Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

TWIN TO TWIN TRANSFUSION SYNDROME (TTTS)

OLEH :
Pipit Layakharisma, S.Ked
K1 A1 13 046

PEMBIMBING :
dr. Steven Ridwan, M.Kes, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Pipit Layakharisma

NIM : K1A1 13 046

Judul Referat Twin To Twin Transfusion Syndrome (TTTS) Telah menyelesaikan

Laporan Kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Obstetri dan

Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Desember 2019


Mengetahui,
Pembimbing

dr. dr. Steven Ridwan, M.Kes, Sp.OG


TWIN TO TWIN TRANSFUSION SYNDROME (TTTS)
Pipit Layakharisma, Steven Ridwan

A. PENDAHULUAN

Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) merupakan komplikasi

yang serius hampir 10%-15% pada seluruh kelahiran kembar monokorionik.

Sebagian besar dari kehamilan akan menghasilkan satu bayi, hanya 1 dari

80 kehamilan akan terjadi kehamilan kembar yang dapat terjadi dalam 2

cara. Cara yang paling umum (2/3 kasus) adalah 2 sperma yang berbeda

akan membuahi 2 ovum menghasilkan kehamilan kembar dizigotik atau

disebut juga fraternal twin. Pada 1/3 kehamilan lainnya, 1 sperma akan

membuahi 1 ovum tetapi akan membelah menjadi 2 embrio menghasilkan

kembar monozigotic, sering disebut juga kembar identik karena memiliki

materi genetik yang sama. Kurang lebih 1/3 dari kembar monozigotic

tampak seperti fraternal twin karena pada pemeriksaan ultrasound prenatal

didapatkan 2 membran ketuban dan plasenta yang terpisah. Akan tetapi pada

2/3 kasus kembar identik, setiap janin memiliki membran ketuban sendiri

namun akan berbagi plasenta yang sama, jenis kembar monozigotik ini

sering disebut monochorionik diamniotik. 1,5

TTTS merupakan keadaan dimana darah Darah ditransfusikan secara

tidak seimbang antara satu janin (donor) dengan janin yang lain (resipien).

Transfusi ini menyebabkan penurunan volume darah janin donor. TTTS

didiagnosis sebelum kelahiran dengan menggunakan ultrasonography dan

membutuhkan 2 kriteria yaitu adanya kehamilan kembar monokorion

diamniotic dan adanya oligohidramnion pada satu kantung dan

1
polihidromnion pada kantung lainnya. TTTS biasa dijumpai anatara minggu

ke-16 dan minggu ke-26 kehamilan, jika tidak diberi penanganan yang

adekuat umunya memiliki prognosis yang buruk dan angka kematian

mendekati angka 80-100%. Kematian dari satu janin intrauterine akan

membawa konsekuensi terjadinya disseminated intravascular coagulation

(DIC). Kehamilan kembar monochorion menunjukkan adanya peningkatan

resiko gangguan perkembangan substansi alba dari jaringan otak pada

periode antenatal.2,3

B. DEFINISI

Twin-twin transfusion syndrome (TTTS) adalah suatu komplikasi dari

kehamilan multipel monokorion yang berisiko tinggi menyebabkan

kematian fetal/neonatus, terutama pada janin usia belum mampu hidup dan

bila janin berhasil hidup maka janin tersebut berisiko mengalami gangguan

jantung, syaraf dan mental. Pada TTTS darah ditransfusikan secara tidak

seimbang antara satu janin (donor) dengan janin yang lain (resipien).

Transfusi ini menyebabkan penurunan volume darah janin donor. Hal ini

mengakibatkan pertumbuhan janin donor menjadi terhambat. Sedangkan

janin resipien mendapat darah yang berlebihan sehingga bias

mengakibatkan gagal jantung.2,5

2
C. EPIDEMIOLOGI

Kembar terjadi pada 1% dari semua kehamilan dengan dua pertiga

(70%) adalah dizigot dan sepertiga (30%) adalah monozigot. Insiden dari

kembar bervariasi menurut1 :

1. Kelompok etnik (1:50 kehamilan ras Afrika, 1 : 80 kehamilan pada ras

Caucasia, 1:50 kehamilan pada ras Asia dan paling sedikit pada ras

Mongoloid).

