HIPERBILIRUBINEMIA
DISUSUN OLEH
EKO MARDIYANINGSIH
G6B203013
A. LATAR BELAKANG
Ikterus pada bulan pertama kehidupan sering dijumpai pada neonatus. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi bilirubin dalam serum yang menyebabkan
warna kuning pada sebagian besar kulit bayi.
Pada neonatus produksi bilirubin dapat dua kali lipat orang dewasa, sebagai akibat
dari masa hidup eritrosit yang lebih pendek, proses erotropoesis yang belum efektif dan
fungsi hepar yang belum sepenuhnya efisien. Dapat ditemukan pula adanya ikterus
akibat pemberian ASI pada bayi yang mekanismenya belum diketahui secara jelas,
meskipun diduga akibat inhibisi eksresi bilirubin oleh asam lemak dan beberapa
prostaglandin yang terkandung dalam ASI.
Kejadian ikterus akibat hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir di RSCM adalah
32,19% dan 62,53% mengalami ikterus fisiologik dengan peningkatan kadar bilirubin
yang tidak begitu tinggi.
Kadar bilirubin serum yang tinggi dan terus meningkat dapat menyebabkan
kernikterus pada bayi yang mengakibatkan bayi mengalami kejang, lethargi dan bisa
berakhir dengan kematian. Atas dasar kenyataan tersebut, penulis tertarik untuk
mengetahui penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir melalui kontrak
belajar.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan kontrak belajar, penulis mampu melakukan perawatan
pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia yang menjalani fototerapi.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu memahami pengertian hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
b. Mampu memahami penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
c. Mampu memahami patofisiologi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
d. Mampu memahami penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
e. Mampu memahami penggunaan fototerapi pada bayi dengan hiperbilirubinemia.
f. Mampu melakukan perawatan pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia
yang menjalani fototerapi.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN HIPERBILIRUBINEMIA
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kernikterus jika
tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat
peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada corpus striatum, thalamus,
nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan nukleus pada dasar ventrikulus ke-4.
Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10 mg / dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg /
dl pada bayi kurang bulan. (Wiknjosastro, 1994; Ngastiyah, 1997).
B. ETIOLOGI HIPERBILIRUBINEMIA
1. Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, dll.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi bilirubin akibat imaturitas hepar,
kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat
asidosis, hipoksia atau infeksi.
3. Gangguan dalam transportasi bilirubin, misalnya akibat defisiensi albumin.
4. Gangguan dalam ekskresi kartena obstruksi dalam hepar maupun di luar hepar.
(Wiknjosastro, 1994; Ngastiyah, 1997).
C. PATOFISIOLOGI HIPERBILIRUBINEMIA
Ikterus pada bayi baru lahir disebabkan oleh stadium maturasi fungsional
(fisiologis) atau manifestasi suatu penyakit (patologik). Tujuh puluh lima persen (75%)
bilirubin bayi berasal dari penghancuran hemoglobin dan 25% sisanya dari mioglobin,
sitokrom, katalase dan triptofan pirolase. Satu gram eritrosit yang hancur menghasilkan
35 mg bilirubin. Bayi yang cukup bulan, menghancurkan eritrosit sebanyak 1 gram /
hari dan menghasilkan bilirubin dalam bentuk indirect yang terikat dengan albumin
bebas (1 gram albumin dapat mengikat 16 mg biliribin). Bilirubin indirect larut dalam
lemak dan bila menembus sawar darah otak akan menimbulkan kernikterus. Yang
memudahkan terjadinya hal tersebut antara lain imaturitas, asfiksia / hipoksia, trauma
lahir, BBLR (<2500 gram), infeksi, hipoglikemia hiperkarbia, dll.
Dalam hepar, bilirubin indirect akan diikat oleh enzim glukoronil transferse dan
diubah menjadi bilirubin direct yang larut dalam air, kemuadian dieksresikan ke sistem
3
empedu, selanjutnya masuk ke dalam usus dan menjadi sterkobilin, sebagian diserap
kembali dan keluar melalui urine sebagai urobilinogen.
Pada bayi baru lahir, bilirubin direct diubah menjadi bilrubin indirect di dalam usus,
karena di sini terdapat beta glukoronidase yang berperan penting terhadap perubahan
tersebut. Bilirubin indirect ini diserap kembali oleh usus dan selanjutnya masuk lagi ke
hati. (Ngastiyah, 1997; American Family Physician, 2002).
4
F. PENATALAKSANAAN HIPERBILIRUBINEMIA
1. Fototerapi
Dilakukan jika telah ditegakkan adanya hiperbilirubinemia patologis. Fototerapi
bertujuan menurunkan kadar bilirubin pada kulit dengan proses oksidasi foto
(cahaya) yang selanjutnya diekskresikan melalui urine dan tinja. Foto terapi
menggunakan cahaya biru yang memiliki panjang gelombang tepat untuk
fotoaktivasi bilirubin bebas dan menimbulkan reaksi fotokimia pada kulit
(fotoisomerisasi) yang mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi fotobilirubin
yang dapat diekskresikan ke dalam empedu tanpa perlu konjugasi.
