Presenting
E-MODULE
NEPHRON
Newest Essential Proceeding Of Nephrourology Emergency
Symposium of 14th
Continuing Medical Education FK UMS
20-21 February 2021
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat
yang tidak bisa kita hitung. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW. CME merupakan tradisi akademik dari civitas akademika FK UMS dan
sebagai bentuk dari berbagi ilmu bagi dunia kesehatan yang lebih baik.
CME tahun ini merupakan CME kelanjutan tahun lalu yang tertunda karena pandemi
COVID-19. Pandemi ini tidak hanya berefek pada CME, namun juga berefek bagi setiap
aspek kehidupan. Untuk itu kami ingin berterimakasih kepada orang-orang berdedikasi
dimanapun, terutama petugas kesehatan dan dokter-dokter kami yang telah melakukan
pengorbanan yang luar biasa untuk merawat mereka yang membutuhkan. Kami juga turut
berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada tenaga kesehatan yang telah gugur dalam
bertugas. Semoga Allah SWT mengampuni dosa mereka, melapangkan kuburnya, dan
menerima amal kebaikan sejawat kita.
Selain mengenai COVID-19, masalah yang dihadapai oleh tenaga kesehatan saat ini adalah
kegawatdaruratan urologi baik kasus trauma maupun non-trauma. Diagnosis yang tepat dan
penanganan yang cepat perlu diberikan pada keadaan tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan
dan ketrampilan bagi setiap klinisi perlu terus ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan
yang sesuai dengan perkembangan keilmuan terkini. Mempertimbangkan keadaan tersebut
kami mengusung symposium CME ini dengan mengangkat tema ―Newest Essential
Proceeding of Nephrourology Emergency‖ . kami harap symposium ini dapat meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan kita semua dalam bidang urologi.
Pelindung
Dekan : Prof. Dr. dr. EM Sutrisna, M. Kes
Wakil Dekan I : dr. Ratih Pramuningtyas, Sp. KK
Wakil Dekan II : dr. Erika Diana Risanti, M. Sc
Penasihat Acara
dr. Tri Agustina, M. Gizi
dr. Rochmadina Suci Bestari, M. Sc
Penasihat Ilmiah
dr. Ratih Pramuningtyas, Sp. KK
dr. Iin Novita Nurhidayati Mahmuda, M. Sc, Sp. PD
Ketua
Variansa Sava Ramadhan
Sekertaris
Sri Harnani Rafidah Estri
Nita Tri Sulistyani
Wardah Hanani Pangestu
Bendahara
Annisa Putri Nasuha
Dewangga Khrisna Aji
Anita Akhyarini
Acara
Koordinator : Eki Adetya Nugraha
Wakil Koor : Ulfa Anis Luthfia
Anggota
1. Lili Puspadewi
2. Satya Agung Nugroho
3. Ulfa Anis Luthfia
4. Amalia Nur Hafidzah
5. Rezy Prasasti W
6. Vina Mitha Elfira
7. Rizal Dwi Sanjani
Ilmiah (Pembicara)
Koordinator : Muhammad Nur Alamsyah
Wakil Koor : Muhammad Adrian Syah Putra
Anggota
1. Dian Arni Nur Azura
2. Nur Sukma ANggraini
3. Mutia Keumalahayati
4. Delima Anggraini Hudini
5. Firstian Dhita Irawan
6. Brimasdia Argarachmah Kiyenda
7. Yunika Prajna Suyoso
8. Siti Binta Masykurin
9. Salma Alfiana
10. Antung Khairina
11. Julistya Widya Maharani
Ticketing
Koordinator : Ihsan Rafsanjani
Wakil Koor : Tito Andri
Anggota
1. Asri Wahyu Azzahro
2. Nanda Meida
3. Ayu Sevianita
4. Annisa Maulidya
5. Maulida Sekar Andini
6. Putri Rahmawati
7. Marta Yuliana
8. Fanni Asyifa
9. Adam Arya Pratama
Sponsorship
Koordinator : Fified Fajar Ramanda
Wakil Koor : Ahmad Aidil Huda
Anggota
1. Septin Pratiwi
2. Ayu Safira Ilma
3. Nur Fadhila
4. Ridho Zarkasi
5. Gandhes Sahida Basserawy
6. Titik Handayani
7. Dika Arifianti
8. Novita Dwi Saputri
9. Tisya Indara Wulan
10. Christie Julie Prawatya
Konsumsi
Koordinator : Adelia Restuningtyas
Wakil Koor : Asri Febria
Anggota
1. Maya Arum Sari
2. Febrina Hafidah Basithoh
3. Nurmaita Wardaniyatu Solihah
(foto pembicara)
Curiculum Vitae
Nama Lengkap : dr. Musrifah Budi Utami, Sp. PD, M.Kes., FINASIM
Tempat, Tanggal Lahir : Surakarta, 26 Mei 1980
Alamat : Perum UNS jl.Ekonomi no 30 Jaten Karanganyar
Pendidikan dan Pelatihan:
- Dokter Umum, 2005 Fakultas Kedokteran UNS Surakarta
- PPDS I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNS Surakarta, 2014
- Magister Kesehatan Keluarga Ilmu Biomedik Pasca Sarjana UNS, 2014
- Pelatihan USG Basic,Diklat PUSKI Jakarta
- Konvokasi FINASIM, 2018.
Keanggotaan Profesi :
Curiculum Vitae
Pendahuluan
Pengetahuan seorang dokter mengenai kolik ureter sangat diperlukan, karena kolik
ureter ini seringkali mengarahkan adanya satu kegawatan yang membawa pasien berobat ke
Instalasi gawat darurat. Penyebab tersering kolik ureter adalah adanya batu dalam saluran
kemih. Tetapi pada saat pasien datang dengan keluhan kolik ini dokter harus memikirkan dan
mengeksplorasi kegawatan lain yang menjadi diagnosis banding misalnya rupture aneurisma
aorta, torsio ovarii , dan appendicitis. 1
Secara umum prevalensi batu saluran kemih sebesar 2 – 20 % di masing – masing
negara dunia dan angka ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan lokasi batu
saluran kemih ini terbanyak adalah di ureter (20%) 2
Definisi
Kolik ureter/Kolik ginjal merupakan suatu rasa nyeri yang terjadi secara mendadak di
daerah pinggang biasanya disebabkan oleh batu saluran kemih. Rasa nyeri tersebut menjalar
baik ke atas maupun ke bawah dari lokasi batu tergantung apakah batu berada di ureter atau
di dekat ureterovesical junction . 3,4
Faktor risiko terjadinya kolik :3
1. Batu ureter biasanya terbentuk di dalam ginjal. Stasis urin, infeksi, dan perubahan
konsentrasi urin menjadi predisposisi terbentuknya batu. Janis batu yang biasa
ditemui adalah batu oksalat dan trifosfat, sedangkan batu asam urat, batu xanthine dan
batu sistine jarang terjadi. Infeksi saluran kemih oleh bakteri proteus spp
menyebabkan urin menjadi asam sehingga meningkatkan risiko terbentuknya batu
trifosfat. Senyawa gout dan sistinuria merupakan predisposisi terbentuknya batu asam
urat dan batu sistin. Pasien dengan gross hematuria berisiko terjadinya kolik.
2. Nekrosis papiler ginjal berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus,
penyalahgunaan analgesik, pielonefritis, penyakit Sickle Cell dan obstruksi saluran
kemih.
3. Pemeriksaan Penunjang 5
-Urinalisis
Pemeriksaan urin analisis merupakan pemeriksaan sederhana namun seringkali dapat
mengarahkan diagnosis dan komplikasi. Gambaran sel darah merah dalam urin
(hematuria) memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan adanya batu atau
keganasan. Lekosit esterase dan nitrit urin menunjukan adanya infeksi saluran kemih dan
membutuhkan kultur urine untuk penentuan antibiotic yang sesuai.
- Foto polos abdomen
Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan yang cepat dan murah, namun tidak semua
batu dapat terlihat dengan pemeriksaan ini. Mayoritas gambaran X Ray batu ureter
adalah radioopak. Sedangkan batu asam urat murni dan batu xanthine tampak radiolusen.
Perlu diperhatikan adanya gambaran batu empedu, kelenjar getah bening yang
terkalsifikasi, fekolit, phleboliths dan benda asing usus karena akan mengaburkan
gambaran batu ureter.
- Urogram intravena (IVU)
Batu radiolusen dapat didiagnosis dengan IVU sebagai defek pengisian pada saluran
kemih yang berisi kontras. Ekstravasasi kontras dapat menunjukkan perforasi ureter.
Kombinasi IVU dengan ultrasound scan dapat meningkatkan akurasi diagnostik.
Pemeriksaan urogram mulai ditinggalkan karena penggunaan kontras yang seringkali
menimbulkan efek merugikan
- CT Scan
CT scan semakin banyak digunakan untuk mendiagnosis pasien yang mengalami kolik
ureter. Spiral CT dianggap sebagai pelacakan diagnostik dengan sensitivitas dan
spesifisitas tinggi. Adanya batu dan morfologi ginjal dan ureter dapat dinilai dengan CT
scan. CT scan saluran kemih mulai banyak digunakan menggantikan IVU karena tidak
menggunakan kontras sehingga tidak berisiko terjadinya gangguan ginjal akut ataupun
reaksi alergi terhadap kontras
- Ultrasound
RINGKASAN
Kolik ureter/kolik ginjal merupakan suatu rasa nyeri akut yang menyebar di perut
sesuai lokasi saluran kemih. Penyebab tersering adalah adanya batu saluran kemih. Seorang
dokter harus menentukan penyebab kolik ureter ini dengan tepat melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang karena seringkali penyebab kolik ureter ini
merupakan kondisi yang berbahaya. Terdapat beberapa kelainan yang merupakan diagnosis
banding : aneurisma aorta abdominalis, appendicitis, kehamilan ektopik, torsio ovarium,
pecahnya kista ovarium. Penatalaksanaan awal kolik ureter yaitu menghilangkan rasa nyeri,
selanjutnya mengatasi penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nicolau C, Caudon M,Derchy E, Adam J, Nielsen B,Mostbeck G, et all. Imaging
Patients with Renal Colic – Consider Renal Sound First. Insight Imaging. 2015;6 :
441 – 447
2. Moon J, Kim W, Kim B, Kim J, Chang S. Distribution of urinary stone and factors
affecting their location and expultion in patients with renal colic. Koren J urol 2015;
56: 717 – 721.
3. Kenny C, Eragat M, Salahia S, Mulhem W, Hammadeh MY. Diagnosis and
Management of Renal Colic. https://www.researchgate.net/publication/319881610.
