ≥ 4 dilepas dan saat
(0-5) BAB
2. Pemberian
oksigen
dilakukan
untuk
memenuhi
kebutuhan
3. Istirahatkan oksigen pada
pasien pada saat saat pasien
nyeri muncul mengalami
nyeri
pascabedah
3. Istirahat
4. Atur posisi diperlukan
fisiologis untuk
menurunkan
peristaltik usus
sehingga nyeri
dapat
berkurang
4. Pengaturan
5. Berikan kompres posisi dapat
13
hangat pada membantu
abdomen merelaksasi
otot-otot
abdomen
sehingga
menurunkan
nyeri
6. Kolaborasi : 5. Memberikan
Berikan analgesic respons
vasodilatasi.
Kompres ini
dilakukan pada
pasien tanpa
pembedahan

6. Untuk
mengurangi
atau
menghilangkan
nyeri

2. Risiko tinggi Tujuan : setelah 3 1. Kaji dan berikan 1. Pemberian


ketidakseimbangan x 24 jam pada nutrisi sesuai nutrisi pada
nutrisi kurang dari pasien nonbedah tingkat toleransi pasien dengan
kebutuhan tubuh dan setelah 7 x 24 individu enteritis
b.d kurangnya jam pascabedah regional
asupan makanan asupan nutrisi bervariasi
yang adekuat dapat optimal sesuai dengan
ditandai dengan dilaksanakan. kondisi klinik
mual, muntah dan Kriteria evaluasi : dan tingkat
anoreksia  Pasien dapat 2. Sajikan makanan toleransi
menunjukkan dengan cara yang individu
metode menelan menarik 2. Membantu

14
yang tepat merangsang
 Keluhan mual nafsu makan.
dan muntah Tindakan ini
berkurang dapat diberikan
 Secara subjektif bila toleransi
melaporkan oral tidak
peningkatan 3. Fasilitasi pasien menjadi
nafsu makan memperoleh diet masalah pada
 Berat badan rendah lemak pasien
meningkat 3. Diet lemak
diberikan pada
pasien dengan
gejala
malabsorpsi
akibat
hilangnya
fungsi
penyerapan
permukaan
mukosa.
Khusunya
penyerapan
lemak.
Keterlibatan
ileum terminal
dapat
mengakibatkan
steatorrhea
(buang air
4. Fasilitasi pasien besar dengan
memperoleh diet feses
dengan bercampur
kandungan serat lemak)
tinggi
15
4. Suplemen serat
tinggi
dikatakan
bermanfaat
bagi pasien
dengan
penyakit kolon
karena fakta
bahwa serat
makanan dapat
diubah menjadi
rantai pendek
5. Fasilitasi pasien asam lemak
memperoleh diet yang
rendah serat menyediakan
bahan bakar
untuk
penyembuhan
6. Fasilitasi untuk mukosa kolon
pemberian nutrisi 5. Diet rendah
parenteral serat biasanya
diindikasikan
untuk pasien
dengan gejala
obstruksi
6. Nutrisi parental
total (TPN)
digunakan bila
gejala penyakit
usus inflamasi
bertambah
berat. Dengan
TPN, perawat
dapat
16
mempertahanka
n catatan akurat
tentang intake
dan output
7. Pantau intake dan cairan, serta
output, Anjurkan berat badan
untuk timbang pasien setiap
berat badan secara hari. Berat
periodik (sekali badan pasien
seminggu) harus
8. Lakukan meningkat
perawatan mulut setelah
dilakukan
9. Kolaborasi terapi.
dengan ahli gizi 7. mengukur
jenis nutrisi yang keefektifan
akan digunakan nutrisi dan
pasien dukungan
cairan

