Anda di halaman 1dari 180

HOLISTIC PERIOPERATIVE MANAGEMENT

IN ELDERLY AND GERIATRIC PATIENT


dr. Lili Legiawati,
Sp.KK lK)
009107 2022
SIP. otot0.110723156

Holistic Perioperative Management


In Elderly And Geriatric Patient

Tim Editor:
Noto Dwimartutie
Ika Fitriana

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2017
Holistic Perioperative Management
In Elderly And Geriatric Patient

Tim Editor: Noto Dwimartutie, Ika Fitriana


© 2017 Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia
Cabang Jakarta

vii + 172 halaman


15 x 23 cm

ISBN : 978-979-19931-7-3

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan se­
bagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk
apa pun juga tanpa seizin penulis dan penerbit.

Diterbitkan pertama kali oleh


Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia
Cabang Jakarta
Jakarta, Juli 2017
email: geriatri.rscmfkui@yahoo.com

Redaktur pelaksana: Sri Herawati

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Penulis
Czeresna H. Soejono Divisi Geriatri
Departemen llmu Penyakit Dalam
FKUl/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Lili Legiawati Departemen Ilmu Kesehatan Kulit clan Kelamin


FKUl/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Martina Wiwie Departemen Psikiatri


FKUl/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Noto Dwimartutie Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Novira Widajanti Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUnair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

Ponco Birowo Departemen Urologi


FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Purwita Wijaya Laksmi Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

S.A. Nuhoni M. Jatim Departemen Rehabilitasi Medik


FKUl/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Siti Setiati Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUl/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Susilo Chandra Departemen Ilmu Kedokteran Forensik


FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

"Only scanned for Departemen Ill Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"

for internal-private use, not for commercial purpose


Kata Pengantar

Pasien usia lanjut membutuhkan pendekatan khusus baik dari


aspek diagnosis dan terapi, karena karakteristiknya yang khusus.
Sejalan dengan perkembangan waktu, jumlah usia lanjut yang
membutuhkan intervensi medis berupa tindakan operasi meningkat
dan diperkirakan akan terns bertambah sejalan dengan populasi
unia yang menua (aging population). Tatalaksana perioperatif pada
pasien usia lanjut memiliki tantangan yang berbeda dibandingkan
pada usia dewasa muda. Usia lanjut cenderung memiliki komorbi­
ditas multipel, disabilitas, gangguan kognitif, dan penurunan faali
dari berbagai fungsi organ. Berbagai faktor tersebut menjadikan
pasien usia lanjut rentan akan timbulnya komplikasi perioperatif
dan membuat jangka waktu perawatan lebih lama, sehingga lebih
lanjutnya meningkatkan risiko infeksi nosocomial, iatrogenesis
dan mortalitas.
Buku ini membuat kumpulan tulisan ilmiah para pembicara
terkait Temu Ilmiah Geriatri yang mengusung tema "Holistic
Perioperative Management In Elderly A nd Geriatric Patient" . Tulisan
tersebut diharapkan dapat menjadi bekal pengetahuan masyarakat
profesi kesehatan dalam hal manajemen perioperatif dan kasus­
kasus umum pada geriatri di praktik sehari-hari. Selain itu, abstrak
penelitian pada orang usia anjut di Indonesia juga ditampilkan agar
dapat memberikan wawasan data Iokal terkait penelitian orang usia
lanjut dan diharapkan dapat menjadi acuan bagi perkembangan
penelitian selanjutnya di Indonesia.

Semoga bermanfaat
Jakarta, Juli 2017

Tim Editor

"Only scanned for Departemen v Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Daftar Isi

Manajemen Perioperatif pada Pasien Geriatri............................................ 1

Anestesia untuk Pasien Geriatri ................................................................... 13

Prehabilitasi dan Outcome Fungsional pada Pasien Bedah Geriatri ...... 23

Tatalaksana Mutakhir Pembesaran Prostat Jinak ...................................... 28


Peran Nutrisi Parenteral bagi Pasien Usia Lanjut yang

Peran Nutrisi Parenteral bagi Pasien Usia Lanjut yang


Menjalani Operasi ........................................................................................... 40

Manajemen Perioperatif pada Pasien Geriatri dengan Demensia ..... ... .. 50

Peran Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G/CGA)


dalam Pengelolaan Pasien Geriatri di era Jaminan Kesehatan
Nasional GKN): Telaah Cost Effectiveness Analysis (CEA)......................... 58

Penyakit Kulit Pada Usia Lanjut..... . . . ...


..... . .. .. ........ f...................................
. 68

Asuhan Gizi pada Lanjut Usia dan Pasien Geriatri ................................... 91

Sarkopenia dan Frailty: Deteksi Dini dan Tatalaksana


di Rumah Sakit dan Komunitas .................................................................... 93

Kumpulan Abstrak Penelitian....................................................................... 121

"Only scanned for Departemen Vll Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"

for internal-private use, not for commercial purpose


Managemen Perioperatif pada
Pasien Geriatri
Siti Setiati, Laurentius Johan Ardian

Jumlah penduduk usia lanjut (lansia) di seluruh dunia


meningkat dari tahun ke tahun.l Berbagai perubahan fisik
terkait proses menua menjadikan para lansia ini rentan terkena
penyakit, tak terkecuali yang memerlukan pembedahan. 2
Data di Amerika Serikat menyebutkan tindakan pem­
bedahan lebih sering dilakukan pada pasien usia lanjut
dibanding pada penduduk usia lebih muda (136 tindakan
per 100.000 penduduk usia 40-64 tahun dan 190 tindakan per
1 00.000 penduduk pada usia 65 tahun ke atas).2 Sementara
itu, data RSCM pada rentang waktu Oktober 2016-Januari
"
2017 menunjukkan terdapat 82 pasien usia 60-70 tahun yang
menjalani berbagai jenis tindakan pembedahan. Pada rentang
usia lebih tua, jumlah tersebut menurun drastis menjadi 24
kasus dan 5 kasus pada pasien usia 71-80 tahun dan usia >80
tahun.3
Pembedahan memberi keuntungan pengurangan gejala
pada pasien sekaligus menghadapkan pasien dengan risiko
kematian.4 Pasien lansia sering ditolak untuk menjalani
pembedahan karena pertimbangan usia semata. Padahal, telah
dibuktikan pada beberapa penelitian, banyak pasien lansia dapat
ditangani secara aman dan usia (usia kronologis) seharusnya
tidak menjadi parameter tunggal yang dipertimbangkan dalam
pertimbangan penatalaksanaan pasien.5
Managemen perioperatif menjadi semakin rumit terkait
dengan bertambahnya usia pasien yang akan menjalani
pembedahan.2 Dibutuhkan managemen perioperatif yang
berkesinambungan, koheren, dan berkualitas untuk memenuhi
kebutuhan pasien lansia yang kompleks. Managemen ini perlu

11 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1ding Temu !irn1ah Geriatri 2017

dilakukan dengan pendekatan multidisiplin yang rnelibatkan


layanan primer, layanan kegawatd aruratan, dokter ahli
geriatri, dokter anestesi, intensivis, dokter bedah dan pasien
sendiri.6
Pengkajian praoperasi dapat dilakukan untuk meng­
identifikasi faktor yang terkait peningkatan risiko kornplikasi
d a n m e r e k o m en d as i k a n rencana penanganan u n t u k
meminimalkan risiko. Setiap individu seharusnya dikaj i
secara individu dan pertirnbangan seharusnya berdasarkan
pada masalah individu dan status fisiologis, bukan hanya
dari segi usia.7
Konsu ltasi prabedah dan praanestesi yang hanya
berdasar pada klasifikasi status fisik ASA (American Society
of A nesthesiologist), riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik
hanya memperoleh sedikit informasi rnengenai kondisi pasien
geriatri. Metode tersebut belum mencakup status kognitif dan
status frailty yang rnerupakan aspek penting yang harus dinilai
pada pasien geriatri.8 Untuk itu, diperlukan pemeriksaan dan
pengkajian praoperasi yang lebih paripurna untuk menilai
pasien geriatri. Instrurnen tersebut juga harus cukup praktis
digunakan pada kondisi klinik preoperatif yang sibuk tapi
tetap cukup sahih dan andal untuk rnenilai secara rnenyeluruh
kondisi pasien geriatri yang akan menjalani pernbedahan.9

Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri


(P3G)

Pengkajian paripurna pasien geriatri (P3G) merupakan


jawaban untuk mernenuhi kornpleksnya kebutuhan pasien
geriatri yang akan rnenjalani operasi/ pembedahan. American
College of Surgeons/A merican Geriatrics Society dan British
Geria trics Society telah mengadopsi sistem pengkajian ini
untuk m anagemen perioperatif.1 0•11 Sistem P3G ini mencakup
pengkajian beberapa sistem yang khas pada pasien geriatri,

1 21

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
seperti fungsi kognitif, depresi, fungsional, frailty, nutrisi,
kardiovaskular, dan respirasi.

1. Status kognitif
Pemeriksaan status kognitif merupakan salah satu evaluasi
preoperatif yang penting untuk dilakukan. Pemeriksaan ini
akan memberikan gambaran kondisi baseline fungsi kognitif
pasien yang berguna untuk membantu penegakan diagnosis
postoperative cognitive dysfunction (POCD). Akan sangat sulit
untuk m enegakkan diagnosis POCD tanpa mengetahui
status kognitif dasar/ awal pasien saat sebelum operasi.12
Adanya gangguan ko �litif sebelum operasi akan berpengaruh
terhadap munculnya luaran buruk pascaoperasi. Sebuah telaah
sistematis dan meta-analysis oleh Smith13, dkk. menunjukkan
gangguan kognitif akan meningkatkan risiko mortalitas pada
pasien yang menjalani operasi fraktur tulang panggul dengan
RR=l,91 (95% IK 1,35-2,70). Gangguan kognitif sebelum operasi
juga menjadi faktor risiko munculnya delirium pascaoperasi
fraktur tulang panggul (OR=3,21; 95% IK 2,26-4,56)14 dan pasca
tindakan CABG (coronary artery bypass grafting) dengan OR
=3,23 (95% IK 1,008-10,356).15 Kondisi delirium pascaoperasi
akan berpengaruh terhadap lama perawatan pasien di rumah
sakit, institusionalization (pemulangan pasien ke nursing home
pascaperawatan), dan mortalitas.15•16
Pemeriksaan kognitif sebelum operasi juga bermanfaat
untuk menentukan apakah pasien memiliki kemampuan
pengambilan keputusan . Klinisi perlu mengkonfirmasi
apakah pasien dapat mendeskripsikan (dalam bahasa
mereka send iri) kondisi medis yang sedang i a alami,
indikasi, keuntungan, risiko Qangka panjang dan pendek),
keuntungan dari tindakan dan tindakan alternatif, serta terapi
konservatif (tanpa prosedur tindakan). 1 0·11 Khusus untuk
pasien geriatri, Association of Anaesthetists of Great Britain and
Ireland (AAGBI) merekomendasikan untuk disampaikan pula
informasi mengenai apakah tindakan yang dilakukan akan

1 31

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
� Prosiding Ternu Urrnah c;eriatri 2017

mempengaruhi kualitas hid up pasien di sisa masa hidupnya.1 0


Ada empat kriteria yang relevan untuk menilai kapasitas
pengambilan keputusan pasien:11
1 . Pasien dapat secara jelas menjelaskan pilihan penanganan
yang akan diberikan.
2. Pasien mengerti informasi yang disampaikan klinisi.
3. Pasien mengetahui dan menyetujui kondisi medis, pilihan
terapi dan luaran dari masing-masing terapi tersebut.
4. Pasien dapat secara rasional terlibat dalam diskusi.

2 . Status depres i
Diperkirakan terdapat 7 juta populasi dewasa usia 65
tahun ke atas atau sekitar 1 5-20% terkena depresi. Prevalensi
i n i meningkat di antara orang lansia yang m enjalani
pembedahan. Pada sebuah kohort prospektif dari 149 dan
133 pasien yang menjalani artroplasti panggul dan lutut yang
diukur dengan menggunakan Hospital Anxiety Ou tcome Score,
prevalensi ansietas mencapai 27,9% (panggul) dan 20,3% (lutut)
sedangkan prevalensi depresi mencapai 33,6% (panggul) dan
22,7% (lutut). Prevalensi tersebut akan menu run tajam setelah
pembedahan dilakukan.12
Kejadian depresi prabedah akan berpengaruh terhadap
m unculnya kejadian delirium pascaoperasi . Leung17, d kk
menemukan semakin tinggi tingkat depresi, semakin besar
insidens delirium ( p = 0,048) dan semakin l a m a d urasi
delirium pascaoperasi (p=0,027). Bebenip'll penelitian juga
mengaitkan kej ad ian delirium pascaoperasi dengan nyeri
pascapembedahan. Namun, sebuah telaah sistematis oleh
Dadgostar18, dkk m anyatakan belum ada bukti yang konklusif
mengkonfirmasi hubungan antara keduanya.

3 . Status nutris i
Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan prevalensi
orang usia lanjut dengan gizi kurang (undernutrition) di rumah
sakit mencapai 2,14 % dan 2,5 % .1 9•20 Sementara itu, prevalensi

14 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
pasien usia lanjut yang berisiko malnutrisi mencapai 56,7%
dan 24,6% .19•20 Di komunitas, angka tersebut hanya berkisar
pada 9,8% .21 Data pasien RSCM menunjukkan sebagian besar
pasien usia lanjut yang akan menjalani pembedahan memiliki
indeks massa tubuh yang normal. Namun, tak jarang pasien
dengan status gizi kurangjuga perlu menjalani pembedahan.3
Status nutrisi yang buruk memiliki dampak pada luaran
pascaoperasi yang 1'uruk. Telaah sistematis oleh van Stijn22,
dkk menemukan kadar serum albumin dan penurunan berat
,
badan �1 0 % dalam 6 bulan terakhir berpengaruh pada luaran
pascaoperasi pada pasien yang menjalani pembedahan um urn.
European Society for Clinical Nu trition and Me tabolism
menyarankan penggunaan Mini Nu tri tio n al Asessmen t
(MNA) untuk mengkaji status nutrisi yang telah tervalidasi
dan telah digunakan secara luas pada populasi geriatri.12•23
Selain MNA, short form MNA juga dapat digunakan pada
kondisi praoperasi. Meski, sf-MNA tidak cukup akurat dalam
memprediksi kemungkinan adanya m asalah nutrisi pada
pengkajian yang lengkap, pemeriksaan cukup mudah dan
efisien untuk diterapkan pada evaluasi praoperasi.23

4 . Status fungsional
Status fungsional didefinisikan sebagai sejumlah perilaku
yang dibutuhkan untuk mempertahankan aktivitas sehari­
hari, termasuk fungsi sosial dan kognitif. Status fungsional
dibedakan menjadi kemampuan pasien untuk bergerak dan
melakukan aktivitas dasar (BADL) serta untuk melakukan
aktivitas tambahan (IADL). Kedua instrumen tersebut menilai
derajat ketergantungan pasien pada orang lain.8•23 Pasien
dengan ketergantungan pada orang lain akan dirawat lebih
lama di rumah sakit dan lebih sering mengalami komplikasi
mayor pascaoperasi (mortalitas, emboli paru, dan infark
miokard).24
Meski belum rutin dilakukan pada pemeriksaan preoperatif,
evaluasi status fungsional yang hanya memakan waktu tidak

1 5 1
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Temu iim1ah Ge riatri 2017

lama (10-15 menit) dapat memberikan informasi yang berharga


untu k konseling preoperatif tentang risiko pembedahan
d an rencana perawatan pascaoperasi. Pemeriksaan status
fungsional ini juga berperan pada tahap prarehabilitasi untuk
mempertahankan atau meningkatkan cadangan fungsional
seseorang untuk memfasilitasi rehabilitasi pascaoperasi dan
pemulangan pasien kembali ke komunitas.10
American College of Surgeons/American Geriatrics Society
merekomendasikan pemeriksaan Timed Up and Go Test (TUG)
praoperasi sebagai salah satu pengukuran status fungsional.11
Pasien dengan TUG > 2 0 detik memiliki risiko 4,21 kali lebih
tinggi lebih lama dirawat di rumah sakit. (95% -CI 1 .14-15.58;
=

p 0.03)25
=

5 . Status frailty
Frailhj (kerentaan) sering didefinisikan sebagai keadaan
dimana terjadinya penurunan dan kerentanan yang identik
dengan terjadinya kelemahan dan penurunan cadangan
fisiologis pada orang usia lanjut. Kerentaan merupakan sebuah
kesatuan tersendiri dengan berbagai macam kemungkinan
m anifestasi (tidak ada manifestasi tunggal) sehingga kerentaan
didefinisikan sebagai sebuah sindrom.26
Sampai saat ini telah banyak dikembangkan sistem skor
atau instrumen u ntuk menentukan status frailty. Namun,
belum ada sistem skor yang menjadi baku ema.s. Sebagian besar
metode/ instrumen yang digunakan untuk menetapkan status
frailty didasari oleh salah satu dari dua konsep pendekatan
yaitu fisik/ fenotip dan akumulasi defi;it/ indeks kerentaan.27
Contoh instrumen yang menggunakan pendekatan ini adalah
Cardiovascular Health S tu dy/CHS (kriteria fenotip yang
dikemukakan Fried), S tu dy of Osteoporotic Fracture (SOF),
Fatigue, Resistance, Ambulation, Illness, Loss of weight (FRAIL).
Contoh instrumen yang menggunakan pendekatan ini yaitu
Frailty Index 40 (FI-40), Frailty Index-Comprehensive Geriatric
Asessment (FI-CGA).

1 6 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Telaah sistematis oleh Oakland28, dkk. mengungkapkan
pasien dengan status frailty akan memiliki risiko kematian
di rumah sakit yang lebih besar (OR=2,77 95% IK 1,62-4,73);
kematian d alam satu tahun (OR=l ,99 95 % IK 1 ,49-2,66);
perawatan yang lebih lama (1,05 hari, 95 % IK 0,02-2,07 hari);
dan dipulangkan ke pusat rehabilitasi/ nursing home (OR=5,71
95 % IK 3,41-9,55). '

6 . Status kardiovaskular
Suatu prosedur tindakan pembedahan nonkardiak
dikategorikan sebagai risiko rendah bila karakterisktik pasien
dan tindakan digabung memprediksi risiko major adverse cardiac
event (MACE) kematian atau infark miokard < 1 % . Contoh
tindakan dengan risiko rendah antara lain operasi plastik
dan katarak. Prosedur tindakan dengan risiko MACE � 1 %
termasuk dalam tindakan yang meningkatkan risiko (elevated
risk).29
Instrumen yang umum digunakan untuk menilai risiko
kardiak perioperatif adalah Revised Cardiac Risk Index (RCRI).
Pasien yang memiliki 0 atau 1 faktor risiko memiliki risiko
rendah MACE. Sementara itu, pasien dengan � 2 prediktor
memiliki risiko M ACE yang lebih tinggi. Prediktor yang
termasuk dalam RCRI antara lain riwayat penyakit jantung
iskemik, riwayat gaga! jantung kongestif, riwayat penyakit
serebrovaskular, d iabetes mellitus, dan insufisiensi renal
(kreatinin >2 mg/ dL). Selain RCRI, kini telah dikembangkan
instrumen berupa kalkulator risiko berdasar dari database
ACS NSQIP (www.riskcalculator.facs.org). Ada beberapa
keterbatasan dari penggunaan instrumen ini. Salah satunya
yaitu belum tervalidasinya instrumen dengan populasi di
luar NSQIP.29
Moitra30, dkk mengungkapkan skor RCRI merupakan salah
satu prediktor kematian pasien yang menjalani pembedahan
dalam 1 tahun (OR= 1,7 , 95% IK 1,2-2,4 ). Faktor lain yangjuga
dapat menjadi prediktor, yaitu usia � 80 tahun, klasifikasi ASA

1 71

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1ng Temu limiah Geriatri 2017

= 4, jenis kelamin perempuan, dan pembedahan emergensi.

