Anda di halaman 1dari 173

(logo UMS) (logo IDI) (logo CME) (logo Nephron)

Faculty of Medicine UMS

Presenting

E-MODULE
NEPHRON
Newest Essential Proceeding Of Nephrourology Emergency

Symposium of 14th
Continuing Medical Education FK UMS
20-21 February 2021

Live streaming from Faculty of Medicine UMS


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat
yang tidak bisa kita hitung. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW. CME merupakan tradisi akademik dari civitas akademika FK UMS dan
sebagai bentuk dari berbagi ilmu bagi dunia kesehatan yang lebih baik.

CME tahun ini merupakan CME kelanjutan tahun lalu yang tertunda karena pandemi
COVID-19. Pandemi ini tidak hanya berefek pada CME, namun juga berefek bagi setiap
aspek kehidupan. Untuk itu kami ingin berterimakasih kepada orang-orang berdedikasi
dimanapun, terutama petugas kesehatan dan dokter-dokter kami yang telah melakukan
pengorbanan yang luar biasa untuk merawat mereka yang membutuhkan. Kami juga turut
berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada tenaga kesehatan yang telah gugur dalam
bertugas. Semoga Allah SWT mengampuni dosa mereka, melapangkan kuburnya, dan
menerima amal kebaikan sejawat kita.

Selain mengenai COVID-19, masalah yang dihadapai oleh tenaga kesehatan saat ini adalah
kegawatdaruratan urologi baik kasus trauma maupun non-trauma. Diagnosis yang tepat dan
penanganan yang cepat perlu diberikan pada keadaan tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan
dan ketrampilan bagi setiap klinisi perlu terus ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan
yang sesuai dengan perkembangan keilmuan terkini. Mempertimbangkan keadaan tersebut
kami mengusung symposium CME ini dengan mengangkat tema ―Newest Essential
Proceeding of Nephrourology Emergency‖ . kami harap symposium ini dapat meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan kita semua dalam bidang urologi.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON ii


SUSUNAN PANITIA

Pelindung
Dekan : Prof. Dr. dr. EM Sutrisna, M. Kes
Wakil Dekan I : dr. Ratih Pramuningtyas, Sp. KK
Wakil Dekan II : dr. Erika Diana Risanti, M. Sc

Penasihat Acara
 dr. Tri Agustina, M. Gizi
 dr. Rochmadina Suci Bestari, M. Sc
Penasihat Ilmiah
 dr. Ratih Pramuningtyas, Sp. KK
 dr. Iin Novita Nurhidayati Mahmuda, M. Sc, Sp. PD

Ketua
 Variansa Sava Ramadhan

Sekertaris
 Sri Harnani Rafidah Estri
 Nita Tri Sulistyani
 Wardah Hanani Pangestu

Bendahara
 Annisa Putri Nasuha
 Dewangga Khrisna Aji
 Anita Akhyarini

Acara
 Koordinator : Eki Adetya Nugraha
 Wakil Koor : Ulfa Anis Luthfia
 Anggota
1. Lili Puspadewi
2. Satya Agung Nugroho
3. Ulfa Anis Luthfia
4. Amalia Nur Hafidzah
5. Rezy Prasasti W
6. Vina Mitha Elfira
7. Rizal Dwi Sanjani

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON iii


8. Amelia Nurul Aminudin
9. Fitri
10. Wilujeng Suciati
11. Dewi Nanseti

Humas & Transportasi


 Koordinator : Aulia Rahman
 Wakil Koor : Muhammad Irfan Purbayanto
 Anggota
1. Fenti Nurul Khafifah
2. Fiparmada Ummu Fahma
3. Diyanah Ulwan
4. Danny Marga Rezha
5. Auliyah Lika hanifah
6. Dona Parenta Mulia
7. Harminingtyas Kusuma Dewanti
8. Agitia Hindun Rosyadah
9. Fathan Atta Musthafid
10. Puspo Ari Wibowo
11. Mu‘allim

Ilmiah (Pembicara)
 Koordinator : Muhammad Nur Alamsyah
 Wakil Koor : Muhammad Adrian Syah Putra
 Anggota
1. Dian Arni Nur Azura
2. Nur Sukma ANggraini
3. Mutia Keumalahayati
4. Delima Anggraini Hudini
5. Firstian Dhita Irawan
6. Brimasdia Argarachmah Kiyenda
7. Yunika Prajna Suyoso
8. Siti Binta Masykurin
9. Salma Alfiana
10. Antung Khairina
11. Julistya Widya Maharani

Publikasi & Dokumentasi


 Koordinator : Faizah Noor Amala
 Wakil Koor : Yulaikha Puspaningrum

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON iv


 Anggota
1. Tika Putri Nuraini
2. Dimas Novian Saputra
3. Yugita Utami Nora Karentina
4. Ida Ayu Dian Kharisma Putri
5. Fathan Sulistyo Widodo
6. Adheelah Rachma Afrizal
7. Fairuz Ulfa
8. Muhammad Dwiki Tafwidhi
9. Tiara Alfitriana
10. Bunga Argi Regina
11. Rubaur Rizka

Perlengkapan (Dekorasi & Hiburan)


 Koordinator : Rio Adi Saputro
 Wakil Koor : Fadlel Muhammad
 Anggota
1. Marti Eka Ning Tias
2. Ranny Felica Utami
3. Ameilia Inantia Mubarokah
4. Hendra Aryawinata Harsono
5. Karisma Yoga Candra
6. Vera Febriana
7. Harry Fitriadi
8. Ameyliana Setiawan Putri
9. Fernanda Prima Prasticha
10. Gravidyan Kusumaningtyas

Ticketing
 Koordinator : Ihsan Rafsanjani
 Wakil Koor : Tito Andri
 Anggota
1. Asri Wahyu Azzahro
2. Nanda Meida
3. Ayu Sevianita
4. Annisa Maulidya
5. Maulida Sekar Andini
6. Putri Rahmawati
7. Marta Yuliana
8. Fanni Asyifa
9. Adam Arya Pratama

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON v


10. Farah Aziizah

Call for papper


 Koordinator : Yoga Oktavian Nugraha
 Wakil Koor : La Ode Abdur Rauf
 Anggota
1. Dian Ayu Suci Dwi Kusumastuti
2. Indah Triana Putri
3. Lana Yusria
4. Sevtyana Indra Sutisna
5. La Ode Abdur Rauf
6. Daniar Rahma Amelia
7. Frisky Lutfia Windradini
8. Ulil Absor
9. Devara Dhea
10. Avidha Nur Fitriana
11. Ni Wayan Helda Nurma Santi

Sponsorship
 Koordinator : Fified Fajar Ramanda
 Wakil Koor : Ahmad Aidil Huda
 Anggota
1. Septin Pratiwi
2. Ayu Safira Ilma
3. Nur Fadhila
4. Ridho Zarkasi
5. Gandhes Sahida Basserawy
6. Titik Handayani
7. Dika Arifianti
8. Novita Dwi Saputri
9. Tisya Indara Wulan
10. Christie Julie Prawatya

Konsumsi
 Koordinator : Adelia Restuningtyas
 Wakil Koor : Asri Febria
 Anggota
1. Maya Arum Sari
2. Febrina Hafidah Basithoh
3. Nurmaita Wardaniyatu Solihah

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON vi


4. Imtiyas Risna Safitri
5. Rury Oktarina
6. Nurnawansi Soga
7. Alfina Ulin Ni‘mah
8. Jihad
9. Lintang Dwi Marti
10. Arta Sulaian Setyoningrum
11. Winda Gusnilla Istiqomah

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON vii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


SUSUNAN PANITIA .............................................................................................................. iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... viii
DAY 1 ........................................................................................................................................ 9
Session 1‖Early Detection and Management of Colic Ureter‖ ................................................ 11
Session 1‖How to Manage Urosepsis in Emergency Departement‖ ....................................... 17
Session 1‖How to Diagnose and Manage Acute Kidney Injury in Daily Practice‖ ................ 40
DAY 1 ...................................................................................................................................... 56
Session 2‖Renal Replacement Therapy and Kidney Transplant‖ ............................................ 59
Session 2‖Recent Advances in Improvised Dialysis Technique‖............................................ 77
DAY 2 ...................................................................................................................................... 79
Session 3‖Pediatric Emergency in Nephrourology‖ ................................................................ 81
Session 3‖Current Management of Prostate Enlargement‖ ..................................................... 93
Session 3‖How Far Urolithiasis Management for General Practitioner‖ .............................. 102
DAY 2 .................................................................................................................................... 111
Session 4‖Evaluation of Bladder Injury in Emergency Room‖............................................. 113
Session 4‖Management of Urethral Trauma in Primary Care‖ ............................................. 127
Session 4‖Medical Ethics and Patient Safety in Urology‖ .................................................... 160

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON viii


DAY 1
SESSION 1
“AN OVERVIEW OF URINARY TRACT MANAGEMENT IN INTERNAL MEDICINE”

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 9


MODERATOR

Dr. Musrifah Budi Utami, Sp.PD., M.Kes., FINASIM

(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama Lengkap : dr. Musrifah Budi Utami, Sp. PD, M.Kes., FINASIM
Tempat, Tanggal Lahir : Surakarta, 26 Mei 1980
Alamat : Perum UNS jl.Ekonomi no 30 Jaten Karanganyar
Pendidikan dan Pelatihan:
- Dokter Umum, 2005 Fakultas Kedokteran UNS Surakarta
- PPDS I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNS Surakarta, 2014
- Magister Kesehatan Keluarga Ilmu Biomedik Pasca Sarjana UNS, 2014
- Pelatihan USG Basic,Diklat PUSKI Jakarta
- Konvokasi FINASIM, 2018.
Keanggotaan Profesi :

- IDI Cabang Karanganyar


- PAPDI Cabang Surakarta
Riwayat Pekerjaan :
- PNS Dokter Umum Puskesmas Jatipuro Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar
tahun 2006-2009
- Wajib Kerja Spesialis RSD Kota Tidore Kepulauan tahun 2013
- PNS RSUD Kabupaten Karanganyar tahun 2014-sekarang
- Dokter Pendidik Klinis Fakultas Kedokteran UMS tahun 2014-sekarang

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 10


Session 1
“Early Detection and Management of Colic Ureter”
Speaker 1
dr. Wachid Putranto, Sp.PD-KGH, FINASIM
(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama : Wachid Putranto, dr.SpPD-KGH, FINASIM


Tempat dan Tanggal Lahir : Surakarta, 26 Februari 1972
Alamat Rumah : Jl. Samratulangi No. 42 B Gremet, Joho Manahan, Solo
Pendidikan :
Lulus dokter umum FK UNS Surakarta : 1997
Dokter PTT Kabupaten Purworejo : 1999 – 2001
Lulus Spesialis Penyakit Dalam FK UNDIP : 2006
Staf Pengajar Bagian Penyakit Dalam FK. UNS/ RS. Dr. Moewardi: 2005 – sekarang
Pendidikan konsultan Ginjal Hipertensi
FK. UI/ RS. Ciptomangunkusumo Jakarta : 2012 – 2015

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 11


EARLY DETECTION AND MANAGEMENT COLIC URETER
Wachid Putranto*
*Divisi Ginjal Hipertensi Bagian Penyakit Dalam
FK. UNS/RS.Dr. Moewardi

Pendahuluan
Pengetahuan seorang dokter mengenai kolik ureter sangat diperlukan, karena kolik
ureter ini seringkali mengarahkan adanya satu kegawatan yang membawa pasien berobat ke
Instalasi gawat darurat. Penyebab tersering kolik ureter adalah adanya batu dalam saluran
kemih. Tetapi pada saat pasien datang dengan keluhan kolik ini dokter harus memikirkan dan
mengeksplorasi kegawatan lain yang menjadi diagnosis banding misalnya rupture aneurisma
aorta, torsio ovarii , dan appendicitis. 1
Secara umum prevalensi batu saluran kemih sebesar 2 – 20 % di masing – masing
negara dunia dan angka ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan lokasi batu
saluran kemih ini terbanyak adalah di ureter (20%) 2
Definisi
Kolik ureter/Kolik ginjal merupakan suatu rasa nyeri yang terjadi secara mendadak di
daerah pinggang biasanya disebabkan oleh batu saluran kemih. Rasa nyeri tersebut menjalar
baik ke atas maupun ke bawah dari lokasi batu tergantung apakah batu berada di ureter atau
di dekat ureterovesical junction . 3,4
Faktor risiko terjadinya kolik :3
1. Batu ureter biasanya terbentuk di dalam ginjal. Stasis urin, infeksi, dan perubahan
konsentrasi urin menjadi predisposisi terbentuknya batu. Janis batu yang biasa
ditemui adalah batu oksalat dan trifosfat, sedangkan batu asam urat, batu xanthine dan
batu sistine jarang terjadi. Infeksi saluran kemih oleh bakteri proteus spp
menyebabkan urin menjadi asam sehingga meningkatkan risiko terbentuknya batu
trifosfat. Senyawa gout dan sistinuria merupakan predisposisi terbentuknya batu asam
urat dan batu sistin. Pasien dengan gross hematuria berisiko terjadinya kolik.
2. Nekrosis papiler ginjal berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus,
penyalahgunaan analgesik, pielonefritis, penyakit Sickle Cell dan obstruksi saluran
kemih.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 12


Manifestasi Klinis
1. Nyeri pinggang dan nyeri perut
Ureterolitiasis adalah penyebab umum seseorang masuk ke instalasi darurat (bangsal
bedah). Sebagian besar terjadi pada pasien paruh baya. Obtruksi pada ureter
menyebabkan terjadinya spasme intermittent dinding ureter bagian proksimal dari
obstruksi, hal ini menghasilkan rasa nyeri hebat yang intermiten yang dimulai di
daerah pinggang dan menjalar sampai ke pangkal paha.
Kolik ureter paling sering disebabkan oleh batu ureter dan jarang terjadi karena
bekuan darah, fragmen tumor atau papila ginjal pada saluran ureter.
2. Nyeri selama berkemih (Stranguri)
Gejala-gejala ini menonjol ketika batu bermigrasi melalui bagian intramural dari
ureter.
3. Penjalaran rasa nyeri dari pinggang hingga ke pangkal paha
Rasa nyeri akibat kolik ureter didistribusikan di sepanjang inervasi saraf ureter. Rasa
nyeri berasal dari pinggang dan menyebar di sekitar panggul ke pangkal paha,
genitalia eksterna, dan permukaan anterior paha. Penyebaran nyeri lebih menonjol
ketika batu turun di sepanjang ureter.
4. Hematuria
Hematuria mikroskopis dapat terjadi akibat trauma pada dinding ureter oleh karena
batu. Tersangka kolik bekuan jika terjadi hematuria berat.
5. Pasien tampak agitasi dan gelisah
Rasa nyeri yang berat membuat pasien menjadi gelisah. Tidak bisa diam selama
serangan nyeri.
Diagnosis
Penegakan diagnosis penyebab kolik ureter meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Anamnesis meliputi volume air minum setiap hari, kebiasaan minum soda, riwayat batu
saluran kemih, adanya keluhan nyeri saat buang air kecil, lokasi nyeri, bahkan adanya
kebiasaan menggunakan obat opioid.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 13


2. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan umum: Pasien tampak cemas dan gelisah
2. Pemeriksaan perut: Nyeri tekan pada perut (daerah pinggang dan panggul)

3. Pemeriksaan Penunjang 5
-Urinalisis
Pemeriksaan urin analisis merupakan pemeriksaan sederhana namun seringkali dapat
mengarahkan diagnosis dan komplikasi. Gambaran sel darah merah dalam urin
(hematuria) memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan adanya batu atau
keganasan. Lekosit esterase dan nitrit urin menunjukan adanya infeksi saluran kemih dan
membutuhkan kultur urine untuk penentuan antibiotic yang sesuai.
- Foto polos abdomen
Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan yang cepat dan murah, namun tidak semua
batu dapat terlihat dengan pemeriksaan ini. Mayoritas gambaran X Ray batu ureter
adalah radioopak. Sedangkan batu asam urat murni dan batu xanthine tampak radiolusen.
Perlu diperhatikan adanya gambaran batu empedu, kelenjar getah bening yang
terkalsifikasi, fekolit, phleboliths dan benda asing usus karena akan mengaburkan
gambaran batu ureter.
- Urogram intravena (IVU)
Batu radiolusen dapat didiagnosis dengan IVU sebagai defek pengisian pada saluran
kemih yang berisi kontras. Ekstravasasi kontras dapat menunjukkan perforasi ureter.
Kombinasi IVU dengan ultrasound scan dapat meningkatkan akurasi diagnostik.
Pemeriksaan urogram mulai ditinggalkan karena penggunaan kontras yang seringkali
menimbulkan efek merugikan
- CT Scan
CT scan semakin banyak digunakan untuk mendiagnosis pasien yang mengalami kolik
ureter. Spiral CT dianggap sebagai pelacakan diagnostik dengan sensitivitas dan
spesifisitas tinggi. Adanya batu dan morfologi ginjal dan ureter dapat dinilai dengan CT
scan. CT scan saluran kemih mulai banyak digunakan menggantikan IVU karena tidak
menggunakan kontras sehingga tidak berisiko terjadinya gangguan ginjal akut ataupun
reaksi alergi terhadap kontras
- Ultrasound

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 14


Adanya hidronefrosis dan hidroureter dapat dinilai dengan menggunakan ultrasound.
Untrasound juga direkomendasikan bila terdapat kontraindikasi radiasi misalnya pada
wanita hamil
Diagnosis banding
Beberapa kelainan mempunyai keluhan yang mirip dengan kolik ureter. Keluhan –
keluhan tersebut harus benar – benar kita eksplorasi sumber penyebabnya sehingga diagnosis
tepat dan penatalaksanaan juga tepat. Penyakit – penyakit yang menjadi diagnosis banding
kolik ureter diantaranya adalah : 3
- Aneurisma aorta abdominalis
- Pielonephritis.
- Kolesistitis
- Pankreatitis akut.
- Appendicitis.
- Kehamilan ektopik.
- Torsio ovarium dan rupture kista ovarium.
- Ketergantungan opium.
Untuk membedakan masing – masing kelainan tersebut dokter harus cermat dalam
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Komplikasi
Obstruksi ureter dapat menyebabkan hidronefrosis yang menimbulkan ketidaknyamanan pada
perut. Terjadinya stasis urin pada kondisi infeksi , pielonefritis menimbulkan gejala demam
tinggi, nyeri pinggang & nyeri tekan. Perforasi ureter merupakan komplikasi yang jarang
terjadi, namun kondisi tersebut menyebabkan ekstravasasi urin ke dalam peritoneum yang
menimbulkan keluhan nyeri dengan onset akut dan gejala peritonitis.5
Penatalaksanaan kolik ureter
Penatalaksanaan nyeri pada kolik ureter meliputi : 6
- Non steroid anti inflammatory drugs (NSAIDs) secara oral , intravena maupun
supposutoria.
- Parasetamol infus apabila terdapat kontra indikasi NSAIDs ataupun nyeri tidak
berkurang dengan NSAIDs
- Antinyeri opioid apabila NSAIDs maupun parasetamol infus tidak berhasil.
- Tidak diperkenankan menggunakan antispasmodic.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 15


Selain menghilangkan rasa nyeri harus pula mengatasi penyebabnya. Penanganan terhadap
adanya batu sebagai penyebab harus ditentukan modalitas terapinya sesuai ukuran dan lokasi
batu yaitu dengan jalan konservatif menggunakan obat-obatan, , percutaneous
6
nephrolihtotomy, ureteroscopy, ataukah shock wave lithotripsy.

RINGKASAN
Kolik ureter/kolik ginjal merupakan suatu rasa nyeri akut yang menyebar di perut
sesuai lokasi saluran kemih. Penyebab tersering adalah adanya batu saluran kemih. Seorang
dokter harus menentukan penyebab kolik ureter ini dengan tepat melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang karena seringkali penyebab kolik ureter ini
merupakan kondisi yang berbahaya. Terdapat beberapa kelainan yang merupakan diagnosis
banding : aneurisma aorta abdominalis, appendicitis, kehamilan ektopik, torsio ovarium,
pecahnya kista ovarium. Penatalaksanaan awal kolik ureter yaitu menghilangkan rasa nyeri,
selanjutnya mengatasi penyebabnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nicolau C, Caudon M,Derchy E, Adam J, Nielsen B,Mostbeck G, et all. Imaging
Patients with Renal Colic – Consider Renal Sound First. Insight Imaging. 2015;6 :
441 – 447
2. Moon J, Kim W, Kim B, Kim J, Chang S. Distribution of urinary stone and factors
affecting their location and expultion in patients with renal colic. Koren J urol 2015;
56: 717 – 721.
3. Kenny C, Eragat M, Salahia S, Mulhem W, Hammadeh MY. Diagnosis and
Management of Renal Colic. https://www.researchgate.net/publication/319881610.
4. Teichman H. Acute renal colic from renal calculus. N Engl J Med. 2004;350: 683-94.
5. Desay M,Sun Y,Buhcloz N, Fuller A, Matsuda T, Matlaga B. Treatment selection for
urolithiasis : percutaneous nephrolihtotomy, ureteroscopy, shock wave lithotripsy, and
active monitoring. World J Urol DOI. 10.1007/s.00345-017-2030-8.
6. Renal and ureteric stones: assessment and management.
www.nice.org.uk/guidance/ng118

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 16


Session 1
“How to Manage Urosepsis in Emergency Departement”
Speaker 2
dr. Ardyasih, Sp.PD-KGH., FINASIM
(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama: dr. Ardyasih, Sp.PD-KGH., FINASIM


Tempat, tanggal lahir : Wonogiri, 20 maret 1969
Jenis Kelamin: Perempuan
Agama: Islam
Alamat:
a) Jalan Mundu III no. 46E Kerten Laweyan Solo
b) Tangkluk Sejati Giriwoyo Wonogiri
A. Riwayat Pendidikan
1) Dokter umum: FK UNS tahun 1994
2) Internis: FK UGM tahun 2007
3) Konsultan ginjal hipertensi: RS DR.Sardjito tahun 2017
B. Riwayat Pendidikan/ Pelatihan/ Kursus tambahan
1) Pelatihan pemasangan kateter HD, RSPAD tahun 2016
2) Pelatihan pemasangan kateter CAPD, RSPAD tahun 2017
3) Workshop Acces Vascular Ultrasonography, Pertemuan Ilmiah PERNEFRI
tahun 2018.
4) Workshop of Nefrologi Intervensi, Insersi Kateter Tenckhof, PERNEFRI
tahun 2015
5) Workshop of Nefrologi Intervensi, Insersi Akses Hemodialisis, PERNEFRI
tahun 2015
6) Workshop Interventional Nephrology. PERNEFRI tahun 2017
C. Riwayat Pekerjaan/ Jabatan
1) Dokter PTT Puskesmas Giritontro Wonogiri tahun 1995 - 1998
2) Dokter jaga RSU Muhammadiyah Nambangan Wonogiri tahun 1998 - 2003
3) Internis RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2008 - sekarang
4) Dosen pembimbing klinis FK UMS tahun 2012 - sekarang
D. Riwayat Kepengurusan/ Keanggotaan Dalam Organisasi Profesi
1) Anggota IDI tahun 1994 – sekarang
2) Anggota PAPDI tahun 2008 – sekarang
3) Anggota pernefri tahub 2012 - sekarang
E. Pengalaman Mengajar
1) Kuliah Ginjal hipertensi FK UMS tahun 2015.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 17


2) Kuliah Blok Urologi FK UMS tahun 2018.
F. Penelitian dan Publikasi
1) Relationship Between Index PUFA and C-Reactive Protein Levels in Patient
With Chronic Renal Failure on Hemodialysis in Dr Sardjito General Hospital
Yogyakarta. KONAS PERNEFRI XII PIT PERNEFRI 2014, Palembang.
2) Relationship Between Handgrip Strenght and Nutritional Status Parameters in
Patient With Chronic Renal Failure on Hemodialysis in Dr Sardjito General
Hospital Yogyakarta. KONAS PERNEFRI XII PIT PERNEFRI 2014,
Palembang.
3) Analisis Perbedaan Status Gizi dengan Dialysis Malnutrition Score (DMS)
pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis dan Peritoneal Dialisis. PIT
PERNEFRI Manado 2015
4) Pengaruh Intake Protein Terhadap Kekuatan Otot yang Diukur dengan Hand
Grip Strenght (HGS) pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis di RS DR
Sardjito Yogyakarta. PIT PERNEFRI MEDAN 2016.
5) Analysis of Differences in the Levels of Uric Acid Between Hypertension
patient Hypertension with Diabetes Melitus. 11th APCH in Conjunction with
9th InaSH Scientific Meeting. 2015.
6) Non Compliance to Fluid Exchange Procedure in Patient with Chronic Kidney
Disease (CKD) Stage V on Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
in DR. Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia. 51st Annual Scientific
Meeting of The Australian and New Zealand Society of Nephrology. 2015
G. Partisipasi dalam Kegiatan Ilmiah
1) Peserta 13th Scientific Meeting of Indonesian Society of Hypertension,
Hypertension 2019: Global Risk Management in Hypertension
2) Peserta The 9th Asian Forum of Chronic Kidney Disease Initiatives
(AFCKDI) tahun 2015
3) Peserta Annual Scientific Meeting, Australian and New Zealand Society of
Nephrology (ANZS) tahun 2015.
4) Moderate Poster Presentant pada 11th Asia Pacific Congress of Hypertension
in Conjunction with 9th Scientific Meeting of The Indonesian Society of
Hypertension tahun 2015
5) Pembicara GP Training of Partnership for Diabetes Control in Indonesia, PB
PERKENI tahun 2014.
6) Pembicara One Day Symposium: Penatalaksanaan Hipertensi, PERNEFRI
Surakarta tahun 2019
H. Penghargaan
Juara III Presentasi Bebas Oral dengan judul "Pengaruh Intake Protein Terhadap
Kekuatan Otot yang Diukur dengan Hand Grip Strenght (HGS) pada Pasien yang
Menjalani Hemodialisis di RS DR Sardjito Yogyakarta", PIT PERNEFRI MEDAN
2016.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 18


UROSEPSIS
Dr. Ardyasih, Sp. PD-KGH

INTRODUCTION
• The mortality from sepsis  > 31% of sepsis originated from the urogenital tract
organs  urosepsis
• Urosepsis is a severe infection
• 5% lead to severe sepsis
• An important aetiology for hospital-acquired infection  around 40% of the
nosocomial infections
• 5% of urosepsis  severe sepsis and organ dysfunction
• Patients with comorbidities  a higher risk for urosepsis, severe sepsis and septic
shock with a higher morbidity and mortality

DEFINITION
• Sepsis caused by infection of the urogenital tract, and is a systemic response to
infection.
• The signs and symptoms of SIRS that were initially considered to be ―mandatory‖ for
the diagnosis of sepsis are now considered to be alerting symptoms
• Many other clinical or biological symptoms must be considered.

