Anda di halaman 1dari 37

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai
negara berkembang termasuk Indonesia. Indisen pneumonia pada anak <5
tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan di negara
berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari
5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara yang berkembang (IDAI,
2009).
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu
saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami
sakit ringan (MENKES RI, 2013).
Pneumonia pada anak paling banyak ditemukan pada anak dengan
status imunisasi yang belum lengkap. Anak yang belum mendapatkan
imunisasi lebih rentan terkena pneumonia. Imunisasi yang berhubungan
dengan kejadian penyakit pneumonia adalah imunisasi pertusis dalam DPT,
campak, Haemophilus influenza, dan pneumokokus (Monita, 2015). Pada
penelitian terdahulu (Anonim, 2009) mengemukakan bahwa dengan
imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat
dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat
dicegah (Sukmawati, 2010).
Pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit apapun,
mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta
anak-balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang.
(Buletin Jendela Epidemiologi, 2010). Pneumonia membunuh kira-kira
935.000 anak di bawah usia lima tahun pada tahun 2013, terhitung untuk 15%
dari seluruh kematian anak di bawah usia lima tahun (WHO, 2014).

1
Jumlah balita pada tahun 2014 di kota Palu adalah sebanyak 38.538
balita. Sedangkan angka kejadian pneumonia pada balita di kota Palu pada
tahun 2014 mencapai 4.050 kasus. Dimana wilayah kerja puskesmas
Sangurara sendiri merupakan salah satu wilayah dengan jumlah penderita
pneumonia terbanyak pada tahun 2014 yaitu mencapai 468 kasus dari 5.143
balita di puskesmas Sangurara. Balita yang memperoleh imunisasi DPT di
kota Palu tahun 2014 mencapai 3.596 balita dan balita yang memperoleh
imunisasi campak di mencapai 7804 balita. Sedangkan di peskesmas
Sangurara sendiri pada tahun 2014, balita yang memperoleh imunisasi DPT
mencapai 594 balita dan imunisasi campak sebesar 1052 balita (Dinkes Kota
Palu, 2015).
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian pneumonia salah satunya
ialah imunisasi, yang kemudian dapat meningkatkan angka kejadian
pneumonia. Hal inilah yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan pemberian imunisasi DPT dan campak terhadap kejadian
pneumonia pada usia 10 bulan-5 tahun di Puskesmas Sangurara kota Palu
tahun 2015.

B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan pemberian imunisasi DPT dan campak
terhadap kejadian pneumonia pada usia 10 bulan-5 tahun di Puskesmas
Sangurara kota Palu tahun 2015?

C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pemberian imunisasi DPT dan campak
terhadap kejadian pneumonia pada usia 10 bulan-5 tahun di Puskesmas
Sangurara kota Palu tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui tingkat kejadian pneumonia pada usia 10 bulan-5
tahun di Puskesmas Sangurara kota Palu tahun 2015.

2
D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
seperti :
1. Aspek Pendidikan (keilmuan)
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana guna
mengaplikasikan berbagai konsep teori yang telah dipelajari. Hal ini
berguna untuk mengembangkan pemahaman, penalaran dan ilmu
pengetahuan terkait dalam menilai hubungan antara imunusasi terhadap
kejadian Pneumonia.
2. Aspek Pengembangan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai langkah awal
untuk melakukan penelitian selanjutnya dan sebagai pembanding bagi
peneliti berikutnya dengan judul atau kasus yang sama.
3. Aspek Pelayanan Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
bahan masukkan dan evaluasi dalam menetapkan serta menentukan
kebijakan kesehatan, terutama upaya pencegahan dan penurunan angka
kejadian Pneumonia.

E. Keaslian Penelitian
Keaslian dari penelitian yang penulis lakukan ini dapat diketahui dari
beberapa penelitian yang serupa dengan yang penulis lakukan yaitu :
1. Ida Hariyanti (2010) meneliti tentang Hubungan imunisasi campak
dengan kejadian pneumonia pada balita di rumah sakit Pondok Kopi
Jakarta tahun 2010. Penelitian ini menggunakan desain case control
study. Kasus adalah balita usia 12-59 bulan yang menderita pneumonia.
kontrol adalah balita usia 12-59 bulan yang tidak menderita pneumonia.
Dalam penelitian ini sampel sebanyak 220 (kasus 110 dan control 110).
Data dianalisis dengan analisis univariat, bivariat, dan multivariate dengan
uji regresi logistic ganda. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara imunisasi campak dengan pneumonia pada balita. Anak yang tidak

3
diimunisasi campak berisiko 2,06 kali untuk menderita pneumonia
dibandingkan anak yang mendapatkan imunisasi saat bayi. Setelah
dikontrol pendidikan dan ASI exclusive. Pada pengukuran dampak
dihasilkan bahwa anak yang diimunisasi campak dapat mencegah
pneumonia sebesar 51,456%. Selanjutnya upaya untuk melindungi anak
dari penyakit pneumonia adalah dengan memberikan imunisasi campak
saat usia 9 bulan dan anak diberikan ASI exclusive.
2. Siska Tambunan (2013) meneliti tentang Faktor-faktor risiko kajadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu kota
Semarang tahun 2013. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
desain case control study. Hasil penelitian menunjukkan bahwa riwayat
status gizi balita (p value = 0,008; OR = 10, 846), riwayat pemberian ASI
(p value = 0,002; OR = 3,769), riwayat pemberian Vitamin A (p value =
0,002; OR = 8,543) dan riwayat status imunisasi (p value = 0,009; OR =
3,839) berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita, sedangkan
umur balita (p value = 0,414), jenis kelamin balita (p value = 0,533) dan
riwayat berat badan lahir balita (p value = 0,061) tidak berhubungan
dengan kejadian pneumonia pada balita.
3. Susi Hartati (2011) meneliti tentang Analisis faktor resiko yang
berhubungan dengan kajadian pneumonia pada balita di RSUD Pasar Rebo
Jakarta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross
sectional. Hasil penelitian didapatkan bahwa balita yang mendapat
imunisasi campak lebih banyak yaitu 82 balita (59,4%) sedangkan balita
yang tidak mendapatkan imunisasi campak sebanyak 56 balita (40,6%).
Balita yamg tidak mendapatkan imunisasi campak mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 32,1 kali dibanding dengan balita yang
mendapat imunisasi campak dah hasil uji statistik menunjukkan ada
hubungan antara riwayat pemberian imunisasi campak pada balita dengan
kejadian pneumonia (p value=0,002 ; -0,05) dan balita yang mendapat
imunisasi DPT lengkap sebanyak 102 (73,9%) lebih banyak yang tidak
mendapat imunisasi DPT lengkap yaitu sebanyak 36 (26,1%). Balita yang