7. Status respirasi
Pengkajian status paru dan respirasi diperlukan agar dapat
mencegah komplikasi paru pascaoperasi. Pada pembedahan
umum insidens komplikasi paru pascaoperasi dilaporkan 5%
dan meningkat menjadi 2 0% pada kelompok yang menjalani
prosedur risiko tinggi. Sebuah systematic review oleh Smetana,
dkk. yang mengungkapkan faktor risiko postoperative pulmonan1
complications (PPC) m enjadi rujukan yang paling sering
digunakan pad a berbagai guidelines.31

Tabet 1. Faktor Risiko Komplikasi Pam Pascaoperasi"

Faktor terkait pasien Faktor terkait prosedur

Didukung oleh bukti yang kuat

Usia yang lanjut Transfusi perioperatif

Kelas ASA� 2

Gaga! jantung kongestif

Ketergantungan fungsional

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

Didukung oleh bukti yang cukup

Berat badan yang turun

Gangguan sensori

Penggunaan rokok

Penggunaan alkohol

Hasil tidak normal dari pemeriksaan dada

Tidak meningkatkan risiko (didukung


bukti yang kuat)

Asma yang terkontrol baik Pembedahan panggul

Obesitas Pembedahan
genitourinary atau
ginekologi

Didukung bukti yang tidak cukup sebagai faktor risiko

Obstructive sleep apnea Pembedahan esofagus

Kapasitas exercise yang buruk

1 8 l

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Perokok yang menjalani pembedahan nonkardiak akan
mengalami PPC 4 kali lipat dibandingkan dengan pasien
yang bukan perokok. Merokok mengganggu pembersihan
trakeobronkial dengan merusak silia dan meningkatkan sekresi
dan konsistensi mukus. Merokok juga meningkatkan kolaps
dari alveolar sehingga akan risiko infeksi meningkat dan
memanjangnya penggunaan ventilasi mekanik.31
Berhenti merokok akan menurunkan risiko PPC sebesar
20% dan penting pada pasien dengan PPOK. Manfaat dari
berhenti merokok bergantung pada jumlah rokok yang telah
diisap, lama tidak merokok, usia saat mulai berhenti.31 Wong
dkk32 dalam suatu telaah sistematis menganjurkan pasien yang
akan menjalani pembedahan untuk berhenti merokok minimal
selama 4 bulan sebelum pembedahan untu k mengurangi
kejadian komplikasi paru dan komplikasi penyembuhan Iuka
pascaoperasi.

Kesimpulan

Usia (usia kronologis) tak boleh m enjadi k riteria


eksklusi tunggal bagi pasien usia lanjut yang akan menjalani
pembedahan. Usia biologis yang merupakan hasil interaksi
proses menua, komorbiditas, dan faktor genetik tampaknya
lebih mampu memprediksi derajat kebugaran dan performa
seseorang ketika menghadapi masalah kesehatan (termasuk
pembedahan). Konsultasi prabedah dan praanestesi yang
hanya berdasar pada klasifikasi status fisik ASA (American
Society ofA nesthesiologist), riwayat penyakit, dan pemeriksaan
fisik hanya memperoleh sedikit informasi mengenai kondisi
pasien geriatri. Pengkajian paripurna pasien geriatri (P3G)
merupakan jawaban untuk memenuhi kompleksnya kebutuhan
pasien geriatri yang akan menjalani operasi/ pembedahan.
Instrumen yang digunakaan dalam kondisi perioperatif harus
sahih dan andal untuk menilai secara menyeluruh kondisi
pasien geriatri yang akan menjalani pembedahan serta cukup

19 1
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu �:rrni"jh Geriatri 2017
------·---

praktis digunakan pada kondisi klinik preoperatif yang sibuk.

Daftar Pustaka
1. United Nations. World Population Ageing. 2015
2. Beliveau MM, Multach M. Perioperative care for the elderly
patient. Med Clin N Am 2003;87:273-89.
3. Data Pasien Perioperatif Geriatri RSCM. 2017.
4. Dhesi J. Setting up a proactive service to make surgery safer for
older people. The Health Foundation. 2013.
5. Cheng S, Yang T, Jeng K, Lee J . Perioperative Care of the Elderly.
Int J Gerontol 2007;1(2):89-97.
6. Dodds C, Foo I, Jones K, Singh SK, Waldmann C. Peri-operative
care of elderly patients - an urgent need for change : a consensus
statement to provide guidance for specialist and non-specialist
anaesthetists. Perioper Med 2013;2(1 ):1-6.
7. Ersan T. Perioperative Management of the Geriatric Patient.
201 5. Availa ble from http : / / emedicine.medscape.com/
article/ 285433-overview
8. Bettelli G . Preoperative evaluation in geriatric surgery :
comorbidity, functional status. Minerva Anestesiol 2011;77(6):637-
46.
9. Long LS, Shapiro WA, Leung JM. A brief review of practical
p reop erative co gnitive s creening tools. Can J Anaesth
2012;59(8):798-804.
1 0. Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland.
Perioperative care of the elderly 2014. Anaesthesia 2014;69
s1 :81 -98. 11. Chow WB, Rosenthal RA, Merkow RP, Ko CY,
Esnaola NF. Optimal Preoperative Assessment of the Geriatric
Surgical Patient : A Best Practices Guideline from the American
College of Surgeons National Surgical Quality Improvement
Program and the American Geriatrics Society. J Am Coll Surg
2012;215(4):453-66.
1 2. Kim S, Brooks AK. Preoperative assessment of the older surgical
patient : honing in on geriatric syndromes. Clin Interv Aging
2015;10:13-27.
13. Smith T, Pelpola K, Ball M, Ong A, Mynt PK. Pre-operative
indicators for mortality following hip fracture su rgery :

l 10 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
a systematic review and meta-analys is. Age and A geing
2014;43:464-71 .
14., Yang Y, Zhao X, Dong T, Yang Z, Zhang Q. Risk factors for
postoperative delirium following hip fracture repair in elderly
patients : a systematic review and meta-analysis. Aging Clin Exp
Res 2017;29(2):1 15-26.
15. Zhang W, Wu W, Gu J, Sun Y, Ye X, Qiu W, et a!. Risk factors for
postoperative delirium in patients after coronary artery bypass
grafting : A prospective cohort study. J Crit Care 2015. Available
from: http:/ / dx.doi.org/ 10.101 6/j.jcrc.2015.02.003
16. Visser L, Prent A, van Der Laan MJ, van Leeuwen BL, Izaks GJ,
Zeebregts CJ, Pol RA . Predicting postoperative delirium after
vascular surgical procedures. J Vase Surg 2013;62(1):183-9.
17. Leung J M , Sands LP, M u l len E A , W a n g Y, V a u r i o L .
Are Preoperative Depressive Symptoms Associated W ith
Postoperative Delirium in Geriatric Surgical Patients ? J Gerontol
Med Sci 2005;60(12):1563-8.
18. Dadgostar A, Bigder M, Punjani N, Lozo S, Chahal V, Kavanagh
A. Does preoperative depression predict post-operative surgical
pain : A systematic review. Int J Surg 2017;41 :162-73.
19. Setiati S, et al. Cut-off of anthropometry measurement and
nutritional status among elderly outpatient in Indonesia: multi­
center study. Acta Medica Indonesiana. 2010;42(4):224-30.
20. Setiati S, et al. Indonesia frailty, aging, and quality of life (INA­
FRAGILE) longitudinal study 2013-2015. In press.
21 . Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R. Predictors and
scoring system for health related quality of life in Indonesian
c o m m u nity dwelling elderly p o p u l a tion. A c ta M e d ica
Indonesiana. 201 1;43(4):237-242.
22. van Stijn MFM, Korkic-halilovic I, Bakker MSM, van Der
Ploeg T, van Leeuwen PAM. Preoperative nutrition status and
postoperative outcome in elderly general surgery patients : a
systematic review. J Parenter Enteral Nutr. 2013;37(1):37-43
23. Dewan SK, Zheng SB, Xia SJ. Preoperative geriatric assessment :
Comprehensive , multidisciplinary and proactive. Eur J Intern
Med 2012;23(6):487-94.
24. Ramos DGR, Goodwin CR, Elder BD, Boah AO, Miller EK, et
al. Preoperative functional status as a predictor of short-term

I 11 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ten"lu limiah c;eriatri 2017

outcome in adult spinal deformity surgery q. J Clin Neurosci


2017;39:118-23.
25. Huisman MG, Audisio RA, U golini G, Montroni I. Screening
for predictors of adverse outcome in onco-geriatric surgical
patients : A multicenter prospective cohort study. Eur J Surg
Oncol 201 5;41 (7) :844-51 .
26. Fedarko NS. The Biology of Aging and Frailty. Clin Geriatr Med.
201 1 ;27(1 ):27-37.
27. Fried L, Tangen C, Walston J, Newman A, Hirsch C, Gottdiener J,
et al. Frailty in older adults: evidence for a phenotype. J Gerontol.
2001;56A(3):M146-56.
28. Oakland K, Nadler R, Cresswell L, Jackson D, Coughlin PA.
Systematic review and meta-analysis of the association between
frailty and outcome in surgical patients. Ann R Coll Surg Engl
2016; 98: 80-85.
29. Fleisher LA, Fleischmann KE, Auerbach AD, Bernason SA,
Beckman JA, Bozkurt B, et. al. Nelson MT, Spencer CC, Thompson
A. 2014 ACC/ AHA Guideline on perioperative cardiovascular
evaluation and management of patients undergoing noncardiac
surgery. J Am Coll Cardiol 2014;64(22):e78-e137.30.
30. Moitra VK, Flynn BC, Mazzeffi M, Bodian C, Bronheim D, Ellis
JE, et al. Indication for Surgery , the Revised Cardiac Risk Index
, and 1 -Year Mortality. Ann Vase Surg 2011;25(7):902-8.
31 . Taylor A, Deboard Z, Gauvin JM. Prevention of postoperative
p u l m o na r y c o m p l i c a ti o n s p o s t o p e r a t i v e p u l m o nary
complications COPD respiratory failure. Surg Clin N Am
2015;95(2):237-54.
32. Wong J, Lam DP, Chung F. Short-term preoperative smoking
cessation and postoperative complications : a systematic review
and meta-analysis. Can J Anaesth 201 2;59(3):268-79

1 12 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!tstlC Pt-�rioperativ�2" Managemen1 in Elderly and Gt":'ria1r1c Patient •

Anestesia untuk Pasien Geriatri


Susilo Chandra

Proses penuaan merupakan kejadian universal dan


progresif yang ditandai dengan perubahan degeneratife baik
kapasitas struktur atau fungsional dari organ dan jaringan.
Prinsip yang harus d ipertimbangkan ketika berhadapan
dengan pasien geriatri adalah p roses degeneratif bersifat
progresif dan melibatkan kapasitas fungsional seluruh sistem
organ. Walaupun kompensasi terhadap proses perubahan ini
adekuat, tetap ada keterbatasan cadangan kapasitas fisiologis,
terutama selama periode perioperatif.

Populasi Geriatri di Indonesia

Struktur penduduk yang menua tersebut merupakan


salah satu indikator keberhasilan pencapaian pembangunan
manusia secara global dan nasional. Hal ini berkaitan dengan
perbaikan kualitas kesehatan dan kondisi sosial masyarakat
yang meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
jumlah penduduk geriatri merupakan salah satu indikator
keberhasilan pembangunan dan sekaligus menjadi tantangan
pembangunan.

I 13 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Teinu lirrnah G e riatri 2017

•l?<;O

sooo •t'll-0

•l91Q

I �OA)(I • llll?.0 '

lll'm:
woo !
i
•WW
I
•21'.l<tl
�UQl¢
i
:

10,00
.:i:>m I
l awso i
I
l 0.00 I
0....>4 � �� �!.t 4� jfo�oji 0.i<l'� ;lw ii� i
i
<IS'*""" lS0S,,,t.;..,,
W• "'''"" \
-"---------------,.-�--- " '-' ""- ��.!

Gambar 1. Persentase penduduk Iansia di dunia, Asia dan Indo­


nesia tahun 1950-2050
Sumber: World Population Prospects: The 2010 Revision

I ndonesia m e r u p akan negara berkembang dengan


populasi yang terus meningkat. Selain itu, angka harapan hidup
di Indonesia juga terus meningkat. Hal ini menggambarkan
pembangunan yang Iebih baik namun juga menyebabkan
peningkatan populasi geriatri di Indonesia. World Health
Organization (WHO) memperkirakan pertumbuhan populasi
geriatri di Indonesia tahun 2020 mencapai 11 .34% atau 28.8 ju ta
orang. Peningkatan populasi geriatri berkaitan dengan angka
morbiditas pasien geriatri, terutama yang berkaitan dengan
proses degeneratif.

1 14 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H0Hst1c Perio1:;erative Management In Elderly and Geriatric PaUent •

73,0

72,0

71,0

70,0

70.07
69,0
69,43
69,21
690
68,0

67,0

rS>'b
"\: "\:rS>°"
�<:>
'\,<:>
........
'\,(;) '\-o'\."*' ,.,_o
....,.,
,.,_ o
'>�
<:>,,,

r;y"!:
'\,<:!)"'

Sumber: Sadan Pusat Statistik RI, 2015

Gambar 2. Usia harapan hidup di Indonesia tahun 2008-2015 dan


proyeksi tahun 2030-2035

''.. '-,(· !
lU !;
'

!';('
i

lllllllllltlttlllltllj' iiiiiii
.,

1 1 1 i • � .= • • r i i • � • • r j • • 1 � • • 1 1 ; t 1 : J J- •
•f� •j••lr r1j1.1114-t'r
i
·

1�f. t
fiI I 1 I I - j ii j Jj j: I t I5 i Ji 5II 1J
J JJ,
j J

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2015

Gambar 3. Persentase estimasi penduduk Iansia di Indonesia


tahun 2015

I 15 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu lim1ah G e natri 2017

Perubahan pada Pasien Geriatri

Proses degeneratif merupakan proses yang melibatkan


berbagai sistem organ. Kapasitas fungsional organ akan
menu run dan berbagai penyakit penyerta dapat memberatkan
penurunan fungsi ini . Selain penurunan fungsi sistem organ,
profil farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang diberikan
untuk pasien geriatri, termasuk obat-obatan anestesia, juga
dipengaruhi oleh perubahan usia. Konsentrasi albumin, yang
merupakan protein pengikat untuk berbagai obat, semakin
menurun pada pasien populasi geriatri. Selain itu metabolisme
obat juga dipengaruhi oleh proses degeneratif pada fungsi
hati dan ginjal.

Anestesia pada Pasien Geriatri

Berbagai penyakit degeneratif memiliki efek bermakna


pada saat melakukan evaluasi preoperatif. Risiko anestesia
semakin bertambah dengan penyakit yang diderita oleh pasien,
sehingga penting menentukan status pasien dan kapasitas
fisiologis pada saat melakukan evaluasi preoperatif. Apabila
kondisi pasien dapat dioptimalkan sebelum pembedahan
tanpa menyebabkan keterlambatan operasi maka hal ini dapat
menurunkan angka morbiditas pascaoperasi. Diabetes mellitus
dan penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang paling
sering ditemukan pada pasien geriatri. Selain itu status kognitif
pasien geriatri juga penting diperhatikan karena defisit kognitif
berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi.
Pemberian premedikasi harus disesuaikan dengan kebutuhan
dan dosis juga harus disesuaikan untuk pasien geriatri.
Usia lanjut bukan merupakan kontr aindikasi untuk
anestesia umum atau regional. Pemilihan teknik anestesia
sebaiknya disesuaikan dengan kondisi pasien dan tindakan
operasi yang akan dilakukan. Anestesia regional memiliki

1 16 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H0Hst1c Perioperative Management In E.l<ierl�: and Genalric Pallt�nt •

keunggulan dalam mempertahankan fungsi paru dan jalan


nafas. Anestesia umum pada pasien geriatri berkaitan erat
dengan insiden hipotermia. Pada kedua teknik sebaiknya
dilakukan penyesuaian dosis dengan titrasi dan diperhitungkan
dengan kondisi pasien. Ma najemen intraoperatif yang
d i laku kan dengan baik berkaitan erat dengan lu aran
pascaoperasi yang optimal.
Penanganan pascaoperasi pada pasien geriatri juga harus
dilakukan dengan berhati-hati karena banyak komplikasi yang
tidak segera timbul pascaoperasi. Masalah paru merupakan
masalah yang paling sering ditemukan pada pasien geriatri.
Perawatan pascaoperasi sering lebih lama dibandingkan
populasi lain. Namun durasi perawatan di rumah sakit yang
terlalu lama juga berkaitan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas pascaoperasi.

Hal yang Perlu Diperhatikan

Gangguan Fungsi Kognitif


Populasi geriatri berkaitan dengan penurunan fungsi
kognitif. Delirium dan gangguan kognitif peri operatif
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, bahkan pada
pasien tanpa gangguan kognitif sebelumnya. Risiko gangguan
fungsi kognitif harus dipikirkan dan didiskusikan dengan
pasien sebelum pembedahan mayor dilakukan.

Delirium didefinisikan sebagai perubahan status mental


yang akut. Delirium sering ditemukan pada pasien geriatri
yang d irawat di ru mah sakit walaupun lama perawatan
singkat. Halusinasi visual disertai delusi sering ditemukan
bersama dengan ansietas atau depresi. Penyebab yang
harus dipikirkan adalah pemberian obat-obatan seperti obat
antikolinergik dan opioid. Ketidakseimbangan elektrolit dan
cairan juga harus dipertimbangkan.

1 17 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1 os1dmg Temu Urrnah Genatri 20i7

Postoperative cognitive dysfunction (POCD) didefiniskan


sebagai deteriorasi pada hasil uji neuropsikiatri ditandai
dengan penurunan fungsi kognitif. POCD biasanya berkaitan
dengan perubahan fungsi dalam jangka panjang dan bersifat
permanen setelah pembedahan. Berbagai penelitian dalam
bidang POCD mengalami hambatan dalam menentukan
apakah penurunan fungsi kognitif pasien akibat pembedahan
atau memang proses degenerative. Sebuah penelitian kohort
menyebutkan insidens POCD pada pasien berusia 60 tahun
ke atas sebanyak 25% pada 1 minggu pascaoperasi dan 10%
pada 3 bulan pascaoperasi. Follow up lebih lanjut menyebutkan
insidens POCS mencapai 1 % pada 2 tahun pascaoperasi. Pasien
usia lanjut disebutkan memiliki peningkatan angka insidens.
Faktor penyebab POCD antara lain: emboli serebral,
gangguan homeostasis perioperatif, dan gangguan kognitif
sebelumnya. Emboli serebral multipel biasanya ditemukan
setelah operasi bypass jantung. Perubahan hom eostasis
dan gangguan elektrolit, seperti hiponatremia, merupakan
penyebab utama terjadinya deliriu m yang apabila tidak
d itatalaksana d engan baik dapat m enyebabkan POCD
berkepanjangan. Pasien dengan gangguan kognitif sebelumnya
dapat memperberat kemungkinan tetjadinya POCD.
Derajat perubahan kognitif dapat dinilai dengan Mini­
Mental State Examination (MMSE) yang mneilai fungsi kognitif
secara global. Penilaian ini dapat dilakukan preoperatif untuk
menentu kan apakah ada gangguan kognitif sebelumnya.
Apabila dicurigai adanya POCD, dapat dilakukan evaluasi
u lang pascaoperasi.
Teknik perioperatif yang baik dapat rnenurunkan angka
tetjadinya gangguan kognitif pad a pasien geriatri. Premedikasi
dengan benzodiazepin dapat rnenyebabkan disorientasi dan
confusion pada pasien geriatri. Hal ini biasanya disebabkan
karena withdrawal yang tiba-tiba. Pada pasien yang sudah
mendapatkan antikolinesterase sebaiknya tidah dihentikan
tiba-tiba. Durasi dan teknik pembiusan d isebutkan juga

1 18 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
HoitStlC P�rioper ativB Manag<.:rnent In E.lder!y and Geria1 ric Pa I.lent •

berkaitan dengan POCD. Anestesia regional lebih disarankan


pada pasien geriatri untuk menurunkan risiko gangguan
kognitif pascaoperasi. Namun penelitian jangka panjang
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara
anestesia um um dan regional terhadap insiden POCD jangka
panjang.