2. Usia maternal (2% setelah 35 tahun). Paling tinggi pada wanita yang

berusia 37 tahun, dimana terjadi stimulasi hormonal yang maksimal

3. Paritas (2% setelah kehamilan keempat)

4. Metode konsepsi (20% dengan induksi ovulasi)

5. Riwayat keluarga

Insidensi kembar monozigot sama pada semua kelompok etnis dan

tidak berbeda oleh usia maternal, paritas maupun metode konsepsi yaitu

3,4/1000 kelahiran. Insidensi untuk kehamilan kembar menurut Hukum

Hellin adalah 1 dalam 80 kehamilan, misalnya gemelli 1: 80 kehamilan,

triplet 1:80, kuadriplet :80, dan seterusnya.5

TTTS merupakan keadaan patologi yang serius pada kelahiran kembar

monokorionik diamnion dengan angka kejadian 10-20% dan bila tidak

dilakukan penanganan yang adekuat 80-100% janin dari kehamilan tersebut

akan mati.

3
D. ETIOLOGI

Etiologi dari kehamilan monozygot masih belum diketahui.

Sedangkan kehamilan dizygot diduga berasal dari ovulasi multiple folikel

yang disebabkan karena peningkatan kadar serum gonadotropin. Janin yang

kembar lebih sering terjadi akibat fertilisasi dua buah ovum yang terpisah

(ovum-ganda, kembar dizigot atau kembar “fraternal”). Sekitar sepertiga di

antara kehamilan kembar berasal dari ovum tunggal yang dibuahi, dan

selanjutnya membagi diri menjadi dua buah struktur yang serupa, masing –

masing dengan kemampuan untuk berkembang menjadi ovum tunggal

tersendiri (kehamilan monozigot atau kembar identik). Salah satu atau

kedua proses dapat terlibat dalam pembentukan fetus dengan jumlah yang

lebih besar. Sebagai contoh, kembar empat atau kuadruplet dapat timbul

dari satu, dua, tiga, atau empat buah ovum.2

Faktor resiko untuk kemungkinan terjadinya kehamilan kembar dapat

dibagi menjadi secara natural dan hasil induksi. Secara natural faktor resiko

tersebut adalah riwayat keluarga yang merupakan kembar dizigotik, ras,

bertambahnya paritas dan usia maternal, dan ukuran fisik ibu. Sedangkan

yang secara induksi adalah induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro.2,4

E. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi TTTS tidak sepenuhnya dipahami, akan tetapi terdapat

adanya anastomosis vaskuler plasenta terlibat dalam perkembangannya.

Terdapat tiga jenis anastomosis plasenta pada monokronik plasenta yaitu

venovenous (VV), arterioarterial (AA), dan arteriovenous (AV).

4
Gambar 1. Anastomosis pada plasenta monokorionik3

TTTS terjadi akibat aliran satu arah melalui anastomosis arteriovena.

Darah terdeoksigenasi dari arteri plasenta donor dipompa kedalam ketiledon

yang dipakai bersama oleh resepien (gambar 1). Jika pertukaran oksigen di

vilus korion telah selesai maka darah teroksigenasi meninggalkan kotiledon

melalui suatu vena plasenta pada kembar resipien. Jika tidak terkompensasi,

aliran satu arah ini menyebabkan ketidakseimbangan volume darah.3,4

Sindrom transfuse antar kembar yang secara klinis sering bersifat

kronis dan merupakan akibat perbedaan volume vaskuler signifikan di

antara kembar. Sindrom ini biasanya bermanifestasi pada pertengahan

kehamilan ketika janin donor menjadi oliguria akibat berukrangnya perfusi

ginjal. Janin donor mengalami oligohidramnion, dan janin resepien

mengalami hidramnion berat, diduga akibat meningkatnya produksi urin.

Cairan amnion yang hampir tidak ada dikantong donor menghambat

gerakan janin, menghasilkan istilah desktiptif stuck twin atau sindrom

hidramnion-oligohidramnion. Ketidakseimbangan cairan amnion ini

5
berkaitan dengan hambatan pertumbuhan, kontraktur, serta hipoplasia paru

pada satu kembar, dan ketuban pecah dini dan gagal jantung pada yang

satunya.4,5

F. KLASIFIKASI

Berdasarkan staging yang dipostulasikan oleh Quintero, staging dari TTTS

dibagi menjadi 5, yaitu:9

1. Stage I : Oligohidramnion / polihidramnion, namun vesika urinaria

pada donor masih terlihat.