4
tidak mendapat imunisasi DPT mempunyai peluang mengalami
pneumonia sebanyak 2,34 kali dibanding dengan balita yang mendapatkan
imunisasi DPT dah hasil uji statistik menyatakan ada hubungan yang
bermakna antara riwayat pemberian imunisasi DPT pada balita dengan
kejadian pneumonia (p value=0,049 ; =0,05).

5
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Pneumonia
a. Definisi Pneumonia

Pneumonia merupakan infeksi akut parenkim paru yang meliputi


alveolus dan jaringan interstitial (IDAI, 2009). Pneumonia adalah
peradangan yang mengenai parenkim paru, yang disebabkan oleh
mikroorganisme, aspirasi dari cairan lambung, benda asing, hidrokarbon,
bahan-bahan lipoid dan reaksi hipersensitivitas (Monita, et al, 2015).

b. Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia membunuh kira-kira 935.000 anak di bawah usia lima
tahun pada tahun 2013, terhitung untuk 15% dari seluruh kematian anak di
bawah usia lima tahun (WHO, 2014). 70 % kasus pneumonia terjadi di sub
- Sahara Afrika dan Asia Tenggara (WHO, 2008). Menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, di Indonesia terjadi
kecenderungan yang meningkat untuk periode prevalence pneumonia
semua umur dari 2,1 persen pada tahun 2007 menjadi 2,7 persen pada
tahun 2013. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur,
Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan
(Riskesdas, 2010).

c. Etiologi Pneumonia
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan sangat penting
pada perbedaan dan kekhasan pneumonia pada anak, terutama pada
spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Spektrum

6
mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan
anak yang lebih besar. Etiologi pneumonian pada neonatus dan bayi kecil
meliputi Streptococcus group B dan bakteri Gram negatif seperti E. colli,
Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak
balita, pneomonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selai bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae (Rahajoe, et al,
2013).
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan karena
infeksi virus, disamping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Pada
penelitian ditemukan etiologi virus sebanyak 32%, campuran bakteri dan
virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus terbanyak ditemukan adalah
Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan virus Parainfluenza.
Bakteri terbanyak ditemukan ialah Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumonia. Kelompok
anak berusia 2 tahun ke atas memiliki penyebab infeksi bakteri yang lebih
banyak daripada anak berusia di bawah 2 tahun (Rahajoe, et al, 2013).

7
d. Klasifikasi Pneumonia

Tabel 2.1. Klasifikasi Klinis Pneumonia pada balita menurut


kelompok umur.

Kelompok Kriteria Pneumonia Gejala Klinis


umur

2 bulan-<5 Batuk Bukan 1. Tidak ada tarikan dinding


tahun Pneumonia dada bagian bawah ke
dalam
2. Tidak ada napas cepat :
- Kurang dari 50 x/menit
pada anak umur 2 - <12
bulan
- Kurang dari 40 x/menit
pada anak umur 12 bln -
<5thn

Pneumonia 1. Tidak ada tarikan dinding


dada bagian bawah ke
dalam (TDDK).
2. Adanya napas cepat:
- 50 x/menit atau lebih
pada anak umur 2 - <12
bulan
- 40 x/menit atau lebih
pada umur 12 bulan - <5
tahun
Pneumonia Berat Tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam (TDDK)
<2 bulan Batuk Bukan Tidak ada TDDK kuat dan
Pneumonia tidak ada napas cepat,
frekuensi napas : kurang dari
60 x/menit
Pneumonia Berat Tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam yang kuat
dan adanya napas cepat 60
x/menit atau lebih
Sumber : Direkorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Departemen Kesehatan RI (Ditjen
P2PL.Depkes RI, 2012).

8
e. Patogenesis Pneumonia
Pada umumnya mikroorganisme penyebab pneumonia terhisap ke
paru bagian perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema
akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran
kuman ke jaringan sekitar. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema,
dan ditemukan kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan gterjadi fagositosis yang cepat. Stadium ini
disebut hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di
alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi sistem bronkopulmoner
yang tidak terkena tetap dalam keadaan normal (Rahajoe, et al, 2013).

f. Menejemen Diagnosis Pneumonia


1) Manifestasi Klinis Pneumonia
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung
pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umumadalah sebagai
berikut :
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual,
muntah atau diare (Rahajoe, et al, 2013).
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, merintih, dan sianosis (Rahajoe, et
al, 2013).
2) Pemeriksaan Fisik Pneumonia
Pada pemeriksaan fisis dapat diperolah tanda klinis seperti
pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada
neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda penumonia lebih beragam
dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru
umumnya tidak ditemuka kelainan (Rahajoe, et al, 2013).

