Anda di halaman 1dari 13

HASIL KONTRAK BELAJAR

HIPERBILIRUBINEMIA

DISUSUN OLEH
EKO MARDIYANINGSIH
G6B203013

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2003
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ikterus pada bulan pertama kehidupan sering dijumpai pada neonatus. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi bilirubin dalam serum yang menyebabkan
warna kuning pada sebagian besar kulit bayi.
Pada neonatus produksi bilirubin dapat dua kali lipat orang dewasa, sebagai akibat
dari masa hidup eritrosit yang lebih pendek, proses erotropoesis yang belum efektif dan
fungsi hepar yang belum sepenuhnya efisien. Dapat ditemukan pula adanya ikterus
akibat pemberian ASI pada bayi yang mekanismenya belum diketahui secara jelas,
meskipun diduga akibat inhibisi eksresi bilirubin oleh asam lemak dan beberapa
prostaglandin yang terkandung dalam ASI.
Kejadian ikterus akibat hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir di RSCM adalah
32,19% dan 62,53% mengalami ikterus fisiologik dengan peningkatan kadar bilirubin
yang tidak begitu tinggi.
Kadar bilirubin serum yang tinggi dan terus meningkat dapat menyebabkan
kernikterus pada bayi yang mengakibatkan bayi mengalami kejang, lethargi dan bisa
berakhir dengan kematian. Atas dasar kenyataan tersebut, penulis tertarik untuk
mengetahui penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir melalui kontrak
belajar.

B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan kontrak belajar, penulis mampu melakukan perawatan
pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu memahami pengertian hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
b. Mampu memahami penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
c. Mampu memahami patofisiologi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
d. Mampu memahami penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
e. Mampu memahami penggunaan fototerapi pada bayi dengan hiperbilirubinemia.
f. Mampu melakukan perawatan pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia
yang menjalani fototerapi.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN HIPERBILIRUBINEMIA
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kernikterus jika
tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat
peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada corpus striatum, thalamus,
nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan nukleus pada dasar ventrikulus ke-4.
Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10 mg / dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg /
dl pada bayi kurang bulan. (Wiknjosastro, 1994; Ngastiyah, 1997).

B. ETIOLOGI HIPERBILIRUBINEMIA
1. Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, dll.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi bilirubin akibat imaturitas hepar,
kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat
asidosis, hipoksia atau infeksi.
3. Gangguan dalam transportasi bilirubin, misalnya akibat defisiensi albumin.
4. Gangguan dalam ekskresi kartena obstruksi dalam hepar maupun di luar hepar.
(Wiknjosastro, 1994; Ngastiyah, 1997).

C. PATOFISIOLOGI HIPERBILIRUBINEMIA
Ikterus pada bayi baru lahir disebabkan oleh stadium maturasi fungsional
(fisiologis) atau manifestasi suatu penyakit (patologik). Tujuh puluh lima persen (75%)
bilirubin bayi berasal dari penghancuran hemoglobin dan 25% sisanya dari mioglobin,
sitokrom, katalase dan triptofan pirolase. Satu gram eritrosit yang hancur menghasilkan
35 mg bilirubin. Bayi yang cukup bulan, menghancurkan eritrosit sebanyak 1 gram /
hari dan menghasilkan bilirubin dalam bentuk indirect yang terikat dengan albumin
bebas (1 gram albumin dapat mengikat 16 mg biliribin). Bilirubin indirect larut dalam
lemak dan bila menembus sawar darah otak akan menimbulkan kernikterus. Yang
memudahkan terjadinya hal tersebut antara lain imaturitas, asfiksia / hipoksia, trauma
lahir, BBLR (<2500 gram), infeksi, hipoglikemia hiperkarbia, dll.
Dalam hepar, bilirubin indirect akan diikat oleh enzim glukoronil transferse dan
diubah menjadi bilirubin direct yang larut dalam air, kemuadian dieksresikan ke sistem

3
empedu, selanjutnya masuk ke dalam usus dan menjadi sterkobilin, sebagian diserap
kembali dan keluar melalui urine sebagai urobilinogen.
Pada bayi baru lahir, bilirubin direct diubah menjadi bilrubin indirect di dalam usus,
karena di sini terdapat beta glukoronidase yang berperan penting terhadap perubahan
tersebut. Bilirubin indirect ini diserap kembali oleh usus dan selanjutnya masuk lagi ke
hati. (Ngastiyah, 1997; American Family Physician, 2002).

