Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) merupakan komplikasi yang


serius hampir 10%-15% pada seluruh kelahiran kembar monokorionik.1Sebagian
besar dari kehamilan akan menghasilkan satu bayi, hanya 1 dari 80 kehamilan
akan terjadi kehamilan kembar yang dapat terjadi dalam 2 cara. Cara yang paling
umum (2/3 kasus) adalah 2 sperma yang berbeda akan membuahi 2 ovum
menghasilkan kehamilan kembar dizigotik atau disebut juga fraternal twin.2
Pada 1/3 kehamilan lainnya, 1 sperma akan membuahi 1 ovum tetapi akan
membelah menjadi 2 embrio menghasilkan kembar monozigotic, sering disebut
juga kembar identik karena memiliki materi genetik yang sama. Kurang lebih 1/3
dari kembar monozigotic tampak seperti fraternal twin karena pada pemeriksaan
ultrasound prenatal didapatkan 2 membran ketuban dan plasenta yang terpisah.
Akan tetapi pada 2/3 kasus kembar identik, setiap janin memiliki membran
ketuban sendiri namun akan berbagi plasenta yang sama, jenis kembar
monozigotik ini sering disebut monochorionik diamniotik.2
TTTS merupakan keadaan dimana darah ditransfusikan secara tidak
seimbang antara satu janin (donor) dengan janin yang lain (resipien). Transfusi ini
menyebabkan penurunan volume darah janin donor.2TTTS dapat di diagnosis
sebelum kelahiran dengan menggunakan ultrasonography dan membutuhkan 2
kriteria yaitu adanya kehamilan kembar monokorion diamniotic dan adanya
oligohidramnion pada satu kantung dan polihidromnion padak antung lainnya. 3
TTTS biasa dijumpai anatara minggu ke-16 dan minggu ke-26 kehamilan, jika
tidak diberi penanganan yang adekuat umunya memiliki prognosis yang buruk
dan angka kematian mendekatiangka 80-100%.4

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Twin-twin transfusion syndrome (TTTS) adalah suatu komplikasi dari


kehamilan multipel monokorion yang berisiko tinggi menyebabkan kematian
fetal/neonatus, terutama pada janin usia belum mampu hidup dan bila janin
berhasil hidup maka janin tersebut berisiko mengalami gangguan jantung,
syaraf dan mental. Pada TTTS darah ditransfusikan secara tidak seimbang
antara satu janin (donor) dengan janin yang lain (resipien). Transfusi ini
menyebabkan penurunan volume darah janin donor. Hal ini mengakibatkan
pertumbuhan janin donor menjadi terhambat. Sedangkan janin resipien
mendapat darah yang berlebihan sehingga bisa mengakibatkan gagal
jantung.1,2

B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian TTTS berkisar antara 4% sampai 35% dari seluruh
kehamilan kembar monochorionic dan menyebabkan kematian pada lebih
dari 17% dari seluruh kehamilan kembar. Bila tidak diberikan penanganan
adekuat, > 80% janin dari kehamilan tersebut akan mati intrauterine atau mati
selama masa neonatus. Kematian dari satu janin intrauterine akan membawa
konsekuensi disseminated intravascular coagulation (DIC).3

C. KLASIFIKASI

Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) berdasarkan berat


ringannya penyakit dibagi atas:4,5

1. TTTS tipe berat, biasanya terjadi pada awal trimester ke II, umur
kehamilan 16-18 minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5
minggu kehamilan. Ukuran tali pusat juga berbeda. Konsentrasi Hb
biasanya sama pada kedua janin. Polihidroamnion terjadi pada kembar
resipien karena adanya volume overload dan peningkatan jumlah urin
janin. Oligohidroamnion terjadi pada kembar donor oleh karena

2
hipovolemia dan penurunan jumlah urin janin. Oligohidroamnion yang
berat bisa menyebabkan terjadinya fenomena stuck-twin dimana janin
terfiksir pada dinding uterus.
2. TTTS tipe sedang, terjadi pada akhir trimester ke II, umur kehamilan 24-
30 minggu. Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5
minggu kehamilan, polihidroamnion dan oligohidroamnion tidak terjadi.
Kembar donor menjadi anemia, hipovolemia dan pertumbuhan terhambat.
Sedangkan kembar resipien mengalami plethoric, hipovolemia, dan
makrosomia. Kedua janin bisa berkembang menjadi hidrops.
3. TTTS tipe ringan, terjadi secara perlahan pada trimester III.
Polihidramnion dan oligohdroamnion biasanya tidak terjadi. Konsentrasi
Hb berbeda lebih dari 5 gr%. Ukuran besar janin berbeda lebih drai 20%.5