9
3) Pemeriksaan Penunjang Pneumonia
a. Darah perifer lengkap
Pada pnaumonia virus dan juga pada pneumonia
mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau
sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3. Leukopenia
(<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Kadang-kadang
terdapat anemia ringan dengan laju endap darah (LED) yang
meningkat (Rahajoe, et al, 2013).
b. Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal
dari usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus, darah, dan
aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila ditemukan dari
darah, cairan pleura, atau aspirasi. Kecuali pada masa neonatus,
kajadian bakterimia sangat rendah sehingga kultur darah jarang
yang positif. Pada pneumonia anak dilaporkan hanya 10-30%
ditemukan bakteri pada kultur darah (Rahajoe, et al, 2013).
c. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CPR digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus,
dan bakteri (Rahajoe, et al, 2013).
d. Pemeriksaan rontgen toraks
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak
meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidari luas pada
kedua paru (Rahajoe, et al, 2013).
4) Diagnosis Pneumonia
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis
dan/atau serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi,
penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan
laboratorium penunjang yang memadai. Oleh karena itu, pneumonia
pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang

10
menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran
radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam,
sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut:
takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas
melemah (Rahajoe, et al, 2013).
5) Penatalaksanaan Pneumonia
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.
Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya
penyakit,misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau
makan/minum. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap (Rahajoe, et al, 2013).
Dasar tatalaksana pneomonia rawat inap adalah pengobatan
kausal antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan
suportif meliputi pemberian cairan intravena, dan terapi oksigen.
Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik
(Rahajoe, et al, 2013).

g. Faktor Risiko Pneumonia


Terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang.
Faktor risiko tersebut adalah :
1) Berat badan lahir rendah (BBLR)
2) Tidak mendapat imunisasi
3) Tidak mendapat ASI yang adekuat
4) Malnutrisi
5) Tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap
rokok)
(Rahajoe, et al, 2013).

11
h. Pencegahan Pneumonia
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan
pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-
imunisasi. Imunisasi terhadap patogen yang bertanggung jawab terhadap
pneumonia merupakan strategi pencegahan spesifik. Pencegahan non-
imunisasi merupakan pencegahan non-spesifik misalnya mengatasi
berbagai faktor resiko, seperti polusi udara dalam ruang, merokok,
kebiasaan perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan lain-lain
(Kemenkes RI, 2010).

i. Prognosis Pneumonia
Penerapan pedoman tatalaksana baku pneumonia termasuk pemberian
antibiotik oral sesegera mungkin dapat menurunkan 13-55% mortalitas
pneumonia (20% mortalitas bayi dan 24% mortalitas anak-balita)
(Kemenkes RI, 2010).

2. Imunisasi
a. Definisi Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya pemberian kekebalan terhadap bayi
dan anak dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh sehingga tubuh
membuat zat anti untuk mencegah penyakit tertentu. Zat anti yang
dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan (seperti vaksin BCG, DPT,
dan campak) dan melalui mulut berupa vaksin polio (Hidayat, 2008).
Berikut ini penjelasan mengenai beberapa vaksin yang sering
diberikan pada anak :
1) Imunisasi BCG
a) Tujuan Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (basillus calmette guerin) merupakan
imunisasi dasar untuk mencegah terjadinya penyakit TBC yang
berat. TBC yang berat seperti TBC pada selaput otak, TBC milier
pada seluruh lapangan paru, atau TBC tulang (Hidayat, 2008).

12
b) Cara, Dosis dan Waktu Pemberian Imunisasi BCG
Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi
yang baru lahir sampai usia 12 bulan, tetapi imunisasi ini sebaiknya
dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan. Imunisasi ini cukup
diberikan satu kali saja (IDAI, 2014). Dosis yang diberikan
sebanyak 0,05 cc (Depkes, 2000).
c) Efek Samping Pemberian Imunisasi BCG
Efek samping dari pemberian imunisasi BCG adalah terjadi
ulkus pada daerah bekas suntikan, limfadenitis regionalis, dan
reaksi panas (Hidayat, 2008).
2) Imunisasi DPT
a) Tujuan Imunisasi DPT
Imunisasi DPT (diphteria, pertussis, tetanus) adalah imunisasi
yang mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusi, dan tetanus
(Hidayat, 2008).
b) Cara, Dosis dan Waktu Pemberian Imunisasi DPT
Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali, yaitu sejak bayi berumur
2 bulan dengan selang waktu penyuntikan minimal selama 4
minggu. Imunisasi ulang pertama dilakukan pada usia 1 - 2 tahun
atau kurang lebih 1 tahun setelah suntikan imunisasi dasar ke-3.
Imunisasi ulang berikutnya dilakukan pada usia 6 tahun atau kelas
1 SD. Pada saat kelas 6 SD diberikan lagi imunisasi ulang dengan
vaksin DT (tanpa P) (IDAI, 2014). Dosis vaksin DPT diberikan
sebanyak 0,5 cc (Depkes, 2000).
c) Efek Samping Pemberian Imunisasi DPT
Pemberian DPT dapat berefek samping ringan atau berat. Efek
samping ringan seperti adanya pembengkakan, nyeri pada tempat
suntiakan, dan demam. Sedangkan efek samping beratnya yaitu
menangis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran
menurun, terjadi kejang dan syok (Hidayat, 2008).