D. TANDA DAN GEJALA HIPERBILIRUBINEMIA


Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta membran mukosa.
Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi lahir disebabkan oleh penyakit
hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan infeksi. Jaundice yang tampak pada hari
ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-3 sampaike-4 serta menurun pada
hari ke-5 sapai hari ke-7 biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia, fatique, warna
urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas), kejang, tak mau menetek, tonus
otot meninggi dan akhirnya opistotonus. (Constance & Thomas, 2003; Rita & Suriadi,
2001; Ngastiyah, 1997).

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA HIPERBILIRUBINEMIA


1. Tes Comb pada tali pusat bayi baru lahir
Hasil positif dari test Comb indirect menunjukkan adanya antibodi Rh positif, anti-
A, atau anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Comb direct menandakan
adanya sensitisitas (Rh positif, anti-A, atau anti-B) sel darah merah dari neonatus.
2. Golongan darah bayi dan ibu
Mengidentifikasi adanya inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin serum
Kadar bilirubin direct (terkonjugasi) bermakna bila melebihi 1,0-1,5 mg/dl. Kadar
bilirubin indirect (tak terkonjugasi) tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi
preterm atau 15 mg/dl pada bayi aterm dan peningkatannya tidak boleh lebih dari 5
mg/dl dalam 24 jam.
4. Protein serum total
Kadar di bawah 3,0 g/dl menandakan penurunan kapasitas pengikatan bilirubin,
terutama pada bayi preterm.
5. Kadar hemoglobin dan hematokrit
Hb mungkin menurun (<14 mg/dl) pada hemolisis. Ht mungkin meningkat (>65%)
pada polisitemia. (Ngastiyah, 1997; University of Utah, 2003).

4
F. PENATALAKSANAAN HIPERBILIRUBINEMIA
1. Fototerapi
Dilakukan jika telah ditegakkan adanya hiperbilirubinemia patologis. Fototerapi
bertujuan menurunkan kadar bilirubin pada kulit dengan proses oksidasi foto
(cahaya) yang selanjutnya diekskresikan melalui urine dan tinja. Foto terapi
menggunakan cahaya biru yang memiliki panjang gelombang tepat untuk
fotoaktivasi bilirubin bebas dan menimbulkan reaksi fotokimia pada kulit
(fotoisomerisasi) yang mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi fotobilirubin
yang dapat diekskresikan ke dalam empedu tanpa perlu konjugasi.
2. Fenobarbital
Berfungsi meningkatkan sintesis hepatik glucoronil transferase yang berperan dalam
proses konjugasi bilirubin, sehingga bilirubin mudah diekskresikan ke dalam
empedu. Fenobarbital sering tidak dianjurkan.
3. Transfusi tukar
Apabila kadar bilirubin tidak turun dengan fototerapi, transfusi tukar dapta
dipertimbangkan dengan tujuan mengganti eritrosit, membuang antibodi yang
menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar bilrubin dan memperbaiki anemia.
(University of Utah, 2003; American Family Physician, 2002; Ngastiyah, 1997).

G. PERAWATAN BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA


1. Mencegah terjadinya kernicterus
a. Monitor tanda-tanda hiperbilirubin
b. Monitor kadar bilirubin tiap 24 jam sesuai program
c. Monitor kadar Hb dan Ht
d. Lakukan fototerapi sesuai program
e. Berikan fenobarbital sesuai program
f. Antisipasi kebutuhan transfusi tukar
2. Mencegah terjadinya defisit volume cairan (pada fototerapi)
a. Pertahankan intake cairan (berikan minum sesuai kebutuhan)
b. Berikan atau pertahankan cairan parenteral (infus cairan) sesuai indikasi dan
program.
c. Monitor intake dan output
d. Monitor tanda-tanda defisit volume cairan.
3. Mencegah terjadinya gangguan integritas jaringan (pada fototerapi)
a. Gunakan pelindung mata dan genital
b. Gunakan pengalas yang lembut