4. Teichman H. Acute renal colic from renal calculus. N Engl J Med. 2004;350: 683-94.
5. Desay M,Sun Y,Buhcloz N, Fuller A, Matsuda T, Matlaga B. Treatment selection for
urolithiasis : percutaneous nephrolihtotomy, ureteroscopy, shock wave lithotripsy, and
active monitoring. World J Urol DOI. 10.1007/s.00345-017-2030-8.
6. Renal and ureteric stones: assessment and management.
www.nice.org.uk/guidance/ng118
Curiculum Vitae
INTRODUCTION
• The mortality from sepsis > 31% of sepsis originated from the urogenital tract
organs urosepsis
• Urosepsis is a severe infection
• 5% lead to severe sepsis
• An important aetiology for hospital-acquired infection around 40% of the
nosocomial infections
• 5% of urosepsis severe sepsis and organ dysfunction
• Patients with comorbidities a higher risk for urosepsis, severe sepsis and septic
shock with a higher morbidity and mortality
DEFINITION
• Sepsis caused by infection of the urogenital tract, and is a systemic response to
infection.
• The signs and symptoms of SIRS that were initially considered to be ―mandatory‖ for
the diagnosis of sepsis are now considered to be alerting symptoms
• Many other clinical or biological symptoms must be considered.
SOFA score
Napolitano L.M., Sepsis 2018: Definitions and Guideline Changes, SURGICAL INFECTIONS Volume 19,
Number 2, 2018 ª Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089/sur.2017.278
Napolitano L.M., Sepsis 2018: Definitions and Guideline Changes, SURGICAL INFECTIONS Volume 19,
Number 2, 2018 ª Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089/sur.2017.278
CLASSIFICATION
RISK FACTOR
ETIOLOGY
The most common pathogen causing UTIs (and in turn urosepsis)
Pseudomonas aeruginosa (5%)
E. coli (50%)
Proteus (15%)
Gram-positive bacteria (15%)
Klebsiella (15%)
Enterobacter (15%)
PHATOGENESIS
The complex pathogenesis of urosepsis starts when uropathogens or their products stimulate
the host innate immune system.
1. Host response to pathogen invasion
• Stimulation of the host immune system involves pattern recognition receptors such as
toll-like receptors (eg, TLR-4) and damage-associated molecular pattern receptors
and results in the secretion of large amounts of pro-inflammatory cytokines (eg, IL-1
and IL-6).
• The initial proinflammatory phase is followed by a counter-regulatory anti-
inflammatory response, leading to an immunosuppressive state.
• In urosepsis, as in other types of sepsis, the host response determines the severity
and clearly influences the outcome
who are more likely to develop urosepsis:
- elderly patients
- diabetics
- immunosuppressed patients: as transplant recipients, patients receiving cancer
chemotherapy or corticosteroids.
Urosepsis also depends on local factors:
- urinary tract calculi
- obstruction at any level in the urinary tract
- congenital uropathy
- neurogenic bladder disorders
PATOPHYSIOLOGY
DIAGNOSTIC
1. Laboratory work-up
- Complete blood count (CBC)
- Electrolyte
- Serum C-reactive protein
- Procalcitonin (PCT)
- Serum lactate
BACTERIOLOGY OF UROSEPSIS
Although the rate of sepsis due to Gram-positive and fungal organisms has increased, Gram-
negative bacteria remain predominant in urosepsis.
IMAGING STUDIES
Imaging studies will help in diagnosing renal calculi as well as urosepsis aetiology and
complications.
1. Abdominal Radiography
Has a limited value
It shows the presence and extent of calcification and calculi within the renal
system.
Help in monitoring change in position and increase in size or number of renal
stones.
Wagenlehner FME et all, Diagnosis and management fo r u rosepsis International Journal of Urology (2013) 20
, 963–970
Antimicrobials for urosepsis:
Bonkat G. Et all, 2020, EAU Guidelines on Urological Infections, European Association of Urology
• The dosage should generally be high, with appropriate adjustment for renal
function.
Dugar S., Et All, 2020, Sepsis And Septic Shock : Guideline-Based Management, CLEVELAND CLINIC
JOURNAL OF MEDICINE, VOLUME 87 : NUMBER 1 , JANUARY. Doi:10.3949/Ccjm.87a.18143
• During fluid therapy, vasopressors : norepinephrine should be used primarily
(dobutamine in MI)
• Hydrocortisone only if fluid & vasopressors do not achieve a MAP of 65mmHg.
• Blood products target a hemoglobin level of 7 – 9 g/dl.
• Mechanical ventilation should be applied with a tidal volume of 6 ml/kg, a plateau
pressure of 30 cm HO, and a high positive end-expiratory pressure.
• Sedation minimal
• Neuromuscular blocking agents avoided.
• Glucose levels 180 mg/dl.
• Measures to prevent DVT should be applied. LMWH subcutaneously
recommended.
• Stress ulcer prophylaxis PPI
Avni T., et all,2015, Vasopressors for the Treatment of Septic Shock: Systematic Review and Meta-Analysise,
PLOS ONE | DOI:10.1371/journal.pone.0129305
Wagenlehner FME et all, Diagnosis and management fo r u rosepsis International Journal of Urology (2013) 20
, 963–970
12 hours : Source control:
PREVENTION
Community-acquired urosepsis
o relieving the obstruction to the flow of urine
o correction of the urinary tract abnormalities,
Hospital-acquired urosepsis
o CAUTI (catheter-associated urinary tract infection )
o Isolation of patients with multi-resistant organisms
o Removing urinary catheter
o Prudent use of antimicrobial agents for prophylaxis
o Using the condom catheters.
o Reduction in hospital stay.
Urinary tract infection in females
o clean genitalia,
o drinking plenty of water particularly after intercourse,
o urinating frequently
o wiping from front to back.
Elderly patients
o cranberry juice or capsule
o elderly postmenopausal intravaginal oestriol therapy
Bonkat G. Et all, 2020, EAU Guidelines on Urological Infections, European Association of Urology.
Curiculum Vitae
Retno Suryaningsih
Pendahuluan
Acute Kidney Injury (AKI) merupakan sindrom klinis dengan berbagai penyebab dan
memiliki patofisiologi yang berbeda-beda, yang ditandai dengan penurunan mendadak fungsi
ginjal dalam beberapa jam sampai beberapa hari. AKI adalah keadaan yang umum dijumpai
dan mempunyai faktor risiko tinggi untuk terjadinya morbiditas yaitu berlanjut menjadi
penyakit ginjal kronik.1 Penatalaksanaan AKI sangat bervariasi, hal tersebut karena AKI
disebabkan oleh berbagai penyakit seperti: sepsis, dehidrasi, gangguan hemodinamik oleh
karena penyakit jantung, serta pemakaian obat-obatan yang bersifat nefrotoksik.1,2
Istilah AKI dipakai untuk menggantikan istilah Gagal ginjal akut, hal ini bertujun
untuk mendeteksi lebih awal adanya AKI dan penatalaksanaan kelainan ginjal yang terjadi
dengan segera. Perubahan istilah ini tidak hanya sekedar perubahan nama, namun merupakan
perubahan konsep yang mendasar. Penggunakan istilah injury (gangguan) pada AKI tersebut
telah mencakup semua tahapan kelainan ginjal dari tahap ringan sampai gagal ginjal tahap
akhir.1,2
Insiden AKI bervariasi berkisar antara 10-20 % pada pada populasi umum yang
dilakukan rawat inap di Rumah sakit, sebanyak 10% memerlukan terapi penggantian ginjal
(TPG). Pada pasien dengan sakit kritis insiden AKI berkisar 45-50%. AKI dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, serta memerlukan biaya yang tinggi dalam proses
perawatan. Setiap tahunnya sebanyak 1,7 juta orang di seluruh dunia diperkirakan
meninggal akibat AKI. Chertow dkk, dalam penelitiannya pada pasien yang dilakukan rawat
inap di RS menunjukkan adanya peningkatan kreatinin ≥ 0,3 mg/dl ( ≥26 umol/L) secara
independen dikaitkan dengan risiko mortalitas 4 kali.3
Deteksi awal AKI yang akurat dan cepat serta pemahaman yang lebih baik tentang
mekanisme patofisiologi yang mendasari sangat penting untuk penatalaksanaan yang optimal
dan upaya mencegah komplikasi.2,4
Adanya beragam definisi ARF telah menimbulkan kesulitan dalam membuat panduan
diagnosis secara universal, namun juga membawa dampak dalam penatalaksanaannya.
Organisasi Acute Dialysis Quality Initiative/ ADQI tahun 2003 mengajukan definisi AKI
dengan menggunakan istilah injury/gangguan. Perubahan nomenklatur tersebut mencakup
semua tahapan gangguan ginjal, dari yang paling ringan sampai gagal ginjal tahap akhir.
Definisi baru tersebut disertai kriteria yang memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhi tahapan gagal ginjal akut dan mencerminkan kondisi klinisnya. Tahapan ini
disebut kriteria RIFLE ( Risk, Injury, Failure, Loss, End Stage Kidney disease).6,10,12
Tabel 1. Klasifikasi AKI dan tahapan AKI berdasarkan RIFLE, AKIN dan KDIQO.12
1. Peningkatan serum kreatinin sebesar 0.3 mg/dl (26.5 mmol/l) dalam waktu 48 jam;
2. Peningkatan serum kreatinin hingga 1.5 kali baseline, yang sudah diketahui sebelumnya
atau diperkirakan telah terjadi dalam 7 hari.
3. Jumlah volume urin <0.5 ml /kg/ jam selama 6 jam.
AKI sangat tergantung pada lamanya kerusakan ginjal dan luasnya kerusakan ginjal,
sehinga mendeteksi pasien dengan AKI sejak awal atau bahkan sejak masuk Rumah sakit
dapat meminimalkan cedera ginjal lebih lanjut atau terjadinya komplikasi. Meningkatnya
insiden AKI terutama terjadi pada pasien usia tua yang menderita berbagai penyakit atau
morbiditas.9
Penilaian AKI dilakukan untuk mencari faktor risiko dan penyebab AKI terutama
pada keadaan hipoperfusi (kehilangan volume dan hipotensi) dan obstruksi saluran kemih.