Twin to twin transfusion syndrome juga dapat diklasifikasikan


menjadi akut dan kronik. Patofisiologi yang mendasar penyakit ini, gambaran
klinis, morbiditas dan mortalitas pada kedua tipe ini sangat berbeda. Angka
kematian perinatal yang tinggi pada twin to twin transfusion syndrome
terutama disebabkan oleh tipe yang kronik.5

a. Tipe akut
Jika terjadi transfuse darah secara akut/tiba-tiba dari satu janin ke janin
yang lain, biasanya pada trimester ke tiga atau selama persalinan dari
kehamilan monokorionik yang tidak berkomplikasi, menyebabkan
hipovolemia pada kembar donor dan hipervolemia pada kembar resipien,
dengan berat badan lahir yang sama. Transfuse dari kembar pertama ke
kembar kedua saat kelahiran kembar pertama. Namun demikian, bila tali
pusat kembar pertama terlambat dijepit, darah dari kembar yang belum
dilahirkan dapat ditransfusikan ke kembar pertama. Diagnosis biasa dibuat
pada saat postnatal.5

b. Tipe Kronik

3
Biasanya terjadi pada kehamilan dini (umur kehamilan 12-26 minggu).
Kasus tipe ini merupakan yang paling bermasalah karena bayinya masih
imatur dan tidak dapat dilahirkan, sehingga dalam pertumbuhannya di
uterus, bisa mengalami kelainan akibat dari twin-to-twin transfusion
syndrome seperti hydrops. Tanpa terapi, sebagian besar bayi tidak dapat
bertahan hidup atau bila survival, akan timbul kecacatan. Walaupun arah
transfuse darah menuju kembar resipien, tetapi thrombus dapat secara
bebas berpindah arah melalui anstomosis pembuluh darah sehingga dapat
menyebabkan infark atau kematian pada kedua janin. 5

D. PATOGENESIS
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi patofisiologi terjadinya
TTTS menurut Bajoria, Rekha (1998), yakni:6
1. Tipe dan jumlah dari anstomosis yang ada ( Machin et all, 1996), juga
dipengaruhi letak yang sangat bergantung pada ukuran zona plasenta dan
insersi tali pusat (sentral, eksentrik, marginal, velamentosa)
2. Tekanan yang abnormal pada insersi dari umbilical cord
3. Insufisiensi aliran uteroplasenta
Teori yang banyak dipahami adalah bahwa transfusi darah dari donor
kepada penerima kembar terjadi melalui anastomosis vaskular plasenta.
Dimana koneksi vaskuler antar janin kembar terdiri dari 2 tipe, yaitu: Pertama
tipe superficial dan kedua tipe profunda. Masing-masing tipe mempunyai
karakteristik aliran, pola resistensi tersendiri yang mempengaruhi
pertumbuhan janin kembar monokorionik. Koneksi tipe superficial seperti
arterioarteriosa (a↔a); venovenosa (v↔v). Gambaran ini terlihat jelas
pertemuannya di atas lempeng korion, dimana hubungan ini jarang
menimbulkan antenatal TTS. Justru hubungan ini akan melindungi supaya
tidak berkembang menjadi TTS. Koneksi arterioarteriosa lebih sering
dibanding koneksi venavenosa. Koneksi arterioarteriosa dan venavenosa
memberikan pembagian darah yang seimbang pada kedua janin dan tidak ada

4
anastomosis arteriovenosa. Koneksi tipe profunda atau sirkulasi ketiga
bersifat arteriovenosa (a-v) dimana salah satu janin bersifat sebagai donor dan
janin yang lain sebagai resipien. Anastomosis ini tidak tampak pada lempeng
korionik dikarenakan adanya perbedaan tekanan (gradien) yang terjadi pada
sirkulasi tersebut. Anastomosis ini jarang terjadi, kebanyakan jika terjadi
anastomosis arteriovenosa diikuti dengan anastomosis arterioarteriosa yang
melindungi terjadinya sirkulasi ketiga. Karena sirkulasi menghasilkan
keseimbangan dinamis dimana disamping terjadinya penurunan tekanan
donor juga terjadi peningkatan resipien.6