5
c. Jaga kebersihan dan kelembaban kulit
d. Gunakan sabun bayi untuk membersihkan tubuh bayi (mandi)
e. Monitor kondisi kulit
4. Mengurangi cemas pada orang tua
a. Pertahankan kontak orang tua dengan bayi
b. Jelaskan kondisi bayi, perawatan dan pengobatannya
c. Beri kesempatan orang tua untuk express feeling
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bayi
5. Discharge planning
a. Pendidikan kesehatan pada orang tua tentang pencegahan infeksi pada
hiperbilirubinemia
b. Pendidikan kesehatan pada orang tua tentang pemberian ASI pada
hiperbilirubinemia
c. Pendidikan kesehatan pada orang tua tentang komplikasi hiperbilirubinemia dan
pencegahannya.
(Rita & Suriadi, 2001).

6
BAB III
RESUME

A. STUDI KASUS
Bayi Ny. P, umur 10 hari dirawat di PBRT sejak 27-9-2003 karena asfiksia
sedang. Dari hasil pengkajian didapatkan bayi Ny P lahir tanggal 27-9-2003 aterm
dengan riwayat persalinan lama, waktu lahir AS : 4-7-8, BB: 3500 gram, PB: 45 cm,
kepala mesochepal, LK: 44 cm, UUB datar, konjungtiva dan palpebra tak anemis,
sklera ikterik, LD: 42 cm, RR: 66 x/menit, abdomen kenyal, hati dan limpa tak
teraba, capillary refill <3”, ikterik pada wajah, dada, perut dan ekstermitas, bayi
kurang aktif, menangis kurang kuat. Hasil laboratorium: Protein total 3,7 mg/dl,
albumin 1,9 mg/dl, globulin 1,8 mg/dl, SGOT 98 mg/dl, SGPT 76 mg/dl, Hb 11
gr/dl, Ht 34,5%, bilirubin indirect 15,1 mg/dl, bilirubin direct 6,25 mg/dl.
Pengobatan yang dilakukan: infus D5% 480/24 jam-20cc/jam-2 tetes/menit,
O2 40% headbox, luminal 3x 8 mg, Questran 3 x 0,5 sachet, pamol 50 mg jika
perlu, fototerapi 24 jam, diet SGM 1 12 x 40 cc.
Diagnosa keperawatan yang muncul: resiko tinggi kernicterus bd.
hiperbilirubinemia, resiko tinggi kerusakan integritas kulit bd. akumulasi bilirubin
indirect di subcutan, dan resiko tinggi cidera jaringan bd. fototerapi. Intervensi
keperawatan yang diberikan antara lain: melaksanakan fototerapi sesuai program,
menutup mata dan genital bayi saat fototerapi, monitoring tanda-tanda
hiperbilirubinemia, monitoring kadar bilirubin serum, monitoring tanda vital bayi,
memberikan fenobarbital dan obat lain sesuai program, menjaga kebersihan dan
kelembaban kulit bayi.
Setelah perawatan selama 6 hari, bayi Ny P tidak mengalami kernicterus,
gangguan integritas kulit, dan kerusakan integritas jaringan akibat fototerapi.

B. DISKUSI DENGAN EKSPERT


Menurut ekspert 1 (Residen Anak) dan ekspert 2 (Perawat Anak), fototerapi
diberikan pada bayi yang mengalami hiperbilirubinemia, yaitu jika kadar bilirubin
indirect lebih dari 20 mg/dl pada bayi preterm atau 15 mg/dl pada bayi aterm atau
jika kadar bilirubin indirect meningkat lebih dari 5 mg/dl tiap 24 jam. Fototerapi
dilakukan untuk membantu mengubah bilirubin indirect menjadi bilirubin direct
melalui proses fotoisomerisasi. Sebelum fototerapi harus dipersiapkan kondisi bayi,
yaitu tidak dalam keadaan demam, status nutrisi dan hidrasi cukup baik. Selama
fototerapi harus dipantau suhu badan bayi, jangan sampai terjadi hipertermia dan