Pada kondisi hipotensi persisten, harus dicurigai adanya sepsis yang tidak memberikan
gejala, khususnya sepsis akibat intra abdominal.10
1. Hypovolaemia Haemorrhage
Prerenal Volume depletion
Renal fluid loss (over-diuresis)
Third space (burns, peritonitis, muscle trauma)
Increased Anaesthesia
vascular Surgery
resistance Hepatorenal syndrome
NSAID medications
Drugs that cause renal vasoconstriction (i.e. cyclosporine)
strictures,
blood clots
malignancy,
retroperitoneal fibrosis
Manifestasi dan penyebab AKI sangat bervariasi, sekitar 70 % AKI yang didapat dari
komunitas dikaitkan dengan penyebab prerenal. Pada penyebab pre renal, fungsi ginjal yang
mendasari dapat normal, namun adanya penurunan perfusi ginjal terkait dengan penurunan
volume intravaskular (misalnya, dari muntah, diare, perdarahan) atau penurunan tekanan
arteri (misalnya dari gagal jantung atau sepsis) yang menyebabkan penurunan LFG.11
Mekanisme autoregulasi merupakan upaya untuk mempertahankan laju filtrasi
glomerulus, dengan vasodilatasi arteriol afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik serta
prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol efferent yang terutama
Hipoperfusi ginjal yang berlangsung lama dan berat dapat menyebabkan iskemia,
kematian sel, dan terjadi nekrosis tubular akut/NTA. Proses-proses yang disebabkan oleh
faktor prerenal dapat menyebabkan ATN, namun kerusakan ginjal yang paling sering terjadi
adalah pada kondisi pasien dengan hipotensi yang diakibatkan pasca operasi, sepsis, dan
komplikasi obstetric. Mekanisme cedera yang terjadi pada NTA kemungkinan disebabkan
karena vasokonstriksi arteriol afferen, kebocoran filtrat glomerulus, obstruksi tubular.
Penggunaan obat-obat nefrotoksik seperti aminoglikosida, atau penggunaan zat kontras dapat
menyebabkan AKI dengan berbagai mekanisme.11
Penegakan Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI, perlu dilakukan evaluasi apakah
penurunan tersebut terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal atau tidak normal (acute
on chronic kidney disease). Pada kondisi tersebut diperlukan anamnesis yang cermat meliputi
Pemeriksaan fisik adanya gejala atau tanda yang dapat membantu diagnosis
penyebab pre renal misalnya adanya hipovolemia, dehidrasi, oliguria (jumlah urin<500
ml/24 jam atau <0,5cc/kgbb /jam), mukosa kering, turgor kulit menurun, BJ urin > 1,020.
hipotensi postural, akral dingin, turgor kulit menurun. capillary refill <2’, pemeriksaan CVP ,
cardiac output monitoring. Evaluasi tanda gagal jantung ( JVP meningkat, udem paru,
hepatomegali) dan sepsis.3,11,17
Pemeriksaan darah rutin, kadar ureum, kreatinin, elektrolit diperlukan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan evaluasi. Penghitungan jumlah urin output untuk menentukan
stadium dan beratnya AKI. Adanya cedera ginjal ringan jika serum kreatinin meningkat <
0,5 mg / dL di atas nilai dasar; cedera sedang sampai berat jika serum kreatinin meningkat ≥
0,5 mg / dL di atas nilai dasar (perubahan kreatinin dievaluasi dalam konteks kreatinin
Gambar 2. Perbandingan perubahan kadar biomarker urin atau serum pada AKI dan
non-AKI setelah operasi jantung.15
AKI: acute kidney injury; CPB: cardiopulmonary bypass; creatinine: serum creatinine;
cystatin-C: serum cystatin-C; KIM-1: urinary kidney injury molecule-1; NGAL: urinary
neutrophil ge-latinase-associated lipocalin.
Penatalaksanaan AKI
Managemen AKI ditujukan untuk perbaikan faktor pencetus dan pengelolaan secara
komprehensif untuk mencegah komplikasi dan perburukan fungsi ginjal lebih lanjut.
2. AKI stadium 1, dengan etiologi yang tidak jelas, peningkatan serum kreatinin
yang tidak diketahui penyebabnya, adanya kekhawatiran bahwa kondisi tidak
dapat segera pulih dengan intervensi sederhana.
3. AKI stadium 1 yang memiliki komorbid dan tidak terkontrol (gagal jantung,
DM, Hipertensi).
DAFTAR PUSTAKA
1. Ronco, C., Bellomo, R., & Kellum, J. A. Acute kidney injury. The Lancet, 2019.
394(10212):1949–1964.
2. Makris K., Spanou L. Acute Kidney Injury: Definition, Pathophysiology and Clinical
Phenotypes. Clin Biochem Rev. 2016; 37(2): 85–98.
3. Thongprayoon, Hansivrijit, Kovuruu K., Kanduri. et all. Diagnostics, Risk Factors,
Treatment and Outcomes of Acute Kidney Injury in a New Paradigm. J. Clin.
Med. 2020, 9(4):1104
4. Susantitaphong P, Cruz DN, Cerda J, Abulfaraj M, Alqahtani F, Koulouridis I, et al. World
incidence of AKI: a meta-analysis. Clin J Am Soc Nephrol. 2013; 8:1482–93.
5. Judd E., Sanders PW., Agarval A.Diagnosis and Clinical Evaluation of Acute Kidney Injury.
Available at: https://abdominalkey.com/diagnosis-and-clinical-evaluation-of-acute-kidney-
injury/
6. Roesli, RMA. Acute Kidney Injury. PIT-KONKER PERNEFRI. Padang. 2019;266-87
7. Kathleen D., Liu D., Stuart L., Goldstein, Vijayan A., et all. AKI!Now Initiative:
Recommendations for Awareness, Recognition, and Management of AKI.
CJASN.2020;15(12):1838-47
8. Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) Clinical Practice Guideline
for Acute Kidney Injury. Kidney Int Suppl. 2012;2:1–138.
9. Finley S., Bray B., Lewington, Rowey. Identification of risk factors associated with
acute kidney injury in patients admitted to acute medical units. Clin Med (Lond).
2013(3): 233–238.
(foto pembicara)
Curiculum Vitae
A. Riwayat Pendidikan
1) Sarjana Kedokteran: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 1999-
2003
2) Profesi Dokter: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 2003-2005
3) S2 Ilmu Kedokteran Klinik: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
2010-2013
4) PPDS Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
2010-2015
B. Pelatihan Profesional
1) Practical Approach to Insulin Therapy, Insulin Pioneer Workshop, PAPDI
SOLO, 2015
2) Workshop ADRENALIN Clinical Update of Emergency in Internal Medicine
Sumpah Dokter FK UNS (2016)
3) In House Training Penelitian Hewan Uji FK UMS (2016)
4) Workshop intra articular Pertemuan Ilmiah Penyakit Dalam FK UGM 2016
5) Workshop respiratory emergency Pertemuan Ilmiah Penyakit Dalam FK UGM
2016
C. Pengalaman Mengajar
1) Kuliah dan Konsultasi Pakar Blok Cardiovascular, Respirasi, Hematologi,
Digestif, Muskuloskeletal, Nefrourologi, dan Endokrin Fakultas Kedokteran
UMS (2015-sekarang)
2) Kuliah Blok Life Cycle Topik ―Problem Kesehatan Pada Lansia‖ Fakultas
Kedokteran UMS (2015-sekarang)
3) Kuliah Blok Neurologi Topik ―Encephalopathi Hypertensi‖ Fakultas
Kedokteran UMS (2015-sekarang)
4) Bimbingan ujian CBT UKMPPD dan OSCE Nasional Penyakit Dalam Bagian
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UMS (2015-sekarang)
5) Bimbingan Klinis Pendidikan Profesi di Stase Penyakit Dalam RS PKU
Muhammadiyah Surakarta (2016-sekarang)
6) Bimbingan Klinik delegasi IMO FK UMS (2017-sekarang)
7) Bimbingan Klinik delegasi ICEM FK UMS (2018-sekarang)
D. Produk Bahan Ajar
1) CEREBRO Jilid 1-3, Panduan Praktikum Anatomi (2016)
2) Buku Student Guide dan Tutor Guide Blok Cardiovascular, Respirasi,
Hematologi, Digestif, Muskuloskeletal, Nefrourologi, dan Endokrin
(2015/2016/2017)
E. Penelitian dan Publikasi
1) Diabetes Mellitus as Predictor Risk Factor for Coronary Lession in Coronary
Heart Disease Patient at RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta dipresentasikan pada 3
th International Conference of Health and Medical Science diselenggarakan oleh
FK UMY 2018 dipublikasikan pada edisi khusus Malaysian Journal Public
Health of Medicine Volume 18 (suplemen 2) 2018
2) Hiperglikemia sebagai Prediktor Keberhasilan Pengobatan Pasien dengan
Sindrome Koroner Akut di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dipublikasikan pada
Biomedika Volume 10 Nomor 2, Agustus 2018
3) Pencegahan dan Tata Laksana Dekubitus pada Geriatri dipublikasikan pada
Biomedika, Volume 11 Nomor 1, Februari 2019
4) Acut Limb Iskemik : Case Report Review dipresentasikan pada Seminar
Nasional Continuing Medical Education, Workshop and Symposium Maternity
Emergency Obstretry and Gynocology in The Primary Care, Maret 2019 dimuat
dalam Proceeding Book
5) A Primary Spontaneous Pneumothorax in Young Woman dipresentasikan pada
Seminar Nasional Continuing Medical Education, Workshop and Symposium
Curiculum Vitae
A. Riwayat Pendidikan
Nama Perguruan Guru Besar
S1 S2 S3
Tinggi (Profesor)
CKD
Is a silent condition
EMERGENCY IN CKD
Metabolic Acidosis
Hyperkalemia
RISKESDAS 2018
MALE FEMALE
URBAN RURAL
RISKESDAS 2018
Unemployement Farmer / Civil Servant / Fisherm Workers / Others Entrepreneur Private school
Farm Soldier / Police / an Drivers / Employees
laborers State-owned Helper
enterprise
RISKESDAS 2018
PERCENT (%)
E1 (Primary
Glomerulopathy)
(GNC)
E9 (Others)
E8 (Chronic E10
Pyelonephritis) (Unknown)
E7 (Obstructive
Nephropathy)
E6 (Gout
Nephropathy)
E2 (Diabetic
E5 (Kidney
Nephropathy)
Polycystic)
E4 (Hypertensive
Kidney Disease)
E3 (Lupus
Nephropaty)
CKD Etiology (IRR 2018) (SLE)
1. Hypertension
CAPD Patient
CAPD patients are only 2% of all PKG 5 patients undergoing routine IRR
dialysis 2018
IRR 2018
STROKE
1997 The frist kidney transplant in indonesia was done at RSCM Jakarta. 2001-2010 5
Kidney transplant per year. 2012-2014 63 Kidney transplant per year (PERNEFRI, 2013)
Kidney transplantation in Indnesia has not been optimal compared to the United
States, wich performed more than 190,000 kidney transplants in 2013. (United States
Renal Data System (USRDS), 2015).