1. Sepsis body‘s inflammatory response to an infection


2. Can lead to multi-organ dysfunction, failure, and even death
3. Urosepsis is sepsis caused by an infection of the urinary tract (UTI): cystitis (lower
urinary tract/bladder) and pyelonephritis (upper urinary tract/kidney).
4. Nearly 25% of sepsis cases originate from the urogenital tract

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 19


Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3)

Original Sepsis-2 definitions


Napolitano L.M., Sepsis 2018: Definitions and Guideline Changes, SURGICAL INFECTIONS Volume 19,
Number 2, 2018 ª Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089/sur.2017.278

(New Sepsis-3 definitions)


Napolitano L.M., Sepsis 2018: Definitions and Guideline Changes, SURGICAL INFECTIONS Volume 19,
Number 2, 2018 ª Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089/sur.2017.278

Sepsis-3 committee (2016)


• Sepsis—A life-threatening condition caused by a dysregulated host response to
infection, resulting in organ dysfunction

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 20


• Septic shock— Circulatory, cellular, and metabolic abnormalities in septic patients,
presenting as fluid-refractory hypotension requiring vasopressor therapy with
associated tissue hypoperfusion (lactate > 2 mmol/L).

• Severe sepsis  eliminated

SOFA score

Napolitano L.M., Sepsis 2018: Definitions and Guideline Changes, SURGICAL INFECTIONS Volume 19,
Number 2, 2018 ª Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089/sur.2017.278

Quick Sequential Organ Failure Assessment (qSOFA) score for sepsis

Napolitano L.M., Sepsis 2018: Definitions and Guideline Changes, SURGICAL INFECTIONS Volume 19,
Number 2, 2018 ª Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089/sur.2017.278

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 21


EPIDEMIOLOGY
 Females > Males
 In elderly bedbound patients  catheter is the foremost cause
 prevalence of healthcare-associated infections : 4%  USA, 6%  European, 15.5%
developing countries
 The community acquired urosepsis  5% of total sepsis
 The community-acquired urosepsis -> obstructive uropathy.: -urinary calculi (65%) -
tumours in 21% - gestation in 5% - urinary tract anomalies in 5% - surgical
interventions in 4%
 the hospital-acquired urosepsis  40% of sepsis cases

CLASSIFICATION

Shaikh N., et all,2018, Urosepsis: Flow is Life, DOI: http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.82262

RISK FACTOR

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 22


Shaikh N., et all,2018, Urosepsis: Flow is Life, DOI: http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.82262

ETIOLOGY
The most common pathogen causing UTIs (and in turn urosepsis)
 Pseudomonas aeruginosa (5%)
 E. coli (50%)
 Proteus (15%)
 Gram-positive bacteria (15%)
 Klebsiella (15%)
 Enterobacter (15%)

PHATOGENESIS
The complex pathogenesis of urosepsis starts when uropathogens or their products stimulate
the host innate immune system.
1. Host response to pathogen invasion
• Stimulation of the host immune system involves pattern recognition receptors such as
toll-like receptors (eg, TLR-4) and damage-associated molecular pattern receptors
and results in the secretion of large amounts of pro-inflammatory cytokines (eg, IL-1
and IL-6).
• The initial proinflammatory phase is followed by a counter-regulatory anti-
inflammatory response, leading to an immunosuppressive state.
• In urosepsis, as in other types of sepsis, the host response determines the severity
and clearly influences the outcome
who are more likely to develop urosepsis:
- elderly patients
- diabetics
- immunosuppressed patients: as transplant recipients, patients receiving cancer
chemotherapy or corticosteroids.
Urosepsis also depends on local factors:
- urinary tract calculi
- obstruction at any level in the urinary tract
- congenital uropathy
- neurogenic bladder disorders

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 23


- endoscopic manoeuvres.
2. Pathogen
• The most commonly : Escherichia coli , other Enterobacteriaceae.
• Most cases caused by a single microorganism. (>< pulmonary or abdominal sepsis)
• At present, extended-spectrum b -lactamase (ESBL) Enterobacteriaceae (including E.
coli )  a serious threat to patients.
• Such bacteria (multiple drug – resistant Enterobacteriaceae) can account for up to
45% of all Enterobacteriaceae.
• In such cases, initial empiric therapy is often inappropriate rapidly isolate the
microbial pathogen

PATOPHYSIOLOGY

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 24


Dreger N.M., et all, Urosepsis—Etiology, Diagnosis, and Treatment, Deutsches Ärzteblatt International | Dtsch
Arztebl Int 2015; 112: 837–48

HISTORY AND PHYSICAL


• Rapid diagnosis is essential for early goal-directed therapy (EGDT).
• symptoms and signs :
- flank pain and tenderness (perhaps with radiation),
- dysuria/pollakisuria, urinary retention
- scrotal and/or prostatic pain.
- In men, the physical examination must include a digital rectal examination
(tenderness  prostatitis, a fluctuating mass  a prostate abscess)
- palpation of the testes (tenderness,warmth, and swelling  epididymorchitis).
- The presence of an indwelling catheter  possible cause of infection.

DIAGNOSTIC
1. Laboratory work-up
- Complete blood count (CBC)
- Electrolyte
- Serum C-reactive protein
- Procalcitonin (PCT)
- Serum lactate

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 25


2. Urin Culture
- important in the diagnosis and in the management of urosepsis.
- should be done within hours or persevered properly.
- positive  highly diagnostic,
- negative  rule out the urinary infections.
3. Blood Culture
- >> Gram-negative bacteraemia
- must be taken before administrating the antimicrobial agent
- Blood cultures can be positive in up to 41% of the cultures

BACTERIOLOGY OF UROSEPSIS
Although the rate of sepsis due to Gram-positive and fungal organisms has increased, Gram-
negative bacteria remain predominant in urosepsis.

Shaikh N., et all,2018, Urosepsis: Flow is Life, DOI: http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.82262

IMAGING STUDIES
Imaging studies will help in diagnosing renal calculi as well as urosepsis aetiology and
complications.
1. Abdominal Radiography
 Has a limited value
 It shows the presence and extent of calcification and calculi within the renal
system.
 Help in monitoring change in position and increase in size or number of renal
stones.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 26


 Intravenous urography:
 Anatomical details of the urinary system.
 Diagnosis of reflux nephropathy and papillary necrosis
2. Ultrasound scan
 Routinely performed in emergency department.
 Diagnosis of renal stone, prostate and bladder pathologies.
3. CT scan and MRI abdomen
 Accurately diagnose microabscesses in the kidney and other genital organs.
 Accurately diagnose the bacterial nephritis, renal microabscesses, perinephric
abscesses, hydronephrosis and emphysematous pyelonephritis

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 27


TREATMENT
Treatment of urosepsis  four major aspects:
1. Early diagnosis
2. Early goal-directed therapy including optimal pharmacodynamic exposure to
antimicrobials both in the plasma and in the urinary tract
3. Identification and control of the complicating factor in the urinary tract
4. Specific sepsis therapy.
Goal-directed treatment :
• A recent prospective study of 5787 adult patients with severe sepsis goal-directed
treatment:
- blood cultures before antibiotics,
- lactate before 90 minutes,
- IV antibiotics before 180 minutes, and 30 mL/kg of IV fluids before 180 minutes
 significantly less likely to die in the hospital (22.6% vs 26.5%, respectively).
• In a multivariate regression analysis adjusted for age  admission ICU, vasopressor
initiation, central venous catheter insertion, and monitoring of central venous pressure
and central venous oxygen saturation, complete compliance with the clinical goals
was associated with a survival odds ratio of 1.194 (1.04-1.37).
Diagnostic - therapeutic algorithm

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 28


Dreger N.M., et all, Urosepsis—Etiology, Diagnosis, and Treatment, Deutsches Ärzteblatt International | Dtsch
Arztebl Int 2015; 112: 837–48

The three categories of treatment:


1. Cause-directed (antibiotic treatment and elimination of infection)
2. Supportive (hemodynamic and pulmonary stabilization)
3. Adjunctive (glucocorticoid/insulin treatment)
1 hour : antibiotic
• Broad-spectrum antimicrobials as soon as possible (within an hour) after diagnosis
• Only after blood and urine cultures have been obtained
• The antibiotic(s) should be chosen in the light of local resistance rates and the
expected pathogen spectrum.
• With respect to local drug susceptibility patterns, a 2016 study emphasized that ―It
is not appropriate to use the pathogen spectrum and resistance of other clinical
diagnosis of HAUTIs as representative of urosepsis.
Empiric therapy for urosepsis:
- Monotherapy aerobic gram-negative bacilli : aztreonam, levofloxacin, a third- or
fourth-generation cephalosporin, or an aminoglycoside.
- monotherapy enterococcal : ampicillin or vancomycin.
- VRE : linezolid or daptomycin
- community-acquired urosepsis consists of levofloxacin, aztreonam, or an
aminoglycoside plus ampicillin.
- nosocomial urosepsis, a fourth-generation cephalosporin, piperacillin-tazobactam,
imipenem, or meropenem, with or without an aminoglycoside, is preferred.
- Kumar et al. the importance of timing as a prognostic factor : the initiation of
empirical antibiotic treatment within one hour of the diagnosis of hypotension 
80% survival rate.
- Delays in starting antibiotics  7.6% decline in survival rate for each hour of delay
(79.9% versus 70.5% at 1–2 hours, 42.0% at 5–6 hours, and 25.4% at 9–12 hours).
- the initial antibiotic  basis of local antibiogram and as soon as culture are available
changed the antimicrobial to the narrow spectrum.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 29


- As the common bacteria is E.coli in the community-acquired urosepsis, the third
generates cephalosporin and fluoroquinolones and combinations are a better choice
- in the hospital-acquired urosepsis  add an antipseudomonas antibiotics with
combination with amino glucosides or should be initial antimicrobial therapy.
Antibiotic recommended for the treatment of urosepsis:

Wagenlehner FME et all, Diagnosis and management fo r u rosepsis International Journal of Urology (2013) 20
, 963–970
Antimicrobials for urosepsis:

Bonkat G. Et all, 2020, EAU Guidelines on Urological Infections, European Association of Urology
• The dosage  should generally be high, with appropriate adjustment for renal
function.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 30


• Reassessment of antimicrobial therapy daily for de-escalation, when
appropriate.
• Biofilm formation by microorganism is a vital factor in the progress of urosepsis,
• Formed in association with urinary catheters, scar tissue and stones  minimal
inhibitory concentrations (MIC) in biofilm are increased up to 100-fold;
• The high dosages of antibiotics needed to remove the biofilm should be considered
• Most of these patients ‘ therapy for 2– 3 weeks goes parallel with the relief of
symptoms and sign with clinical improvement.
• The cultures should be repeated after 2 – 4 weeks of cessation of therapy.

6 hours: Supportive treatment:


The European Association of Urology guideline on urologial infections and general sepsis
recommendations from previous studies and guidelines
• Early quantitative resuscitation of the septic patient during the first 6 h after
recognition.
• early goal-directed therapy (EGDT)  hemodynamic stabilization promotes the
delivery of an adequate oxygen supply to the tissues.
• As soon as isotonic crystalloid solution should be begun within 15 minutes (least 30
mL/kg of body weight in the first hour )  increase blood pressure
• VISEP, CRYSTMAS, 6S, and CHEST trials  colloid HAES solutions are no
longer recommended in the treatment of severe sepsis and septic shock
• SAFE trial  administration of human albumin can be considered  crystalloids do
not result in a sufficient increase in blood pressure.
The goals of resuscitation 
• Restore intravascular volume.
• Increase oxygen delivery to tissues
• Reverse organ dysfunction.
Fluid resuscitation  phases
• Rescue: During the initial minutes to hours, fluid boluses (a 1 – to 2-L bolus of crystalloid
solution) are required to reverse hypoperfusion and shock
• Optimization: During the second phase, the benefi ts of giving additional fluid to improve
cardiac output and tissue perfusion should be weighed against potential harms

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 31


• Stabilization: During the third phase, usually 24 to 48 hours after the onset of septic shock,
an attempt should be made to achieve a net-neutral or a slightly negative fluid balance
• De-escalation: The fourth phase, marked by shock resolution and organ recovery, should
trigger aggressive fluid removal strategies.

Dugar S., Et All, 2020, Sepsis And Septic Shock : Guideline-Based Management, CLEVELAND CLINIC
JOURNAL OF MEDICINE, VOLUME 87 : NUMBER 1 , JANUARY. Doi:10.3949/Ccjm.87a.18143
• During fluid therapy, vasopressors : norepinephrine should be used primarily
(dobutamine in MI)
• Hydrocortisone  only if fluid & vasopressors do not achieve a MAP of 65mmHg.
• Blood products  target a hemoglobin level of 7 – 9 g/dl.
• Mechanical ventilation should be applied with a tidal volume of 6 ml/kg, a plateau
pressure of 30 cm HO, and a high positive end-expiratory pressure.
• Sedation  minimal
• Neuromuscular blocking agents  avoided.
• Glucose levels  180 mg/dl.
• Measures to prevent DVT should be applied. LMWH subcutaneously 
recommended.
• Stress ulcer prophylaxis  PPI

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 32


• Enteral nutrition should be started early ( < 48 h).
• Febrile may be in shock usually controlled by paracetamol
Norepinephrine (the first-line vasopressor)
- the most effective initial and adjunctive vasoactive agents for septic shock.
- NE has shown survival benefit with lower risk of arrhythmia than dopamine.
- On the other hand, 2 systematic reviews found no difference in clinical outcomes and
mortality with norepinephrine vs epinephrine, vasopressin, terlipressin, or
phenylephrine
Adding a second vasopressor or inotrope
- Another sympathomimetic drug (vasopressin or epinephrine)  to achieve target
MAP or decrease the norepinephrine requirement.
- added when NE doses > 40 or 50 µg/min.
Vasopressin.
- Septic shock  relative vasopressin deficiency.
- vasopressin as a replacement hormone have a sparing effect on NE  resulting in a
lower dose needed.
Epinephrine (a second-line vasopressor)
- recommended by the Surviving Sepsis Campaign guideline
- A potent alpha- and beta-adrenergic activity ↑ MAP by ↑ CO and vasomotor tone.
- Significant risk of tachycardia, arrhythmia, and transient lactic acidosis.
Dopamine  discouraged in sepsis  induce tachyarrhythmia and significantly worsen
outcomes in this setting.
Phenylephrine
- pure alpha-adrenergic agonist  limited data on its efficacy and safety.
- Vail et al : increased mortality associated with phenylephrine use in septic shock in a
multicenter cohort study conducted during a norepinephrine shortage.
Angiotensin II
- recently approved as a vasopressor for use in septic shock.
- activates angiotensin type 1a and 1b receptors to increase intracellular calcium in
smooth muscle, promoting vasoconstriction.
- Clinical data  limited

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 33


- a recent trial  improved blood pressure in patients with refractory vasodilatory
shock receiving high-dose vasopressors.
- The data are still sparse on its safety in refractory shock treatment algorithms has
yet to be defined.
Inotropic agents may be required for patients with inadequate cardiac output after fluid
resuscitation due to sepsis-induced cardiomyopathy or combined shock.
Data are limited suggesting an optimal inotropic agent in septic shock, but epinephrine and
dobutamine are most commonly used.
A comparison of NE + dobutamine VS epinephrine  no difference in mortality, side
effects, or shock duration.

Avni T., et all,2015, Vasopressors for the Treatment of Septic Shock: Systematic Review and Meta-Analysise,
PLOS ONE | DOI:10.1371/journal.pone.0129305

a. Norepinephrine versus dopamine, major adverse events.


b. Norepinephrine versus dopamine, cardiac arrhythmias

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 34


Dugar S., Et All, 2020, Sepsis And Septic Shock : Guideline-Based Management, CLEVELAND CLINIC
JOURNAL OF MEDICINE, VOLUME 87 : NUMBER 1 , JANUARY. Doi:10.3949/Ccjm.87a.18143
Target parameters of early goal directed therapy:

Wagenlehner FME et all, Diagnosis and management fo r u rosepsis International Journal of Urology (2013) 20
, 963–970
12 hours : Source control:

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 35


• Infection source control with attention to the balance of risks and benefits of the
chosen method within 12 h of diagnosis.
• obstruction, abscesses, foreign bodies, stonesdrainage of obstruction and abscesses
the most important strategy.
• Obstruction foremost causes and risks for community-acquired urosepsis  should
be cleared as soon as possible
• hydronephrosis or renal abscessesdrainage by nephrostomy .
• In hospital-acquired urosepsisthe indwelling urinary catheter  frequent cause of
urosepsis catheter-associated urinary tract infection (CAUTI) should be removed
as early as possible.
Adjunctive treatment:
• Adjunctive treatment  simultaneously with supportive treatment.
• Glucocorticoid treatment  contoversial.
• Only in resistant hypotension despite vasopressor administration and volume
substitution can the administration of hydrocortisone (200 mg/d) be considered as a
last resort
• Conventional insulin treatment is superior to intensified insulin treatment for sepsis
patients: hypoglycemia >> ( VISEP trial)
• NICE-SUGAR trial showed a 2.6% increase in mortality (27.5% vs. 24.9%, p = 0.02)
 intensified insulin treatment
• Strict glycemic control is thus not indicated  110 mg/dL and 180 mg/dL
• the current German (DSG) guideline  the intravenous of selenium (a radical
scavenger) can be considered in the treatment of severe sepsis and septic shock but
The international SSC guideline, however, contains no such recommendation.
Complications of urosepsis:

Shaikh N., et all,2018, Urosepsis: Flow is Life, DOI: http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.82262

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 36


DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
 Sepsis is the body's response to an infection.
 Urosepsis  only one possible cause
 must look for other sources of infection besides the urinary tract
 consider broad-spectrum antibiotics early on if no clear source is identified.
 Urinary tract infection
 Cystitis
 Pyelonephritis
 Acute bacterial prostatitis
 Prostatic abscess
 Renal abscess
 Urolithiasis

PREVENTION
 Community-acquired urosepsis 
o relieving the obstruction to the flow of urine
o correction of the urinary tract abnormalities,
 Hospital-acquired urosepsis 
o CAUTI (catheter-associated urinary tract infection )
o Isolation of patients with multi-resistant organisms
o Removing urinary catheter
o Prudent use of antimicrobial agents for prophylaxis
o Using the condom catheters.
o Reduction in hospital stay.
 Urinary tract infection in females 
o clean genitalia,
o drinking plenty of water particularly after intercourse,
o urinating frequently
o wiping from front to back.
 Elderly patients
o cranberry juice or capsule
o elderly postmenopausal  intravaginal oestriol therapy

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 37


o risk factor : inconsistence, cystocele should be taken care.
o Elderly man : incontinence of the bladder and enlargement of prostate is risk,
so they should be taken care condom catheter or surgical intervention.
 Endo-urological procedure  risk for postoperative urosepsis.
 The urinary tract interventions are more risky in patients with positive preoperative
urine cultures  perioperative antibiotics reduce urosepsis after uroendoscopy
Enhancing Healthcare Team Outcomes:
 multidisciplinary team :
- nephrologist
- infectious disease expert
- urologist  urological abnormality  be corrected
- intensivist
- microbiologists
- a nurse  should closely monitor the patient for signs of sepsis and
communicate with the healthcare provider
- a pharmacist  should ensure that there is no delay in the administration of
the antibiotics.
Summary of evidence and recommendations for the diagnosis and treatment of urosepsis:

Bonkat G. Et all, 2020, EAU Guidelines on Urological Infections, European Association of Urology.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 38


Outcome:
Steps in the successful management: - Early adequate tissue oxygenation,
- adequate initial antibiotic therapy, and
- rapid identification and control of the septic focus in the urinary tract
- early imaging
- an optimal interdisciplinary approach encompassing emergency unit ,
urological and intensive-care medicine specialists.
The outcomes  depend on - the cause of infection
- severity of the infection. The prognosis also depends on
- the type of bacteria,
- antimicrobial resistance, and
-patient comorbidity.
Untreated  very high mortality.
prolonged recovery period.
Residual disturbance in renal function is not uncommon.
The prognosis  more favorable.
mortality rates of 20–40% for severe urosepsis.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 39


Session 1
“How to Diagnose and Manage Acute Kidney Injury in Daily Practice”
Speaker 2
dr. Retno Suryaningsih, Sp.PD-KGH., FINASIM
(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama Lengkap : dr. Retno Suryaningsih, Sp. PD-KGH, FINASIM


Tempat, tanggal lahir : Surakarta, 30 April 1970
Alamat : Jl. Parangkesit No. 13, Surakarta
Email : nanaretno89@yahoo.com
Riwayat Pendidikan :
- 2016-2019 : Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang (Konsultan
Nefrourologi Hipertensi)
- 2004-2009 : Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang (Spesialis
Penyakit Dalam)
- 1989-1996 : Universitas Gadjah Mada (Pendidikan Dokter)
- 1986-1988 : SMA Negeri IV Surakarta
- 1983-1985 : SMP Negeri 1 Surakarta
- 1976-1983 : SD Negeri 94 Surakarta
Riwayat Pekerjaan :

- 1997-2000 : Pegawai tidak tetap Puskesmas Karangpandan, Karanganyar


- 2000-2003 : Kaltim Prima Coal Company, Kalimantan Timur (sebagai dokter
umum)
- 2003-2004 : Newmont Nusa Tenggara Company, NTT (sebagai dokter umum)
- 2004 : PT Freeport Indonesia, Tembagapura (sebagai dokter umum)
- 2010-sekarang: RS PKU Muhammadiyah Surakarta
- 2011-sekarang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 40


HOW TO DIAGNOSE AND MANAGE

ACUTE KINEY INJURY IN DAILY RACTICE

Retno Suryaningsih

Pendahuluan

Acute Kidney Injury (AKI) merupakan sindrom klinis dengan berbagai penyebab dan
memiliki patofisiologi yang berbeda-beda, yang ditandai dengan penurunan mendadak fungsi
ginjal dalam beberapa jam sampai beberapa hari. AKI adalah keadaan yang umum dijumpai
dan mempunyai faktor risiko tinggi untuk terjadinya morbiditas yaitu berlanjut menjadi
penyakit ginjal kronik.1 Penatalaksanaan AKI sangat bervariasi, hal tersebut karena AKI
disebabkan oleh berbagai penyakit seperti: sepsis, dehidrasi, gangguan hemodinamik oleh
karena penyakit jantung, serta pemakaian obat-obatan yang bersifat nefrotoksik.1,2

