Tim Editor:
Noto Dwimartutie
Ika Fitriana
ISBN : 978-979-19931-7-3
Semoga bermanfaat
Jakarta, Juli 2017
Tim Editor
11 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1ding Temu !irn1ah Geriatri 2017
1 21
1. Status kognitif
Pemeriksaan status kognitif merupakan salah satu evaluasi
preoperatif yang penting untuk dilakukan. Pemeriksaan ini
akan memberikan gambaran kondisi baseline fungsi kognitif
pasien yang berguna untuk membantu penegakan diagnosis
postoperative cognitive dysfunction (POCD). Akan sangat sulit
untuk m enegakkan diagnosis POCD tanpa mengetahui
status kognitif dasar/ awal pasien saat sebelum operasi.12
Adanya gangguan ko �litif sebelum operasi akan berpengaruh
terhadap munculnya luaran buruk pascaoperasi. Sebuah telaah
sistematis dan meta-analysis oleh Smith13, dkk. menunjukkan
gangguan kognitif akan meningkatkan risiko mortalitas pada
pasien yang menjalani operasi fraktur tulang panggul dengan
RR=l,91 (95% IK 1,35-2,70). Gangguan kognitif sebelum operasi
juga menjadi faktor risiko munculnya delirium pascaoperasi
fraktur tulang panggul (OR=3,21; 95% IK 2,26-4,56)14 dan pasca
tindakan CABG (coronary artery bypass grafting) dengan OR
=3,23 (95% IK 1,008-10,356).15 Kondisi delirium pascaoperasi
akan berpengaruh terhadap lama perawatan pasien di rumah
sakit, institusionalization (pemulangan pasien ke nursing home
pascaperawatan), dan mortalitas.15•16
Pemeriksaan kognitif sebelum operasi juga bermanfaat
untuk menentukan apakah pasien memiliki kemampuan
pengambilan keputusan . Klinisi perlu mengkonfirmasi
apakah pasien dapat mendeskripsikan (dalam bahasa
mereka send iri) kondisi medis yang sedang i a alami,
indikasi, keuntungan, risiko Qangka panjang dan pendek),
keuntungan dari tindakan dan tindakan alternatif, serta terapi
konservatif (tanpa prosedur tindakan). 1 0·11 Khusus untuk
pasien geriatri, Association of Anaesthetists of Great Britain and
Ireland (AAGBI) merekomendasikan untuk disampaikan pula
informasi mengenai apakah tindakan yang dilakukan akan
1 31
2 . Status depres i
Diperkirakan terdapat 7 juta populasi dewasa usia 65
tahun ke atas atau sekitar 1 5-20% terkena depresi. Prevalensi
i n i meningkat di antara orang lansia yang m enjalani
pembedahan. Pada sebuah kohort prospektif dari 149 dan
133 pasien yang menjalani artroplasti panggul dan lutut yang
diukur dengan menggunakan Hospital Anxiety Ou tcome Score,
prevalensi ansietas mencapai 27,9% (panggul) dan 20,3% (lutut)
sedangkan prevalensi depresi mencapai 33,6% (panggul) dan
22,7% (lutut). Prevalensi tersebut akan menu run tajam setelah
pembedahan dilakukan.12
Kejadian depresi prabedah akan berpengaruh terhadap
m unculnya kejadian delirium pascaoperasi . Leung17, d kk
menemukan semakin tinggi tingkat depresi, semakin besar
insidens delirium ( p = 0,048) dan semakin l a m a d urasi
delirium pascaoperasi (p=0,027). Bebenip'll penelitian juga
mengaitkan kej ad ian delirium pascaoperasi dengan nyeri
pascapembedahan. Namun, sebuah telaah sistematis oleh
Dadgostar18, dkk m anyatakan belum ada bukti yang konklusif
mengkonfirmasi hubungan antara keduanya.
3 . Status nutris i
Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan prevalensi
orang usia lanjut dengan gizi kurang (undernutrition) di rumah
sakit mencapai 2,14 % dan 2,5 % .1 9•20 Sementara itu, prevalensi
14 1
4 . Status fungsional
Status fungsional didefinisikan sebagai sejumlah perilaku
yang dibutuhkan untuk mempertahankan aktivitas sehari
hari, termasuk fungsi sosial dan kognitif. Status fungsional
dibedakan menjadi kemampuan pasien untuk bergerak dan
melakukan aktivitas dasar (BADL) serta untuk melakukan
aktivitas tambahan (IADL). Kedua instrumen tersebut menilai
derajat ketergantungan pasien pada orang lain.8•23 Pasien
dengan ketergantungan pada orang lain akan dirawat lebih
lama di rumah sakit dan lebih sering mengalami komplikasi
mayor pascaoperasi (mortalitas, emboli paru, dan infark
miokard).24
Meski belum rutin dilakukan pada pemeriksaan preoperatif,
evaluasi status fungsional yang hanya memakan waktu tidak
1 5 1
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Temu iim1ah Ge riatri 2017
p 0.03)25
=
5 . Status frailty
Frailhj (kerentaan) sering didefinisikan sebagai keadaan
dimana terjadinya penurunan dan kerentanan yang identik
dengan terjadinya kelemahan dan penurunan cadangan
fisiologis pada orang usia lanjut. Kerentaan merupakan sebuah
kesatuan tersendiri dengan berbagai macam kemungkinan
m anifestasi (tidak ada manifestasi tunggal) sehingga kerentaan
didefinisikan sebagai sebuah sindrom.26
Sampai saat ini telah banyak dikembangkan sistem skor
atau instrumen u ntuk menentukan status frailty. Namun,
belum ada sistem skor yang menjadi baku ema.s. Sebagian besar
metode/ instrumen yang digunakan untuk menetapkan status
frailty didasari oleh salah satu dari dua konsep pendekatan
yaitu fisik/ fenotip dan akumulasi defi;it/ indeks kerentaan.27
Contoh instrumen yang menggunakan pendekatan ini adalah
Cardiovascular Health S tu dy/CHS (kriteria fenotip yang
dikemukakan Fried), S tu dy of Osteoporotic Fracture (SOF),
Fatigue, Resistance, Ambulation, Illness, Loss of weight (FRAIL).
Contoh instrumen yang menggunakan pendekatan ini yaitu
Frailty Index 40 (FI-40), Frailty Index-Comprehensive Geriatric
Asessment (FI-CGA).
1 6 1
6 . Status kardiovaskular
Suatu prosedur tindakan pembedahan nonkardiak
dikategorikan sebagai risiko rendah bila karakterisktik pasien
dan tindakan digabung memprediksi risiko major adverse cardiac
event (MACE) kematian atau infark miokard < 1 % . Contoh
tindakan dengan risiko rendah antara lain operasi plastik
dan katarak. Prosedur tindakan dengan risiko MACE � 1 %
termasuk dalam tindakan yang meningkatkan risiko (elevated
risk).29
Instrumen yang umum digunakan untuk menilai risiko
kardiak perioperatif adalah Revised Cardiac Risk Index (RCRI).