No HOSPITAL Number
TOTAL 1032
THANK Y
Consume Nutritious foods & Control Blood
Sugar
Do Not Smoke
Curiculum Vitae
Qualifications: 1. MBBS
2. MD Internal Medicine
[Manipal University]
Professional accomplishments:
Gold medal and best outgoing student award in MD, Medicine 1998, Manipal University,
India
Academic memberships:
ISSN 1011-8934
Joseph Thomas
DAY 2
SESSION 3
“RETENTIO URINE IN DAILY PRACTICE”
(foto pembicara)
Curiculum Vitae
B. Pengalaman Kerja
1) 1995 – 1996 Dokter Fungsional Puskesmas Jenar, Sragen, Jawa Tengah
Curiculum Vitae
C. Riwayat Organisasi
Organization Time
Local
Medical Committee, sub ethical committee and medical profession discipline 2017 - now
Saiful Anwar General Hospital Malang Indonesia
Secretary of Kidney Transplantation Saiful Anwar General Hospital Malang 2013 - now
Indonesia
National
Overview
• Trauma
a). Kidney Trauma
b). Ureter Trauma
c). Bladder Trauma
d). Urethral Trauma
• Non Trauma
• Upper Urinary Tract
a). Renal colic
b). Acute kidney injury
c). Kidney infection
• Lower Urinary Tract
a). Urinary retention
b). Bladder bowel syndrome
c). Haematuria
d). UTI
• Genitoscrotal disorder
a). Phimosis and Paraphimosis
b). Acute scrotum
c). Penile emergencies
• Pediatric Urgencies
a). Hydronephrosis
b). Undscended Testis (UDT)
c). Ambiguous Genital / DSD
d). Hypospadias and epispadias
• Primary (physiological)
TREATMENT
Conservative :
• Corticosteroid ointment or cream is an option for primary phimosis
• success rate of > 90%, recurrence rate of 17%.
Surgical :
• An absolute indication for secondary phimosis.
• Contraindications for circumcision
– acute local infection
– congenital anomalies of the penis (hypospadias, epispadias, webbed penis,
burried penis)
Note: the foreskin may be required for a reconstructive procedure.
TREATMENT
1. MANUAL REDUCTION
a). Penile block anesthesia using 2% lidocain
b). Puncture in the edematous area and squeeze
to decrease swelling (Dundee technique)
c). Apply lubricating gel and push the gland
proximally
2. SURGICAL
a). Immediate dorsal incision of the
constrictive ring
b). Circumcision
ACUTE SCROTUM
URINARY RETENTION
HEMATURIA
• In pediatric cases, less related to malignancy in US study
• Imaging modalities:
– Ultrasonography (US)
– Computerized tomography (CT) scanning
HYPOSPADIAS
• Ventral displacement of urethral orifice, classified into:
– distal - anterior hypospadias (glanular, coronal or distal penile);
– intermediate - middle (penile);
– proximal - posterior (penoscrotal, scrotal, perineal)
• The pathology may be much more severe after skin release
HYDRONEPHROSIS
• Early detection of antenatal hydronephrosis via USG at 16th-18th week of gestation, ideal
urinary tract evaluation at 28th week of gestation.
• Bilateral hydronephrosis had fewer prognosis than unilateral hydronephrosis
• Once detected, refer to Urology for further management.
Curiculum Vitae
Curiculum Vitae
1. Anatomi
Background
For most of the 20th century, from 1909 until the late 1990s, the premier treatment for
symptomatic benign prostatic hypertrophy (BPH) was transurethral resection of the
prostate (TURP).
TURP was the first successful, minimally invasive surgical procedure of the modern
era.
To this day, it remains the criterion standard therapy for obstructive prostatic
hypertrophy and is both the surgical treatment of choice and the standard of care when
other methods fail.
Indications
Large bladder diverticula that do not empty well secondary to an enlarged prostate
Contraindications
The only absolute indication for an open prostatectomy over a TURP is the need for
an additional open procedure on the bladder that must be performed at the same time
as the prostatectomy.
A relative indication for the selection of an open prostate surgery over a TURP is
generally based on prostatic volume and the ability of the surgeon to complete the
TURP in less than 90 minutes of actual operating time (although < 60 min is
considered optimal).
3. TURP
LASER SURGERY
Types of lasers used for BPH surgery by either coagulating, vaporizing or enucleating the
prostate:
Potassium titanyl phosphate (KTP): neodymium (Nd): yttrium-aluminum-garnet
(YAG) and lithium borate (LBO): Nd: YAG
Diode lasers
Holmium (Ho): YAG (Holmium laser enucleation of the prostate [HoLEP])
Thulium (Tm): YAG (Thulium laser enucleation of the prostate [ThuLEP] or Thulium
vapoenucleation of the prostate [ThuVEP]).
HOLEP
Thulium laser radiation allows better tissue vaporization than holmium and has also
undergone similar evolution of techniques with vaporization,
vaporesection (ThuVARP),
vapoenucleation and laser enucleation (ThuVEP).
ROBOTIC
OPEN PROSTATECTOMY
4. MILIN
Retropubic (Millin) Prostatectomy
As previously stated, the patient is placed on the operating room table in the supine
position in mild Trendelenburg.
A lower midline incision is made and the space of Retzius developed.
Initiate the Millin (transverse capsular) prostatectomy by locating the vesicle neck by
palpation of the Foley balloon.
Place a 1-0 absorbable suture deeply in the capsule of the prostate, just below the
vesicle neck. Repeat this technique until a 4-cornered area is created, through which a
Suprapubic Prostatectomy
With the suprapubic approach, place the patient in a supine position on the operative
table, with the umbilicus over the break of the table. After that, hyperextend the table
slightly, placing the patient in a mild Trendelenburg position.
After preparing and draping the patient in the standard fashion, introduce a urethral
catheter into the bladder, through which the bladder is filled to approximately 250 mL
with sterile water or saline before the catheter is removed.
Make a vertical midline incision from below the umbilicus to the pubic symphysis.
Alternatively, a low Pfannenstiel incision can be made. Dissect between the laterally
retracted rectus abdominus, developing the prevesical space extraperitoneally.
Neither the retropubic nor the lateral vesical spaces are necessarily entered. Below the
peritoneal dissection, place 2 stay sutures in the anterior bladder wall, make a vertical
cystotomy, and carry it within 1 cm of the bladder neck, allowing visualization of the
bladder neck and prostate. A transverse stay suture may be placed to prevent caudal
extension of the cystotomy.
Retract the superior bladder edge cranially and retract the inferior portion distal to the
trigone in a caudal direction to display the posterior bladder neck. The urethral
orifices are now well visualized and protected as the bladder neck mucosa is incised
just distal to the trigone.
HEAT GENERATION
A number of minimally invasive techniques have been tried and have fallen out of
general use, but they do have a role in the office setting.
These techniques involve applying various heat sources to the prostate to cause
necrosis and sloughing of prostate tissue.
These techniques have been marred by significant post-operative irritative urinary
symptoms and dysuria and high re-operation rates and are therefore not in common
practice or appear within recommended guidelines.
5. TUMT
INJECTION THERAPY
Botulinum toxin
MECHANICAL DEVICES
Intraprostatic stents were used for patients who were not fit enough for surgical
intervention and did not want to stay permanently catheterized.
A variety of stent material exists and this includes self-retaining spiral stents,
malleable stents and heat-expandable stents.
(foto pembicara)
Curiculum Vitae
a. Tingkat Kemampuan 3B
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/ atau kecacatan pada
pasien. Lulusan dokter mampu menentukan usulan rujukan yang paling tepat
bagi penanganan pasien selanjutnya 3
2. Referensi utama
3. Urolithiasis
a. Definisi dan Etiologi
Urolithiasis adalah batu yang terbentuk di saluran kemih-yang meliputi batu
ginjal, ureter, buli, dan uretra
Etiologi: infeksi, non- infeksi, kelainan genetik dan obat obatan
b. Klasifikasi Batu Saluran Kemih(BSK) berdasarkan etiologi2:
Batu non-infeksi :
Kalsium oksalat
Kalsium fosfat
Asam urat
Batu akibat infeksi :
Magnesium amonium fosfat
Karbonat
Kelainan genetik :
Sistin
Xantin
Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan Keterangan
Foto Membedakan batu radio lusen dan radioopak
polos
abdomen
CT-Scan Dapat menentukan ukuran dan densitas batu, batu asam urat dan
non xantin
kontras
IVP Bila CT-Scan non kontras tidak memungkinkan
• Gold standart pencitraan batu saluran kemih adalah CT urografi non kontras
• Gambar di atas adalah contoh hasil pemeriksaan CT urografi tanpa kontras
untuk Batu Pielum Ren D + HN D; pada potongan horizontal (a); koronal (c);
koronal dengan soft tissue dihilangkan (d)
1. Hashim, H., Reynard, John., Cowan, Nigel C., Urological Emergencies in Clinical
Practice. 2005. Springer-Verlag London Limited 2005
2. IAUI. Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih. 2018
3. Konsil Kedokteran Indonesia: Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia.
2019
4. www. mmj.eg.net (2020)
(foto pembicara)
Curiculum Vitae
(foto pembicara)
Curiculum Vitae
PENDIDIKAN
PENDAHULUAN
Trauma vesika urinaria atau trauma kandung kemih atau trauma buli-buli merupakan
keadaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi
dapat menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis. Secara
anatomi buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis sehingga
jarang mengalami cedera.
Angka kejadian trauma pada buli-buli pada kurang lebih 2% dari seluruh trauma pada
system urogenitalia Trauma buli-buli terjadi paling banyak akibat trauma eksternal dan
kebanyakan berhubungan dengan fraktur pelvis. Selain itu Trauma buli-buli iatrogenik bisa
terjadi dari kasus ginekologi dan prosedur ekstensif pelvis lainnya dan operasi transuretral
Sekitar 60 - 90 % (rata-rata 80 %). Pasien cedera kandung kemih akibat trauma tumpul
biasanya disertai dengan fraktur tulang panggul dan 30% dari pasien dengan fraktur tulang
panggul terdapat cedera pada kandung kemih, termasuk kontusio kandung kemih.
Etiologi
Trauma vesika urinaria terbanyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau
kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen dari fraktur tulang pelvis mencederai kandung
kemih. kandung kemih yang penuh lebih mungkin untuk terjadinya cedera dibandingkan pada
saat kandung kemih kosong. Fraktur tulang pelvis dapat menimbulkan kontusio atau ruptur
kandung kemih, pada kontusio kandung kemih hanya terjadi memar pada dinding buli-buli
dengan hematuria tanpa eksravasasi urin.