Istilah AKI dipakai untuk menggantikan istilah Gagal ginjal akut, hal ini bertujun
untuk mendeteksi lebih awal adanya AKI dan penatalaksanaan kelainan ginjal yang terjadi
dengan segera. Perubahan istilah ini tidak hanya sekedar perubahan nama, namun merupakan
perubahan konsep yang mendasar. Penggunakan istilah injury (gangguan) pada AKI tersebut
telah mencakup semua tahapan kelainan ginjal dari tahap ringan sampai gagal ginjal tahap
akhir.1,2

Insiden AKI bervariasi berkisar antara 10-20 % pada pada populasi umum yang
dilakukan rawat inap di Rumah sakit, sebanyak 10% memerlukan terapi penggantian ginjal
(TPG). Pada pasien dengan sakit kritis insiden AKI berkisar 45-50%. AKI dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, serta memerlukan biaya yang tinggi dalam proses
perawatan. Setiap tahunnya sebanyak 1,7 juta orang di seluruh dunia diperkirakan
meninggal akibat AKI. Chertow dkk, dalam penelitiannya pada pasien yang dilakukan rawat
inap di RS menunjukkan adanya peningkatan kreatinin ≥ 0,3 mg/dl ( ≥26 umol/L) secara
independen dikaitkan dengan risiko mortalitas 4 kali.3

Deteksi awal AKI yang akurat dan cepat serta pemahaman yang lebih baik tentang
mekanisme patofisiologi yang mendasari sangat penting untuk penatalaksanaan yang optimal
dan upaya mencegah komplikasi.2,4

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 41


Kriteria diagnosis dan penyebab AKI

Diagnosis AKI dalam praktek klinis didasarkan pada parameter-parameter fungsional


yaitu kretainin serum dan jumlah urin output, namun kreatinin serum merupakan indikator
yang kurang dapat diandalkan selama perubahan akut pada fungsi ginjal. Kenaikan kreatinin
serum merupakan tanda dari perubahan filtrasi glomerulus yang telah berlangsung selama
6
berjam jam atau hari. Kreatinin serum merupakan penanda fungsi ginjal yang dianggab
terlambat, tidak sensitif dan spesifik, bisa diperlukan waktu 72 jam setelah cedera untuk
dapat mendeteksi peningkatan kreatinin serum. Adanya hemodilusi akan menurunkan
kreatinin serum dan menyebabkan keterlambatan dalam mendeteksi awal adanya AKI,
sebaliknya adanya hemokonsentrasi akan menyebabkan peningkatan kretinin serum
meskipun tidak ditemukan adanya cedera akut ginjal.7

Adanya beragam definisi ARF telah menimbulkan kesulitan dalam membuat panduan
diagnosis secara universal, namun juga membawa dampak dalam penatalaksanaannya.
Organisasi Acute Dialysis Quality Initiative/ ADQI tahun 2003 mengajukan definisi AKI
dengan menggunakan istilah injury/gangguan. Perubahan nomenklatur tersebut mencakup
semua tahapan gangguan ginjal, dari yang paling ringan sampai gagal ginjal tahap akhir.
Definisi baru tersebut disertai kriteria yang memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhi tahapan gagal ginjal akut dan mencerminkan kondisi klinisnya. Tahapan ini
disebut kriteria RIFLE ( Risk, Injury, Failure, Loss, End Stage Kidney disease).6,10,12

Tabel 1. Klasifikasi AKI dan tahapan AKI berdasarkan RIFLE, AKIN dan KDIQO.12

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 42


Pada tahun 2012, The Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO)
membuat panduan praktis AKI yang dimuat dalam majalah Kidney International vol 2 tahun
2012. Mendifinisikan AKI sebagai berikut :8

1. Peningkatan serum kreatinin sebesar 0.3 mg/dl (26.5 mmol/l) dalam waktu 48 jam;
2. Peningkatan serum kreatinin hingga 1.5 kali baseline, yang sudah diketahui sebelumnya
atau diperkirakan telah terjadi dalam 7 hari.
3. Jumlah volume urin <0.5 ml /kg/ jam selama 6 jam.

AKI sangat tergantung pada lamanya kerusakan ginjal dan luasnya kerusakan ginjal,
sehinga mendeteksi pasien dengan AKI sejak awal atau bahkan sejak masuk Rumah sakit
dapat meminimalkan cedera ginjal lebih lanjut atau terjadinya komplikasi. Meningkatnya
insiden AKI terutama terjadi pada pasien usia tua yang menderita berbagai penyakit atau
morbiditas.9
Penilaian AKI dilakukan untuk mencari faktor risiko dan penyebab AKI terutama
pada keadaan hipoperfusi (kehilangan volume dan hipotensi) dan obstruksi saluran kemih.
Pada kondisi hipotensi persisten, harus dicurigai adanya sepsis yang tidak memberikan
gejala, khususnya sepsis akibat intra abdominal.10

Tabel 2. Faktor risiko AKI.8

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 43


Penyebab AKI dapat dibagi menjadi tiga kategori: prerenal ,~55% (disebabkan oleh
penurunan perfusi ginjal, seringkali karena deplesi volume); AKI intrinsic/ renal ~40%
(disebabkan oleh proses di dalam ginjal), dan penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih (AKI pascarenal,~5%).11 Pada pasien yang sudah menderita penyakit ginjal kronis
sebelumnya, adanya salah satu faktor penyebab tersebut diatas (terutama penurunan volume)
dapat menyebabkan AKI pada kondisi Chronic Kidney Disease.
Penyakit ginjal intrinsik selalu dipertimbangkan sebagai penyebab jika tidak disertai
adanya dehidrasi, hipotensi dan obstruksi. Pengaruh AKI harus dinilai apakah terjadi
kelebihan cairan yang ditandai dengan edema perifer, edema paru yang dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen. Pada AKI yang berat sering disertai pericarditis dan ensepalopati.
Tabel 3 penyebab AKI10

Category Abnormality Possible causes

1. Hypovolaemia Haemorrhage
Prerenal Volume depletion
Renal fluid loss (over-diuresis)
Third space (burns, peritonitis, muscle trauma)

Impaired Congestive heart failure


cardiac Acute myocardial infarction
function Massive pulmonary embolism

Systemic Anti-hypertensive medications


vasodilatation Gram negative bacteraemia
Cirrhosis
Anaphylaxis

Increased Anaesthesia
vascular Surgery
resistance Hepatorenal syndrome
NSAID medications
Drugs that cause renal vasoconstriction (i.e. cyclosporine)

2. Tubular Renal ischaemia


Instrinsic/ (shock, complications of surgery, haemorrhage, trauma,
bacteraemia, pancreatitis, pregnancy)
Renal Nephrotoxic drugs
(antibiotics, antineoplastic drugs, contrast media, organic

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 44


solvents, anaesthetic drugs, heavy metals)
Endogenous toxins
(myoglobin, haemoglobin, uric acid)

Glomerular Acute post-infectious glomerulonephritis


Lupus nephritis
IgA glomerulonephritis
Infective endocarditis
Goodpasture syndrome

4.Post Bladder outlet Benign prostatic hypertrophy,


renal
cancer,

strictures,

blood clots

Ureteral Bilateral obstruction (or unilateral with one kidney): stones,

malignancy,

retroperitoneal fibrosis

Renal pelvis Papillary necrosis, Stone, NSAID

Manifestasi dan penyebab AKI sangat bervariasi, sekitar 70 % AKI yang didapat dari
komunitas dikaitkan dengan penyebab prerenal. Pada penyebab pre renal, fungsi ginjal yang
mendasari dapat normal, namun adanya penurunan perfusi ginjal terkait dengan penurunan
volume intravaskular (misalnya, dari muntah, diare, perdarahan) atau penurunan tekanan
arteri (misalnya dari gagal jantung atau sepsis) yang menyebabkan penurunan LFG.11
Mekanisme autoregulasi merupakan upaya untuk mempertahankan laju filtrasi
glomerulus, dengan vasodilatasi arteriol afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik serta
prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol efferent yang terutama

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 45


dipengaruhi oleh angiotensin-II(A-II) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi yang berat dan berlangsung lama,
maka mekanisme ini akan terganggu, dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi,
terjadi konstraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi Na- dan air. Keadaan ini merupakan
penyebab prerenal.11

Gambar 1. Patofisiologi Acute Kidney Injury pasca operasi bedah jantung.14

Hipoperfusi ginjal yang berlangsung lama dan berat dapat menyebabkan iskemia,
kematian sel, dan terjadi nekrosis tubular akut/NTA. Proses-proses yang disebabkan oleh
faktor prerenal dapat menyebabkan ATN, namun kerusakan ginjal yang paling sering terjadi
adalah pada kondisi pasien dengan hipotensi yang diakibatkan pasca operasi, sepsis, dan
komplikasi obstetric. Mekanisme cedera yang terjadi pada NTA kemungkinan disebabkan
karena vasokonstriksi arteriol afferen, kebocoran filtrat glomerulus, obstruksi tubular.
Penggunaan obat-obat nefrotoksik seperti aminoglikosida, atau penggunaan zat kontras dapat
menyebabkan AKI dengan berbagai mekanisme.11

Penegakan Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI, perlu dilakukan evaluasi apakah
penurunan tersebut terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal atau tidak normal (acute
on chronic kidney disease). Pada kondisi tersebut diperlukan anamnesis yang cermat meliputi

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 46


riwayat etiologi penyakit ginjal kronik, faktor-faktor pencetus, faktor- komorbid (hipertensi,
DM, penyakit jantung, autoimun, dll). Anamnesis etiologi AKI, (penyebab pre renal:
infeksi/sepsis, dehidrasi, kelainan jantung, obat-obatan bersifat nefrotoksik atau berkaitan
dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Riwayat pemeriksaan radiologi
dengan menggunakan zat kontras: evaluasi adanya penyebab post renal: batu, striktur
urethra, tumor, BPH.3,5,6

Pemeriksaan fisik adanya gejala atau tanda yang dapat membantu diagnosis
penyebab pre renal misalnya adanya hipovolemia, dehidrasi, oliguria (jumlah urin<500
ml/24 jam atau <0,5cc/kgbb /jam), mukosa kering, turgor kulit menurun, BJ urin > 1,020.
hipotensi postural, akral dingin, turgor kulit menurun. capillary refill <2’, pemeriksaan CVP ,
cardiac output monitoring. Evaluasi tanda gagal jantung ( JVP meningkat, udem paru,
hepatomegali) dan sepsis.3,11,17

Pemeriksaan laboratorium, antara lain pemeriksaan urinalisis dapat membantu dalam


penegakan diagnosis adanya inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau
uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung
silinder hialin yang transparan. Hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi
intralumen atau penyakit prostat. Eritrosit dismorfik mengarah adanya kelainan glomerular
misalnya glomerulonephritis. Silinder eritrosit menunjukkan adanya kerusakan glomerulus,
nefritis interstitial, sedangkan silinder lekosit (pielonefritis). Adanya nitrat dalam urin
merupakan kondisi normal hasil metabolisme protein, dtemukannya nitrit dapat menunjukkan
adanya bakteri yang mengandung enzim reductase yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit
(misalnya Enterobacter, E Coli, Samonella, Klebsiela, Enterococcus). Adanya sel epitel
tubuler ≥13/LP menggambarkan adanya penyakit ginjal aktif : nefritis, NTA. Adanya renal
tubula fat/ oval fat body sebagai indikator adanya kebocoran plasma ke dalam urin dan
kematian sel epitel tubulus (misalnya pada sindroma nefrotik, DM lanjut) Pemeriksaan
proteinuria kualitatif/ kuantittif, osmolaritas, albumin/kreatinin ratio, Fraksi eksresi Na.11,12,17

Pemeriksaan darah rutin, kadar ureum, kreatinin, elektrolit diperlukan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan evaluasi. Penghitungan jumlah urin output untuk menentukan
stadium dan beratnya AKI. Adanya cedera ginjal ringan jika serum kreatinin meningkat <
0,5 mg / dL di atas nilai dasar; cedera sedang sampai berat jika serum kreatinin meningkat ≥
0,5 mg / dL di atas nilai dasar (perubahan kreatinin dievaluasi dalam konteks kreatinin

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 47


dasar). Pemeriksaan Radiologi antara lain USG, CT Scan, renal doppler (untuk mengevaluasi
renal blood flow).3,6,17
B. Biomarker Acute Kidney Injury

Kreatinin serum memiliki banyak keterbatasan dalam mendiagnosa adanya AKI,


sehingga kurang sensitif untuk menggambarkan tingkat disfungsi ginjal pada pasien sakit
kritis. Penanda biologis baru dalam membantu mendiagnosis AKI lebih awal sangat
membantu para klinisi dalam mendiagnosa AKI dengan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi. Biomarker ideal haruslah bersifat murah, cepat dan mudah diukur, dan spesifik untuk
ginjal. Kadarnya meningkat di awal terjadinya disfungsi, dan mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi. Terdapat 4 penanda biologis yang saat ini secara luas digunakan para
klinisi di seluruh dunia untuk mendeteksi AKI, antara lain Neutrophil Gelatinase-Associated
Lipocalin (NGAL), cystatin C, KIM-1 dan interleukin-18. Kadar NGAL urin meningkat
dalam waktu 2 jam setelah terjadinya disfungsi ginjal, sedangkan IL-18 dalam waktu 12
jam.2,15

Gambar 2. Perbandingan perubahan kadar biomarker urin atau serum pada AKI dan
non-AKI setelah operasi jantung.15

AKI: acute kidney injury; CPB: cardiopulmonary bypass; creatinine: serum creatinine;
cystatin-C: serum cystatin-C; KIM-1: urinary kidney injury molecule-1; NGAL: urinary
neutrophil ge-latinase-associated lipocalin.

Pencegahan dan Penatalaksanaan AKI

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 48


Prinsip-prinsip pencegahan AKI meliputi:8,10

1. Mengidentifikasi dan penatalaksanaan faktor risiko AKI.

2. Mempertahankan hemodinamik, mempertahankan perfusi ginjal dengan mempertahankan

kecukupan volume intravaskular.

3. Mempertahankan oksigenasi adekuat dan konsentrasi hemoglobin.

4. Menghindari obat-obatan bersifat nefrotoksik.

5. Pencegahan terhadap risiko Contrast-associated AKI

6. Pencegahan komplikasi AKI pasca Tindakan bedah.

Penatalaksanaan AKI

Managemen AKI ditujukan untuk perbaikan faktor pencetus dan pengelolaan secara
komprehensif untuk mencegah komplikasi dan perburukan fungsi ginjal lebih lanjut.

Gambar 3. KDIGO Consensus Guideline for AKI.8

Beberapa penatalaksanaan yang perlu dilakukan sebagai berikut:1,2,6,11,

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 49


1. Mempertahankan status volume dan perfusi jaringan.
Resusitasi cairan untuk mempertahankan kecukupan volume intravascular.
Cairan infus bersifat isotonik (Ringer lactat, normal saline) lebih dipilih
dibandingkan larutan hiperonkotik (dekstran, hidroksietil, albumin), usaha untuk
mempertahankan MAP >65 mmHg (65-70 mmHg). Urin out put >0,5 cc/kgBB/Jam.
Pemberian cairan yang mengandung clorida terlalu tinggi dan banyak akan berisiko
terjadinya hyperchloremia, menyebabkan asidosis metabolic hipercloremik dan
semakin mengganggu perfusi ginjal. Pada kondisi pasien dengan hipovolemik, dapat
dilakukan water challenge test, yaitu dengan pemberian cairan kristaloid 250 cc
dalam waktu 30 menit. Pada pasien dengan overhidrasi, dapat diberikan loop
diuretic yang diberikan secara bolus atau infus kontinu dan dievaluasi urin out put.
Pada pasien yang oligurik dengan hemodinamik stabil, dapat diberikan dosis
furosemide 80 sampai 200 mg intravena (IV) dengan memantau peningkatan output
urin. Pasien yang tidak berespon secara adekuat terhadap diuretik perlu
dipertimbangkan Renal replacement therapy/RRT. Pada fase poliuria, keseimbangan
cairan perlu dijaga. Asupan cairan pengganti diusulkan sekitar 65-75% jumlah
cairan yang keluar.

2. Penggunaan vasopresor diindikasikan pada pasien dengan hipotensi persisten/syok.


Penggunaan vasopressor untuk mencapai tekanan arteri rata-rata /MAP 65
(65-75 mmHg). Penggunaan dopamin dosis renal tidak direkomendasikan pada
pasien dengan AKI. Dopamin merupakan prekusor dari norepimeprin alami yang
merangsang pengeluaran epineprin dari nerve ending dan bekerja pada reseptor
dopamine analog 1 /DA1 dan DA2 yang berada di otot polos pembuluh darah
ginjal, mesenteric, coroner, serebral, gaster dan hepar, pengikatan dopamine pada
reseptor tersebut mengakibatkan vasodilatasi arteri dan natriuresis. Dopamin dosis
rendah (0,5-3ug/kgbb) dapat menyebabkan vasodilatasi ginjal dengan menghambat
Na+/K+-ATPase dengan efek peningkatan aliran darah ginjal. Dosis tinggi
dopamine dapat menyebabkan vasokonstriksi. Pada penelian meta-analisis
menyebutkan bahwa penggunaan dopamine dosis rendah tidak terbukti bermanfaat,
bahkan berisiko adanya efek samping yang serius seperti iskemi miokard,

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 50


takiaritmia, iskemi mukosa saluran cerna, gangrene digiti.
3. Evaluasi adanya ketidakseimbangan elektrolit.
Pemeriksaan kadar elektrolit diperlukan untuk mengevaluasi adanya
ketidakseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipermagnesemia,
hiponatremia, hipernatremia dan adanya asidosis metabolic. Pasien dengan AKI
yang memiliki serum kalium >6,5 mEq/L dengan gejala atau tanda hiperkalemia
(Gangguan konduksi jantung, kelemahan otot) dapat diberikan terapi (insulin dan
glukosa, kalsium intravena) dan pengikat kalium gastrointestinal/potassium binders.
AKI dengan kadar K> 5,5 mEq / L dan didapatkan rhabdomyolysis atau adanya
absorbsi kalium gastrointestinal yang sedang berlangsung (misalnya adanya
perdarahan gastrointestinal yang signifikan) dapat diberikan terapi konservatif,
bahkan dapat dipertimbangkan dilakukan RRT jika tidak berespon dengan terapi
konservatif.
4. Pemberian nutrisi dini.
Pada pasien dengan kecurigaan AKI/persisten AKI, harus secara dini dimulai
pemberian nutrisi enteral/ parenteral dengan rekomendasi :
- Kalori 25-30 Kkal/ kgBB
- Protein 0,8 – 1,0 gr/kgBB untuk AKI tanpa TPG/ Status hiperkatabolik
- Protein 1,0 – 2,0 gr/ kgBB untuk AKI dengan TPG/ Status hiperkatabolik
5. Pedoman KDIGO 2012 merekomendasikan untuk mempertahankan konsentrasi
glukosa darah antara 110 dan 149 mg / dL pada pasien sakit kritis.3,6
6. Menghindari obat-obat yang bersifat nefrotoksik seperti NSAID, aminoglikosida,
ARB, ACE inhibitor, obat herbal). Menghindari pemeriksaan radiologi yang
menggunakan zat kontras.
7. Renal Replacement therapy/ Terapi pengganti ginjal.
Konsensus dari Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) merekomendasikan terapi
pengganti ginjal pada AKI di negara berkembang sebagai berikut :
a) Bila didapatkan kondisi klinis yang mengancam jiwa misalnya hiperkalemia,
asidosis metabolik, udem paru yang tidak berespon dengan terapi konservatif,
atau oliguri lebih dari 12 jam.
b) Pemilihan jenis TPG yang digunakan disesuaikan dengan:

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 51


- Kondisi klinis pasien
- Fasilitas TPG yang tersedia
- Pengetahuan dan pengalaman staff medis pelaksana
- Dukungan finansial ( asuransi,bpjs, biaya mandiri)
8. Identifikasi pasien untuk dilakukan rujukan ke RS/ Internist/Nephrologyst:11
1. AKI stadium 2 atau 3 sesuai kriteria KDIGO.

2. AKI stadium 1, dengan etiologi yang tidak jelas, peningkatan serum kreatinin
yang tidak diketahui penyebabnya, adanya kekhawatiran bahwa kondisi tidak
dapat segera pulih dengan intervensi sederhana.

3. AKI stadium 1 yang memiliki komorbid dan tidak terkontrol (gagal jantung,
DM, Hipertensi).

4. Keterbatasan fasilitas diagnostik awal (USG, Ro, tindakan intervensi).

9. Evaluasi pasien pasca AKI:3,6


AQDI workgroup16 th 2015, membuat kriteria tahap pemulihan AKI:

- Transien AKI : pemulihan lengkap berdasarkan KDIQO

dalam waktu 48 jam sejak awal terjadinya injury

- Persisten AKI: terus berlangsungny AKI setelah 48 jam

sampai 7 hari sejak injury

- Acute kidney disease/AKD: suatu kondisi dimana AKI (tahap 1 atau

lebih) terus berlangsung ≥7 hari hingga 90 hari.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 52


INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 53
Gambar 4. Algoritma evaluasi sub akut kidney injury.12

DAFTAR PUSTAKA

1. Ronco, C., Bellomo, R., & Kellum, J. A. Acute kidney injury. The Lancet, 2019.
394(10212):1949–1964.
2. Makris K., Spanou L. Acute Kidney Injury: Definition, Pathophysiology and Clinical
Phenotypes. Clin Biochem Rev. 2016; 37(2): 85–98.
3. Thongprayoon, Hansivrijit, Kovuruu K., Kanduri. et all. Diagnostics, Risk Factors,
Treatment and Outcomes of Acute Kidney Injury in a New Paradigm. J. Clin.
Med. 2020, 9(4):1104
4. Susantitaphong P, Cruz DN, Cerda J, Abulfaraj M, Alqahtani F, Koulouridis I, et al. World
incidence of AKI: a meta-analysis. Clin J Am Soc Nephrol. 2013; 8:1482–93.
5. Judd E., Sanders PW., Agarval A.Diagnosis and Clinical Evaluation of Acute Kidney Injury.
Available at: https://abdominalkey.com/diagnosis-and-clinical-evaluation-of-acute-kidney-
injury/
6. Roesli, RMA. Acute Kidney Injury. PIT-KONKER PERNEFRI. Padang. 2019;266-87
7. Kathleen D., Liu D., Stuart L., Goldstein, Vijayan A., et all. AKI!Now Initiative:
Recommendations for Awareness, Recognition, and Management of AKI.
CJASN.2020;15(12):1838-47
8. Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) Clinical Practice Guideline
for Acute Kidney Injury. Kidney Int Suppl. 2012;2:1–138.
9. Finley S., Bray B., Lewington, Rowey. Identification of risk factors associated with
acute kidney injury in patients admitted to acute medical units. Clin Med (Lond).
2013(3): 233–238.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 54


10. Moore, PK. Hsu RK., Liu KD., Management of Acute Kidney Injury: Core
Curriculum 2018. Am J Kidney Dis. 2018;72(1): 136-148.
11. Roesli RMA. Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA,
Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal
akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008:p.41-66
12. Okusa MD., Rosner MH., Overview of the management of acute kidney injury (AKI)
in adults. Uptodate. Available at: https://www.uptodate.com/contents/overview-of-
the-manage ment-of-acute-kidney-injury-aki-in-adults?search=acute%20kidney%2
Diakses pada tanggal 20 januari 2021
13. Li Z., Cai L., Du Z., Chen Y., An S. et all. Identification and Predicting Short-Term
Prognosis of Early Cardiorenal Syndrome Type 1: KDIGO Is Superior to RIFLE or
AKIN. PLOS ONE. 2014: 9(12); 1-14
14. Yuan AM., Acute Kidney Injury after Cardiac Surgery: Risk Factors and Novel
Biomarkers. Braz J Cardiovasc Surg 2019;34(3):352-360
15. Schrier RW., Poole B., Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J Clin Invest. 2004;114(1):5-14.
16. Zeng C., Liao. Biomarkers in Acute Kidney Injury. Open Journal of Nephrology,
2013, 3, 51-60
17. Nainggolan G. Acute Kidney Injury: pendekatan Klinis dan tata laksana. Acute
Kidney Injury.Available at:
https://www.academia.edu/28544966/Acute_Kidney_Injury_
Pendekatan_Klinis_dan_Tata_Laksana. Diakses pada tanggal 6 Februari 2021
18. Mandelbaum T, Scott DJ, Lee J, Mark RG, Malhotra A, Waikar SS, et al. Outcome
of critically ill patients with acute kidney injury using the Acute Kidney Injury
Network criteria. Crit Care Med. 2011; 39:2659–64.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 55