Frailty
Fra i l ty s e r i n g d i s e b u t k a n s e b a g a i k e l e m a h a n
m ultidimensional dengan ad anya v u lnerabilitas d a n
penurunan kapasitas fungsional. FrailhJ didefinisikan sebagai
gangguan homeostasis dengan gambaran disregulasi terhadap
jalur fisiologis dan molekular. Hal ini dapat dipengaruhi oleh
masa perioperatif ketika pasien terpapar stress dan inflamasi.
Berbagai penelitian terbaru menyebutkan bahwa prevalensi
frailty ditemukan meningkat pada pasien yang menjalani
pembedahan. Bahkan disebutkan bahwa frailty merupakan
prediktor bermakna terhadap morbiditas dan mortalitas
pascaoperasi.
Frailty merupakan proses yang dinamik pada pasien
geriatri. Perubahan status pasien dapat berpengaruh pada
kesntasan jangka panjang. Telaah Cochrane yang dimuat dalam
database menyebutkan efek dari rehabilitasi fisik, seperti latihan
fisik, dapat mernperbaiki independensi, kekuatan otot dan gait.
Studi observasional menyebutkan pemberian Angiotensin­
Converting Enzyme (ACE) inhibitor dapat memperbaiki fungsi
otot dan meningkatan kapasitas fungsional. Vitamin D dosis
rendah juga dapat diberikan untuk menurunkan sarkopenia.
Pada masa perioperatif frailhj harus dinilai untuk setiap
pasien geriatri yang m enjalani pembedahan. Evalu asi
preoperatif hams menentukan derajat frailty yang diderita oleh
pasien sebelum operasi. Apabila pasien dalarn keadaan frailty
yang berat maka tatalaksana perioperatif harus dilakukan
dengan berhati-hati. Angka kejadian komplikasi pascaoperasi
juga meningkat.

I 19 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Ternu !irniah Geriatri 2017

Pada pasien geriatri dengan m asalah frailty dapat


d ilakukan prehabilitasi singkat p reoperasi. Penelitian
pada pasien yang akan menjalani Total Knee Arthroplasty
menyebutkan prehabilitasi singkat dengan menggunakan
stimulasi elektrik neuromuskular dengan latihan proprioceptif
dapat memperbaiki luaran pasien pascaoperasi.
Proses pembedahan menciptakan stress pada tubuh.
Morbiditas dan mortalitas yang terjadi pascaoperasi dapat
berkaitan dengan peningkatan stress dan metabolisme pada
tubuh, terutama pada pasien geriatri. Kapasitas fisik yang
buruk berkaitan dengan mortalitas, komplikasi pascaoperasi,
d an lama perawatan pascaoperasi. Prehabilitasi dengan
latihan fisik dan intervensi lain berkaitan dengan perbaikan
luaran pasien geriatri yang akan menjalani operasi sekaligus
mencegah terjadinya komplikasi lanjut. Selain latihan fisik,
prehabilitasi yang disarankan untuk pasien geriatri termasuk
nutrisi. Dalam ha! ini termasuk kontrol gula darah yang
optimal terutama pada pasien dengan diabetes mellitus.

__.._

(.··-ti.31"1'4�
·�t-l<�
. ""'...,,,
'w. - -· ·· · --·-·

l
l· �tt_���-m
� -�t•j
�-· '
) .�..__. (, � I
l ·--ii<l-'ll
i · - (�W
1 -J -..g �;.
) ,"""" � .
L.�.� �···�···"·· ··-·· �J

Gambar 4. Konsep prehabilitasi oleh McGill

I 20 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoiist1c Perioperativ�:: Management In Elderly and Geriatric Patient •

Prehabilitasi d iharapkan dapat rn e rn perbaiki rn asa


penyembuhan pasien yang akan rnenjalani pernbedahan.
McGill mem perkenalkan konsep prehabilitasi mu ltimodal
yakni dengan Iatihan fisik, optirnalisasi rnedis, intervensi
psikologi, dan intervensi nutrisi. Apabila ini dilakukan dengan
baik diharapkan dapat mengurangi insiden mortalitas dan
rnorbiditas pascaoperasi.

Kesimpulan

Populasi geriatri m e r u p akan p o p u lasi yang terus


berkembang seiring dengan pembangunan yang semakin baik,
termasuk di Indonesia. Geriatri berkaitan dengan berbagai
penurunan kapasitas fungsional serta perubahan profil
farrnakokinetik dan farrnakodinamik. Untuk rnenurunkan
risiko perioperatif pada pasien geriatri membutuhkan evaluasi
preoperatif dengan seksarna, manajemen intraoperatif secara
hati-hati dan tatalaksana pascaoperasi yang baik untuk
mencegah terjadinya morbiditas dan rnortalitas.

Referens i
1. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. InfoDATIN: Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2016.
2. Optimal perioperative management of the geriatric patient: a best
practices guideline from the ACS NSQIP/ American Geriatrics
Society.
3. Etzioni DA, Liu JH, Maggard MA, et al. The aging population
and its impact on the surgery workforce. Ann Surg 2003; 238(2):
170-177.
4. Kanonidoe Z, Karystianou G. Anesthesia for the elderly.
Hippokratia 2007; 1 1 (4): 175-177.
5. Bettelli G. Anaesthesia for the elderly outpatient: preoperative
assessment and evalua tion, a na esthetic technique and
postoperative pain management. Curr Opin Anaesthesiol 2010;

I 21 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu lln11ah G e n a t ri 20i7

23(6): 726-31.
6. Gosney M. Acute confusional states and dementias: perioperative
considerations. Curr Anaesth Crit Care 2005; 16: 34-39.
7. Rasmussen LS, Johnson T, Kuipers HM, et al. Does anaesthesia
cause postoperative cognitive dysfunction? A randomised study
of regional versus general anaesthesia in 438 elderly patients.
Acta Anaesthesia! Scand 2003; 47: 260-266.
8. Dasgupta M, Rolfson DB, Stolee P, et al. Frailty is associated
with postoperative complications in older adults with medical
problems. Arch Gerontol Geriatr 2009; 48(1) : 78-83.

I 22 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Pf.� r i o p e r a t ! v�:: Managernent I n Ek1er!y and Gt.-:ric� t r i c Patient •

Prehabilitasi dan Outcome Fungsional


pada Pasien Bedah Geriatri
Siti Annisa N uhonni

Dengan meningkatnya p o p u lasi di atas 65 tahun,


sesuai dengan meningkatnya angka harapan hidup dan
perkembangan teknologi medis, proporsi populasi usia
lanjut yang m elewati prosedur pembedahan meningkat.
Namun tindakan pembedahan pada usia lanjut berasosiasi
dengan risiko tinggi akan komplikasi pasca pembedahan,
peningkatan durasi rawat inap, dan penurunan kemampuan
aktivitas. Seymour pada tahun 1986 membuat 3 kriteria kendala
dilakukannya pembedahan pada usia lanjut, yaitu kendala
medis, seperti kesehatan pasien, adanya penyakit komorbid
obesitas, fraility, riwayat merokok dan sebagainya; kendala
status fungsional; serta ketakutan pasien terhadap tindakan
pembedahan.

Fraility sebagai Faktor Risiko Tinggi


pada Pembedahan

Frailihj atau kerentaan menjadi salah satu faktor risiko usia


lanjut yang menjadi perhatian pada tindakan pembedahan
terkait dengan hasil pembedahan yang diinginkan. Yang
dimaksud dengan fraility yaitu penurunan fisiologis multi­
sistemik dengan kerentanan terhadap stressor (fisik, psikis,
lingkungan, dan sebagainya) yang dapat m engakibatkan
peningkatan risiko disabilitas hingga kematian. Prevalensi
usia lanjut dalam kondisi Jraility yang hams terpapar dengan
tindakan pembedahan berkisar 40-50% . Frailty pra bedah
sangat terkait dengan komplikasi delirium pasca bedah dengan

I 23 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosrding Ternu lim1ah G e ria t ri 2017

Odds Ratio (OR) 1,84. Modifikasi indeks frailhj dengan factor


komorbid dan ketergantungan fungsional berasosiasi dengan
mortalitas tindakan pembedahan emergensi dengan OR 11,7.1

Status fungsional sebagai outcome


pasca pembedahan

Pada pasien usia lanjut, hilangnya kemandirian setelah


pembedahan menjadi perhatian utama, sehingga diperlukan
pengamatan status fungsional pra bedah dan pasca bedah
untuk jangka pendek ataupun jangka panjang. Faktor yang
menggangu peningkatan aktivitas fungsional yaitu depresi,
status kinerja fisik pasien yang buruk sebelum pembedahan,
dan komplikasi pasca pembedahan. Umur tidak menjadi faktor
utama. Hal ini dibuktikan dengan penelitian tentang hubungan
antara umur dan kualitas hid up pada usia lanjut yang tinggal
dalam komunitas dibandingkan dengan pada pasien usia
lanjut yang mengalami pembedahan. Hasil menunjukkan,
hasil kualitas hid up lebih tinggi pada pasien usia lanjut pasca
pembedahan d ibandingkan sebelum pembedahan.
Keadaan fungsional dan kognitif sebelum pembedahan
pada usia lanjut saling berkaitan dan berhubungan dengan
hasil pasca pembedahan yang diinginkan, sehingga kondisi
ini harus dikomunikasikan pada pasien dan keluarga dalam
persiapan pembedahan.2•3 Delirium pasca pembedahan sering
terjadi pada pasien u sia lanjut dan berhubu ngan dengan
gangguan kognitif jangka panjang. Status kognitif sebelum
pembedahan serta riwayat delirium pasca pembedahan mejadi
tolak ukur penting, dibandingkan dengan jenis pembedahan
yang dilaksanakan, dalam proses penurunan kognitif jangka
panjang.

1 24 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hol1st1c Periopera tive M a n a g eme nt !n Elderly and Geriatric Pa llent •

Prehabilitasi

Strategi baru untuk meningkatkan hasil pembedahan yang


diinginkan pada pasien usia Janjut yaitu rehabilitasi sebelum
pembedahan, atau prehabilitasi. Prehabilitasi adalah proses
dalam meningkatkan kapasistas fungsional pada individu
agar ia dapat bertahan terhadap stressor inaktifitas pasca
pembedahan. Prehabilitasi berfokus pada pasien frail dengan
tujuan menurunkan komplikasi, m encegah penam bahan
hari rawat inap dan mempertahankan dan meningkatkan
aktivitas fungsional. Prehabilitasi dilaksanakan melalui
prosedur asesmen geriatri komprehensif dengan melakukan
intervensi pra-pembedahan terarah, yaitu mengoptimalkan
kondisi medis, melakukan program aktivitas fisik, pemberian
nutrisi yang baik dan melakukan strategi untuk mengatasi
kegelisahan pasien. Hal tersebut di atas direncanakan dengan
sistematis meliputi kegiatan pemeriksaan dasar dari aspek
kedokteran fisik dan rehabilitasi, memberikan program
aktivitas fisik aerobik, penguatan otot dengan dosis moderat.
Dari aspek nutrisi diupayakan cadangan nutrisi optimal untuk
mampu mengkompensasi respon katabolik pasca bedah.
Support psikologi hams dilakukan dalam bentuk komunikasi
terapeutik, latihan relaksasi, latihan pernafasan dan latihan
mereduksi kegelisahan. Dalam kepustakaan dinyatakan bahwa
prehabilitasi sebaiknya dilakukan 4-6 minggu pra pembedahan
dengan jadwal pertemuan 3 kali seminggu. Suatu penelitian
tentang pasien usia lanjut dengan komorbiditas atau bukti
terdapatfrailihj, diberikan asesmen geriatri komprehensif pra
pembedahan, terapi pra pembedahan di rumah, perencanaan
pulang pasca pembedahan, serta akses pelayanan pasca
pembedahan. Dengan memfokuskan pada kebutuhan spefisik
pada pasien frail sebelum mereka masuk rumah sakit untuk
pembedahan dan mengembangkan jalur perawatan pasien
rawat inap, terjadi penurunan nilai komplikasi dan durasi
rawat inap secara signifikan. Namun dibutuhkan penelitian-

1 25 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Temu limtah Geria1ri 2017

penelitian lebih lanjut untuk menemukan standar yang tepat


dalam prehabilitasi, dikarenakan masih banyak penelitian
tentang prehabilitasi yang ku rang kuat dalam metodologi
penelitian dan tingkat bias yang tinggi.
Asesmen prehabilitasi sebelum pembedahan dilakukan
pemeriksaan fungsi jantung, paru, lalu dilakukan skoring dari
A merican Society of Anesthetists (ASA), mobilitas, dan Barthel
ADL Index. Pada pemeriksaan lanjut pada asesmen fungsi
rehabilitasi, dilihat dalam 4 tingkat, yaitu tingkat pertama
pada komponen dasar (fleksibilitas, kekuatan, keseimbangan,
koordinasi, dan ketahanan), tingkat kedua pada pergerakan
fisik yang spesifik (kemampuan berpindah atau transfer),
tingkat ketiga yaitu melakukan tugas atau kegiatan yang
bertujuan (Active Daily Living!ADL atau Instrument Active Daily
Living!IADL), dan tingkat terakhir pada fungsi pada suatu
jabatan (role function). Setelah ditentukan status fungsi pasien
saat ini, dilanjutkan dengan asesmen geriatri komprehensif
yang meliputi kondisi medis, kesehatan mental, kapasitas
fungsional, dan sosial.4

Kesimpulan

P r eh a b il itasi p a d a p e m bedahan u s i a lanj u t akan


menu runkan risiko tinggi terjadinya komplikasi pasca
pembedahan, menurunkan durasi rawat inap, mengatasi
penurunan kemampuan aktivitas, dan mengatasi ketakutan
dan kegelisahan pra bedah.

1 26 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Perioperative Managemen1 !n Elderly and Geriatric Patient •

Daftar Pustaka
1. Halter JB, Ouslander JG, Studenski S , High KP, Asthana S
(Professor of gerontology), Su piano MA, et al. Hazzard' s geriatric
medicine and gerontology.
2. Cabilan CJ, Hi nes S, M u n d a y J . The effec tiveness o f
prehabilitation o r preoperative exercise for surgical patients:
a systematic review. JBI Database Syst Rev Implement Reports
[Internet] . 2015;13(1):146-87. Available from: http:/ / content.
w khea Ith.com/ link back/ openurl?sid= WKPTLP:landingpage
&an=01 938924-201513010-00014
3. Santa Mina D, Clarke H, Ritvo P, Leung YW, Matthew AG, Katz
J, et al. Effect of total-body prehabilitation on postoperative
outcomes: A systematic review and meta-analysis. Physiother
(United Kingd o m ) [Internet] . The Chartered Society of
Physiotherapy; 2014;100(3):1 96-207. Available from: http://
dx.doi.org/ 10.1016/ j. physio.201 3.08.008
4. Martin F. Comprehensive Assessment of the Frail Older Patient­
British Geriatrics Society [Internet]. 201 0 [cited 201 7 Jul 4].
Available from: http:/ / www.bgs.org.uk/ good-practice-guides/
resources/ good practice/ gpgcgassessment?jjj=1499181401244.

1 27 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Temu !im1ah Genatri 2 0 1 7

Tatalaksana Mutakhir
Pembesaran Prostat Jinak
Ponco Birowo

Definisi

Hiperplasia prostat jinak (benign prostate hyperplasia­


BPH) adalah tumor jinak yang paling sering terjadi pada
laki-laki.1 Insiden penyakit tersebut berhubungan erat dengan
pertambahan usiaY Prevalensi meningkat 20% pada laki­
laki berusia 41-50 tahun hingga lebih dari 90 % pada laki-laki
berusia lebih dari 80 tahun.1 Prevalensi juga meningkat seiring
peningkatan angka harapan hidup.1-3

Etiologi

Etiologi BPH sampai saat ini belum diketah ui. Teori


yang ada umumnya digunakan adalah penyebab BPH adalah
multifaktorial dan dipengaruhi oleh sistem endokrin.U Studi
menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar
testosterone bebas dan estrogen dengan ukuran volume BPH.
Selain itu, terdapat studi yang menyatakan bahwa penuaan
menyebabkan peningkatan kadar estrogen yang menginduksi
reseptor androgen sehingga meningkatkan sensitivitas prostat
terhadap testosterone bebas.
Sec ara patologis, proses hi perplasia sejati d ise rtai
peningkatan jumlah sel terjadi pada BPH. Pemeriksaan
mikroskopis menunjukkan bahwa BPH tersusun atas stroma
(yang terdiri atas kolagen dan otot polos) dan epitel dengan
rasio yang bervariasi.1

I 28 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Patofisiologi

Kelenjar prostat berada tepat di bawah kandung kaih


dan ditembus oleh uretra. Kelenjar tersebut dibagi menjadi
empat zona, yaitu zona perifer, sentral, stroma fibromuskularis
anterior, dan transisional. BPH terjadi di zona transisional dan
dapat menyebabkan ostruksi pada leher vesika urinaria dan
uretra. Hal itu disebut sebagai bladder outlet obstruction (BOO).
BOO yang disebabkan oleh BPH disebut benign prostate
obstruction (BPO)Y
Gejala yang ditimbulkan oleh BPH dibagi menjadi dua
jenis, yakni gejala obstruksi dan gejala iritasi.1•3 Gejala obstruksi
muncul akibat sumbatan secara langsung terhadap uretra.
Otot detrusor pada kandung kemih gaga! berkontraksi cukup
kuat atau cukup lama sehingga kontraksi yang dihasilkan
terputus-putus.1·3 Gejala iritatif terjadi sekunder pada kandung
kemih sebagai respons meningkatnya resistensi pengeluaran.
Pengosongan yang tidak sempurna menyebabkan rangsangan
pada kandung kemih hingga sering berkonraksi pada kondisi
belum penuh.1·3

Manifestasi Klinis

Secara umum, pasien BPH datang dengan gejala traktus


urinarius bawah (lower urinan1 tract symptoms LUTS) yang
-

terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi.


Gejala obstruksi:1•3
Miksi terputus;
Hesitancy: saat miksi pasien hams menunggu sebelum
urin keluar;
Hams mengedan saat mulai miksi;
Berkurangnya kekuatan dan pancaran urin;
Sensasi tidak selesai berkemih;

1 29 1
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1n9 Temu ! i rrna h G e n a t ri 2017

Miksi ganda (berkemih untuk kedua kalinya dalam waktu


<2 jam setelah miksi sebelumnya);
Menetes pada akhir miksi.

