Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN COPD DI RUANG 26P


DI RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG
TAHUN 2019

OLEH:
ULYA UNZILA DINA
201904078

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
TAHUN 2019/2020
A. Konsep TeoriCOPD
1) Pengertian
Penyakit paru-paru obstrutif kronis (PPOK)atau Chronic obstructive
pulmonary diseases (COPD) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel atau
reversibel parsial. PPOK atau Chronic obstructive pulmonary diseases (COPD)
merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru
yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Somantri, 2007). PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik
adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal
3 bulan dalam setahun,sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli (PDPI, 2003).
2) Epidemiologi
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat. Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat
tentang kekerapan PPOK. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat
Jenderal PPM & PL di 5 Rumah Sakit Propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2013,
menunjukkan PPOK menempati urutan ke-2 penyumbang angka kesakitan
(morbiditas) (Depkes RI, 2013).Prevalensi terjadinya penyakit ini lebih tinggi
pada laki-laki daripada perempuan dan meningkat dengan bertambahnya usia.
PPOK lebih sering terjadi pada orang yang masih aktif merokok dan bekas
perokok serta meningkat dengan banyak jumlah rokok yang dikonsumsi (GOLD,
2014)
3) Etiologi
Penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat
ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama
dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama
adalah emfisema, bronkitis kronik, dan faktor resiko lain.
a. Bronkhitis Kronis
Bronkhitis kronis adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus
trakheobronkhial yang berlebihan, sehingga menimbulkan batuk yang terjadi
paling sedikit selama tiga bulan dalam waktu satu tahun untuk lebih dari dua
tahun secara berturut-turut(Somantri, 2007). Somantri (2007) menjelaskan bahwa
terdapat 3 jenis penyebab bronkhitis yaitu sebagai berikut.
1. Infeksi stafilokokus, streptokokus, pneumokokus,haemophilus influenzae.
2. Alergi
3. Rangsangan lingkungan misalnya asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
b. Emfisema
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan(Somantri, 2007). Etiologi emfisema menurut Somantri (2007) yaitu
sebagai berikut.
1. Genetik yaitu atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan
kadar imunoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper-responsive bronkus,
riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa-1
anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan
menimbulkan jaringan elastik paru rusak sehingga timbul emfisema.
3. Rokokmenyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi, dan
hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran
pernapasan.
4. Infeksisaluran nafas seperti pneumonia, bronkhiolitis akut, dan asma
bronkial dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
5. Polusiudara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan
pada silia yang dapat menghambat fungsi makrofag alveolar.
6. Faktor Sosial Ekonomi
7. Usia
c. Faktor resiko lainnya
Faktor resiko lainnya menurut PDPI (2003) yaitu kebiasaan merokok,
riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hipereaktivitas
bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, defisiensi antitripsin alfa-
1.Merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan
1. Riwayat merokok
a. Perokok aktif
b. Perokok pasif
c. Bekas perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun
a. Kategori Ringan : 0-200
b. Sedang : 200-600
c. Berat : >600
Sedangkan menurut Mansjoer (2001) Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
PPOK, yaitu:
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja
4. Riwayat infeksi saluran napas
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi α-1 antitripsin

4) Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan
klasifikasi (derajat) PPOK yaitu sebagai berikut (GOLD, 2014).
Gambar 9. Klasifikasi PPOK

Gambar 10. Skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

Manifestasi klinis PPOK berdasarkan peenyakit menurut Somantri (2007)


yaitu sebagai berikut.
a. Bronkhitis kronik
1. Penampilan umum: cenderung overweight, sianosis akibat pengaruh
sekunder polisitemia, edema (akibat CHF), dan barrel chest
2. Usia: 45-65 tahun
3. Pengkajian: Batuk persisten, produksi sputum seperti kopi, dispnea
dalam beberapa keadaan, variabel wheezing pada saat ekspirasi, serta
seringnya infeksi pada sistem respirasi. Gejala biasanya timbul pada
waktu yang lama
4. Jantung: pembesaran jantung, cor pulmonal, dan Hematokrit > 60%
5. Riwayat merokok positif (+)

b. Emfisema
1. Penampilan umum: kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma.
Tidak ada tanda CHF dengan edema dependen pada stadium akhir. Berat
badan biasanya menurun akibat nafsu makan yang menurun
2. Usia 65-75 tahun
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium: nafas pendek persisten dengan
peningkatan dipsnea, infeksi sistem respirasi, auskultasi terdapat
penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam, wheezing
ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas, produksi sputum dan batuk
jarang
4. Hematokrit <60%
5. Pemeriksaan jantung: tidak terjadi pembesaran jantung, Cor pulmonal
timbul pada stadium akhir
6. Riwayat merokok biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu ada riwayat
merokok
5) Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi
dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan
ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter
yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu,
silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan (GOLD, 2014).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada
ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara
pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2014).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan
konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
Pada bronchitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitaan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas dan
menimbulkan sesak. Pada bronchitis kronik, saluran pernapasan kecil yang
berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok.
Penyempitan ini terjadi karena hipertrofi dan hiperplasi jaringan mucus.
Padaemfisema paru terjadi obstruksi pada pertukaran gas oksigen dan karbon
dioksida akibat kerusakan dinding aveoli yang disebabkan oleh overekstensi
ruang udara dalam paru(Bruner & Suddarth, 2002; Mansjoer, 2001).