2. Fenobarbital
Berfungsi meningkatkan sintesis hepatik glucoronil transferase yang berperan dalam
proses konjugasi bilirubin, sehingga bilirubin mudah diekskresikan ke dalam
empedu. Fenobarbital sering tidak dianjurkan.
3. Transfusi tukar
Apabila kadar bilirubin tidak turun dengan fototerapi, transfusi tukar dapta
dipertimbangkan dengan tujuan mengganti eritrosit, membuang antibodi yang
menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar bilrubin dan memperbaiki anemia.
(University of Utah, 2003; American Family Physician, 2002; Ngastiyah, 1997).
5
c. Jaga kebersihan dan kelembaban kulit
d. Gunakan sabun bayi untuk membersihkan tubuh bayi (mandi)
e. Monitor kondisi kulit
4. Mengurangi cemas pada orang tua
a. Pertahankan kontak orang tua dengan bayi
b. Jelaskan kondisi bayi, perawatan dan pengobatannya
c. Beri kesempatan orang tua untuk express feeling
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bayi
5. Discharge planning
a. Pendidikan kesehatan pada orang tua tentang pencegahan infeksi pada
hiperbilirubinemia
b. Pendidikan kesehatan pada orang tua tentang pemberian ASI pada
hiperbilirubinemia
c. Pendidikan kesehatan pada orang tua tentang komplikasi hiperbilirubinemia dan
pencegahannya.
(Rita & Suriadi, 2001).
6
BAB III
RESUME
A. STUDI KASUS
Bayi Ny. P, umur 10 hari dirawat di PBRT sejak 27-9-2003 karena asfiksia
sedang. Dari hasil pengkajian didapatkan bayi Ny P lahir tanggal 27-9-2003 aterm
dengan riwayat persalinan lama, waktu lahir AS : 4-7-8, BB: 3500 gram, PB: 45 cm,
kepala mesochepal, LK: 44 cm, UUB datar, konjungtiva dan palpebra tak anemis,
sklera ikterik, LD: 42 cm, RR: 66 x/menit, abdomen kenyal, hati dan limpa tak
teraba, capillary refill <3”, ikterik pada wajah, dada, perut dan ekstermitas, bayi
kurang aktif, menangis kurang kuat. Hasil laboratorium: Protein total 3,7 mg/dl,
albumin 1,9 mg/dl, globulin 1,8 mg/dl, SGOT 98 mg/dl, SGPT 76 mg/dl, Hb 11
gr/dl, Ht 34,5%, bilirubin indirect 15,1 mg/dl, bilirubin direct 6,25 mg/dl.
Pengobatan yang dilakukan: infus D5% 480/24 jam-20cc/jam-2 tetes/menit,
O2 40% headbox, luminal 3x 8 mg, Questran 3 x 0,5 sachet, pamol 50 mg jika
perlu, fototerapi 24 jam, diet SGM 1 12 x 40 cc.
Diagnosa keperawatan yang muncul: resiko tinggi kernicterus bd.
hiperbilirubinemia, resiko tinggi kerusakan integritas kulit bd. akumulasi bilirubin
indirect di subcutan, dan resiko tinggi cidera jaringan bd. fototerapi. Intervensi
keperawatan yang diberikan antara lain: melaksanakan fototerapi sesuai program,
menutup mata dan genital bayi saat fototerapi, monitoring tanda-tanda
hiperbilirubinemia, monitoring kadar bilirubin serum, monitoring tanda vital bayi,
memberikan fenobarbital dan obat lain sesuai program, menjaga kebersihan dan
kelembaban kulit bayi.
Setelah perawatan selama 6 hari, bayi Ny P tidak mengalami kernicterus,
gangguan integritas kulit, dan kerusakan integritas jaringan akibat fototerapi.
7
status hidrasi bayi, jangan sampai terjadi dehidrasi. Jika terjadi kenaikan suhu lebih
dari 37,5 oC sebaiknya fototerapi dihentikan sementara dan jika suhu telah normal
bisa dilanjutkan kembali. Selain dengan fototerapi juga diberikan fenobarbital untuk
meningkatkan ikatan bilirubin dengan hepatosit hati. Hiperbilirubinemia dapat
disebabkan oleh beberapa etiologi. Jika kadar bilirubin direct yang meningkat,
penyebabnya dapat obstruksi bilier. Jika bilirubin indirect yang meningkat, dapat
disebabkan oleh gangguan fungsi hati yang mengganggu konjugasi bilirubin
indirect.