Gejala iritasi:1-3
Frekuensi: sering miksi;
Urgensi: rasa tidak dapat menahan lagi saat ingin miksi;
Nokturia: terbangun saat malam hari untuk miksi;
Inkontinensia: urin keluar di luar kehendak

Tatalaksana

Tatalaksana BPH d apat berupa observasi waspada


(watchful waiting) hingga diperlukan tindakan intervensi. Skor
IPSS dapat digunakan sebagai patokan untuk menentukan
tatalaksana selanjutnya. Prinsip tatalaksana BPH adalah
untuk mengurangi resistensi otot polos prostat (komponen
dinamis) atau mengurangi volume prostat (komponen statis).
Tujuan utama tatalaksana adalah mengatasi gejala pasien,
meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah progresi penyakit
dan sekuelae retensi urin yang potensial.1-4

a. Observasi waspada/watchful waiting


Observasi waspada dapat dilakukan pada pasien dengan
gejala ringan (skor IPSS 0-7).1 Evaluasi dilakukan berkala
pada 3, 6, dan 12 bulan kemudian.1 Evaluasi dilanjutkan
1 kali per tahun. Beberapa saran yang dapat diberikan
kepada pasien diantaranya pengurangan total konsumsi
cairan harian, sejalan dengan pengurangan minuman
yang bersifat diuretik seperti kopi, alkohol, dan minuman
berkarbonasi. Pasien juga dapatt disarankan untuk melatih
buang air kecil terjadwal, Iatihan lantai panggul, dan
menjaga regimen usus untuk menghindari konstipasi.4

I 30 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Perioperative Management In Elderly and Gi:.�riatric Patient •

b. Farmakologi
Keputusan untuk menatalaksana BPH dengan farma­
koterapi hams berdasarkan evaluasi keuntungan yang
didapatkan dari h ilangnya gejala dibandingkan efek
samping potensial yang dapat terjadi akibat obat.4

i. Penyekat adrenergik- al selektif


Pernberian penyekat- a bertujuan untuk rnengharnbat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi
resistensi tonus leher kandung kemih dan u retra.
Studi menunjukkan bahwa alfa-bloker menurunkan
gejala 30% hingga 40% , namun kelas obat ini bekerja
paling optimal pada pasien dengan ukuran prostat
yang lebih kecil (<30 mL). Terdapat obat alfa-bloker:
dua obat generasi kedua seperti terazosin (Hytrin)
d an doxazosin (Cardura) dan tiga obat generasi
ketiga seperti tarnsulosin (Flomax), alfuzosin (Xatral),
da silodosin (Urief). Baik terazosin dan doxazosin
memerlukan titrasi dosis karena juga rnemiliki efek
anti-hipertensif. Tamsulosin, alfuzosin, dan silodosin
pada umumnya tidak rnernerlukan titrasi dosis dan
pada umumnya berhubungan dengan efek samping
yang lebih minimal.4
Alfa-bloker mulai bekerja dalam hitungan jam hingga
hari, namun, obat golongan ini mencapai level efikasi
maksimal dalam beberapa minggu. Efek samping
yang dapat ditimbulkan dari penggunaan obat ini
adalah hipotensi postural, dizziness, atau astenia. Efek
sarnping sistemik yang paling ringan didapatkan pada
penggunaan obat tamsulosin. Tamsulosin memiliki
sifat sangat selektif terhadap reseptor alA. Obat
golongan ini membutuhkan titrasi dosis sebelum
digunakan, kecuali tamsulosin. Dalam beberapa
catatan, terdapat beberapa kejadian pengobatan alfa­
bloker menyebabkan 'floppy iris syndrome' selama

I 31 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Tertn; Hm1ah C3 e r i a t ri 2017

pembedahan katarak pada pasien yang sedang dalam


pengobatan alfa-bloker.7 Oleh karena itu, pengobatan
alfa-bloker hams dihentikan sebelum pembedahan
katarak dan dokter mata harus d iinfo rm asikan
mengenai hal ini.4•7
Silodosin (U rief) bekerja sebagai antagonis
adrenoreseptor-al dengan uroselektivitas yang tinggi.8
Silodosin mendapatkan penerimaan pemasaran
pertamanya di Jepang pada bulan Mei tahun 2006.8
Penggunaan Silodosin telah mendapatkan persetujuan
oleh FDA pada 9 Oktober 2008.8
Silodosin memiliki afinitas yang tinggi terhadap
reseptor a drenergic a l A . Oleh karena itu, Silo­
d o s in tidak m en i m b ulkan hip otensi ortostatik
(berkebalikan dengan obat al -bloker lainnya).8
Antagonis adrenoreseptor alA sedang diteliti sebagai
alat kontrasepsi pria atas kemampu annya untuk
menghambat ejakulasi namun tidak menghambat
orgasme.8

11. Penghambat 5a-reduktase


Konversi testosterone menjadi dihidrotestosteron
(DHT) melalui enzim 5a-reduktase membuat prostat
bertambah ukuran.4 Obat golongan ini bekerja de­
ngan cara menghambar enzim 5a-reduktase, yaitu
suatu katalisator perubahan testosterone menjadi
dihidrotestosteron (DHT) . Efek maksimum akan
terlihat setelah 6 bulan. Contoh obat yang tergolong
dalam penghambat 5-a reductase antara lain Du tasterid
1 x 0,5 mg dan Finasterid 1 x 5 mg. Efek samping dari
penggunaan obat ini adalah gejala-gejala defisiensi
testosterone, seperti disfungsi ereksi, d isfungsi
ejakulatorik, penurunan libido, ginekomastia, dan
dapat menurunkan nilai PSA. Penurunan nilai PSA
tersebut akan menyebabkan masking effect.1-4

I 32 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H ct � �,t 1 c Per�operative Manaqernen1 in Ekierly and GenatrlC Patient •

iii. Terapi kornbinasi


Pasien dengan gejala yang berat, terkecuali prostat
yang besar dan/ atau yang gaga! rnonoterapi dengan
a l fa-bloker d a p a t rn e n d a p a tkan rn anfaat d a r i
kornbinasi terapi dengan alfa-bloker dan a 5-ARI.
Mekanisrne sinergistik 5-ARI (yang rnengurangi
volume prostat) bersarnaan dengan alfa-bloker (yang
rnerelaksasi otot halus prostat) rnenunjukkan rnanfaat
yang besar bagi pasien.
Dua studi trial, yakni MTOPS5 trial dan CornbAT6
trial rn e n u nj u k kan efek s u p er i o r d a r i te r a p i
kornbinasi dibandingkan rnonoterapi dan placebo.
Stu d i M T O PS rn e rn b an d i n g k a n 3047 l ak i -l ak i
yang telah terandornisasi ke dalarn 4 kelorn pok,
yakni placebo, Finasteride, Doksazosin, dan terapi
kornbinasi Finasteride-Doksazosin. Studi tersebut
rnengikuti pasien selarna beberapa tahu n, dan
hasilnya rnenunjukkan bahwa terapi kornbinasi
rnenunjukkan profil perkembangan gejala yang paling
baik dan penurunan progresi penyakit.5 CombAT
trial memasukkan 4000 laki-laki dan merandomisasi
subjek menjadi kelompok hanya tamsulosin, hanya
d u tasteride, a tau terapi kombinasi. Hasil s tu di
tersebut juga menunjukkan bahwa terapi kombinasi
lebih superior dibandingkan monoterapi. 6

iv. PDE-5 inhibitors


Setelah d iterima u n t u k pengobatan d isfungsi
ereksi, studi terbaru menunjukkan bahwa PDE-5
inhibitors (PDE5i) dapat menjadi pilihan lain untuk
pengobatan BPH-LUTS. P D E 5 i m e ningkatkan
guanosin rn o n o fosfat siklik intraseluler, yang
rnenyebabkan reduksi pada tonus otot prostat yang
dimediasi oleh nitrit oksida, seperti pada otot detrusor
dan uretra. Walaupun penggunaan obat golongan

I 33 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu H m 1 a r; c;eriatri 2017

ini tidak mengurangi ukuran prostat (seperti alfa­


bloker), obat golongan ini memiliki efek yang bail<
pada LUTS. Tadalafil (Cialis) adalah pilihan yang
paling populer dan satu-satunya obat yang diterima
oleh urological guidelines di Kanada, Amerika Serikat,
dan Eropa. Satu studi menunjukkan keginaan tadalafil
memiliki efektivitas yang paling tidak sama dengan
alfa-bloker, dan juga berefek mengurangi disfungsi
ereksi, oleh karena itu menimbulkan solusi berganda
bagi penderita BPH dan ED. Sebagai tambahan,
terdapat bukti terapi kombinasi PDESi dan 5-ARI.
Satu studi menunjukkan terapi kombinasi tadalafil
dan finasteride berhubungan dengan perkembangan
BPH-LUTS. Efek samping tadalafil dapat berupa
nyeri kepala, nyeri punggung, facial flushing dan
dyspepsia. Obat golongan ini dikontraindikasikan
pada pasien yang menggunakan nitrat, karena dapat
menyebabkan hipotensi.4

1 34 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H0Hst1c Perioperative M a r: c:gernent I n Elderly and G e r i a t r i c Patient •

LUTS pada pri a

Gej ala me:ngganggu '?


Watchful waitingdengan
I
(+) +- H
atau tanpa edukasi + saran
.� hidup
Poliuri nokturnal

I
H�
Edukasi + saran g_CU@. hidup

(+) dengan atau tanpa anlog


G ej a,l a gangguan vas opresi n

storage?

I Ed u kasi + saran � hidup

H+ (+) dengan atau ta npa antagonjs


reseptor muskarinik
Volume prostat >40
ml?

I
(+ }! (� Edukasi + sa ra n ga¥i!. hidup

Perawatan j:angka dengan atau t:anpa CXi-

panjang? blocker

I
(+)i (J
Edukasi + saran W,9; hidu p dengan atau tanpa 5 a-

reduktase inhibitor ±. a:1-blocker I PDE51

� Tambahkan antagonis
Gejata penyimparum
__...,. reseptor muskarinik
residu urin

Gambar 1. Skema Tata Laksana pada Lower Urinary Tract Syn­


drome (LUTS) Tanpa Indikasi Bedah Menurut EAU, 2016.1

I 35 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu !i011ah Genatri 2017

c. Pembedahan
Pembedahan dapat memperbaiki klinis pasien BPH secara
objektif. Indikasi pembedahan antara lain:1•3
Retensi urin;
Infeksi saluran kemih berulang;
Hematuria makroskopis;
Gaga! ginjal;
Divertikulum buli yang besar;
Batu buli;
Keluhan pasien sedang hingga berat;
Tidak ada perbaikan dengan terapi non-bedah; atau
Pasien menolak pengobatan medikamentosa

Terdapat tiga teknik pembedahan yang direkomendasikan,


antara lain:l-3
Prostatektomi terbuka
Prostatektomi terbuka disarankan dengan volume
prostat >80-100 cm3. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah striktur uretra dan inkontinensia urin.
Insisi prostat transuretra (TUIP)
Prosedur TUIP dilakukan pada volume prostat yang
kecil, kurang dari 30 cm3, tidak terdapat pembesaran
lobus medius, dan tanpa adanya kecurigaan karsinoma
pros tat.
Reseksi prostat transuretra (TURP)
Untuk saat ini, TURP menjadi prosedur baku. Dengan
menggunakan TURP, kejadian trauma lebih sedikit
dengan masa pemulihan lebih singkat.

I 36 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hojistic Perioperat\·t:: Ma.nagernent lri E.!derly and G e r i a t r i c P ath ::nt
. •

C&n fi!W
� i.oo.r
��?

Gambar 2. Skema Tata Laksana pada Lower Urinary Tract Syn­


drome (LUTS) dengan Indikas Bedah Menurut EAU, 2016.1

I 37 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros:ding Ternu Hni1ah Geriatri 2017

d. Tindakan invasif minimal


Termoterapi
Termoterapi di lakukan melalui pemanasan dengan
suhu di atas 45°C yang menyebabkan nekrosis koagulasi
jaringan prostat. Panas dapat dihasilkan melalui berbagai
cara, antara lain transurethral microwave thermotherapy
(TUMT), transurethral needle ablation (TUNA), high
intensity focused ultrasound (HIFU), dan laser.1-4
Pemasangan stent prostat
Stent dipasang intraluminal untuk mengatasi obstruksi
akibat pembesaran prostat. Jenis stent dibagi atas jenis
permanen atau sementara. Stent sementara terbuat dari
bahan yang tidak d iserap dan dipasang selama 6-36
bulan.1-4
UroLift
Teknik yang lebih baru dikenal dengan nama Prostatic
Urethral Lift (PUL), yang bekerja dengan cara menarik
lo bus lateral prostat menggunakan benang yang ditanam.
Keuntungan utama dari teknik ini adalah perbaikan
LUTS dengan menjaga fungsi erektil dan menurunkan
risiko komplikasi operasi dan post-operasi. Studi terakhir
yang d ilakukan oleh Roehrborn et al mengikuti 200
pasien dari berbagai tempat di seluruh dunia selama 3
tahun. Dibandingkan prosedur sham (yang termasuk di
dalamnya sitoskopi dan inisiasi suara yang dimaksudkan
mengimitasi prosedur tersebut), PIL memiliki kelebihan
yang signifikan terhadap skor gejala dan kualitas hidup,
dengan persentase pengobatan ulang yang lebih rendah.9

I 38 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Referensi
1. Gravas M, Bach T, Bachmann A, Drake M , Gacci M , Gratzke C,
dkk; European Association of Urology (EaU). EAU guidelines
on the treatment and follow-up of non-neurogenic male lower
urinary tract symptoms including benign prostatic obstruction.
Eur Urol. 2016 Mar;(1):456-509.
2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman penatalaksanaan BPH
di Indonesia. Jakarta; 2003.
3. Sjamsuhidajat R, Kamadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman
R, penyunting. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-de Jong.
Edisi ke-3. Jakarta: EGC, 2010. H899-903.
4. Blankstein U, Asseldonk BV, Elterman. BPH update: medical
versus international management. Can J Urol 2016;23(Suppl
1):10-15.
5. McConnell JD, Roehrbom CG, Bautista OM, et al. The long-term
effect of doxazosin, finasteride, and combination therapy on the
clinical progression of benign prostatic hyperplasia. N Engl J
Med 2003;349(25):2387-2398.
6. Roehrbom CG, Siami P, Barkin J, et al. The effects of dutasteride,
tamsulosin, and combination therapy on lower urinary tract
symptoms in men with benign prostatic hyperplasia and
prostatic enlargement: 2-year results from the CombAT study.
J Urol 2008;1 79(2):616-621 .
7. Chatziralli IP, Sergentanis TN. Risk factors for intraoperative
floppy iris syndro me: A m eta-analy sis. Ophtha l m ology
201 1;118(4): 730-735.
8. Kobayashi, K; Masumori, N ; Kato, R; Hisasue, S; Furuya,
R; Tsukamoto, T (2009) . "Orgasm is preserved regardless
of eja c u l a tory dysfun c tion w ith selective a l A-blocker
administration". International Journal of Impotence Research.
21 (5): 306-310.
9. Roehrborn CG, Gange SN, Shore ND, et al. The prostatic urethral
lift for the treatment of lower urinary tract symptoms associated
with prostate enlargement due to benign prostatic hyperplasie:
the L.I.F.T. Study. J Urol 2013;190(6):2161-2167.

I 39 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Ternu 1lm1ah Geriatri 2017

Peran Nutrisi Parenteral


bagi Pasien Usia Lanjut yang
Menjalani Operasi
Noto Dwimartutie

Pendahuluan

Malnutrisi p reoperatif merupakan salah satu faktor


risiko yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasca
operasi. Pasien usia lanjut seringkali su dah berada dalam
kondisi malnutrisi atau berisiko malnutrisi sebelum operasi
sehingga meningkatkan risiko buruk pasca operasi. Dukungan
nutrisi perioperatif merupakan aspek penting yang harus
diperhatikan sebagai salah satu tatalaksana perioperatif pasien.
Stud i menunjukkan bahwa dukungan nutrisi perioperatif
termasuk nutrisi parenteral akan memperbaiki luaran klinis
pasien dalam menurunkan lama rawat, mobid itas dan
mortalitas.

Operasi dan Dampaknya terhadap


Metabolisme Tubuh

Operasi, seperti j uga traum a yang lain pada tu buh,


akan menginduksi kondisi stress yang dapat mengganggu
homeostasis tubuh . Respon metabolik tubuh terhadap stress
akibat tindakan operasi adalah kompleks dan melibatkan
respon perubahan hormonal, hematologi, metabolik, dan
imunologi termasuk infamasi. Respon tubuh berkorelasi
dengan derajat stress atau trauma jaringan yang terjadi.
Aktivasi dan stimulasi immune-hypothalamic-pituitary-

1 40 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hol1st1c Perioperative Management l n Ekierly and G t�riatric P a Ut.-:: n t •

adrenal axis (HPA) dan sistem saraf simpatis yang dimediasi


oleh saraf aferen dan sitokin pada lokasi trauma merupakan
awal respon tubuh terhadap stress. Selanjutnya aktivasi
ini mengakibatkan peningkatan sekresi kortisol, epinefrin,
glukagon, growth hormon, aldosteron dan hormon antidiuretik.
Respon inflarnasi dimediasi melalui sitokin antara lain TNF
alfa, IL-1, dan IL-6 , yang berperan dalarn stimulasi aksis
HPA dan aktivasi sistern imun. Kondisi "systemic inflammaton;
response syndrome" ini berdam pak terhadap metabolisme
tubuh. Terjadi katabolisme glikogen, lernak dan protein yang
melepaskan glukosa, asam lemak bebas dan asarn amino
ke dalam sirkulasi sehingga substrat tersebu t diubah dari
normalnya untuk mempertahankan massa protein perifer
(terutama otot) menjadi berfungsi sebagai respon imun dan
penyembuhan. Konsekuensi jangka pendek dari katabolisme
protein ad alah kehilangan m assa otot sedangkan jangka
panjangnya adalah pemu lihan status fungsional.
Respon t u b u h terh a d a p stress o p e r a s i bertuj u an
mem pertahankan volume p lasma, meningkatkan kcurah
jantung dan konsumsi oksigen, memodulasi proses metabolik
untuk memobilisasi cadangan energi (glikogen, adiposa,
jaringan otot skeletal) dalam rangka menyediakan substrat
untuk proses bahan bakar metabolisme, perbaikan jaringan,
dan sintesis protein yang terlibat dalam respon imun.

Tabel 1. Respon sistemik tubuh terhadap operasi

Aktivasi sistem saraf simpatik


Respon stress endokrin
Sekresi hormon pituitary
Resistensi insulin
Perubahan imunologi dan hematologi
Produksi sitokin
Reaksi fase akut
Leukositosis netrofilia
Proliferasi limfosit

1 41 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu lirrnah Geri atri 2017

Tabel 2. Respon hormonal tubuh terhadap operasi

Kelenjar endokrin Hormon Perubahan sekresi

Pituitari anterior ACTH Meningkat


Growth hor111011e Meningkat
TSH Meningkat atau
menu run
FSH dan LH Meningkat atau
menu run

Pituitary posterior AVP Meningkat

Korteks ad renal Kortisol Meningkat


Aldosteron Meningkat

Pancreas Insulin Seringkali menurun


Glukagon Seringkali menurun
sedikit

Tiro id Tiroksin, tri- Menurun


iodotironin

Keterangan: ACTH, a d renocorticotropic horm one; A VP, arginine


vasopressin; FSH, follicle-stimulating hormone; LH, luteinizing hormone;
TSH, thyroid-stimulating hormone

Respon mediator yang terjadi mengakibatkan katabolisme


tubuh untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi pada
pasien. Glukosa, asam lemak dan protein merupakan substrat
yang tersedia dalam tubuh. Simpanan glikogen turun secara
cepat sehingga otot skeletal digunakan sebagai sumber
glukoneogenesis hati.