13
3) Imunisasi Campak
a) Tujuan Imunisasi Campak
Imunisasi campak adalah imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit campak pada anak-anak karena
termaruk penyakit menular (Hidayat, 2008).
b) Cara, Dosis, dan Waktu Pemberian Imunisasi Campak
Bayi baru lahir biasanya telah mendapat kekebalan pasif dari
ibunya ketika dalam kandungan dan kekebalan ini bertahan hingga
usia bayi mencapai 6 bulan. Imunisasi campak diberikan kepada
anak usia 9 bulan (IDAI, 2014). Dosis diberikan sebanyak 0,5 cc
(Depkes, 2000).
c) Efek Samping Pemberian Imunisasi Campak
Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi. Namun
adakalanya terjadi demam ringan atau sedikit bercak merah pada
pipi di bawah telinga, atau pembengkakan pada tempat suntikan
(IDAI, 2014).
4) Imunisasi Hepatitis B
a) Tujuan Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang diberikan
untuk mencegah terjadinya penyakit hepatitis (Hidayat, 2008).
b) Cara, Dosis, dan Waktu Pemberian Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B diberikan melalui intramuskular
(Hidayat, 2008). Imunisasi dasar hepatitis B diberikan 3 kali
dengan tenggang waktu 1 bulan antara suntikan pertama dengan
kedua, dan tenggang waktu 5 bulan antara sssuntikan kedua dan
ketiga. Imunisasi ulang diberikan 5 tahun setelah pemberian
imunisasi dasar (IDAI, 2014). Dosis diberikan 0,5 cc (Depkes,
2000).
c) Efek Samping Pemberian Imunisasi Hepatitis B
Reaksi lokal yang umumnya sering muncul yaitu rasa sakit,
kemerahan, dan pembengkakan di sekitar daerah suntikan. Selain

14
itu, terdapat pila reaksi yang besifat ringan dan biasanya berkurang
dalam 2 hari setelah vaksinasi (Perhimpunan Penelitian Hati
Indonesia, 2006).
5) Imunisasi Polio
a) Tujuan Imunisasi Polio
Imunisasi polio merupakan imunisasi yang diberikan untuk
mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat
menyebabkan kelumpuhan pada anak (Hidayat, 2008).
b) Cara, Dosis, dan Waktu Pemberian Imunisasi Polio
Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir atau berumur
beberapa hari dan selanjutnya diberikan setiap 4-6 minggu.
Pemberian vaksin polio dapat dilakukan bersamaan dengan BCG,
vaksin hepatitis B, dan DPT. Imunisasi ulangan diberikan
bersamaan dengan imunisasi ulang DPT (IDAI, 2014).
c) Efek Samping Pemberian Imunisasi Polio
Paralisis karena vaksin jarang terjadi dalam 2 bulan imunisasi
(Hidayat, 2008).
b. Manfaat Imunisasi
Menurut Depkes (2000), manfaat imunisasi antara lain:
1) Untuk Anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit,
dan kemungkinan cacat atau kematian.
2) Untuk Keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan
bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua
yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang
nyaman.
3) Untuk Negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa
yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan Negara.

15
3. Hubungan Imunisasi DPT dan Campak terhadap Kejadian Pneumonia

Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia


adalah vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (Haemophilus
influenzae type b) dan Pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya, yaitu
pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi nasional di
berbagai negara, termasuk Indonesia (Kemenkes RI, 2010).

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak.
Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih
berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian
imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif
sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi
pertusis (DPT) 6% lematian pneumonia dapat dicegah (Agussalim, 2012).

Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak.


Penyakit ini dapat dikatakan ringan karena dapat sembuh dengan sendirinya,
namun dapat dikatakan berat dengan berbagai komplikasi seperti pneumonia
yang bahkan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak kurang gizi
dan anak dengan gangguan sistem imun. Menurunkan kejadian penyakit
campak pada balita dengan memberikan vaksinasi dapat menurunkan
kematian akibat pneumonia (Kemenkes RI, 2010).

Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk seratus hari.
Penyakit ini masih sering ditemui. Penyakit ini disebabkan infeksi bakteri
Bordetella pertussis. Vaksinasi terhadap penyakit ini dalam sediaan DTP,
bersama difteri dan tetanus. Pada negara yang cakupan imunisasinya rendah,
angka kematian masih tinggi dan mencapai 295.000 390.000 anak pertahun
(Kemenkes RI, 2010).

16
B. Kerangka Teori

Imunisasi

Campak DPT Polio BCG Hepatitis B

Pneumonia

Faktor Resiko
1. Berat badan lahir rendah (BBLR)
2. Tidak mendapat ASI yang adekuat
3. Malnutrisi
4. Tingginya pajanan terhadap
Polusi udara

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Keterangan : Variabel yang diteliti


Variabel yang tidak diteliti

C. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Imunisasi DPT dan


Pneumonia
Campak

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

17
D. Landasan Teori

Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru yang disebabkan


mikroorganisme (Nashar Az Hafid, 2013). Pneumonia, infeksi akut pada
jaringan paru oleh mikroorganisme, merupakan infeksi saluran napas bagian
bawah. Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh bakteri, yang terjadi
secara primer atau sekunder setelah infeksi virus. Anak-anak yang masih
kecil sangat rentan terutama terhadap pneumonia virus, biasanya dari infeksi
dengan respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza, adenovirus, atau
rinovirus (Corwin, 2009).

E. Hipotesis
a. Hipotesa Nol (Ho)
Tidak ada hubungan antara pemberian imunisasi DPT dan campak
dengan kejadian pneumonia pada usia 10 bulan-5 tahun.
b. Hipotesa Alternatif (Ha)
Ada hubungan antara pemberian imunisasi DPT dan campak dengan
kejadian pneumonia pada usia 10 bulan-5 tahun.