Patofisiologi
Kandung kemih dilindungi dengan baik oleh tulang pelvis sehingga ketika terjadi
fraktur pelvis yang disebabkan oleh trauma tumpul maka fragmen dari fraktur pelvis dapat
mencederai kandung kemih dan dapat terjadi ruptur ekstraperitoneal. Apabila terdapat urin
yang terinfeksi dapat mengakibatkan abses dalam pelvis dan infeksi pelvis yang berat. Pada
saat kandung kemih terisi penuh kemudian tiba – tiba terjadi benturan atau pukulan langsung
ke perut bagian bawah dapat menyebabkan gangguan pada kandung kemih. Jenis gangguan
biasanya adalah gangguan intraperitoneal. Ruptur intraperitoneal terjadi ketika ada pukulan
atau kompresi pada perut bagian bawah pasien dengan kandung kemih yang penuh sehingga
menyebabkan peningkatan mendadak tekanan intraluminal kandung kemih kemudian
menyebabkan robekan buli-buli di bagian 'dome' yang merupakan bagian terlemah dari
kandung kemih. Dome atau Puncak dari lengkungan kandung kemih ditutupi oleh
peritoneum, maka cedera yang terjadi di daerah ini akan menyebabkan ekstravasasi
intraperitoneal.
Jika diagnosis segera ditegakkan dan jika urin sudah steril, maka tidak ada gejala yang
dapat ditemukan selama beberapa hari atau muncul gejala peritonisme tetapi jika terdapat
urin yang terinfeksi, maka akan cepat berlanjut menjadi peritonitis dan akut abdomen.
Klasifikasi
Gejala
Dua tipe dasar kerusakan kandung kemih karena trauma adalah memar dan robekan.
Cedera tumpul (memar) adalah kerusakan yang disebabkan oleh benturan pada kandung
kemih. Cedera penetrasi (robekan) adalah kerusakan yang disebabkan oleh sesuatu yang
menembus kandung kemih.
Hampir setiap orang yang mengalami cedera tumpul pada kandung kemih akan melihat
darah dalam urin. Mereka yang mengalami luka tembus mungkin tidak benar-benar melihat
pendarahan. Mungkin ada rasa sakit di bawah pusar, tetapi sering kali rasa sakit dari cedera
lain membuat nyeri kandung kemih sulit untuk diperhatikan. Jika ada lubang besar di
kandung kemih dan semua urin bocor ke perut, tidak mungkin untuk buang air kecil. Pada
wanita, jika cedera cukup parah, vagina juga bisa robek dan kandung kemihnya robek. Jika
ini terjadi, urin bisa bocor dari kandung kemih melalui vagina. Dalam kasus ini, darah juga
bisa keluar dari vagina.
Demam
Diagnosis
Nyeri perut bagian bawah, nyeri tekan, dan memar sering ditemukan pada penderita
cidera kandung kemih. Namun, tanda dan gejala ini bisa jadi sulit dibedakan dari gejala patah
panggul. Beberapa cedera kandung kemih (biasanya intraperitoneal) ditemukan karena saat di
pasang kateter uretra tidak mengeluarkan urin. Pada pasien cidera kandung kemih dengan
diagnosis yang tertunda, bisa muncul keluhan demam, kesulitan buang air kecil, peritoneal
iritasi, dan peningkatan nitrogen urea darah (BUN). Pada pasien dengan tanda dan gejala ini
harus di lakukan sistografi untuk menyingkirkan cedera kandung kemih.
Pemeriksaan darah di meatus uretra sedang wajib pada semua pasien trauma.
Persentase signifikan (10-17%) dari pasien dengan cedera kandung kemih akan terkait
dengan trauma uretra. Jika temuan pada urethrography normal, kateter Foley dipasang; jika
abnormal, pasien dibawa ke ruang operasi untuk penempatan kateter urin suprapubik,
eksplorasi kandung kemih, dan perbaikan cedera kandung kemih. Suprapubik drainase yang
berkaliber besar akan memberikan hasil yang baik. Biasanya di pasang Foley kateter 20-24 F
atau 16-20 F untuk suprapubis.
Pemeriksan Radiologi
Indikasi untuk pencitraan adalah Gross hematuria dengan fraktur pelvis merupakan
indikasi mutlak untuk mengevaluasi kandung kemih pada pasien trauma karena pasien
tersebut memiliki kemungkinan resiko tinggi cedera. Morey et al, melaporkan bahwa dari 53
pasien dengan cedera kandung kemih, semua mengalami hematuria dan 85% mengalami
fraktur tulang panggul. Quagliano et al, melaporkan bahwa 32% pasien dengan fraktur
panggul dan gross hematuria ditemukan memiliki cedera kandung kemih. Gross hematuria
tanpa fraktur panggul dan mikrohematuria dengan fraktur panggul dianggap indikasi relatif
1. Radioanatomi
Sistogram yang normal berupa garis lingkar, dindingnya rata bundar dan oval.
Sumber : Philp W. Ballinger, M.S., R.T. (R). Merrill‘s Atlas Radiographic Positions and
Radiologic Procedures. 8nd ed. Volume 1 and 2. The Ohio State University, Columbus, Ohio,
1995)
2. Cystography
Sistografi adalah pencitraan pada buli – buli dengan memakai kontras. Melalui sistoskop /
kateter dimasukkan kontras pada vesika urinaria dan dapat menilai apakah terdapat filling
defect, robekan buli – buli yang terlihat sebagai ekstravasasi kontras ke luar buli – buli,
adanya divertikel. Cystography memiliki tingkat akurasi 85 - 100% untuk mendeteksi cedera
kandung kemih dan idealnya harus dilakukan dengan panduan dari fluoroskopi
Tata Laksana
Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dengan pemberian cairan
intravena atau darah. Bila sirkulasi telah stabil, baru dilakukan reparasi buli-buli. Prinsip
pemulihan ruptur kandung kemih ialah penyaliran atau pengeringan ruang perivesikal,
pemulihan dinding dan pengosongan kandung kemih serta pengeluaran urin yang lancar
melalui kateter. Terapi cedera buli-buli tergantung pada jenis cedera, diantaranya adalah:
a.) Pada kontusio buli-buli : cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk
memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh
setelah 7-10 hari.
Komplikasi
Prognosis
PENUTUP
Trauma vesika urinaria atau trauma buli-buli merupakan keadaan darurat bedah yang
jarang terjadi. Secara anatomi buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang
pelvis sehingga jarang mengalami cedera. Trauma buli-buli memerlukan penatalaksanaan
segera, bila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan komplikasi seperti peritonitis
dan sepsis.
Evaluasi harus di lakukan untuk menentukan jenis trauma apakah hanya kontusio atau
terjadi ruptur baik ekstraperitoneal maupun peritoneal. Pemeriksaan Sistografi harus di
lakukan untuk mengetahui apakah ada ekstravasasi dari kontras yang di masukan, apabila
tidak tersedia fasilitas sistografi atau pasien tidak transportable bisa dilakukan tes buli dengan
cara membandingkan cairan yang masuk kandung kemih dan yang keluar. Tes buli di
kerjakan dengan cara memasukkan cairan fisiologis/NaCl 0,9% sebanyak 300cc melalui
kateter uretra secara pasif/aliran dengan memanfaatkan grafitasi kemudian dibiarkan keluar
melalui kateter dan di lihat jumlah cairan yabg keluar apakah sama dengan yang di masukan,
apabila berkurang kemungkinan ada kebocoran /lesi di kandung kemih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mc Annich J.W. dan Lue T.F., 2013, Smith and Tanagho‘s General Urology,
Seto, pp.
4. Sjamsuhidajat, R., 2010, Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong, Ed.3,
(foto pembicara)
Curiculum Vitae
Riwayat Pekerjaan :
Dokter Umum RSU PKU Muhammadiyah Jogjakarta
Staf Edukatif FK UII Jogjakarta
Staf Divisi Urologi, KSM Bedah, RS dr. Moewardi Surakarta
Urology Division
Department of Surgery
2021
Definisi
Tingkat Kemampuan 3B
(Konsil Kedokteran Indonesia: Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. 2019)
Bahan Bacaan
Kasus 1
Seorang pria 25 tahun diantar periksa karena cidera pasca kecelakaan lalu lintas. Pasien
mengeluhkan tidak bisa kencing dan keluar darah dari kemaluannya.
Kasus 2
Seorang pria 35 tahun diantar periksa ke IGD karena mengeluh tidak bisa kencing.
Sejak 1 bulan ini kencingnya tidak lancar dan bercabang setelah setelah tertendang di
selangkangan saat futsal.
Sebelum ke IGD, pasien telah dicoba pasang kateter di klinik namun gagal, dan selanjutnya
justru keluar darah dari kemaluannya.
Definisi
Uretra?
Uretra Pria
Potongan Koronal
pseudostrtifikatum kolumner,
Potongan koronal
urethra.1
• Ada 3 tempat pelebaran lumen uretra: uretra pars prostatika, fossa intrabulbar, dan
fossa navikularis
• Di uretra pars prostatika ada duktus ejakulatorius yang merupakan jalur
pengeluaran ejakulat terkait fungsi reproduksi dan jalur translokasi kuman, ketika
urethritis/sistitis menjadi orkhitis
• Uretra pars membranasea lebih mudah cidera pada fraktur pelvis karena berada
diantara 2 bagian yang terfiksasi: uretra pars prostatika (apex prostat) yang
terfiksasi oleh ligamentum puboprostatikum ke tulang pelvis dan uretra pars
bulbosa (bulbus penis) yang terfiksasi ke simfisis pubis -> tulang pelvis bergeser-
>cidera junctio bulbomembranasea/ uretra pars membranasea
• Uretra pars bulbosa dapat cidera karena trauma tumpul dari arah perineum
karena tergencet antara tulang pubis (simfisis pubis) dan benda tumpulnya
• Uretra pars spongiosa lebih sering mengalami cidera iatrogenik (kateterisasi) dan
cidera akibat trauma tajam/penetrasi.
Vaskularisasi Uretra Pria
cavernosum);
• Di glans penis, arteri dorsalis penis d/s akan saling beranastomosis, dan juga
beranastomosis dengan arteri bulbouretralis-> arteri helicinae-> vaskularisasi
glans penis
• Venanya akan mengalir ke pleksus prostatikus dan vena pudenda interna
Uretra Wanita: Potongan Sagital
Berdasarkan Etiologi
1. Trauma Tumpul
2. Trauma Penetrasi (Tajam)
3. Trauma Iatrogenik
4. Terkait Aktivitas Seksual (fraktur penis, alat stimulasi intraluminal uretra)
• Trauma tumpul misalnya kecelakaan lalu lintas, terbentur di selangkangan
• Trauma penetrasi misalnya luka iris/ tusuk, luka gigitan anjing/ kucing, dan luka
tembak
• Kebanyakan pasien trauma tumpul ringan di selangkangan, cenderung tidak
kontrol; baru kontrol biasanya setelah BAKnya terganggu akibat sudah terjadi
striktur uretra.