Metabolisme karbohidrat

Kadar glukosa darah meningkat setelah operasi dimulai.


Kortisol dan katekolamin memfasilitasi produksi glukosa
sebagai akibat peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis
hati. Di lain sisi, penggunaan glukosa di perifer menurun.
Konsentrasi glukosa darah berhubungan dengan intensitas
trauma, yang berkaitan erat dengan peningkatan katekolamin.

1 42 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho;��,t1c Peri o p e r a tive Management ln E.!cier!y a n d G e r i a t r i c Patient •

Mekanisme yang biasanya dilakukan tubuh untuk


mempertahankan homeostasis glukosa tidak efektif selama
periode perioperatif. Hiperglikemia seringkali tetap terjadi
karena h o r m o n katabolik membuat p r o d u ksi glukosa
meningkat disertai pula dengan kekurangan relatif insulin dan
resistensi insulin perifer.

Metabolisme protein

Katabolisme p rotein d istimulasi oleh peningkatan


konsentrasi kortisol. Otot skeletal terutama yang dikatabolisme,
walaupun protein otot viseral juga dikatabolisme. Asam amino
hasil pemecahan protein dikatabolisme untuk energi atau
digunakan di hati untuk membentuk protein baru terutama
protein fase akut (acu te-phase protein). Selain itu hati juga
mengubah asam amino menjadi substrat lain, glukosa, asam
lemak atau badan keton. Katabolisme protein mengakibatkan
kehilangan berat badan dan kehilangan massa otot pada pasien
setelah operasi mayor dan trauma.

Metabolisme lemak

Akibat perubahan hormonal selama operasi, lemak yang


disimpan sebagai trigliserida diubah menjadi gliserol dan asam
lemak melalui jalur lipolisis. Aktivitas lipolisis distimulasi oleh
kortisol, katekolamin dan growth hormone dan dihambat oleh
insulin. Gliserol yang diproduksi dari lipolisis merupakan
substrat glukoneogenesis di hati. G liserol berkontribusi
hingga 20% produksi glukosa melalui glukoneogenesis hati,
sedangkan asam lemak bebas dioksidasi di hati atau otot,
dikonversi menjadi badan keton atau di re-esterifikasi kembali
menjadi trigliserida.

1 43 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tatalaksana nutrisi perioperatif

Tatalaksana nutrisi harus menjadi satu kesatuan dengan


tatalaksana perioperatif yang lain. Tatalaksana nutrisi yang
tepat akan mempertahankan atau mengurangi kehilangan
lean body mass pada pasien selama perioperatif sehingga
pasien diharapkan lebih cepat mobilisasi dan kembali ke status
fungsional dasar.
Untuk mengoptimalisasi kondisi pasien yang malnutrisi
r i n gan, perbaikan n u tr isi d a l a m j a ngka pendek (7-1 0
hari) d ibutuhkan. Pada pasien dengan malnutrisi berat,
jangka waktu yang lebih lama dibutuhkan dan seharusnya
dikombinasi dengan latihan fisik resistensi (resistance training)
bila m em ungkinkan . Dukungan nutrisi dan latihan fisik
merupakan hal penting yang dibutuhkan untuk membentuk
massa protein perifer atau massa sel tubuh.
Dari sisi metabolik dan nutrisi, aspek penting tatalaksana
perioperatif termasuk:

Integrasi tatalaksana nutrisi ke dalam tatalaksana pasien
secara keseluruhan
• Mencegah periode puasa yang lama sebelum operasi
• M u lai makan per oral sesegera mungkin bila kondisi
memungkinkan pasca operasi
• Mulainya terapi nutrisi sesegera mungkin
• Kontrol metabolik seperti kontrol gula darah
• Menurunkan faktor yang mengeksaserbasi katabolisme
atau gangguan fugnsi gastrointestinal
• Meminimalisasi Jamanya agen paralitik pada periode
pasca operasi
• Mobilisasi awal untuk mernfasilitasi sintesis protein dan
fungsi otot

Pengkajian status nutrisi harus dilakukan dan menjadi


bagian penting evaaluasi sebelum dan setelah operasi mayor.
Tujuan skrining m alnutrisi adalah m engidentifikasi dan

I 44 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H0Hst1c Pe· ri ooe r a tive Management In Elderly and Ge r i atri c Pau.,_
-:: n t •

mengoptimalkan pasien yang berisiko gangguan nutrisi pada


kondisi stress operasi. Berbagai macam instrumen seperti
Subjective Global Assessment (SGA), Malnu trition Un iversal
Screening Tool (MUST), dan Nutritional Risk Survey 2002 (NRS
2002) digunakan secara luas untuk mengevaluasi status
nutrisi. NRS 2002 merupakan instrurnen yang sudah divalidasi
dengan baik pada pasien yang menjalani operasi. Stu di pada
1 193 pasien yang menjalani operasi bypass kardiopulmoner
menunjukkan bahwa pasien malnutrisi yang dideteksi dengan
instrumen Mini Nutritional Assessment (MNA) dan MUST
berhubungan dengan komplikasi pasca operasi, mortalitas
di rumah sakit, lama rawat di ruang rawat intensif, dan lama
rawat selama di rumah sakit.
Pada pasien operasi, indikasi terapi nµtrisi adalah
pencegahan dan tatalaksana katabolisme dan rn alnutrisi.
Terapi nutrisi operatif diindikasikan pada: pasien dengan
m a lnutrisi d an pasien yang berisiko m a lnutrisi, pada
pasien yang diantisipasi tidak dapat makan lebih dari 5 hari
perioperatif, pasien yang memiliki asupan oral yang rendah
dan tidak dapat mempertahankan lebih dari 50% asupan yang
direkomendasikan lebih dari 7 hari. Kebutuhan energi dan
protein diestirnasi dengan menghitung 25-30 kkal/ kg dan 1,5
g/ kg berat badan ideal.
The European Socieh; For Clinical Nutrition And Metabolism
(ESPEN) merekomendasikan dukungan nutrisi preoperatif
pada pasien dengan malnutrisi berat 7-1 4 hari sebelurn
operasi mayor. Pada pasien dengan malnutrisi berat yang
tidak dapat diberikan m akanan secara oral atau enteral,
ESPEN merekomendasikan pemberian nutrisi parenteral 7-14
hari sebelum operasi. Berdasarkan ESPEN working group
(2006), risiko malnutrisi berat didefinisikan setidaknya satu
dari kriteria yaitu kehilangan berat badan > 1 0-15% dalarn
6 bulan, IMT <18,5 kg/ m2, SGA grade C atau NRS > 5, dan
serum albumin < 30 g/1 (tanpa adanya bukti disfungsi hati
atau ginjal).

1 45 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1os1ding Ternu Hn1tah Genatri 2017

Nutrisi Parenteral Pada Pasien Usia


Lanjut yang Menjalani Operasi

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, terapi nutrisi


perioperatif m erupakan aspek esensial pada tatalaksana
perioperatif. Pemberian nutrisi dapat secara oral, enteral dan
parenteral tergantung pada kondisi pasien. Pemberian oral dan
enteral merupakan yang utama, namun dapat digantikan atau
dikombinasi dengan nutrisi parenteral bila terdapat indikasi.
Pasien usia lanjut seringkali mengalami kondisi malnutrisi
sehingga pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi
berisiko tinggi mengalami berbagai dampak negatif atau
komplikasi operasi. Frailty dan sarkopenia pada pasien usia
lanjut yang berkaitan dengan kehilangan massa otot dan
penurunan performa berhubungan dengan pentingnya asupan
nutrisi yang adekuat termasuk asupan protein. Terkait dengan
metabolisme protein pada respon stress, maka kehilangan
massa otot pada kondisi perioperatif dapat makin bertambah
pada usia lanjut sehingga tatalaksana nutrisi perioperatif
menjadi penting.
ESPEN merekomendasikan beberapa hal terkait nutrisi
parenteral. Nutrisi parenteral menjadi pilihan bila bila terdapat
kontraindikasi pemberian nutrisi enteral yaitu adanya ileus
atau obstruksi usus, syok berat, iskemia usus, fistula high
output, dan perdarahan intestinal berat.
Apabila kebutuhan energi dan nutrisi tidak dapat dipenuhi
dengan asupan oral dan enteral sendiri (< 50% kebutuhan
kalori) lebih dari 7 hari, ESPEN merekomendasikan kombinasi
enteral dan parenteral. Nutrisi parenteral seharusnya diberikan
sesegera mungkin jika terapi nutrisi diindikasikan dan terdapat
kontraindikasi nutrisi enteral seperti obstruksi usus.
Nutrisi parenteral preoperatif hanya diberikan pada pasien
dengan kondisi malnutrisi atau berisiko malnutrisi berat
dimana kebutuhan energi tidak dapat dipenuhi oleh nutrisi
enteral dan oral. ESPEN merekomendasikan periode 7-14

1 46 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hon�, tic Periopera tiv� Management hi Elderly and G,:: n a t r i c Patl,:nt •

hari pemberian sebelum operasi. Manfaat nutrisi parenteral


selama 7-14 hari terbukti pada pasien dengan malnutrisi berat
(kehilangan berat badan>15%) sebelum operasi gastrointestinal
mayor. Jika nutrisi parenteral diberikan selama 1 0 hari
pre operasi dan dilanjutkan 9 hari pascaoperasi, kejadian
komplikasi 30% lebih rendah dan terdapat kecenderungan
penurunan angka mortalitas. Pada analisis yang dimuat di
Cochrane, pemberian nutrisi parenteral praoperasi mengurangi
komplikasi secara signifikan dari 45 % menjadi 28 % pada pasien
yang menjalankan operasi gastrointestinal.
Stu d i menunju kkan pemberian nu trisi parenteral 25
kkal / kg dan protein 1,5g/ kg tidak m eningkatkan risiko
hiperglikemia dan komplikasi infeksi, sebaliknya disisi lain
memperbaiki balans nitrogen. Pada pasien usia lanjut yang
menjalani operasi kanker gastsrointestinal, kombinasi nutrisi
enteral dan parenteral menunjukkan manfaat klinis yang lebih
baik dibandingkan dengan nutrisi enteral atau parenteral saja.
Peningkatan asupan energi dapat diperoleh dengan pemberian
lemak melalui akses vena perifer.
ESPEN merekomendasikan beberapa hal lain terkait nutrisi
parenteral. Rekomendasi ESPEN adalah pemberian nutrisi
parenteral sebaiknya dalam all-in-one bag (three chamber bag
atau seperti yang telah disiapkan farmasi). Studi menunjukkan
adanya manfaat biaya yang lebih baik menggunakan three
chamber bag dibandingkan sistem multibottle serta risiko
infeksi aliran darah yang lebih rendah bila menggunakan three­
chamber-bag. ESPEN selain itu merekomendasi pertimbangan
pemberian suplementasi glutamin secara parenteral pada
pasien yang tidak dapat makan adekuat secara enteral sehingga
membutuhkan nutrisi parenteral. Glutamin merupakan asam
amino esensial yang dilaporkan memiliki banyak manfaat
teramsuk mempertahankan keseimbangan asam basa, sintesis
glutation dan arginine, menurunkan resistensi insu lin,
bahan bakar sel untu k p roliferasi (enterosit dan limfosit)
dan berfungsi sebagai substrat untuk glukoneogenesis.

1 47 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Ternu Hm1ah Geriatri 2017

Pem berian s u p l e m entasi asam l em ak o m ega 3 secara


parenteral pascaoperasi dipertimbangkan j uga diberikan
pada pasien yang tidak dapat makan adekuat secara enteral
sehingga membutuhkan nutrisi parenteral. Omega 3 memiliki
efek bermanfaat selama periode perioperative dengan
memodulasi fungsi leukosit dan regulasi pelepasan sitokin,
serta meningkatkan produksi prostaglandin resolvin dan
neuroprotektin yang berperan dalam mengakselerasi resolusi
kondisi proinflamasi.

Kesimpulan
Tatalaksana nutrisi perioperatif merupakan salah satu
komponen penting dalam penatalaksanaan perioperatif pasien
usia lanjut. Nutrisi parenteral menjadi salah satu pilihan sesuai
indkasi dalam memperbaiki luaran klinis pasien.

Daftar Rujukan
1. Gilliis C, Carli F . Prom oting perioperative metabolic and
nutritional care. Anasthesiology 2015;123:1455-72
2. Desborough JP. The stress response to trauma and surgery. Br J
Anaesth 2000;85:109-17
3. Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, Fearon K, Weimann A, Bozzetti
F. ESPEN guidelines on parenteral nutrition: surgery. Clin Nu tr
2009;28:378-86
4. Weimann A, Braga M, Carli F, Higashiguchi T, Hubner M, Klek
S, et al. ESPEN guideline: clinical nutrition in surgery. Clin Nutr
2017;36:623-50
5. Martindale RG, McC!ave SA, Taylor B, Lawson CM. Perioperative
nutrition: what is the current landscape?. JPEN JParenter Enteral
Nutr. 2013;37:5S-20S
6. Abdelhamid Y A, Chapman MJ, Deane AM. Peri-operative
nutrition. Anaesthesia 2016;71(suppl.1);9-18
7. Lomivorotov VY, Efremov SM, Boboshko VA, Nikolaev DA,
Vedernikov PA, Deryahon M N, et al. Prognostic value of
nutritional screening tools for patients scheduled for cardiac
surgery. Interact Cardiovasc Thorac Surg. 2013; 16(5): 612-618.

I 48 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoi!st1c Perioperative Management In Elderly a n d Geriatric PaUt�nt •

8. Steenhagen E. Enhanced Recovery After Surgery: it's time to


change practice. Nu tr Clin Pract 2016;31 :1 8-29
9. Ma rtindale RG, Maerz LL. Management of perio perative
nutrition support. Curr Opin Crit Care 2006;1 2:290-94

1 49 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
<!?' P r osidi11g Ternu H rn i a h Genatri 20·17

Manajemen Perioperatif pada


Pasien Geriatri dengan Demensia
M a rtina Wiwie S.

Pendahuluan

OULDD umumnya sebagaimana orang lanjut usia (OUL)


lainnya jika mendengar dokter menyatakan bahwa ia 'hams
d ioperasi" sebagian besar merasa kaget dan kalut/galau
perasaannya sehingga mencoba mencari alternatif lain jika
m u ngkin, walaupun akhirnya pasrah. Persepsi seseorang
terhadap 'operasi' diasosiasikan dengan pisau bedah, anestesi
dan risiko kematian . Pikiran cemas, taku t dan waswas
mendom inasi, apakah operasi akan berhasil memperbaiki atau
menyembuhkan penyakitnya?
Persia pan tim dokter sebelum operasi dilakukan biasanya
meliputi berbagai aspek diantaranya adalah menimbang risiko
dan keuntungan yang dapat diperoleh bila pasien menjalani
operasi, serta mengindentifikasi faktor risiko yang mungkin
terjadi selama m aupun setelah operasi. Risiko perioperatif
dapat d idefinisikan sebagai hasil yang tidak diinginkan
akibat dari operasi dan atau anastesi. Hal ini merupakan
representasi yang terkait dengan prosedur operasi, usia
pasien serta kondisi medis pasien sebelumnya. Risiko yang
berkaitan dengan prosedur operasi seringkali terjadi pada
operasi emergency dibandingkan dengan operasi elektif yang
sudah menyesuaikan tehnik operasi dan menyesuaikan operasi
menjadi kurang invasif. Risiko yang berkaitan dengan pasien
berupa usia yang menyebabkan penurunan fungsi fisiologis,
m ultii-morbidity dan frailty.
Elemen-elemen yang dapat d i penu h i dengan baik
selama pre-operatif dan dilanjutkan sampai dengan periode

I 50 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!1st1c PPrionerati\H::! Management In Elderly and G t-::i riatric Patient •

post-operatif dapat menghindari komplikasi pada pasien.


Penatalaksanaan s e telah o perasi d i a n ta ranya a d a l a h
penanganan nyeri. Mengapa ha! ini penting? Analgesik yang
inadekuat selama operasi dapat menimbulkan efek samping
post-operatif termasuk diantaranya delirium, komplikasi
kardiorespirasi dan kegagalan untuk mobilisasi.
Pemahaman tentang sifat, latarbelakang budaya dan
kondisi mental emosional OULDD yang akan dioperasi perlu
diketahui betul agar operasi dapat berlangsung dengan bail<.

Pasien Usia Lanjut dengan Demensia

Orang dengan demensia (ODD) memiliki keterbatasan


dalam memahami situasi kondisi yang terjadi di sekeWingnya,
termasuk mengerti informasi yang disampail<an oleh staf medil<
tentang penyakitnya dan tindakan operasi yang direncanakan.
Jika masih mampu memahami informasi yang disampaikan
dokter/perawat pun informasi ini tidak dapat disimpan dalam
ingatan pasien sehingga ia akan bertanya berulang-ulang
serta tidak sabar menunggu tindakan. Apalagi jika disertai
dengan gangguan pendengaran dan atau penglihatan. Hal ini
mempersulit pelaksanaan persiapan operasi maupun program
rehabilitasi.
ODD yang sudah lanjut usianya lebih rentan mengalami
risiko-risiko pascaoperasi. Salah satu risil<o tertinggi adalah
delirium . Delirium merupakan kondisi medik emergency
yang ditandai oleh fluktuasi tingkat kesadaran dan fungsi
kognitif secara mendadak (beberapa jam atau hari) dengan
gangguan nyata pada atensi, orientasi dan memori. Bisa juga
disertai gangguan persepsi (ilusi dan halusinasi) atau delusi
yang mengakibatkan kegelisahan psil<omotor sehingga pasien
mencabut selang infus atau selang NGT. 1-3 Hal ini sering
terjadi pada OUL akibat komplikasi selama operasi terkait
dengan proses penuaan, perubahan metabolik, polifarmasi,

1 51 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1 ng Ternu nrrnah G e n a t ri 2017

efek samping obat serta adanya penyakit neurodegeneratif.


Selanjutnya akan dibahas beberapa kondisi perioperatif yaitu
delirium, depresi dan penu runan fungsi kognitif setelah
tindakan operasi (post operative cognitive disorder - POCD).

Delirium
Delirium terjadi secara akut dalam hitungan jam sampai
dengan hari dan dapat bertahan sampai dengan hitungan
m inggu . Gejala yang tampak dapat berupa d isorientasi,
atensinya terganggu, gangguan persepsi seperti ilusi maupun
h alusinasi, h iperaktif atau hipoaktif secara psikomotor,
gangguan siklus bangun-tidur, perubahan mood, serta
gangguan proses pikir. Pada ODD perbaikan delirium dapat
lebih lama, berlangsung berminggu-minggu bahkan bulan.1•3.4
Hal ini m ungkin berhubungan dengan p roses penuaan,
gangguan metabolik, hipoksia serta kondisi demensia sendiri
yang sangat rentan terhadap perubahan kimiawi- fisiologis
di otak
B a g a i m a n a cara melakukan pencegahan delirium
post-operasi? Dapat dilakukan berbagai cara diantaranya
mem persiapkan kondisi mental dan fisik pasien sebelum
operasi, penilaian risiko yang adekuat, peninjauan obat-obatan,
rencana rehabilitasi setelah operasi serta deteksi dini dari gejala
dan tanda delirium. Untuk deteksi dinilai staf medik dapat
dipergunakan instrumen CAM (confusion Assessment Method)
yang umum dipergunakan di UGO maupun ICU.
Sebelum menjalani operasi seringkali pasien usia lanjut
memiliki kekhawatiran yang nantinya berpotensi sebagai
m asalah preoperatif dan pascaoperasi. Pada pasien yang
memiliki kekhawatiran atau kecemasan berlebih maka
tindakan staf yang efektif adalah komunikasi yang baik,
mulai dari informed consent sampai dengan penjelasan risiko
maupun program rehabilitasi sesudah operasi yang dapat
terjadi agar terdapat persepsi yang sama antara dokter dan
harapan pasien.