7
status hidrasi bayi, jangan sampai terjadi dehidrasi. Jika terjadi kenaikan suhu lebih
dari 37,5 oC sebaiknya fototerapi dihentikan sementara dan jika suhu telah normal
bisa dilanjutkan kembali. Selain dengan fototerapi juga diberikan fenobarbital untuk
meningkatkan ikatan bilirubin dengan hepatosit hati. Hiperbilirubinemia dapat
disebabkan oleh beberapa etiologi. Jika kadar bilirubin direct yang meningkat,
penyebabnya dapat obstruksi bilier. Jika bilirubin indirect yang meningkat, dapat
disebabkan oleh gangguan fungsi hati yang mengganggu konjugasi bilirubin
indirect.

C. WAWANCARA DENGAN KELUARGA (IBU BAYI)


Ny P menyatakan bayinya ketika lahir sempat macet lama dan begitu lahir
tidak langsung menangis lalu dirawat di PBRT. Mulai hari ke-5 perawatan, bayinya
nampak kekuningan kulitnya dan oleh dokter dan perawat dilakukan penyinaran
dengan sinar biru selama sehari, kemudian dicek darahnya dan disinar lagi sampai
beberapa kali. Ny P menyatakan bahwa ASI belum lancar keluar meskipun sudah
dilakukan perawatan payudara post partum, sehingga bayinya sementara diberikan
susu formula. Oleh perawat, Ny P dianjurkan menunda menyusui, menunggu
kuningnya menghilang terlebih dahulu.

D. PERMASALAHAN
1. Bagaimana pengaruh fototerapi terhadap bayi ?
2. Apakah ASI dapat tetap diberikan pada bayi dengan hiperbilirubinemia ?

8
BAB IV
PEMBAHASAN

A. PENGARUH FOTOTERAPI TERHADAP BAYI


Fototerapi bertujuan menurunkan kadar bilirubin pada kulit dengan proses
oksidasi foto (cahaya), yaitu melalui pembentukan fotoisomer bilirubin indirect,
sehingga larut dalam air dan mudah ditransportasi yang selanjutnya diekskresikan
melalui urine dan tinja.
Fototerapi dikontraindikasikan pada kondisi obstruksi usus karena fotoisomer
bilirubin yang terbentuk pada jaringan cutan dan subcutan akibat pemajanan terhadap
cahaya biru tidak dapat diekskresikan. Oleh karena itu pemantauan terhadap
kemampuan bayi dalam hal buang air besar dan bising usus secara periodik perlu
dilakukan selama pemberian fototerapi. Hal ini untuk memastikan ada tidaknya
obstruksi usus. Berdasarkan hasil studi kasus yang dilakukan, pemantauan terhadap
bising usus dan kemampuan bayi dalam BAB telah rutin dilakukan dengan rentang
antara 6-8 jam sekali. Pemantauan ini dilakukan oleh dokter, meskipun sebenarnya
perawat bisa lebih berperan dalam hal tersebut.
Cahaya biru lebih dipilih daripada cahaya putih karena panjang gelombangnya
mempunyai penetrasi yang lebih baik pada kulit dan sub cutan, sehingga lebih efektif
dalam meningkatkan pemecahan bilirubin. Kekurangan dari penggunaan sinar biru ini
adalah kesulitan dalam mengevaluasi bayi baru lahir terhadap tanda-tanda sianosis.
Intensitas sinar biru yang diberikan perlu diukur dengan fotometer sebelum pemberian
fototerapi, hal ini berkaitan penentuan jarak lampu dengan bayi. Pada studi kasus, hal
ini tidak dilakukan karena tidak tersedianya fotometer, sehingga jarak antara sumber
cahaya dengan bayi tidak dapat ditentukan berdasarkan intensitas cahaya.
Emisi sinar yang diberikan dapat berkurang dengan berjalannya waktu, sehingga
untuk keuntungan maksimal, bayi biasanya ditempatkan antara 18 sampai 20 inchi dari
sumber cahaya. Untuk itu perlu diberikan penutup khusus pada bagian tubuh bayi yang
sensitif seperti mata dan genital. Hal ini untuk mencegah kemungkinan kerusakan
retina, konjungtiva dan jaringan genital akibat pemajanan terhadap sinar intensitas
tinggi. Fluktuasi suhu tubuh bayi dapat terjadi sebagai respon terhadap radiasi dan
konveksi panas dari sumber cahaya. Pemantauan terhadap ketepatan pemasangan
pelindung mata dan genital perlu dilakukan secara perodik, untuk mengantisipasi
kemungkinan pergeseran atau pemasangan yang tidak tepat, sehingga iritasi atau abrasi
kornea, konjungtivitis dan kerusakan retina dapat dicegah. Demikian pula dengan
monitoring suhu tubuh bayi, sebaiknya secara periodik dilakukan (tiap 2 jam) untuk