2. Stage II : Kriteria pada stage I, dengan urin yang sudah tidak tampak

pada vesika urinaria donor.

3. Stage III : Kriteria pada stage II ditambah dengan adanya gambaran

doppler velosimetri yang abnormal pada arteri umbilikalis, duktus

venosus atau vena umbilikalis.

4. Stage IV : Terdapat ascites dan hidrops.

5. Stage V : Telah terjadi kematian janin dalam rahim baik donor atau

resipien.

Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) berdasarkan berat

ringannya penyakit dibagi atas.:2

1. TTTS tipe berat: Biasanya terjadi pada awat trimester ke II, umur

kehamilan 16-18 minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5

minggu kehamilan. Ukuran tali pusat juga berbeda. Konsentrasi Hb

biasanya sama pada kedua janin. Polihidramnion terjadi pada kembar

resipien karena adanya volume overload dan peningkatan jumlah urin

6
janin. Oligohidramnion yang berat bisa menyebabkan terjadinya

fenomena stuck twin dimana janin terfiksir pada dinding uterus.

2. TTTS tipe sedang: terjadi pada akhir trimester II, umur kehamilan 24-

30 minggu. Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih

dari 1,5 minggu kehamilan, polihidramnion dan oligohidramnion tidak

terjadi. Kembar donor menjadi anemia, hipovolemia dan pertumbuhan

terhambat. Sedangkan kembar resipien mengalami plethoric,

hipervolemia dan makrosomia. Kedua janin bisa berkembang menjadi

hidrops.

3. TTTS tipe ringan: terjadinya secara perlahan pada trimester III.

Polihidramnion dan oligohidramnion biasanya tidak terjadi.

Konsentrasi Hb berbeda lebih dari 5gr%. Ukuran besar janin berbeda

lebih dari 20%.

Twin to twin transfusion syndrome juga dapat diklasifikasi menjadi

akut dan kronik. Patofisiologi yang mendasar penyakit ini, gambaran klinis,

morbiditas dan mortalitas janin pada kedua tipe ini sangat berbeda. Angka

kematian perinatal yang tinggi pada twin to twin transfusion syndrome

terutama disebabkan tipe yang kronik:5

1. Tipe akut: Jika terjadi tranfusi darah secara akut/tiba-tiba dari satu

janin ke janin yang lain, biasanya pada trimester III atau selama

persalinan dari kehamilan monokorionik yang tidak berkomplikasi,

menyebabkan keadaan hipovolemia pada kembar donor dan

hipervolemia pada kembar resipien, dengan berat badan lahir yang

7
sama. Transfuse dari kembar pertama ke kembar kedua saat kelahiran

kembar pertama. Namun demikian, bila tali pusat kembar pertama

terlamabat dijepit, darah dari kembar yang belum dilahirkan dapat

tranfusi ke kembar pertama. Diagnosis biasanya dibuat pada saat post

natal.

2. Tipe kronik: Biasanya terjadi pada kehamilan dini (umur kehamilan

12-26 minggu) kasus tipe ini merupakan yang paling bermasalah

karena biayanya masih immature dan tidak dapat dilahirkan, sehingga

dalam pertumbuhannya di uterus, bisa mengalami kelainan akibat dari

TTTS seperti hydrops. Tanpa t erapi, sebagian besar bayi tidak dapat

bertahan hidup atau bila survival, akan timbul kecacatan. Walaupun

arah tranfusi darah menuju kembar resipien, tetapi thrombus dapat

secara bebas berpindah arah menujunkembar resipien, tetapi thrombus

dapat secara bebas berpindah arah melalui anastomosis pembuluh

darah sehingga dapat menyebabkan infark atau kematian pada kedua

janin.

G. DIAGNOSIS

TTTS merupakan kondisi dengan perjalanan yang lambat, dengan

dimulai (dilaporkan) pada umur kehamilan 13 minggu atau trimester kedua.

Diagnosis TTTS ditegakkan dengan evaluasi ultrosonografi yang

menunjukkan adanya:3

1. Kehamilan kembar dengan satu plasenta (monochorionic),

2. Jenis kelamin sama dengan dipisahkan oleh membran ketuban,

8
3. Pengukuran nuchal translucency >3mm pada umur kehamilan 10-14

minggu,

4. Hasil crown-rump length (CRL) yang kurang pada salah satu janin,

5. Polihidramnion pada janin resipien dan oligohidramnion pada janin

donor, jumlah air ketuban diukur dengan maximum vertical pocket

(MVP).