D. PERMASALAHAN
1. Bagaimana pengaruh fototerapi terhadap bayi ?
2. Apakah ASI dapat tetap diberikan pada bayi dengan hiperbilirubinemia ?
8
BAB IV
PEMBAHASAN
9
mencegah bayi dari bahaya hipertermi. Pada studi kasus, penggunaan pelindung pada
mata dan genital bayi telah dilakukan, meskipun tidak dengan pelindung yang
seharusnya (buatan pabrik yang dirancang khusus). Pelindung yang digunakan berupa
kasa yang bagian tengahnya diberi kertas karbon dengan ukuran yang disesuaikan
dengan ukuran mata dan genital bayi. Kertas karbon berfungsi menyerap sinar, sehingga
tidak tembus sampai ke mata dan genital bayi. Persiapan pelindung dan pemasangan
pelindung sepenuhnya dilakukan oleh perawat secara mandiri. Pemantauan terhadap
ketepatan pemasangan pelindung juga telah dilakukan oleh perawat tiap 2 jam sekali
bersamaan dengan jadwal pemberian minum bayi. Sedangkan monitoring suhu tubuh
bayi telah dilakukan secara periodik pula, meskipun dengan rentang waktu yang lebih
panjang (tidak tiap 2 jam), yaitu tiap 6-8 jam sekali.
Untuk memungkinkan pemajanan sinar yang lebih merata pada seluruh kulit bayi
dan untuk mencegah pemajanan yang berlebihan pada bagian tubuh tertentu serta
membatasi area tertekan perlu dilakukan perubahan posisi bayi tiap 2 jam. Pada studi
kasus, hal ini belum dilakukan. Bayi biasanya tetap dalam posisi telentang pada saat
fototerapi, tidak dilakukan alih baring. Hal ini dikarenakan terpasangnya infus dan atau
pemberian O2 pada bayi yang rentan terhadap pergerakan atau perubahan posisi,
disamping kondisi bayi yang belum memungkinkan untuk diposisikan tengkurap atau
miring.
Bayi yang mendapat fototerapi mengalami peningkatan kehilangan cairan tubuh
melalui evaporasi dan feses, sehingga rentan terhadap dehidrasi. Pemantauan terhadap
status hidrasi yang meliputi turgor kulit, kecekungan ubun-ubun dan produksi urine
bayi mutlak harus dilakukan tiap 2 jam untuk deteksi dini tanda-tanda dehidrasi. Selain
itu pemberian cairan oral maupun parenteral harus tetap dipertahankan dan disesuaikan
dengan peningkatan output cairan yang terjadi. Pada studi kasus, pemantauan status
hidrasi telah dilakukan dengan baik oleh perawat tiap 2 jam. Pemberian cairan oral juga
tetap dilakukan tiap 2 jam sekali. Pemberian infus cairan juga tetap diberikan sesuai
program.
10
bahwa jaundice pada bayi makin bertambah dengan pemberian ASI, jika tidak maka
pemberian ASI tetap dilakukan tanpa menunggu hilangnya ikterik / jaundice pada kulit
dan sklera bayi. Penundaan pemberian ASI juga dilakukan jika bayi belum
mengeluarkan mekoneum untuk mencegah terjadinya distensi perut.
Anjuran penundaan pemberian ASI pada studi kasus tidak sepenuhnya beralasan,
karena tidak didapatkan bukti bahwa jaundice pada bayi makin bertambah dengan
pemberian ASI. Bayi juga telah mengeluarkan mekoneum. Penundaan pemberian ASI
justru merugikan ibu karena akan menghambat produksi ASI dan merugikan bayi
karena BAB bayi menjadi kurang lancar, sehingga ekskresi bilirubin tidak maksimal.
11
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hiperbilirubinemia adalah suatu kondisi dimana kadar bilirubin serum 15-20 mg/dl
yang ditemukan pada bayi baru lahir. Secara klinis, bayi tampak kuning yang biasanya
dimulai dari wajah, badan kemudian anggota gerak atas dan bawah. Bayi menjadi
kurang aktif dan malas menghisap.
Untuk menurunkan kadar bilirubin indirect yang tertimbun di cutan dan subcutan
dilakukan fototerapi dengan cahaya biru yang akan menyebabkan proses isomerisasi,
sehingga bilirubin indirect mudah diekskresikan.
Selama fototerapi perlu dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, status hidrasi,
intake dan output cairan, bising usus, serta kemampuan BAB bayi. Perlu pula
diperhatikan penggunaan pelindung mata dan genital untuk mencegah kerusakan
jaringan mata dan genital akibat pemaparan terhadap cahaya intensitas tinggi.
B. REKOMENDASI
1. Perawat di Ruang PBRT, sebaiknya lebih berperan dalam mengantisipasi
pengaruh fototerapi pada bayi dengan hiperbilirubinemia, terutama dalam hal
monitoring suhu tubuh, status hidrasi, balance cairan, bising usus, kemampuan BAB
bayi dan penggunaan pelindung mata serta genital yang tepat.
2. Perawat di Ruang PBRT, sebaiknya tidak menyarankan penundaan pemberian
ASI pada bayi dengan hiperbilirubinemia jika tidak didapatkan bukti bahwa
jaundice bayi makin bertambah dengan pemberian ASI. Perawat justru perlu
mendorong pemberian ASI pada bayi dengan hiperbilirubinemia sedini mungkin
untuk membantu ekskresi bilirubin.
12
DAFTAR PUSTAKA
13