Anda di halaman 1dari 18

SISTEM GANGGUAN INDERA KHUSUS

SKENARIO 3
ARYO SAKIT MENELAN

Aryo, 33 tahun datang ke dokter keluarganya dengan keluhan sakit menelan. sejak
1 minggu yang lalu. Selain itu Aryo juga mengalami batuk-batuk berdahak dan
diikuti oleh suara berubah. Sebenarnya Aryo sudah merasa tidak sehat sejak 4
bulan yang lalu dengan adanya pilek yang tidak sembuh dan terasa ada lendir
yang mengalir ke belakang tenggorok. Lubang hidung sebelah kanan juga terasa
tersumbat sejak 3 bulan yang lalu yang makin lama makin tersumbat.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak massa berwarna putih
mengkilat bertangkai pada sepertiga posterior tapi tidak memenuhi kavum nasi
dan sekret mukopurulen. Kavum nasi kiri sempit dan tampak sekret mukopurulen
di meatus medius. Pada septum tampak tonjolan yang tajam pada sepertiga tengah
yang kontak dengan konka media sinistra. Pada dinding posterior faring terdapat
PND (Post Nasal Drip) yang mengalir di depan muara tuba Eustachius bilateral.
Pada pemeriksaan orofaring ditemukan tonsil membesar bilateral, hiperemis,
kripti melebar dan terdapat detritus. Dinding posterior faring hiperemis dengan
permukaan yang granuler.
Dokter keluarga memberi terapi dengan antibiotika secara empiris,
dekongestan, mukolitik dan analgetik dan menganjurkan pasien untuk kontrol
segera setelah obat habis. Dokter menerangkan juga apabila tidak ada perbaikan
maka pasien akan dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan dan penatalaksanaan
selanjutnya. Bagaimana saudara menerangkan apa yang dialami A ryo, dan
bagaimana nasehat untuk keluarga Aryo supaya jangan menderita penyakit yang
sama ?

TERMINOLOGI ASING
1. Post nasal drip : sekresi dari hidung yang terakumulasi di tenggorokkan sehingga
menyebabkan batuk dan saluran napas tersumbat.
2. Sekret mukopurulen : sekret yang mengandung mukus dan purulen (nanah)
kental dan berwarna kehijauan.
3. Detritus : merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang
terkelupas.
4. Dekongestan : agen yang untuk mengurangi sumbatan atau pembengkkan
5. Cavum nasi : rongga hidung dibatasi bagian kiri dan kanan oleh septum nasi
6. Mukolitik : obat untuk mengurangi kekentalan mukus dgn cara memecah
benang2 mukoprotein dan mukopolisakarida
7. Rhinoskopi : pemeriksaan hidung dengan spekulum, baik melalui meres anterior
(rhinoskopi anterior) atau nasofaring (rhinoskopi posterior).
RUMUSAN MASALAH
1. Kenapa aryo mengalami keluhan nyeri menelann sejak 1 minggu yang lalu?
2. Kenapa aryo juga mengalami batuk2 berdahak dan diikuti oleh suara serak?
3. Bagaimana mekanisme dari post nasal drip?
4. Mengapa pilek pada aryo tak sembuh2?
5. Kenapa dokter memberi terapi dekongestan, mukolitik dan analgetik dan
menganjurkan pasien untuk kontrol segera setelah obat habis?
6. Mengapa tampak tonjolan yang tajam pada septum di sepertiga tengah yang
kontak dengan konka media sinistra?

HIPOTESIS
1. Nyeri menelan karena adanya inflamasi yang disebabkan oleh bakteri.
2. Karena mengalami iritasi pada saluran pernapasan ataupun terjadi inflamasi.
3. PND terjadi karena adanya mekanisme kompensasi untuk memperkecil luasnya
rongga hidung dan tenggorokkan yang mengakibatkan kesulitan dalam bernapas.
4. Karena pilek 3 bulan + post nasal drip, itu merupakan tanda inflamasi kronik
(rhinitis)
5. – dekongestan dapat melegakan gejala post nasal drip
- Dekongestan utk mengatasi hidung tersumbat
- Mukolitik utk mengurangi kekentalan dahak sehingga dahaknya lebih mudah
di keluarkan
- Analgetik untuk mengurangi nyeri
- Dokter menganjurkan untuk kontrol kembali agar melihat adanya perbaikan
atau tidak, jika tidak obatnya di ganti yang sesuai atau dilakukan operasi
6.