Tabel 2. Keadaan pada trimester pertama dan kedua pada twin-twin


transfution syndrome
Temuan pada trimester pertama
1. Crown-rump length yang kurang pada satuj anin
2. Ukuran nuchal translucency > 3 mm pada umur kehamilan 10-14
minggu atau berbeda>20% diantara bayi
Temuan pada trimester kedua
1 Lingkar perut yang kurang pada satu janin
2 Membrane pemisah yang tipis
3 Masuknya velamentous placenta (donor kembar)
4 Echogensiti plasenta (hyperecoic donor)
Tabel 3. Kriteria diagnostik TTTS pada awal trimester ketiga (kriteria
diagnostik ultrasonografi):
Kriteria diagnostik ultrasonografi TTTS pada awal trimester ketiga

1. Kehamilan monokorionik
2. Jenis kelamin yang sama
3. Satu massa plasenta
4. Membrane pemisah yang tipis
5. Kelainan volume cairan amnion
6. Kantung kencing yang persisten
7. Perkiraan perbedaan berat janin (20% lebih berat kembar besar)
8. Adanya stuck twin
9. Hidrops fetalis (adanya satu atau lebih gejala edema kulit (tebal 5
mm), efusi pericardial, efusi pleura, acites)
10. Membrane pembungkus pada umur kehamilan 14-17 minggu.

9
Gambar 2. Alogritma untuk konfirmasi USG dari suatu kehamilan kembar
Monochorion7

Diagnosis post natal TTTS dapat ditegakkan dengan :7

1. Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang >500gr atau

perbedaan>20% pada janin aterm( untuk TTTS Kronis).

2. Terdapat perbedaan kadar hemoglobin dan hematokrit dari kedua

janin, janin donor dapat mencapai 8gr% atau kurang dan janin resipien

bisa mencapai 27%.Perbedaan ukuran pada organ-organ

jantung,ginjal,hepar dan thymus.

3. Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung, ginjal, hepar, dan

thymus

10
H. PENATALAKSANAAN

Ada beberapa pilihan manajemen, amnioreduksi dan microseptostomy

(penusukan membran intertwin) dengan tujuan untuk menormalkan volume

air ketuban sehingga dapat mencegah partus preterm oleh karena

polihidramnion. Manajemen ini, utamanya tidak ditujukan untuk

dekompensasi terhadap sirkulasi seperti yang terjadi pada kondisi berat, dan

janin yang hidup berisiko untuk terjadinya komplikasi neurologi terutama

jika salah satu janin meninggal in utero, dan juga akan mempercepat

terjadinya hipotensi pada janin lainnya oleh karena agonal transfusi antara

janin. Pada kasus dimana terjadi kematian salah satu janin, dilakukan oklusi

tali pusat dengan bipolar diatermi untuk memberikan kesempatan bagi janin

yang hidup untuk menurunkan risiko komplikasi neurogenik. Tujuan utama

ablasi dengan laser endoskopik adalah menghentikan sindroma dengan cara

memutuskan transfusi intertwin, tetapi dengan risiko kematian janin oleh

karena kerusakan non selektif pembuluh darah pada kotiledon plasenta. Dari

semua penelitian sampai saat ini, menajemen yang paling tepat belum

didapatkan walaupun manajemen amnioreduksi danlaser endoskopik

menghasilkan survival rates 60% sampai dengan 65% (pada suatu studi

cohort skala besar).2,6

11
1. Amniosintesis Reduksi

Amniocentesis secara serial untuk mengurangi jumlah air

ketuban yang berlebihan dari kantung amnion janin resipien dengan

menggunakan jarum melewati dinding perut ibu (Gambar 3). Jumlah

air ketuban yang dikeluarkan bervariasi berdasarkan volume awal air

ketuban pada janin resipien, umur kehamilan dan adanya kontraksi

uterus selama prosedur tindakan.

Pada umumnya tidak lebih dari 3 liter pada setiap kali prosedur

dan diselesaikan dalam waktu kurang dari 30 menit. Tindakan ini

sementara waktu dapat mengembalikan keseimbangan dalam jumlah

air ketuban pada kedua kantung amnion janin dan dilakukan pada

TTTS stadium I-II yang timbul pada akhir kehamilan. Akan tetapi

tindakan ini memerlukan pengulangan yang dilakukan setiap beberapa

hari sampai dengan minggu dimana jumlah air ketuban kembali

mencapai berlebihan. Prosedur ini dirasakan tidak efektif pada TTTS

stadium III dan IV.

