TINJAUAN PUSTAKA
3. Etiologi
a. Infeksi bakteri
- Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastroinstetinal
- Appendesitis yang meradang dan perforasi
- Tukak peptik (lambung duodenum)
- Tukak typoid
- Tukak disentri amuba/colitis
- Tukak tumor
- Salpingitis
- Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Colli, streptokokus µ dan β
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus, dan yang paling
berbahaya adalah clostridium wechii.
b. Secara langsung dari luar
- Operasi yang tidak steril.
- Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulvonamida, terjadi
peritonitis yang disertai pembentukan jaringan granulomatosa
sebagai respon terhadap benda asing disebut juga peritonitis
granolomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
- Trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
- Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.
c. Secara hematogen
Komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pneumokokus.
4. Klasifikasi
a. Peritonitis primer
Terjadi biasanya pada anak-anak dengan syndrome nefritis
atau sirosis hati lebih banyak terdapat paa anak-anak perempuan
daripada anak laki-laki. Peritonitis terjadi tanpa adanya sumber
infeksi di rongga peritonium, kuman masuk ke rongga peritonium
melalui aliran darah atau pada pasien perempuan melalui saluran
alat genital. (Nurarif dan Kusuma, 2015).
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis terjadi apabila kuman masuk ke rongga
peritonium dalam jumlah yang cukup banyak dari lumen saluran
cerna peritonium biasannya dapat masuk bakteri melalui saluran
getah bening diagfragma tetapi bila banyak kuman masuk secara
terus menerus akan terjadi peritonitis, apabila ada rangsangan
kimiawin karena masuknya asam lambung, makanan, tinja, Hb dan
jaringan nekrotik atau bila imunitas menerun. Biasnya terdapat
campuran jenis kuman yang menyebabkan peritonitis, sering
kuman aerob dan anaerob, peritonitis juga sering terjadi bila ada
sumber intra peritoneal seperti appendiksitis, divertikulitis,
salpingitis, kolesistisis, pangkreatitis, dan sebagainya. Bila ada
trauma yang menyebabkan ruotur pada saluran cerna/perforasi
setelah endoskopi, kateterisasi, biopsi, atau polipektomi
endoskopik, tidak jarang pula setelah perforasi spontan pada tukak
peptik atau keganasan saluran cerna, tertelannya benda asing yang
tajam juga dapat meyebabkan perforasi dan peritonitis (Nurarif dan
Kusuma, 2015).
c. Peritonitis karena pemasangan benda asing kedalam rongga
peritonium yang menimbulkan peritonitis adalah :
- Kateter ventrikulo, peritoneal yang dipasang pada pengebotan
hidrosefalus
- Kateter peritoneal, jugular untuk mengurangi asites
- Continous ambulatory peritoneal diayisis
(Nurarif dan Kusuma, 2015).
5. Manifestasi klinis
Haryono (2012) meneybutkan tanda dan gejala peritonitis, antara lain :
a. Syok (neurogenik, hipovelemik atau septik) terjadi pada beberapa
penderita peritonitis umum.
b. Demam
c. Distensi abdomen
d. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difusi, atrofi umum,
tergantung pada perluasan iritasi peritonitis.
e. Bising usus tidak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi
pada daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya.
f. Nausea
g. Vomiting
h. Penurunan peristaltik
6. Patofisiolofi
Invasi kuman ke lapisan peritoneum oleh berbagai kelainan pada
system gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam
abdomen atau perforasi organ pascatrauma abdomen merespons
peradangan pada peritoneum dan organ didalamnya yang
mengakibatkan peritonitis. Respon sistemik yang terjadi adalah
peningkatan suhu tubuh (hipertermia), pada peritonitis terjadi
penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen yang mengakibatkan
pembentukan eksudat fibrinosa atau abses pada peritoneum.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu invasi bedah lapratomi.
Namun, apabila tidak ditangani peritonitis dapat menyebabkan
gangguan gastrointestinal hingga syok sepsis (Nurarif dan Kusuma,
2015).