9
mencegah bayi dari bahaya hipertermi. Pada studi kasus, penggunaan pelindung pada
mata dan genital bayi telah dilakukan, meskipun tidak dengan pelindung yang
seharusnya (buatan pabrik yang dirancang khusus). Pelindung yang digunakan berupa
kasa yang bagian tengahnya diberi kertas karbon dengan ukuran yang disesuaikan
dengan ukuran mata dan genital bayi. Kertas karbon berfungsi menyerap sinar, sehingga
tidak tembus sampai ke mata dan genital bayi. Persiapan pelindung dan pemasangan
pelindung sepenuhnya dilakukan oleh perawat secara mandiri. Pemantauan terhadap
ketepatan pemasangan pelindung juga telah dilakukan oleh perawat tiap 2 jam sekali
bersamaan dengan jadwal pemberian minum bayi. Sedangkan monitoring suhu tubuh
bayi telah dilakukan secara periodik pula, meskipun dengan rentang waktu yang lebih
panjang (tidak tiap 2 jam), yaitu tiap 6-8 jam sekali.
Untuk memungkinkan pemajanan sinar yang lebih merata pada seluruh kulit bayi
dan untuk mencegah pemajanan yang berlebihan pada bagian tubuh tertentu serta
membatasi area tertekan perlu dilakukan perubahan posisi bayi tiap 2 jam. Pada studi
kasus, hal ini belum dilakukan. Bayi biasanya tetap dalam posisi telentang pada saat
fototerapi, tidak dilakukan alih baring. Hal ini dikarenakan terpasangnya infus dan atau
pemberian O2 pada bayi yang rentan terhadap pergerakan atau perubahan posisi,
disamping kondisi bayi yang belum memungkinkan untuk diposisikan tengkurap atau
miring.
Bayi yang mendapat fototerapi mengalami peningkatan kehilangan cairan tubuh
melalui evaporasi dan feses, sehingga rentan terhadap dehidrasi. Pemantauan terhadap
status hidrasi yang meliputi turgor kulit, kecekungan ubun-ubun dan produksi urine
bayi mutlak harus dilakukan tiap 2 jam untuk deteksi dini tanda-tanda dehidrasi. Selain
itu pemberian cairan oral maupun parenteral harus tetap dipertahankan dan disesuaikan
dengan peningkatan output cairan yang terjadi. Pada studi kasus, pemantauan status
hidrasi telah dilakukan dengan baik oleh perawat tiap 2 jam. Pemberian cairan oral juga
tetap dilakukan tiap 2 jam sekali. Pemberian infus cairan juga tetap diberikan sesuai
program.