Pasien yang memiliki 0 atau 1 faktor risiko memiliki risiko
rendah MACE. Sementara itu, pasien dengan � 2 prediktor
memiliki risiko M ACE yang lebih tinggi. Prediktor yang
termasuk dalam RCRI antara lain riwayat penyakit jantung
iskemik, riwayat gaga! jantung kongestif, riwayat penyakit
serebrovaskular, d iabetes mellitus, dan insufisiensi renal
(kreatinin >2 mg/ dL). Selain RCRI, kini telah dikembangkan
instrumen berupa kalkulator risiko berdasar dari database
ACS NSQIP (www.riskcalculator.facs.org). Ada beberapa
keterbatasan dari penggunaan instrumen ini. Salah satunya
yaitu belum tervalidasinya instrumen dengan populasi di
luar NSQIP.29
Moitra30, dkk mengungkapkan skor RCRI merupakan salah
satu prediktor kematian pasien yang menjalani pembedahan
dalam 1 tahun (OR= 1,7 , 95% IK 1,2-2,4 ). Faktor lain yangjuga
dapat menjadi prediktor, yaitu usia � 80 tahun, klasifikasi ASA
1 71
7. Status respirasi
Pengkajian status paru dan respirasi diperlukan agar dapat
mencegah komplikasi paru pascaoperasi. Pada pembedahan
umum insidens komplikasi paru pascaoperasi dilaporkan 5%
dan meningkat menjadi 2 0% pada kelompok yang menjalani
prosedur risiko tinggi. Sebuah systematic review oleh Smetana,
dkk. yang mengungkapkan faktor risiko postoperative pulmonan1
complications (PPC) m enjadi rujukan yang paling sering
digunakan pad a berbagai guidelines.31
Kelas ASA� 2
Ketergantungan fungsional
Gangguan sensori
Penggunaan rokok
Penggunaan alkohol
Obesitas Pembedahan
genitourinary atau
ginekologi
1 8 l
Kesimpulan
19 1
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu �:rrni"jh Geriatri 2017
------·---
Daftar Pustaka
1. United Nations. World Population Ageing. 2015
2. Beliveau MM, Multach M. Perioperative care for the elderly
patient. Med Clin N Am 2003;87:273-89.
3. Data Pasien Perioperatif Geriatri RSCM. 2017.
4. Dhesi J. Setting up a proactive service to make surgery safer for
older people. The Health Foundation. 2013.
5. Cheng S, Yang T, Jeng K, Lee J . Perioperative Care of the Elderly.
Int J Gerontol 2007;1(2):89-97.
6. Dodds C, Foo I, Jones K, Singh SK, Waldmann C. Peri-operative
care of elderly patients - an urgent need for change : a consensus
statement to provide guidance for specialist and non-specialist
anaesthetists. Perioper Med 2013;2(1 ):1-6.
7. Ersan T. Perioperative Management of the Geriatric Patient.
201 5. Availa ble from http : / / emedicine.medscape.com/
article/ 285433-overview
8. Bettelli G . Preoperative evaluation in geriatric surgery :
comorbidity, functional status. Minerva Anestesiol 2011;77(6):637-
46.
9. Long LS, Shapiro WA, Leung JM. A brief review of practical
p reop erative co gnitive s creening tools. Can J Anaesth
2012;59(8):798-804.
1 0. Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland.
Perioperative care of the elderly 2014. Anaesthesia 2014;69
s1 :81 -98. 11. Chow WB, Rosenthal RA, Merkow RP, Ko CY,
Esnaola NF. Optimal Preoperative Assessment of the Geriatric
Surgical Patient : A Best Practices Guideline from the American
College of Surgeons National Surgical Quality Improvement
Program and the American Geriatrics Society. J Am Coll Surg
2012;215(4):453-66.
1 2. Kim S, Brooks AK. Preoperative assessment of the older surgical
patient : honing in on geriatric syndromes. Clin Interv Aging
2015;10:13-27.
13. Smith T, Pelpola K, Ball M, Ong A, Mynt PK. Pre-operative
indicators for mortality following hip fracture su rgery :
l 10 I
I 11 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ten"lu limiah c;eriatri 2017
1 12 I
I 13 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Teinu lirrnah G e riatri 2017
•l?<;O
sooo •t'll-0
•l91Q
lll'm:
woo !
i
•WW
I
•21'.l<tl
�UQl¢
i
:
10,00
.:i:>m I
l awso i
I
l 0.00 I
0....>4 � �� �!.t 4� jfo�oji 0.i<l'� ;lw ii� i
i
<IS'*""" lS0S,,,t.;..,,
W• "'''"" \
-"---------------,.-�--- " '-' ""- ��.!
1 14 I
73,0
72,0
71,0
70,0
70.07
69,0
69,43
69,21
690
68,0
67,0
rS>'b
"\: "\:rS>°"
�<:>
'\,<:>
........
'\,(;) '\-o'\."*' ,.,_o
....,.,
,.,_ o
'>�
<:>,,,
�
r;y"!:
'\,<:!)"'
''.. '-,(· !
lU !;
'
!';('
i
lllllllllltlttlllltllj' iiiiiii
.,
1 1 1 i • � .= • • r i i • � • • r j • • 1 � • • 1 1 ; t 1 : J J- •
•f� •j••lr r1j1.1114-t'r
i
·
1·
1�f. t
fiI I 1 I I - j ii j Jj j: I t I5 i Ji 5II 1J
J JJ,
j J
I 15 I
1 16 I
1 17 1
1 18 I
Frailty
Fra i l ty s e r i n g d i s e b u t k a n s e b a g a i k e l e m a h a n
m ultidimensional dengan ad anya v u lnerabilitas d a n
penurunan kapasitas fungsional. FrailhJ didefinisikan sebagai
gangguan homeostasis dengan gambaran disregulasi terhadap
jalur fisiologis dan molekular. Hal ini dapat dipengaruhi oleh
masa perioperatif ketika pasien terpapar stress dan inflamasi.
Berbagai penelitian terbaru menyebutkan bahwa prevalensi
frailty ditemukan meningkat pada pasien yang menjalani
pembedahan. Bahkan disebutkan bahwa frailty merupakan
prediktor bermakna terhadap morbiditas dan mortalitas
pascaoperasi.
Frailty merupakan proses yang dinamik pada pasien
geriatri. Perubahan status pasien dapat berpengaruh pada
kesntasan jangka panjang. Telaah Cochrane yang dimuat dalam
database menyebutkan efek dari rehabilitasi fisik, seperti latihan
fisik, dapat mernperbaiki independensi, kekuatan otot dan gait.
Studi observasional menyebutkan pemberian Angiotensin
Converting Enzyme (ACE) inhibitor dapat memperbaiki fungsi
otot dan meningkatan kapasitas fungsional. Vitamin D dosis
rendah juga dapat diberikan untuk menurunkan sarkopenia.
Pada masa perioperatif frailhj harus dinilai untuk setiap
pasien geriatri yang m enjalani pembedahan. Evalu asi
preoperatif hams menentukan derajat frailty yang diderita oleh
pasien sebelum operasi. Apabila pasien dalarn keadaan frailty
yang berat maka tatalaksana perioperatif harus dilakukan
dengan berhati-hati. Angka kejadian komplikasi pascaoperasi
juga meningkat.
I 19 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Ternu !irniah Geriatri 2017
__.._
(.··-ti.31"1'4�
·�t-l<�
. ""'...,,,
'w. - -· ·· · --·-·
l
l· �tt_���-m
� -�t•j
�-· '
) .�..__. (, � I
l ·--ii<l-'ll
i · - (�W
1 -J -..g �;.
) ,"""" � .