18
19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan
menggunakan pendekatan Cross sectional yang dilakukan dengan
menganalisis data sekunder dari rekam medis (Noatoatmodjo, 2010).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas
Sangurara kota Palu.
2. Waktu Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah 3 bulan dari bulan
Desember 2015- Februari 2016.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien balita yang
berkunjung ke Puskesmas Sangurara kota Palu tahun 2015.
2. Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, yang
didasarkan atas pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi (Noatoatmodjo, 2010).
1. Kriteria Inklusi :
a) Anak usia 10 bulan-5 tahun
b) Pernah berkunjung ke Puskesmas Sangurara
c) Terdiagnosis pneumonia

19
2. Kriteria Eksklusi :
a) Pasien dengan data rekam medis tidak lengkap
b) Anak dengan riwayat berat badan lahir rendah (BBLR)

D. Sampel Minimal

Dalam menentukan besar sampel digunakan rumus Slovin yaitu sebagai


berikut :

=
1 + ()2
4.855
=
1 + 4.855(0.1)2
4.855
=
49,55
= 98
Jumlah sampel minimal yang diambil sebanyak responden. Dimana:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Tingkat kesalahan/ketepatan yang digunakan 0.10 (10%)

E. Identifikasi variabel

1. Variabel bebas : Imunisasi DPT dan campak


2. Variabel terikat : Pneumonia

F. Definisi operasional variabel dan Pengukurannya

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang akan


diamati (diukur) sesuai dengan yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2003).

20
Tabel 3.1 : Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi
No Variabel Cara ukur Hasil ukur Skala
Operasional

1 Pemberian Pasien balita KMS (kartu 1. Memperoleh Nominal


imusisasi yang telah menuju sehat) imunisasi
DPT dan memperoleh DPT dan
campak imunisasi DPT campak
dan campak 2. Tidak
memperoleh
munisasi DPT
dan campak

2 Penyakit Pasien usia 10 Rekam medis 1. Pneumonia Nominal


Pneumonia bulan-5 tahun 2. Tidak
yang didiagnosis Pneumonia
dokter
menderita
pneumonia
(demam, batuk,
dan sesak) yang
datang ke
puskesmas
Sangurara kota
Palu

G. Cara Pengumpulan Data


1. Instrumen penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data sekunder yang diperoleh dari rekam medik di puskesmas
Sangurara tahun 2015

21
b. Data sekunder dari KMS (Kartu Menuju Sehat) yang terdapat disetiap
kelurahan wilayah kerja puskesmas Sangurara
c. Buku tulis dan bulpoin digunakan untuk mencatat hasil yang diperoleh
dari data sekunder
2. Cara Kerja
a. Mengidentifikasi dan merumuskan masalah
b. Melakukan studi pendahuluan
c. Merumuskan hipotesis
d. Mengidentifikasi variabel dan definisi operasional variabel
e. Menentukan rancangan dan desain penelitian
f. Menentukan dan mengembangkan instrumen penelitian
g. Menentukan subjek penelitian
h. Melaksanakan penelitian
i. Melakukan analisis data
j. Merumuskan hasil penelitian dan pembahasan
k. Menyusun laporan penelitian dan melakukan desiminasi.

H. Pengolahan Data

Kegiatan dalam proses pengolahan data meliputi :

1) Pemeriksaan Data (Editing)


Data yang telah dikumpulkan diperiksa kelengkapan, kejelasan makna
jawaban, konsistensi maupun kesalahan datanya.
2) Penandaan (Coding)
Masing masing data akan diberikan kode sesuai dengan yang telah
ditetapkan sebelumnya agar memudahkan pengolahannya.
3) Pemindahan data ke computer (entry)
Data yang telah disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam program
dan akan diolah menggunakan computer.
4) Tabulating

22
Menyusun seluruh data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel. Dimana
data yang memiliki kriteria yang sama dikelompokkan dengan teliti dan
teratur sebelum dimasukkan ke dalam tabel.

I. Analisis Data
Data diolah dengan alat bantu perangkat komputer softwareStatistical
Package for the Social Science (SPSS) for windows. Untuk analisis data
digunakan analisis data univariat dan analisis data bivariat.
1 Analisis Univariat
Analisa ini digunakan untuk memberikan gambaran umum terhadap
data hasil penelitian dalam bentuk tabel frekuensi dan pesentase dari tiap
variabel sebagai bahan informasi.
2 Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel yaitu varibel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan
derajat kemaknaan 95%.
Karena analisis yang dilakukan adalah analisis hubungan antara
variabel kategori dengan variabel kategori maka uji statistik yang
digunakan adalah uji Kai Kuadrat (Chi Square), yaitu

f fh
2

2
O

fh

Keterangan :
2 Kai Kuadrat
f O Frekuensi hasil observasi dari sampel penelitian

f h Frekuensi yang diharapkan pada populasi penelitian

J. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memandang perlu adanya
rekomendasi dari pihak institusi dengan mengajukan :

23
1. Permohonan izin penelitian dan pengambilan data dengan surat pengantar
dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako
kepada instansi tempat penelitian dilaksanakan. Setelah mendapat
persetujuan tersebut, barulah dilakukannya penelitian dimulai dengan
pengambilan data - data yang diperlukan.
2. Pengambilan sampel dilakukan dengan meminta persetujuan kepala
puskesmas Sangurara kota Palu.

24
25

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Profil Puskesmas Sangurara

Puskesmas Sangurara sebagai pelayanan dasar di kecamatan Tatanga


memberikan pelayanan rawat jalan secara terpadu kepada masyarakat dalam
upaya untuk mengatasi masalah kesehatan serta meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Puskesmas Sangurara terletak di jalan Padanjakaya No.3 kota Palu.
Puskesmas Sangurara memiliki luas wilayah kerja 13,69 km2 dengan meliputi 5
kelurahan yaitu kelurahan Donggala Kodi, kelurahan Balaroa, kelurahan Boyaoge,
kelurahan Duyu, dan kelurahan Nunu.