DAY 1
SESSION 2
“UPDATE MANAGEMENT IN END STAGE RENAL DISEASE”

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 56


MODERATOR

dr. Iin Novita Nurhidayati Mahmuda, M.Sc., Sp.PD

(foto pembicara)

Curiculum Vitae

1. Nama : dr. Iin Novita Nurhidayati Mahmuda, MSc, SpPD


Tempat/Tanggal lahir : Jakarta/28 September 1981
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Alamat : Nusa Indah I B-3, Ngabeyan, Kartasura, Sukoharjo
Telepon : +6281393050635
Email : iinnovitanm@gmail.com
innm209@ums.ac.id
Jabatan Fungsional : Asisten ahli/3B-Penata Muda Tingkat I
NIK : 1013
NIDN : 0628098101

A. Riwayat Pendidikan
1) Sarjana Kedokteran: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 1999-
2003
2) Profesi Dokter: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 2003-2005
3) S2 Ilmu Kedokteran Klinik: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
2010-2013
4) PPDS Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
2010-2015
B. Pelatihan Profesional
1) Practical Approach to Insulin Therapy, Insulin Pioneer Workshop, PAPDI
SOLO, 2015
2) Workshop ADRENALIN Clinical Update of Emergency in Internal Medicine
Sumpah Dokter FK UNS (2016)
3) In House Training Penelitian Hewan Uji FK UMS (2016)
4) Workshop intra articular Pertemuan Ilmiah Penyakit Dalam FK UGM 2016
5) Workshop respiratory emergency Pertemuan Ilmiah Penyakit Dalam FK UGM
2016

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 57


6) Lokakarya Penyusunan Referensi Penulisan Soal Ujian UKMPPD, AIPKI
(2016)

C. Pengalaman Mengajar
1) Kuliah dan Konsultasi Pakar Blok Cardiovascular, Respirasi, Hematologi,
Digestif, Muskuloskeletal, Nefrourologi, dan Endokrin Fakultas Kedokteran
UMS (2015-sekarang)
2) Kuliah Blok Life Cycle Topik ―Problem Kesehatan Pada Lansia‖ Fakultas
Kedokteran UMS (2015-sekarang)
3) Kuliah Blok Neurologi Topik ―Encephalopathi Hypertensi‖ Fakultas
Kedokteran UMS (2015-sekarang)
4) Bimbingan ujian CBT UKMPPD dan OSCE Nasional Penyakit Dalam Bagian
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UMS (2015-sekarang)
5) Bimbingan Klinis Pendidikan Profesi di Stase Penyakit Dalam RS PKU
Muhammadiyah Surakarta (2016-sekarang)
6) Bimbingan Klinik delegasi IMO FK UMS (2017-sekarang)
7) Bimbingan Klinik delegasi ICEM FK UMS (2018-sekarang)
D. Produk Bahan Ajar
1) CEREBRO Jilid 1-3, Panduan Praktikum Anatomi (2016)
2) Buku Student Guide dan Tutor Guide Blok Cardiovascular, Respirasi,
Hematologi, Digestif, Muskuloskeletal, Nefrourologi, dan Endokrin
(2015/2016/2017)
E. Penelitian dan Publikasi
1) Diabetes Mellitus as Predictor Risk Factor for Coronary Lession in Coronary
Heart Disease Patient at RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta dipresentasikan pada 3
th International Conference of Health and Medical Science diselenggarakan oleh
FK UMY 2018 dipublikasikan pada edisi khusus Malaysian Journal Public
Health of Medicine Volume 18 (suplemen 2) 2018
2) Hiperglikemia sebagai Prediktor Keberhasilan Pengobatan Pasien dengan
Sindrome Koroner Akut di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dipublikasikan pada
Biomedika Volume 10 Nomor 2, Agustus 2018
3) Pencegahan dan Tata Laksana Dekubitus pada Geriatri dipublikasikan pada
Biomedika, Volume 11 Nomor 1, Februari 2019
4) Acut Limb Iskemik : Case Report Review dipresentasikan pada Seminar
Nasional Continuing Medical Education, Workshop and Symposium Maternity
Emergency Obstretry and Gynocology in The Primary Care, Maret 2019 dimuat
dalam Proceeding Book
5) A Primary Spontaneous Pneumothorax in Young Woman dipresentasikan pada
Seminar Nasional Continuing Medical Education, Workshop and Symposium

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 58


Maternity Emergency Obstretry and Gynocology in The Primary Care, Maret
2019 dimuat dalam Proceeding Book
6) Tuberculosis Diseminata dipresentasikan pada Seminar Nasional Continuing
Medical Education, Workshop and Symposium Maternity Emergency Obstretry
and Gynocology in The Primary Care, Maret 2019 dimuat dalam Proceeding
Book
Session 2
“Renal Replacement Therapy and Kidney Transplant”
Speaker 1
Prof. Dr. dr. HM. Bambang Purwanto, Sp.PD-KGH., FINASIM
(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama Lengkap : Prof. DR.Dr. HM. Bambang Purwanto, SpPD-


KGH, FINASIM
Tempat dan Tanggal Lahir : Surakarta, 19 Juli 1948
Jenis Kelamin : Laki-Laki
NIDN : 88243 80018
Email : bambangp.solo@yahoo.com
Profesi :
- Guru Besar Fakultas Kedokteran UNS (S3)
- Dosen Pengajar Pendidikan Dokter Sub Spesialis
- Dosen Pengajar Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
- Staf Dokter RSUD Dr.Moewardi Surakarta
- Staf Dokter RS Kasih Ibu Surakarta
Alamat Kantor : Jl. Kol. Sutarto No.132, Kec. Jebres, Surakarta, Jawa Tengah
Nomor Telp/Fax : (0271) 788 9008
Lulusan yang telah dihasilkan:
- Sarjana Kedokteran
- Profesi Dokter
- Dokter Spesialis (PPDS 1)
- Dokter Subspesialis ( Dokter Konsultan )
- Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran (S3)

A. Riwayat Pendidikan
Nama Perguruan Guru Besar
S1 S2 S3
Tinggi (Profesor)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 59


RENAL REPLACEMENT THERAPY AND KIDNEY TRANSPLANT IN
INDONESIA

Prof. Dr. dr. H.M. Bambang Purwanto, Sp. PD-KGH, FINASIM

CKD

 Is a silent condition

 Is becoming increasingly common due to ageing and a rising incidence of DM and


hypertension

 Is a potent independent risk factor for CVD

EMERGENCY IN CKD

 Metabolic Acidosis

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 60


 Overhydration

 Hyperkalemia

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 61


1. Epidemiology of CKD

PREVALENCE OF CHRONIC KIDNEY DESEASE BASED ON DOCTOR’S


DIAGNOSIS IN POPULATION ≥ 15 YEARS BY PROVINCE, 2013-2018

RISKESDAS 2018

PREVALENCE OF CHRONIC KIDNEY DESEASE BASED ON THE DOCTOR’S


DIAGNOSIS AT THE AGE OF ≥ 15 YEARS, ACCORDING TO THE
CHARACTERISTICS, 2018

MALE FEMALE

URBAN RURAL

RISKESDAS 2018

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 62


PREVALENCE OF CHRONIC KIDNEY DESEASE BASED ON DOCTOR’S
DIAGNOSIS AT AGE ≥ 15 ACCORDING TO CHARACTERISTIC, 2018

Uneducated Uncompleted Graduate Graduat Graduate Graduate


in primary from e from from High from
school primary junior school university
school high
school

Unemployement Farmer / Civil Servant / Fisherm Workers / Others Entrepreneur Private school
Farm Soldier / Police / an Drivers / Employees
laborers State-owned Helper
enterprise

RISKESDAS 2018

PROVINCE HAVE / ARE ON DIALYSIS FOR POPULATION AGED ≥15 YEARS


WHO HAVE BEEN DIAGNOSED WITH CHRONIC KIDNEY DESEASE
ACCROODING TO THE PROVINCE

PERCENT (%)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 63


2. CKD ETIOLOGY

E1 (Primary
Glomerulopathy)
(GNC)
E9 (Others)
E8 (Chronic E10
Pyelonephritis) (Unknown)

E7 (Obstructive
Nephropathy)

E6 (Gout
Nephropathy)
E2 (Diabetic
E5 (Kidney
Nephropathy)
Polycystic)

E4 (Hypertensive
Kidney Disease)
E3 (Lupus
Nephropaty)
CKD Etiology (IRR 2018) (SLE)

1. Hypertension

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 64


2. Glomerulonephritis

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 65


PREVENTION ( NON DRUGS TREATMENTS)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 66


VEGETABLES, FRESH FRUIT & FISH

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 67


3. TREATMENT IN CKD

RENAL REPLACEMENT THERAPY OPTIONS

1. Dialysis: hemodialysis (HD), peritoneal dialysis (CAPD)


2. Kidney Transplant, include preemptive transplantation
3. Delay dialysis: very low protein diet plus ketoanalogues, strict fluid management;
especially for the elderly in good/stable condition. ( relatively few comorbids )
4. Palliative Therapy: conservative therapy,especially in patients with multiple and
severe comorbidities.
Daugirdas. Handbook of dialysis. 5th ed. 2015

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 68


Newly Patients & Active Hemodialysis Patients in Indonesia (IRR 2018)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 69


CAPD Active Patients From 2015 - 2018
CAPD active patients up to december 31 per year

CAPD Patient

CAPD Active Patients in Indonesia (IRR 2018)

The proportion of active patients with capd in 2018

CAPD patients are only 2% of all PKG 5 patients undergoing routine IRR
dialysis 2018

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 70


CAPD

The distribution of CAPD patients in indonesia

IRR 2018

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 71


CHEST PAIN

STROKE

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 72


4. KIDNEY TRANSPLANT IN INDONESIA
1. Kidney transplantation is the best therapy for CKD patients compared to dialysis
2. Better result
3. Cheaper, comparing with another therapy
4. Improving quality of life

TRANSPLANT REQUIRES A DONOR

1. The donor must be 18 – 60 years old.


2. Understand certain health requirements.
3. It would be better if the donor has a blood related with the kidney recipients.
4. Donor recipients must continue to take medication to suppress the immune system, so
that their new kidneys do not experience rejection.

1997 The frist kidney transplant in indonesia was done at RSCM Jakarta. 2001-2010 5
Kidney transplant per year. 2012-2014 63 Kidney transplant per year (PERNEFRI, 2013)

Kidney transplantation in Indnesia has not been optimal compared to the United
States, wich performed more than 190,000 kidney transplants in 2013. (United States
Renal Data System (USRDS), 2015).

No HOSPITAL Number

1 dr. Zainoel Abidin Hospital Aceh 5

2 dr. M. Djamil Hospital Padang 14

3 H. Adam Malik Hospital Medan 4

4 dr. Mohammad Hoesin Hospital Palembang 4

5 dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta 791

6 dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung 2

7 dr. Moewardi Hospital Surakarta 5

8 dr. Kariadi Hospital Semarang 44

9 dr. Sardjito Hospital Yogyakarta 73

10 dr. Saiful Anwar Hospital Malang 29

11 Sanglah Hospital Denpasar 19

12 RSUD dr. Soetomo Surabaya 42

TOTAL 1032

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 73


5. OBSTACELS & CHALLENGES

• Need more intensive education about the benefits of kidney transplant


• Limited Expert in Indonesia
• Only few kidney donors in Indonesia, approx ± 15 donors per year & only living
donors.
• Limited kidney transplant centers only in java island (regional 1).
• Post transplant check-up available in several regions only (Aceh, Medan, Padang,
Palembang, Jakarta, Bandung, Surakarta, Semarang, Yogyakarta, Malang, Denpasar,
and Surabaya)
• There are no specific regulations for kidney transplantation and corpse donor in the
technical guidelines and implementing regulations (UU Kesehatan No.36Th 2009)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 74


SOLUTIONS

o There needs to be a management institutions for the provision of kidney transplant


donors that is credible and legally legal
o Created regulations that facilitate organ donation from cadaver (corpse)
o Improving the quality of services, facilities and infrastructure of the hospital
o Educating the public that donors can still lead a normal and healthy life, even after
donating their kidneys.
o Equal distribution of facilities and post-transplant kidney medicine for post-transplant
kidney check-up.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 75


6. CONCLUSION

Stay Active & Fit

THANK Y
Consume Nutritious foods & Control Blood
Sugar

Check Bloood Pressure Regularly

Check Your Weight Regularly

Maintain Body Fluid Intake

Do Not Smoke

DO Not Take Drugs Without a Doctor’s Prescription On


Regular Basis

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 76


Session 2
“Recent Advances in Improvised Dialysis Technique”
Speaker 2
Prof. Dr. Lakshmi N. Naik
Malaka Manipal Medical College, Manipal University
(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama Lengkap : Lakshmi. N. Naik


Designation: Professor, Department of Medicine Deputy Dean FOM and Head of Muar
Facility

Qualifications: 1. MBBS

2. MD Internal Medicine

3. PG Cert Medical Education –University of Dundee

4. ESME online Basic and Leadership in Medical Education -AMEE


5. MAcadMed - Membership selection for Academy of Medical Educators
MBBS KMC, Mangalore January 1991

[Mangalore University, currently Manipal University]

MD, in Internal Medicine, KMC, Manipal 1998

[Manipal University]

Master course Thesis [Dissertation]: Pyrexia of unknown origin – a clinical profile

Professional accomplishments:

Gold medal and best outgoing student award in MD, Medicine 1998, Manipal University,
India
Academic memberships:

a. Reviewer for BMJ Case Reports


b. Reviewer for MedEdPublish Journal
c. Life member – Indian Association of Physicians of India
d. Life member of Indian association of palliative medicine
e. BLS Trainer – certified by AHA
f. ISO Internal Auditor at MMMC

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 77


g. QMR trained and certified –Kuala Lumpur
h. SEARAME –Life member 2011 onwards
i. GCP Malaysia – May 2011
j. AMEE membership
k. ASME membership
l. IAHPC membership
m. AoME Membership
n. Parasitology Curriculum Committee University Malaya

Academic and collateral duties at MMMC:

1. Facilitator for Undergraduate Programme


2. Clinical Teacher at General Hospital [Melaka and Muar]
3. Chairperson Learning Outcome Committee
4. Internal examiner for Final year MBBS university examinations at college
5. Chairperson Library committee
6. World Empathy Association Member
7. Chairperson for hostel committee
Paper Publications and Presentations:

1.Study of Lipid Profile in Postmenopausal Women –JAPI Vol 49

Lakshmi Naik, V Sudha, Mukhyprana Prabhu


Kasturba Medical College, Manipal - 576 119, Karnataka.

2.An Unusual Case of Massive Splenomegaly

JAPI 2001 Vol 49 Abstracts


V Sudha, MM Prabhu, Laxmi Naik
Dr. TMA Pai Hospital, Udupi

3.Contributed Chapters for text book – Manipal Manual of therapeutics

4. Hydroxyurea Induced Perimalleolar Ulcers


J Korean Med Sci 2006; 21: 177-9

ISSN 1011-8934

Kavitha Saravu, Praveen Velappan,

Naik Lakshmi, Barkur Ananthakrishna Shastry,

Joseph Thomas

Departments of Medicine and Medical Oncology,

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 78


Kasturba Medical College, Manipal, India

5.Unusual location of cysticercus lesions in soft tissue – report of three cases


Smiti S, Sripathi H, Naik L. Unusual location of cysticercus lesions in soft tissue - report of
three cases. Indian J Radiol Imaging 2003; 13:15

DAY 2
SESSION 3
“RETENTIO URINE IN DAILY PRACTICE”

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 79


MODERATOR

dr. Hitaputra Agung Wardhana, Sp.B, FINACS

(foto pembicara)

Curiculum Vitae

1. Nama : Dr. Hitaputra Agung Wardhana, SpB FINACS


Tempat, tanggal lahir : Pasuruan, 30 Desember 1967
Email : wita_hitaputra@yahoo.co.id
A. Riwayat Pendidikan
1) SD Kandang Sapi II Pasuruan 1973 - 1980

2) SMP 1 Pasuruan 1980 – 1983

3) SMA 1 Pasuruan, tahun 1983 – 1986

4) Profesi Dokter, FK Universitas Sebelas Maret, tahun 1986 – 1993

5) Program Spesialis FK Universitas Sebelas Maret, tahun 2002 – 2007

B. Pengalaman Kerja
1) 1995 – 1996 Dokter Fungsional Puskesmas Jenar, Sragen, Jawa Tengah

2) 1996 – 1998 Kepala Puskesmas Jenar, Sragen, Jawa Tengah

3) 1998 – sekarang Dokter Fusngsional RS. Ortopedi Prof Soeharso Surakarta

C. Pengalaman Trainer / Pembicara


1) The Training of Instructur Skills Lab, FK Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 15 Januari 2008

2) The Training of Instructur Skills Lab, FK Universitas Muhammadiyah


Surakarta, 22 Januari 2009

3) Pelatihan & Workshop Perawatan Luka Metode Terbaru, Surakarta 2-3


November 2010

4) Recent Development of Woundcare Management, Surakarta 21 Maret 2015

5) Penanganan Pertama Trauma Fisik Pada Anak, Klaten September 2015

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 80


Session 3
“Pediatric Emergency in Nephrourology”
Speaker 1
Dr. dr. Besut Daryanto, Sp.B, Sp.U (K)
(foto pembicara)

Curiculum Vitae

1. Nama : Besut Daryanto, MD, PhD, Surgeon, Urologist,


Pediatric Urologic Consultant
Tempat/tanggal lahir : Gresik, 30 April 1962
Kepentingan Penelitian : Urologi, Pediatrik Urologi
Instansi : Departemen Urologi, FK UB, RS Saiful Anwar
Malang
Alamat Kantor : Jl. Jaksa Agung Suprapto No. 2, Malang
Alamat Rumah : Jl. Taman Sulfat XVII/5, Malang
Email : besut.daryanto@yahoo.co.id;
besut.daryanto@gmail.com; urobes.fk@ub.ac.id
A. Riwayat Pendidikan

Education Degree Year Instance


Elementary School 1974 SD Negeri Cerme Kidul I Cerme Gresik
Primary High School 1977 SMP Negeri Cerme Gresik
Secondary High School 1981 SMAN 5 Surabaya
Medical Doctor Education 1988 Faculty of Medicine Universitas Sebelas
Maret Surakarta, Central Java, Indonesia
Surgent Specialist Education 1999 Faculty of Medicine Universitas Diponegoro
Semarang, Central Java, Indonesia
Urology Specialist Educatiion 2005 Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Surabaya, East Java, Indonesia
Pediatric Urology Consultant 2015 Kolegium Urologi Indonesia (Indonesian
Urology Colegium)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 81


B. Riwayat Pekerjaan

No Year Place Position


1 Puskesmas (Community Health Care) Maospati
1989 - 1991 Medical Staff
Magetan
2 1991 - 1994 Puskesmas Gr.Gr. Taji.Takeran Magetan Head of
Puskesmas
3 1999 - 2002 Muara Teweh Barito Utara Kalimantan Tengah Medical Staff
General Hospital
4 2006 - now Saiful Anwar General Hospital Malang Medical Staff
Indonesia
5 2006 - now Faculty of Medicine Urology Department Lecture
Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
6 2007 - 2011 Akademik Keperawatan Panti Waluya Malang Lecture
7 2009 - now Medical Functional Staff of Urology Saiful Head of Medical
Anwar General Hospital, Malang, Indonesia Functional Staff
8 2008 - 2013 Faculty of Medicine Universitas Lecture
Muhammadiyah Malang
9 2009 - 2013 Faculty of Medicine Universitas Islam Malang Lecture
10 2009 - now Medical Doctor Study Program of Faculty of Head of Lecture
Medicine Brawijaya University Malang Program Urinary
System
11 2011 - 2012 Politeknik Kesehatan Malang Lecture
12 2012 - now Departement of Urology, Faculty of Medicine, Head of
Brawijaya University Department

C. Riwayat Organisasi

Organization Time

Local

Medical Committee, sub ethical committee and medical profession discipline 2017 - now
Saiful Anwar General Hospital Malang Indonesia
Secretary of Kidney Transplantation Saiful Anwar General Hospital Malang 2013 - now
Indonesia
National

Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI) / Indonesian Vasectomy 2005 - now


Association

EMERGENCIES IN PEDIATRIC UROLOGY

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 82


Dr. dr. BESUT DARYANTO, Sp.B, Sp.U(K)

Overview

• Trauma
a). Kidney Trauma
b). Ureter Trauma
c). Bladder Trauma
d). Urethral Trauma
• Non Trauma
• Upper Urinary Tract
a). Renal colic
b). Acute kidney injury
c). Kidney infection
• Lower Urinary Tract
a). Urinary retention
b). Bladder bowel syndrome
c). Haematuria
d). UTI
• Genitoscrotal disorder
a). Phimosis and Paraphimosis
b). Acute scrotum
c). Penile emergencies
• Pediatric Urgencies
a). Hydronephrosis
b). Undscended Testis (UDT)
c). Ambiguous Genital / DSD
d). Hypospadias and epispadias

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 83


PHIMOSIS and PARAPHIMOSIS

PHIMOSIS: Inability to retract foreskin behind the


glandular sulcus.

• Primary (physiological)

• Secondary (pathological)  scarring, balanitis


xeroticaobliterans (BXO).

• In the first year of life, retraction of the foreskin


behind the glandular sulcus is possible in 50% of
boys.

TREATMENT
Conservative :
• Corticosteroid ointment or cream is an option for primary phimosis
• success rate of > 90%, recurrence rate of 17%.
Surgical :
• An absolute indication for secondary phimosis.
• Contraindications for circumcision
– acute local infection
– congenital anomalies of the penis (hypospadias, epispadias, webbed penis,
burried penis)
Note: the foreskin may be required for a reconstructive procedure.

Contraindications for circumcision

hypospadia epispadia chordee

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 84


Webbed penis Burried penis

PARAPHIMOSIS: retracted foreskin with the


constrictive ring localised at the level of the sulcus

TREATMENT

1. MANUAL REDUCTION
a). Penile block anesthesia using 2% lidocain
b). Puncture in the edematous area and squeeze
to decrease swelling (Dundee technique)
c). Apply lubricating gel and push the gland
proximally
2. SURGICAL
a). Immediate dorsal incision of the
constrictive ring
b). Circumcision

ACUTE SCROTUM

Definition: Pain and swelling in scrotum region


Postulate: Acute scrotal swelling in children indicates torsion of the testes until proven
otherwise.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 85


• Painless swelling
– Hernias
– Hydrocele
– Testicular masses (lipoma)
– Lymphedema
– Post-surgical scrotal wall edema
– Testicular tumors

TWIST Score > 3,


intermediate – high,
refer for surgery

0-2 low risk


3- 4 intermediate risk
5- 7 high risk

URINARY TRACT INFECTION


• Urinary tract infections (UTIs) represent the most common bacterial infection in
children.
• In neonates, the symptoms differ in many aspects from those in infants and children.
• Pediatric UTI:
– The prevalence is higher
– Male predominance
– Infections not caused by Escherichia coli are more frequent
– Higher risk of urosepsis
• First febrile UTI is different with recurrent UTI
• Recurrent UTI are classified into:
– Inadequate treatment from previous UTI event
– Persisten infection, indicating unresolved anatomical or physiological source
of infection
– Acquired new infection
Simple UTI
• Febrile <39oC
• Good nutrition and fluid
intake
• No sign of dehydration
Severe UTI
• Febrile >39oC
• Low nutritoin and fluid intake

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 86


• Dehydration
• Septic condition
Gold standar: urine culture

URINARY RETENTION

• Painful inability to pass urin (void)


• Etiology:
– Phimosis
– Paraphimosis
– Urolithiasis
– UTI
– Urthral stricture
– Constipation ( bladder bowel syndrome)

First attemp to do urethral catheterization, unless bloody urethral discharge


• Many catheter sizes are available
– Charrière (Ch) / French (Fr) units: catheter‘s diameter in millimeters (1 Ch = 1 Fr
= 0.33 mm diameter)
• The length of catheters can be:
– Pediatric: 30 cm
– Female: 26 cm (20–26 cm)
– Standard: 43 cm (41–54 cm)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 87


• Material:
– Latex (rubber) : short-term use up to 2 weeks, does not have a smooth surface,
causing high surface friction
– Polytetrafl uoroethylene (PTFE)-coated : Provides a smooth outer surface, can
remain in situ for up to 4 weeks
– Silicone elastomer-coated: Less prone to encrustation, compatible with the
urethral mucosa , can remain in situ for up to 12
weeks
• Tips and hole:
– Straight: no bends at the tip
– Coude: Bent/curved tip
– Delinotte (Mercier)
– Dufour
• Lumens
– One lumen:
• Nelaton catheters
• Malécot or DePezzer
• Lumens
– Two lumens:
• Folley Catheter
• Lumens
– Three lumens:
• Folley Catheter

Failed urethral catheterization, do suprapubic puncture --> Refer immediately

HEMATURIA
• In pediatric cases, less related to malignancy in US study

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 88


• Might be secondary to these pathological conditions:
– Glomerulonephritis
– UTI
– Urolithiasis
– VUR
– Obstructive uropathy
– Familial hematuria (blood abnormality)
UNDESCENDED TESTIS
Cryptorchidism or undescended testis is one of the most common congenital malformations
of male neonates

• Imaging modalities:
– Ultrasonography (US)
– Computerized tomography (CT) scanning

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 89


– Magnetic resonance (MR) imaging
– MR angiography and venography
• Laparoscopic diagnostic if more preferrable for unpalpable UDT
• If suspicious to DSD, undergo karyotyping evaluation

HYPOSPADIAS
• Ventral displacement of urethral orifice, classified into:
– distal - anterior hypospadias (glanular, coronal or distal penile);
– intermediate - middle (penile);
– proximal - posterior (penoscrotal, scrotal, perineal)
• The pathology may be much more severe after skin release

HYDRONEPHROSIS
• Early detection of antenatal hydronephrosis via USG at 16th-18th week of gestation, ideal
urinary tract evaluation at 28th week of gestation.
• Bilateral hydronephrosis had fewer prognosis than unilateral hydronephrosis
• Once detected, refer to Urology for further management.