L.�.� �···�···"·· ··-·· �J
I 20 I
Kesimpulan
Referens i
1. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. InfoDATIN: Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2016.
2. Optimal perioperative management of the geriatric patient: a best
practices guideline from the ACS NSQIP/ American Geriatrics
Society.
3. Etzioni DA, Liu JH, Maggard MA, et al. The aging population
and its impact on the surgery workforce. Ann Surg 2003; 238(2):
170-177.
4. Kanonidoe Z, Karystianou G. Anesthesia for the elderly.
Hippokratia 2007; 1 1 (4): 175-177.
5. Bettelli G. Anaesthesia for the elderly outpatient: preoperative
assessment and evalua tion, a na esthetic technique and
postoperative pain management. Curr Opin Anaesthesiol 2010;
I 21 I
23(6): 726-31.
6. Gosney M. Acute confusional states and dementias: perioperative
considerations. Curr Anaesth Crit Care 2005; 16: 34-39.
7. Rasmussen LS, Johnson T, Kuipers HM, et al. Does anaesthesia
cause postoperative cognitive dysfunction? A randomised study
of regional versus general anaesthesia in 438 elderly patients.
Acta Anaesthesia! Scand 2003; 47: 260-266.
8. Dasgupta M, Rolfson DB, Stolee P, et al. Frailty is associated
with postoperative complications in older adults with medical
problems. Arch Gerontol Geriatr 2009; 48(1) : 78-83.
I 22 I
I 23 I
1 24 I
Prehabilitasi
1 25 I
Kesimpulan
1 26 1
Daftar Pustaka
1. Halter JB, Ouslander JG, Studenski S , High KP, Asthana S
(Professor of gerontology), Su piano MA, et al. Hazzard' s geriatric
medicine and gerontology.
2. Cabilan CJ, Hi nes S, M u n d a y J . The effec tiveness o f
prehabilitation o r preoperative exercise for surgical patients:
a systematic review. JBI Database Syst Rev Implement Reports
[Internet] . 2015;13(1):146-87. Available from: http:/ / content.
w khea Ith.com/ link back/ openurl?sid= WKPTLP:landingpage
&an=01 938924-201513010-00014
3. Santa Mina D, Clarke H, Ritvo P, Leung YW, Matthew AG, Katz
J, et al. Effect of total-body prehabilitation on postoperative
outcomes: A systematic review and meta-analysis. Physiother
(United Kingd o m ) [Internet] . The Chartered Society of
Physiotherapy; 2014;100(3):1 96-207. Available from: http://
dx.doi.org/ 10.1016/ j. physio.201 3.08.008
4. Martin F. Comprehensive Assessment of the Frail Older Patient
British Geriatrics Society [Internet]. 201 0 [cited 201 7 Jul 4].
Available from: http:/ / www.bgs.org.uk/ good-practice-guides/
resources/ good practice/ gpgcgassessment?jjj=1499181401244.
1 27 I
Tatalaksana Mutakhir
Pembesaran Prostat Jinak
Ponco Birowo
Definisi
Etiologi
I 28 I
Manifestasi Klinis
1 29 1
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1n9 Temu ! i rrna h G e n a t ri 2017
Gejala iritasi:1-3
Frekuensi: sering miksi;
Urgensi: rasa tidak dapat menahan lagi saat ingin miksi;
Nokturia: terbangun saat malam hari untuk miksi;
Inkontinensia: urin keluar di luar kehendak
Tatalaksana
I 30 I
b. Farmakologi
Keputusan untuk menatalaksana BPH dengan farma
koterapi hams berdasarkan evaluasi keuntungan yang
didapatkan dari h ilangnya gejala dibandingkan efek
samping potensial yang dapat terjadi akibat obat.4
I 31 I
I 32 I
I 33 I
1 34 1
I
H�
Edukasi + saran g_CU@. hidup
storage?
I
(+ }! (� Edukasi + sa ra n ga¥i!. hidup
panjang? blocker
I
(+)i (J
Edukasi + saran W,9; hidu p dengan atau tanpa 5 a-
� Tambahkan antagonis
Gejata penyimparum
__...,. reseptor muskarinik
residu urin
I 35 I
c. Pembedahan
Pembedahan dapat memperbaiki klinis pasien BPH secara
objektif. Indikasi pembedahan antara lain:1•3
Retensi urin;
Infeksi saluran kemih berulang;
Hematuria makroskopis;
Gaga! ginjal;
Divertikulum buli yang besar;
Batu buli;
Keluhan pasien sedang hingga berat;
Tidak ada perbaikan dengan terapi non-bedah; atau
Pasien menolak pengobatan medikamentosa
I 36 I
C&n fi!W
� i.oo.r
��?
I 37 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros:ding Ternu Hni1ah Geriatri 2017
I 38 I
I 39 I
Pendahuluan
1 40 1
1 41 I
Metabolisme karbohidrat
1 42 1
Metabolisme protein
Metabolisme lemak
1 43 1
I 44 I
1 45 1
1 46 1
1 47 1
Kesimpulan
Tatalaksana nutrisi perioperatif merupakan salah satu
komponen penting dalam penatalaksanaan perioperatif pasien
usia lanjut. Nutrisi parenteral menjadi salah satu pilihan sesuai
indkasi dalam memperbaiki luaran klinis pasien.
Daftar Rujukan
1. Gilliis C, Carli F . Prom oting perioperative metabolic and
nutritional care. Anasthesiology 2015;123:1455-72
2. Desborough JP. The stress response to trauma and surgery. Br J
Anaesth 2000;85:109-17
3. Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, Fearon K, Weimann A, Bozzetti
F. ESPEN guidelines on parenteral nutrition: surgery. Clin Nu tr
2009;28:378-86
4. Weimann A, Braga M, Carli F, Higashiguchi T, Hubner M, Klek
S, et al. ESPEN guideline: clinical nutrition in surgery. Clin Nutr
2017;36:623-50
5. Martindale RG, McC!ave SA, Taylor B, Lawson CM. Perioperative
nutrition: what is the current landscape?. JPEN JParenter Enteral
Nutr. 2013;37:5S-20S
6. Abdelhamid Y A, Chapman MJ, Deane AM. Peri-operative
nutrition. Anaesthesia 2016;71(suppl.1);9-18
7. Lomivorotov VY, Efremov SM, Boboshko VA, Nikolaev DA,
Vedernikov PA, Deryahon M N, et al. Prognostic value of
nutritional screening tools for patients scheduled for cardiac
surgery. Interact Cardiovasc Thorac Surg. 2013; 16(5): 612-618.
I 48 I
1 49 1
Pendahuluan
I 50 I
1 51 I
Delirium
Delirium terjadi secara akut dalam hitungan jam sampai
dengan hari dan dapat bertahan sampai dengan hitungan
m inggu . Gejala yang tampak dapat berupa d isorientasi,
atensinya terganggu, gangguan persepsi seperti ilusi maupun
h alusinasi, h iperaktif atau hipoaktif secara psikomotor,
gangguan siklus bangun-tidur, perubahan mood, serta
gangguan proses pikir. Pada ODD perbaikan delirium dapat
lebih lama, berlangsung berminggu-minggu bahkan bulan.1•3.4
Hal ini m ungkin berhubungan dengan p roses penuaan,
gangguan metabolik, hipoksia serta kondisi demensia sendiri
yang sangat rentan terhadap perubahan kimiawi- fisiologis
di otak
B a g a i m a n a cara melakukan pencegahan delirium
post-operasi? Dapat dilakukan berbagai cara diantaranya
mem persiapkan kondisi mental dan fisik pasien sebelum
operasi, penilaian risiko yang adekuat, peninjauan obat-obatan,
rencana rehabilitasi setelah operasi serta deteksi dini dari gejala
dan tanda delirium. Untuk deteksi dinilai staf medik dapat
dipergunakan instrumen CAM (confusion Assessment Method)
yang umum dipergunakan di UGO maupun ICU.