8. men urunkan
risiko infeksi
oral
9. Ahli gizi harus
terlibat dalam
penentuan
komposisi dan
jenis makanan
yang akan
diberikan
sesuai dengan
kebutuhan
individu
17
3 Risiko Tujuan : Dalam 1. Monitoring status 1. Jumlah dan
ketidakseimbangan waktu 1 x 24 jam cairan (turgor tipe cairan
cairan dan tidak terjadi kulit, membran pengganti
elektrolit b.d ketidakseimbangan mukosa, urine ditentukan dari
keluarnya cairan cairan dan output) keadaan status
tubuh ditandai elektrolit cairan.
dengan muntah Kriteria evaluasi : Penurunan
yang berlebihan  Pasien tidak volume cairan
mengeluh mengakibatkan
pusing, menurunnya
membran produksi urine,
mukpsa monitoring
lembap, turgor yang ketat
kulit normal. pada produksi
TTV dalam urine, apabila
batas normal, <600 ml/hari
CRT >3 detik, merupakan
urine >600 tanda-tanda
ml/hari terjadinya syok
 Laboratorium 2. Kaji sumber hipovolemik
: nilai kehilangan cairan 2. Kehilangan
elektrolit cairan dari
normal, nilai muntah dapat
hematokrit disertai dengan
dan protein keluarnya
serum natrium via
meningkat, oral yang juga
BUN/Kreatini akan
n menurun meningkatkan
risiko
3. Monitor tanda- gangguan
tanda vital elektrol

18
terutama tekanan
darah 3. Hipotensi
dapat terjadi
pada
hipovolemik
yang
memberikan
manisfestasi
sudah
terlibatnya
sistem
kardiovaskuler
untuk
4. Kaji warna kulit, melakukan
suhu, sianosis, kompensasi
nadi perifer, dan mempertahank
diaforesis secara an tekanan
teratur darah
5. Kolaborasi 4. Mengetahui
 Pertahankan adanya
pemberian pengaruh
cairan secara peningkatan
intravena tahanan perifer
5. Kolaborasi
 Jalur yang
paten
penting
untuk
pemberian
cairan
cepat dan
memudahk
an perawat

19
 Evaluasi kadar dalam
elektrolit melakukan
kontrol
intake dan
output
cairan
 Sebagai
diteksi
awal
menghindar
i gangguan
elektrolit
sekunder
dari
muntah
pada pasien
peritonitis

4 Risiko tinggi syok Tujuan : Dalam 1. Identifikasi 1. Pada pasien


hipovolemik b.d waktu 1 x 24 jam adanya tanda- dengan
penurunan volume tidak terjadi syok tanda syok dan perubahan akut
darah, sekunder hipovolemik status dehidrasi TTV dan
dari syok sepsis Kriteria evaluasi : dehidrasi berat
ditandai dengan - Tidak terdapat maka
mual, muntah, dan tanda-tanda syok : pemulihan
demam  pasien tidak hidrasi menjadi
mengeluh pusing, parameter
TTV dalam batas utama dalam
normal, kesadaran 2. Kolaborasi skor melakukan
optimal, urine dehidrasi tindakan
>600 ml/hari 2. Pasien yang
- Membran mukosa mengalami
lembap, turgor dehidrasi berat

20
kulit normal, CRT ditandai dengan
>3 detik skor dehidrasi
- Laboratorium : 7-12 dan
nilai elektrolit mempunyai
normal, nilai risiko tinggi
hematokrit dan 3. Lakukan terjadi syok
protein serum pemasangan hipovolemik
meningkat, IVFD,Lakukan 3. Pemasangan
BUN/Kreatinin pemasangan dan IVFD secara
menurun pemberian infus dua jalur harus
dua jalur. dapat dilakukan
untuk
mencegah syok
yang bersifat
ireversibel,
diharapakan
terdapat
perbaikan
sirkulasi
ditandai dengan
4. Kolaborasi bendungan vena
rehidrasi cairan sehingga syok
bisa diatasi
4. Pemberian 1-2
liter larutan
dekstrosa 5%
dalam 0,5 NaCl
disertai 50 mEq
NaHCO2 dan
10-20mEq KCl
selama 30-40
menit sangat
5. Monitor rehidrasi penting
cairan dilakukan pada
21
dehidrasi berat
5. Rehidrasi cairan
harus
diperhatikan
dan diberikan
sampai
didapatkannya
6. Dokumentasi perbaikan status
dengan akurat mental dan
tentang intake tanda perfusi
dan output cairan jaringan sudah
membaik
6. Sebagai
7. Lakukan evaluassi
monitoring penting dari
ketatpada seluruh intervensi
sistem organ hidrasi dan
mencegah
terjadinya over
hidrasi
7. Pasien yang
mengalami
syok
hipovolemik
mendapat
perawatan di
ruang intensif
untuk
memudahkan
dalam
memonitor
seluruh kondisi
organ

22
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta:EGC
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I). Jakarta.
Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia. Retrieved from http://www.innappni.or.id

23

Anda mungkin juga menyukai