I 52 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoi!St1c Perioperat!v8 Manag c·�rnent In Elderly and Gt.'
:ria1ric Pa ll·.=nt •

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk penanganan


delirium pascaoperasi diantaranya adalah melakukan penilaian
terhadap faktor risiko yaitu usia diatas 65 tahun, penurunan
kognitif kronis atau demensia, penglihatan dan pendengaran
yang berkurang, penyakit berat dan adanya infeksi. Selain itu
skrining delirium pascaoperasi hams dilakukan menggunakan
instrumen yang valid seperti CAM pada seluruh pasien dengan
risiko tinggi (pasien ICU) yang dilakukan secara berkala.
Evaluasi terhadap pasien yang menderita delirium dipusatkan
untuk menghindarkan pencetus delirium yaitu kondisi yang
dapat memicu timbulnya delirium . Kondisi tersebut bisa
berupa nyeri yang tidak terkontrol, hipoksia, pneumonia,
infeksi, kelainan elektrolit, retensi urin, obat-obatan d an
hipoglikemia.1 •3•5
Sekitar 40% kasus delirium dapat dicegah, dan tatalaksana
terbaik dari delirium adalah pencegahan. Ketika sudah terjadi
delirium maka langkah pertama untuk penatalaksanaan adalah
mencari kemungkinan penyebab dan menangani penyebab/
pemicu tersebut selain mengidentifikasi factor risiko yang ada
pada pasien.
Strategi pencegahan delirium d iantaranya adalah
edukasi oleh tenaga kesehatan mengenai delirium, intervensi
nonfarmakologis seperti aktifitas fisik h arian, orientasi
kembali fungsi kognitif, perbaikan waktu tidur, mobilisasi
dan rehabilitasi fisik d ini, adaptasi terhadap gangguan
penglihatan dan pendengaran, pemenuhan nutrisi dan cairan,
penggunaan obat-obatan yang tepat, oksigenasi yang adekuat
dan pencegahan konstipasi.
Talaksana delirium pascaoperasi pilihan utamanya adalah
intervensi non-farmakologis seperti re-orientasi dengan suara,
kalender dan jam, menimbulkan lingkungan yang tenang,
mengeliminasi penggunaan restraint, menggunakan barang­
barang yang familiar di kamar, menggunakan alat bantu
untuk gangguan yang dialami (kacamata, alat bantu dengar).
Pada pasien delirium dengan agitasi psikomotor yang dapat

I 53 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Temu timiah Geriatri 2017

membahayakan diri sendiri ataupun orang lain dapat diberikan


antipsikotik pada dosis efektif terendah seperti haloperidol 0.5-
1 mg PO atau dapat juga digunakan Risperidon, Olanzapin,
Quetiapin atau Ziprasidon.1•3•5•6

Depresi pascaoperasi

Gangguan Depresi adalah kondisi mental emosional yang


cenderung hipotim, murung, sedih hampir sepanjang hari
selama dua minggu (criteria ICD 10); ditandai dengan tidak
ada rasa senang, hilang minat dan lesu serta tak ada nafsu
makan, gangguan tidur, rasa bersalah berlebihan, cemas,lkuatir
berlebih, banyak keluhan sakit dll. Mengapa hal ini bisa terjadi
pada psien lanjut usia pasca operasi?
Perbedaan ekspektasi pasien terhadap hasil o.perasi dapat
menimbulkan kekecewaan dan rasa menyesal, apalagi jika
kurang dukungan dari lingkungan keluarga. Adanya depresi
ini akan mempersulit pelaksanaan program pemulihan yang
telah direncanakan. Depresi dapat dicegah dengan mendeteksi
lebih d ini kecenderungan mekanisme koping dan kekuatan
ego pasien, mengidentifikasi kepribadiannya sehingga data
diberikan psikoterapi su portif dan konseling keluarga sebelum
tindakan operasi dilakukan.2•3
Jika gangguan depresi terjadi pascaoperasi, sebaiknya
segera d ikonsultasikan kepada psikiater usia lanjut agar
dapat d iberikan obat maupun psikoterapi yang sesuai.
Depresi dengan gangguan memori (pseudodemensia) yang
berkepanjangan akan menjadi riisko terjadinya penurunan
fungsi kognitif progresif atau demensia Alzheimer.

POCD (post operative cognitive disorder)


Selain perubahan status mental yang fluktuatif yaitu
deliriu m / acu te confu sion al s tate, terdapat ju ga masalah
penurunan kognitif pasca bedah atau yang sering disebut

I 54 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Perioperativ� MRnagernent I n Elderly a n d Gt
::riatr1c Patient •

POCD. Anamnesis dan skrining yang praktis dapat membantu


untuk mendeteksi POCD misal Mini Men tal Status Evaluation
(MMSE), Mini-Cog atau Cognistat. "3.7
Gangguan kognitif yang terjadi pascaoperasi sering
dikeluhkan oleh keluarga pasien. Apakah benar penurunan
kognitif ini terjadi karena tindakan operasi? Karena tim
dokter tidak mempunyai data dasar kondisi fungsi kognitif
sebelu mnya, m aka belu m tentu gangguan ko gnitif ini
berhubungan dengan operasi yang dijalani pasien. Bisa jadi
pasien sudah mengalami sindrom pra demensia atau hendaya
kognitif ringan yang tidak diketahui oleh anggota keluarga
namun kemudian menjadi lebih nyata pada saat sesudah
operasi karena perhatian keluarga terhadap pasien lebih besar.
POCD didefinisikan sebagai gangguan proses berpikir
seperti memori, atensi, dan atau konsentrasi yang terjadi
pada beberapa minggu atau bulan pascaoperasi. Kondisi ini
menjadi sulit dikenali pada tahap awal pascaoperasi karena
membutuhkan pemeriksaan khusus psikiatris dan nerurologis.8
Domain kognitif yang terganggu adalah verbalisasi, memori,
pengertiary'pemahaman bahasa, abstraksi, visuospasial, atensi
atau konsentrasi.9 Hal ini perlu dibedakan dengan delirium
yang perubahannya terjadi secara akut dan sementara.
POCD berhubungan dengan perbaikan kesehatan yang
lebih lama, morbiditas yang lebih tinggi, dan keterlambatan
dalam perbaikan fungsional.9•10 Insidensinya bervariasi sekitar
7 - 71 % saat hari ke 7-8 pasca bedah dan sekitar 6 - 56 % saat
hari ke 42 - 84 pasca bedah.11 Penelitian lain menyebutkan,
insidens POCD spesifik terhadap bedah jantung yaitu sekitar
30-80% untuk beberapa minggu dan sekitar 10-60 % untuk 3-6
bulan pasca bedah.12 Menurut Morgan, POCD bisa mencapai
sampai tiga bulan pascaoperasi (sebanyak 10-1 5 % ).13
Kondisi POCD perlu dikenali dan ditangani dengan
komprehensif agar tidak berkelanjutan menjadi demensia yang
tatalaksananya sangat kompleks ndan sampai saat ini masih
belum ada obat yang dapat mengembalikan ke kondisi semula
(demensia alzheimer).

1 55 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu Hrrnah Genatri 2017

Penutup
Tindakan operasi pada orang berusia lanjut dengan
dem ensia ad alah hal yang perlu dipertim bangkan baik­
baik manfaat dan risiko yang potensial terjadi sesudahnya.
Persiapan operasi adalah hal yang paling penting termasuk
kondisi fisis dan psikis yang prima disamping penyusunan
care plan yang komprehensif, dukungan keluarga dan tim
medis yang solid.
Manajemen peri-operatif sebaiknya dipimpin oleh seorang
manager (dokter atau perawat atau staf lain) yang khusus
menangani pasien usia lanjut dengan demensia. Fokus dari
tatalaksana adalah ku alitas hidup pasien sehingga aspek
mental emosional maupun kenyamanan fisik menjadi sangat
penting. Kualitas hidup seorang lanjut usia dengan demensia
sangat erat berkaitan dengan pandangan hidup, nilai-nilai
budaya dan spiritual, relasi sosial dan kapasitas kemandirian
selain faktor finansial dan kesehatan.

Referensi
1. Marc E . Agronin, Gabe J . Maletta . Principle and Practice
of Geriatric Psychia try . Lippincot Williams and Wilkins.
Philadelphia 2006.
2. Sadock, BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock's Synopsis Of
Psychiatry Eleventh Edition. Wolters Kluwer. 2015
3. James E. Spar, Asenath La Rue. Geriatric Psychiatry, second
edition. American Psychiatric Press. Washington - London, 1997.
4. Mohanty, S, et al. Optimal Perioperative Management of the
Geriatric Patient: A Best Practices Guideline from the American
College of Surgeons NSQIP and the American Geriatrics Society.
Elsevier Inc. 2015.
5. Griffiths, R. Et al. Peri-Operative Care of the Elderly 2014. AAGBI
Safety Guideline: Anasthesia 2014; 69 s1: p 81 -98.
6. Linda Clare. Neuropsychological Rehabilitation and People With
Dementia. Psychological Press. First published. 2008.

I 56 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
7. Kenneth Shulman, Anthoni Feinstein. Quick Cognitive Screening
for Clinicians, revised edition. Mini mental, Clock Drawing and
Other Brief Tests. Informa Healthcare. 2006.
8. Guedel's Stages of Anaesthesia [Internet] . [cited 201 7 Mar 4].
Available from: http:/ / www.mediconotebook.com / 2013/01/
guedels-stages-of-anaesthesia.html
9. Gottschalk A, Van Aken H, Zenz M, Stand) T. Is Anesthesia
Dangerous? Dtsch Arztebl Int. 2011 Jul;1 08(27):469-74.
10. Ian Andrew James. Cognitive Behavioral Therapy with Older
People, intervention nfor those with and without Dementia.
Jessica Kingsley Publisher. London-Philadelphia. 2010.
1 1 . Sieber FE, Barnett SR. Preventing postoperative complication in
the elderly. Anesthesiol Clin. 2011 Mar;29(1) :83-97.
1 2. Silbert BS, Evered LA, Scott DA. Incidence of postoperative
cognitive dysfunction after general or spinal anaesthesia for
extra corporeal shock wave lithotripsy. Br J Anaesth. 201 4
Nov;113(5):784-91.
13. Morgan GE, Maged SM, Michael JM. Clinical Anesthesiology.
6th ed. New York: Lange Medical Books; 2006.

/ 57 /
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
� Presiding Ternu Hm1ar, Geriatri 2 0 1 7

Peran Pengkaj i a n Paripurna Pasien


G e riatri (P3 G/CGA) dalam Pengelo laan
Pasien Geriatri d i era Jaminan
Kesehatan Nasional (J KN): Telaah
Cost Effectiveness Ana lysis (CEA)
Czeresna Heriawan Soejono

Pendahuluan

Sejak d iberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional


tahun 2014, jumlah pasien yang berobat ke fasilitas pelayanan
kesehatan meningkat pesat, termasuk pasien geriatri. Salah
satu sasaran strategis dalam bidang pelayanan kesehatan
adalah terjaminnya akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang bermutu tinggi.
Dua aspek penting yang hams diperhatikan adalah: akses
pelayanan dan mutu pelayanan. Kedua aspek penting tersebut
hams terpenuhi untu k semua kelompok pasien termasuk
mereka yang bemsia lanjut. Pasien geriatri mempakan subset
khusus dari pasien usia lanjut yang lebih rentan sehingga
sangat mudah terpengamh oleh mu tu pelayanan yang kurang
baik. Jika akses dan mutu pelayanan terhadap pasien geriatri ini
telah terpenuhi, pertanyaan selanjutnya adalah apakah sumber
daya yang digunakan telah cukup bijak digunakan? Apakah
proses pelayanannya telah cukup sangkil dan menghasilkan
kualitas pelayanan yang mangkus? Dalam istilah ekonomi
kesehatan pertanyaan yang hams dijawab adalah apakah
pelayanannya telah cost effective?

I 58 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Definisi Pasien Geriatri

Kelompok pasien yang rentan antara lain adalah pasien


usia lanjut yang disertai beberapa ciri lain. Karakteristik atau
ciri lain dari pasien-pasien ini adalah penyakitnya majemuk
atau ganda, disertai penurunan daya cadangan faali, dan
perubahan status fungsional, acapkali mengalami malnutrisi,
dan sayangnya tampilan klinis menyimpang dari yang lazim
di kenal. Tidak semua pasien yang berusia lanjut termasuk
pasien geriatri. Tidak jarang pasien yang diduga merupakan
pasien usia lanjut ternyata adalah pasien geriatri. Dibutuhkan
ekspertise tertentu untuk dapat mengenali dan mengelola
pasien geriatri. Alih-alih ingin menolong namun karena tidak
mampu mengidentifikasi dengan jeli maka diagnosis tepat
akan terlambat ditegakkan; pada gilirannya pasien geriatri
akan terlambat ditolong. Hal ini diperburuk dengan penurunan
daya cadangan faali pasien geriatri, sehingga keluaran menjadi
lebih buruk.
Tampilan klinis yang menyimpang merupakan salah satu
contoh penyebab sulitnya menetapkan diagnosis utama pada
pasien geriatri. Sindrom delirium (dengan rentang gejala dan
variabilitas jenis tanda penyakit) atau acute confu.sional state,
instabilitas postural, dan i mobilitas merupakan beberapa
contoh manifestasi klinis pasien geriatri yang sering dijumpai.
Manifestasi klinis tersebut sebenarnya dilatar-belakangi oleh
diagnosis utama yang sering fatal, seperti pneumonia dengan
gaga! nafas, gaga! jantung, infark miokard akut, gangguan
elektrolit atau asam basa, strok, dan sebagainya. Dapat
difaharni bahwa jika identifikasi jitu gejala dan tanda tidak
dilakukan dengan baik maka pasien akan terlambat ditolong.
Selain masalah-masalah fisik dan fungsional di atas, pada
pasien geriatri sering sekali dijumpai persoalan di bidang
psiko-sosial. Depresi, demensia, gengguan penyesuaian,
ketergantungan, terlantar, ditelantarkan, dan isolasi tidak
jarang memperkeruh situasi dan menyulitkan pemulihan yang

I 59 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1119 Teinu Hm1ah Genatri 2 0 1 7

adekuat. Oleh sebab itu pengelolaan pasien geriatri haruslah


disertai ekspertise memadai dengan kelengkapan sarana dan
prasarana yang optimal. Pasien geriatri yang menjadi peserta
BPJS tentu berhak mendapatkan layanan sesuai dengan yang
seharusnya diperoleh.

Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri

M e m perhatikan komp leksitas permasalahan pasien


geriatri seperti dilukiskan di atas, diperlukan pendekatan
khusus untuk memenuhi kebutuhan pasien geriatri.

Anamnes i s dan PJ
SISTEM Klinis, AMT,
. ..
//�----
(\. :��I/
-- �...,>\,,..,
--

K _.(_�-
...-
.PSll<O-

KOGNJTIF
\
-- ---.....

) '
M MSE, GOS

, ! �-,.._
\, I ./( '\,\ /
""·"' I __ ./ '--- \ __.,./

50SlAL I
FUNGSIONAL

....______
.. ,,,/,. Anam nesis, kunjunga n
AOL, IAO L, MNA rum a h

Gambar 1 . Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri


Keterangan:
PJ : pemeriksaan jasmani
AOL : activity of daily living
AMT : abbreviated mental test
!AOL : instrumental activity of daily living
MMSE : mini.mental state examination
MNA : mini nutritional assessment
GOS : geriatric depression scale

1 60 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H on �.t1c Pcriope r a t!v�:: M a n a gernen1 l n Elderly and Geri a t ri c P atl t-:: n t •

Gambar 1 di atas menjelaskan secara ringkas salah satu


pilar utama P3G. Asesmen pasien geriatri harus melingkupi
tidak saja aspek fisik biologik, namun j uga aspek psiko­
kognitif, dan sosial. Sebagai interaksi dari ketiga aspek
tersebut, dapat dikenali aspek keempat dan kelima yakni status
fungsional serta nutrisi. Anamnesis dan pemeriksaan jasmani
sistem, pemeriksaan AMT, M MSE, GOS, AOL, IAOL, MNA,
dan kunjungan mmah mempakan instmmen dasar dalam
melakukan P3G.
Pilar lain yang hams ditegakkan dalam pelaksanaan P3G
adalah pendekatan secara interdisiplin; pendekatan kuratif
yang hams diiringi dengan pendekatan promotif-preventif­
dan rehabilitatif; penetapan tujuan pengelolaan terhadap
impairment-hendaya-handicap; serta kesinambungan antara
pelayanan berbasis mmah sakit dan komunitas.
Oengan demikian komponen yang hams terpenuhi dalam
pengkajian paripurna pasien geriatri (baik dari segi pasien,
provider, sarana, mau pun sistem) agar sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan nomor 79 tahun 2014 adalah:

Komponen pasien:
• Anamnesis
Bio-psiko-sosial
Nutrisi
Anamnesis sistem
• Pemeriksaan fisik
Um um
Neurologik dasar
• Pemeriksaan status fungsional
• Pemeriksaan status mental
• Pemeriksaan penunjang
• Pengkajian iatrogenesis, lingkungan, dukungan
• Penatalaksanaan dengan pendekatan interdisiplin

I 61 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• P r osiding Temu limiah G e n a t ri 2 01 7

Komponen provider:
• Dokter anggota tirn inti, minimal adalah:
Internist-konsultan Geriatri (minimal 1 )
Atau internist dengan pelatihan geriatri sesuai
Kurikulum Geriatri untuk Internist (Kongres Nasional
PERGEMI 1998)
Dokter spesialis Rehabilitasi Medik
Dokter spesialis Kedokteran Jiwa
• Perawat:
Perawat gerontik (minimal 24 Ns/10 pasien)
[Akademi/ FIK] + pelatihan geriatri 80 jam (40 %
kuliah, 60% praktek + diskusi kasus)

Komponen sarana: sesuai stand ar ruang rawat akut


geriatri, terdapat ruang rehabilitasi, serta ruang penunjang
yang disesuaikan dengan kondisi pasien geriatri.