Gambar 1. Patofisiologi TTTS

E. DIAGNOSIS

5
Diagnosis prenatal TTTS dibuat dengan menggunakan ultrasonografi.
Dengan berbagai variasi, para ahli memberikan criteria untuk diagnosis TTTS
antenatal sebagai berikut:7,8
Table 1. Keadaan pada trimester I untuk diagnosis twin to twin transfusion
syndrome:7,8
 Kehamilan monokorionik
 Ukuran nuchal translucency > 3 mm pada umur kehamilan 10-14
minggu
 Ukuran crown-rump length yang kurang pada satu janin
 Membrane pemisah pada umur kehamilan 10-13 minggu
Criteria diagnostic trimester kedua dan awal trimester ketiga
termasuk, kehamilan monochorionik, kembar dengan jenis kelamin sama,
kombinasi polihidroamnion pada satu kantong dan oligohidroamnion pada
kantong yang lainnya, dan kecil atau tidak terlihatnya kandung kemih pada
donor sementara pada resipien memiliki kandung kemih yang besar.7,8

Table 2. Criteria diagnostic twin to twin transfusion syndrome pada trimester


kedua atau awal trimester ketiga (Kriteria diagnostic Ultrasonografi)7,8

 Kehamilan monokorionik
 Jenis kelamin yang sama
 Satu massa plasenta
 Membrane pemisah yang tipis
 Kelainan volume cairan amnion :
- Satu kantong amnion oligohidroamnion, ukuran vertical 2,0 cm
- Satu kantong amnion polihidroamnion, ukuran vertical 8,0 cm
 Kantung kencing yang persisten :
- Kantung kencing yang kecil atau tidak tampak pada kembar
oligohdroamnion
- Tampak kantung kencing yang besar pada kembar polihidroamnion
Tambahan untuk membantu diagnosis
 Perkiraan perbedaan berat janin (20% lebih berat kembar besar)

6
 Adanya stuck twin :
- Hindrops fetalis (adanya satu atau lebih gejala: edema kulit [tebal 5
mm], efusi pericardial, efusi pleura, dan ascites)
- Membrane pembungkus pada umur kehamilan 14-17 minggu
*criteria diagnosis TTTS ini diterapkan pada trimester kedua atau awal
trimester ketiga kehamilan. Ultrasonografi serial sangat dianjurkan.

Diagnosis postnatal TTTS dapat ditegakkan dengan : 8


a. Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang >500 g, atau
perbedaan >20 % pada janin pretemi (untuk TTTS yang kronis).
b. Terdapat perbedaan kadar hemoglobin dan hematokrit dari kedua
janin, janin donor dapat mencapai 8 % atau kurang, dan janin resipien
bisa mencapai 27%.
c. Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung, ginjal, hepar dan
thymus.

F. PENATALAKSANAAN

Beberapa jenis teknik terapi telah dilakukan dalam usaha memperbaiki


hasil luaran kehamilan kasus twin-to-twin transfusion syndrome. Pendekatan
ini meliputi terapi amniosentesis, septostomi, ablasi laser terhadap
anastomosis pembuluh darah, selektif feticide, dan terapi ibu dengan
memakai digoksin.6
Table 3. Pilihan Terapi6

 Pemeriksaan antenatal dengan ultrasonografi, analisa aliran darah


dengan Doppler, echokardiografi fetus dan kardiotokografi fetus atau
non stress test , pemberian tokolisis untuk mencegah partus prematurus.
 Pengurangan volume cairan amnion secara serial (amnioreduksi)
 Oklusi fetoskopik dengan penggunaan laser pada Pembuluh darah
plasenta
 Septostomi