Jumlah Penduduk di wilayah puskesmas Sangurara tahun 2014 berdasarkan


data dari BPS kota Palu adalah 51.431 jiwa. Jumlah penduduk ini terdistribusi
pada 5 kelurahan dengan jumlah penduduk yang terbanyak adalah kelurahan
Balaroa dengan jumlah penduduk 15.233 jiwa dan yang terendah adalah
kelurahan Duyu yaitu 7.981 jiwa. Jumlah balita di wilayah puskesmas Sangurara
tahun 2015 sebanyak 4.855 balita.

Wilayah kerja puskesmas Sangurara terdiri dari 80% daratan dan 20%
perbukitan. Batas wilayah kerja terdiri dari :

1. SEBELAH UTARA berbatasan dengan kelurahan Ujuna dan kelurahan


Kamonji
2. SEBELAH SELATAN berbatasan dengan kelurahan Pengawu dan kelurahan
Tavanjuka
3. SEBELAH TIMUR berbatasan dengan Sungai Palu
4. SEBELAH BARAT berbatasan dengan desa Doda kecamatan Marawola
kabupaten Sigi

25
B. Analisis Sampel
Penelitian dilakukan di puskesmas Sangurara kota Palu bulan Desember
2015-Februari 2016. Data yang diambil adalah data pasien balita (usia 10 bulan-5
tahun) yang datang ke puskesmas Sangurara kota Palu periode 01 Januari 2015
31 Desember 2015. Pengambilan data dilakukan di bagian rekam medis dan pada
kelurahan yang menyimpan Kartu Menuju Sehat (KMS) wilayah kerja puskesmas
Sangurara dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis data dari
hasil penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu analisis univariat dan analisis
bivariat dengan menggunakan uji Chi-square.
1. Analisis Univariat
a. Distribusi sampel berdasarkan usia
Tabel 4.1 Distribusi sampel berdasarkan usia

Usia Jumlah Persentase (%)

10-12 bulan 27 28,4


13-24 bulan 38 40
25-36 bulan 23 24,2
37-59 bulan 7 7,3
Total 95 100
Sumber : Data sekunder ( RekamMedik, 2015)

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui jumlah pasien balita yang datang


di puskesmas Sangurara kota Palu dengan usia 10-12 bulan sebanyak 27
balita (28,4%), jumlah pasien usia 13-24 bulan adalah sebanyak 38 balita
(40%), jumlah pasien usia 25-36 bulan adalah sebanyak 23 balita
(24,2%), dan jumlah pasien usia 37-59 bulan adalah 7 balita (7,3%).

26
b. Distribusi sampel berdasarkan pemberian imunisasi DPT dan
Campak
Tabel 4.2 Distribusi sampel berdasarkan pemberian imunisasi DPT dan
Campak
Imunisasi DPT dan
Jumlah Persentase (%)
Campak
Ya 41 43,2
Tidak 54 56,8
Sumber : Data sekunder (KMS, 2015)
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui sebanyak 41 balita (43,2%)
mendapatkan imunisasi DPT dan campak dan sebanyak 54 balita (56,8%)
tidak mendapatkan imunisasi DPT dan campak.
c. Distribusi sampel berdasarkan pneumonia
Tabel 4.3 Distribusi sampel berdasarkan pneumonia
Pneumonia Jumlah Persentase (%)
Ya 51 53,7
Tidak 44 46,3
Sumber : Data sekunder (RekamMedik, 2015)
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui ada sebanyak 51 balita (53,7%)
yang menderita pneumonia dan 44 balita (46,3%) tidak menderita
pneumonia.

27
2. Analisis Bivariat
a. Hubungan Imunisasi DPT & Campak dengan Kejadian Pneumonia
Tabel 4.4 Hubungan Imunisasi DPT & Campak dengan Kejadian
Pneumonia
Pneumonia Nilai Nilai p
Imunisasi DPT dan
Total Risiko
campak Ya Tidak

Jumlah 39 15 54
Tidak 0,72
Presentase 72,2% 27,8% 100 %
Jumlah 12 29 41
Ya 0,2 0,05 0,000
Presentase 29,3% 70,7% 100 %
RR =
Total 51 44 95
3,6
Sumber : Data Sekunder (Rekam Medik & KMS,2015)
Dari tabel 4.4 diketahui bahwa balita pneumonia yang mendapatkan
imunisasi DPT dan campak 12 balita (29,3%) sedangkan yang tidak
mendapat imunisasi DPT dan campak 39 balita (72,2%). Pasien balita
yang tidak mengalami pneumonia serta mendapatkan imunisasi DPT dan
campak 29 balita (70,7%) sedangkan 15 balita (27,8%) tidak mendapatkan
imunisasi DPT dan campak. Dari data tersebut terlihat bahwa balita yang
tidak diberikan imunisasi DPT dan campak lebih berisiko mengalami
pneumonia. Hal ini juga didukung dengan hasil uji Chi-Square dimana
nilai p < nilai yaitu p = 0,000. Selanjutnya, dilakukan uji Risiko Relatif
(RR) untuk mengetahui besarnya pengaruh imunisasi DPT dan campak
terhadap kejadian pneumonia. RR = 3,6 berarti bahwa balita yang tidak
mendapatkan imunisasi DPT dan campak mempunyai risiko pneumonia
3,6 kali lebih besar dibandingkan yang mendapatkan imunisasi DPT dan
campak.