Normal kidney Mild Moderate Severe

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 90


UreteroPelvic Junction (UPJ) Stenosis [10-30%]

UreteroVesica Junction (UVJ) Stenosis [5-10%]

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 91


Vesico ureter reflux (VUR) [10-20%]

Duplex kidney (Double system kidney) [2-7%]

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 92


Session 3
“Current Management of Prostate Enlargement”
Speaker 2
Dr. dr. HR Danarto, Sp.B, Sp.U (K)
(foto pembicara)

Curiculum Vitae
Curiculum Vitae

Nama : Dr. dr. HR. Danarto, Sp.B., Sp. U (K)


Instansi : Divisi Bedah Urologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, FK
UGM
A. Riwayat Pendidikan
1) Basic Medical and Surgical training in Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Indonesia.
2) Assigned to Urology training in Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.
3) Appointed as Urological Oncology Consultant in Sardjito Hospital, Yogyakarta,
Indonesia
B. Riwayat Organisasi
1) Member of IDI (Indonesian Medical Doctor Association) Yogyakarta
2) Head of IAUI (Indonesian Urological Association) Yogyakarta
3) Secretary of IKABI (Indonesian Surgeon Union) Yogyakarta
4) Head of Urology Study Program in Universitas Gadjah Mada, Sardjito Hospital,
Yogyakarta
5) Medical Director of ANNUR Hospital, Yogyakarta
6) Active Member of EAU
7) Active Member of SIU
8) Active Member of AUA
C. Pertemuan Ilmiah
1) 2016 Congress AUA in San Diego, USA
2) 2015 Congress EAU in Madrid, Spain
3) 2015 Congress ASMIUA in Bali, Indonesia
4) 2013 Congress of the Societe Internationale Urologie in Canada
5) 2012 Congress of the Societe Internationale Urologie in Japan
6) 2012 Congress EAU in Barcelona, Spain
7) 2009 Advisory Board Meeting in Shanghai
8) 2008 European Urology Congress in Milan, Italy
9) 2007 European Urology Congress in Berlin, Germany
10) 2006 Advisory Urology Board Meeting in Paris, France
11) 2005 Advisory Board Meeting Infertility in Ho Chi Minh Vietnam
Asia and Europe Urology meeting in Bali, Indonesia

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 93


CURRENT MANAGEMENT OF PROSTATE ENLARGEMENT
Dr. dr. HR. Danarto, Sp.B., Sp.U(K)

1. Anatomi

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 94


2. Transurethral Resection of the Prostate

Background

 For most of the 20th century, from 1909 until the late 1990s, the premier treatment for
symptomatic benign prostatic hypertrophy (BPH) was transurethral resection of the
prostate (TURP).
 TURP was the first successful, minimally invasive surgical procedure of the modern
era.
 To this day, it remains the criterion standard therapy for obstructive prostatic
hypertrophy and is both the surgical treatment of choice and the standard of care when
other methods fail.

Indications

 Refractory urinary retention

 Recurrent urinary tract infections due to prostatic hypertrophy

 Recurrent gross hematuria

 Renal insufficiency secondary to bladder outlet obstruction

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 95


 Bladder calculi

 Permanently damaged or weakened bladders

 Large bladder diverticula that do not empty well secondary to an enlarged prostate

Contraindications

 The only absolute indication for an open prostatectomy over a TURP is the need for
an additional open procedure on the bladder that must be performed at the same time
as the prostatectomy.

Such indications include

 open surgical resection of a large bladder diverticulum or

 removal of a bladder stone that cannot be easily fragmented by intracorporeal


lithotripsy.

 A relative indication for the selection of an open prostate surgery over a TURP is
generally based on prostatic volume and the ability of the surgeon to complete the
TURP in less than 90 minutes of actual operating time (although < 60 min is
considered optimal).

3. TURP

LASER SURGERY
Types of lasers used for BPH surgery by either coagulating, vaporizing or enucleating the
prostate:
 Potassium titanyl phosphate (KTP): neodymium (Nd): yttrium-aluminum-garnet
(YAG) and lithium borate (LBO): Nd: YAG
 Diode lasers
 Holmium (Ho): YAG (Holmium laser enucleation of the prostate [HoLEP])
 Thulium (Tm): YAG (Thulium laser enucleation of the prostate [ThuLEP] or Thulium
vapoenucleation of the prostate [ThuVEP]).

HOLEP

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 96


ADVANTED

 Thulium laser radiation allows better tissue vaporization than holmium and has also
undergone similar evolution of techniques with vaporization,
 vaporesection (ThuVARP),
 vapoenucleation and laser enucleation (ThuVEP).

ROBOTIC

OPEN PROSTATECTOMY

Open prostatectomy allows enucleation of the hyperplastic prostatic adenoma.


 Initially performed by a perineal approach (Young)
 Freyer's suprapubic transvesical approach.
 Millin's retropubic transcapsular prostatectomy. and more recently.
 Laparoscopic.
 Robotic-assisted approaches.

4. MILIN
Retropubic (Millin) Prostatectomy
 As previously stated, the patient is placed on the operating room table in the supine
position in mild Trendelenburg.
 A lower midline incision is made and the space of Retzius developed.
 Initiate the Millin (transverse capsular) prostatectomy by locating the vesicle neck by
palpation of the Foley balloon.
 Place a 1-0 absorbable suture deeply in the capsule of the prostate, just below the
vesicle neck. Repeat this technique until a 4-cornered area is created, through which a

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 97


transverse incision is made into the adenoma across the entire anterior surface while
the bladder is retracted cephalad.
 Place the proximal capsule under tension and achieve hemostasis actively with full
suction. Hemostasis can also be achieved by ligating the dorsal venous complex as
well as ligating the prostatic arteries as they enter the prostaticovesical junction near
the level of the seminal vesicles.
 Next, identify the plane between the adenoma and the capsule and sharply dissect.
 Once developed, manually explore this plane while the adenoma is enucleated under
direct visualization. Carefully identify the apex of the prostate and sharply divide the
urethra under direct visualization.
 Achieve hemostasis before placement of figure-of-8, 2-0 absorbable sutures at the 5-
and 7-o'clock positions through the vesical neck and proximal capsule.
 Clearly identify the ureteral orifices before resecting a wedge of posterior vesical
neck. Using a running 2-0 absorbable suture, evert and approximate the edges.
 Indigo carmine can be administered to decrease the risk of iatrogenic injury to the
ureteral orifices.
 Introduce a large catheter into the urethra and inflate the balloon.
 Finally, close the capsule from both ends with 2 continuous 2-0 absorbable sutures.
 Foley traction may be used as needed for hemostasis. Place an external drain into the
space of Retzius to prevent hematoma and urinoma formation.
 After that, irrigate and close the wound.

Suprapubic Prostatectomy
 With the suprapubic approach, place the patient in a supine position on the operative
table, with the umbilicus over the break of the table. After that, hyperextend the table
slightly, placing the patient in a mild Trendelenburg position.
 After preparing and draping the patient in the standard fashion, introduce a urethral
catheter into the bladder, through which the bladder is filled to approximately 250 mL
with sterile water or saline before the catheter is removed.
 Make a vertical midline incision from below the umbilicus to the pubic symphysis.
Alternatively, a low Pfannenstiel incision can be made. Dissect between the laterally
retracted rectus abdominus, developing the prevesical space extraperitoneally.
 Neither the retropubic nor the lateral vesical spaces are necessarily entered. Below the
peritoneal dissection, place 2 stay sutures in the anterior bladder wall, make a vertical
cystotomy, and carry it within 1 cm of the bladder neck, allowing visualization of the
bladder neck and prostate. A transverse stay suture may be placed to prevent caudal
extension of the cystotomy.
 Retract the superior bladder edge cranially and retract the inferior portion distal to the
trigone in a caudal direction to display the posterior bladder neck. The urethral
orifices are now well visualized and protected as the bladder neck mucosa is incised
just distal to the trigone.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 98


 After circumferentially incising the bladder mucosa over the prostate, using sharp and
blunt dissection, develop the plane between the adenoma and the prostatic capsule.
 Perform a gentle blunt digital dissection, completing the remaining dissection both
posteriorly and circumferentially around the prostatic apex and urethra.
 The prostatic urethra is separated at the apex by carefully pinching 2 fingers together.
Make every effort not to tear the prostate or sphincter at this level.
 Following gross enucleation of the adenoma, manually inspect the prostatic fossa and
remove any remaining nodular adenoma.
 Bleeding within the prostatic fossa can be controlled with electrocautery or suture
ligatures.
 Pass a 22F, 30-mL, 3-way catheter per urethra (and, in select patients, an additional
suprapubic tube through a separate anterior cystostomy).
 Close the bladder in full-thickness through the serosa using a double layer of
interrupted 2-0 chromic or Vicryl suture.
 Inflate the catheter balloon to prevent retraction into the prostatic fossa and drain the
space of Retzius.

HEAT GENERATION
 A number of minimally invasive techniques have been tried and have fallen out of
general use, but they do have a role in the office setting.
 These techniques involve applying various heat sources to the prostate to cause
necrosis and sloughing of prostate tissue.
 These techniques have been marred by significant post-operative irritative urinary
symptoms and dysuria and high re-operation rates and are therefore not in common
practice or appear within recommended guidelines.

Heat sources that have been tried include

 Transurethral microwave thermotherapy (TUMT).


 Transurethral needle ablation (TUNA).
 High intensity focused ultrasound and water induced thermotherapy (HIFU).

5. TUMT

INJECTION THERAPY

 Transurethral ethanol ablation involves endoscopic injection of dehydrated ethanol


(98% concentration) at 4-8 sites in the prostate.
 This can be delivered
 Transurethrally.
 Transperineally.
 Transrectally.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 99


 As above, this results in coagulative necrosis and subsequent prostate gland volume
reduction.
 Botulinum toxin has also been injected into the prostate.
 Administration routes described include
 Transperineal ultrasound guided injection as well as
 Transurethral.
 Transrectal routes.
 Short-term improvement has been observed in symptom scores in medically unfit
patients.
 Mechanism of action of the toxin for prostatic injection remains unknown.
 It may work locally or centrally, through muscle relaxation or by prostate apoptosis
and longer term volume reduction.
 Potential adverse effects of the need for repeated injection into prostate tissue is also
unknown and potentially alarming.

Botulinum toxin

MECHANICAL DEVICES

 Intraprostatic stents were used for patients who were not fit enough for surgical
intervention and did not want to stay permanently catheterized.

 A variety of stent material exists and this includes self-retaining spiral stents,
malleable stents and heat-expandable stents.

 Early results suggested reasonable longevity in improvement in symptoms scores, but


this was offset by high rates of stent repositioning and stent removal with symptoms
of hematuria and perineal pain.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 100


 Urolume is a permanent stent that promotes epithelialization of the urethra over the
stent and has been used with reasonable success in medically unfit patients with AUR
or with marked LUTS.

 Complications include irritative LUTS and painful ejaculation necessitating device


removal

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 101


Session 3
“How Far Urolithiasis Management for General Practitioner”
Speaker 3
Dr. dr. Ahmad Bi Utomo, Sp.U

(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama : Dr. dr. Ahmad Bi Utomo, Sp. U


Tempat/Tanggal lahir : Bandung, 26 Januari 1961
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Kawin
Alamat : Griya Yasa No 1 Sukoharjo
Telepon : 0811264852
Email : ahmadbiutomo@yahoo.com
A. Riwayat Pendidikan
No Tahun / Periode Institusi Ijazah / Gelar
1. 1987 FK UNPAD S1
2. 1996 FK UNAIR S2
3. 2016 FK UNIBRAW S3

B. Riwayat Pendidikan / Pelatihan / Kursus Tambahan


No Tahun / Jenis Pendidikan / Pelatihan / Penyelenggara
Periode Kursus Tambahan
1. 1994 Laparoscopy National University
Singapore

C. Riwayat Pekerjaan / Jabatan


No Tahun / Periode Institusi Jabatan
1. 1982 - 1989 Puskesmas Sejangkung Kal Bar Kepala Puskesmas
2. 1996 - 1998 RSUD M. Jamil Padang Staf Medis Bedah
3. 1998 - Sekarang RSUI Kustati Surakarta Spesialis Urologi

D. Riwayat Kepengurusan / Keanggotaan dalam Organisasi Profesi


No Tahun / Periode Organisasi Profesi Jabatan
1. 2017 - 2020 IAUI JAwa Tengah Ketua
2. 2017 - Sekarang EAU Anggota

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 102


1. Kompetensi Dokter Umum

a. Tingkat Kemampuan 3B
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/ atau kecacatan pada
pasien. Lulusan dokter mampu menentukan usulan rujukan yang paling tepat
bagi penanganan pasien selanjutnya 3
2. Referensi utama

(IAUI. Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih. 2018)

3. Urolithiasis
a. Definisi dan Etiologi
 Urolithiasis adalah batu yang terbentuk di saluran kemih-yang meliputi batu
ginjal, ureter, buli, dan uretra
 Etiologi: infeksi, non- infeksi, kelainan genetik dan obat obatan
b. Klasifikasi Batu Saluran Kemih(BSK) berdasarkan etiologi2:
Batu non-infeksi :
 Kalsium oksalat
 Kalsium fosfat
 Asam urat
Batu akibat infeksi :
 Magnesium amonium fosfat
 Karbonat

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 103


 Amonium urat

Kelainan genetik :
 Sistin
 Xantin

c. Faktor Resiko Tinggi Pembentukan BSK


Faktor umum2 :
 Terjadinya BSK di usia muda (anak & remaja)
 Faktor keturunan dengan riwayat BSK
 Riwayat BSK mengandung Brushite (CaHPO4.2H2O)
 Kondisi keasaman tinggi & riwayat batu mengandung asam urat
 Batu akibat infeksi
 Ginjal tunggal
Penyakit yang berhubungan dengan pembentukan batu2 :
 Hipertiroidisme
 Sindroma metabolik
 Nefrokalsinosis
 Penyakit ginjal polikistik
 Penyakit gastrointestinal (resekksi intestinal, Crohn, malabsorbsi)
 Kelainan medula spinalis (neurogenic bladder)
Kelainan genetik yang berhubungan dengan pembentukan batu2 :
 Sistinuria
 Hiperoksaluria
 Asidosis tobuler ginjal tipe I
 Xantinuria
Abnormalitas anatomis yang berhubungan dengan pembentukan batu2
 Ureteropelvic Juction (UPJ) Obstruction
 Striktur uretra
 Refluks vesiko-uretero-renal
 Ginjal tapal kuda
 Ureterocele
 BSK dapat diklasifikasikan berdasarkan : ukuran, lokasi, karakteristik dalam
pencitraan sinar X, etiologi terbentuknya batu, komposisi batu, dan resiko
kekambuhan.
 Ukuran batu biasanya diklasifikasikan dalam 1 atau 2 dimensi dalam ukuran :
5, 5-10, 10-20 & >20 mm
 Berdasar letak batu : kaliks ginjal superior, medial, atau inferior, pelvis renal,
ureter proksimal atau distal, buli, dan uretra

d. Karakteristik Pencitraan X-ray2:

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 104


Radioopak Opesitas rendah Radiolusen
Kalsium oksalat Magnesium amonium fosfat Asam urat
Kalsium fosfat Apatit Amonium urat
Sistin Xantin
e. D
Obat – obatan
i
agnosis
 Anamnesis
Keluhan : tanpa keluhan, sakit pinggang ringan hingga kolik, disuria,
hematuria, retensi urin anuria2
Penyulit (dari keluhan) :
Demam, tanda/ riwayat gagal ginjal2
Riwayat penyakit dahulu :
Obesitas, Hipertiroid primer, Malabsorbsi gastrointestinal, Penyakit usus dan
pankreas2
Riwayat pola makan (predisposisi) :
Asupan kalsium, Cairan sedikit, Garam yang tinggi, Buah & sayur kurang,
Makanan tinggi purin berlebihan, Jenis minuman dan banyaknya, Jenis protein
yang dikonsumsi2
Riwayat pengobatan & suplemen :
Probenesid, Vitamin C, Vitamin D, kalsium, Tanpa kelainan > tergantung
letak batu, tanda2 sakit berat > & komplikasi2
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum :
1) Hipertensi
2) Demam
3) Anemia
4) syok
Pemeriksaan fisik urologi

Pemeriksaan fisik urologi :


Sudut nyeri tekan, nyeri ketok dan pembesaran ginjal
kostovertebra
Supra Nyeri tekan, teraba batu, buli kesan penuh
simfisis
Genitalia Teraba batu di uretra
eksterna
Colok dubur Teraba batu di buli-buli (palpasi bimanual)

 Pemeriksaan Penunjang

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 105


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hb,Htc, Al, Tromb & hitung jenis darah. Bila perlu intervensi :
darah Ur, Cr uji koagulasi, kalium, natrium

Pemeriksaan Eritrosit, leukosit, bacteri, nitrit,pH urin kultur urin


urinalisa

Rekomendasi Level EBM


Analisa urine :
Eritrosit,leukosit,nitrit, pH urine dan atau kultur Kuat
urine
Analisa darah :
Kreatinin, asam urat, Na,K,Ca, hitung jumlah Kuat
jenis darah,CRP
Uji koagulasi (aPTT dan INR) dikerjakan jika Kuat
pasien ingin dilakukan intervensi

Pencitraan Keterangan
Foto Membedakan batu radio lusen dan radioopak
polos
abdomen
CT-Scan Dapat menentukan ukuran dan densitas batu, batu asam urat dan
non xantin
kontras
IVP Bila CT-Scan non kontras tidak memungkinkan

USG Modalitas utama pencitraan pasien hamil


Analisa batu dengan menggunakan sinar X Kuat
terdifraksi atau spektroskopi infra red

Rekomendasi Level EBM


Ultrasonografi merupakan modalitas yang direkomendasikan Kuat
pada pasien wanita hamil
Pada wanita hamil, penggunaan MRI sebagai modalitas lini Kuat
kedua
Pada wanita hamil, penggunaan CT-Scan sebagai modalitas Kuat
terakhir

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 106


Ringkasan bukti ilmiah LE
Ultrasonografi merupakan modalitas lini pertama pada anak dengan 2b
kecurigaan batu saluran kemih dan harus meliputi ginjal, buli yang terisi
penuh serta ureter pada ginjal dan buli

Radiografi ginjal --- ureter---buli (atau CT_Scan urografi non kontras) 2b


merupakan modalitas alternatif jika USG tidak dapat memperoleh
informasi yang dibutuhkan

CT Urografi Non Kontras4

• Gold standart pencitraan batu saluran kemih adalah CT urografi non kontras
• Gambar di atas adalah contoh hasil pemeriksaan CT urografi tanpa kontras
untuk Batu Pielum Ren D + HN D; pada potongan horizontal (a); koronal (c);
koronal dengan soft tissue dihilangkan (d)

Rekomendasi Level EBM


Pada anak, perlu dilakukan evaluasi kondisi metabolik Kuat
menyeluruh berdasarkan analisis batu

Pengumpulan material batu untuk menganalisis batu serta Kuat


klasifikasi tipe batu
Pemeriksaan USG merupakan modalitas lini pertama pada anak Kuat
dengan kecurigaan batu saluran kemih dan harus meliputi
ginjal, buli yang terisi penuh, dan ureter
Pemeriksaan radiografi ginjal-ureter-buli (CT-Scan urografi Kuat
non kontras) dilakukan jika USG tidak dapat memperoleh
informasi yang dibutuhkan

Ringkasan bukti ilmiah LE

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 107


CT-Scan non kontras dapat digunakan untuk memastikan 1a
diagnosis batu pada pasien dengan nyeri pinggang akut, karena
lebih superior dibandingkan IVP.
CT-Scan dapat merekonstruksi sistem saluran kemih yang juga 2a
dapat menilai densitas batu dan jarak antara kulit dengan batu

Rekomendasi Level EBM


Indikasi pencitraan segera dapat dilakukan ketika Kuat
terdapat demam atau ginjal tunggal dan diagnosis
yang masih diragukan
Penilaian awal dengan US dapat diikuti dengan CT- Kuat
Scan non kontras untuk menkonfirmasi diagnosis batu
pada pasien dengan nyeri pinggang akut
Pencitraan dengan kontras dapat dilakukan jika Kuat
direncanakan pengangkatan batu dan untuk penilaian
anatomi saluran kemih

f. Kegawat daruratan Urolithiasis2


1) Kolik

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 108


2) Retensi Urin
 Akibat batu uretra2

Gambar Batu Uretra


3) Pyonephrosis1
• Hidronefrosis terinfeksi -> terjadi akumulasi pus di PCS
• Penyebabnya adalah obstruksi ureter oleh batu atau kelainan anatomis
(misalnya PUJ obstruction) yang late onset/ dibiarkan
• Keadaan umum pasien biasanya kurang baik; dengan disertai demam
tinggi, nyeri pinggang, atau bengkak di pinggang dengan nyeri tekan
• Harus dievaluasi secara radiologis, minimal dengan USG

Gambar Pyonephrosis. USG pada pyonephrosis: dilatasi PCS + internal


echo (+)
g. Terapi
Antibiotik i.v. (seperti untuk pyelonephritis), dan drainase (nefrostomi/
kateterisasi ureter (stent))1

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 109


DAFTAR PUSTAKA

1. Hashim, H., Reynard, John., Cowan, Nigel C., Urological Emergencies in Clinical
Practice. 2005. Springer-Verlag London Limited 2005
2. IAUI. Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih. 2018
3. Konsil Kedokteran Indonesia: Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia.
2019
4. www. mmj.eg.net (2020)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 110


DAY 2
SESSION 4
“EMERGENCY MANAGEMENT IN HEMATURIA”

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 111


MODERATOR

dr. Yudi Eko Prasetiyo, M.Si.Med., Sp.B

(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama : dr. Yudi Eko Prasetiyo, M.Si.Med, Sp.B


Tempat/ Tgl Lahir : Situbondo, 13 Maret 1982
Alamat : Jl. Dr. Muwardi No.7, RT 001/RW 004, Mulur, Bendosari, Sukoharjo
57572
Status : Menikah
Telepon : 08161484585 / 081327680080
Email : judeyno_plus@yahoo.com
A. Riwayat Pendidikan
1) SDK Fransiskus Xaverius Situbondo, tahun 1988 - 1994
2) SMPK Santo Elias Situbondo, tahun 1994 - 1997
3) SMUK Santo Paulus Jember, tahun 1997 - 2000
4) Fakultas Kedokteran Umum Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, tahun 2000 -
2007.
5) PPDS I Ilmu Bedah, FK Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2008 - 2013
6) Program S2 Biomedik Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2008 – 2012
B. Pekerjaan
1) Dokter Spesialis Bedah (Pegawai Tidak Tetap/ Non PNS) RSUD Sukoharjo,
2014 - sekarang
2) Dokter Spesialis Bedah RS. Dr. Oen Solo Baru, 2014 – sekarang
3) Dokter Spesialis Bedah RS. Dr. Oen Surakarta, 2016 – sekarang

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 112


Session 4
“Evaluation of Bladder Injury in Emergency Room”
Speaker 1
dr. Riza Mazidu Sholihin, Sp.U

(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama : Riza Mazidu Sholihin


Tempat/Tanggal lahir : Ponorogo, 31 Oktober 1986
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Alama : Jl. Ki Singodito 38 Singosaren Jenangan Ponorogo
Telp. / HP : 085655402544
Email : mazidu@gmail.com
Status Perkawinan : Menikah 3 anak

PENDIDIKAN

 1993-1999 : MI Ma'arif Ponorogo


 1999-2002 : SMP Negeri 2 Ponorogo
 2002-2005 : SMA Negeri 1 Ponorogo
 2005-2011 : FK UNAIR
 2012-2018 : Urologi FK UNAIR
 2018- sekarang Spesialis Urologi di RSUD Dr Harjono Ponorogo, RSU Darmayu dan
RSU Muslimat

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 113


EVALUATION OF BLADDER INJURY IN EMERGENCY ROOM

Riza Mazidu Sholihin

PENDAHULUAN

Trauma vesika urinaria atau trauma kandung kemih atau trauma buli-buli merupakan
keadaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi
dapat menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis. Secara
anatomi buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis sehingga
jarang mengalami cedera.