Danarto, H.R. Emergency Urology. FK UGM. 2017.
• Terdiri dari:
Ruptur parsial
Ruptur komplit
• Biasanya terjadi setelah straddle injury
• Paling banyak mengenai uretra pars bulbar
• Terdiri dari
Tipe I Teregang tapi intak
rektumnya)
Penyebab yang lain : komplikasi terapi tertentu penyakit prostat yakni tindakan invasif dan
radioterapi1
(6-25%)
Butterfly Haematoma
• fascia buck robek, sehingga darah dan urin mengisi ruangan longgar yang lebih
superfisial, yang sisi luarnya dibatasi oleh fascia yang satu layer dengan f.
dartos/ colles (di penis, skrotum, dan perineum), yang bahkan bisa meluas ke
dinding anterior abdomen (f. camper dan scarpa)
saat berkemih
meatal bleeding
Pemeriksaan Fisik
RT wajib dijalankan pada fraktur pelvis karena pada 5% trauma uretra posterior,
didapatkan robekan juga pada rektumnya.
(Konsil Kedokteran Indonesia: Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. 2019)
Insidensi trauma uretra pada wanita sangat jarang, dan jauh lebih sedikit daripada pria1,2
Trauma uretra pada wanita dapat terjadi akibat fraktur pelvis yang tidak stabil, persalinan
pervaginam (laserasi minor periuretra), dan cidera iatrogenic pada saat pemasangan
insersi sling sub-uretra sebagai terapi inkontinensia urine tipe stress 2,3
Sangat mungkin ditemukan juga cidera vagina yang terjadi bersamaan, sehingga dapat
terkait juga dengan risiko timbulnya inkontinensia urine dan fistel uretrovagina2
2. Patel, D.N., et al. Female urethral injuries associated with pelvic fracture: a systematic
review of the literature. BJU Int, 2017. 120: 766
3. Gomes, C.M., et al. Update on complications of synthetic suburethral slings. Int Braz J
Urol, 2017. 43: 822.
Darah di introitus vagina, laserasi vagina, hematuria post trauma, uretrorrhagia, labia
bengkak, retensi urin post trauma, atau adanya kesulitan dalam pemasangan kateter;
terutama jika pasien dengan riwayat fraktur pelvis tidak stabil1,2 3
Uretrografi sulit adekuat untuk penegakan diagnosis trauma uretra pada wanita karena
uretranya pendek dan kadang vulvanya oedem juga4.
Pada deferred treatment, jika kondisi bladder neck (kompeten atau tidaknya) tidak jelas
pada pemeriksaan radiologis, direkomendasikan untuk melakukan sistoskopi suprapubik5.
2. Figler, B.D., et al. Multi-disciplinary update on pelvic fracture associated bladder and
urethral injuries. Injury, 2012. 43: 1242
3. Mundy, A.R., et al. Urethral trauma. Part II: Types of injury and their management. BJU
Int, 2011. 108: 630
4. Black, P.C., et al. Urethral and bladder neck injury associated with pelvic fracture in 25
female patients. J Urol, 2006. 175: 2140.
Manajemen
Konsil Kedokteran Indonesia: Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. 2019)
Menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini dengan penekanan pada clinical
reasoning dan problem solving serta berkesempatan untuk melihat dan mengamati
keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien.
Prioritas utama tetap tatalaksana cepat cidera yang paling mengacam jiwa1.
Dalam 1 jam pasca trauma, tidak ada urgensinya untuk tatalaksana trauma uretra2,3
Jika ada indikasi, pilihan utama dan pertama diversi adalah pemasangan kateter trans-
uretra oleh ahli yang berpengalaman (single attempt oleh ahli urologi)1,2
Diversi urin suprapubik harus dilakukan dengan panduan USG atau under direct vision.
Misalnya dilakukan bersamaan dengan laparotomi eksplorasi2
Alasannya untuk menghindari risiko cidera iatrogenic akibat perubahan posisi VU pada
hematom pelvis (misalnya pada fraktur pelvis yang tidak stabil) dan VU yang tidak terisi
penuh (akibat syok hipovolemik atau cidera ikutan pada VU)1,2
3. Mundy, A.R., et al. Urethral trauma. Part I: introduction, history, anatomy, pathology,
assessment and emergency management. BJU Int, 2011. 108: 310.
Pasang kateter pada trauma uretra berisiko mengubah ruptur parsial menjadi ruptur
komplit
Pada trauma uretra dengan retensi urin, dilakukan pungsi suprapubik/ sistostomi oleh
yang kompeten mengerjakan; jika tidak bisa/ tidak ada, harus dirujuk segera.
sjrhem.ca (2020)
• Merupakan prosedur steril, dimana pasien dalam posisi supine-> a & antisepsis area
suprapubik- > drapping pasien dengan duk steril -> anestesi lokal lokasi pungsi ->
pungsi dengan panduan USG, arah tegak lurus terhadap permukaan kulit-> aspirasi:
urin (+) -> lanjutkan pungsi + aspirasi s/d retensi teratasi/ pasang set kateter
suprapubik-lalu difiksasi.
• Catat kualitas dan kuantitas urin inisial
Fiksasi Kateter
-> iskemik lokal -> nekrosis lokal -> striktur, abses, fistel
Mari W et al. Urinary catheter securement and fixation in residential care homes. NRC. 2016
wire)
• Pada diversi (saja), rekanalisasi uretra yang memuaskan dapat dicapai hingga 68%
(ruptur parsial) dan 14% (ruptur komplit)4
• Sebuah review terhadap 49 penelitian di Cina (1015 pasien); melaporkan tingkat
keberhasilan endoscopic realignment pada trauma tumpul uretra anterior
mencapai 57%3
• Namun tidak disebutkan spesifik jenis traumanya apakah komplit atau parsial.
• Diversi urin tidak perlu dikerjakan pada kontusio uretra dan cidera iatrogenik
minor3
Tatalaksana Trauma Uretra Anterior
• Jika ada indikasi, uretroplasti sebaiknya paling cepat dilakukan 2 hari s/d 6 minggu
setelah cidera (early urethroplasty)
• Immediate urethroplasty (dalam 48 jam setelah trauma) berisiko visualisasinya jelek
dan tidak bisa secara akurat menilai derajat disrupsi uretra karena masih ada
ekimosis dan pembengkakan.
• Risiko yang lain adalah risiko terbukanya kembali hematom pelvis yang bisa
menimbulkan perdarahan s/d 3 liter.
• Pada uretroplasti < 48 jam dilaporkan tingginya angka komplikasi: impotensi
(23%), inkontinensia (14%), dan striktur uretra (54%)
Algoritma Tatalaksana Trauma Uretra Posterior Pada PriaTh. 2020
urethrotomy.
Infeksi
4. Fraktur Malgaigne‘s (fraktur pelvis vertikal dengan dislokasi art. sakroiliaka bilateral dan
fraktur rami pubis)
• Terapi disfungsi ereksi terkait trauma uretra: diobservasi 2 tahun; jika tidak membaik-
> pasang protese penis.
• Terapi inkontinensia urin terkait trauma uretra: tergantung derajat kerusakannya; k/p
pasang sling
(foto pembicara)
Curiculum Vitae
A. Riwayat Pendidikan
No Pendidikan Perguruan Tinggi Bidang
1 S1 UNS Kedokteran
2 Sp1 UGM Forensik
3 S2 UII Magister Mangement
4 S3 UNDIP Hukum
5 Kursus UGM, UI Ethic
B. Riwayat Pekerjaan
No Jabatan Tempat Tahun
1 Direktur/direksi RS Muhammadiyah 1988-2001
2 Kaprodi MKK Pasca UNS 2011-2014
3 Ketua KEHRS / RSDM / RSUNS 2014-sekarang
KEPK
4 Dosen Forensik, Etika Berbagai PT 1995-sekarang
/ Agama
5 KSM/Kabag forensik RSDM-FKUNS 2014-SEKARANG
C. Fokus Pekerjaan
A. latar belakang
Pasien adalah orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Apakah pasien selalu orang
sakit? Jawabannya adalah tidak. Konsep pelayanan kesehatan berubah dari yang semula
berparadigma sakit bergeser ke paradigma sehat.
Pasien yang sakit, dia akan datang ke tempat di mana dia dapat memperoleh lagi
kesehatannya. Boleh jadi dia datang ke apotek, toko obat, toko jamu. Itu semua boleh
dilakukan. Tapi mungkin juga dia akan ke dokter, rumah sakit, puskesmas atau pelayanan
kesehatan lainnya. Kemudian di tempat tempat tersebut dia akan berkonsultasi dan
seterusnya, hal mana dia akan berusaha untuk kembali mendapatkan kesehatannya.
Pasien yang sehat mungkin dia datang ke tempat tempat tersebut di atas untuk
menanyakan bagaimana kesehatannya sekarang, apakah dalam keadaan baik baik saja, atau
kah ada tanda-tanda kelainannya atau ketidaknormalan? Dan selanjutnya setelah dia tahu
ternyata dirinya masih sehat sehat saja dia kemudian mengucapkan pujian pada Tuhan yang
maka esa.
Hanya saja pada kesempatan ini kita akan bicarakan pasien yang sakit.
Sakitnya perihal organ urologi. Tentunya pada sesi ini saya akan menyampaikan hal terkait
etika dan keselamatan pasien sebagai sebuah konsep baik dalam kajian normatif maupun
filosofi sebagaimana permintaan panitia. Bukan mengenai pengobatannya, tetapi bagaimana
dokter sepatutnya berperilaku kepada pasien terkait etika kedokterannya atau upaya menjaga
keselamatan pasiennya.
Mengapa masih membicarakan etika kedokteran? Tentu saja. Etika kedokteran sebagai
pelajaran untuk diketahui dokter agar dokter memiliki kemampuan untuk berperilaku baik.
Berperilaku baik kepada siapa? Tentunya pada kesempatan ini kepada pasiennya dan pada
dirinya sendiri.
Mengapa keselamatan pasien? Adakah ada masalah dari keselamatan pasien? Tentu ada.
Keselamatan pasien perlu diketahui dokter untuk menjaga agar pasien selalu ada di dalam
area aman sehingga keselamatan pasien terjaga dan terhindar dari kemungkinan adanya
Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan etika kedokteran dan keselamatan pasien
pada kasus urologi. Hanya saja sebenarnya kajian ini tidak hanya bisa digunakan sebagai
pedoman di dalam membangun sikap etika kedokteran dan keselamatan pada pasien urologi
saja. Karena kajian etika dan keselamatan pasien ini lebih bersifat umum bisa dipakai untuk
semua pelayanan ke pada pasien.
B. rumusan masalah
Bagaimanakah dokter didalam membangun sikap ‗patient safety’ pada pasien urologi?