7
 Terminasi selektif
 Histerotomi dengan mengangkat salah satu janin
 Ligasi tali pusat secara endoskopi atau percutaneus
Terapi amniosentesis dilakukan dengan mengurangi cairan amnion
yaug berlebihan pada kantung amnion kembar resipien. Terapi ini
mempunyai beberapa keuntungan yaitu: memberi ruang yang lebih pada
kembar yang lebih kecil (stuck twin), menstabilkan kembar yang besar,
mengurangi ketidaknyamanan ibu akibat jumlah cairan amnion yang banyak,
dan kehamilan dapat berlanjut lebih aman dengan berkurangnya risiko
persalinan prematur. Komplikasi terapi ini (sekitar 8%) meliputi
korioamnionitis, persalinan prematur, ketuban pecah dini, dan solusio
plasenta. Secara keseluruhan. keberhasilan terapi amniosintesis cukup baik.
Dengan sekitar 44% kehamilan kedua janin hidup. dan 66% satu janin hidup,
survival rate 30%-83%, namun kelainan neurologi masih tinggi 5%-32%.6
Septostomi (diperkenalkan oleh Dr. George Saade dkk dari Amerika)
dilakukan dengan cara membuat lubang kecil pada membran pemisah, yang
akan berfungsi sebagai tempat lewatnya cairan amnion dari satu kantung
amnion ke kantung amnion yang lain sehingga terjadi keseimbangan cairan
amnion. Komplikasi terapi ini meliputi pecahnya selaput pemisah, terjadi
pertautan tali pusat kedua janin dan kematian janin.6
Terapi laser (dipelopori Dr. Julian De Lia dkk dari Amerika Serikat)
dilakukan dengan memasang endoskopi melalui perut ibu ke kantung amnion
kembar resipien. Fetoskop dan laser dilewatkan melalui endoskop. Dengan
bantuan USG dan petunjuk pada video realtime . laser digunakan untuk
mengkoagulasi atau merusak anastomosis pembuluh darah secara selektif.6
Selektif feticide dilakukan pada kronik twin-to-twin transfusion
syndrome sebelum umur kehamilan 25 minggu. Cara yang dipergunakan
berupa ligasi tali pusat dengan bantuan USG dan injeksi larutan NaCl
kedalam kaviun pericardial sehingga terjadi tamponade jantung. Pemakaian
digoksin bertujuan mengatasi gagal jantung kembar resipien, namun sering

8
tidak berhasil oleh karena digoksin tidak dapat melewati plasenta dalam
jumlah yang cukup untuk terapi tersebut.6,7
Pilihan penanganan kasus dengan kematian satu janin adalah
persalinan preterm elektif terhadap janin yang hidup (dengan steroid untuk
mematangkan paru) dengan segala risiko prematuritas atau konservatif yang
juga berisiko kematian janin dalam uterus dan kelainan neurologis.6,7

G. PROGNOSIS

Hasil tergantung pada usia kehamilan pada saat kelahiran dan apakah
iskemia otak janin intrauterin terjadi. Semakin rendah saat lahir usia
kehamilan semakin besar risiko lama sequele neurologis atau paru-paru. 7,8

9
BAB III
LAPORAN KASUS

Tanggal Pemeriksaan : 01 Maret 2018


Jam : 20.30 WITA
Ruangan : IGD Kebidanan RSU Anutapura Palu

I. IDENTITAS
Nama : Ny. D Nama suami : Tn. AG
Umur : 34 tahun Umur : 38 Tahun
Alamat : Jl. Manggis Alamat : Jln. Manggis
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : PNS
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : S1

II ANAMNESIS
G2P1A0 Usia Kehamilan : ± 30 - 32 minggu
HPHT : 21 - 07- 2017 Menarche : 14 tahun
TP : 28- 04 -2018 Perkawinan : 10 tahun

A. Keluhan Utama :
-
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk IGD Kebidanan diantar oleh keluarganya dengan
membawa pengantar dari dokter obgyn dengan G2P1A0 Gravid gemelli
(IUFD Gemelli II) rencana SC. Nyeri perut tembus belakang (-),
perdarahan pervaginam (-), pelepasan lender (-), air (-), mual (-), muntah
(-). BAB dan BAK lancar.
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
- keguguran (1 kali)
- riwayat asma (-)

10
- diabetes melitus (-)
- penyakit jantung (-)
- hipertensi (+)
- hepatitis (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga :


- riwayat asma (-)
- diabetes melitus (-)
- penyakit jantung (-)
- hipertensi (-)
- hepatitis (-)

E. Riwayat Menstruasi :
 Menarche : 14 tahun
 Siklus : 28 hari
 Lama haid : 5-7 hari
 Banyak : 3 x ganti pembalut/hari
 Dismenorrhea : disangkal
 Fluor albus : disangkal

F. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, usia pernikahan dengan suami sekarang ± 10 tahun.

G. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran:


G2P1A0
1. Anak pertama lahir tahun 2015 , lahir normal, BBL 3200 gram
2. Hamil Sekarang

H. Riwayat ANC

11
Pasien pernah melakukan pemeriksaan di klinik dokter obgyn,
kemudian dilakukan USG dan hasilnya adalah Gemelli (Gemelli II
IUFD)
I. Riwayat Kontrasepsi (Keluarga Berencana)
(-) Pil KB
(-) Suntik KB 3 bulanan
(-) IUD
(-) Susuk KB
(-) Lain-lain

J. Riwayat Operasi : Belum pernah.

K. Kebiasaan Hidup :
Merokok (-), Alkohol (-), minum obat & jamu (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


KU : Sedang Tek. Darah : 160/100 mmHg
Kesadaran : Kompos mentis Nadi : 80x/menit
BB : 55 Kg Respirasi : 20x/menit
TB : 165 cm Suhu : 36,5ºC

Kepala-Leher :
- Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterus (-/-)
- Edema palpebra (-/-)
- Pembesaran KGB (-)
- Pembesaran kelenjar tiroid (-)
- Mata cekung (-)

Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris, retraksi (-), sikatrik (-)

12
P : Vokal fremitus kiri = kanan sama, massa tumor (-)
P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada jantung, batas paru-hepar
SIC VII linea mid-clavicula dextra, batas jantung dalam batas
normal.
A : Bunyi pernapasan vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-. Bunyi
jantung I/II murni reguler

Abdomen :
I : Tampak cembung (+)
A : Peristaltik (+) kesan normal
P : Timpani
P : Nyeri tekan (+) regio inguinal sinistra dan regio supra pubik

Status Ginekologi :
Pemeriksaan Luar
- Inspeksi : sikatrik (-), tanda radang (-), dinding perut datar, linea nigra
(-) striae gravidarum (-) perdarahan flek-flek (+)
- Palpasi :
TFU = 35 cm
Leopold I = 3 Jari di bawah processus xiphoideus
Leopold II = PU-KI
PU-KA
Leopold III = Pres-Kep
Leopold IV = Belum masuk PAP
BJF = PU-KI 126 x / menit
= PU-KA (-)
Pemeriksaan Dalam
Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas :
Edema ekstremitas bawah -/-, turgor < 2 detik.

13
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap :
 WBC : 6.8 x 103/mm3
 HGB : 10.0 gr/dL
 MCV : 79,1 fL
 MCH : 27,3 pg
 MCHC : 34,5 g/dL
 HCT : 33,3 %
 PLT : 155 x 103/mm3
 RBC : 4,2 x 106/mm3

Pemeriksaan urin:
Protein (-)

USG

14
- Gravid gemelli intrauterine , DJJ 1 (+) 127 X / MENIT, DJJ 2 (-)
- Letak kepala dan presentasi kaki
- Placenta pada corpus uteri anterior
- Cairan amnion cukup, AFI 12 cm
- Estimasi kasar usia kehamilan 30 minggu 4 hari
- Estimasi berat janin 1748 gram

Kesan : Sugestif IUFD Gemelli 2

V. RESUME
Pasien perempuan 34 tahun dengan G2P1A0 gravid gemelli 13-14
minggu masuk IGD Kebidanan diantar oleh keluarganya dengan membawa
pengantar dari dokter obgyn dengan G2P1A0 Gravid gemelli ( IUFD
Gemelli II ) rencana SC. Nyeri perut tembus belakang (-), perdarahan
pervaginam (-), pelepasan lender (-), air (-), mual (-), muntah (-). BAB dan
BAK lancar.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan TD : 160/100 mmHg,Nadi:
80x/menit, suhu 36,5oC dan respirasi 20 x/menit.
Pemeriksaan Obstetri :
TFU = 35 cm
Leopold I = 3 Jari di Bawah processus ximphoideus
Leopold II = PU-KI
PU-KA
Leopold III = Pres-Kep
Leopold IV = Belum masuk PAP
BJF = PU-KI 126 x / menit
= PU-KA (-)
Pemeriksaan laboratorium: Wbc : 6,8 x 10 3/l, Hb: 10,0 gr/dl, Plt: 155 x
103/l, Pemeriksaan USG: Sugestif IUFD Gemelli 2

15
VI. DIAGNOSIS
G2P1A0 Gravid gemelli uk 30-32 minggu + IUFD Gemelli 2
VII. PENATALAKSANAAN
 Inj. Dexamethasone 1 amp/6 jam
 Nifedipin 3 x 10 mg
 Obs BJF dan TTV
 Rencana SCTP (02 Maret 2018)