28
C. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada balita yang telah terdiagnosis pneumonia oleh
dokter di Puskesmas Sangurara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan
pemberian imunisasi DPT dan campak dengan kejadian pneumonia pada balita
usia 10 bulan-5 tahun. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengambilan
rekam medis balita yang datang ke puskesmas sebagai data sekunder. Dari
penelitian tersebut, peneliti memperoleh sejumlah 1.782 data balita, kemudian
pemilihan sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi peneliti. Sampel dalam
penelitian yang diambil adalah sebesar 95 balita kemudian dilanjutkan dengan
melakukan pengambilan Kartu Menuju Sehat (KMS) sampel pada setiap
kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Sangurara. Data dari setiap sampel tersebut
dimasukkan ke dalam program SPPS untuk diolah lebih lanjut.

Distribusi sampel berdasarkan usia diperoleh jumlah pasien terbanyak pada


usia 13-24 bulan yaitu 38 (40%). Hasil ini sesuai dengan Hartati (2012) bahwa
anak-anak berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia
dibanding anak-anak berusia diatas 2 tahun. Bayi dan balita memiliki mekanisme
pertahanan tubuh yang masih rendah dibanding orang dewasa, sehingga balita
masuk dalam kelompok yang rawan terhadap infeksi seperti influenza dan
pneumonia. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan saluran
pernapasan yang relatif sempit.

Hasil analisa univariat menunjukkan bahwa sebagian besar balita


mengalami pneumonia. Pemberian imunisasi lengkap sebelum anak mencapai
usia 1 tahun, anak akan terlindung dari beberapa penyebab yang paling utama dari
infeksi pernafasan termasuk batuk rejan, difteri, tuberkulosa dan campak. Dengan
pemberian imunisasi berarti mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan
oleh komplikasi penyakit campak dan pertusis (Agussalim, 2012).

Balita yang telah mendapat imunisasi campak diharapkan terhindar dari


penyakit campak dan pneumonia merupakan komplikasi yang paling sering terjadi
pada anak yang mengalami penyakit campak. Oleh karena itu, imunisasi campak

29
sangat penting membantu pencegahan terjadinya penyakit pneumonia. (Hartati,
dkk, 2012).

Imunisasi DPT dapat mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusi, dan


tetanus. Dimana pemberian imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat
menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi penyakit pertusi. Pertusi dapat
diderita oleh semua orang tetapi penyakit ini lebih serius bila terjadi pada bayi.
Oleh karena pemberian imunisasi DPT sangatlah tepat untuk mencegah anak
terhindar dari penyakit pneumonia (Hartati, dkk, 2012).

Uji statistik yang dipilih untuk mengetahui hubungan antara pemberian


imunisasi DPT dan campak dengan kejadian pneumonia adalah uji Chi-Square.
Berdasarkan hasil perhitungan uji tersebut, diperoleh bahwa nilai p < 0,05 yaitu
0,000 yang artinya dimana terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian
imunisasi DPT dan campak dengan kejadian pneumonia. Oleh karena itu,
hipotesis kerja (H1) pada penelitian ini dapat diterima. Selanjutnya, dilakukan uji
Risiko Relatif (RR) untuk mengetahui besarnya pengaruh pemberian imunisasi
DPT dan campak terhadap kejadian pneumonia. RR = 3,6 berarti bahwa balita
yang tidak mendapatkan imunisasi DPT dan campak mempunyai risiko
pneumonia 3,6 kali lebih besar dibandingkan yang mendapatkan imunisasi DPT
dan campak.

Tambunan S, et al (2013) melaporkan bahwa riwayat status imunisasi


memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita. Jika
dilihat dari nilai p = 0,009; OR = 3,839 berarti balita yang tidak mendapatkan
imunisasi dapat meningkatkan kejadian pneumonia 3,839 kali. Hasil penelitian ini
didukung oleh teori yang menyatakan bahwa bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat
ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan
imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat
dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat

30
dicegah. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fanada M & Widyaiswara M, yang menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara riwayat stastus imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita
(p value = 0,000; = 0,05).

Berbagai faktor resiko yang meningkatkan kejadian, beratnya penyakit, dan


kematian karena pneumonia yaitu status gizi (gizi kurang dan gizi buruk
memperbesar resiko), pemberian ASI (ASI eksklusif mengurangi resiko),
suplementasi vitamin A (mengurangi resiko), suplementasi Zinc (mengurangi
resiko), bayi dengan berat badan lahir rendah (meningkatkan resiko), vaksinasi
(mengurangi resiko), dan polusi udara dalam kamar terutama asap rokok dan asap
bakaran dari dapur (meningkatkan resiko). Namun dalam penelitian ini peneliti
hanya meneliti pengaruh pemberian imunisasi DPT dan campak melalui data
sekunder pada rekam medis dan KMS, sehingga hasilnya kurang maksimal
(Kemenkes, 2010).

31
32

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa


kesimpulan diantaranya yakni :

1. Sebagian besar responden mengalami pneumonia di Puskesmas Sangurara


pada tahun 2015 yaitu sebanyak 51 balita (53,7%) dan sebanyak 44 balita
(46,3%) tidak mengalami pneumonia.
2. Berdasarkan status pemberian imunisasi DPT dan campak pada 95 responden
yaitu sebanyak 41 balita (43,2%) mendapatkan imunisasi DPT dan campak
dan 54 balita (56,8%) tidak mendapatkan imunisasi DPT dan campak
3. Berdasarkan usia dari 95 responden yaitu jumlah balita usia 10-12 bulan
adalah sebanyak 27 balita (28,4%), jumlah balita usia 13-24 bulan adalah
sebanyak 38 balita (40%), jumlah balita usia 24-36 bulan adalah sebanyak 23
balita (24,2%), dan jumnlah balita usia 37-60 bulan adalah sebanyak 7 balita
(7,3%).
4. Dari hasil uji statistik ditemukan terdapat hubungan bermakna antara
pemberian imunisasi DPT dan campak terhadap kejadian pneumonia di
Puskesmas Sangurara Tahun 2015 dengan nilai p = 0,000 (p<0,05).
5. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan rumus Risiko Relatif (RR)
diperoleh nilai RR = 3,6 yang berarti bahwa balita yang tidak memperoleh
imunisasi DPT dan campak lebih berisiko 3,6 kali lebih besar menderita
pneumonia dibandingkan balita yang memperoleh imunisasi DPT dan
canpak.