Tujuan.
C. konsep etik
Etika adalah filsafat moral. Etika sebagai filsafat dikaji sebagai meta etika.
Sementara yang kita kenal sebagai kode etika kedokteran itu adalah etika normatif atau
norma etika. Pada dasarnya etika mengajarkan untuk berbuat baik. Dari kajian etika akan
menghasilkan nasehat yang disebut sebagai pernyataan etika. Contoh pernyataan etika adalah
‗sebaiknya dokter bersikap hati hati saat memeriksa pasiennya, agar dokter dapat
memperoleh diagnosis yang tepat‘.
Jadi pada saat dokter tersebut melakukan pemeriksaan kepada pasiennya, maka setelah
melakukan serangkaian pemeriksaan dan segala pemeriksaan penunjangnya akan berhati-
hati di dalam menetapkan diagnosis dari pasien. Tetapi sebenarnya sikap hati-hati tersebut
tidak hanya dilakukan saat menentukan diagnosis saja. Sikap hati-hati itu selalu ada dalam
setiap langkah dari dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasiennya tersebut.
Sikap hati-hati itu didasari karena sikap etika, yang lahir dari pernyataan etika yang sudah
Konsep sebaiknya. Etika menghasilkan nasehat. Nasehat etika umumnya diawali dengan
kata sebaiknya atau sepatutnya atau seyogyanya. Konsepnya ada peristiwa pembandingan
dengan yang lain. Mengapa demikian? Karena Memang etika menuntut adanya alternatif
tindakan, hal mana dengan adanya banyak alternatif tersebut akan mampu memuat banyak
variabel yang memang mungkin memberi pengaruh untuk kesehatan dari pasien tersebut. Dan
variabel tersebut tidak hanya aspek medis. Jadi, miskipun demikian kenyataannya dokter
tidak mampu untuk mengakomodasi semua variabel tersebut mengingat dokter memang
hanya menekuni ilmu kedokteran. Dokter jelas tidak akan menekuni bidang filsafat moral
(etika). Yang merupakan konsep sosial yang relatif cair dan tidak hanya menggunakan
konsep deduksi untuk mendapatkan perilaku tepat baik. Variabel ekonomi, budaya,
keyakinan, spiritual, usia, semuanya bisa secara bersama dan saling membuat irisan satu
dengan yang lain yang akan membuat keputusan medis atau tindakan medis tertunda untuk
pelaksanaannya atau bahkan dibatalkan karena tidak adanya persetujuan dari pasien atau wali
pasien dengan dokter.
Adanya banyak variasi dari pilihan akan membuat dokter memilih mana yang akan
memberikan manfaat yang paling besar bagi pasien dan juga keluarganya. Karena tidak
menutup kemungkinan keluarga membuat pertimbangan dari sisi manfaat dari pengobatan
terhadap kemungkinan membaiknya kondisi pasien atau keluarganya itu. Kesimpulan akhir
bersama antara keinginan dokter, pasien dan keluarganya secara kumulatif akan menuju
pada salah satu alternatif tindakan yang akan diambil oleh dokter.
kemandirian pasien
Beneficence Biasa Biasa biasa saja Kepatutan atau
Prinsip etik. Prinsip etika adalah landasan bagi dokter untuk membuat keputusan etika.
Prinsip etika ada 4 hal yaitu 1 beneficence, 2 non maleficence, 3 justice, 4 autonomi.
Pemakaian prinsip etika tersebut dilakukan dengan memperhatikan keadaan yang mengiringi
kondisi pasien.
Penerapan prinsip etika di dalam kehidupan pelayanan kesehatan diberi istilah prima
facie. Artinya dokter harus mampu memilih jenis prima facie apa yang dominan yang akan
dipakai di dalam menanggapi kasus yang sedang ditangani. Pemilihan prinsip etik dapat
dikatakan sebagai tindakan etika. Tindakan etika ini didasarkan pada indikasi etik yang ada
pada situasi pasien saat itu. Setiap situasi akan membawa indikasi etika-nya sendiri sendiri.
Secara sederhana gambar matriksnya adalah sebagai tersebut di atas.
Non maleficence. Indikasi etik apa yang mendukung untuk dilakukan pemilahan prima facie
-non maleficence-. Dokter dikatakan menggunakan prinsip etika non malficence dengan
tepat, jika indikasi kondisi nya adalah pasien dalam keadaan darurat atau gawat darurat.
Pada prinsipnya untuk pemberian layanan kesehatan pada pasien yang berada dalam
keadaan darurat adalah sesegera mungkin, seperti: pasien orang miskin, pasien kaya, pasien
anak atau variabel lainnya tidak akan menjadi perhatian. Selama kondisinya darurat maka
konsep non maleficence ini adalah yang diutamakan.
Justice. Indikasi etika apa yang mendukung untuk dipakainya prinsip etika justice? Prinsip
etika justice dipakai pada kondisi pasien yang aman dan kooperatif. Arinya saat itu pasien
tidak dalam kondisi darurat. Pasien dalam keadaan sakit tapi dalam situasi yang terkontrol
dan kooperatif untuk diajak kerja sama untuk proses pengobatannya. Hanya saja ada kondisi
yang unik dari pemakaian prinsip etika justice, yaitu adanya usaha untuk membangun
keseimbangan kekuatan antara dokter dan pasien. Artinya dokter dan pasien dalam proses
penentuan jenis pelayanan dan atau pemeriksaan tidak ada peristiwa pemaksaan, atau ada
unsur paksaan, dari satu pihak ke pihak yang lain. Intinya antara dokter dan pasien terbangun
keseimbangan atau keadilan secara sosial. Selain itu dalam konsep justice ini tidak boleh ada
Contohnya penggunaan prinsip etika justice adalah dokter menolak adanya permintaan
aborsi dari pasien. Dokter menolak permintaan surat keterangan sakit pasien yang tidak sakit.
Yang harus diperhatikan dari konsep justice ini adalah bahwa yang membangun
keseimbangan adalah dokter. Dokter tidak mau untuk diajak melakukan sesuatu yang yang di
sana dokter terdorong untuk melakukan perbuatan imoral atau ada unsur tekanan sehingga
perlakuan adalah keterpaksaan. Juga harus diketahui bahwa prinsip etika ini adalah tuntunan
untuk dokter, jadi objek kajian etika ini adalah untuk bagaimana dokter dapat berperilaku
etik. Bukan untuk bagaimana pasien bisa berperilaku etis.
Otonomi. Apakah indikasi etika yang membuat dokter harus memperhatikan prinsip
etika ini? Prinsip etika ini diperlakan dalam rangka untuk memberi kehormatan pada pasien
untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti gambar di atas maka prinsip etika ini dibangun
dalam situasi kondisi pasien yang aman. Pasien kooperatif untuk melakukan
pelayanan kesehatan. Tujuan dari penggunaan prinsip etika ini adalah untuk
memberikan kebebasan pasien untuk menentukan nasibnya sendiri atau untuk menentukan
jenis tindakan atau pengobatan yang yang jenis variasinya sudah dijelaskan oleh dokter. Jadi,
untuk otonomi ini tidak boleh ada unsur imoralitas juga. Artinya pilihan yang dilakukan
pasien terhadap alternatif pilihan yang ada yang sudah diberikan oleh dokter, maka
semau pilihan itu adalah pilihan yang bermoral.
Sebagai contoh. Pasien seorang ibu rumah tangga. Dia datang bersama suaminya untuk
kontrasepsi. Setelah melakukan serangkai anamnesis-anamnesis juga pemeriksaan, maka
dokter memberi alternatif jenis jenis kontrasepsi yang bisa dipakai oleh istri tersebut. Seperti
pil KB, suntik KB, susuk, atau kondom. Pilihan itu kemudian menjadi hak pasien untuk
menentukan sendiri kontrasepsi apa yang akan dipakai. Pemilihan inilah yang disarankan
oleh dokter sebagai konsep otonomi untuk dilakukan oleh pasiennya tersebut. Jadi otonomi
dalam hal ini adalah otonomi untuk pilihan tindakan medis yang dibolehkan oleh hukum. Jika
pilihan itu melanggar hukum, maka boleh jadi dokternya yang melakukan kesalahan karena
mengizinkan dirinya sendiri untuk suatu tindakan medis pada pasien yang jelas itu melanggar
hukum tapi tetap disarankan dan pasien memilih tindakan medis yang melanggar hukum itu.
Beneficence. Prinsip etika ini adalah landasan bagi dokter untuk berbuat etik dalam
kondisi pasien yang biasa saja. Situasi yang biasa saja. Tujuan dari kondisi ini adalah terlahir
pelayanan kesehatan yang sesuai tujuan dan diperolehnya kepuasan dari semua pihak. Pada
umumnya pelayanan kesehatan yang ada antara dokter-pasien menggunakan prinsip etika
beneficence ini. Dasar dari prinsip etika ini adalah kepatutan dan kebiasaannya sebagaimana
biasanya adanya. Artinya apa yang biasanya terjadi boleh saja terjadi. Hanya saja tetap ada
di dalam koridor patut atau baik dan bukan termasuk perbuatan imoral. Contohnya adalah
pasien datang ke dokter untuk periksa. Kemudian dokter bertanya-tanya atau anamnesa.
Kemudian pasien menjawab. Setelah itu dokter memeriksa tekanan darah juga nadi pasien.
Pasien disuruh membuka mulut. Kemudian pasien dilihat tenggorokannya. Ringkas cerita
kemudian pasien diberi tahu dokter kalau radang tenggorokan ringan. Sebaiknya hindari
makanan manis dan dingin sementara badan belum sehat. Untuk itu nanti obatnya dibelikan
dan diminum sesuai advis. Periksa selesai. Kemudian pasien membayar. Dan pulang.
Peristiwa yang terjadi berupa tanya jawab dan pasien juga baik baik saja. Dan kemudian
pasien datang lagi dan mengatakan ‗sudah sembuh dokter, hanya saja ingin kontrol lagi
agar tuntas sembuhnya‘. Artinya pada kasus tersebut semua peristiwa hubungan dokter
pasien berjalan aman tanpa ada masalah,.. yang kemudian selesai. Maka bisa dikatakan
peristiwa hubungan yang terjadi dari perilaku dokter itu dilandasi atas dasar prinsip
beneficence.
Medial Ethics Untuk pasien urologi. Sekarang bagaimanakah kondisi pasien urologi
tersebut. Apakah kondisinya darurat atau aman atau biasa biasa saja?
Konsep etikanya secara sederhana dibangun atas dasar kondisi tersebut. Apakah sekedar
kondisi itu saja, sebenarnya pertimbangan etika sangat kompleks. Artinya untuk membangun
perilaku etis dari dokter juga harus mempertimbangkan semua aspek yang ada pada manusia.