Komplikasi dari prosedur berulang ini yaitu termasuk persalinan

prematur 3%, ketuban pecah dini 6%, infeksi sejumlah 1% dan

pelepasan dini plasenta (abruptio plasenta) pada 1% kasus. Kehamilan

TTTS dengan manajemen amniosentesis berulang dengan angka rata-

rata persalinan pada umur kehamilan 29-30 minggu dengan survival

rate dilaporkan sejumlah 18%- 83%, dimana 56% nya dengan TTTS

lanjut dengan luaran satu janin hidup tanpa kerusakan otak. Mendekati

12
20%- 25% dari janin TTTS yang hidup didapatkan memiliki gangguan

pertumbuhan jangka panjang.2

Gambar 3. Amniosintesis reduksi2

2. Septostomy atau microseptostomy

Septostomy adalah tindakan untuk membuat lubang pada

membran diantara membran ketuban kedua janin dengan

menggunakan jarum (Gambar 4). Lubang ini akan menyebabkan

perpindahan cairan dari kantung ketuban dengan jumlah air ketuban

yang berlebihan (resipien) ke kantung ketuban dengan jumlah sedikit

(donor). Dikarenakan tindakan septostomy menggunakan dengan

jarum yang sama dengan tindakan amniocentesis, komplikasi dari

infeksi, persalinan prematur dan ketuban pecah dini sangat jarang.

Septostomy memiliki risiko dimana lubang yang menghubungkan

kedua kantung amnion menjadi lebih besar oleh karena sobeknya

membran ketuban sehingga memungkinkan kedua janin untuk berbagi

ruang kantung ketuban yang sama (dilaporkan sejumlah 3%). Dalam

kondisi terburuk, tali pusat kedua janin dapat terlilit satu sama lain

13
yang mengakibatkan kematian salah satu atau kedua janin. Pada

penelitian dengan skala besar didapatkan survival rate sejumlah 80%

untuk salah satu janin dan 60% untuk kedua janin.2

Gambar 4. Septostomi atau microseptostimi2

3. Ablasi Laser Pada Pembuluh Darah Plasenta

Pada TTTS stadium II atau lebih, tindakan ablasi laser pada

pembuluh darah pada plasenta yang menghubungkan kedua janin

dapat merupakan tindakan kuratif (Gambar 5). Dengan membuat insisi

kecil pada kulit yang memungkinkan untuk memasukkan instrumen

dengan panduan ultrasonografi kedalam kantung ketuban janin

resipien. Dengan menggunakan fetoscope untuk menemukan

pembuluh darah yang menghubungkan kedua janin pada permukaan

plasenta kemudian “ditutup” dengan menggunakan energi laser,

dilanjutkan dengan amniocentesis hingga mencapai volume normal.

Oleh karena fetoscope memerlukan lubang/insisi pada kulit yang lebih

lebar sehingga dihubungkan dengan komplikasi yang lebih tinggi dari

kontraksi prematur, ketuban pecah dini (15%-20%), abruptio plasenta

14
(2%) dan infeksi, sehingga dengan alasan ini diberikan medikasi untuk

mencegah kontraksi dan infeksi sebelum dan sesudah prosedur.

Sebagai tambahan, terapi laser dapat dihubungkan dengan risiko unik

dimana energi laser dapat menyebabkan perdarahan pada beberapa

area plasenta atau pembuluh darah di permukaan plasenta. Ablasi

dengan laser memiliki survival rate setidaknya salah satu janin sebesar

70%-80% dan keduanya 1/3 kasus. Jika salah satu janin meninggal

akibat prosedur tindakan, kemungkinan bagi janin hidup untuk

timbulnya komplikasi mengalami penurunan dari 35% menjadi 7%

dikarenakan keduanya tidak lagi berbagi pembuluh darah.2

Gambar 5. Ablasi Laser Pada Pembuluh Darah Plasenta2

15
4. Koagulasi Tali Pusat

Pada beberapa kasus didapatkan kondisi dimana pasien sulit

untuk mengambil keputusan terhadap manajemen yang akan

dilakukan oleh karena kemungkinan kematian salah satu janin untuk

menyelamatkan yang lainnya. Prosedur selective cord coagulation ini

dilakukan jika ablasi dengan laser tidak dimungkinkan atau jika salah

satu dari janin dalam kondisi mendekati kematian. Dengan

menghentikan aliran darah pada tali pusat janin yang sekarat, janin

lainnya dapat terlindungi dari konsekuensi kematian saudaranya.

Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan forcep khusus yang

dimasukkan kedalam kantung ketuban janin resipien dengan panduan

ultrasonografi (Gambar 6). Tali pusat dikoagulasi dengan

menggunakan aliran listrik sehingga aliran darah ke janin ini akan

berhenti dan hubungan antara kedua janin akanterputus, tetapi akan

menghilangkankesempatan hidup dari salah satu janin. Komplikasi

dari prosedur ini adalah persalinan prematur dan ketuban pecah dini

20%.

Gambar 6. Koagulasi Tali Pusat

16
5. Kateter Ablasi Radiofrekuensi

Prosedur ini dilakukan untuk kondisi sindroma TRAP. Tali

pusat dari janin dengan acardiac biasanya sangat pendek dan sulit

ditemukan dengan ultrasonografi sehingga sulit untuk menghentikan

aliran darah ke jantung janin dengan cara koagulasi tali pusat

(Gamabar 7). Sehingga sebuah pembuluh darah besar pada acardiac

janin biasanya menjadi ujuan utama. Hal ini dilakukan dengan

menggunakan radio frequency ablation catheter dimana sebuah jarum

khusus digunakan untuk membakar pembuluh darah besar pada janin

yang abnormal, sehingga menghentikan aliran darah dari janin normal

ke janin acardiac. Komplikasi dari infeksi, persalinan prematur dan

ketuban pecah dini 8% sama dengan prosedur lainnya yang

menggunakan jarum dan kesempatan janin normal bertahan hidup

90%.

Gambar 7. Kateter Ablasi Radiofrekuensi

17
Management post partum:

Perawatan medis kembar setelah lahir diarahkan pada masalah yang

berhubungan dengan prematuritas, anemia, polisitemia, dan hidropsfetalis:

1. Pada kembar donor yang anemia memerlukan transfusi RBC yang

memenuhi syarat atau transfuse tukar parsial.

2. Pada kembar resipien polisitemia memerlukan transfuse tukar parsial

untuk menurunkan kadar hematokrit serum.

3. Pada bayi yang baru lahir dengan hidrops fetalis memerlukan ventilasi

mekanik, torakosentesis, perikardiosentesis, dan paracentesis.

I. PROGNOSIS

Tergantung pada usia kehamilan saat lahir dan apakah terjadi iskemia

otak intrauterine. Semakin rendah usia kehamilan saat lahir semakin besar

risiko neurologis atau infeksi paru-paru yang berlangsung lama.

Pertumbuhan terjadi pada post natal sebagian besar kembar donor yang

lebih kecil.6 Tanpa manajemen yang adekuat, TTTS dengan umur kehamilan

kurang dari 24 minggu sejumlah 80%-90% kasus dihubungkan dengan

kematian salah satu atau kedua janin. Jika salah satu janin meninggal, maka

pembuluh darah yang menghubungkan kedua janin akan menempatkan

janin hidup dengan risiko jangka panjang terjadi kerusakan otak pada 1/3

kasus. Pada umumnya, semakin lanjut progresivitas semakin buruk

prognosis janin. Jika TTTS timbul pada umur kehamilan awal (sebelum

umur kehamilan 16 minggu), terminasi kehamilan merupakan suatu pilihan

dengan pertimbangan prognosis yang buruk.3

18
Bahkan meskipun dipantau secara teratur dan nampaknya tanpa

komplikasi, kehamilan diamniotik monokorionik meningkat risiko kematian

janin intrauterine yang tak terduga satu kembar, menempatkan co-twin

beresiko mati atau bertahan hidup dengan cedera neurologis yang

merupakan akibat dari ketidakstabilan dalam sirkulasi plasenta bersama.4

J. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat muncul pada TTTS meliputi:4.9

1. Komplikasi neurlogis

TTTS dikaitkan dengan peningkatan resiko dari gejala

neurologis diperkirakan sekitar 15% kejadian dapat menyebabkan

cerebral palsy. Mobiditas kelainan neurologis karena kelahiran

premature meliputi periventrikular leukomalacia (PVL) dan

traventrikular homoragik. Hal ini disebabkan iskemia oleh karena

ketidakseimbangan hemodinamik anastomosis plasenta. Polisitema

dan vascular status pada resipien dan anemia dan hipotensi pada donor

adalah mekenisme kelainan neurologis. Kematian pada salah satu

kember juga meningkatkan resik gejala neurologis pada bayi yang

hidup.

Gejala neurologis terkadang ditemukan kelainan saat antenatal

atau gambaran pasca kelahiran, namun kelainan pada temuan

ultrasound belum tentu sama dengan gejala neurologis. Pada

ultrasound kranial postnatal bayi yang selamat 29% memiliki

kelainan, 12% bayi yang selamat ditemukan adanya. PVL saat

19
antennal. Lesi yang didapat saat antenatal harus dibedakan dengan

bayi lahir melipuliti perdarahan dan PVL pada pencitraan neonatal.

Akan tetapi dengan tidak adanya TTTS 23% kehamilan monokorion

juga mengalami kelainan saat postnatal pada temuan ultrasound.

2. Komplikasi Kardiovaskuler

Kehamilan kembar monokorion memiliki resiko enam kali lipat

terjadinya kelainan jantung kongenital, kelainan ini bahkan lebih

tinggi dari pada TTTS yaitu 6,9% dibandingan kehamilan kembar

tanpa TTTS sekitar 2,3%. Kelainan yang dapat terjadi yaitu hipertropi

dan dilatasi beventrikular, regurgitasi tricuspid dan menurunkan

fungsi ventricular.Overload volume dan hipertensi sistemik pada bayi

resipien merupakan penyabab terjadinya hipertopi myocardial,

hipertropi kardiomiopati ini dapat menyebabkan stenosis subvalvular

maka terjadi obstruksi pada saluran keluar ventrikel kanan sehingga

pada beberapa kasus dilakukan valvotomi pada bayi. Meskipun

hipertropi beventrikular 2 sering terjadi pada resipien. Meskipun 45%

hingga 50% bayi resipien menunjukkan adanya abnormalitas fungsi

jantung akan tetapi sebagian besar reversible sekitar 5-10% dari bayi

respien yang memiliki masalah jantung jangka panjang.

3. Komplikasi lainnya

Sekitar 48% terjadinya gagal ginjal akut dimana donor>resipien.

Namun, gagal ginjal ini sering sekali bersifat sementara, kelainan

ginjal jangka panjang hanya terjadi 3% bayi yang selamat.

20
Daftar Pustaka

1. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J. and
Spong, C.Y., 2014. William Obstetric 24 edition. New York, hal
2. Nora, H., 2013. Twin Twin Transfusion Syndrome. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala. Aceh:13 (2); 86-95.
3. Suwardewa, T.G.A., Pangkahila, E.S., dan Mulyana, R.S. 2015. Laser
fotokoagulasi padd twin-twin transfusion syndrome (TTTS). Jakarta: hal 4-
48
4. Yusrawati, Effendy, R. 2014. Twin Twin Transfusion Syndrome. Jurnal
Kesehatan Andalas.2014: 3(2)
5. Prawirohardjo, S. 2014. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta. PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
6. Lynn, I.S. 2013. Twin Twin Transfusion Syndrome. Society for Maternal
Fetal Medicine Clinical Guideline. American Journal of Obstetri dan
Gynecology. New York. 2013: 2(1) Hal 3-10
7. Rusda. M., Roeshadi R.H. 2005. Twin to Twin Transfusion Syndrome.
Departemen Obstetri dan Gynecology, Fakultas Kedokteran USU-RSUP H.
Adam Amlik Medan. Majalah Kedokteran Nusantara. 2005: 38(4) Hal 318-
322
8. Montgomery et al.2005. Childbirth education for Multipel Pregnancy part 1:
Prenatal Considerations. Journal of perinatal education.
9. Gabbe et all. 2017. Obstetric Normal And Problem Pregnancies. Seventh
Edition. Elsevier 7 Edition. China. Hal 255-258
10. Kenny, L.C., Jenny E.M. 2017. Obstetrics by Ten Teacher Multiple
Pregnancy. International Student Edition 20. New York. Hal 117-120
11. Kevin, P.H. 2004. Obstetriics Illustrated. International Student Edition.
Elsevier. Six Edition. China. Hal 199-221

21

Anda mungkin juga menyukai