Angka kejadian trauma pada buli-buli pada kurang lebih 2% dari seluruh trauma pada
system urogenitalia Trauma buli-buli terjadi paling banyak akibat trauma eksternal dan
kebanyakan berhubungan dengan fraktur pelvis. Selain itu Trauma buli-buli iatrogenik bisa
terjadi dari kasus ginekologi dan prosedur ekstensif pelvis lainnya dan operasi transuretral
Sekitar 60 - 90 % (rata-rata 80 %). Pasien cedera kandung kemih akibat trauma tumpul
biasanya disertai dengan fraktur tulang panggul dan 30% dari pasien dengan fraktur tulang
panggul terdapat cedera pada kandung kemih, termasuk kontusio kandung kemih.

Ruptur buli-buli di bagi menjadi 2 bagian penting yaitu intraperitoneal dan


extraperitoneal. Sekitar 25% dari ruptur intraperitoneal kandung kemih terjadi pada pasien
tanpa fraktur panggul. Ruptur intraperitoneal tercatat sekitar sepertiga dari cedera kandung
kemih . Sedangkan untuk ruptur ekstraperitoneal tercatat 60 % dari sebagian besar cedera
kandung kemih dan biasanya berhubungan dengan fraktur panggul.

Etiologi

Trauma vesika urinaria terbanyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau
kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen dari fraktur tulang pelvis mencederai kandung
kemih. kandung kemih yang penuh lebih mungkin untuk terjadinya cedera dibandingkan pada
saat kandung kemih kosong. Fraktur tulang pelvis dapat menimbulkan kontusio atau ruptur
kandung kemih, pada kontusio kandung kemih hanya terjadi memar pada dinding buli-buli
dengan hematuria tanpa eksravasasi urin.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 114


Ruptur dinding ekstraperitoneal kandung kemih biasanya akibat tertusuk fragmen
fraktur tulang pelvis pada dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada kejadian ini
terjadi ekstravasasi urin dari rongga perivesikal. Trauma tumpul kandung kemih dapat
menyebabkan rupture kandung kemih terutama bila kandung kemih penuh atau terdapat
kelainan patologik seperti tuberkulosis, tumor atau obstruksi sehingga menyebabkan ruptur.
Trauma vesika urinaria tajam akibat luka trusuk atau luka tembak lebih jarang ditemukan.
Luka dapat melalui daerah suprapubik ataupun transperineal. Penyebab lain adalah
instrumentasi urologi misalnya perforasi iatrogenik pada kandung kemih pada reseksi
transurethral (TUR).

Patofisiologi

Kandung kemih dilindungi dengan baik oleh tulang pelvis sehingga ketika terjadi
fraktur pelvis yang disebabkan oleh trauma tumpul maka fragmen dari fraktur pelvis dapat
mencederai kandung kemih dan dapat terjadi ruptur ekstraperitoneal. Apabila terdapat urin
yang terinfeksi dapat mengakibatkan abses dalam pelvis dan infeksi pelvis yang berat. Pada
saat kandung kemih terisi penuh kemudian tiba – tiba terjadi benturan atau pukulan langsung
ke perut bagian bawah dapat menyebabkan gangguan pada kandung kemih. Jenis gangguan
biasanya adalah gangguan intraperitoneal. Ruptur intraperitoneal terjadi ketika ada pukulan
atau kompresi pada perut bagian bawah pasien dengan kandung kemih yang penuh sehingga
menyebabkan peningkatan mendadak tekanan intraluminal kandung kemih kemudian
menyebabkan robekan buli-buli di bagian 'dome' yang merupakan bagian terlemah dari
kandung kemih. Dome atau Puncak dari lengkungan kandung kemih ditutupi oleh
peritoneum, maka cedera yang terjadi di daerah ini akan menyebabkan ekstravasasi
intraperitoneal.

Jika diagnosis segera ditegakkan dan jika urin sudah steril, maka tidak ada gejala yang
dapat ditemukan selama beberapa hari atau muncul gejala peritonisme tetapi jika terdapat
urin yang terinfeksi, maka akan cepat berlanjut menjadi peritonitis dan akut abdomen.

Klasifikasi

Cedera vesika urinaria diklasifikasikan menurut American Association for the


Surgery of Trauma (AAST) - Organ Injury Scale (OIS) menjadi 5 grade.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 115


Tabel 2.1 American Association for the Surgery of Trauma (AAST) - Organ Injury Scale
(OIS)

Grade (AAST) : Jenis Cedera Deskripisi Kerusakan


I Hematoma Kontusio dan hematoma
Laserasi intramural
Laserasi sebagian dari
dinding buli - buli
II Laserasi Laserasi dari dinding
ekstraperitoneal buli –
buli < 2 cm
III Laserasi Laserasi dari dinding
ekstraperitoneal > 2 cm
atau intraperitoneal < 2
cm
IV Laserasi Laserasi ekstraperitoneal
> 2 cm

V Laserasi Laserasi intraperitoneal


atau ekstraperitoneal
yang
meluas ke dalam
kandung
kemih leher atau muara
uretra trigonum.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 116


Gambar 2.1 Grade I Gambar 2.2 Grade II

Gambar 2.3 Grade III

Gambar 2.4 Grade IV Gambar 2.5 Grade V

Selain itu dari Konsensus Societe Internationale D'Urologie mengklasifikasikan


cedera kandung kemih menjadi empat jenis dengan tidak memperhitungkan panjang atau luas
dari laserasi dinding kandung kemih, yaitu :

1. Tipe 1 adalah memar kandung kemih

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 117


2. Tipe 2 yaitu ruptur dinding intraperitoneal

3. Tipe 3 yaitu ruptur dinding ekstraperitoneal

4. Tipe 4 yaitu gabungan antara ruptur dinding intraperitoneal dan ektraperitoneal

Gejala

Dua tipe dasar kerusakan kandung kemih karena trauma adalah memar dan robekan.

Cedera tumpul (memar) adalah kerusakan yang disebabkan oleh benturan pada kandung
kemih. Cedera penetrasi (robekan) adalah kerusakan yang disebabkan oleh sesuatu yang
menembus kandung kemih.

Hampir setiap orang yang mengalami cedera tumpul pada kandung kemih akan melihat
darah dalam urin. Mereka yang mengalami luka tembus mungkin tidak benar-benar melihat
pendarahan. Mungkin ada rasa sakit di bawah pusar, tetapi sering kali rasa sakit dari cedera
lain membuat nyeri kandung kemih sulit untuk diperhatikan. Jika ada lubang besar di
kandung kemih dan semua urin bocor ke perut, tidak mungkin untuk buang air kecil. Pada
wanita, jika cedera cukup parah, vagina juga bisa robek dan kandung kemihnya robek. Jika
ini terjadi, urin bisa bocor dari kandung kemih melalui vagina. Dalam kasus ini, darah juga
bisa keluar dari vagina.

Gejala lainya berupa :

Sulit untuk mulai buang air kecil

Aliran urin lemah

Buang air kecil yang menyakitkan

Demam

Sakit punggung yang parah

Diagnosis

Penegakkan diagnosis ruptur buli berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang yang sesuai. Pada pasien multitrauma dilakukan primary survey dan
stabilisasi serta secundary survey dan terapi awal terlebih dahulu. Setelah pasien mengalami

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 118


cedera pada abdomen bagian bawah, pasien mengeluh nyeri di daerah suprasimfisis, miksi
bercampur darah atau mungkin pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis tergantung dari
etiologi trauma, bagian kandung kemih yang mengalami cedera yaitu intraperitoneal atau
ekstraperitoneal.

Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukan kontras ke dalam


kandung kemih sebanyak 300 – 400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter uretra
kemudian di lihat di bawah sinar x-ray dengan panduan fluruoskopi atau di lihat secara
berkala.

Nyeri perut bagian bawah, nyeri tekan, dan memar sering ditemukan pada penderita
cidera kandung kemih. Namun, tanda dan gejala ini bisa jadi sulit dibedakan dari gejala patah
panggul. Beberapa cedera kandung kemih (biasanya intraperitoneal) ditemukan karena saat di
pasang kateter uretra tidak mengeluarkan urin. Pada pasien cidera kandung kemih dengan
diagnosis yang tertunda, bisa muncul keluhan demam, kesulitan buang air kecil, peritoneal
iritasi, dan peningkatan nitrogen urea darah (BUN). Pada pasien dengan tanda dan gejala ini
harus di lakukan sistografi untuk menyingkirkan cedera kandung kemih.

Pemeriksaan darah di meatus uretra sedang wajib pada semua pasien trauma.
Persentase signifikan (10-17%) dari pasien dengan cedera kandung kemih akan terkait
dengan trauma uretra. Jika temuan pada urethrography normal, kateter Foley dipasang; jika
abnormal, pasien dibawa ke ruang operasi untuk penempatan kateter urin suprapubik,
eksplorasi kandung kemih, dan perbaikan cedera kandung kemih. Suprapubik drainase yang
berkaliber besar akan memberikan hasil yang baik. Biasanya di pasang Foley kateter 20-24 F
atau 16-20 F untuk suprapubis.
Pemeriksan Radiologi

Indikasi untuk pencitraan adalah Gross hematuria dengan fraktur pelvis merupakan
indikasi mutlak untuk mengevaluasi kandung kemih pada pasien trauma karena pasien
tersebut memiliki kemungkinan resiko tinggi cedera. Morey et al, melaporkan bahwa dari 53
pasien dengan cedera kandung kemih, semua mengalami hematuria dan 85% mengalami
fraktur tulang panggul. Quagliano et al, melaporkan bahwa 32% pasien dengan fraktur
panggul dan gross hematuria ditemukan memiliki cedera kandung kemih. Gross hematuria
tanpa fraktur panggul dan mikrohematuria dengan fraktur panggul dianggap indikasi relatif

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 119


untuk mengevaluasi kandung kemih dengan pencitraan yang direkomendasikan pada pasien
dengan gejala klinis seperti nyeri suprapubik atau kesulitan buang air kecil.

1. Radioanatomi

Sistogram yang normal berupa garis lingkar, dindingnya rata bundar dan oval.

Sumber : Philp W. Ballinger, M.S., R.T. (R). Merrill‘s Atlas Radiographic Positions and
Radiologic Procedures. 8nd ed. Volume 1 and 2. The Ohio State University, Columbus, Ohio,
1995)

Gambar Buli-buli yang terisi penuh oleh kontras

2. Cystography

Sistografi adalah pencitraan pada buli – buli dengan memakai kontras. Melalui sistoskop /
kateter dimasukkan kontras pada vesika urinaria dan dapat menilai apakah terdapat filling
defect, robekan buli – buli yang terlihat sebagai ekstravasasi kontras ke luar buli – buli,
adanya divertikel. Cystography memiliki tingkat akurasi 85 - 100% untuk mendeteksi cedera
kandung kemih dan idealnya harus dilakukan dengan panduan dari fluoroskopi

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 120


Gambar Ruptur Ekstraperitoneal Vesika Urinaria. Tampak ekstravasasi (tanda panah) terlihat
di luar kandung kemih pada pelvis pada pemeriksaan sistogram.

Gambar Ruptur Intraperitoneal Vesika Urinaria. Pada gambaran sistogra menunjukkan


kontras yang mengisi di sekitar usus

Tata Laksana

Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dengan pemberian cairan
intravena atau darah. Bila sirkulasi telah stabil, baru dilakukan reparasi buli-buli. Prinsip
pemulihan ruptur kandung kemih ialah penyaliran atau pengeringan ruang perivesikal,
pemulihan dinding dan pengosongan kandung kemih serta pengeluaran urin yang lancar
melalui kateter. Terapi cedera buli-buli tergantung pada jenis cedera, diantaranya adalah:

a.) Pada kontusio buli-buli : cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk
memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh
setelah 7-10 hari.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 121


b.) Pada cedera robekan intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparatomi untuk
mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika
tidak segera dioperasi ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum dapat
menyebabkan peritonitis. Rongga intra peritoneum dicuci, robekan pada buli-buli
dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar
sayatan laparatomi.

Gambar Robekan buli-buli dijahit 2 lapis


c.) Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal)
dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli lain
menganjurkan untuk melakukan penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter
sistostomi. Tanpa dilakukan pembedahan, kejadian kegagalan penyembuhan luka
15%, dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar
12%. Oleh karena itu jika bersamaan dengan ruptur buli-buli terdapat cedera organ
lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya dilakukan penjahitan buli-buli dan
pemasangan kateter sistostomi.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 122


Gambar Eksplorasi dan reparasi buli
Jika ahli ortopedi memasang plat untuk memperbaiki fraktur pelvis, mutlak harus
dilakukan penjahitan buli-buli guna menghindari terjadinya pengaliran urine ke fragmen
tulang yang telah dioperasi. Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum
melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
sistografi guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urine. Sistografi dibuat pada
hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan
sampai 3 minggu.

Algoritma managemen trauma buli-buli

Komplikasi

Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urine ke rongga pelvis yang


dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat
lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 123


menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urine pada rongga intraperitoneum. Kedua
keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. Kadang-kadang dapat
pula terjadi penyulit berupa keluhan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan
sembuh sekitar 2 bulan.

Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal)


dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli lain menganjurkan
untuk melakukan penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter sistostomi. Namun tanpa
tindakan pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka ± 15%, dan kemungkinan untuk
terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar 12 %. Oleh karena itu jika bersamaan
dengan rupture buli-buli terdapat cedera organ lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya
dilakukan penjahitan buli-buli dan pemasangan kateter sistostomi. Untuk memastikan bahwa
buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra ataukateter sistostomi, terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin.
Sistografi dibuat pada hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter
sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.

Prognosis

Prognosis akan baik jika penatalaksanaan dilakukan secara segera. Cystosomy


suprapubic tube bisa dilepas setelah 10 hari. Pasien dengan laserasi yang memanjang sampai
ke area neck bladder akan sangat mungkin terjadi inkontinensia sementara. Di waktu
pelepasannya, kultur urin diperlukan untuk melihat kemungkinan terjadinya infeksi yang
nantinya dibutuhkan terapi selanjutnya.

PENUTUP

Trauma vesika urinaria atau trauma buli-buli merupakan keadaan darurat bedah yang
jarang terjadi. Secara anatomi buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang
pelvis sehingga jarang mengalami cedera. Trauma buli-buli memerlukan penatalaksanaan
segera, bila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan komplikasi seperti peritonitis
dan sepsis.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 124


Trauma vesika urinaria terbanyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau
kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen dari fraktur tulang pelvis mencederai kandung
kemih.

Evaluasi harus di lakukan untuk menentukan jenis trauma apakah hanya kontusio atau
terjadi ruptur baik ekstraperitoneal maupun peritoneal. Pemeriksaan Sistografi harus di
lakukan untuk mengetahui apakah ada ekstravasasi dari kontras yang di masukan, apabila
tidak tersedia fasilitas sistografi atau pasien tidak transportable bisa dilakukan tes buli dengan
cara membandingkan cairan yang masuk kandung kemih dan yang keluar. Tes buli di
kerjakan dengan cara memasukkan cairan fisiologis/NaCl 0,9% sebanyak 300cc melalui
kateter uretra secara pasif/aliran dengan memanfaatkan grafitasi kemudian dibiarkan keluar
melalui kateter dan di lihat jumlah cairan yabg keluar apakah sama dengan yang di masukan,
apabila berkurang kemungkinan ada kebocoran /lesi di kandung kemih.

Prinsip pemulihan ruptur kandung kemih adalah penyaliran ruang perivesikal,


pemulihan dinding kandung kemih, penyaliran kandung kemih, dan jaminan arus urin melalui
kateter.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mc Annich J.W. dan Lue T.F., 2013, Smith and Tanagho‘s General Urology,

Ed. 18 Chapter 18, California: Mc Graw Hill, pp. 289-292.

2. Purnomo, Basuki B., 2015, Dasar-Dasar Urologi, Ed. 3, Jakarta: CV Sagung

Seto, pp.

3. Rachmadani Parvati dan Philip, 2009, Imaging of Genitourinary Trauma,

American Journal of Roentgenology, Philadelphia: Department of Radiology,

University of Pennysylvania, pp.1514-1523.

4. Richard A. Santucci, Jack W. Mcaninch, 2000, Bladder Injuries: Evaluation And


Management, Official Journal of the Brazilian Society of Urology, Vol. 26 (4): 408-414

4. Sjamsuhidajat, R., 2010, Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong, Ed.3,

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 125


Jakarta: EGC, pp. 884-885.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 126


Session 4
“Management of Urethral Trauma in Primary Care”
Speaker 2
dr. Syaeful Agung Wibowo, Sp.U

(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama : dr. Syaeful Agung Wibowo, Sp.U


Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 3 September 1984
Alamat Email : alamatagungwibowo@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
 Pendidikan Dokter, FK UGM Yogyakarta
 Pendidikan Dokter Spesialis Urologi FK UI/ RSCM Jakarta

Riwayat Pekerjaan :
 Dokter Umum RSU PKU Muhammadiyah Jogjakarta
 Staf Edukatif FK UII Jogjakarta
 Staf Divisi Urologi, KSM Bedah, RS dr. Moewardi Surakarta

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 127


MANAGEMENT OF URETHRAL TRAUMA IN PRIMARY CARE

dr. S. Agung Wibowo, Sp.U

Urology Division

Department of Surgery

Moewardi Hospital, Surakarta

2021

Bagaimana tatalaksana trauma uretra di fasilitas kesehatan (faskes) layanan primer?

Definisi

• Faskes layanan primer adalah fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan


pelayanan kesehatan yang bersifat non spesialistik (primer) meliputi pelayanan
rawat jalan dan rawat inap
• Nama lainnya adalah Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
• Fasilitas Layanan Kesehatan Tingkat Pertama meliputi: Puskesmas atau yang
setara; Praktik Dokter Umum; Praktik Dokter Gigi; Klinik Pratama atau yang
setara; Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara. (Permenkes No 71,
2013)
Kompetensi Dokter Umum

Tingkat Kemampuan 3B

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/ atau
kecacatan pada pasien . Lulusan dokter mampu menentukan usulan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.

(Konsil Kedokteran Indonesia: Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. 2019)

Bahan Bacaan

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 128


Kasus

Kasus 1

Seorang pria 25 tahun diantar periksa karena cidera pasca kecelakaan lalu lintas. Pasien
mengeluhkan tidak bisa kencing dan keluar darah dari kemaluannya.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 129


Saksi mata mengatakan, pasien mengendarai motor dengan kecepatan sangat tinggi,
menabrak mobil di depannya yang berhenti tiba-tiba.

Kasus 2

Seorang pria 35 tahun diantar periksa ke IGD karena mengeluh tidak bisa kencing.

Sejak 1 bulan ini kencingnya tidak lancar dan bercabang setelah setelah tertendang di
selangkangan saat futsal.

Sebelum ke IGD, pasien telah dicoba pasang kateter di klinik namun gagal, dan selanjutnya
justru keluar darah dari kemaluannya.

Definisi

Definisi Trauma Uretra

• Urethral trauma is a disruption of urethral continuity caused by external forces


(hip fracture or straddle injury) or internal (catheterization, instrumentation)
Epidemiologi

• Trauma merupakan penyebab kematian ke-6 terbanyak (WHO, 2018)1


• 10 % dari kasus trauma yang terjadi adalah trauma urogenital1
• 1,5-10% trauma urogenital merupakan trauma uretra1
• Trauma uretra terjadi pada 1/1.125.000 populasi2
• Penyebab trauma uretra terbanyak adalah akibat trauma iatrogenik akibat
kateterisasi (3.2/1000 pasien)2
• Penyebab trauma uretra non iatrogenic terbanyak adalah Pelvic Fracture-Related
Urethral Injuries(PFUI) akibat kecelakaan lalu-lintas2
1. EAU. EAU Guideline on Urological Trauma. 2018

2. Kashefi C, Messer K, Barden R, Sexton C, Parsons JK. Incidence and prevention of


iatrogenic urethral injuries. J Urol 2008; 179: 2254–8

Uretra?

Uretra Pria

Potongan Koronal

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 130


• Uretra adalah saluran fisiologis untuk mengalirkan urin dari VU ke luar tubuh.
• Pada pria, uretra dibagi menjadi 2 bagian (anterior dan posterior); 3 bagian (pars
prostatika +pars membranasea + penile urethra/ uretra pars spongiosa ); 4 bagian
(+pars intramural/ pre-prostat)
• Uretra posterior dibagi menjadi 2 bagian: pars prostatika dan pars
membranasea.

• Uretra anterior dibagi menjadi 3 bagian: pars bulbosa, pars


cavernosa/pendulosa, pars navikularis

• Lapisan epitel uretra:


- pars prostatika dan membranasea: (transisional)

- pars bulbar dan pars cavernosa: stratifikatum kolumner atau

pseudostrtifikatum kolumner,

- pars navikularis: (pipih berlapis non keratinisasi)

Potongan koronal

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 131


• Sruktur penting di uretra
- Glandula bulbourethral ( Cowper), menghasilkan getah basa (utk

netralisir urin) bermuara di p.membranasea di arah jam 9 dan3.1

- Glandula urethralis/ peri uretralis (Littre) menghasilkan mucus

glikosaminoglikan yang melindungi epitel thd urin sebelum

ejakulasi, dan bermuara di lacuna uretra di dinding posterior penile

urethra.1

• Tunika muskularis uretra terdiri dari stratum longitudinalis internum, stratum


sirkularis media, dan stratum longutudinalis eksternum; kecuali uretra pars
membranasea
• Urethra pars membranacea panjangnya 2-2.5 cm ; terbentang dari apeks prostat s/d
membrana perineal
• Lapisan dalamnya berupa otot polos yang tipis (n cavernosus), Lapisan luar yang
berupa otot lurik yang tersusun sirkuler dan berbentuk seperti tapal kuda

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 132


Potongan Sagital

• Ada 3 tempat pelebaran lumen uretra: uretra pars prostatika, fossa intrabulbar, dan
fossa navikularis
• Di uretra pars prostatika ada duktus ejakulatorius yang merupakan jalur
pengeluaran ejakulat terkait fungsi reproduksi dan jalur translokasi kuman, ketika
urethritis/sistitis menjadi orkhitis
• Uretra pars membranasea lebih mudah cidera pada fraktur pelvis karena berada
diantara 2 bagian yang terfiksasi: uretra pars prostatika (apex prostat) yang
terfiksasi oleh ligamentum puboprostatikum ke tulang pelvis dan uretra pars
bulbosa (bulbus penis) yang terfiksasi ke simfisis pubis -> tulang pelvis bergeser-
>cidera junctio bulbomembranasea/ uretra pars membranasea
• Uretra pars bulbosa dapat cidera karena trauma tumpul dari arah perineum
karena tergencet antara tulang pubis (simfisis pubis) dan benda tumpulnya
• Uretra pars spongiosa lebih sering mengalami cidera iatrogenik (kateterisasi) dan
cidera akibat trauma tajam/penetrasi.
Vaskularisasi Uretra Pria

Sudut Pandang InferoLateral kiri

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 133


• Arteri iliaka interna-> divisi (trunkus) anterior-> a.vesikalis inferior, a.rektalis
media, a. pudenda interna
• Pars prostatika divaskularisasi oleh a.vesikalis inferior dan arteri rektalis media
• Pars membranasea divaskularisasi oleh a. bulbaris penis (cabang dari
a.pudenda interna)
• Pars spongiosa divaskularisasi oleh arteri bulbouretralis, lanjutan dari a. bulbaris
penis

A pudenda interna sebelum memasuki corpus cavernosum penis, bercabang jadi

1) arteri bulbaris penis (di corpus spongiosum penis)

-> arteri bulbouretralis

(yang beranastomosis dengan arteri profunda

penis/arteri kavernosa penis/ a.centralis di corpus

cavernosum);

2) arteri dorsalis penis d/s (di corpus cavernosum d/s)

-> bercabang jadi 2: arteri profunda penis/ a.cavernosa/

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 134


a.centralis dan a. circumflexa penis

• Di glans penis, arteri dorsalis penis d/s akan saling beranastomosis, dan juga
beranastomosis dengan arteri bulbouretralis-> arteri helicinae-> vaskularisasi
glans penis
• Venanya akan mengalir ke pleksus prostatikus dan vena pudenda interna
Uretra Wanita: Potongan Sagital

• Panjangnya 3-5 cm.