Komponen sistem:
Approach: interdisiplin
Intensitas perawatan yang 'tinggi'
Ruang rawat khusus
Program Tim selama15 menit; dilanjutkan oleh perawat
selama 15 menit; dan kemudian oleh keluarga selama 15
menit
Disiplin terkait langsung merawat tanpa konsul
Kunjungan penyelia minimal 1 kali/ minggu
Kunjungan tim terpadu geriatri (TTG) 1 kali/ minggu
Rapat TTG + konsultan lain 1 kali/ minggu
Round table discussion (RTD) perawat 1 kali/ minggu
D ischarge planning dijelaskan sejak seminggu sebelum
pulang

I 62 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Keluaran Pelayanan Pasien Geriatri
dengan P3G

Keluaran (ou tcome) pelayanan pasien geriatri dengan


menggunakan pendekatan paripurna (comprehensive geriatric
assessment) ini melingkupi beberapa hal yakni, berkurangnya
rerata masa rawat, kenaikan skor status fungsional, peningkatan
skor kualitas hidup terkait kesehatan, rendahnya angka
rehospitalisasi, d isertai efisiensi penggunaan s u m ber
daya, tanpa peningkatan biaya, dan bila mungkin disertai
pengukuran tingkat kepuasan tenaga kesehatan.
Beberapa negara yang telah m em berlakukan s is tem
penjaminan kesehatan secara nasional termasuk untuk warga
usia lanjutnya mempunyai berbagai pengalaman yang dapat
dipelajari. Jepang yang telah menjalankan program ini sejak
tahun 1922 tidak begitu menghadapi banyak masalah karena
pertumbuhan ekonominya sangat baik saat itu, dengan
biaya pengobatan yang belum terlalu tinggi, dan jumlah
usia lanjut yang belum banyak. Namun sejak tahun 1 961
didapati beberapa persoalan mulai dari masalah penanganan
tagihan dan pembayaran klaim yang tidak lancar, hingga
diputuskannya izin untuk iur biaya karena beban anggaran
negara yang semakin meningkat. Pada tahun 2006, dengan
semakin tingginya pengeluaran untuk kesehatan serta
jumlah warga usia lanjut yang semakin meningkat m aka
pemerintah melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan
kesehatannya. Sempat d irencanakan meningkatkan iur biaya,
namun timbul perdebatan karena risiko disparitas kualitas
pelayanan terhadap mereka yang tidak mampu iur biaya
(Kobayashi et al, 2009). Walau pun program jaminan kesehatan
nasional Jepang cukup berhasil dalam hal meningkatkan usia
harapan hidup perempuan sampai dengan 85 tahun, angka
kematian bayi turun hingga 2,6%o namun mereka menghadapi
tantangan besar dengan semakin meningkatnya jumlah warga
usia lanjut (menjadi 20% pada tahun 2010) dengan kecepatan

I 63 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1ng Teinu Hrrnah Geria1ri 2017

peningkatan biaya kesehatan y ang melebihi kecepatan


pertumbuhan ekonomi.
Taiwan yang m u lai m enerapkan jaminan kesehatan
semesta di tahun 1995; walau pun kepesertaan mencapai 97%
penduduk dengan coverage rate 99% namun ternyata tak mampu
menurunkan angka kematian pasien geriatri. Self perceived
general health juga tidak dapat membaik. Argumentasi yang
diaj ukan adalah, menilai tingkat keberhasilan pelayanan
pada pasien geriatri tidak semata-mata dengan mengukur
mortalitas namun harus mempertimbangkan aspek kualitas
hid up dan status fungsional (Chen, 2006). Sementara Donelan
(2000) dalam laporannya tentang pengaruh jaminan kesehatan
semesta pada pasien usia lanjut menyatakan bahwa untuk
aspek akses pelayanan dan biaya kesehatan tidak dijumpai
masalah. Namun demikian 30 % pasien geriatri mengeluhkan
obat-obat mereka tidak ditanggung oleh penjamin.
Penelitian di Jakarta terhadap 229 subyek (126 pasien JKN
dan 103 pasien non-JKN) yang dirawat sejak tahun 2013 hingga
2014 menunjukkan bahwa: mortalitas pasien geriatri tidak
berbeda antara mereka yang dirawat di masa pada masa JKN
mau pun sebelum JKN (31 ,0% vs 27,2% ; p 0,53); demikian pula
angka rehospitalisasi tidak berbeda secara signifikan (1 8,4 % vs
16,0 % ; p 0,68); rerata masa rawat juga sama (12 hari [ 2-59) vs
12 [2-76); p 0,72); kenaikan skor ADL Barthel pada kelompok
JKN adalah 2/20 sedangkan pada kelompok sebelum JKN
adalah 1 / 20 (p 0,68); sementara peningkatan skor EQ5D yang
menggambarkan kualitas hid up terkait kesehatan juga relatif
sama (0,010 vs 0,062; p 0,27) . Analisis CEA menunjukkan
bahwa direct cost per quality adjusted life days (QALD) pada
kelompok JKN adalah sebesar 22,4 juta rupiah/ 1,7 QALD
sementara pada kelompok sebelum JKN adalah sebesar 26
ju ta rupiah/ 2,5 QALD dengan nilai p 0,625. Artinya, setelah
diterapkannya Jaminan Kesehatan Nasional termasuk untuk
pelayanan pasien geriatri yang vulnerable, keluaran yang
dihasilkan tidak mengalami penurunan/ perburukan dengan

I 64 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho11st1c Perloperatve Mcinagement In Elderly a n d Ger1at�1c Patient •

penggunaan biaya yang lebih mangkus (efektif) .


Hasil-hasil di atas sebenarnya juga tidak terlalu jauh
berbeda dari data Biro Statistik Uni Eropa tahun 2015 dimana
di Inggris rerata masa rawat pasien geriatri yang berada pada
kelompok usia 60 - 64 tahun adalah 7,1 hari dan pada kelompok
usia 90-94 tah un ad alah 13,5 hari (Eu rope Union, 201 5).
Sementara program P3G/ CGA yang diterapkan pada pasien
geriatri pengguna jaminan kesehatan semesta menunjukkan
peningkatan physical performance measure dan grip strength
yang bermakna (de Buyser, 2014). Lin et al (2016) melaporkan
pengamatannya terhadap 39.156 pasien geriatri, bahwa angka
rehospitalisasi dalam 30 hari pascarawat adalah 14,6 % (satu
pasien dari setiap tujuh pasien pulang). Sementara faktor­
faktor yang berpengaruh terhadap angka rehospitalisasi,
menurut Morandi et al (2013) antara lain: polifarmasi/ > 7 obat
(HR 3,94; 1,62-9,54; p 0,002); penurunan skor AOL sebesar lima
poin dibanding satu bulan sebelum masuk rurnah sakit (HR
2,67; 1,35-5,27; p 0,005); dan rerata rnasa rawat inap lebih dari 13
hari pada perawatan sebelumnya (HR 2,67; 1,39-5,10; p 0,003).
Waiau pun hasil-hasil pengamatan di atas menunjukkan
bahwa keluaran pelayanan pasien geriatri yang dikelola dengan
pendekatan P3G rata-rata menunjukkan hasil yang tidak lebih
buruk dibandingkan dengan sebelurn diberlakukannya JKN,
masih ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertarna apakah
fase pengamatan di tahun 2014 saat baru dirnulainya program
JNK ini: sudah cukupkah waktu untuk belajar; apakah sudah
cukup waktu untuk cultivating the system dalam pelaksanaan
JKN ini? Bukankah pada waktu ini sernua rnasih dalarn taraf
belajar rnenyerap seluruh dinamika yang sedang berlangsung?
Kedua, bagairnana dengan indikator proses P3G atau CGA itu
sendiri? Apakah indikator proses yang juga penting untuk
diamati (mengingat pada pendekatannya terdapat pendekatan
interdisiplin yang sangat kental bernuansa 'proses' ketirnbang
keluaran atau output mau pun outcome) sudah dikawal dengan
baik. Hal tersebut amat penting mengingat instrumen P3G
ini tidak dapat rnernberikan hasil rnaksimal jika proses

1 65 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1os1di119 Temu lim1ah Geriatri 20i7

pelaksanaannya tidak dikerjakan sesuai standar prosedur


operasional dan tidak memenuhi komponen-komponen yang
dipersyaratkan.

Simpulan

P e n g k aj ia n p a r i p u rn a p a d a p asi en geriatri atau


comprelzensive geriatric assessment mutlak dibutuhkan pada
pengelolaan pasien geriatri. Komponen-komponen yang
harus dipenuhi untuk pelaksanaan P3G merupakan syarat
baku untuk mampu-laksananya instrumen ini di lapangan.
Identifikasi masalah dan lanjutan pengelolaannya perlu terus
dilatihkan dan di-informasikan ke berbagai pihak agar tidak
semua tenaga kesehatan merasa begitu saja mampu mengelola
pasien geriatri (namun perlu pelatihan dan pengenalan yang
mendalam). Tidak semua tingkat fasilitas pelayanan kesehatan
secara otomatis mampu melaksanakan pelayanan pasien
berusia Janjut sesuai Permenkes 79/2014; ancaman adanya
fraud dapat diterapkan jika pasien geriatri dilayani secara
substandar.
Pelayanan yang menggunakan prinsip P3G dijamin mampu
memberikan keluaran yang baik sepanjang dilaksanakan taat
azas dan dengan memperhatikan semua komponen yang
dipersyaratkan. Berbagai bukti di literatur menunjukkan
m anfaat P3G di era jam inan kesehatan semesta termasuk
JKN. Aspek proses pelaksanaan P3G dan kapan waktu
yang tepat untuk evaluasi program menjadi ha! yang harus
dipertimbangkan.

I 66 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hol!st1c Penoperative Management In Elderly and Geriatric Pa tl ..�nt •

Daftar Pustaka
1. D e Buyser SL, Petrovic M , Taes YE, Vetrano DL, Corsonello A,
Volpato S, Onder G.
2. Functional Changes during Hospital Stay in Older Patients
Admitted to an Acute Care Ward: A Multicenter Observational
Study. PloS ONE May 2014;9(5):1 -7.
3. Chen L, et al. The Effect of Taiwan's NH! on Access and Health
Status of the Elderly. Health Economics 2006.
4. Donelan K. The Elderly in Five Nations: The Importance of
Universal Coverage. 2000.
5. Europe Union Health Statistics 201 3. http: / / ec .europa.eu/
eurostat/ statistics
6. Kobayashi Y et al. Five Decades of Universal Health Insurance
Coverage in Japan: Lessons and Future Challenges . JMAJ
2009;52(4):263-268.
7. Lin KP, Chen PC, Huang LY, Mao HC, Chan DC. Predicting
Inpatient Readmission and Outpatient Admission in Elderly: A
Population-Based Cohort Study. Medicine 2016 April;95(6):1 -7.
8. Morandi A, Bellelli G, Vasilevskis EE, Turco R, et al. Predictors
of Rehospitalization among Elderly Patients admitted to a
Rehabilitation Hospital: the Role of Polypharmacy, Functional
Status and Length of Stay. J A m Med D i r Assoc. 201 3
October;14(10):761-767.

I 67 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1cting Ternu Hrrnah Geriatri 2017

Penyakit Kulit Pada Usia Lanjut


Lili Legiawati, Edwina Priliantika

Pendahuluan

Usia lanjut m eru pakan usia rawan terkena berbagai


penyakit kulit karena adanya perubahan degeneratif dan
metabolik pada seluruh lapisan kulit selama proses penuaan.
Di samping itu, berbagai faktor lain memberi kontribusi
terhadap kondisi kulit populasi usia lanjut yaitu status nutrisi,
sosial ekonomi, kebiasaan, penyakit sistemik, dll.1
Menegakkan diagnosis, tatalaksana dan tindak lanjut
penyakit kulit pada usia lanjut merupakan tantangan bagi
klinisi oleh karena anamnesis sering sulit dilakukan, pasien
u mumnya menderita berbagai masalah medis dan mendapat
banyak obat-obatan. Manifestasi klinis penyakit kulit dapat
berbeda dan tampilannya tidak seperti gambaran klasik pada
populasi dengan usia lebih muda. Penting bagi klinisi untuk
memahami lebih baik lagi patofisiologi penyakit kulit pada
usia lanjut serta tatalaksananya.U
Penyakit kulit pada usia lanjut bervariasi antar negara.
G rover (2009) m elaporkan bahwa l i m a penyakit kulit
terbanyak pada usia lanjut di India yaitu kerut, xerosis cu tis,
kelainan pigmentasi, tumor jinak kulit, infeksi dan eksema.
Dari data rekam medik pasien poliklinik divisi dermatologi
geriatri RSCM tahun 201 6, 1 0 penyakit terbanyak adalah
liken simpleks kronik (LSK), dermatitis seboroik, psoriasis
vulgaris, dermatitis kontak iritan, pruritus karena kulit kering,
dermatitis stasis, xerosis kutis, dermatitis numularis, herpes
zoster, dan dermatitis atopik.3-5

1 68 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H0Hst1c Perioperativi.::· Management In Elderly and Geriatric Pa l h�nt
. •

Penyakit Kulit Pada Usia Lanjut

Berikut ini akan dibahas berbagai penyakit kulit yang


sering ditemukan pada usia Janjut.

Xerosis Cutis
Xerosis kutis atau kulit kering adalah m asalah yang
sering ditemukan pada usia Janjut. Insidens dan keparahan
meningkat seiring pertambahan usia.1 Prevalensi bervariasi
mulai 29,5-85% . Kulit kering menyebabkan keluhan gatal,
rasa terbakar, tersengat dan kulit seperti tertarik. Kulit kering
merupakan penyebab tersering pruritus generalisata pada
usia lanjut.4

Definisi dan etiologi


Kulit kering adalah kondisi kulit yang terjadi apabila
kandungan air dalam stratum korneum menurun sampai
d i bawah 1 0 % . Dalam keadaan normal hidrasi stratu m
korneum sebesar 1 5-45 % .i Perubahan pada lapisan kulit
usia Janjut memberikan kontribusi pada timbulnya kulit
kering. Perubahan penting terjadi pada lapisan epidermis.
Pembentukan lipid interselular stratum korneum menjadi tidak
adekuat. Lipid interselular yang terlibat dalam pembentukan
lipid bilayer pada stratum korneum adalah sfingolipid,
free sterols dan fosfolipid. Lipid ini berperan penting dalam
menahan air dan mencegah kehilangan air.4
Struktur stratum korneum menyerupai struktur tembok
yang terdiri atas batubata dan semen sebagai satu kesatuan.
Sebagai batu bata adalah keratinosit yang s u dah m ati
(korneosit) yang berisi matriks protein. Sebagai semen adalah
matriks ekstraselular berupa lipid bilayer.4
Perubahan stratum korneum yang lain pada usia Janjut
adalah peningkatan ukuran dan akumulasi korneosit dan gang­
guan deskuamasi karena pergantian sel yang lebih lambat. Selain
itu kandungan natural moisturizingfactor (NMF) juga menurun.4

I 69 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1ng Terr:u Hrrnah Genat ri 2017

Perubahan dermis akibat proses penuaan adalah:


1 . Penurunan jumlah pembuluh darah.
2. Reduksi ukuran dan fungsi kelenjar keringat dan sebasea.
3. Pergerakan air dari dermis ke epidermis yang sedikit.4

Masalah kulit kering pada usia lanjut merupakan problem


yang kompleks. Penyebab kulit kering pada kelompok usia ini
bersifat multifaktor, yaitu:6
1 . Perubahan intrinsik pada keratinisasi.
2. Perubahan intrinsik pada kandungan lipid.
3. Penggunan pemanas ruangan atau pendingin ruangan
yang berlebihan.
4. Penyakit kronik antara lain penyakit ginjal kronik, sirosis
hepatis
5. Polifarmasi, diuretik, anti androgen, dll dapat menyebabkan
kulit kering.
Etiologi pasti kulit kering belum sepenuhnya dipahami.
Faktor genetik, riwayat atopi dan lingkungan memberikan
kontribusi. Faktor lain adalah iklim yang dingin dan kering
serta penggunaan harsh/ soap cleanser. 6

Diagnosis
Kulit kering sering ditemukan pada tungkai bawah
sisi anterolateral, bokong, paha, perut, pinggul dan lengan.
Namun dapat juga mengenai aksila, lipat paha, wajah dan
scalp. Pada kulit kering yang ringan nampak jala-jala halus
berwarna merah muda dengan sisik halus atau retak-retak.
Pada kulit kering yang sedang kemerahan lebih nyata dan
retak-retak menyerupai porselen yang retak-retak dan pada
kulit kering yang berat tampilan kulit bersisik tebal seperti
kulit ikan (iktiosis). 6

Tatalaksana
Tujuan mengobati kulit kering adalah untuk mengem­
balikan s a w a r e p i d e r m is k u l i t d a n m e m p ertahankan
kelembaban stratum korneum .

1 70 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!1st1c Perioperat ivf.2· Management In Elder!y a n d Geriatric Patient •

Haroun dkk (2013) mengemukakan 6 hal untuk tatalaksana


kulit kering pada usia Ianjut:
1 . Kelembaban dijaga sekitar 45-60% .
2. Suhu ruang di pertahankan rendah yang bisa ditoleransi
dan nyaman.
3. Mandi dengan air hangat selama 10 menit.
4. Pemakaian bath oils tidak direkomendasikan untuk usia
lanjut karena risiko terpeleset di dalam bath tub.
5. Tidak menggunakan harsh soap dan drying agents.
6. Aplikasi moisturizer minimal 2x sehari sesudah mandi dan
sebelum tidur.4

Draelos (2013) menjelaskan moisturizer adalah bahan yang


diaplikasikan eksternal, dapat bersifat oklusif atau humektan
yang bertujuan merehidrasi kulit secara optimal.7 Bahan yg
bersifat oklusif bekerja memberikan kelembapan kulit dengan
cara menahan evaporasi dengan melalui pembentukan lapisan
berminyak di permukaan kulit. Bahan yang bersifat humektan
bersifat aktif menarik air dari lapisan kulit yang lebih dalam
dan dari lingkungan luar. E molien m engisi celah-celah
antar korneosit yang berdeskuamasi sehingga memberikan
tekstur yang lembut. Hu mektan dan emolien d itujukan
untuk mempertahankan kelembapan kulit normal. Pelembab
terapetik mengandung ke-3 komponen oklusif, humektan dan
emolien. Pelembab terapetik bekerja memperbaiki sawar kulit,
melembutkan dan aktif menarik air dari lingkungan sekitar.
Pelembab terapetik dan oklusif digunakan untuk memperbaiki
kulit yang kering.7
Akhir-akhir ini berkembang pelembab generasi baru
yang dilengkapi dengan antipruritus, anti inflamasi dan
kandun gannya m enyeru pai lipid fisiologik kulit untuk
meningkatkan fungsi sawar kulit. Komposisi lipid fisiologik
adalah seramid, kolesterol, asam lem ak. Produk ini dapat
diberikan untuk menangani kulit kering pada usila karena
terjadi kerusakan sawar kulit.7

I 71 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1ng Temu Urrnah Genatri 2017

Herpes Zoster

Definisi
Herpes zoster (HZ) atau shingles merupakan reaktivasi
virus varisela zoster yang bersifat laten pada ganglia sensoris.
Penuaan diketahui sebagai faktor risiko primer. Neuralgia pasca
herpes (NPH) pada distribusi saraf kutan dapat muncul dari
30 hari sampai 6 bulan setelah lesi HZ sembuh.8 Berdasarkan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2016),
vaksin untuk mencegah HZ dan NPH direkomendasikan untuk
individu berusia 60 tahun ke atas. 9
Bertahun-tahun setelah pajanan inisial terhadap virus
varisela zoster yang m enyebabkan v arisela zoster, HZ
dapat terjadi akibat reaktivasi virus tersebut. Herpes zoster
m e ru pakan ruam vesikuler dengan nyeri, yang dapat
m enyebabkan d isabilitas dan bertahan bulanan sampai
tahunan. Walaupun Herpes Zoster dapat bersifat swasirna,
namun dapat menjadi serius. Hal ini dikenal sebagai NPH,
komplikasi kronik tersering dari Herpes Zoster dan nyeri
neuropatik yang paling um um ditemukan setelah infeksi.10
Neuralgia pasca herpes adalah nyeri neuropati kompleks
akibat kerusakan saraf perifer berkelanjutan selama terjadinya
H Z . 1 1 Secara konvensional, NPH didefinisikan sebagai
nyeri dermatomal yang bertahan setidaknya 90 hari setelah
m unculnya ruam H Z . Skala Likert menjelaskan bahwa
intensitas nyeri klinis NPH minimal ditentukan dengan skor
>40 (skor 0 tidak nyeri, sampai 100 nyeri paling berat).12