LAPORAN OPERASI

1. Pasien berbaring dengan posisi supinasi di meja operasi dibawah


pengaruh spinal anestesi
2. Desinfeksi dan draping procedure dengan kasa steril dan betadine,
pasang dook steril
3. Insisi abdomen dengan metode pfannenstiel, lapisan demi lapisan
menembus rongga perut secara tajam dan tumpul
4. Eksplorasi kavum abdomen, tampak uterus membesar
5. Insisi segmen bawah rahim, lapis demi lapis menembus plika
vesikouterina , miometrium, endometrium, secara tajam dan tumpul,
kontrol perdarahan
6. Pecahkan ketuban, ketubah berwarna jernuh, volume cukup
7. Bayi dilahirkan kembar dengan presentasi kepala, bayi pertama : BBL
1500 gram, PBL 40 cm, jenis kelamin laki-laki. Bayi kedua : dilahirkan
dalam keadaan meninggal dengan BBL 1100 gram, PBL 38 cm, jenis
kelamin laki-laki
8. Plasenta dilahirkan secara manual dan lengkap
9. Eksplorasi kavum uteri dengan kasa steril dan betadine
10. Jahit uterus lapisan demi lapisan denga benang chromic 2, kontrol
perdarahan
11. Jahit plika vesikouterina dengan benang chromic 1, kontrol perdarahan
12. Eksplorasi dan bersihkan abdomen, kontrol perdarahan

16
13. Jahit peritoneum dengan chromic 0, kontrol perdarahan
14. Jahit otot abdomen dengan benang chromic 2/0, kontrol perdarahan
15. Jahit facia dengan benang demensorb 1, kontrol perdarahan
16. Jahit adiposa dengan jarum otot dengan benang chromic 2/0 secara
interuptus, kontrol perdarahan
17. Jahit kulit dengan jarum kulit menggunakan benang chromic 2/0 secara
subkutikuler, kontrol perdarahan
18. Bersihkan luka menggunakan kasa streril dan betadine
19. Vaginal toilet
20. Operasi selesai

Gemelli I : BBL 1500 Gram

Gemelli II : BBL 1100 Gram

VIII. PENATALAKSANAAN POST OPERATIF


 IVFD RL + Oxytocin 20 IU 28 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12j/iv

17
 Inj. Ketorolac 30 mg/8j/iv
 Inj. Ranitidin 50 mg/8j/iv
 Inj. Ondancentron 4 mg/8j/iv
 Drips Metronidazole 500 mg/8 j/iv
 Inj. Asam Tranexamat 500 mg/8 j /iv

FOLLOW UP

03 Maret 2018
S : Perdarahan per vaginam (+), nyeri perut (+), mual (-), muntah (-),
pusing (-), sakit kepala (-), flatus (+) , BAB (-), BAK (+)
O : TD : 140/100 mmHg
N : 86x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,8ºC
TFU = 1 Jari di bawah umbilicus
ASI (-/-)
A : P2A0 Post SCTP H-1 a/i Gemelli (IUFD Gemelli II)
P :
 IVFD RL + Oxytocin 20 IU 28 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/8j/iv
 Inj. Ranitidin 50 mg/8j/iv
 Inj. Ondancentron 4 mg/8j/iv
 Drips Metronidazole 500 mg/8 j/iv
 Inj. Asam Tranexamat 500 mg/8 j /iv
 Nifedipin 3 x 10 mg

04 Maret 2018

18
S : Perdarahan per vaginam (+) sedikit, nyeri perut (+), mual (-), muntah
(-), pusing (-), sakit kepala (-), Flatus (+) , BAB (-), BAK (+)
O : TD : 150/90 mmHg
N : 86x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,8ºC
TFU = 1 Jari di bawah umbilicus
ASI (+/-)
A : P2A0 Post SCTP H-2 a/i Gemelli (IUFD Gemelli II)
P :
 IVFD RL + Oxytocin 20 IU 28 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12j/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/8j/iv
 Inj. Ranitidin 50 mg/8j/iv
 Inj. Ondancentron 4 mg/8j/iv
 Drips Metronidazole 500 mg/8 j/iv
 Inj. Asam Tranexamat 500 mg/8 j /iv
 Nifedipin 3 x 10 mg