• Arah berjalannya ventrokaudal, di ventral 1/3 distal dinding anterior vagina, dan
dorsokaudal simfisis pubis; mulai cervix VU sampai dengan meatus uretra
eksterna di vestibulum vaginae
• Uretra dan vagina, bersama-sama melintasi diafragma pelvis, diafragma
urogenital, dan perineum

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 135


• Vaskularisasinya berasal dari arteri vesikalis inferior, arteri uterina, dan arteri
pudenda interna
• Aliran darah venanya menuju pleksus venosus vesikalis dan vena pudenda interna

Klasifikasi Trauma Uretra?

Berdasarkan Etiologi

1. Trauma Tumpul
2. Trauma Penetrasi (Tajam)
3. Trauma Iatrogenik
4. Terkait Aktivitas Seksual (fraktur penis, alat stimulasi intraluminal uretra)
• Trauma tumpul misalnya kecelakaan lalu lintas, terbentur di selangkangan
• Trauma penetrasi misalnya luka iris/ tusuk, luka gigitan anjing/ kucing, dan luka
tembak
• Kebanyakan pasien trauma tumpul ringan di selangkangan, cenderung tidak
kontrol; baru kontrol biasanya setelah BAKnya terganggu akibat sudah terjadi
striktur uretra.
Danarto, H.R. Emergency Urology. FK UGM. 2017.

EAU. EAU Guideline on Urological Trauma. 2020

Klasifikasi Trauma Uretra Pria


oleh Mundy (2011)/ EAU

Trauma Uretra Anterior

• Terdiri dari:
 Ruptur parsial
 Ruptur komplit
• Biasanya terjadi setelah straddle injury
• Paling banyak mengenai uretra pars bulbar

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 136


Trauma Uretra Posterior

• Terdiri dari
Tipe I Teregang tapi intak

Tipe II Ruptur parsial

Tipe III Ruptur komplit

Tipe IV Kompleks (cidera juga

bladder neck atau

rektumnya)

• Biasanya terjadi bersamaan dengan fraktur pelvis

Klasifikasi berdasarkan AAST*

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 137


INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 138
Trauma Uretra Anterior

Penyebab: Trauma benda tumpul,

Trauma benda tajam, iatrogenik,

insersi benda asing ke oue

Tersering terjadi akibat straddle injury

Paling banyak mengenai uretra pars bulbosa

Trauma Uretra Posterior

72 % insidensinya berhubungan dengan fraktur pelvis.

Penyebab yang lain : komplikasi terapi tertentu penyakit prostat yakni tindakan invasif dan
radioterapi1

Fraktur pelvis yang menyebabkan trauma uretra terjadi akibat:

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 139


- kecelakaan di jalan raya (68-84%)

- crush injury akibat jatuh dari ketinggian

(6-25%)

Mekanisme Fraktur Pelvis (Young-Burgess) dan Trauma Uretra yang Terkait

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 140


Temuan Klinis

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Darah di meatus/ orificium uretra eksterna ->cardinal sign

Tidak bisa kencing (dengan kondisi VU penuh)

Haematuria and nyeri berkemih

Darah di introitus vagina

Bengkak dan/ ekimosis di penis/ skrotum/ perineum (termasuk butterfly hematom)

Butterfly Haematoma

• fascia buck robek, sehingga darah dan urin mengisi ruangan longgar yang lebih
superfisial, yang sisi luarnya dibatasi oleh fascia yang satu layer dengan f.
dartos/ colles (di penis, skrotum, dan perineum), yang bahkan bisa meluas ke
dinding anterior abdomen (f. camper dan scarpa)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 141


Gambaran butterfly haematoma; pada 2 jam dan 2 hari pasca straddle injury

Trauma Uretra Iatrogenik

• Merupakan etiologi tersering trauma uretra


• Disebabkan oleh komplikasi tindakan pemasangan kateter yang tidak tepat
(32%), instrumentasi/ operasi trans-uretra dalam rangka terapi saluran kencing
(1.1-9.8%), dan komplikasi radioterapi (6%)
• Faktor risiko trauma iatrogenik terkait pemasangan kateter adalah tidak tepat
cara memasang, kurangnya lubrikasi, dan pemasangan kateter lama
• Bagian uretra tersering mengalami ruptur iatrogenik adalah pars bulbosa, karena
pengembangan balon kateter pada bagian tersebut
• Trauma iatrogenik akibat tindakan trans-uretra; selain dapat akibat laserasi
mukosa saat insersi (diameter alat besar, tidak dilakukan dilatasi uretra sebelum
insersi); dapat juga akibat aliran panas pada alat endoskopi
• Temuan klinis yang banyak ditemukan:
- nyeri di genitalia, memberat

saat berkemih

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 142


- bloody urethral discharge /

meatal bleeding

• Komplikasi terbanyak jika kondisi tersebut tidak ditangani? striktur uretra

Pemeriksaan Fisik

Digital rectal examination (DRE) adakah prostat melayang (“high-riding” prostate);


dievaluasi juga: adakah robekan rektum?

RT wajib dijalankan pada fraktur pelvis karena pada 5% trauma uretra posterior,
didapatkan robekan juga pada rektumnya.

Pemeriksaan Penunjang: Uretrografi

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 143


• Standar pemeriksaan imaging pada trauma uretra adalah retrograde urethrography
(saja) atau kombinasi retrograde urethrography dan antegrade
cystourethrography/ uretrosistografi bipolar (post sistostomi)
• Jika kondisi bladder neck tidak jelas pada imaging disarankan untuk melihat
langsung melalui sistoskopi suprapubik
• Contoh Imaging Uretrografi (Retrograde)

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 144


Kompetensi Dokter Umum

Tingkat kemampuan 1 (Knows): Mengetahui dan menjelaskan

Mampu menguasai pengetahuan teoritis termasuk aspek biomedik dan psikososial


keterampilan tersebut sehingga dapat menjelaskan kepada pasien/ klien dan
keluarganya, teman sejawat, serta profesi lainnya.

(Konsil Kedokteran Indonesia: Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. 2019)

Trauma Uretra pada Wanita

Insidensi trauma uretra pada wanita sangat jarang, dan jauh lebih sedikit daripada pria1,2

Trauma uretra pada wanita dapat terjadi akibat fraktur pelvis yang tidak stabil, persalinan
pervaginam (laserasi minor periuretra), dan cidera iatrogenic pada saat pemasangan
insersi sling sub-uretra sebagai terapi inkontinensia urine tipe stress 2,3

Trauma uretra wanita diklasifikasikan menjadi dua2:

1. Cidera parsial/ longitudinal

2. Cidera komplit/ transversal

Sangat mungkin ditemukan juga cidera vagina yang terjadi bersamaan, sehingga dapat
terkait juga dengan risiko timbulnya inkontinensia urine dan fistel uretrovagina2

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 145


1. Mundy, A.R., et al. Urethral trauma. Part II: Types of injury and their management. BJU
Int, 2011. 108: 630

2. Patel, D.N., et al. Female urethral injuries associated with pelvic fracture: a systematic
review of the literature. BJU Int, 2017. 120: 766

3. Gomes, C.M., et al. Update on complications of synthetic suburethral slings. Int Braz J
Urol, 2017. 43: 822.

Temuan Klinis Trauma Uretra Wanita

Darah di introitus vagina, laserasi vagina, hematuria post trauma, uretrorrhagia, labia
bengkak, retensi urin post trauma, atau adanya kesulitan dalam pemasangan kateter;
terutama jika pasien dengan riwayat fraktur pelvis tidak stabil1,2 3

Uretrografi sulit adekuat untuk penegakan diagnosis trauma uretra pada wanita karena
uretranya pendek dan kadang vulvanya oedem juga4.

Alternatif pemeriksaannya adalah uretrosistoskopi dan vaginoskopi 2

Pada deferred treatment, jika kondisi bladder neck (kompeten atau tidaknya) tidak jelas
pada pemeriksaan radiologis, direkomendasikan untuk melakukan sistoskopi suprapubik5.

1. EAU. EAU Guideline on Urological Trauma. 2020

2. Figler, B.D., et al. Multi-disciplinary update on pelvic fracture associated bladder and
urethral injuries. Injury, 2012. 43: 1242

3. Mundy, A.R., et al. Urethral trauma. Part II: Types of injury and their management. BJU
Int, 2011. 108: 630

4. Black, P.C., et al. Urethral and bladder neck injury associated with pelvic fracture in 25
female patients. J Urol, 2006. 175: 2140.

5. Barratt, R.C., et al. Pelvic fracture urethral injury in males-mechanisms of injury,


management options and outcomes. Transl Androl Urol, 2018. 7: S29

Manajemen

Kompetensi Dokter Umum

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 146


Tingkat Kemampuan 3B

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/ atau
kecacatan pada pasien . Lulusan dokter mampu menentukan usulan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.

Konsil Kedokteran Indonesia: Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. 2019)

Tingkat kemampuan 2 (Knows How): Pernah melihat atau didemonstrasikan

Menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini dengan penekanan pada clinical
reasoning dan problem solving serta berkesempatan untuk melihat dan mengamati
keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien.

Tingkat kemampuan 4 (Does): Mampu melakukan secara mandiri

Dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan menguasai seluruh teori, prinsip,


indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi, dan pengendalian komplikasi.

Tatalaksana Umum Kegawatdaruratan

Prioritas utama tetap tatalaksana cepat cidera yang paling mengacam jiwa1.

Dalam 1 jam pasca trauma, tidak ada urgensinya untuk tatalaksana trauma uretra2,3

Jika ada indikasi, pilihan utama dan pertama diversi adalah pemasangan kateter trans-
uretra oleh ahli yang berpengalaman (single attempt oleh ahli urologi)1,2

Jika gagal, dilakukan diversi urin suprapubik2.

Diversi urin suprapubik harus dilakukan dengan panduan USG atau under direct vision.
Misalnya dilakukan bersamaan dengan laparotomi eksplorasi2

Alasannya untuk menghindari risiko cidera iatrogenic akibat perubahan posisi VU pada
hematom pelvis (misalnya pada fraktur pelvis yang tidak stabil) dan VU yang tidak terisi
penuh (akibat syok hipovolemik atau cidera ikutan pada VU)1,2

Diversi urin awal bermanfaat untuk2 :

- Monitor urine output (terkait evaluasi

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 147


hemodinamik dan fungsi ginjal pasien)

- Tatalaksana retensi urin

- Meminimalisir ekstravasasi urin dan efek

sekundernya (infeksi dan fibrosis)

1.Barratt, R.C., et al. Pelvic fracture urethral injury in males-mechanisms of injury,


management options and outcomes. Transl Androl Urol, 2018. 7: S29

2. EAU. EAU Guideline on Urological Trauma 2020

3. Mundy, A.R., et al. Urethral trauma. Part I: introduction, history, anatomy, pathology,
assessment and emergency management. BJU Int, 2011. 108: 310.

Tatalaksana Kegawatdaruratan di Faskes Layanan Primer

Pasang kateter pada trauma uretra berisiko mengubah ruptur parsial menjadi ruptur
komplit

Pada trauma uretra dengan retensi urin, dilakukan pungsi suprapubik/ sistostomi oleh
yang kompeten mengerjakan; jika tidak bisa/ tidak ada, harus dirujuk segera.

sjrhem.ca (2020)

EAU. EAU Guideline on Urological Trauma 2020

Jangan sampai ini terjadi !!!

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 148


• Kateterisasi suprapubic

• Merupakan prosedur steril, dimana pasien dalam posisi supine-> a & antisepsis area
suprapubik- > drapping pasien dengan duk steril -> anestesi lokal lokasi pungsi ->
pungsi dengan panduan USG, arah tegak lurus terhadap permukaan kulit-> aspirasi:
urin (+) -> lanjutkan pungsi + aspirasi s/d retensi teratasi/ pasang set kateter
suprapubik-lalu difiksasi.
• Catat kualitas dan kuantitas urin inisial
Fiksasi Kateter

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 149


• Penanda kateter sudah masuk ke dalam vesica urinaria adalah keluarnya urin pada
selang kateter
• Setelah urin keluar di selang, pangkalnya (yang ada percabangan) didorong hingga
oue; baru balon fiksasi dikembangkan; setelah balon selesai dikembangkan, baru
pangkalnya ditarik keluar sampai muncul tahanan (oleh fiksasi balon di VU)
• Selanjutnya kateter difiksasi di inguinal atau paha proksimal
• Pratama YHS. Catheter Fixation. 2020
• Mari W et al. Urinary catheter securement and fixation in residential care homes.
NRC. 2016
FIKSASI YANG SALAH

Penekanan selang kateter pada lumen uretra di area penoskrotal

-> iskemik lokal -> nekrosis lokal -> striktur, abses, fistel

Pratama YHS. Catheter Fixation. 2020

Mari W et al. Urinary catheter securement and fixation in residential care homes. NRC. 2016

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 150


Algoritma Tatalaksana Trauma Uretra Anterior Pada Pria Th. 2020

Immediate : < 48 jam pasca trauma


Early : dalam kurun 2 hari-6 minggu
Delayed : > 3 bulan
Tatalaksana Trauma Uretra Anterior

• Pilihan diversi urinnya adalah1


1. Early endoscopic realignment

dilanjutkan pasang kateter

uretra (dengan panduan half-sheath/

wire)

2. Diversi urin jalur suprapubik

• Diversi jalur suprapubik direkomendasikan menggunakan guiding USG/ under direct


vision2

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 151


• Lama diversi pada ruptur parsial uretra adalah 1-2 minggu, sedangkan pada ruptur
komplit: 3 minggu1,4
Evaluasinya dengan pemeriksaan uretrografi3

• Pada diversi (saja), rekanalisasi uretra yang memuaskan dapat dicapai hingga 68%
(ruptur parsial) dan 14% (ruptur komplit)4
• Sebuah review terhadap 49 penelitian di Cina (1015 pasien); melaporkan tingkat
keberhasilan endoscopic realignment pada trauma tumpul uretra anterior
mencapai 57%3
• Namun tidak disebutkan spesifik jenis traumanya apakah komplit atau parsial.
• Diversi urin tidak perlu dikerjakan pada kontusio uretra dan cidera iatrogenik
minor3
Tatalaksana Trauma Uretra Anterior

• Jika ada indikasi, uretroplasti sebaiknya paling cepat dilakukan 2 hari s/d 6 minggu
setelah cidera (early urethroplasty)
• Immediate urethroplasty (dalam 48 jam setelah trauma) berisiko visualisasinya jelek
dan tidak bisa secara akurat menilai derajat disrupsi uretra karena masih ada
ekimosis dan pembengkakan.
• Risiko yang lain adalah risiko terbukanya kembali hematom pelvis yang bisa
menimbulkan perdarahan s/d 3 liter.
• Pada uretroplasti < 48 jam dilaporkan tingginya angka komplikasi: impotensi
(23%), inkontinensia (14%), dan striktur uretra (54%)
Algoritma Tatalaksana Trauma Uretra Posterior Pada PriaTh. 2020

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 152


RUG = retrograde urethro
graphy
DVIU = direct visual internal

urethrotomy.

Immediate : < 48 jam pasca trauma


Early : dalam kurun 2 hari-6 minggu
Delayed : > 3 bulan

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 153


Tatalaksana Trauma Uretra Wanita

• Dalam kondisi hemodinamik tidak stabil; diversi urin dulu


• Early repair (dalam 7 hari setelah trauma) angka kesuksesannya lebih tinggi +
angka komplikasinya lebih rendah; dibandingkan early endoscopic realignment
atau delayed repair
• Jika trauma uretra terkait pemasangan sling; sling harus segera dikeluarkan,
dilanjutkan immediate repair
• Approach repair tergantung lokasi trauma uretranya :
- Jika terdapat laserasi vagina, harus

segera direpair, dijahit 2 lapis-transvaginal

- uretra proksimal -> approach repairnya

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 154


retropubik dan trans-vaginal-> jahit

primer ujung punctum/ jahit primer laserasinya

- trauma uretra distal tidak perlu ditatalaksana selama

fungsi sfingter baik

Komplikasi Trauma Uretra

Striktur uretra (10,3-13,8%)

Disfungsi Ereksi (13-30%)

Inkontinensia Urin (2-4%)

Infeksi

• Faktor prediktor kuat sekuel disfungsi ereksi terkait trauma uretra:


1. Diastasis simfisis pubis

2. Displacement prostat ke arah lateral

3. Fraktur ramus pubis bilateral

4. Fraktur Malgaigne‘s (fraktur pelvis vertikal dengan dislokasi art. sakroiliaka bilateral dan
fraktur rami pubis)

Tatalaksana Komplikasi Trauma Uretra

• Terapi disfungsi ereksi terkait trauma uretra: diobservasi 2 tahun; jika tidak membaik-
> pasang protese penis.
• Terapi inkontinensia urin terkait trauma uretra: tergantung derajat kerusakannya; k/p
pasang sling

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 155


• Terapi striktur uretra tergantung lokasi striktur; jenisnya komplit/parsial; dan panjang
striktur.
Rekomendasi EAU (2020)Terkait Trauma Uretra

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 156


INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 157
INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 158
INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 159
Session 4
“Medical Ethics and Patient Safety in Urology”
Speaker 3
Dr. dr. Hari Wujoso, Sp.F., M.M

(foto pembicara)

Curiculum Vitae

Nama : Dr. dr. Hari Wujoso, Sp.F., M.M.


Tanggal Lahir : 22 Oktober
Institusi : Bagian Forensik dan Medikolegal, FK UNS / RSUD Dr Moewardi
Alamat : Jatimalang, RT 3 RW 1, Joho, Mojolaban, Sukoharjo
No. Telepon : 087836174047
E-mail : wujoso@gmail.com

A. Riwayat Pendidikan
No Pendidikan Perguruan Tinggi Bidang
1 S1 UNS Kedokteran
2 Sp1 UGM Forensik
3 S2 UII Magister Mangement
4 S3 UNDIP Hukum
5 Kursus UGM, UI Ethic

B. Riwayat Pekerjaan
No Jabatan Tempat Tahun
1 Direktur/direksi RS Muhammadiyah 1988-2001
2 Kaprodi MKK Pasca UNS 2011-2014
3 Ketua KEHRS / RSDM / RSUNS 2014-sekarang
KEPK
4 Dosen Forensik, Etika Berbagai PT 1995-sekarang
/ Agama
5 KSM/Kabag forensik RSDM-FKUNS 2014-SEKARANG

C. Fokus Pekerjaan

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 160


MEDICAL ETHICS AND PATIENT SAFETY IN UROLOGY

A. latar belakang

Pasien adalah orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Apakah pasien selalu orang
sakit? Jawabannya adalah tidak. Konsep pelayanan kesehatan berubah dari yang semula
berparadigma sakit bergeser ke paradigma sehat.

Pasien yang sakit, dia akan datang ke tempat di mana dia dapat memperoleh lagi
kesehatannya. Boleh jadi dia datang ke apotek, toko obat, toko jamu. Itu semua boleh
dilakukan. Tapi mungkin juga dia akan ke dokter, rumah sakit, puskesmas atau pelayanan
kesehatan lainnya. Kemudian di tempat tempat tersebut dia akan berkonsultasi dan
seterusnya, hal mana dia akan berusaha untuk kembali mendapatkan kesehatannya.

Pasien yang sehat mungkin dia datang ke tempat tempat tersebut di atas untuk
menanyakan bagaimana kesehatannya sekarang, apakah dalam keadaan baik baik saja, atau
kah ada tanda-tanda kelainannya atau ketidaknormalan? Dan selanjutnya setelah dia tahu
ternyata dirinya masih sehat sehat saja dia kemudian mengucapkan pujian pada Tuhan yang
maka esa.

Hanya saja pada kesempatan ini kita akan bicarakan pasien yang sakit.

Sakitnya perihal organ urologi. Tentunya pada sesi ini saya akan menyampaikan hal terkait
etika dan keselamatan pasien sebagai sebuah konsep baik dalam kajian normatif maupun
filosofi sebagaimana permintaan panitia. Bukan mengenai pengobatannya, tetapi bagaimana
dokter sepatutnya berperilaku kepada pasien terkait etika kedokterannya atau upaya menjaga
keselamatan pasiennya.

Mengapa masih membicarakan etika kedokteran? Tentu saja. Etika kedokteran sebagai
pelajaran untuk diketahui dokter agar dokter memiliki kemampuan untuk berperilaku baik.
Berperilaku baik kepada siapa? Tentunya pada kesempatan ini kepada pasiennya dan pada
dirinya sendiri.

Mengapa keselamatan pasien? Adakah ada masalah dari keselamatan pasien? Tentu ada.
Keselamatan pasien perlu diketahui dokter untuk menjaga agar pasien selalu ada di dalam
area aman sehingga keselamatan pasien terjaga dan terhindar dari kemungkinan adanya

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 161


kerugian akibat adanya kesalahan. Kesalahan siapa? Kesalahan dari pelayanan kesehatan
yang merugikan pasien dan juga akan berakibat merugikan dokter.

Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan etika kedokteran dan keselamatan pasien
pada kasus urologi. Hanya saja sebenarnya kajian ini tidak hanya bisa digunakan sebagai
pedoman di dalam membangun sikap etika kedokteran dan keselamatan pada pasien urologi
saja. Karena kajian etika dan keselamatan pasien ini lebih bersifat umum bisa dipakai untuk
semua pelayanan ke pada pasien.

B. rumusan masalah

Bagaimanakah dokter didalam membangun sikap etika pada pasien urologi?

Bagaimanakah dokter didalam membangun sikap ‗patient safety’ pada pasien urologi?

Tujuan.

Mampu menjelaskan cara membangun perilaku etika

Mampu menjelaskan cara membangun upaya keselamatan pasien

C. konsep etik

Etika adalah filsafat moral. Etika sebagai filsafat dikaji sebagai meta etika.

Sementara yang kita kenal sebagai kode etika kedokteran itu adalah etika normatif atau
norma etika. Pada dasarnya etika mengajarkan untuk berbuat baik. Dari kajian etika akan
menghasilkan nasehat yang disebut sebagai pernyataan etika. Contoh pernyataan etika adalah
‗sebaiknya dokter bersikap hati hati saat memeriksa pasiennya, agar dokter dapat
memperoleh diagnosis yang tepat‘.

Jadi pada saat dokter tersebut melakukan pemeriksaan kepada pasiennya, maka setelah
melakukan serangkaian pemeriksaan dan segala pemeriksaan penunjangnya akan berhati-
hati di dalam menetapkan diagnosis dari pasien. Tetapi sebenarnya sikap hati-hati tersebut
tidak hanya dilakukan saat menentukan diagnosis saja. Sikap hati-hati itu selalu ada dalam
setiap langkah dari dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasiennya tersebut.
Sikap hati-hati itu didasari karena sikap etika, yang lahir dari pernyataan etika yang sudah

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 162


dibuat oleh dokter sebelumnya yaitu ‗sebaiknya saya sebagai dokter harus bersikap hati-hati
dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien saya‘.

Konsep sebaiknya. Etika menghasilkan nasehat. Nasehat etika umumnya diawali dengan
kata sebaiknya atau sepatutnya atau seyogyanya. Konsepnya ada peristiwa pembandingan
dengan yang lain. Mengapa demikian? Karena Memang etika menuntut adanya alternatif
tindakan, hal mana dengan adanya banyak alternatif tersebut akan mampu memuat banyak
variabel yang memang mungkin memberi pengaruh untuk kesehatan dari pasien tersebut. Dan
variabel tersebut tidak hanya aspek medis. Jadi, miskipun demikian kenyataannya dokter
tidak mampu untuk mengakomodasi semua variabel tersebut mengingat dokter memang
hanya menekuni ilmu kedokteran. Dokter jelas tidak akan menekuni bidang filsafat moral
(etika). Yang merupakan konsep sosial yang relatif cair dan tidak hanya menggunakan
konsep deduksi untuk mendapatkan perilaku tepat baik. Variabel ekonomi, budaya,
keyakinan, spiritual, usia, semuanya bisa secara bersama dan saling membuat irisan satu
dengan yang lain yang akan membuat keputusan medis atau tindakan medis tertunda untuk
pelaksanaannya atau bahkan dibatalkan karena tidak adanya persetujuan dari pasien atau wali
pasien dengan dokter.