Sebagai manusia maka variabel fisik, mental dan sosialnya, semua harus diperhatikan. Aspek
non medis seperti ekonomi, budaya, pekerjaan, agama juga menjadi bagian yang ikut
diperhatikan dan dipikirkan.
Ada 3 teori kebenaran yang dipakai secara ilmiah untuk memperoleh kebenaran.
Teori koherensi. Sesuatu disebut benar jika masuk akal atau logis, koheren atau rasional.
Konsepnya berdasar landasan yang sifatnya umum, untuk menilai sebuah kasus yang khusus.
Dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles. Terkenal dengan agama silogisme. Contohnya
semua manusia akan mati. Fulan adalah manusia. Maka fulan akan mati. Kebenaran disebut
kebenaran rasional.
Kebenaran pragmatis. Sesuatu disebut benar jika ada manfaatnya. Melihat sisi
praktisnya. Sesuatu dianggap benar jika memiliki manfaat yang baik dan benar bagi
kehidupan manusia.
Hanya saja etika tidak hanya melihat sebuah keputusan itu benar atau salah.
Malahan etika akan melakukan kolaborasi dari kutub baik dan benar, dan perbandingan
dengan kutub buruk dan salah. Gambaran dari kutub-kutub ini akan berputar spiral dan
dokter harus berusaha untuk mendapatkan posisi ideal sehingga akan menghasilkan
sebuah kesimpulan yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan etika yang berupa nasehat.
Pasien yang masuk ke rumah sakit atau pasien yang mendapat pelayanan kesehatan
diharapkan hanya akan mendapatkan pelayanan yang baik. Munculnya kondisi yang
mengarah kepada keadaaan yang dapat menimbulkan kejadian tidak diinginkan selama ada di
rumah sakit sangat tidak diharapkan, miskipun hal itu tidak mungkin dapat dihindari karena
merupakan satu kesatuan dari risiko pelayanan kesehatan. Hanya saja usaha untuk menjamin
keselamatan pasien harus dilakukan terus karena pasien harus dicegah mengalami
kejadian yang tidak diinginkan yang dilator-belakangi oleh karena adanya kesalahan atau
karena rendahnya kompetensi dari pelayanan yang diberikan oleh institusi pelayanan
kesehatan tersebut. Mengingat mulai awal sampai akhir pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada pasien hampir didalam tiap sesinya mengandung potensi untuk terjadi risiko dari
pelayanan kesehatan tersebut.
Ada 2 kategori sederhana terkait keselamatan pasien ini. Yaitu nearmiss -kejadian hampir
celaka- (nm) dan adverse event -kejadian tidak diinginkan- (ae). Keduanya bisa terjadi
karena adanya commision -kesalahan tindakan yang dikerjakan- (c) atau ommision -tidak
melakukan yang seharusnya dikerjakan- (o).
Pada dasarnya keselamatan pasien adalah sistem untuk menghasilkan suatu asuhan
pelayanan kepada pasien, agar pasien tidak mengalami kecelakaan akibat adanya kejadian
tidak diinginkan. Jadi tujuan adanya usaha keselamatan pasien adalah untuk menurunkan atau
mencegah adanya kejadian tidak diinginkan ataupun adanya kejadian hampir celaka. Secara
umum sebenarnya dokter sudah dididik untuk selalu menjaga keselamatan pasien. Hanya
saja adanya perkembangan iptek bidang kesehatan membuat variasi penyehatan pasien
menjadi berkembang dan banyak variabelnya. Untuk itu maka usaha keselamatan pasien
perlu dibuat lebih sistematik agar risiko yang juga berkembang tersebut lebih mudah diatasi
Landasan hukum untuk melaksanakan program keselamatan pasien ini ada beberapa yaitu;
A) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 43 ayat (1)
mewajibkan Rumah Sakit menerapkan standar keselamatan pasien. B) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Pada kesempatan ini saya akan sampaikan kejadian tidak diinginkan yang bisa merupakan
kejadian tidak diinginkan, tapi juga bisa merupakan risiko dari tindakan medik. Secara umum
bahwa kejadian tidak diinginkan ada dua yaitu; 1 kejadian tidak diinginkan tidak salah (ktdts)
yang ini merupakan risiko dari pelayanan kesehatan yang bukan kesalahan; 2 kejadian tidak
diinginkan yang salah (ktds). Ktds yang merupakan kesalahan ini, merupakan awal dari
adanya malpraktik, yang pada kesempatan ini tidak disampaikan oleh penulis.
Kejadian tidak diinginkan tidak salah (ktdts), ada 3 kategori, yaitu; 1 risiko tak laik bayang
(rtlb), 2 risiko terikut tindakan (rtt), dan 3 komplikasi (kom). Pada prinsipnya 3 hal ini
merupakan risiko medis yang kejadiannya tidak bisa dipersalahkan kepada tenaga dokternya
karena merupakan kejadian tidak diinginkan yang bukan kesalahan dokter. Hanya saja
sebelumnya pasien sudah harus diberi tahu dulu akan kemungkinan adanya kejadian-kejadian
tersebut. Karena sering- sering masalah yang muncul karena adanya latar komunikasi yang
buruk. Maka untuk mengantisipasi masalah komunikasi ini ada baiknya semua informasi
terekam dalam rekam medik bahwa sudah disampaikan adanya risiko yang mungkin akan
muncul tersebut.
Risiko tak laik bayang -rtlb-. Risiko ini merupakan risiko dari adanya tindakan medik
yang tidak salah. Jadi ktd-nya merupakan ktdts yang disebut dengan rtlb. Contoh kasusnya
adalah alergi obat. Pasien yang sudah dianamnesa oleh dokter dengan lengkap, ditemukan
tidak ada riwayat alergi obat sama sekali. Kemudian dokter memberikan resep dan dibelikan
di apotek, kemudian obat diminum sesuai aturan dokter. Kemudian pasien alergi, dengan
munculnya bintul-bintul dengan rasa gatal dan kemerahan yang terdapat diseluruh tubuh.
Pasien kemudian telepon ke dokter, dan mengatakan apakah obatnya salah, karena pasien
menjadi alergi. Dokter bilang kalau obatnya sesuai dengan keterangan pasien bahwa tidak ada
Risiko terikut tindakan, -rtt-. Risiko ini lahir bersamaan dengan adanya tindakan medis
yang dilakukan dokter. Risiko ini seperti adanya rasa sakit saat pasien disuntik. Jarum yang
menusuk kulit akan menimbulkan rasa nyeri yang itu merupakan risiko dari tindakan
menyuntik yang sebelumnya sudah disetujui oleh pasien itu sendiri. Risiko-risiko medis
seperti ini sangat banyak sesuai dengan tindakan medis dokter. Dan hal ini merupakan ktdts
yang disebut rtt. Untuk itu dokter yang seyogyanya menerangkan hal adanya ktd ini
sebelumnya kepada pasiennya dengan jelas.
Untuk keselamatan pasien, maka ktd yang terjadi y a n g merupakan ktd yang salah-
ktds-. Ktds merupakan indikasi untuk munculnya malpraktik. Dan bagian inilah yang harus
dicegah kejadiannya dan merupakan usaha dari sistem keselamatan pasien.
Keselamatan pasien untuk pasien urologi. Penyakit urologi banyak jenisnya. Tentu upaya
untuk menjaga keselamatan pasien urologi di rumah sakit, harus dilakukan sesuai dengan
aturan yang berlaku. Terutama mengikuti SOP yang sudah ditetapkan oleh RS terkait
pedoman pelayanan klinik dan juga keselamatan pasien pada umumnya.
Kejadian hampir celaka -khc-. Kejadian ini termasuk dalam ktd. Hanya saja pada kasus khc
perihal ktd yang dialami pasien bisa dicegah terjadi, atau bisa ditangani sehingga tidak
sampai terjadi ktd yang sesungguhnya.
Pada pasien urologi akan kita evaluasi apakah kondisi umumnya baik atau buruk. Juga
keadaaan gawat atau darurat atau gawat darurat. Pada saat pasien itu datang untuk melakukan
pemeriksaan maka akan kita ketahui kondisi umum dari pasien itu.
Keadaan umum atau kondisi pasien berbeda-beda dari satu pasien dengan pasien lainnya,
maka dokter akan memberikan reaksi yang berbeda dalam pertimbangan etikanya.
Sepertinya hal kondisi dari pasien yang datang ke dokter maka dokter juga memberi reaksi
yang berbeda dari pertimbangan medisnya. Perhatian dokter yang baik terhadap pasiennya
akan membantu dokter itu mampu untuk dengan tepat memberikan pelayanan kesehatan.
Situasi yang bisa mempengaruhi keadaan pasien secara umum adalah kondisi jasmani dan
kondisi rohani (fisik dan jiwa). Kondisi jasmani manusia adalah terkait dengan keadaan
fungsi indera (penglihatan, pendengaran, penghidupan, pengecapan dan perabaan). Juga
termasuk kondisi fisik adalah kemampuan gerak dari otot seperti bergerak, berjalan,
melambai, memegang. Juga hal lain lain yang terkait aktivitas fisik lainnya.
Banyaknya variabel yang mempengaruhi kondisi pasien, dan rentang dari variabel yang juga
banyak, menyebabkan kondisi pasien biasanya bersifat kasuistik. Miskipun ada hal- hal yang
bisa disebut mirip, sejatinya kondisi pasien adalah unik untuk tiap pasien. Besarnya variasi
ini menyebabkan konsep pelayanan kesehatan itu hanya bisa mengambil konsep pelayanan
kesehatan yang bersifat pragmatis. Selama tindakan kedokteran itu banyak memberi manfaat
pada satu hal yang sesuai harapan, maka penilaian terhadap tindakan kedokteran itu bisa
dianggap benar. Terlebih jika ternyata didukung oleh adanya banyak kasus, testimoni, dan
yang terakhir adanya dukungan data statistik yang mendorong kepercayaan terhadap objek
penelitian yang dilakukan, membuat kebenaran tampak semakin nyata.
F. Simpulan
Aspek etika. Untuk perilaku dokter agar tepat baik menurut tuntunan etika, maka dokter
harus memahami prinsip etika yang ada empat tersebut dan menempatkannya pada situasi
dan kondisi yang sesuai.
Aspek keselamatan pasien. Keselamatan pasien harus menjadi landasan norma positif dokter.
Dokter wajib berusaha untuk mencegah terjadinya ktd yang salah, maupun kejadian hampir
celaka.
Dokter di dalam melaksanakan profesinya terikat dengan tuntunan ilmu kedokteran, etika dan
hukum kedokteran. Semoga sedikit dari materi ini dapat menambah pencerahan. Mohon maaf
jika ada kekurangan. Solo Feb 2021.