Sebelum menjalani operasi seringkali pasien usia lanjut
memiliki kekhawatiran yang nantinya berpotensi sebagai
m asalah preoperatif dan pascaoperasi. Pada pasien yang
memiliki kekhawatiran atau kecemasan berlebih maka
tindakan staf yang efektif adalah komunikasi yang baik,
mulai dari informed consent sampai dengan penjelasan risiko
maupun program rehabilitasi sesudah operasi yang dapat
terjadi agar terdapat persepsi yang sama antara dokter dan
harapan pasien.
I 52 I
I 53 I
Depresi pascaoperasi
I 54 I
1 55 I
Penutup
Tindakan operasi pada orang berusia lanjut dengan
dem ensia ad alah hal yang perlu dipertim bangkan baik
baik manfaat dan risiko yang potensial terjadi sesudahnya.
Persiapan operasi adalah hal yang paling penting termasuk
kondisi fisis dan psikis yang prima disamping penyusunan
care plan yang komprehensif, dukungan keluarga dan tim
medis yang solid.
Manajemen peri-operatif sebaiknya dipimpin oleh seorang
manager (dokter atau perawat atau staf lain) yang khusus
menangani pasien usia lanjut dengan demensia. Fokus dari
tatalaksana adalah ku alitas hidup pasien sehingga aspek
mental emosional maupun kenyamanan fisik menjadi sangat
penting. Kualitas hidup seorang lanjut usia dengan demensia
sangat erat berkaitan dengan pandangan hidup, nilai-nilai
budaya dan spiritual, relasi sosial dan kapasitas kemandirian
selain faktor finansial dan kesehatan.
Referensi
1. Marc E . Agronin, Gabe J . Maletta . Principle and Practice
of Geriatric Psychia try . Lippincot Williams and Wilkins.
Philadelphia 2006.
2. Sadock, BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock's Synopsis Of
Psychiatry Eleventh Edition. Wolters Kluwer. 2015
3. James E. Spar, Asenath La Rue. Geriatric Psychiatry, second
edition. American Psychiatric Press. Washington - London, 1997.
4. Mohanty, S, et al. Optimal Perioperative Management of the
Geriatric Patient: A Best Practices Guideline from the American
College of Surgeons NSQIP and the American Geriatrics Society.
Elsevier Inc. 2015.
5. Griffiths, R. Et al. Peri-Operative Care of the Elderly 2014. AAGBI
Safety Guideline: Anasthesia 2014; 69 s1: p 81 -98.
6. Linda Clare. Neuropsychological Rehabilitation and People With
Dementia. Psychological Press. First published. 2008.
I 56 I
/ 57 /
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
� Presiding Ternu Hm1ar, Geriatri 2 0 1 7
Pendahuluan
I 58 I
I 59 I
Anamnes i s dan PJ
SISTEM Klinis, AMT,
. ..
//�----
(\. :��I/
-- �...,>\,,..,
--
K _.(_�-
...-
.PSll<O-
KOGNJTIF
\
-- ---.....
) '
M MSE, GOS
, ! �-,.._
\, I ./( '\,\ /
""·"' I __ ./ '--- \ __.,./
50SlAL I
FUNGSIONAL
....______
.. ,,,/,. Anam nesis, kunjunga n
AOL, IAO L, MNA rum a h
1 60 1
Komponen pasien:
• Anamnesis
Bio-psiko-sosial
Nutrisi
Anamnesis sistem
• Pemeriksaan fisik
Um um
Neurologik dasar
• Pemeriksaan status fungsional
• Pemeriksaan status mental
• Pemeriksaan penunjang
• Pengkajian iatrogenesis, lingkungan, dukungan
• Penatalaksanaan dengan pendekatan interdisiplin
I 61 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• P r osiding Temu limiah G e n a t ri 2 01 7
Komponen provider:
• Dokter anggota tirn inti, minimal adalah:
Internist-konsultan Geriatri (minimal 1 )
Atau internist dengan pelatihan geriatri sesuai
Kurikulum Geriatri untuk Internist (Kongres Nasional
PERGEMI 1998)
Dokter spesialis Rehabilitasi Medik
Dokter spesialis Kedokteran Jiwa
• Perawat:
Perawat gerontik (minimal 24 Ns/10 pasien)
[Akademi/ FIK] + pelatihan geriatri 80 jam (40 %
kuliah, 60% praktek + diskusi kasus)
Komponen sistem:
Approach: interdisiplin
Intensitas perawatan yang 'tinggi'
Ruang rawat khusus
Program Tim selama15 menit; dilanjutkan oleh perawat
selama 15 menit; dan kemudian oleh keluarga selama 15
menit
Disiplin terkait langsung merawat tanpa konsul
Kunjungan penyelia minimal 1 kali/ minggu
Kunjungan tim terpadu geriatri (TTG) 1 kali/ minggu
Rapat TTG + konsultan lain 1 kali/ minggu
Round table discussion (RTD) perawat 1 kali/ minggu
D ischarge planning dijelaskan sejak seminggu sebelum
pulang
I 62 I
I 63 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1ng Teinu Hrrnah Geria1ri 2017
I 64 I
1 65 1
Simpulan
I 66 I
Daftar Pustaka
1. D e Buyser SL, Petrovic M , Taes YE, Vetrano DL, Corsonello A,
Volpato S, Onder G.
2. Functional Changes during Hospital Stay in Older Patients
Admitted to an Acute Care Ward: A Multicenter Observational
Study. PloS ONE May 2014;9(5):1 -7.
3. Chen L, et al. The Effect of Taiwan's NH! on Access and Health
Status of the Elderly. Health Economics 2006.
4. Donelan K. The Elderly in Five Nations: The Importance of
Universal Coverage. 2000.
5. Europe Union Health Statistics 201 3. http: / / ec .europa.eu/
eurostat/ statistics
6. Kobayashi Y et al. Five Decades of Universal Health Insurance
Coverage in Japan: Lessons and Future Challenges . JMAJ
2009;52(4):263-268.
7. Lin KP, Chen PC, Huang LY, Mao HC, Chan DC. Predicting
Inpatient Readmission and Outpatient Admission in Elderly: A
Population-Based Cohort Study. Medicine 2016 April;95(6):1 -7.
8. Morandi A, Bellelli G, Vasilevskis EE, Turco R, et al. Predictors
of Rehospitalization among Elderly Patients admitted to a
Rehabilitation Hospital: the Role of Polypharmacy, Functional
Status and Length of Stay. J A m Med D i r Assoc. 201 3
October;14(10):761-767.
I 67 I
Pendahuluan
1 68 1
Xerosis Cutis
Xerosis kutis atau kulit kering adalah m asalah yang
sering ditemukan pada usia Janjut. Insidens dan keparahan
meningkat seiring pertambahan usia.1 Prevalensi bervariasi
mulai 29,5-85% . Kulit kering menyebabkan keluhan gatal,
rasa terbakar, tersengat dan kulit seperti tertarik. Kulit kering
merupakan penyebab tersering pruritus generalisata pada
usia lanjut.4
I 69 I
Diagnosis
Kulit kering sering ditemukan pada tungkai bawah
sisi anterolateral, bokong, paha, perut, pinggul dan lengan.
Namun dapat juga mengenai aksila, lipat paha, wajah dan
scalp. Pada kulit kering yang ringan nampak jala-jala halus
berwarna merah muda dengan sisik halus atau retak-retak.
Pada kulit kering yang sedang kemerahan lebih nyata dan
retak-retak menyerupai porselen yang retak-retak dan pada
kulit kering yang berat tampilan kulit bersisik tebal seperti
kulit ikan (iktiosis). 6
Tatalaksana
Tujuan mengobati kulit kering adalah untuk mengem
balikan s a w a r e p i d e r m is k u l i t d a n m e m p ertahankan
kelembaban stratum korneum .
1 70 I
I 71 I
Herpes Zoster
Definisi
Herpes zoster (HZ) atau shingles merupakan reaktivasi
virus varisela zoster yang bersifat laten pada ganglia sensoris.
Penuaan diketahui sebagai faktor risiko primer. Neuralgia pasca
herpes (NPH) pada distribusi saraf kutan dapat muncul dari
30 hari sampai 6 bulan setelah lesi HZ sembuh.8 Berdasarkan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2016),
vaksin untuk mencegah HZ dan NPH direkomendasikan untuk
individu berusia 60 tahun ke atas. 9
Bertahun-tahun setelah pajanan inisial terhadap virus
varisela zoster yang m enyebabkan v arisela zoster, HZ
dapat terjadi akibat reaktivasi virus tersebut. Herpes zoster
m e ru pakan ruam vesikuler dengan nyeri, yang dapat
m enyebabkan d isabilitas dan bertahan bulanan sampai
tahunan. Walaupun Herpes Zoster dapat bersifat swasirna,
namun dapat menjadi serius. Hal ini dikenal sebagai NPH,
komplikasi kronik tersering dari Herpes Zoster dan nyeri
neuropatik yang paling um um ditemukan setelah infeksi.10
Neuralgia pasca herpes adalah nyeri neuropati kompleks
akibat kerusakan saraf perifer berkelanjutan selama terjadinya
H Z . 1 1 Secara konvensional, NPH didefinisikan sebagai
nyeri dermatomal yang bertahan setidaknya 90 hari setelah
m unculnya ruam H Z . Skala Likert menjelaskan bahwa
intensitas nyeri klinis NPH minimal ditentukan dengan skor
>40 (skor 0 tidak nyeri, sampai 100 nyeri paling berat).12
Epidemiologi
Insidens HZ ditentukan oleh faktor-faktor yang mem
pengaruhi hubungan pejamu dengan virus. Faktor risiko utama
terjadinya HZ beserta kom plikasinya adalah usia 50 tahun dan
lebih, karena terdapah1ya penurunan imunitas selular spesifik
terhadap virus varisela z<;>ster.13 Estimasi insidens keseluruhan
HZ adalah sekitar 3.4-4.82 per 1000 orang per tahun, yang
I 72 1
meningkat lebih dari 11 per 1000 orang per tahun pada individu
berusia setidaknya 80 tahun. Mortalitas HZ dilaporkan jarang
terjadi, dengan mayoritas kematian ditemukan pada yang
berusia setidaknya 60 tahun.14
Patogenesis
Ketika infeksi primer virus varisela zoster atau cacar air
sudah teratasi, partikel virus akan tetap berada di akar dorsal
atau ganglia sensoris dan bersifat dorman. Pada periode laten
ini, mekanisme imunologis pejamu menghambat replikasi
v irus, tetapi virus varisela zoster akan tereaktivasi jika
mekanisme imunologis pejamu melemah. Saat virus varisela
zoster reaktivasi, virus bermultiplikasi dan menyebar pada
ganglia, menyebabkan nekrosis dan inflamasi neuronal, lalu
berjalan sepanjang saraf sensori dan terlepas pada saraf akhir di
kulit, sehingga menyebabkan ruam vesikular dan neuralgia.13
Manifestasi Klinis
Pada u m u mnya, HZ tidak menular seperti varisela
zoster dan m engenai indididu dewasa usia 20-50 tahun.
Gejala prodromal yang ditemukan berupa letih, nyeri kepala,
fotofobia, sensasi kulit abnormal, dan terkadang demam.
Gejala-gejala ini dapat dirasakan satu sampai lima hari sebelum
ruam muncul. Gejala sensasi kulit abnormal dapat berupa
gatal, rasa terbakar, hiperestesia, dan nyeri berat. Gambaran
klinis tipikal adalah vesikel berkelompok di atas kulit yang
kemerahan dan agak bengkak. Vesikel berkelompok ini
biasanya terdapat hanya pada satu sisi tubuh, terbatas pada
kulit yang mempunyai persarafan dermatomal yang sama.
Munculnya vesikel dapat didahului atau bersama dengan
rasa nyeri.8
Gambaran klinis HZ pada usia lanj u t menyebabkan
nyeri prodromal yang lebih hebat dan lebih lama, serta nyeri
akut yang lebih hebat. Selain itu, ruam kulit dapat menjadi
atipikal, dengan gambaran yang lebih berat, diseminata,
1 73 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Terr:u lirrnah Geriat ri 2017
Diagnosis
Secara klinis, HZ dapat didiagnosis dengan adanya
ruam v esikuler yang nyeri dengan distribusi u nilateral
dan dermatomal. Jika gejala nyeri yang muncul pada fase
prodromal, diagnosis akan menjadi sulit untuk ditegakkan.
Diagnosis HZ akan menjadi mudah untuk ditegakkan jika
ruam kulit dan nyeri telah muncul bersamaan. Diagnosis hams
dapat ditegakkan sesegera mungkin (dalam kurun waktu 72
jam setelah ruam muncul), agar tatalaksana dapat dimulai
secepatnya untuk mencapai hasil yang optimal. Gambaran
klinis klasik dari HZ yang dapat menjadi pacuan menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut.8
• Gejala prodromal: nyeri yang berlangsung beberapa hari
atau minggu sebelum ruam kulit muncul, dan terasa di
dermatom yang terlibat
• R u a m k u l it : u nilateral, dermatomal, berkelompok,
biasanya mulai sebagai erupsi makulopapular dan menjadi
vesikel dengan krusta setelah 7-10 hari, sembuh dalam 2-4
minggu
• Nyeri herpetik: sensasi terbakar, sensasi tertusuk, nyeri
yang mendalam, kesemutan, gatal, dapat bertahan sampai
30 hari dari awal munculnya ruam
Tatalaksana
Tujuan tatalaksana HZ adalah menghambat replikasi
virus, m encegah penyebaran lesi kulit dan komplikasi,
1 74 1
I 75 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Temu lim1ah G e n a t ri 2017
Pruritus
Definisi
Pruritus atau gatal adalah sensasi tidak menyenangkan
yang membangkitkan keinginan untuk menggaruk.16-18 Pruritus
merupakan gejala yang cukup dominan dari berbagai penyakit
ku lit serta m anifestasi yang sering dari berbagai penyakit
sistemik. Beauregard dan Gilchrest menemukan bahwa dua
per tiga pasien geriatri mengeluhkan pruritus sebagai keluhan
utama. Selain itu, 11,5% pasien usia lanjut yang berobat ke
rumah sakit berkaitan dengan pruritus. Pada pasien usia diatas
85 tahun, insidensi pruritus meningkat mencapai 20 % .19 The
Intemational Forum for the Study of Itch (IFSI) pada tahun 2007
membagi pruritus menjadi 3 kelompok:
1 . Pru ritus dengan kelainan primer atau kelainan kulit
spesifik (dermatosis primer),
2. Pruritus tanpa ditemukan dermatosis primer (pada kondisi
kelainan sistemik, seperti endokrin, metabolik, infeksi,
hematologi, neoplasma, neurologi, psikiatri dan pruritus
yang dicetuskan oleh obat)
3. Pruritus pada kulit dengan kelainan kulit sekunder seperti
prurigo nodularis dan liken simpleks.20-22
Etiologi
Menurut penyebabnya, pruritus dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
a. Etiologi eskternal, antara lain pakaian (bahan wol,
pelembut kain), daki, ektoparasit (Enterobius vern1icularis,
Sarcoptes scabiei), gigitan binatang (nyamuk, semut), bagian
tertentu dari tanaman, infeksi kulit, udara yang terlalu
kering.
b. Etiologi internal, antara lain penyakit kulit pruritik,
reaksi hipersensitivitas terhadap obat, efek samping obat,
penyakit sistemik, gangguan psikologis.23-24
I 76 I
Patogenesis
Mediator pruritus adalah zat pada kulit yang dapat meng
indu ksi sensasi gatal dan menimbulkan keinginan untuk
menggaruk.25 Sejauh ini belum dijumpai senyaw a yang secara
eksklusif menyebabkan pruritus, karena pru ritogen klasik
misalnya histamin dapat juga membangkitkan rangsang nyeri
dan sebaliknya mediator nyeri misalnya bradikinin ternyata
mampu pula memberi sensasi gatal.25-27
1 77 1
Tatalaksana
Terapi pru ritus tergantung kepada identifikasi dan
tatalakasana penyebab, baik itu sistemik maupun terlokalisasi
pada kulit. Sensasi gatal semakin meningkat bila kulit hangat,
sehingga dianjurkan untuk mendinginkan kulit termasuk
mandi, mengunakan pakaian tipis dan pendingin ruangan.
Lotion pendingin seperti kalamin lotion atau menthol 1 % juga
dapat membantu.26
Meskipun dapat mengurangi pruritus akibat penyakit
radang kulit, kortikosteroid bukan merupakan anti pruritus.
Antihistamin hanya diberikan bila pruritus diakibatkan oleh
histamin, seperti urtikaria. Berikut merupakan beberapa obat
yang dapat meredakan pruritus sesuai dengan indikasinya:
1 78 I
+ 3% dermatitis kontak,
polidoca- psoriasis, pruritus
nol uremik
Dermatitis
A. Dermatitis Statis
1 79 I
Diagnosis
Sering ditemukan edema dan varises vena pada tungkai
bawah, terutama saat pasien sedang berdiri dalam waktu yang
lama. Lama kelamaan, kulit akan berwarna merah kehitaman
dan timbul purpura akibat ekstravasasi sel darah merah ke
dalam dermis, serta hemosiderosis. Awalnya lesi ini akan
muncul pada tungkai bawah bagian medial atau lateral di
atas maleous, kemudian meluas sampai di bawah lutut dan
punggung kaki. Eksematosa selanjutnya akan mengalami
perubahan berupa eritema, skuama, eksudasi (kadang), dan
gatal. Jika sudah berlangsung lama, sepertiga kulit tungkai
bawah akan menjadi tebal dan fibrotik, sehingga tampak
seperti botol yang terbalik (lipodermatosklerosis).29
D iagnosis d itegakkan berdasarkan gam bar an klinis,
dengan d iagnosis banding antara lain dermatitis kontak,
dermatitis numularis, dermatitis asteatotik, dan penyakit
Scharnberg. Dermatitis stasis sering terjadi berulang dan
dapat menyebabkan komplikasi berupa ulkus di atas maleolus
(ulkus venosum atau ulkus varikosum) dan infeksi sekunder
(misalnya selulitis dan limfangitis).
Tatalaksana
Ulkus merupakan penyulit yang paling sering ditemukan
pada dermatitis stasis. Oleh karena itu, diagnosis dini dan
tatalaksana dermatitis stasis yang tepat sangat penting.
Lesi yang basah dan mengeluarkan eksu dat harus
dikompres hingga kering. Antibiotik topikal (misalnya asam
1 80 1
B. Dermatitis Numularis
Definisi
Dermatitis numularis merupakan peradangan kulit
yang kronis dengan lesi berbentuk koin (numular) atau agak
lonjong dan berbatas tegas. Efloresensi berupa papulovesikel
yang pada umumnya mudah pecah sehingga membasah
(oozing). Patofisiologi dermatitis numularis belum dipahami
sepenuhnya. Penyakit ini dihubungkan dengan kulit kering,
temperatur, iritan, reaksi kulit atopi, gangguan integritas kulit,
dan sebagainya.33
Diagnosis
Diagnosis dermatitis numularis ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis. G ambaran klinis penyakit ini sangat
bervariasi, mulai dari awitan yang mendadak berupa plak
I 81 I
Tatalaksana
Faktor pemicu dermatitis numularis sebaiknya diiden
tifikasi. Pasien sebaiknya menghindari suhu ekstrim, bahan
wol atau bahan lain yang dapat menyebabkan iritasi, dan
penggunaan sabun yang berlebihan. Pelembab atau emolien
sebaiknya diberikan jika kulit kering.33
Kortikosteroid topikal potensi menengah hingga kuat
dengan vehikulum krim atau salap diberikan sebagai terapi
lini pertama. Kortikosteroid sistemik hanya diberikan dalam
jangka waktu yang pendek pada kasus yang berat dan refrakter
terhadap pengobatan. Antihistamin oral dapat diberikan untuk
mengatasi pruritus. Untuk lesi kronik, vehikulum salap lebih
efektif, dapat juga diberikan preparat ter (liquor carbonis
detergens 5-1 0 % ) a tau penghambat kalsineurin, misalnya
takrolimus atau pimekrolimus. Lesi yang eksudatif sebaiknya
dikompres d u lu dengan solusio permanganas kalikus.
Antibiotik dapat diberikan jika ditemukan infeksi bakteri.
Lesi yang luas dapat diterapi dengan penyinaran broad atau
narrow band ultraviolet B (UVB).33
Dermatitis Seboroik
Definisi
Den:�atitis seboroik merupakan kelainan kulit papu
loskuamosa yang umum terjadi dengan predileksi di daerah
kaya kelenjar sebasea, antara lain scalp, wajah, telinga, badan,
I 82 I
Manifestasi Klinis
Pada pasien dengan dermatitis seboroik, terdapat tahap
seboroik, yang sering bersamaan dengan perubahan warna
kulit menjadi keabuan, putih, kekuningan, atau kemerahan,
terbukanya folikel yang menonjol, dan skuama pityriasiform
ringan hingga berat. Pada pasien dewasa, um umnya lesi
terdapat pada scalp, wajah, kelopak mata (blepharitis), tubuh
(petaloid, pityriasiform, fleksural, eksematosa, folikular,
generalisata, etritrodermik). Penyakit ini sering terjadi kronis
dan relaps pada dewasa.35
I 83 I
Tatalaksana
Tujuan tatalaksana penyakit ini adalah untuk mengontrol
penyakit, dan bukan untuk menyembuhkannya. Dermatitis
seboroik pada scalp dapat diobati dengan shampo yang
m engand ung zinc pyriothione, selenium sulfida (1-2,5 % )
imidazol (1-2 % shampo, krim, lotion atau foam ketokonazol),
ciclopirox (krim, gel, dan shampo), asam salisilat (shampo,
krim), coal tar (krim, sham po), atau detergen ringan. Ketombe
(pityriasis simplex capillitii) meliputi wajah dan skalp dengan
skuama ekstensif, dengan atau tanpa inflamasi dan eritema
ringan. Skuama tebal dan berat dapat merespons terhadap
aplikasi topikal kortikosteroid yang dibiarkan semalaman
yang ditutup dengan shower cap jika diperlukan atau dengan
asam salisilat. Terapi alternatif ainnya yaitu campuran minyak
kelapa (salep kombinasi coal tar, asam salisilat dan sulfur).40-42
Spray dan pomade rambut harus dihentikan terlebih
dahulu, dan infeksi sekunder harus ditangani. Pasien dengan
inflamatori berat yang tidak merespons terhadap regimen di
atas dapat diberikan glukokortikoid sistemik selama 1 minggu
(prednisolon 0,5 mg/ kgBB / h ari), dengan pemberitahuan
kepada pasien mengenai efek samping dan kemungkinan
m u nculnya ruam kembali jika pengobatan d ihentikan .
Pengobatan wajah, badan, dan telinga meliputi glukokortikoid
topikal potensi rendah.40-42
I 84 I
I 85 I
Manifestasi Klinis
Manifestasi DKI sangat beragam, tergantung iritan dan
pola paparannya. Oleh karena itu , DKI diklasifikasikan
menjadi 10 jenis, yaitu reaksi iritan, DKI akut, DKI lambat akut,
DKI kronik kumulatif, iritasi subjektif, iritasi suberitematosa,
dermatitis fraksional, reaksi traumatik, reaksi pustular atau
akneiform, dan eksema asteatotik iritan.49•51 ·53
Diagnosis
Diagnosis DKI ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anarnnesis perlu ditanyakan pekerjaan
pasienm hobi, riwayat pengobatan, riwayat paparan atau
gesekan, paparan terhadap lingkungan yang basah/ lembab,
sabun, detergen, atau zat alkali, dan kelembaban lingkungan
relatif < 35% . Perlu disingkirkan kemungkinan dermatitis yang
lain misalnya dermatitis kontak alergi (DKA).45•54
Tatalaksana
Prinsip u tama tatalaksana DKI adalah menghindari
paparan terhadap bahan iritan yang menjadi penyebab dan
proteksi terhadap paparan lebih lanjut. Jika hal ini dapat
dilaku kan dan DKI membaik dengan sen dirinya, maka
tatalaksana selanjutnya dapat berupa pemberian pelembab
(emolien atau dressing oklusif) untuk memperbaiki barier
kulit. Jika diperlukan, pasien dapat diberikan kortikosteroid
topikal (misal hidrokortison) a tau kortikosteroid potensi kuat
untuk kasus kronis.47•53
Daftar Pustaka
1. Jafferany M, et al. Geriatric dermatoses: a clinical review of
skin diseases in an aging population. International Journal of
Dermatology. 201 2 (51): 509-522
2. Reszke R, et al. Skin disorders in elderly subjects. International
Journal of Dermatology. 2015 (54) : e332 - e338
3. Norman R. Xerosis and pruritus in the elderly: recognition and
I 86 I
I 87 I
I 88 I
I 89 I
1 90 !
I 91 I
Daftar Pustaka
1. Reuben DB, Rosen S . Principles o f geriatric assessment. In: Halter
J, Ouslander JG, Tinelli ME, Studenski S, High KP, Asthana S,
eds. Hazzard' s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New
York: Mc Graw Hill; 2009.p.141 -52.
2. Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. Essentials of
Clinical Geriatrics. 6th Ed. New York: McGraw Hill Companies,
Inc. 2009.p.41-77.
3. Sullivan DH, Johnson LE. Nutrition and aging. In: Halter J,
Ouslander JG, Tinelli ME, Studenski S, High KP, Asthana S, eds.
Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New
York: Mc Graw Hill; 2009.p.439-57 .
4. Haris D, Haboubi N . Malnutrition screening in the elderly
population. J R Soc Med.2005;98:41 1 -4.
5. Wei J, Chen W, Zhu M, Cao W, Wang X, Shi H, et al. Guidelines
for parenteral and enteral nutrition support in geriatric patients
in China. Asia Pac J Clin Nutr.201 5;24(2):336-46.
6. Cederholm T , Barazzoni R , Austin P , Ballmer P , Biolo G , Bischoff
SC, et al. ESPEN guidelines on definitions and terminology of
clinical nutrition. Clin Nutr.2016;xxx:l-16.
7. Soejono CH. Pendekatan paripurna pada pengelolaan pasien
geriatri. In: Soejono CH, Setiati S, Nasrun MWS. Silaswati S, eds.
Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatri Untuk Dokter
dan Perawat. 1st ed. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2000.p.16-24.
I 92 I
Pendahuluan
I 93 I
Batasan
Pada tahun 1989, Irwin Rosenberg mengajukan penggunaan
istilah 'sarcopenia' (berasal dari bahasa Yunani): 'sarx' berarti
otot dan 'penia' berarti kehilangan, untuk menggambarkan
hilangnya massa otot pada orang usia lanjut. Dalam konsensus
Sarkopenia oleh European Working Group on sarkopeniain Older
People (EWGSOP), 2009 menyebutkan bahwa sarkopeniaadalah
s i n d r o m y a n g d i tandai d engan h ilangnya m assa d an
kekuatan otot skeletal yang menyeluruh dan progresif, yang
mengakibatkan disabilitas, kualitas hidup yang buruk, dan
kematian (Cruz-Jentoff dkk., 201 0).
Tidak ada definisi operasional Jrailti; yang bisa memuaskan
semua ahli. Dalam pernyataan konsensus frailti; bersama oleh
Morley dkk, 2013, definisifrailti; adalah "a medical syndrome with
multiple causes and con tributors that is characterized by diminished
strength, endurance and reduced physiologic function that increases
an individual's vulnerabilihj for developing increased dependency
and/or death" (Morley dkk. 2013).
1 94 1
I 95 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosidi119 Ten�u Hni1ah Genatri 2017
1 96 1
Para pakar dan peneliti dari China, Hong Kong, Japan, Korea
Selatan, Malaysia, Taiwan, dan Thailand yang tergabung
dalam Asian Working Group for sarkopenia(A WGS) juga
melakukan suatu pendekatan yang sama dalam diagnosis
sarkopeniadengan EWGSOP namun merekomendasikan nilai
cut-off parameter- diagnosis sarkopenia yang berbeda dengan
Eropa sebagai acuan penegakan diagnosis sarkopeniadi
populasi Asia. Perbedaan etnisitas, ukuran tubuh, gaya hidup,
1 97 I
I 98 I
Snrkope!lin FmifhJ
Muscle loss Weight Loss
Gait Speed Wnlkillg cnpncihJ
Grip Strength Weakness
Low Physical activihJ
Exhnustion/Fatique
1 99 1
1 100 I
Co111m11nihJ Settings
People aged 60 or 65 years and older (according to the definitions of elderly
in enc/1 individual coun tnJ) living in co111111wiities
Specific Clinical Conditions in A ll Healthcare Settings
Presence of recent functional decline or functional i111pnir111ent
Unintentional body weight loss for over 5% in a month
Depressive 111ood or cognitive i111pair111ent
Repented falls
Undernu trition
I 1 01 I
GT n!Mlah dm/ �
t.111
Kil rt��
1 1 02 1
I 103 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosidmg Temu Hni1ah Genatri 2017
I 104 I
Illness (>5)
L e b i h b a i k m e n c e g a h h i l a n g n y a p r o g re s i f i t a s
m a ssa, keku atan, d a n f u n g s i o to t d a r i p a d a m e n c o b a
mengembalikannya pada u sia yang lebih lanj u t. Strategi
pencega han bersamaan dengan intervensi pengobatan
harus dimulai sedini m u ngkin sebelu m terjadi kehilangan
massa, kekuatan dan fungsi otot. Intervensi latihan fisik dan
pendekatan nutrisi berperan penting dalam pengelolaan
Sarkopenia dan Frailty . Literatur menunj u kkan bah w a
intervensi latihan fisik menunjukkan perbaikan sarkopenia
yang bermakna. Bukti lain menunjukkan bahwa kombinasi
antara latihan fisik dan nutrisi merupakan intervensi utama
u ntuk mencegah, mengobati, dan memperlambat terjadinya
I 105 I
1 106 I
Evidence or reco111.111.endation
Interventions Amount of Type of Protein Timing
protein
Protein A t least 1.0-1.2 "Fast" proteins Even
supplemen t g/kg/day in nre thought to be distribution of
people aged 65 more beneficial protein in take
years and above compared to in main meals
GFR 30-60 - "slow" proteins tlzro11gh the dny
0.8 g/kg/day but lacks robust
GFR <30 - evidence
between 0.6 nnd
0.8 g/kg/dny
I 107 l
I 108 I
Daftar Pustaka
1. Bauer JM, Sieber C C (2008). Sarkopenia and frailty: A clinician's
controversial point of view Experimental Gerontology 43:
674-678.
2. Cederholm T. Overlaps between frailty and sarkopeniaDefinitions.
In; Frailty: Pathophysiology, Phenotype and Patient Care. Eds:
Fielding RA, Sieber C, Vellas B. Nestle Nutr Inst Workshop Ser.
83: pp 65-69.
3. Chen LK, Liu LK, Woo J , Assantachai P, Auyeung TW,
Bahyah KS, Chou MY, Chen LY, Hsu PS , Krairit 0 , Lee JSW,
I 109 l
1 11 0 I
1 111 I
1 112 I
CKD berat LFG < 30 > 1,2 gram/ KgBB/ > 1,2 gram/
mL/ menit: batasi asupan hari atau bila KgBB/ hari atau
protein sampai 0,8 mungkin 1 , 5 gram/ bila mungkin 1,5
gram/ KgBB/ hari KgBB/ hari gram/ KgBB/ hari
1 113 I
I 114 I
1 115 I
Sumber Protein
I 116 I
Kesimpulan
Daftar Pustaka
1. Quain AM, Khardori NM. Nutrition i n wound care management:
a comprehensive overview. Wounds 2015;27(1 2):327-335
2. Paddon-jones D, Short KR, Campbell WW, Volpi E, Wolfe RR.
Role of dietary protein in the sarcopenia of aging . Am J Clin
Nutr 2008;87(suppl):1562S- 65
3. Fried LP, Walston JD, Ferrucci L. Frailty. In: Halter J, Ouslander
JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S, eds. Hazzard' s
Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New York: Mc Graw
Hill;2009.p.631-45.
4. Deutz NEP, Bauer JM, Barazzoni R, Biolo G, Boirie Y, Bosy
westphal A, et al. Protein intake and exercise for optimal muscle
function with aging : Recommendations from the ESPEN Expert
Group. Clin Nu tr 2014;33(6):929-36.
5. Bauer J, Biolo G, Cederholm T, Cesari M, Cruz-jentoft AJ, Mb
JEM, et al. Evidence-Based Recommendations for Optimal
l 117 I
1 118 I
I 119 I
umpulan
Abstrak Penelitian
Tem u l l m i a h Geriatri 2 0 1 7
H otel N ovotel Mangga D u a ,
J a ka rta 8 - 9 J u l i 20 l 7
I 122 I
I 123 I
1 124 I
1 125 I
I 126 I
1 127 I
Design: Retrospektif
I 128 I
1 129 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• P i osiding Ternu l i m 1 ah Genatri 2017
I 130 I
I 131 I
I 132 I
with p = 0,142.
1 133 I
I 134 I
I 135 I
I 136 I
1 137 I
Functional Independence
O u t c o m e M ea s u r e m e n t s :
Measure (FIM) of each patients was scored at discharge and
then compare between elderly and adult patients.
I 138 I
was set for 100 % of elderly patient and 50% of adult patient.
Those differences were not statistically significant for FIM
(p=0,064), mobility goal (p=0,19), nor AOL goal (p=0,20). At
discharge, mean FIM total score of elderly patient was lower
(47,50) than adult patient (68,83).
1 139 I
1 140 I
I 141 I
I 142 I
1 143 I
1 144 I
1 145 I
Referensi
1. Chen A , Hwang TN, Phan LT, McCulley TJ, Yoon MK. Long
term management of orbital and systemic reactive lymphoid
hyperplasia with rituximab. Middle east afr j ophtalmol. 2012.
19(4): 432-5.
2. Trisha S, Manjunath K. Diagnosis and management of orbital
lymphoma. Mangalore: Kamataka India; 2015
3. Setiati S. Geriatric medicine, sarcopenia, frailty dan kualitas
hidup pasien usia lanjut: tantangan masa depan pendidikan,
penelitian dan pelayanan kedokteran di Indonesia. Jurnal
Kedokteran Indonesia. 2013; 1 (3): 234-42
I 146 I
P e n d a h u l u a n : M o bi l i s a s i m e r u p a kan sal ah s a tu
tatalaksana rehabilitasi fase I yang dimulai jika persyaratan
sudah terpenuhi. Adanya komplikasi pasca operasi akan
menghambat mobilisasi. Komplikasi pasca operasi tersebut
serta kemampuan mobilisasi akan mem pengaruhi lama
masa rawat. Beberapa komplikasi dapat diminimalisir oleh
tindakan rehabilitasi, namun komplikasi lain seperti kondisi
hemodinamik tidak dapat dicegah oleh tindakan rehabilitasi.
1 147 1
I 148 I
1 149 I
1 150 I
I 1 51 I
I 152 I
I 153 I
I 1 54 I
I 155 I
I 156 I
I 1 57 I
I 158 I
I 159 I
I 160 I
I 161 I
I 162 I
I 1 63 I
I 164 I
I 165 I
1 166 I
1 167 I
l 1 68 I
Virly N a n d a M uzellina
llmu Penyakit Dalam RSCM
I 169 I
1 170 I
1 171 I
I 172 I
1 173 I
1 174 I