Adanya banyak variasi dari pilihan akan membuat dokter memilih mana yang akan
memberikan manfaat yang paling besar bagi pasien dan juga keluarganya. Karena tidak
menutup kemungkinan keluarga membuat pertimbangan dari sisi manfaat dari pengobatan
terhadap kemungkinan membaiknya kondisi pasien atau keluarganya itu. Kesimpulan akhir
bersama antara keinginan dokter, pasien dan keluarganya secara kumulatif akan menuju
pada salah satu alternatif tindakan yang akan diambil oleh dokter.

No Prinsip etika Sikon Keterlibatan pasien Tujuan

1 Non maleficence Darurat Tidak ada Keselamatan


kehidupan p

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 163


Justice Aman Kooperatif Keadilan,
keseimbangan
2
Otonomi Aman Kooperatif Membangun

kemandirian pasien
Beneficence Biasa Biasa biasa saja Kepatutan atau

kelayakan pada umumnya


3

Mempertimbangkan banyaknya variabel yang arus diperhatikan dan banyak diagnosis


banding
4 yang mungkin dibuat dokter, atau banyaknya kemungkinan pilihan yang bisa
muncul. Sementara hanya ada satu tindakan yang akan dilakukan oleh dokter,
mengakibatkan pengambilan keputusan etika tidak serta merta mudah diambil. Miskipun
demikian dokter tidak bisa menghindari untuk tidak membuat keputusan etika di dalam
setiap tindakan medisnya. Untuk itu diperlukan teknik untuk dapat membuat keputusan etika
itu cepat bisa dibuat. Teknik yang dipakai untuk dapat menghasilkan keputusan etika yang
baik biasanya menggunakan konsep prinsip etika dan prima facia.

Prinsip etik. Prinsip etika adalah landasan bagi dokter untuk membuat keputusan etika.
Prinsip etika ada 4 hal yaitu 1 beneficence, 2 non maleficence, 3 justice, 4 autonomi.
Pemakaian prinsip etika tersebut dilakukan dengan memperhatikan keadaan yang mengiringi
kondisi pasien.

Penerapan prinsip etika di dalam kehidupan pelayanan kesehatan diberi istilah prima
facie. Artinya dokter harus mampu memilih jenis prima facie apa yang dominan yang akan
dipakai di dalam menanggapi kasus yang sedang ditangani. Pemilihan prinsip etik dapat
dikatakan sebagai tindakan etika. Tindakan etika ini didasarkan pada indikasi etik yang ada
pada situasi pasien saat itu. Setiap situasi akan membawa indikasi etika-nya sendiri sendiri.
Secara sederhana gambar matriksnya adalah sebagai tersebut di atas.

Kita akan bahas sekilas masing masing prinsip etika ini.

Non maleficence. Indikasi etik apa yang mendukung untuk dilakukan pemilahan prima facie
-non maleficence-. Dokter dikatakan menggunakan prinsip etika non malficence dengan
tepat, jika indikasi kondisi nya adalah pasien dalam keadaan darurat atau gawat darurat.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 164


Pada kondisi darurat maka keselamatan pasien yang diutamakan -live saving-. Untuk
mengatasi pasien dalam keadaan darurat itu maka keterlibatan pasien bisa dikatakan tidak
ada. Artinya pasien untuk tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter tidak memerlukan
persetujuan dari pasien dahulu, atau dokter Juga tidak harus mendapat persetujuan dari
keluarga pasien lebih dahulu. Mengapa hal ini dilakukan karena usaha untuk
menyelamatkan pasien lebih utama dari pemberian ijin dari pasien atau keluarganya itu
sendiri. Jika ijin dari pasien atau keluarga menjadi syarat mutlak yang
mendahului untuk dapat dilakukannya tindakan medis, maka bisa jadi pasien terlambat
mendapatkan pertolongan medis dari dokter atau institusi pelayan kesehatan.
Keterlambatan pelayanan kesehatan maka dapat berakhir merugikan pasien atau
juga keluarganya berupa gagalnya harapan keberhasilan. Pasien bisa mengalami kematian
akibat keterlambatan pelayanan hanya karena persetujuan dokter belum diperoleh oleh
pasien atau keluarganya. Konsep etika yang demikian ini harus sangat disadari oleh semua
pihak yang terlibat. Sebab jika tidak, kasus ini merupakan titik lemah dari sisi hukum.
Sementara kalau pertolongan gagal keluarga kemudian protes dengan alasan tidak ada ijin
dari keluarga. Dan alasan lain yang bisa dibuat buat oleh keluarga atau pengacara yang tidak
memperhatikan usaha dokter atau institusi yankes yang sudah berusaha untuk berbuat sebaik-
baiknya.

Pada prinsipnya untuk pemberian layanan kesehatan pada pasien yang berada dalam
keadaan darurat adalah sesegera mungkin, seperti: pasien orang miskin, pasien kaya, pasien
anak atau variabel lainnya tidak akan menjadi perhatian. Selama kondisinya darurat maka
konsep non maleficence ini adalah yang diutamakan.

Justice. Indikasi etika apa yang mendukung untuk dipakainya prinsip etika justice? Prinsip
etika justice dipakai pada kondisi pasien yang aman dan kooperatif. Arinya saat itu pasien
tidak dalam kondisi darurat. Pasien dalam keadaan sakit tapi dalam situasi yang terkontrol
dan kooperatif untuk diajak kerja sama untuk proses pengobatannya. Hanya saja ada kondisi
yang unik dari pemakaian prinsip etika justice, yaitu adanya usaha untuk membangun
keseimbangan kekuatan antara dokter dan pasien. Artinya dokter dan pasien dalam proses
penentuan jenis pelayanan dan atau pemeriksaan tidak ada peristiwa pemaksaan, atau ada
unsur paksaan, dari satu pihak ke pihak yang lain. Intinya antara dokter dan pasien terbangun
keseimbangan atau keadilan secara sosial. Selain itu dalam konsep justice ini tidak boleh ada

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 165


unsur immoral yang didukung. Artinya walaupun didalam proses ya tidak ada unsur paksaan,
jenis pelayanan yang tersepakati juga tidak boleh ada unsur imoralitas. Unsur imoralitas itu
seperti adanya unsur pembunuhan (aborsi), penipuan, ketidakpatutan, dan lain- lainnya.

Contohnya penggunaan prinsip etika justice adalah dokter menolak adanya permintaan
aborsi dari pasien. Dokter menolak permintaan surat keterangan sakit pasien yang tidak sakit.
Yang harus diperhatikan dari konsep justice ini adalah bahwa yang membangun
keseimbangan adalah dokter. Dokter tidak mau untuk diajak melakukan sesuatu yang yang di
sana dokter terdorong untuk melakukan perbuatan imoral atau ada unsur tekanan sehingga
perlakuan adalah keterpaksaan. Juga harus diketahui bahwa prinsip etika ini adalah tuntunan
untuk dokter, jadi objek kajian etika ini adalah untuk bagaimana dokter dapat berperilaku
etik. Bukan untuk bagaimana pasien bisa berperilaku etis.

Otonomi. Apakah indikasi etika yang membuat dokter harus memperhatikan prinsip
etika ini? Prinsip etika ini diperlakan dalam rangka untuk memberi kehormatan pada pasien
untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti gambar di atas maka prinsip etika ini dibangun
dalam situasi kondisi pasien yang aman. Pasien kooperatif untuk melakukan
pelayanan kesehatan. Tujuan dari penggunaan prinsip etika ini adalah untuk
memberikan kebebasan pasien untuk menentukan nasibnya sendiri atau untuk menentukan
jenis tindakan atau pengobatan yang yang jenis variasinya sudah dijelaskan oleh dokter. Jadi,
untuk otonomi ini tidak boleh ada unsur imoralitas juga. Artinya pilihan yang dilakukan
pasien terhadap alternatif pilihan yang ada yang sudah diberikan oleh dokter, maka
semau pilihan itu adalah pilihan yang bermoral.

Sebagai contoh. Pasien seorang ibu rumah tangga. Dia datang bersama suaminya untuk
kontrasepsi. Setelah melakukan serangkai anamnesis-anamnesis juga pemeriksaan, maka
dokter memberi alternatif jenis jenis kontrasepsi yang bisa dipakai oleh istri tersebut. Seperti
pil KB, suntik KB, susuk, atau kondom. Pilihan itu kemudian menjadi hak pasien untuk
menentukan sendiri kontrasepsi apa yang akan dipakai. Pemilihan inilah yang disarankan
oleh dokter sebagai konsep otonomi untuk dilakukan oleh pasiennya tersebut. Jadi otonomi
dalam hal ini adalah otonomi untuk pilihan tindakan medis yang dibolehkan oleh hukum. Jika
pilihan itu melanggar hukum, maka boleh jadi dokternya yang melakukan kesalahan karena
mengizinkan dirinya sendiri untuk suatu tindakan medis pada pasien yang jelas itu melanggar
hukum tapi tetap disarankan dan pasien memilih tindakan medis yang melanggar hukum itu.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 166


Bagaimana jika pasien memilih untuk steril, padahal tidak ada indikasi medis untuk
dilakukan tindakan itu. Maka dokter tidak boleh menyarankan hal itu atau jika pasien
meminta hal itu, anak dokter harus menolak permainkan pasien itu.

Beneficence. Prinsip etika ini adalah landasan bagi dokter untuk berbuat etik dalam
kondisi pasien yang biasa saja. Situasi yang biasa saja. Tujuan dari kondisi ini adalah terlahir
pelayanan kesehatan yang sesuai tujuan dan diperolehnya kepuasan dari semua pihak. Pada
umumnya pelayanan kesehatan yang ada antara dokter-pasien menggunakan prinsip etika
beneficence ini. Dasar dari prinsip etika ini adalah kepatutan dan kebiasaannya sebagaimana
biasanya adanya. Artinya apa yang biasanya terjadi boleh saja terjadi. Hanya saja tetap ada
di dalam koridor patut atau baik dan bukan termasuk perbuatan imoral. Contohnya adalah
pasien datang ke dokter untuk periksa. Kemudian dokter bertanya-tanya atau anamnesa.
Kemudian pasien menjawab. Setelah itu dokter memeriksa tekanan darah juga nadi pasien.
Pasien disuruh membuka mulut. Kemudian pasien dilihat tenggorokannya. Ringkas cerita
kemudian pasien diberi tahu dokter kalau radang tenggorokan ringan. Sebaiknya hindari
makanan manis dan dingin sementara badan belum sehat. Untuk itu nanti obatnya dibelikan
dan diminum sesuai advis. Periksa selesai. Kemudian pasien membayar. Dan pulang.
Peristiwa yang terjadi berupa tanya jawab dan pasien juga baik baik saja. Dan kemudian
pasien datang lagi dan mengatakan ‗sudah sembuh dokter, hanya saja ingin kontrol lagi
agar tuntas sembuhnya‘. Artinya pada kasus tersebut semua peristiwa hubungan dokter
pasien berjalan aman tanpa ada masalah,.. yang kemudian selesai. Maka bisa dikatakan
peristiwa hubungan yang terjadi dari perilaku dokter itu dilandasi atas dasar prinsip
beneficence.

Medial Ethics Untuk pasien urologi. Sekarang bagaimanakah kondisi pasien urologi
tersebut. Apakah kondisinya darurat atau aman atau biasa biasa saja?

Konsep etikanya secara sederhana dibangun atas dasar kondisi tersebut. Apakah sekedar
kondisi itu saja, sebenarnya pertimbangan etika sangat kompleks. Artinya untuk membangun
perilaku etis dari dokter juga harus mempertimbangkan semua aspek yang ada pada manusia.
Sebagai manusia maka variabel fisik, mental dan sosialnya, semua harus diperhatikan. Aspek
non medis seperti ekonomi, budaya, pekerjaan, agama juga menjadi bagian yang ikut
diperhatikan dan dipikirkan.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 167


Selain kondisi pasien untuk merujuk pada konsep pemanfaatan prinsip etika, juga perlu
diperhatikan untuk mendapatkan pembenaran dari perilaku yang dipilih dokter. Arah semua
pertimbangan dokter adalah untuk memberikan yang terbaik bagi pasiennya tanpa adanya
perbuatan imoral. Di dalam membangun pembenaran perilaku kita bisa juga membuat
tambahan pertimbangan, yaitu berupa konsep pembenaran.

Ada 3 teori kebenaran yang dipakai secara ilmiah untuk memperoleh kebenaran.

Cara-cara itu adalah 1 teori korespondensi, 2 teori koherensi, 3 teori pragmatis.

Teori korespondensi. Sesuatu disebut benar jika bisa dibuktikan k e b e n a r a n t e r s e b u t


dengan kenyataannya di lapangan. Konsep yang dipakai adalah membuktikan secara
langsung. Misalnya Semarang adalah ibu kota Jawa tengah. Apakah benar? Maka didatangi
kota Semarang. Kemudian dilakukan pengamatan. Dan, ternyata benar. Jadi kebenaran teori
korespondensi ini dilakukan dengan mencocokkan pernyataan dengan kenyataan
empiriknya. Teori korespondensi ini kebenarannya bersifat empiris (kebenaran empiris).

Teori koherensi. Sesuatu disebut benar jika masuk akal atau logis, koheren atau rasional.
Konsepnya berdasar landasan yang sifatnya umum, untuk menilai sebuah kasus yang khusus.
Dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles. Terkenal dengan agama silogisme. Contohnya
semua manusia akan mati. Fulan adalah manusia. Maka fulan akan mati. Kebenaran disebut
kebenaran rasional.

Kebenaran pragmatis. Sesuatu disebut benar jika ada manfaatnya. Melihat sisi
praktisnya. Sesuatu dianggap benar jika memiliki manfaat yang baik dan benar bagi
kehidupan manusia.

Hanya saja etika tidak hanya melihat sebuah keputusan itu benar atau salah.

Malahan etika akan melakukan kolaborasi dari kutub baik dan benar, dan perbandingan
dengan kutub buruk dan salah. Gambaran dari kutub-kutub ini akan berputar spiral dan
dokter harus berusaha untuk mendapatkan posisi ideal sehingga akan menghasilkan
sebuah kesimpulan yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan etika yang berupa nasehat.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 168


Terakhir. Dari konsep etika. Maka untuk pasien dengan gangguan sistem urinaria
akan berbentuk kalimat pernyataan sebagai berikut. Sebaiknya dokter tidak akan menerima
pasien yang ingin berganti jenis kelamin, kecuali ada indikasi medis.

D. konsep keselamatan pasien

Keselamatan pasien merupakan bagian yang terkait dari pelayan kesehatan.

Pasien yang masuk ke rumah sakit atau pasien yang mendapat pelayanan kesehatan
diharapkan hanya akan mendapatkan pelayanan yang baik. Munculnya kondisi yang
mengarah kepada keadaaan yang dapat menimbulkan kejadian tidak diinginkan selama ada di
rumah sakit sangat tidak diharapkan, miskipun hal itu tidak mungkin dapat dihindari karena
merupakan satu kesatuan dari risiko pelayanan kesehatan. Hanya saja usaha untuk menjamin
keselamatan pasien harus dilakukan terus karena pasien harus dicegah mengalami
kejadian yang tidak diinginkan yang dilator-belakangi oleh karena adanya kesalahan atau
karena rendahnya kompetensi dari pelayanan yang diberikan oleh institusi pelayanan
kesehatan tersebut. Mengingat mulai awal sampai akhir pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada pasien hampir didalam tiap sesinya mengandung potensi untuk terjadi risiko dari
pelayanan kesehatan tersebut.

Ada 2 kategori sederhana terkait keselamatan pasien ini. Yaitu nearmiss -kejadian hampir
celaka- (nm) dan adverse event -kejadian tidak diinginkan- (ae). Keduanya bisa terjadi
karena adanya commision -kesalahan tindakan yang dikerjakan- (c) atau ommision -tidak
melakukan yang seharusnya dikerjakan- (o).

Pada dasarnya keselamatan pasien adalah sistem untuk menghasilkan suatu asuhan
pelayanan kepada pasien, agar pasien tidak mengalami kecelakaan akibat adanya kejadian
tidak diinginkan. Jadi tujuan adanya usaha keselamatan pasien adalah untuk menurunkan atau
mencegah adanya kejadian tidak diinginkan ataupun adanya kejadian hampir celaka. Secara
umum sebenarnya dokter sudah dididik untuk selalu menjaga keselamatan pasien. Hanya
saja adanya perkembangan iptek bidang kesehatan membuat variasi penyehatan pasien
menjadi berkembang dan banyak variabelnya. Untuk itu maka usaha keselamatan pasien
perlu dibuat lebih sistematik agar risiko yang juga berkembang tersebut lebih mudah diatasi

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 169


secara sistematik di dalam usaha sistem keselamatan pasien. Untuk selanjutnya diharapkan
sistem tersebut menjadi bagian dari kebiasaan tenaga kesehatan atau menjadi budaya
kehidupan tenaga kesehatan untuk keselamatan pasien.

Landasan hukum untuk melaksanakan program keselamatan pasien ini ada beberapa yaitu;
A) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 43 ayat (1)
mewajibkan Rumah Sakit menerapkan standar keselamatan pasien. B) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Pada kesempatan ini saya akan sampaikan kejadian tidak diinginkan yang bisa merupakan
kejadian tidak diinginkan, tapi juga bisa merupakan risiko dari tindakan medik. Secara umum
bahwa kejadian tidak diinginkan ada dua yaitu; 1 kejadian tidak diinginkan tidak salah (ktdts)
yang ini merupakan risiko dari pelayanan kesehatan yang bukan kesalahan; 2 kejadian tidak
diinginkan yang salah (ktds). Ktds yang merupakan kesalahan ini, merupakan awal dari
adanya malpraktik, yang pada kesempatan ini tidak disampaikan oleh penulis.

Kejadian tidak diinginkan tidak salah (ktdts), ada 3 kategori, yaitu; 1 risiko tak laik bayang
(rtlb), 2 risiko terikut tindakan (rtt), dan 3 komplikasi (kom). Pada prinsipnya 3 hal ini
merupakan risiko medis yang kejadiannya tidak bisa dipersalahkan kepada tenaga dokternya
karena merupakan kejadian tidak diinginkan yang bukan kesalahan dokter. Hanya saja
sebelumnya pasien sudah harus diberi tahu dulu akan kemungkinan adanya kejadian-kejadian
tersebut. Karena sering- sering masalah yang muncul karena adanya latar komunikasi yang
buruk. Maka untuk mengantisipasi masalah komunikasi ini ada baiknya semua informasi
terekam dalam rekam medik bahwa sudah disampaikan adanya risiko yang mungkin akan
muncul tersebut.

Risiko tak laik bayang -rtlb-. Risiko ini merupakan risiko dari adanya tindakan medik
yang tidak salah. Jadi ktd-nya merupakan ktdts yang disebut dengan rtlb. Contoh kasusnya
adalah alergi obat. Pasien yang sudah dianamnesa oleh dokter dengan lengkap, ditemukan
tidak ada riwayat alergi obat sama sekali. Kemudian dokter memberikan resep dan dibelikan
di apotek, kemudian obat diminum sesuai aturan dokter. Kemudian pasien alergi, dengan
munculnya bintul-bintul dengan rasa gatal dan kemerahan yang terdapat diseluruh tubuh.
Pasien kemudian telepon ke dokter, dan mengatakan apakah obatnya salah, karena pasien
menjadi alergi. Dokter bilang kalau obatnya sesuai dengan keterangan pasien bahwa tidak ada

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 170


riwayat alergi obat. Maka, kasus alergi tersebut bukan merupakan ktd, dan kejadian ini
disebut sebagai ktdts yang rtlb.

Risiko terikut tindakan, -rtt-. Risiko ini lahir bersamaan dengan adanya tindakan medis
yang dilakukan dokter. Risiko ini seperti adanya rasa sakit saat pasien disuntik. Jarum yang
menusuk kulit akan menimbulkan rasa nyeri yang itu merupakan risiko dari tindakan
menyuntik yang sebelumnya sudah disetujui oleh pasien itu sendiri. Risiko-risiko medis
seperti ini sangat banyak sesuai dengan tindakan medis dokter. Dan hal ini merupakan ktdts
yang disebut rtt. Untuk itu dokter yang seyogyanya menerangkan hal adanya ktd ini
sebelumnya kepada pasiennya dengan jelas.

Komplikasi. Komplikasi merupakan lahirnya penyakit karena adanya penyakit


sebelumnya. Ktd ini sudah menjadi risiko dari perjalanan penyakit yang diderita pasien.
Munculnya komplikasi bisa dilatarbelakangi banyak faktor. Hanya saja faktor yang lahir dari
aspek medis sudah harus diberitahukan oleh dokternya terlebih dahulu. Seperti adanya rtt dan
rtlb itu sendiri.

Untuk keselamatan pasien, maka ktd yang terjadi y a n g merupakan ktd yang salah-
ktds-. Ktds merupakan indikasi untuk munculnya malpraktik. Dan bagian inilah yang harus
dicegah kejadiannya dan merupakan usaha dari sistem keselamatan pasien.

Keselamatan pasien untuk pasien urologi. Penyakit urologi banyak jenisnya. Tentu upaya
untuk menjaga keselamatan pasien urologi di rumah sakit, harus dilakukan sesuai dengan
aturan yang berlaku. Terutama mengikuti SOP yang sudah ditetapkan oleh RS terkait
pedoman pelayanan klinik dan juga keselamatan pasien pada umumnya.

Kejadian hampir celaka -khc-. Kejadian ini termasuk dalam ktd. Hanya saja pada kasus khc
perihal ktd yang dialami pasien bisa dicegah terjadi, atau bisa ditangani sehingga tidak
sampai terjadi ktd yang sesungguhnya.

E. kondisi pasien urology

Pada pasien urologi akan kita evaluasi apakah kondisi umumnya baik atau buruk. Juga
keadaaan gawat atau darurat atau gawat darurat. Pada saat pasien itu datang untuk melakukan
pemeriksaan maka akan kita ketahui kondisi umum dari pasien itu.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 171


Keadaan umum pasien.

Keadaan umum atau kondisi pasien berbeda-beda dari satu pasien dengan pasien lainnya,
maka dokter akan memberikan reaksi yang berbeda dalam pertimbangan etikanya.
Sepertinya hal kondisi dari pasien yang datang ke dokter maka dokter juga memberi reaksi
yang berbeda dari pertimbangan medisnya. Perhatian dokter yang baik terhadap pasiennya
akan membantu dokter itu mampu untuk dengan tepat memberikan pelayanan kesehatan.

Situasi yang bisa mempengaruhi keadaan pasien secara umum adalah kondisi jasmani dan
kondisi rohani (fisik dan jiwa). Kondisi jasmani manusia adalah terkait dengan keadaan
fungsi indera (penglihatan, pendengaran, penghidupan, pengecapan dan perabaan). Juga
termasuk kondisi fisik adalah kemampuan gerak dari otot seperti bergerak, berjalan,
melambai, memegang. Juga hal lain lain yang terkait aktivitas fisik lainnya.

Banyaknya variabel yang mempengaruhi kondisi pasien, dan rentang dari variabel yang juga
banyak, menyebabkan kondisi pasien biasanya bersifat kasuistik. Miskipun ada hal- hal yang
bisa disebut mirip, sejatinya kondisi pasien adalah unik untuk tiap pasien. Besarnya variasi
ini menyebabkan konsep pelayanan kesehatan itu hanya bisa mengambil konsep pelayanan
kesehatan yang bersifat pragmatis. Selama tindakan kedokteran itu banyak memberi manfaat
pada satu hal yang sesuai harapan, maka penilaian terhadap tindakan kedokteran itu bisa
dianggap benar. Terlebih jika ternyata didukung oleh adanya banyak kasus, testimoni, dan
yang terakhir adanya dukungan data statistik yang mendorong kepercayaan terhadap objek
penelitian yang dilakukan, membuat kebenaran tampak semakin nyata.

F. Simpulan

Aspek etika. Untuk perilaku dokter agar tepat baik menurut tuntunan etika, maka dokter
harus memahami prinsip etika yang ada empat tersebut dan menempatkannya pada situasi
dan kondisi yang sesuai.

Aspek keselamatan pasien. Keselamatan pasien harus menjadi landasan norma positif dokter.
Dokter wajib berusaha untuk mencegah terjadinya ktd yang salah, maupun kejadian hampir
celaka.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 172


G. Penutup.

Dokter di dalam melaksanakan profesinya terikat dengan tuntunan ilmu kedokteran, etika dan
hukum kedokteran. Semoga sedikit dari materi ini dapat menambah pencerahan. Mohon maaf
jika ada kekurangan. Solo Feb 2021.

INTERNATIONAL SYMPOSIUM OF 14TH CME | NEPHRON 173

Anda mungkin juga menyukai