SKEMA

LEARNING OBJECTIVE
Menjelaskan definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, manifestasi klinis,
Diagnosis, DD, tatalaksana, komplikasi, prognosis, kasus yang harus ditangani dokter
umum dan dokter spesialis
1. Gangguan penghidu
2. Sinus paranasal
3. Gangguan tenggorok
1. Polip Nasi

Definisi
Polip nasi ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi
mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan.
Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang diakibatkan proses
inflamasi biasanya bilateral.

Epidemiologi
Polip nasi biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun. Laki-
laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1. Prevalensi polip
nasi dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi pada
anak-anak jauh lebih rendah. Prevalensi polip nasi di Swedia sekitar 2,7%
dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip nasi
sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3%.
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip nasi. Sekitar
14% penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip nasi. Etnis
dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi
Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia dominan
neutrofilik.

Patogenesis
Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung
karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip
hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan
gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan 19% dari polip hidung
mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa
hidung.
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor
predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak
menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang
dapat mencetuskan alergi. Polip hidung biasanya mengandung sangat
sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan
meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung.
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat
konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung
yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung.
Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat
mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu
terbentuknya polip hidung.
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan
polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya
epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides
fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis)
atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic fibrosis.

Klasifikasi Histopatologi Polip Nasi


a. Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp)
Gambaran histopatologi berupa edematous stroma, hyperplasia
goblet cells di epitel respiratori, didapatinya sejumlah besar eosinofil
dan sel mast di stroma polip dan penipisan bahkan adanya hialinisasi
minimal pada membran basalis yang terlihat jelas membatasi stroma
yang edema dengan epitel. Pada stroma terlihat sejumlah fibroblast
yang jarang dimana terdapat juga sejumlah sel inflamasi. Stroma yang
edema sebagian terisi cairan yang membentuk rongga seperti
pseudokista. Infiltrasi sel inflamasi dapat sangat tegas. Polip
edematous biasanya bilateral.
b. Chronic Inflammatory Polyp
Tidak adanya edema stroma dan hiperplasia sel goblet adalah tanda
khas tipe histopatologi polip ini. Dijumpai sel goblet tetapi epitel
devoid hiperplasia sel goblet. Sering terlihat adanya epitel squamous
dan metaplasia epitel cuboidal. Terdapat penipisan membran basal
walaupun tidak sejelas penipisan membran basal pada tipe eosinofilik.
Sering terlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dengan dominasi limfosit
yang sering bercampur dengan eosinofil. Stroma mengandung
sejumlah fibroblast dan tidak jarang terdapat fibrosis. Pada tipe ini
sering kali terlihat adanya hiperplasia minimal kelenjar seromusin dan
dilatasi pembuluh darah sering terlihat.
c. Polyp with Hyperplasoa of Seromucinous Glands
Tipe polip ini ditandai dengan didapatinya banyak kelenjar
seromusin dan stroma yang edema. Tipe ini mempunyai banyak
kesamaan dengan tipe edematous. Terdapat kelenjar yang sangat
banyak dengan kelenjarnya merupakan gambaran histopatologi yang
khas tipe ini. Hiperplasia kelenjar menyebabkan gambaran
histopatologi tipe ini mirip neoplasma glandular jinak dan sering
disebut pada banyak literature sebagai tubulocytic adenoma. Polip
disusun oleh banyak kelenjar dengan sel silindris dengan inti sel ganjil
terletak didepan bagian basal sel. Kelenjar biasanya berhubungan
dengan overlying epitel dan menunjukkan ketiadaan atypia. Perbedaan
dengan tumor kelenjar, pada tipe ini kelenjar terletak terpisah satu
sama lain, berbeda dengan tumor dimana kelenjar sering kali saling
bersentuhan bahkan lengket pada bagian leher satu sama lain. Tipe
polip ini sangat jarang, hanya sekitar 5% dari seluruh polip.
d. Polyp with Stroma Atypia
Tipe ini adalah tipe yang paling jarang. Dapat dengan mudah
dianggap sebagai suatu neoplasma jika ahli patologi anatomi tidak
familiar dengan gambaran histopatologi ini. Secara makroskopis sama
dengan polip hidung yang lain tetapi gambaran histopatologi ditandai
dengan stroma yang atypik.