7. Phatway
Invasi kuman ke lapisan oleh berbagai kelainan oleh sistem
gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ abdomen atau
perforasi organ pasca trauma abdomen
e) Sistem perkemihan
Jumlah output urin sedikit karena kehilangan cairan tubuh
saat operasi atau karena adanya muntah. Biasanya
terpasang kateter.
f) Sistem endrokrin
Dikaji riwayat dan gejala-gejala yang berhubungan dengan
penyakit endokrin, periksa ada tidaknya pembesaran tiroid
dan kelenjar getah bening. Biasanya tidak ada keluhan pada
sistem endokrin.
g) Sistem penafasan
Dikaji tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS dan
dikaji semua fungsi nervus kranialis. Biasanya tidak ada
kelainan pada sistem persarafan.
h) Sistem integumen
Adanya luka operasi pada abdomen. Mungkin turgor kulit
menurun akibat kurangnya volume cairan.
i) Sistem muskuloskeletal
Biasanya ditemukan kelemahan dan keterbatasan gerak
akibat nyeri.
j) Sistem penglihatan
Diperiksa kesimetrisan kedua mata, ada tidaknya sekret/lesi
reflek pupil terhadap cahaya, visus (ketajaman
penglihatan). Biasanya tidak ada tanda-tanda penurunan
pada sistem penglihatan.
k) Sistem pendengaran
Amati keadaan telinga, kesimetrisan, ada tidaknya lesi, ada
tidaknya nyeri tekan, uji kemampuan pendengaran dengan
tes Rinne, Webber, dan Schwabach. Biasanya tidak ada
keluhan pada sistem pendengaran.
8) Riwayat psikologi
a) Data psikologi
Biasanya klien mengalami perubahan emosi sebagai
dampak dari tindakan pembedahan seperti cemas.
b) Data sosial
Kaji hubungan klien dengan keluarga, klien lain, dan tenaga
kesehatan. Biasanya klien tetap dapat berhubungan baik
dengan lingkungan sekitar.
c) Data spiritual
Kaji pandangan klien terhadap penyakitnya, dorongan
semangat dan keyakinan klien akan kesembuhannya dan
secara umum klien berdoa untuk kesembuhannya. Biasanya
aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan
aktivitas akibat kelemahan dan nyeri pada luka post
operasi.
9) Hasil pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan laboratorium
1) Elektrolit : dapat ditemukan adanya penurunan kadar
elektrolit akibat kehilangan cairan berlebihan.
2) Hemoglobin : dapat menurun akibat kehilangan darah.
3) Leukosit : dapat mengingkat jika terjadi infeksi.
10) Terapi
Biasanya klien post laparotomy mendapatkan terapi analgetik
untuk mengurangi nyeri,antibiotik sebagai anti mikroba, dan
antiemetik untuk mengurangi rasa mual.
b. Analisa data
Analisa data merupakan kemampuan perawat dalam
mengembangkan daya berfikir dan penalaran yang di latar
belakangi ilmu pengentahuan, pengalaman dan pengertian tentang
ilmu keperawatan dan proses keperawatan, sehingga dapat
merumuskan suatu diagnosa. (Dermawan, 2010).
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai
respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien post operasi
laparatomi menurut Nurarif dan Kusuma (2015) adalah :
a. Nyeri akut b.d agen cidera fisik (invasi bedah laparatomi)
b. Resiko infeksi b.d port de antre pasca bedah
c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penurunan kemampuan
baktu efektif
3. Intervensi keperawatan
Intervensi kepearwatan adalah segala treatment yang dikerjakan
oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis
untyk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (PPNI 2017).
Tujuan dan kriteria hasil untuk masalah nyeri akut mengacu pada
standar luaran keperawatan Indonesia mengenai aspek-aspek yang
dapat di observasi meliputi kondisi, perilaku, atau persepsi pasien,
keluarga atau komunitas sebagai respon terhadap intervensi
keperawatan adalah sebagai berikut :
Diagnosa keperawatan
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik : prosedur
operasi ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, tammpak meringis,
bersikap proktetif, gelisah, takikardi, sulit tidur.