6) Prognosis dan Komplikasi


Prognosis pada pasien PPOK dapat dinilai dengan BODE Index yang
dikemukakan oleh Celli, et al. pada tahun 2004. BODE Index terdiri atas nilai
FEV1/VEP1, jarak jalan yangdapat ditempuh dalam 6 menit, skala dispnea
(Gambar 9), dan indeks massa tubuh (IMT) untuk menilai angkaharapan hidup
pasien PPOK.
BODE index adalah singkatan dariBody mass index, Obstruction [FEV1],
Dyspnea (modified Medical Research Council dyspnea scale), dan Exercise
capacity. Penghitungannya melalui perhitungan skor 4 faktor berikut ini.
a. Body Mass Index
1) Lebih dari 21 = 0 poin
2) Kurang dari 21 = 1 poin
b. Obstruction ; dilihat dari nilai FEV1
1) >65% = 0 poin
2) 50-64% = 1 poin
3) 36-49% = 2 poin
4) <35% = 3 poin
c. Dyspnea scale [MMRC]
1) MMRC 0= Sesak dalam latihan berat = 0 poin
2) MMRC 1 = Sesak dalam berjalan sedikit menanjak = 0 poin
3) MMRC 2 = sesak ketika berjalan dan harus berhenti karena kehabisan
napas = 1 poin
4) MMRC 3 = sesak ketika berjalan 100 m atau beberapa menit = 2 poin
5) MMRC 4 = tidak bisa keluar rumah; sesak napas terus menerus dalam
pekerjaan sehari-hari = 3 poin
d. Exercise dihitung dari jarak tempuh pasien dalam berjalan selama 6 menit
1) > 350 meter = 0 poin
2) 250 – 349 meter = 1 poin
3) 150-249 meter = 2 poin
4) < 149 meter = 3 poin

Berdasarkan skor diatas, angka harapan hidup dalam 4 tahun pasien dapat
diketahui dengan menjumlahkan semua poin yang didapat.
a. 0-2 points = 80%
b. 3-4 points = 67%
c. 5-6 points = 57%
d. 7-10 points = 18%

Komplikasi yang dapat muncul pada pasien PPOK yaitu sebagai berikut.
a. Insufisiensi pernapasan
Pasien PPOK dapat mengalami gagal napas kronis secara bertahap ketika
struktur paru mengalami kerusakan secara ireversibel. Gagal nafas terjadi
apabila penurunan oksigen terhadap karbondioksida dalam paru
menyebabkan ketidakmampuan memelihara laju kebutuhan oksigen. Hal ini
akan mengakibatkan tekanan oksigen arteri <50 mmHg (hipoksia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida <45 mmHg (hiperkapnia) (Smelzer &
Bare, 2008).
b. Atelektasis
Obstruksi bronkial oleh sekresi merupakan penyebab utama terjadinya kolap
pada alveolus, lobus, atau unit paru yang lebih besar. Sumbatan akan
mengganggu alveoli yang normalnya menerima udara dari bronkus. Udara
alveolar yang terperangkap menjadi terserap kedalam pembuluh darah tetapi
udara luar tidak dapat menggantikan udara yang terserap karena obstruksi.
Akibatnya paru menjadi terisolasi karena kekurangan udara danukurannya
menyusut dan bagian sisa paru lainnya berkembangsecara berlebihan
(Smelzer & Bare, 2008).
c. Pneumonia
Pneumonia adalah proses inflamatori parenkim paru yang disebabkan oleh
agen infeksius. PPOK mendasari terjadinya pneumoni karena flora normal
terganggu oleh turunnya daya tahan hospes. Hal ini menyebabkan tubuh
menjadi rentan terhadap infeksi termasuk diantaranya pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid dan agen imunosupresan lainnya (Smelzer & Bare,
2008).
d. Pneumothoraks
Pneumotorak spontaneous sering terjadi sebagai komplikasi dari PPOK
karena adanya ruptur paru yang berawal dari pneumototak tertutup.
Pneumotorak terjadi apabila adanya hubungan antara bronkus dan alveolus
dengan rongga pleura, sehingga udara masuk kedalam rongga pleura melalui
kerusakan yang ada (Price & Wilson, 2006)
e. Hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal ringan atau sedang meskipun lambat akan muncul pada
kasus PPOK karena hipoksia yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah kecil paru. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan struktural yang
meliputi hiperplasia intimal dan hipertrophi atau hiperplasia otot halus. Pada
pembuluh darah saluran udara yang sama akan mengalami respon inflamasi
dan sel endotel mengalami disfungsi. Hilangnya pembuluh darah kapiler
paru pada emfisema memberikan kontribusi terhadap peningkatan tekanan
sirkulasi paru. Hipertensi pulmonal yang progresif akan menyebabkan
hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya menyebabkan gagal jantung kanan
(cor pulmonale) (GOLD, 2014)
7) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien PPOK menurut
Mansjoer et al.(2000) adalah sebagai berikut.
a. Pemeriksaan radiologis
Pada bronkhitis kronik yang perlu diperhatikan yaitu
1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
paralel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.
2. Corak paru yang bertambah.

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:


1. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia
dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular
dan pink puffer.
2. Corakan paru yang bertambah.

b. Pemeriksaan faal paru


Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan
VEP1, KV, dan KAEM (Kecepatan Arum Ekspirasi Maksimal) atau MEFR
(Maximal Expiratory Flow Rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut,
sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small
airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
c. Analisis gas darah
Pada bronkhitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis,
terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia
yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan
polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun, polisitemia menyebabkan
jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab
payah jantung kanan.
d. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clockwise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah pada V1 rasio R/S lebih dari 1
dan V6 rasio R/S kurang dari 1.
e. Kultur sputum untuk mengetahui petogen penyebab infeksi
f. Laboratorium darah lengkap: hitung sel darah putih

8) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
obstruksi yang terjadi seminimal mungkin agar secepatnya oksigenasi dapat
kembali normal. Keadaan ini diusahakan dan dipertahankan untuk menghindari
perburukan penyakit. Secara garis besar penatalaksanaan PPOK dibagi menjadi 4
kelompok, sebagai berikut.
a. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada pasien dan keluarga,
menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi,
menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan cairan,
mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi pasien
yang punya riwayat alergi.Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada
pasien dan keluarga, menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang
bersifat iritasi, menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan
cairan, mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi
pasien yang punya riwayat alergi.
b. Pemberian obat-obatan
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi/mengatasi
obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruktif.
Obat-obat golonganbronkodilator adalah obat-obat utama untuk
manajemen PPOK. Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai
terutama jenis long acting karena lebih efektif dan nyaman, pilihan
obat diantarnya adalah golongan β2 Agonis, Antikolinergik, Teofilin
atau kombinasi. (GOLD, 2014).
2. Antikolinergik
Golongan antikolinergik seperti Ipatropium Bromide mempunyai efek
bronkodilator yang lebih baik bila dibandingkan dengan golongan
simpatomimetik. Penambahan antikolenergik pada pasien yang telah
mendapatkan golongan simpatomimetik akan mendapatkan efek
bronkodilator yang lebih besar (Sharma, 2010)
3. Metilxantin
Golongan xantin yaitu teofilin bekerja dengan menghambat enzim
fosfodiesterase yang menginaktifkan siklik AMP. Pemberian
kombinasi xantin dan simpatomimetik memberikan efek sinergis
sehinga efek optimal dapat dicapai dengan dosis masing-masing lebih
rendah dan efek samping juga berkurang. Golongan ini tidak hanya
bekerja sebagai bronkodilator tetapi mempunyai efek yang kuat untuk
meningkatkan kontraktilitas diafragma dan daya tahan terhadap
kelelahan otot pada pasien PPOK (Sharma, 2010).
4. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid bermanfaat dalam pengelolaan eksaserbasi PPOK,
dengan memperpendek waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru
dan mengurangi hipoksemia. Disamping itu glukokortikosteroid juga
dapat mengurangi risiko kekambuhan yang lebih awal, kegagalan
pengobatan dan memperpendek masa rawat inap di RS (GOLD, 2014)
5. Obat-obatan lainnya
 Vaksin
Pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko penyakit yang
parah dan menurunkan angka kematian sekitar 50%. Vaksin
mengandung virus yang telah dilemahkan lebih efektif diberikan
kepada pasien PPOK lanjut, yang diberikan setiap satu tahun
sekali. Vaksin Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan untuk pasien
PPOK usia 65 tahun keatas (GOLD, 2014).
 Alpha 1 Antitripsin
Alpha 1 Antitripsin direkomendasikan untuk pasien PPOK dengan
usia muda yang mengalami defisiensi enzim Alpha 1 Antitripsin
sangat berat. Terapi ini sangat mahal dan belum tersedia disetiap
negara (GOLD, 2014).
 Antibiotik
Pada pasien PPOK infeksi kronis pada saluran nafas biasanya
berasal dari Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan
Moraxella catarrhlis. Diperlukan pemeriksaan kultur untuk
mendapatkan antibiotik yang sesuai. Tujuan pemberian antibiotika
adalah untuk mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi akut, yang
ditandai oleh peningkatan produksi sputum, dipsnue, demam dan
leukositosis (GOLD, 2014; Sharma, 2010)
 Mukolitik
Mukolitik diberikan untuk mengurangi produksi dan kekentalan
sputum. Sputum kental pada pasien PPOK terdiri dari derivat
glikoprotein dan derivate lekosit DNA (GOLD, 2014)
 Agen antioksidan
Agen antioksidan khususnya N-Acetilsistein telah dilaporkan
mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK (GOLD,
2014)
 Imunoregulator
Pada sebuah studi penggunaan imuniregulator pada pasien PPOK
dapat menurunkan angka keparahan dan frekuensi eksaserbasi
(GOLD, 2014)
 Antitusif
Meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang
merepotkan, tetapi batuk mempunyai peran yang signifikan sebagai
mekanisme protektif. Dengan demikian penggunaan antitusif
secara rutin tidak direkomendasikan pada PPOK stabil (GOLD,
2014)
 Vasodilator
Berbagai upayaa pada hipertensi pulmonal telah dilakukan
diantaraanya mengurangi beban ventrikel kanan, meningkatkan
curah jantung, dan meningkatkan perfusi oksigen jaringan.
Hipoksemia pada PPOK terutama disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi bukan karena
peningkatan shunt intrapulmonari (seperti pada oedem paru
nonkardiogenik) dimana pemberian oksida nitrat dapat
memperburuk keseimbangan ventilasi dan perfusi. Sehingga oksida
nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil (GOLD, 2014)
 Narkotin (Morfin)
Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk mengurangi
dipsnue pada pasien PPOK pada tahap lanjut.Nikotin juga
diberikan sebagai obat antidepresan pada pasien dengan dengan
sindrom paska merokok (GOLD, 2014; Sharma, 2010)
c. Terapi oksigen
PPOK umumnya dikaitkan dengan hipoksemia progresif, pemberian terapi
oksigen bertujuan untuk mempertahankan hemodinamika paru. Terapi
oksigen jangka panjang dapat meningkatkan kelangsungan hidup 2 kali lipat
pada hipoksemia pasien PPOK. Hipoksemia didefinisikan sebagai PaO 2< 55
mmHg atau saturasi oksigen <90%. Gejala gangguan tidur, gelisah, sakit
kepala merupakan petunjuk perlunya oksigen tambahan. Terapi oksigen
dengan konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus dapat
memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja, dan
pola tidur. Terapi oksigen bertujuan memperbaiki kandungan oksigen arteri
dan memperbanyak aliran oksigen ke jantung, otak serta organ vital lainnya,
memperbaiki vasokonstriksi pulmonal, dan menurunkan tekanan vaskular
pulmonal (Shama, 2010).
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi pulmonal melibatkan berbagai multidisiplin keilmuan termasuk
diantaranya dokter, perawat, fisioterapis pernapasan, fisioterapi secara
umum, okupasional terapi, psikolog, dan pekerja soisal. Sharma (2010)
menjelaskan program rehabilitasi paru secara komprehensif adalah meliputi
sebagai berikut.
1. Exercise trainingdan respiratory muscle training
Latihan otot ekstremitas maupun latihan otot pernapasanmerupakan
latihan dasar dari proses rehabilitasi paru. Latihan ditargetkan
mencapai 60% dari beban maksimalselama 20-30 menit diulang 2-5
kali seminggu. Latihan mengacu pada otot-otot tertentu yang terlibat
dalam aktifitas kesehariannya, terutama otot lengan dan otot kaki
(Sharma, 2010).
2. Pendidikan kesehatan
a. Konservasi energi dan penyederhanaan kerja
Prinsip ini membantu pasien PPOK untuk mempertahankan
aktifitas sehari-hari dan pekerjaannya. Metode kegiatannya
meliputi latihan pernapasan, optimalisasi mekanika tubuh, prioritas
kegiatan dan penggunaan alat bantu (Sharma, 2010).
b. Obat dan terapi lainnya
Pendidikan kesehatan tentang obat-obatan termasuk didalamnya
jenis, dosis, cara penggunaan, efek samping merupakan hal penting
untuk diketahui oleh pasien PPOK (Sharma, 2010).
c. Pendidikan kesehatan mempersiapkan akhir kehidupan
Risiko kegagalan pernapasankarena ventilasi mekanik yang
memburuk pada PPOK mengakibatkan penyakit ini bersifat
progresif. Pendidikan kesehatan tentang bagaimana melakukan
perawatan diri yang tepat dalam mempertahankan kehidupan perlu
dilakukan kepada pasien PPOK (Sharma, 2010).
3. Penatalaksanaan fisik
a. Fisioterapi dada dan teknik pernapasan Ada 2 teknik utama
pernapasanyang dapat dilakukan diantaranya sebagai berikut.
 Pursed lip breathing
Pasien menghirup nafas melalui hidung sambil menghitung
sampai 3 (waktu yang dibutuhkan untuk mengatakan “smell a
rose”). Hembuskan dengan lambat dan rata melalui bibir yang
dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot abdomen
(merapatkan bibir meningkatkan tekanan intratrakeal,
menghembuskan udara melalui mulut memberikan tahanan
lebih sedikit pada udara yang dihembuskan). Hitung hingga 7
sambil memperpanjang ekspirasi melalui bibir yang dirapatkan
yang dibutuhkan untuk menagatakan ‘blow out the candle”.
Sambil duduk dikursi lipat tangan diatas abdomen, hirup nafas
melalui hidung sambil menghitung hingg 3, membungkuk
kedepan dan hembuskan dengan lambat melalui bibir yang
dirapatkan sambil menghitung hingga 7. Pernapasan bibir akan
memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan
nafas selama ekspirasi sehingga mengurangi jumlah udara
yang terjebak dan jumlah tahanan jalan nafas (Black, 2005)

 Diaphragmatic breathing
Pasien diminta meletakkan satu tangan diatas abdomen (tepat
dibawah iga) dan tangan lainnya ditengah-tengah dada untuk
meningkatkan kesadaran diafragma dan fungsinya dalam
pernapasan. Nafaslah dengan lambat dan dalam melalui
hidung, biarkan abdomen menonjol sebesar mungkin.
Hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan sambil
mengencangkan (mengkonstraksi) otot-otot abdomen. Tekan
dengan kuat kearah dalam dan kearah atas pada abdomen
sambil menghembuskan nafas. Ulangi selama 1 menit, ikuti
dengan periode istirahat selama 2 menit. Lakukan selama 5
menit, beberapa kali sehari (sebelum makan dan waktu tidur).
Pernapasandiafragma dapat menguatkan diafrgama selama
pernapasansehingga meningkatkan asupan oksigen (Black &
Jacob, 2005)

a. Nutrisi
Penurunan berat badan pada pasien dengan penyakit
pernapasankronis menunjukkan prognosis yang buruk. Pasien
PPOK yang dirawat di rumah sakit sebanyak 50% dilaporkan
kekurangan gizi kalori dan protein. Ketidakseimbangan energi dan
penurunan berat badan progresif terjadi karena asupan makanan
yang tidak memadai, pengeluaran energi yang meningkat, dan
kegagalan respon adaptif gizi. Pemeliharaan status gizi yang
memadai sangat penting bagi pasien PPOK untuk menjaga berat
badan dan massa jaringan otot (Sharma, 2010). Diet cukup protein
1,2-1,5 gr/BB, karbohidrat 40- 55% dari total kalori, lemak mudah
dicerna 30-40%, cukup vitamin dan mineral untuk memenuhi
asupan nutrisi (Taatuji, 2004)
4. Penatalaksanaan psikososial
Kecemasan, depresi dan ketidakmampuan dalam mengatasi penyakit
kronis memberikan kontribusi terjadinya kecacatan. Intervensi
psikososial dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan secara
individu, dukungan keluarga ataupun dukungan kelompok sosial yang
berfokus pada masalah pasien. Relaksasi otot progresif, pengurangan
stres, dan pengendalian panik dapat menurunkan dipsneaserta
kecemasan (Sharma, 2010).
C. Clinical Pathway
Merokok

Rangsangan lingkungan
(asap kendaraan, asap
pabrik, dll) Mengandung zat-zat Mengandung radikal
berbahaya bebas

Induksi aktivasi makrofag Peningkatan stres


Genetik: defisiensi protein dan leukosit ke paru oksidatif
alfa 1 anti tripsin
Peningkatan
Peningkatan Pelepasan faktor Peningkatan apoptosis dan
Penurunan netralisasi pelepasan elastase kemotaktik pelepasan nekrosis dari sel
elastase neutrofil oksidan yg terpapar

Jaringan elastik paru rusak


Peningkatan Cedera sel
jumlah neutrofil
Cedera sel di daerah yg
terpapar

Respon inflamasi

Hipersekresi mukus Lisis dinding alveoli


Penurunan
nafsu makan Kerusakan alveolar
Bronkhitis

Ketidakseimbangan Kolaps saluran napas kecil


Penumpukan lendir dan saat ekspirasi
nutrisi kurang dari
sekresi berlebih
kebutuhan
Emfisema
Defisit pengetahuan
Merangsang refleks Obstruksi jalan
batuk napas obstruksi pada pertukaran O2
dan CO2 dari dan ke paru
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
Penurunan asupan O2

Penurunan perfusi O2 ke Gangguan Kompensasi tubuh:


jaringan pertukaran gas peningkatan RR

Ansietas Sesak napas


Kelamahan, keletihan

Intoleran aktivitas Ketidakefektifan


pola napas
D. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a. Demografi
PPOK banyak terjadi pada usia pertengahan dan sering terjadi pada
jenis kelamin laki-laki. Pekerjaan yang beresiko terkena PPOK yaitu
penambang batu bara, petani, pekerja pabrik.
b. Riwayat penyakit sekarang dan keluhan utama
Batuk merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada pasien
PPOK. Batuk bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul lalu
kemudian berlangsung lama dan sepanjang hari. Batuk disertai dengan
produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan mukoid kemudian
berubah menjadi banyak dan purulen. Pasien juga mengeluhkan sesak
yang berlangsung lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari,
dan tidak pernah hilang sama sekali, hal ini menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas yang menetap. Keluhan sesak inilah yang
biasanya membawa penderita PPOK berobat ke rumah sakit. Sesak
dirasakan memberat saat melakukan aktivitas dan pada saat mengalami
eksaserbasi akut.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kemungkinan pernah menderita penyakit bronkitis kronis, emfisema,
atau asma.Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa
gejala pernapasan. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat
kerja. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara.
d. Pemeriksaan fisik (B1-B6)
Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem
(B1-B6) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
pasien (Muttaqin, 2009).
B1 (Breathing) Pernapasan
 Inspeksi
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta
penggunaan otot bantu napas. Bentuk dada barrelchest (akibat
udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan
dengan bibir dirapatkan. Pernafasan abnormal tidak efektif dan
penggunaan otot-otot bantu nafas (sternokleidomastoideus). Pada
tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas
kehidupan sehari-hari seprti makan dan mandi. Pengkajian batuk
produktif dengan sputum purulen diserti demam mengindikasikan
adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
 Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil biasanya menurun.
 Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menurun.
 Auskultasi
Sering didapatakan adanya bunyi nafas ronkhi dan wheezing
sesuai tingkat beratnya obstruksi pada bronkiolus. Pada pengkajian
lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan
kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap
lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekali pun
seperti seperti membungkuk untuk mengikatkan tali sepatu,
mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersonial). Paru
yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi
dan bronkiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang
dihasilkannya. Pasien rentan terhadap reaksi imflamasi dan infeksi
akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, pasien
mengalami wheezing yang berkepanjangan saat ekspirasi.
B2 (Blood) Kardiovaskuler
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi
takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak
mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami distensi
selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang terlihat adanya sianosis.
B3 (Brain) Persyarafan
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi
penyakit yang serius.
B4 (Bladder) Perkemihan
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
sistem perkemihan, namun perawat perlu memonitori adanya oliguria
yang merupakan salah satu tanda awal dari syok.
B5 (Bowel) Pencernaan
Pasien biasanya mual dan nyeri lambung yang menyebabkan tidak
nafsu makan, kadang disertai penurunan berat badan.
B6 (Bone) Muskuloskeletal
Karena penggunaan otot bantu nafas yang lama,pasien akan terlihat
kelelahan, sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan
pemenuhan ADL (Activity Daily Living)
e. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang
 Pemeriksaan radiologis
Tubular shadows atau farm lines (bronkhitis kronis), gambaran
defisiensi arteri, terjadi over inflasi, pulmonary oligoemia dan
bula (emfisema panlobular dan pink puffer), corakan paru yang
bertambah.
 Pemeriksaan faal paru
VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang
normal (bronkhitis kronik). Penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(Kecepatan Arum Ekspirasi Maksimal) atau MEFR (Maximal
Expiratory Flow Rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal (emfisema paru)
 Analisis gas darah
Pada bronkhitis kronis, PaCO2 naik, saturasi hemoglobin
menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru
dan penambahan eritropoesis
 Pemeriksaan EKG
Rotasi clockwise jantung, deviasi aksis kekanan dan P pulmonal
pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah pada V1 rasio
R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1.
 Kultur sputum untuk mengetahui petogen penyebab infeksi
 Laboratorium darah lengkap: hitung sel darah putih
2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah
sebagai berikut (NANDA, 2013).
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan napas pendek, mukus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi
perfusi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan
anoreksia, mual muntah.
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upayapernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
3) Rencana Tindakan Keperawatan

Tujuan dan Kriteria


No Diagnosa Intervensi (NIC) Rasional
Hasil(NOC)
1 Ketidakefektifan NOC : 1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas 1. Air dapat membantu
bersihan jalan napas a. Respiratory status : cairan/hari kecuali terdapat mengencerkan dahak
berhubungan dengan Ventilation kor pulmonal 2. Untuk mempermudah
bronkokontriksi, b. Respiratory status : Airway 2. Ajarkan dan berikan dorongan mengeluarkan sekret
patency
peningkatan produksi penggunaan teknik pernapasan 3. Membantu melebarkan
c. Aspiration Control
sputum, batuk tidak diafragmatik dan batuk. bronkus
efektif, Setelah dilakukan tindakan 3. Bantu dalam pemberian 4. Membantu mengeluarkan
kelelahan/berkurangnya keperawatan ....x 24jam jalan tindakan nebulizer, inhaler dahak
tenaga dan infeksi napas kembali bersih dengan dosis terukur 5. Mencegah kekambuhan
bronkopulmonal kriteria hasil: 4. Lakukan drainage postural khususnya yang disebabkan
a) Mendemonstrasikan batuk dengan perkusi dan vibrasi oleh asma dan dapat
efektif dan suara nafas pada pagi hari dan malam hari memperparah kondisi
yang bersih, dispneu sesuai yang diharuskan 6. Mencegah infeksi dan
berkurang (mampu 5. Instruksikan pasien untuk komplikasi lebih lanjut
mengeluarkan sputum, menghindari iritan seperti asap 7. Membunuh kuman
mampu bernafas dengan rokok, aerosol, suhu yang penyebab
mudah) ekstrim, dan asap. 8. Meningkatkan kekebalan
b) Menunjukkan jalan napas 6. Ajarkan tentang tanda-tanda tubuh
yang paten irama nafas, dini infeksi yang harus
frekuensi pernafasan dilaporkan pada dokter dengan
dalam rentang normal, segera: peningkatan sputum,
suara nafas normal) perubahan warna sputum,
kekentalan sputum,
peningkatan napas pendek,
Tujuan dan Kriteria
No Diagnosa Intervensi (NIC) Rasional
Hasil(NOC)
c) Mampu rasa sesak didada, keletihan
mengidentifikasikan dan 7. Kolaborasi pemberian
mencegah faktor yang antibiotik
dapat menghambat jalan 8. Berikan dorongan pada pasien
nafas untuk melakukan imunisasi
terhadap influenzae dan
streptococcus pneumoniae.

2 Ketidakefektifan pola NOC Manajemen jalan napas


napas berhubungan a. Respiratory status : 1) Atur posisi pasien untuk 1) Memudahkan ekspansi paru
dengan napas pendek, Ventilation memaksimalkan ventilasi dan menurunkan adanya
mukus, bronkokontriksi b. Respiratory status : Airway 2) Anjurkan bernafas yang pelan kemungkinan lidah jatuh
patency
dan iritan jalan napas dan dalam yang menyumbat jalan
c. Vital sign Status
3) Auskultasi suara nafas, catat napas
Setelah dilakukan tindakan area penurunan atau ketiadaan 2) Membantu keefektifan
keperawatan ....x 24jam pola ventilasi dan adanya suara pernafasan pasien
napas kembali efektif dengan nafas tambahan 3) Perubahan dapat
kriteria hasil: 4) Monitor respirasi dan menandakan awitan
a) RR normal (16-20x/menit) oksigenasi komplikasi pulmonal atau
b) Pergerakan dada normal 5) Kolaborasi pemberian menandakan lokasi/ luasnya
c) Penggunaan otot-otot oksigen yang sudah keterlibatan otak
bantu pernapasan terhumidifikasi 4) Menentukan kecukupan
berkurang pernapasan, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan
akan terapi
5) Memaksimalkan oksigen
Tujuan dan Kriteria
No Diagnosa Intervensi (NIC) Rasional
Hasil(NOC)
pada darah arteri dan
membantu dalam
pencegahan hipoksia

3 Gangguan pertukaran NOC 1. Deteksi bronkospasme saat 1. Mengetahui status fungsi


gas berhubungan Respiratory Status: Gas auskultasi jalan pernafasan pasien
dengan ketidaksamaan Exchange 2. Pantau adaya dispnea dan 2. Memonitor kondisi
ventilasi perfusi hipoksia. fisiologis pasien
Setelah dilakukan tindakan 3. Berikan terapi aerosol 3. Aerosol dapat mengencerkan
keperawatan selama .......x24 sebelum waktu makan, untuk dahak
jam diharapkan pertukaran gas membantu mengencerkan 4. Pemberian oksigen yang
tidak mengalami gangguan sekresi sehingga ventilasi adekuat dapat mengatasi
dengan kriteria hasil: paru mengalami perbaikan. sesak pasien
a) Frekuensi nafas normal 4. Pantau pemberian oksigen 5. Melebarkan bronkus agar
(16-24x/menit) 5. Kolaborasi pemberian obat- pasien tidak mengalami
b) Itmia obatan bronkodialtor dan sesak napas
c) Melaporkan penurunan kortikosteroid dengan tepat
dispnea dan waspada kemungkinan
d) Menunjukkan perbaikan efek sampingnya.
dalam laju aliran ekspirasi

4 Intoleran NOC 1. Kaji respon pasien terhadap 1. Mengetahui kondisi fisik


aktivitasberhubungan a. Energy conservation aktivitas (nadi, tekanan darah, pasien
dengan b. Self Care : ADLs pernapasan) 2. Mengetahui kemampuan
ketidakseimbangan 2. Ukur tanda-tanda vital segera fisik pasien
antara suplai dengan Setelah dilakukan tindakan setelah aktivitas, istirahatkan 3. Meningkatkan kemampuan
Tujuan dan Kriteria
No Diagnosa Intervensi (NIC) Rasional
Hasil(NOC)
kebutuhan oksigen keperawatan selama .......x24 klien selama 3 menit pasien secara bertahap
jam diharapkan pasien kemudian ukur lagi tanda- 4. Mengetahui latihan yang
kembali toleran terhadap tanda vital. sesuai dengan kondisi pasien
aktivitas dengan kriteria hasil: 3. Dukung pasien dalam 5. Mencegah hipoksia
a) Berpartisipasi dalam menegakkan latihan teratur 6. Membantu pasien untuk
aktivitas fisik tanpa dengan menggunakan beradaptasi
disertai peningkatan treadmill dan exercycle, 7. Membantu pasien agar tidak
tekanan darah, nadi dan berjalan atau latihan lainnya kelelahan
RR yang sesuai, seperti berjalan 8. Memaksimalkan dengan
b) Mampu melakukan perlahan. kondisi yang dimiliki pasien
aktivitas sehari hari 4. Kaji tingkat fungsi pasien agar pasien dapat mampu
(ADLs) secara mandiri yang terakhir dan untuk beradaptasi
kembangkan rencana latihan
berdasarkan pada status
fungsi dasar.
5. Kolaborasi pemberian
oksigen.
6. Tingkatkan aktivitas secara
bertahap; pasien tirah baring
lama mulai melakukan
rentang gerak sedikitnya 2
kali sehari.
7. Tingkatkan toleransi terhadap
aktivitas dengan mendorong
pasien beraktivitas lebih
lambat, atau waktu yang lebih
Tujuan dan Kriteria
No Diagnosa Intervensi (NIC) Rasional
Hasil(NOC)
singkat, dengan istirahat yang
lebih banyak atau dengan
banyak bantuan.
8. Secara bertahap tingkatkan
toleransi latihan.

5 Ketidakseimbangan NOC : Manajemen nutrisi


nutrisi kurang dari Nutritional Status : food and 1. Kaji status nutrisi pasien 1. Mengetahui status nutrisi
kebutuhan tubuh Fluid Intake 2. Ukur masukan diet harian pasien
berhubungan dengan dengan jumlah kalori 2. Memberikan informasi
nausea, vomiting akibat Setelah dilakukan tindakan 3. Bantu dan dorong pasien tentang kebutuhan
peningkatan asam keperawatan selama .......x24 untuk makan, jelaskan alasan pemasukan/defisiensi
lambung jam diharapkan pasien tipe diet. Beri makan pasien 3. Diet yang tepat penting
mempertahankan status nutrisi bila pasien mudah lelah atau untuk penyembuhan.
adekuat dengan kriteria hasil: biarkan orang terdekat 4. Membantu meningkatkan
a) Adanya peningkatan berat membantu pasien. nafsu makan pasien
badan Pertimbangkan pemilihan 5. Membantu pasien untuk
b) Berat badan ideal sesuai makanan yang disukai. mendapatkan BB
dengan tinggi badan 4. Berikan makanan sedikit tapi ideal/normal.
c) Mampu mengidentifikasi sering 6. Kebersihan dan kesegaran
kebutuhan nutrisi 5. Timbang BB tiap hari. mulut dapat meningkatkan
d) Menunjukkan peningkatan 6. Lakukan perawatan mulut, nafsu makan pasien.
fungsi pengecapan dari berikan penyegar mulut.
menelan
e) Berat badan sesuai IMT
Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi
keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

Discharge Planning
1. Menghindari iritasi. Memakai alat pelindung atau masker jika tempat kerja
klien terkena paparan debu atau bahan kimia yang mengganggu klien.
Menetaplah di dalam ruangan jika kualitas udara di luar buruk.
2. Mencegah infeksi pernafasan. Hindari kerumunan banyak orang terutama
ketika musim influenza dan hindari orang yang terinfeksi saluran nafas atas.
3. Mencari pengobatan jika gejala penyakit tersebut muncul kembali atau keadaan
klien semakin memburuk.
4. Latihan. Klien dapat melakukan latihan nafas dalam dan olahraga-olahraga
sederhana. Olahraga dapat membantu mengurangi masalah pernapasan dan
meningkatkan kesehatan klien.
5. Menganjurkan klien untuk meningkatkan tidur. Menganjurkan klien untuk
latihan relaksasi sebelum tidur untuk meningkatkan kenyamanan tidur klien.
6. Posisi tidur khusus. Klien dapat tidur dengan posisi semi fowler jika
mengalami kesulitan bernafas ketika berbaring. Gunakan busa atau bantal
untuk meninggikan kepala pada saat tidur. Posisi tersebut dapat membantu
memperlancar proses pernafasan.
7. Meningkatkan toleransi aktivitas. Mendorong klien untuk meningkatkan
aktivitas secara bertahap.
8. Hubungi penyedia layanan kesehatan utama, jika :
b. mengalami demam.
c. kesulitan melakukan aktivitas yang biasa karena sulit untuk bernapas.
d. batuk dahak lebih dari yang normal bagi klien.
e. kaki atau pergelangan kaki bengkak.
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M., & Hawk,J.H. 2005. Medical Surgical Nursing Clinical Management
For Continuity of Care. St. Louis: Elsevier

Bulechek, Gloria, Howard K, Joanne M., Cheryl M. 2012. Nursing Interventions


Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier Mosby

Chojnowski, D. 2003. GOLD Standards for Acute Exacerbation in COPD: The


Nurse Practitioner. EBSCO Publishing
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan
Dasar.www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf [14Mei 2016]

GOLD. 2014. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease.


https://fysio.dk/globalassets/documents/fafo/.../gold_report_2014_jan23.pdf
[14Mei 2016]

Moorhead, Sue,et al. 2012. Nursing Ooutcomes Classification (NOC):


Measurement of Health Outcomes Fifth Edition. Elsivier Mosby.

NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Jakarta: EGC.

PDPI. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK).http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf[14
Mei 2016]

Price, S.A & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.
Buku 2 Edisi 6. Jakarta: EGC

Setiadi, 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta:Graha Ilmu

Sharma, et al. 2010. Pulmonary Rehabilitation.


http://emedicine.medscape.com/article/319885-overview [14 Mei 2016]

Sherwood, L. 2001. Sistem Pernapasan: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem


Edisi 2. Jakarta: EGC

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC

Smeltzer, S., & Bare. 2008. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing. Philadelphia: Lippincott

Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

Taatuji, E. 2004. Managemen PPOK Ditinjau Dari Aspek Dietetik. RS


Persahabatan Jakarta

Anda mungkin juga menyukai