Diagnosa
 Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung
tersumbat. Rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post
nasal drips, gangguan penghidu, suara sengau serta rasa nyeri
pada hidung disertai sakit kepala.
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat massa yang
berwarna pucat dan mudah digerakkan. Adanya fasilitas naso-
endoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus polip stadium
dini.
 Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan
diagnosa polip hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat
tipe histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous,
Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory
Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp
(Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with Stromal Atypia.
 Pemeriksaan Radiologi
CT scan diindikasikan pada kasus polip yang gagal terapi
medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana tindakan
bedah terutama bedah sinus endoskopi fungsional.

Stadium Polip

Penatalaksanaan Polip Nasi


Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi atau
kombinasi. Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut
Mackay and Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi
medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau
operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi.

Tujuan Penatalaksanaan Polip Hidung.


1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar
mungkin.
2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
3. Meredakan gejala.
4. Penciuman kembali normal.
5. Mencegah kekambuhan polip hidung.
6. Mencegah komplikasi

Syarat Terapi Polip Hidung yang Ideal.


1. Kepatuhan pasien (dipengaruhi rasa nyeri atau ketidaknyamanan,
biaya pengobatan, lamanya pengobatan dan lamanya efek
pengobatan.
2. Tidak ada efek samping yang berbahaya.
3. Tidak ada perubahan struktur normal dan fungsi hidung.

2. Tumor Nasi

Definisi
Tumor ganas atau kanker sinonasal menjadi penyebab kesakitan dan
kematian di bidang otorinolaringologi seluruh dunia. Kanker sinonasal
adalah penyakit kedua yang sering terjadi setelah kanker nasofaring.
Tumor ganas tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh
karsinoma tanpa differensiasi. Sinus maksila adalah yang paling sering
terkena (65%-80%).
Epidemiologi
Karsinoma rongga hidung dan sinus paranasal mencapai 0,2- 0,8% dari
semua neoplasma ganas dan 3% dari mereka yang terjadi di kepala dan
leher. Enam puluh persen dari tumor sinonasal berasal dari sinus maksila,
20-30% dalam rongga hidung, 10-15% dalam sinus etmoid, dan 1% di
sinus sfenoid dan frontal. Ketika mempertimbangkan sinus paranasal saja,
77% dari tumor ganas muncul dalam sinus maksila, 22% di sinus etmoid
dan 1% di sinus sfenoid dan frontal. Neoplasma ganas daerah ini dapat
menyebabkan morbiditas yang signifikan dan cacat. Insiden kanker sinus
sinonasal rendah di sebagian besar populasi (<15 / 100.000 pada pria dan
<1,0 / 100.000 pada wanita). Tingkat yang lebih tinggi dicatat di Jepang
dan bagian- bagian tertentu dari China dan India. Karsinoma sel skuamosa
adalah yang paling umum. Tren waktu telah menunjukkan di sebagian
besar populasi kejadian yang stabil atau penurunan kecil dalam beberapa
dekade terakhir.

Etiologi
Riwayat sinusitis kronis, polip hidung, penggunaan sediaan obat
hidung, merokok, riwayat pekerjaan kayu, kulit dan pemurnian nikel
dilaporkan sebagai faktor- faktor untuk perkembangan tumor tersebut.
Sebuah hubungan yang kuat antara kanker sinonasal dengan paparan debu
kayu, debu kulit, dan senyawa nikel telah ada hubungannya sejak lama dan
baru-baru ini dikonfirmasi. Faktor penyebab atau diduga yang lain juga
baru dikonfirmasi termasuk hexavalent chromium 2, asap las, arsenik,
minyak mineral, pelarut organik, dan debu tekstil oleh International
Journal of Otalaryngology Compounds. Efeknya hadir setelah 40 tahun
atau lebih sejak paparan pertama dan berlanjut setelah penghentian dari
paparan tersebut.
Karsinogenik lainnya yang diduga menjdi penyebab kanker sinonasal
adalah formaldehida, diisopropil sulfat dan sulfida dichloroethyl.
Hubungan yang relatif lemah (resiko relatif dalam kisaran 2-5), tetapi
asosiasi konsisten telah ditunjukkan antara merokok tembakau dan kanker
sinonasal, pada karsinoma sel skuamosa tertentu. Terpapar thorotrast,
salah satu agen kontras radioaktif, merupakan faktor risiko tambahan.

Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya.
Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah
tumor membesar, mendorong atau hingga menembus dinding tulang dan
meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita.
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikatagorikan sebagai
berikut.
1. Gejala Nasal, gejala nasal berupa obstuksi hidung unilateral dan
rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis.
Tumor yang membesar dapat mendorong tulang hidung hingga terjadi
deformitas hidung. Pada tumor ganas khas pada sekret yang berbau
karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala Orbital, meluasnya tumor ke arah orbita akan menimbulkan
gejala seperti; diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata,
oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala Oral, perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan
penonjolan atau ulkus di palatum atau prosessus alveolaris. Pasien
sering datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh
meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala Fasial, perluasan tumor ke depan akan menyebabkan
penonjolan di pipi. Disertai nyeri, anastesia atau parestesia muka jika
mengenai nervus trigeminus.
5. Gejala Intrakranial, perluasan tumor ke intrakranial, akan
menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus.
Dapat disertai dengan likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui
hidung. Jika perluasan hingga ke fossa kranii media maka saraf- saraf
kranial lainnya juga terkena. Jika tumor meluas ke belakang, akan
terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pteroigoideus disertai
anestesia dan parestesi daerah yang diper-syarafi nervus maksilaris dan
mandibularis.

Biasanya pasien akan datang dengan kondisi tumor sudah dalam fase
lanjut. Hal lain yang juga menyebabkan diagnosis terlambat adalah karena
gejala dininya mirip dengan rinitis atau sinusitis kronis sehingga sering
diabaikan pasien maupun dokter.

Diagnosis
 Anamnesis
Anamnesis adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Hal yang perlu ditanyakan adalah hiperestesia atau anestesia di
daerah pipi, adanya massa atau radang di daerah muka, mati rasa
(kebas) atau keluhan gigi goyang, adakah gigi palsu yang tidak
terfiksasi dengan baik lagi, penglihatan ganda, kesulitan
membuka mulut, keluhan hidung tersumbat, sekret atau
mengeluarkan darah, keluhan nyeri kepala, perubahan
keperibadian, gangguan penciuman atau keluarnya air mata
terus menerus.
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan
penekanan pada regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf
kranial, juga harus dilakukan endoskopi nasal. Meskipun bukan
patognomonik, mati rasa (kebas) atau hypesthesia syaraf
infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) secara kuat merupakan
sangkaan invasi keganasan. Temuan-temuan lain seperti
proptosis, kemosis, kelemahan otot ekstraokular, dan adanya
massa di pipi, gingival atau sulkus gingivobuccal juga sangkaan
adanya tumor sinonasal.
Pada waktu memeriksa, perhatikan wajah pasien apakah ada
asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah
pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas berarti
tumor berasal dari sinus maksila dan jika ke bawah dan lateral
berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid. Selanjutnya
periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui
rinoskopi anterior dan posterior. Deskripsi massa sebaik
mungkin, apakah permukaanya licin, merupakan pertanda tumor
jinak atau permukaan berbenjol, rapuh dan mudah berdarah,
merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum
nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
Untuk memeriksa rongga oral, disamping inspeksi lakukanlah
palpasi dengan memakai sarung tangan, palpasi gusi rahang atas
dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi
goyah.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi modern memainkan peranan penting
dalam evaluasi tumor sinonasal.
Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat
daripada foto polos untuk menilai struktur tulang sinus
paranasal. Pasien dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri
persisten berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis,
penyakit sinonasal dan dengan simtom persisten setelah
pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan dengan
pemeriksaan CT-scan axial dan coronal dengan kontras atau
magnetic resonance imaging ( MRI ). CT-scan merupakan
pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktur
sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Untuk menilai tumor,
vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotid maka
penambahan kontras perlu dilakukan.
MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan
jaringan lunak, membedakan sekresi di dalam nasal yang
tersumbat dari space occupying lesion, menunjukkan
penyebaran perineural, membuktikan keunggulan gambaran
pada potongan sagital, dan tidak melibatkan paparan terhadap
radiasi ionisasi. Gambaran potongan coronal menggunakan MRI
terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal,
foramen ovale dan optic canal. Potongan sagital berguna untuk
menunjukan replacement signal berintensitas rendah yang
normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak
di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip
dengan otak.
Positron emission tomography (PET) sering dignakan untuk
keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance.
Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan anatomic detail
membantu perencnaan pembedahan dengan cara melihat luasnya
tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai
keganasan kepala dan leher tetapi sangat sedikit kegunaannya
untuk menilai keganasan pada nasal dan sinus paranasal.
 Pemeriksaan Patologi
Diagnosis dari tumor ganas sinonasal ini dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di
rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus
segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan
melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc
yang inisiasinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Jika dicurigai
tumor vaskuler, misalnya hemangioma atau angiofibroma,
jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan
pendarahan yang terjadi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan angiografi.
Klasifikasi TNM dan Sistem Staging
Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas
yang digunakan di Indonesia, klasifikasi UICC (Union for International
Cancer) dan AJCC (American Joint Committee on Cancer) yang hanya
berlaku untuk karsinomadi sinus maksila, etmoid dan rongga hidung
sedangkan untuk sinus sfenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi
ini karena sangat jarang ditemukan.
Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang
terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
2006 yaitu:

Tumor Primer (T)


Sinus maksilaris
TX Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang
T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan
atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan
fossa pterigoid
T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan
subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidalis
T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid,
fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus
trigeminal V2, nasofaring atau klivus.
Metastasis ke kelenjar limfa leher regional dikatagorikan dengan :
N0 Tidak ditemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional
N1 Metastasis ke kelenjar limfa leher dengan ukuran diameter terbesar
kurang atau sama dengan 3 sentimeter
N2 Diameter terbesar lebih dari 3 sentimeter dan kurang dari 6 sentimeter
N3 Diameter terbesar lebih dari 6 sentimeter
M0 Tidak ada metastasis
M1 Ada metastasis

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini


(stadium I dan II), stadium lanjut (stadium III dan IV). Lebih dari 90%
pasien datang dalam keadaan stadium lanjut dan sulit untuk menentukan
asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal
sudah terkena tumor.

Penatalaksanaan
 Pembedahan
 Drainage / Debriment
Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya
dibuka pada pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien
yang mendapat terapi radiasi sebagai pengobatan primer.
 Resection
Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan
kuratif. Palliative excision dipertimbangkan untuk mengurangi
nyeri yang parah, untuk dekompresi cepat dari struktur-struktur
vital, atau untuk debulking lesi massif, atau untuk membebaskan
penderita dari rasa malu. Pembedahan merupakan
penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal
dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga
86%.
Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative
imaging, intraoperative image-guidance system, endoscopic
instrumentation dan material untuk hemostasis, teknik sinonasal
untuk mengangkat tumor nasal dan sinus paranasal mungkin
merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional
open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk
melihat tumor dalam rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial
frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen section harus
digunakan untuk melihat batas bebas tumor.
 Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan
luka primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan
pemulihan oronasal yang terpisah kemudian memperlancar
proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi
pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau
reconstructive flap seperti flap otot temporalis dengan atau
tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free
myocutaneous dan cutaneous flap.
 Terapi Radiasi
Respon dari tumor sinonasal tract terhadap terapi radiasi
dapat berbedabeda tergantung dari jenis tumornya. Terapi
radiasi bisa menjadi modalitas tunggal, sebagai kombinasi
dengan kemoterapi, membantu terapi setelah operasi maupun
dalam faliatif terapi. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh,
pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan
dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan.
 Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal
biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk
mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau untuk
mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin
intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara bersamaan
dengan radiasi pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal.
Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien yang
menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak
untuk dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan
kombinasi radiasi dan kemoterapi.

Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal, cara tepat
dan akurat. Faktor-faktor tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi,
asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan
sebelumnya, status batas sayatan, terapi ajuvan yang diberikan, status
imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian
pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasi
yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meingkatkanangka
bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.

DAFTAR PUSTAKA

repsitory.usu.ac.id
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/42402/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y)

sinta.unud.ac.id
(https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/142a63f102ca3d8332e86b97eecf76
fb.pdf)

Anda mungkin juga menyukai