B. ASI DAPAT DIBERIKAN PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA


Ikterus neonatorum dapat pula disebabkan karena pemberian ASI, yaitu akibat
inhibisi proses konjugasi bilirubin oleh pregnandiol yang terkandung dalam ASI.
Namun pemberian ASI tetap diperlukan bayi untuk memperlancar buang air besar atau
pengeluaran feses yang mengandung bilirubin (dalam bentuk urobilin dan sterkonilin),
sehingga membantu proses ekskresi bilirubin yang mempercepat penurunan kadar
bilirubin serum. Penundaan pemberian ASI dilakukan jika benar-benar didapatkan bukti

10
bahwa jaundice pada bayi makin bertambah dengan pemberian ASI, jika tidak maka
pemberian ASI tetap dilakukan tanpa menunggu hilangnya ikterik / jaundice pada kulit
dan sklera bayi. Penundaan pemberian ASI juga dilakukan jika bayi belum
mengeluarkan mekoneum untuk mencegah terjadinya distensi perut.
Anjuran penundaan pemberian ASI pada studi kasus tidak sepenuhnya beralasan,
karena tidak didapatkan bukti bahwa jaundice pada bayi makin bertambah dengan
pemberian ASI. Bayi juga telah mengeluarkan mekoneum. Penundaan pemberian ASI
justru merugikan ibu karena akan menghambat produksi ASI dan merugikan bayi
karena BAB bayi menjadi kurang lancar, sehingga ekskresi bilirubin tidak maksimal.

11
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hiperbilirubinemia adalah suatu kondisi dimana kadar bilirubin serum 15-20 mg/dl
yang ditemukan pada bayi baru lahir. Secara klinis, bayi tampak kuning yang biasanya
dimulai dari wajah, badan kemudian anggota gerak atas dan bawah. Bayi menjadi
kurang aktif dan malas menghisap.
Untuk menurunkan kadar bilirubin indirect yang tertimbun di cutan dan subcutan
dilakukan fototerapi dengan cahaya biru yang akan menyebabkan proses isomerisasi,
sehingga bilirubin indirect mudah diekskresikan.
Selama fototerapi perlu dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, status hidrasi,
intake dan output cairan, bising usus, serta kemampuan BAB bayi. Perlu pula
diperhatikan penggunaan pelindung mata dan genital untuk mencegah kerusakan
jaringan mata dan genital akibat pemaparan terhadap cahaya intensitas tinggi.

B. REKOMENDASI
1. Perawat di Ruang PBRT, sebaiknya lebih berperan dalam mengantisipasi
pengaruh fototerapi pada bayi dengan hiperbilirubinemia, terutama dalam hal
monitoring suhu tubuh, status hidrasi, balance cairan, bising usus, kemampuan BAB
bayi dan penggunaan pelindung mata serta genital yang tepat.
2. Perawat di Ruang PBRT, sebaiknya tidak menyarankan penundaan pemberian
ASI pada bayi dengan hiperbilirubinemia jika tidak didapatkan bukti bahwa
jaundice bayi makin bertambah dengan pemberian ASI. Perawat justru perlu
mendorong pemberian ASI pada bayi dengan hiperbilirubinemia sedini mungkin
untuk membantu ekskresi bilirubin.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit, Cetakan I. Jakarta, EGC.


2. Doengoes. (2001). Rencana Keperawatan Maternal dan Neonatal, Edisi 2. Jakarta,
EGC.
3. Sacharine RM. (1992). Prinsip Perawatan Anak, Edisi 3. Jakarta, EGC.
4. Wiknyosastro. (1994). Ilmu Kebidanan, Edisi 3. Jakarta, Yayasan Bina Pustaka.
5. Porter & Dennis. (2002). Hyperbilirubinemia in the Term Newborn, (online). http: //
www.aafp.org/2002 02/5/599.htm/-famphi.
6. Ozden N. (2003). Hyperbilirubinemia, Unconjugated, (online). http: //
www.Emedicine.com/med/tropic-1066.htm.
7. Constance & Thomas. (2003). Highrisk Newborn - Hyperbilirubine and Jaundice,
(online). http: // www.Chkd.org/highrisknewborn/hiperb.lh.asp.
8. University of Utah. (2003). Hyperbilirubinemia and Jaundice, (online). http: //
www.dart month.edu/obyn/inform/patient ed./ICN-Jaundice.html.
9. American Family Physicians. (2002). Approach to the Management of
Hyperbilirubinemia in Term Newborn Infants, (online). http: ///
www.cps.CA./English/Statetement/fn/fn 98-02.htm.

13

Anda mungkin juga menyukai