B. Saran
1. Bagi petugas kesehatan di Puskesmas Sangurara, diharapkan dapat
termotivasi untuk berperan dalam meningkatkan pemberian imunisasi DPT
dan campak.

32
2. Bagi masyarakat terutama orang tua diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman tentang pentingnya pemberian imunisasi DPT dan campak
dalam mencegah pneumonia pada balita.
3. Bagi peneliti selanjutnya sekiranya perlu melakukan penelitian yang
menyangkut semua faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit pneumonia.

33
DAFTAR PUSTAKA

Agussalim. 2012. Hubungan Pengetahuan, Status Imunisasi dan Keberadaan


Perokok Dalam Rumah dengan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
pada Balita Di Puskesmas Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. Jurnal
Ilmiah STIKES UBudiyah. Vol.1, No.2. pp 7-8. Diakses pada 23 April
2016. Dari (http://www.ejournal.uui.ac.id/jurnal/AGUSSALIM-dou-1-
agussalim.pdf)

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta

DepKes. 2000. Modul Latihan Petugas Imunisasi, Edisi ke-7. Jakarta

Dinkes Sulteng. 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sulteng. Dinas Kesehatan


Daerah UPT Surveilans. Data dan Informasi Provinsi Sulawesi Tengah

Dinkes Kota Palu. 2015. Profil Kesehatan Kota Palu. Dinas Kesehatan Kota Palu.
Palu

Ditjen P2PL.Depkes RI. 2012.Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Diakses


pada 19 Mei 2015. Dari
(http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/FINAL%20DESIGN%20MO
DUL%20TATALAKSANA%20STANDAR%20PNEUMONIA%20(STE
MPEL%20BARU)%20rev.pdf)

Hartati, Susi., Nani Nurhaeni., Dewi Gayatri. 2012. Faktor Risiko terjadinya
Pneumonia pada Anak Balita. Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol. 15, No.
1. pp 18-19. Diakses pada 04 Mei 2016. Dari
(https://www.academia.edu/18649645/Jurnal_pnemonia)

Hidayat, A, Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Salemba


Medika. Surabaya

34
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2014. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 18
Tahun dan Informasi Vaksin untuk Orang Tua. Satgas Imunisasi IDAI.
Diakses pada 20 Mei 2015. Dari (http://idai.or.id/public-
articles/klinik/imunisasi). Ikatan Dokter Anak Indonesi. jakarta

Kemenkes RI. 2010. Pneumonia Balita. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Data dan Informasi Tahun


2014 (Profil Kesehatan Indonesia). Diakses pada 23 Oktober 2015. Dari
(http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/data-dan-informasi-2014.pdf)

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi. Diakses pada 14 Mei 2015. Dari
(http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/92_PMK%20No.%2042%20ttg
%20Penyelenggaraan%20Imunisasi.pdf)
Monita, Osharinanda., Finny Fitry Yani.,Yuniar Lestari. 2015. Profil Pasien
Pneumonia Komunitas di Bagian Anak RSUP DR. M. Djamil Padang
Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 04, No. 01. pp 220.
Diakses pada 20 Agustus 2015. Dari
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=299944&val=7288&
title=Profil%20Pasien%20Pneumonia%20Komunitas%20di%20Bagian%2
0Anak%20RSUP%20DR.%20M.%20Djamil%20Padang%20Sumatera%2
0Barat)
Nashar Az Hafid. 2013. The Disease Diagnosis dan Terapi. Pustaka Cendekia
Press. Yogyakarta

Notoadmojo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta

Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Peneletian Ilmu


Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta

35
Perhimpunan Penelitian Hati Indonesia. 2006. Konsensus PPHI tentang Panduan
Tatalaksana Infeksi Hepatitis B Kronis. Diakses pada 26 Oktober 2015.
Dari (http://pphi-online.org/alpha/wp-content/upload/2012/10/Hepatitis-B-
full.pdf)

Rahajoe, Nastiti N., Bambang Supriyatnu., Darmawan Budi Setyanto. 2013. Buku
Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama. Badan Penerbit IDAI. Jakarta

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasa. Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. Jakarta

Sukmawati., Sri Dara Ayu. 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir
(BBL), Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamaseang
Kabupaten Maros. Media Gizi Pangan. Vol. 10, Edisi 2. pp 20. Diakses
pada 20 Agustus 2015. Dari
(https://jurnalmediagizipangan.files.com/2012/04/3-hubungan-status-gizi-
berat-badan-lahir-bbl-imunisasi-dengan-kejadian-infeksi-saluran-
pernapasan-akut-ispa-pada-balita-di-wilayah-kerja-puskesmas-
tunikamaseang-kabupaten-maros.pdf)

Tambunan, Siska., Suharyo., Kriswiharsi Kun Saptorini. 2013.. Diakses pada 04


Mei 2016. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2013Dari
(http://eprints.dinus.ac.id/7912/1/jurnal_13182.pdf)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik


Kedokteran. Diakses pada 1 April 2015. Dari (http://www.dinkes-
kotasemarang.go.id/dokumen/uu_praktik_kedokteran.pdf)
WHO. 2008. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Diakses pada
28 April 2015. Dari (http://www.who.int/bulletin/volumes/86/5/07-
048769-ab/en/)

36
WHO. 2014. Pneumonia. Diakses pada 28 April 2015, Dari
(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/)

37

Anda mungkin juga menyukai