05 Maret 2018
S : Perdarahan per vaginam (+) sedikit, nyeri perut (+), mual (-), muntah
(-), pusing (-), sakit kepala (-), Flatus (+) , BAB (-), BAK (+)
O : TD : 140/90 mmHg
N : 86x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,8ºC
TFU = 1 Jari di bawah umbilicus
ASI (+/-)
A : P2A0 Post SCTP H-3 a/i Gemelli (IUFD Gemelli II)
P :

19
 AFF Infus
 Cefixime 2 x 100 mg
 Metronidazole tab 3x500 mg
 Asam Mefenamat 3 x 500 mg
 Vit C 3 x 250 mg
 Nifedipin 3 x 10 mg
Pasien Boleh pulang, Rawat Jalan dan kontrol di poli kandungan.

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien masuk IGD Kebidanan diantar oleh keluarganya dengan membawa


pengantar dari dokter obgyn dengan G2P1A0 Gravid gemelli ( IUFD Gemelli II )
rencana SC. Nyeri perut tembus belakang (-), perdarahan pervaginam (-),
pelepasan lender (-), air (-), mual (-), muntah (-). BAB dan BAK lancar. Pada saat
di RS, dilakukan pemeriksaan USG dengan hasil sugestif IUFD Gemelli II.
Twin-twin transfusion syndrome (TTTS) adalah suatu komplikasi dari
kehamilan multipel monokorion yang berisiko tinggi menyebabkan kematian
fetal/neonates.
Pada TTTS darah ditransfusikan secara tidak seimbang antara satu janin
(donor) dengan janin yang lain (resipien). Transfusi ini menyebabkan penurunan
volume darah janin donor. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan janin donor
menjadi terhambat. Sedangkan janin resipien mendapat darah yang berlebihan
sehingga bias mengakibatkan gagal jantung
Diagnosis postnatal TTTS dapat ditegakkan dengan :
1. Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang > 500 g, atau perbedaan >20
% pada janin pretemi (untuk TTTS yang kronis).
2. Terdapat perbedaan kadar Hemoglobin dan Hematokrit dari kedua janin,
janin donor dapat mencapai 8 g% atau kurang, dan janin resipien bisa
mencapai 27%.
3. Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung, ginjal, hepar dan thymus.8
Pada kasus ini, didiagnosis dengan Twin to Twin Transfusion Syndrome
berdasarkan diagnosis post natal dinaba terdapat perbedaan BB kedua janin > 20
% untuk janin preterm dimana gemelli I BBL 1500 Gram dan Gemelli II 1100
gram. Pada kasus ini dilakukan tindakan SCTP elektif dengan sebelumnya
diberikan pematangan paru terlebih dahulu.

21
Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan pilihan penanganan kasus
dengan kematian satu janin adalah persalinan preterm elektif terhadap janin yang
hidup (dengan steroid untuk mematangkan paru) dengan segala risiko
prematuritas atau konservatif yang juga berisiko kematian janin dalam uterus dan
kelainan neurologis.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Mosquera, C., Miller, R.S. and Simpson, L.L., 2012, June. Twin–twin
transfusion syndrome. In Seminars in perinatology(Vol. 36, No. 3, pp. 182-
189). WB Saunders.
2. Nora, H., 2013. Twin Twin Transfusion Syndrome. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala, 13(2), pp.86-95.
3. Simpson, L.L. and Society for Maternal-Fetal Medicine (SMFM, 2013.
Twin-twin transfusion syndrome. American journal of obstetrics and
gynecology, 208(1), pp.3-18.Twin to Twin Transfusion SyndromeClaudia
Cinnante ,
4. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J. and
Spong, C.Y., 2010. William Obstetric 23 edition.
5. Sueters, M. and Oepkes, D., 2014. Diagnosis of twin-to-twin transfusion
syndrome, selective fetal growth restriction, twin anaemia-polycythaemia
sequence, and twin reversed arterial perfusion sequence. Best Practice &
Research Clinical Obstetrics & Gynaecology, 28(2), pp.215-226.
6. Rusda, M. and Roeshadi, R.H., 2005. Twin-to-Twin Transfusion
Syndrome. Twin-to-Twin Transfusion Syndrome.
7. Zach, T. and Barsoom, M.J., 2015. Twin-to-twin transfusion syndrome.
Medscape.
8. Jain, V. and Fisk, N.M., 2004. The twin–twin transfusion
syndrome. Clinical obstetrics and gynecology, 47(1), pp.181-2

23

Anda mungkin juga menyukai