Tujuan (SLKI)
Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 ja, diharapkan tingkat
nyeri menurun dan kontrol nyeri meningkat dengan kriteria hasil :
a. Tidak mengeluh nyeri
b. Tidak meringis
c. Tidak bersikap proktektif
d. Tidak gelisah
e. Kesulitan tidur menurun
f. Frekuensi nadi membaik
g. Melaporkan nyeri terkontrol
h. Kemampuan mengenali onset nyeri meningkat
i. Kemampuan mengenali penyebab nyeri meningkat
j. Kemampuan menggunakan teknik non farmakologi meningkat
Perencanaan keperawatan (SKI)
Intervensi utama :
Dukungan nyeri akut : pemberian analgesik
- Observasi
a. Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda,
kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
b. Identifikasi riwayat alergi obat
c. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika, non
narkotika, atau (NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
d. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian
analgesik
e. Meonitor efektifitas analgesik
- Terapeutik
a. Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai
analgesia optimal, jika perlu
b. Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus oploid
untuk mempertahankan kadar dalam serum
c. Terapkan target aktivitas analgesik untuk meningkatkan
respon pasien
d. Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek
yang tidak diinginkan
- Edukasi
a. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
- Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai
indikasi.
Dukungan nyeri akut : manajemen nyeri
- Observasi
a. Identifikasi lokasi, karakteristik durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respons nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
i. Monitor efek samping penggunaan analgesik
- Terapeutik
a. Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat dingin, terapi bermain)
b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu,
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri.
- Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan anlgesik secara tepat
e. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
- Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan komponen keempat dari
proses keperawatan setelah metrumuskan rencana asuhan keperawatan.
Implemntasi keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan
dimana tindakan yang diperlukan mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dalam asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan
(Potter & Perry, 2010). Intervensi keperawatan yang sudah
direncanakan berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI) dilaksanakan pada tahap implementasi keperawatan.
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah penilain dengan cara membandingan
perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Tujuan dari evaluasi
antara lain : mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasi
rencana tindakan keperawatan serta menerusakan tindakan
keperawatan (Budiono, 2016). Dalam buku “Modul Bahan Ajar Cetak
Keperawatan : Konsep Dasar Keperawatan” Budiono (2016)
menjelaskan proses evaluasi yang dapat dilakukan oleh perawat pada
saat memberikan asuhan keperawatan pada klien, sebagai berikut :
a. Evaluasi proses (formatif)
Evaluasi yang dilakukan setelah selesai tindakan,
berorientasi pada etiologi, dilakukan secara terus menerus sampai
tujuan yang ditentukan tercapai.
b. Evaluasi hasil (sumatif)
Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan
keperawatan secara paripurna, berorientasi pada masalah
keperawatan, menjelaskan keberhasilan / ketidakberhasilan,
rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan
kerangka waktu yang ditetapkan.
Komponen format yang sering digunakan oleh perawat dalam
proses evaluasi asuhan keperawatan adalah penggunaan formula
SOAP atau SOAPIER (Budiono, 2016).
1) S (data subjektif)
Data berdasarkan keluhan yang diucapkan atau disampaikan
oleh pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
2) O (data objektif)
Data berdasarkan hasil pengukuran atau hasil observasi secara
langsung kepada klien dan yang dirasakan klien setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
3) A (analisa)
Interpretasi dari data subjektif dan data objektif. Analisis
merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang
masih terjadi atau juga dapat dituliskan masalah/diagnosis baru
yang terjadi akibat perubahan status kesehatan klien yang telah
teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan data objektif.
4) P (planning)
a. Perencanaan keperawatan yang akan dilakukan, hentikan,
modifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan
keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.
b. Tindakan yang telah menunjukan hasil yang memuaskan
dan tidak memerlukan tindakan ulang pada umumnya
dihentikan.
c. Tindakan yang perlu dilakukan adalah tindakan kompeten
untuk menyelesaikan masalah klien dan membutuhkan
waktu untuk mencapai keberhasilannya.
d. Tindakan yang perlu dimodifikasi adalah tindakan yang
dirasa dapat membantu menyelesaikan masalah klien.
Tetapi, perlu ditingkatkan kualitasnya atau mempunyai
alternative pilihan yang lain yang diduga dapat membantu
mempercepat proses penyembuhan.
5) I (implentasi)
Implentasi adalah tindakan keperawatan yang dilakukan
sesuatu dengan intruksi yang telah terindetifikasi dalam
komponen P (planning). Jangan lupa menuliskan tanggal dan
jam pelaksanaan.
6) E (evaluasi)
Respon klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
7) R (re-assesment)
Pengkajian ulang yang dilakukan terhadap perencanaan setelah
diketahui hasil evaluasi, apakah dari rencana tindakan perlu
dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan.