Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Hukum Pidana Islam

a. Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari

agama Islam1, dari pendapat Mohammad Daud Ali tersebut pengertian

hukum Islam masih sangat luas. Dalam kontek hukum Islam yang bermakna

luas tersebut juga terwakili dalam istilah hukum syariat islam, oleh DR.

Rifyal Ka’bah disebutkan bahwa syariat Islam mempunyai tiga pengertian.

Pertama, sebagai keseluruhan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad

SAW. Kedua, keseluruhan nushush (teks-teks) Quran dan Sunnah yang

merupakan nilai-nilai hukum yang berasal dari wahyu Allah. Ketiga,

pemahaman para ahli terhadap hukum yang berasal dari wahyu Allah dan

hasil ijtihad yang berpedoman kepada wahyu Allah2.

Secara umum, maka pengertian hukum Islam adalah segala hukum

yang berasal dan bersumber dari sang pembuat hukum atau syari (pembuat

aturan) yaitu Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan dalam

1
Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam (Hukum Islam I) Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, Rajawali pers, jakarta, 1990, hal. 45
2
Ka’bah Rifyal, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, khairul bayan, Jakarta, 2004, hal. 4
pengertian syariat islam yang ketiga, dapat disimpulkan bahwa pengertian

tersebut adalah pengertian syariat Islam secara sempit yang berarti

pemahaman fiqh oleh para ulama fiqh3. Syariat Islam merupakan aturan

yang berasal dari Al Quran Al hadis atau As Sunnah, sedangkan fiqh adalah

pemahaman ulama terhadap syariat Islam. Sehingga dalam pengertian fiqh,

maka telah lazim muncul istilah mazhab atau kelompok seperti mazhab

Syafi’I, mazhab Hambali dan seterusnya4. Dalam pengertian hukum Islam

dapat ditarik suatu tujuan yaitu untuk melindungi akal, agama, jiwa,

keturunan dan harta benda karena pembuat hukum dari Allah SWT sebagai

Tuhan yang menciptakan manusia dengan kesempurnaan5.

b. Aspek-aspek Hukum Islam

Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan hukum

lainnya. Hukum dalam Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia

dengan manusia lain dan benda dalam (Hukum Muamalat), seperti yang diatur

dalam Hukum Barat. Namun, hukum dalam Islam juga mengatur hubungan

antara manusia dengan Allah SWT (Hukum Ibadat) yang tidak diatur dalam

hukum lainnya

3
Loc.cit.
4
Ibid, hal. 43
5
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 54
Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, membagi aspek-aspek hukum Islam

dalam tujuh kelompok, yaitu:

1) Hukum Ibadat. Hukum-hukum yang berhubungan dengan

peribadatan kepada Allah, seperti: shalat, puasa, haji, bersuci

dari hadas, dan sebagainya.

2) Hukum Keluarga (Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah). Hukum

hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan keluarga,

seperti: perkawinan, perceraian, hubungan keturunan, nafkah

keluarga, kewajiban anak terhadap orang tua, dan sebagainya.

3) Hukum Muamalat (dalam arti sempit, pen.). Hukum-hukum

yang berhubungan dengan pergaulan hidup dalam masyarakat

mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian

persengketaan-persengketaan, seperti: perjanjian jual beli, sewa

menyewa, utang piutang, gadai, hibah, dan sebagainya.

4) Hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan (Al-Ahkam As-

Sulthaniyah atau As-Siyasah Asy-Syar’iyah). Hukum-hukum

yang berhubungan dengan tata kehidupan bernegara, seperti:

hubungan penguasa dengan rakyat, pengangkatan kepala

negara, hak dan kewajiban penguasa dan rakyat timbal balik,

dan sebagainya.
5) Hukum Pidana (Al-Jinayat). Hukum-hukum yang berhubungan

dengan kepidanaan, seperti: macam-macam perbuatan pidana

dan ancaman pidana.

6) Hukum Antarnegara (As-Siyar). Hukum-hukum yang

mengatur hubungan antara negara Islam dengan Negara-negara

lain, yang terdiri dari aturan-aturan hubungan pada waktu

damai dan pada waktu perang.

7) Hukum Sopan Santun (Al-Adab). Hukum-hukum yang

berhubungan dengan budi pekerti, kepatutan, nilai baik, dan

buruk, seperti: mengeratkan hubungan persaudaraan, makan

minum dengan tangan kanan, mendamaikan orang yang

berselisih, dan sebagainya6.

c. Ciri-ciri Hukum Islam

Ciri-ciri hukum Islam menurut Zainuddin dalam bukunya Hukum

Pidana Islam meliputi :

1) Hukum Islam adalah bagian dan bersumber dari ajaran agama

Islam.

2) Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat

dicerai-pisahkan dengan iman dan kesusilaan atau akhlak

Islam.

6
Dewi Gemala dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2006, hal. 27
3) Hukum Islam mempunyai istilah kunci, yaitu (a) syariah, dan

(b) fikih. Syariah bersumber dari wahyu Allah dan sunnah

Nabi Muhammad saw. Dan fikih adalah hasil pemahaman

manusia bersumber nash-nash yang bersifat umum.

4) Hukum Islam terdiri atas dua bidang utama, yaitu (1) hukum

ibadah, dan (2) hukum muamalah dalam arti yang luas. Hukum

ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna dan hukum

muamalah dalam arti luas telah terbuka untuk dikembangkan

oleh manusia yang memenuhi syarat untuk itu dari masa ke

masa.

5) Hukum Islam mempunyai struktur yang berlapis-lapis seperti

dalam bentuk bagan tangga bertingkat. Dalil Alquran yang

menjadi hukum dasar dan mendasari sunnah Nabi Muhammad

SAW, dan lapisan-lapisan seterusnya ke bawah.

6) Hukum Islam mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari

pahala.

7) Hukum Islam dapat dibagi menjadi: (1) hukum taklifi atau

hukum taklif, yaitu Al-Ahkam Al-Khamsah yang terdiri atas

lima kaidah jenis hukum, lima penggolongan hukum, yaitu

jaiz, sunnah, makhruh, wajib dan haram, dan (2) hukum


wadh’I, yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat,

halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum7.

Dari ciri-ciri hukum Islam diatas dapat ditarik satu pengertian bahwa

hukum Islam tidak lepas hubungan antara Allah SWT dengan manusia dalam

kehidupan sehari-hari.

d. Pengertian Hukum Pidana Islam

Dalam Islam, hukum pidana disebut “jinayat” sedangkan dalam

perbuatan-perbuatan pidana disebut “jarimah”. Jinayat menurut bahasa Arab

adalah bentuk kata jamak jinayah, yang artinya kesalahan, dosa, kriminil

atau perbuatan dosa, dan yang memperbuat disebut Jani8.

Sedangkan kata jarimah adalah bentuk kata jamak, yang mufrad-nya

adalah Jurmun dari kalimat isim, jarama dari kalimat fi’il, yang artinya,

berbuat dosa, durhaka9. Untuk lebih jelas Zainudin Ali mendefinisikan

hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh

Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau

perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang

dapat dibebani kewajiban dalam hukum), sebagai hasil dari pemahaman atas

dalil-dalil hukum yang terperinci dari AlQur’an dan hadis. Tindakan

7
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 22-23
8
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggaraan
Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 92
9
Ibid, hal. 87
kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu

ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan

yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis10.

Jadi hukum pidana Islam adalah peraturan hukum mengenai

perbuatan pidana yang melawan peraturan yang terdapat dalam nash-nash Al

Quran dan hadis. Dalam hukum pidana Islam hukuman ada dua yaitu dunia

dan akhirat salah satunya di dalam Al Quran dan al hadis hukuman zina

adalah cambuk atau rajam hal tersebut dapat dijatuhkan di dunia sedangkan

di akhirat melalui perhitungan dosa karena zina dapat menyebabkan dosa.

Dalam penerapan hukum pidana Islam harus memenuhi unsur-

unsurnya agar dapat diterapkan meliputi :

1) Unsur formil adalah setiap perbuatan tidak dianggap melawan

hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali ada

undang-undang mengaturnya.

2) Unsur materiel adalah adanya tingkah laku seseorang yang

membentuk jarimah, baik dengan sikap perbuatan maupun

sikap tidak berbuat.

3) Unsur moril adalah pelaku jarimah adalah orang yang

dimintai pertanggung jawaban pidana terhadap yang

10
Zainuddin Ali, Op.cit, hal. 1
dilakukannya. Dimana orang yang dapat dimintai

pertanggungjawaban harus memenuhi syarat sebagai

mukallaf11.

e. Asas-asas Hukum Pidana Islam

Dalam hukum pidana Islam terdapat asas-asasnya yang merupakan

prinsip untuk menguatkan suatu keterangan. Asas hukum pidana, misalnya,

adalah tolok ukur dalam pelaksanaan hukum pidana12. Asas-asas dalam

hukum pidana Islam meliputi :

1. Asas Legalitas

Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa

tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada

undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan

AlQur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat 15 dan Surah Al-An’aam

(6) ayat 19. hal itu diungkapkan sebagai berikut, yang artinya:

Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah),


maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak
akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”13.

11
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta,
2006, hal. 28
12
Mohammad Daud Ali, Op.cit, 1990, hal. 113
13
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Mekar Surabaya,
Surabaya, 2002, hal. 386
Katakanlah: (Muhammad) “Siapakah yang lebih kuat
persaksiannya?” katakanlah: “Allah. Dia menjadi saksi antara
aku dan kamu. Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku
supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai AlQur’an (kepadanya).
Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan
yang lain disamping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak
mengakui”. Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan
Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa
yang kamu persekutukan (dengan Allah)”14.

Kedua ayat yang diungkapkan dia atas, mengandung

makna bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi

Muhammad supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan

dan ancaman hukuman) kepadamu. Asas legalitas ini telah ada

dalam hukum Islam sejak Al-Qur’an diturunkan oleh Allah

SWT kepada Nabi Muhammad SAW15.

Dalam Hukum Pidana Islam terdapat dua ayat yang

menunjukkan asas legalitas, dalam surat Al Israa’. ayat 15 yang

menunjukkan asas legalitas dapat diambil intinya yaitu : “Kami

tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

Dari ayat-ayat Al Quran yang menunjukkan asas

legalitas di atas para Fuqoha yaitu para ahli hukum Islam,

14
Ibid, hal. 174
15
Zainuddin Ali, Op.cit, hal 5-6
menjabarkan beberapa kaidah-kaidah fiqhiyyah yang

diantaranya :

a) Hukum asal dari segala perbuatan adalah diperbolehkan

hingga ada suatu dalil yang membedakannya. Maksud

kaidah diatas ialah, bahwa pada dasarnya setiap

perbuatan itu boleh atau bebas untuk dilakukan dan

pelakunya tidak dimintai pertanggungjawaban,

sehingga ada atau lahir suatu aturan hukum yang

menentukan lain (larangan/mengharuskan).

b) Perbuatan orang berakal tidak ada hukum apapun

terhadapnya sebelum ada nash (aturan) yang

menentukan terhadapnya ini mengandung arti, bahwa

setiap perbuatan mukallaf (yaitu orang yang dapat

dibebani suatu tanggung jawab hukum), tidak dapat

dituntut sebagai perbuatan pidana kecuali sebelumnya

sudah ada nash (aturan hukum) yang menentukan

perbuatan tersebut sehingga menjadi perbuatan pidana.

c) Tidak ada suatu perbuatan boleh dianggap sebagai

jarimah (tindak pidana), dan tidak pula suatu hukuman

(pidana) yang boleh dijatuhkan kepada pelakunya


kecuali sebelum ada nash (aturan hukum) yang

menentukan demikian16.

Hukum pidana Islam, ketentuan hukum biasa disebut

dengan nash, yang mencakup hukum tertulis yaitu Al Quran,

Al Hadis, Al Qonun/perundang-undangan yang dibuat oleh

penguasa, dan termasuk hukum tidak tertulis yaitu prinsip

pokok yang disyariatkan yang bertujuan mencegah

kerusakan17.

2. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain

Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap


perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun
perbuatan yang jahat akan mendapatkan imbalan yang
setimpal. Asas ini terdapat di dalam berbagai surah dan
ayat di dalam Al-Qur’an: Aurat Al-An’aam ayat 165.
Surah Al Faathir ayat 18 Surah Az-Zumar ayat 7, Surat
An-Najm ayat 38, Surah Al-Muddatstsir ayat 38.
sebagai contoh pada ayat 38 Surah Al-Muddatstsir
Allah menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada
apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan
memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang
lain18.

16
Tongat, Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang,
2009, hal. 61
17
Ibid, hal. 62
18
Zainuddin Ali, Op.cit, hal. 6
3. Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari


bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu
kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim
dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan
dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi sumber asas legalitas
dan asas larangan memindahkan kesalahan pada orang
lain yang telah disebutkan19.

f. Sumber Hukum Pidana Islam

Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan

yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang

kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata20. Zainuddin

Ali menyebutkan membicarakan sumber hukum pidana Islam bertujuan

untuk memahami ajaran agama Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan

manusia yang harus ditaatinya21. Jadi sumber hukum pidana Islam sama

dengan sumber hukum Islam yang meliputi :

1) Al Quran

Al Quran adalah wahyu dari Allah SW'I', yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan

malaikat Jibril AS. Secara garis besar hukum dalam Al Quran

dibagi menjadi dua macam, yaitu pertama mengenai hukum-

19
Ibid, hal. 7
20
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989, hal. 46
21
Zainuddin Ali, Op.cit, hal. 15
hukum yang berhubungan dengan kepercayaan dan peribadatan

kepada Allah SWT (Ibadah). Kedua mengenai hukum yang

berhubungan, masyarakat dan hubungan antar sesama

masyarakat/perdata (muamalah) (70 ayat), seperti pidana

(jinayat) (30 ayat), tata negara (10 ayat), hubungan

kekeluargaan22.

Segala sesuatu baik yang telah terjadi maupun yang

belum terjadi sudah ada hukumnya dalam Al Quran, sesuai

dengan firman Allah dalam Al Quran surat Al-An ‘am ayat 38

yang artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di

dalam Kitab…”23.

Dalam surat An Nahl ayat 89 juga dijelaskan, yang

artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan

pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka

sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi

atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al

Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan

petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang

yang berserah diri (muslim)”24.

22
Muhammad Daud Ali, Op.cit, 1999, hal. 80
23
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit, hal. 177
24
Ibid, hal. 377
2) Hadist

Sunnah atau hadist ialah ucapan (sunnah qauliyah),

perbuatan (sunnah fi’liyah) atau penetapan (sunnah taqririyah)

dari Nabi Muhammad SAW25. Hadist merupakan sumber

hukum Islam kedua setelah A1 Quran. Adapun fungsinya

adalah sebagai berikut :

a) Menguatkan hukum yang telah disebutkan

dalam Al Quran.

b) Menafsirkan ketentuan-ketentuan Al Quran

yang belum jelas.

c) Menetapkan hukum yang belum ada dalam Al

Quran.

Kedudukan Sunnah atau Hadist sebagai sumber ajaran

Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al Quran

dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para

sahabat, yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan

tentang wajib mengikuti Hadist, baik pada masa Rasulullah

masih hidup maupun setelah beliau meninggal26

25
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hal. 58
26
Abuddin Nata, Sejarah Perkembangan dan Pendidikan Islam di Indonesia, Gramedia,
jakarta, 2001, hal. 72
Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk

mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, seperti yang

dijelaskan dalam Al Quran, yang artinya “Hai orang-orang

yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah

penguasa dari kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu

maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul”27.

3) Ar-Ra’yu

Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam

yang ketiga. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam

menginterpretasi ayat-ayat Al Quran dan sunnah/hadis yang

bersifat umum28. dimana akal pikir tersebut harus memenuhi

syarat untuk berijtihad, dimana metode ijtihad meliputi ijmak,

qiyas, istidal, al-masalih al mursalah, istihsan, istihab, dan

urf29. keterangannya sebagai berikut :

a) Ijma

Ijma’ adalah kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin pada

suatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa Nabi

Muhammad saw.

27
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit, hal. 114
28
Zainuddin Ali, Op.cit, hal. 16
29
Mohammad Daud Ali, Op.cit, 1999,hal. 72
b) Qiyas

Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu perkara yang

belum ada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang

sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan ketentuan

hukum dimaksud didasari oleh adanya unsur-unsur

kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan

yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut illat.

c) Istihsan

Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa dari

hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan

memberikan kepadanya hukum yang lain yang sejenisnya.

Pengecualian dimaksud dilakukan karena ada dasar yang

kuat. Sebagai contoh, wanita itu sejak dari kepalanya

sampai kakinya aurat. Kemudian diberikan oleh Allah dan

Rasul keizinan kepada manusia melihat beberapa bagian

badannya bila dianggap perlu.

d) Mashlahat Mursalah

Mashlahat Mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan

kemaslahatan (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada

ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum maupun

ketentuan khusus. Sebagai contoh mendahulukan

kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan golongan.


e) Urf

Urf adalah kebiasaan yang sudah turun-temurun tetapi

tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh

jual beli dengan jalan serah terima, tanpa mengucapkan

ijab-qabul30.

f) Istishab

Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut

keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang

mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan

istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang

telah ada karena belum ada ketentuan lain yang

membatalkannya.

g) Istidal

Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang

berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat

dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam31.

30
Zainuddin Ali, Op.cit, hal. 16-17
31
Mohammad Daud Ali, Op.cit, 1999,hal. 110
g. Jenis Hukuman Pidana Islam

Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum

pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukum yang pasti

mengenai berat ringannya hukuman termasuk qishash dan diat yang

tercantum di dalam Al-Qur’an dan hadis. Hal dimaksud disebut hudud, (b)

ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut

hukuman ta’zir. Hukum public dalam ajaran Islam adalah jinayah yang

memuat aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukumannya

ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya.

2. Tinjauan Terhadap Hukum Pidana Indonesia

a. Pengertian Hukum Pidana

Dalam hukum pidana di Indonesia tidak terlepas dari pemikiran barat

sesuai sejarahnya yang pernah dijajah oleh bangsa barat seperti Belanda.

Hukum pidana (pidana = hukuman), yaitu hukum yang mengatur perbuatan-

perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang

melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-

perkara ke muka pengadilan32.

pengertian hukum pidana dari para sarjana berbeda-beda. Berikut ini

beberapa pendapat para sarjana mengenai hukum pidana :

32
C.S.T. Kansil, Op.cit, hal. 76
1) Lemaire

Hukum Pidana adalah bahwa hukum pidana terdiri dari

norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-

larangan yang dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman

yakni penderitaan yang bersifat khusus33.

2) Moljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum

yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar

dan aturan untuk :

a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak

boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai

ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

barangsiapa melanggar larangan tersebut.

b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada

mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu

dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

telah diancamkan.

33
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana , P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.2
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana

itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka

telah melanggar tersebut34.

Jadi pengertian hukum pidana adalah keseluruhan hukum yang

mengatur tindak pidana yang diancam sanksi pidana bagi yang

melakukannya dan mengatur tata cara seseorang dapat dijatuhi pidana.

b. Sumber-sumber Hukum Pidana di Indonesia

Sumber hukum pidana di Indonesia terdiri dua macam bentuknya,

dimana dalam sumber hukum tersebut ditemukan aturan hukum pidana

yaitu:

1) Hukum pidana tertulis, hukum pidana tertulis ini adalah :

a) KUHP yang merupakan induk peraturan hukum pidana

positif yang dikodifikasi,

b) Undang-undang diluar KUHP yang memuat sanksi

pidana, antara lain Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana

Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun

2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

34
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 1
2) hukum pidana tidak tertulis, yang dimaksud hukum pidana

tidak tertulis ini adalah hukum pidana adat yang merupakan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Bahwa dalam

masyarakat tidak dapat dipungkiri adanya suatu aturan yang

ditaati oleh masyarakat tertentu dalam bentuk aturan yang tidak

tertulis. Hukum tidak tertulis itu juga harus dijadikan dasar

patut tidaknya suatu perbuatan patut dipidana atau tidak, hal ini

dikuatkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 1/Drt/

Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) sub b, yang pada pokoknya

hukum yang hidup dalam masyarakat dapat dijadikan hakim

untuk mengambil putusan, selanjutnya dalam Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat (1) juga menyatakan :

hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat.

3. Tinjauan Terhadap Asas Retroaktif

a. Pengertian asas retroaktif

Asas Retroaktif adalah suatu asas hukum dapat diberlakukan surut.

Artinya hukum yang baru dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana

yang terjadi pada masa lalu sepanjang hukum tersebut mengatur perbuatan
tersebut, misal ada pelanggaran HAM berat. penerapan asas retroaktif dari

sisi pengetahuan hukum, pemberlakuan asas retroaktif dapat dipahami

sepanjang diberlakukan secara rigid dan darurat limitatif sifatnya, artinya

apabila negara dalam keadaan darurat (abnormal) dengan prinsip-prinsip

hukum darurat (abnormal recht), karena itu penempatan asas ini hanya

bersifat temporer dan dalam wilayah hukum yang amat limit, dengan tetap

memerhatikan prinsip-prinsip hukum universal sehingga tidak

terkontaminasi unsur-unsur yang dapat di kategorikan abuse of power.35

Menurut Suparman Marzuki bahwa suatu peraturan perundang-

undangan mengandung asas retroaktif jika:

1. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan

yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan

yang dapat dipidana.

2. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman

atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12

Ayat 2 Deklarasi Universal HAM).

Asas tersebut bisa mengakibatkan seseorang dapat dipidana dengan

alasan melakukan atau tidak melakukan suatu yang tidak diperhitungkan

atau tidak diketahui akan membawanya pada pertanggungjawaban pidana.

35
Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Imunity, Erlangga,
Jakarta, 2012, hal. 57
Pendukung asas ini mendasarkan diri pada asas ignorantia juris neminem

excusat (ketidaktahuan hukum tidak membebaskan apa pun)36

36
Ibid, hal. 58

Anda mungkin juga menyukai