ASMA BRONKIAL
TUGAS INDIVIDU
OLEH:
HERMUNAS NOOR
NIM: 20.300.0091
OLEH:
HERMUNAS NOOR
NIM: 20.300.0091
LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA BRONKIAL
6. Penatalaksanaan
Menurut Huda dan Kusuma (2016), ada program penatalaksanaan asma meliputi
7 komponen, yaitu:
a. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti. Edukasi tidak hanya
ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain yang membutuhkan
energi pemegang keputusan, pembuat perencanaan bidang kesehatan/asma, profesi
kesehatan.
b. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal tersebut disebabkan
berbagai faktor antara lain:
Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan terapi
Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada asmanya
Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview, sehingga
membantu penanganan asma terutama asma mandiri.
c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang Penatalaksanaan asma
bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Terdapat 3
faktor yang perlu dipertimbangkan :
1) Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
2) Tahapan pengobatan
Asma Intermiten, medikasi pengontrol harian tidak perlu sedangakan
alternatif lainnya tidak ada.
Asma Presisten Ringan, medikasi pengontrol harian diberikan
Glukokortikosteroid ihalasi (200-400 ug Bd/hati atau ekivalennya), untuk
alternati diberikan Teofilin lepas lambat, kromolin dan leukotriene modifiers.
Asma Persisten Sedang, medikasi pengontrol harian diberikan Kombinasi
inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau ekivalennya), untuk
alternatifnya diberikan glukokortikosteroid ihalasi (400-800 ug Bd atau
ekivalennya) ditambah Teofilin dan di tambah agonis beta 2 kerja lama oral,
atau Teofilin lepas lambat.
Asma Persisten Berat, medikasi pengontrol harian diberikan ihalasi
glukokortikosteroid (> 800 ug Bd atau ekivalennya) dan agonis beta 2 kerja
lama, ditambah 1 antara lain : Teofilin lepas lambat, Leukotriene, Modifiers,
Glukokortikosteroid oral. Untuk alternatif lainnya Prednisolo/
metilprednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis bate 2 kerja lama
oral, ditambah Teofilin lepas lambat.
3) Penanganan asma mandiri (pelangi asma) Hubungan penderita dokter yang baik
adalah dasar yang kuat untuk terjadi kepatuhan dan efektif penatalaksanaan
asma. Rencanakan pengobatan asma jangka panjang sesuai kondisi penderita,
realistik/ memungkinkan bagi penderita dengan maksud mengontrol asma.
e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut Pengobatan pada serangan akut antara
lain : Nebulisasi agonis beta 2 tiap 4 jam, alternatifnya Agonis beta 2 subcutan,
Aminofilin IV, Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK, dan oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik.
f. Kontrol secara teratur
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting diperhatikan oleh
dokter yaitu:
Tindak lanjut (follow-up) teratur
Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penangan lanjut bila diperlukan
g. Pola hidup sehat
1) Meningkatkan kebugaran fisik
Olahraga menghasilkan kebugaran fisik secara umum. Walaupun terdapat salah
satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah execrise, akan tetapi tidak
berarti penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Senam asma Indonesia
(SAI) adalah salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan karena melatih dan
menguatkan otot-otot pernapasan khususnya, selain manfaat lain pada olahraga
umumnya.
2) Berhenti atau tidak pernah merokok
3) Lingkungan kerja
Kenali lingkungan kerja yang berpotensi dapat menimbulkan asma
7. Komplikasi
Komplikasi asma menurut Wijaya & Putri (2014) yaitu:
a. Pneumothorak
b. Pneumomediastium dan emfisema sub kutis
c. Atelektasis
d. Aspirasi
e. Kegagalan jantung/ gangguan irama jantung
f. Asidosis
g. Sumbatan saluran nafas yang meluas / gagal nafas
8. Pathway
Pathway Asma Bronkial adalah sebagai berikut:
Gambar 1.1 Pathway Asma Bronkial
Sumber: (Huda & Kusuma, 2016)
Patofisiologi Asma
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu atau
lebih dari konstraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi, yang menyempitkan jalan nafas,
atau pembengkakan membran yang melapisi bronkhi, atau penghisap bronkhi dengan mukus
yang kental. Selain itu, otot-otot bronkhial dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang
kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di
dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum diketahui, tetapi ada
yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sisitem otonom (Wijaya &
Putri, 2014).
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam
paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi,
menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin,
dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan
mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas,
menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membaran mukosa dan pembentukan mukus
yang sangat banyak (Wijaya & Putri, 2014).
Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf
vagal melalui sistem parasimpatis, Asma idiopatik atau nonalergik, ketika ujung saraf pada
jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan
polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara
langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi
yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap
respon parasimpatis (Wijaya & Putri, 2014).
Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam
bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi
terjadi ketika reseptor β- adregenik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β-
adregenik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor
alfa mengakibatkan penurunan cAMP, mngarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor beta adrenergik mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyababkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan βadrenergik terjadi pada
individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator
kimiawi dan konstriksi otot polos (Wijaya & Putri, 2014).
Global Initiative for Asthma. (2015). GINA Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Retrieved from https://ginasthma.org/.../2016/01/GINA_Pocket_2015.pdf
Huda, A., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis: Berdasarkan Penerapan
Diagnosa Nanda, Nic, Noc. Yokyakarta : Mediaction Jogja.
Infodatin. (2017). Asma. Pusat data dan informasi Kementrian Kesehatan RI. ISSN 2442-
7659.
Wahid, A., & Suprapto, I. (2013) Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keparawatan Pada
Gangguan SIstem Respirasi. Jakarta: Trans Info Media.
Wijaya, A. S., & Putri. (2014). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah (keperawatan dewasa).
Yogyakarta: Nuha medik.