Epidemiologi
Insidens HZ ditentukan oleh faktor-faktor yang mem­
pengaruhi hubungan pejamu dengan virus. Faktor risiko utama
terjadinya HZ beserta kom plikasinya adalah usia 50 tahun dan
lebih, karena terdapah1ya penurunan imunitas selular spesifik
terhadap virus varisela z<;>ster.13 Estimasi insidens keseluruhan
HZ adalah sekitar 3.4-4.82 per 1000 orang per tahun, yang

I 72 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H o n :, tic Per!operafrvi:.:: �...1 a n a g :�rnen1 Ir� Elderly and G.,_-;; na1 ri c P a t l e n t •

meningkat lebih dari 11 per 1000 orang per tahun pada individu
berusia setidaknya 80 tahun. Mortalitas HZ dilaporkan jarang
terjadi, dengan mayoritas kematian ditemukan pada yang
berusia setidaknya 60 tahun.14

Patogenesis
Ketika infeksi primer virus varisela zoster atau cacar air
sudah teratasi, partikel virus akan tetap berada di akar dorsal
atau ganglia sensoris dan bersifat dorman. Pada periode laten
ini, mekanisme imunologis pejamu menghambat replikasi
v irus, tetapi virus varisela zoster akan tereaktivasi jika
mekanisme imunologis pejamu melemah. Saat virus varisela
zoster reaktivasi, virus bermultiplikasi dan menyebar pada
ganglia, menyebabkan nekrosis dan inflamasi neuronal, lalu
berjalan sepanjang saraf sensori dan terlepas pada saraf akhir di
kulit, sehingga menyebabkan ruam vesikular dan neuralgia.13

Manifestasi Klinis
Pada u m u mnya, HZ tidak menular seperti varisela
zoster dan m engenai indididu dewasa usia 20-50 tahun.
Gejala prodromal yang ditemukan berupa letih, nyeri kepala,
fotofobia, sensasi kulit abnormal, dan terkadang demam.
Gejala-gejala ini dapat dirasakan satu sampai lima hari sebelum
ruam muncul. Gejala sensasi kulit abnormal dapat berupa
gatal, rasa terbakar, hiperestesia, dan nyeri berat. Gambaran
klinis tipikal adalah vesikel berkelompok di atas kulit yang
kemerahan dan agak bengkak. Vesikel berkelompok ini
biasanya terdapat hanya pada satu sisi tubuh, terbatas pada
kulit yang mempunyai persarafan dermatomal yang sama.
Munculnya vesikel dapat didahului atau bersama dengan
rasa nyeri.8
Gambaran klinis HZ pada usia lanj u t menyebabkan
nyeri prodromal yang lebih hebat dan lebih lama, serta nyeri
akut yang lebih hebat. Selain itu, ruam kulit dapat menjadi
atipikal, dengan gambaran yang lebih berat, diseminata,

1 73 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Terr:u lirrnah Geriat ri 2017

m u ltidermatom, dengan perjalanan penyakit yang lebih


panjang. Komplikasi pada usia lanjut juga lebih sering terjadi
dan dapat melibatkan komplikasi neurologik (terutama NPH),
kutan, okular, dan viseral.8

Diagnosis
Secara klinis, HZ dapat didiagnosis dengan adanya
ruam v esikuler yang nyeri dengan distribusi u nilateral
dan dermatomal. Jika gejala nyeri yang muncul pada fase
prodromal, diagnosis akan menjadi sulit untuk ditegakkan.
Diagnosis HZ akan menjadi mudah untuk ditegakkan jika
ruam kulit dan nyeri telah muncul bersamaan. Diagnosis hams
dapat ditegakkan sesegera mungkin (dalam kurun waktu 72
jam setelah ruam muncul), agar tatalaksana dapat dimulai
secepatnya untuk mencapai hasil yang optimal. Gambaran
klinis klasik dari HZ yang dapat menjadi pacuan menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut.8
• Gejala prodromal: nyeri yang berlangsung beberapa hari
atau minggu sebelum ruam kulit muncul, dan terasa di
dermatom yang terlibat
• R u a m k u l it : u nilateral, dermatomal, berkelompok,
biasanya mulai sebagai erupsi makulopapular dan menjadi
vesikel dengan krusta setelah 7-10 hari, sembuh dalam 2-4
minggu
• Nyeri herpetik: sensasi terbakar, sensasi tertusuk, nyeri
yang mendalam, kesemutan, gatal, dapat bertahan sampai
30 hari dari awal munculnya ruam

Jika tidak ditemukan ruam kulitpada kasus dengan suspek


HZ, konfirmasi reaktivasi virus varisela dengan pemeriksaan
PCR, kultur atau direct antigen staining.8

Tatalaksana
Tujuan tatalaksana HZ adalah menghambat replikasi
virus, m encegah penyebaran lesi kulit dan komplikasi,

1 74 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
mengurangi nyeri, dan mencegah NPH. Patut diketahui bahwa
lansia dengan HZ memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
NPH, sehingga tujuan tatalaksana tatalaksana pada lansia
adalah mengeliminasi nyeri dan disabilitas.8·15
Terapi utama HZ adalah antiviral, dapat berupa asiklovir,
valasiklovir, dan famsiklovir. Antiviral harus diberikan segera
setelah diagnosis d itegakkan. Hasil terapi paling baik jika
antiviral diberikan dalam 72 jam setelah ruam muncul, serta
secara bermakna dapat menurunkan risiko NPH. Terapi
yang direkomendasikan untuk pasien berusia kurang dari 50
tahun adalah terapi simtomatik atau asiklovir 800 mg/PO,
5x/ hari, selama 7 hari. Sedangkan pasien berusia >50 tahun,
atau dengan komplikasi optalmik, pilihan terapinya juga
asiklovir, atau valasiklovir 1 g/ PO, 3x/ hari, selama 7 hari,
atau famsiklovir 500 mg/PO, 3x/hari, selama 7 hari. Untuk
pasien imunokompromais berat, dapat diberikan asiklovir
5-10 mg/ kg IV, 3x/ hari, selama 7-10 hari. Jika pasien resisten
terhadap asiklovir dapat diberikan foscarnet 40 mg/ kg IV, 3x/
hari, sampai sembuh.8•15
Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid dapat
mereduksi nyeri akut HZ pada pasien usia lanjut. Selain itu,
terapi tambahan lain untuk mengontrol nyeri adalah analgesik,
opioid, antidepresan trisiklik, dan capsaicin.15
M engenai pencegahan HZ, Adv isory Committee on
Immunization Practices (ACIP) CDC merekomendasikan
administrasi vaksin HZ pada individu >60 tahun, tanpa
kontrain dikasi d an tanpa memperti mbangkan riwayat
infeksi virus varisela zoster. Rekomendasi ATAGI untu k
yang sudah terkena HZ, sebaiknya menerima vaksin H Z
minimal satu tahun setelah episode akut HZ. Kontraindikasi
vaksin HZ adalah alergi pada komponen vaksin, hamil, dan
imunodefisiensi primer atau didapat (keganasan hematologi,
HIV/ AIDS d engan CD4 :5 200 sel/ m m3, riwayat baru
transplantasi sel punca, dan pasien dalam terapi imunosupresif
atau imunomodulator) .15

I 75 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Temu lim1ah G e n a t ri 2017

Pruritus

Definisi
Pruritus atau gatal adalah sensasi tidak menyenangkan
yang membangkitkan keinginan untuk menggaruk.16-18 Pruritus
merupakan gejala yang cukup dominan dari berbagai penyakit
ku lit serta m anifestasi yang sering dari berbagai penyakit
sistemik. Beauregard dan Gilchrest menemukan bahwa dua
per tiga pasien geriatri mengeluhkan pruritus sebagai keluhan
utama. Selain itu, 11,5% pasien usia lanjut yang berobat ke
rumah sakit berkaitan dengan pruritus. Pada pasien usia diatas
85 tahun, insidensi pruritus meningkat mencapai 20 % .19 The
Intemational Forum for the Study of Itch (IFSI) pada tahun 2007
membagi pruritus menjadi 3 kelompok:
1 . Pru ritus dengan kelainan primer atau kelainan kulit
spesifik (dermatosis primer),
2. Pruritus tanpa ditemukan dermatosis primer (pada kondisi
kelainan sistemik, seperti endokrin, metabolik, infeksi,
hematologi, neoplasma, neurologi, psikiatri dan pruritus
yang dicetuskan oleh obat)
3. Pruritus pada kulit dengan kelainan kulit sekunder seperti
prurigo nodularis dan liken simpleks.20-22

Etiologi
Menurut penyebabnya, pruritus dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
a. Etiologi eskternal, antara lain pakaian (bahan wol,
pelembut kain), daki, ektoparasit (Enterobius vern1icularis,
Sarcoptes scabiei), gigitan binatang (nyamuk, semut), bagian
tertentu dari tanaman, infeksi kulit, udara yang terlalu
kering.
b. Etiologi internal, antara lain penyakit kulit pruritik,
reaksi hipersensitivitas terhadap obat, efek samping obat,
penyakit sistemik, gangguan psikologis.23-24

I 76 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Perioptrat!ve Management In Elderly and Genatric. Patient •

Patogenesis
Mediator pruritus adalah zat pada kulit yang dapat meng­
indu ksi sensasi gatal dan menimbulkan keinginan untuk
menggaruk.25 Sejauh ini belum dijumpai senyaw a yang secara
eksklusif menyebabkan pruritus, karena pru ritogen klasik
misalnya histamin dapat juga membangkitkan rangsang nyeri
dan sebaliknya mediator nyeri misalnya bradikinin ternyata
mampu pula memberi sensasi gatal.25-27

Tabel 1. Penggolongan mediator utama penyebab gatal pada kulit


meradang26

Senyawa amin Lipid Proteinfpeptida

• Histamin • Prostaglandin • Kalikrein


• Pelepas histamin • Platelet • Sitokin (interleukin-2)
(morfin, kodein, activating factor • Protease (tripsin,
senyawa 48/80) papain, mukunain)
• Serotonin • Takikinin (senyawa P,
(5-hidroksi calcitonin gene-related
triptamin) peptide, vasoactive
intestinal peptide)
• Peptida opioid (beta­
endorfin, leu-ensefalin,
met-ensefalin)

Impuls gatal dari ujung serabut saraf C (serabut halus


tidak bermielin) dihantarkan sepanjang serabut saraf sensorik
dan berakhir di bagian sensorik korda spinalis, yaitu kornu
dorsalis.42 Kornu dorsalis sendiri tersusun atas 5 lapisan,
dan serabut C berakhir di salah satu lapisan yang masih
superfisial yakni substansia gelatinosa. Serabut saraf pada
jalur somatosensorik berakhir di talamus untuk selanjutnya
membentuk sinaps dengan sel-sel di talamus yang akan mem­
proyeksikannya ke korteks sensoris serebri, sehingga seseorang
menyadari adanya pruritus.
Pruritus dapat tidak disertai tanda inflamasi pada kulit,
misalnya gatal pada kulit yang kering, retak, dan bersisik
karena perangsangan serabut saraf melalui m ekanis me

1 77 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
� Prosiding TerTHJ ! i m 1 a h Ge ri a t ri 2 C)17

mekanis atau osmotik.18 Pruritus juga dialami sebagian besar


penderita insufisiensi ginjal kronik, ikterus obstruktif, dan
defisiensi zat besi. Sekitar 50% penderita polisitemia vera
mengalami rasa gatal beberapa menit setelah kontak dengan
air dan berlangsung sekitar 1 5-60 menit (bath itch).26•28

Tatalaksana
Terapi pru ritus tergantung kepada identifikasi dan
tatalakasana penyebab, baik itu sistemik maupun terlokalisasi
pada kulit. Sensasi gatal semakin meningkat bila kulit hangat,
sehingga dianjurkan untuk mendinginkan kulit termasuk
mandi, mengunakan pakaian tipis dan pendingin ruangan.
Lotion pendingin seperti kalamin lotion atau menthol 1 % juga
dapat membantu.26
Meskipun dapat mengurangi pruritus akibat penyakit
radang kulit, kortikosteroid bukan merupakan anti pruritus.
Antihistamin hanya diberikan bila pruritus diakibatkan oleh
histamin, seperti urtikaria. Berikut merupakan beberapa obat
yang dapat meredakan pruritus sesuai dengan indikasinya:

Tabel 2. Tatalaksana Topikal untuk Pruritus26

Ob at Dosis Indikasi Keterangan

Krirn Dermatitis atopik, -

pelembab kulit kering

Asam 2% - 6 % LSK Sensasi menyengat


Salisilat

Takrolimus 0,03% Eksema atopik, Sensasi menyengat,


- 0, 1 % dermatitis kontak pan as
oinment

Pirne- Krirn 1 % Eksema atopik, Sensasi menyengat,


krolimus dermatitis kontak panas

Menthol Krirn 1 % Pasien yang Iritasi kuli t


memiliki respons
baik terhadap
mandi dengan air
din gin

1 78 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Periop.�rative Management !n Elderly and Ge n<1tric Patient •

Capsaicin Krim Pruritus neuropati Tingkat kepatuhan


0,025% - (notalgia rendah karena
0,1 % pnresthetica, sensasi panas
pruritus post
herpes), pruritus
uremik, psoriasis,
dermatitis atopik

Pramoxine 1,0% - 2,5% Eksema wajah, Sebagian efektif


eksema atopik untuk pruritus
pada wajah

Polidocanol 5% urea Dermatitis atopik, -

+ 3% dermatitis kontak,
polidoca- psoriasis, pruritus
nol uremik

Doxepin Krim 5 % Dermatitis atopik Pusing pada 25 %


pasien, Dermatitis
kontak alergi

Canna- Dermatitis atopik, Kombinasikan


binoids pruritus u remik dengan krim
pelembab

Dermatitis

A. Dermatitis Statis

Definisi dan Etiopatogenesis


Dermatitis stasis atau eksema stasis merupakan peradangan
kulit tungkai bawah yang timbul karena adanya insufisiensi
dan hipertensi vena kronik.
Salah satu teori yang dikemukakan mengenai patogenesis
dermatitis stasis adalah teori selubung fibrin, yang menyatakan
bahwa kerusakan jaringan pada penyakit ini disebabkan
oleh endapan fibrin perikapiler. Peningkatan tekanan vena
pada insufisiensi vena meningkatan tekanan hidrostatis
dalam mikrosirkulasi dermis dan menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kapiler pada dermis, sehingga
m em ungkinkan terjadinya ekstravasiasi m akromolekul
termasuk fibrogen. Selubung fibrin perikapiler di sekeliling

1 79 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Te mu llm1ah Geriat ri 2(Y!7

pembuluh darah menghalangi pasokan oksigen dan nutrisi


ke dalam dermis, sehingga terjadi hipoksia dan kerusakan
jaringan kulit. Leukosit juga akan terperangkap pada bagian
pembuluh darah ini, kemudian teraktivasi dan mengeluarkan
berbagai m ed iator inflamasi dan growth factor. Kedua
komponen ini akan memicu proses peradangan dan fibrosis
pad a dermis. 29-31

Diagnosis
Sering ditemukan edema dan varises vena pada tungkai
bawah, terutama saat pasien sedang berdiri dalam waktu yang
lama. Lama kelamaan, kulit akan berwarna merah kehitaman
dan timbul purpura akibat ekstravasasi sel darah merah ke
dalam dermis, serta hemosiderosis. Awalnya lesi ini akan
muncul pada tungkai bawah bagian medial atau lateral di
atas maleous, kemudian meluas sampai di bawah lutut dan
punggung kaki. Eksematosa selanjutnya akan mengalami
perubahan berupa eritema, skuama, eksudasi (kadang), dan
gatal. Jika sudah berlangsung lama, sepertiga kulit tungkai
bawah akan menjadi tebal dan fibrotik, sehingga tampak
seperti botol yang terbalik (lipodermatosklerosis).29
D iagnosis d itegakkan berdasarkan gam bar an klinis,
dengan d iagnosis banding antara lain dermatitis kontak,
dermatitis numularis, dermatitis asteatotik, dan penyakit
Scharnberg. Dermatitis stasis sering terjadi berulang dan
dapat menyebabkan komplikasi berupa ulkus di atas maleolus
(ulkus venosum atau ulkus varikosum) dan infeksi sekunder
(misalnya selulitis dan limfangitis).

Tatalaksana
Ulkus merupakan penyulit yang paling sering ditemukan
pada dermatitis stasis. Oleh karena itu, diagnosis dini dan
tatalaksana dermatitis stasis yang tepat sangat penting.
Lesi yang basah dan mengeluarkan eksu dat harus
dikompres hingga kering. Antibiotik topikal (misalnya asam

1 80 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Perioperative M a n C!genient I n Elderly a n d Gen<1tric Patient •

fusidat, mu pirosin) m auptin oral dapat diberikan sesuai


indikasi. Pelembap yang tidak mengandung bahan sensitizer
(misalnya vaselin) perlu diberikan sebagai terapi pemeliharaan ·

kepada pasien dengan dermatitis statis yang kronis. Untll k


mengatasi edema dan memperbaiki m ikrosirkulasi, tungkai
dinaikkan saat pasien tidur dan saat duduk. Saat tidur, tungkai
diangkat di atas perukaan jantung selama 30 menit, sebanyak
3-4 kali sehari.32
Untuk mengatasi hipertensi vena dilakukan kompresi
eksternal tungkai bawah menggunakan stocking atau bandage.
Tindakan ini dapat menekan vena superfisial sehingga darah
dapat mengalir ke vena dalam. Kortikosteroid topikal potensi
lemah-sedang dapat diaplikasi 2 kali sehari (sebelum memakai
stocking atau bandage dan sebelum tidur), untuk mengurangi
inflamasi dan keluhan gatal. Penanganan dermatitis stasis
bersifat multidisiplin, bekerjasama dengan sejawat bedah
vaskular dan penyakit dalam, terutama untuk mengetauhi
penyebab dan mengatasi insufisiensi vena pada pasien.32

B. Dermatitis Numularis

Definisi
Dermatitis numularis merupakan peradangan kulit
yang kronis dengan lesi berbentuk koin (numular) atau agak
lonjong dan berbatas tegas. Efloresensi berupa papulovesikel
yang pada umumnya mudah pecah sehingga membasah
(oozing). Patofisiologi dermatitis numularis belum dipahami
sepenuhnya. Penyakit ini dihubungkan dengan kulit kering,
temperatur, iritan, reaksi kulit atopi, gangguan integritas kulit,
dan sebagainya.33

Diagnosis
Diagnosis dermatitis numularis ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis. G ambaran klinis penyakit ini sangat
bervariasi, mulai dari awitan yang mendadak berupa plak

I 81 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
� P i o s i d i n g Ternu Hrniah G e riatri 2017
----- -------------

eritema disertai vesikel dan edema sampai plak, kering disertai


skuama yang lambat awitannya. Lesi biasanya muncul di
ekstremitas atas, termasuk punggung tangan.33•34
Diagnosis banding penyakit ini yaitu dermatitis kontak
alergik, dermatitis atopik, neurodermatitis sirkumskripta,
dermatitis stasis, psoriasis, im petigo, dan dermatomikosis.
Dermatosis numularis dapat menyebabkan komplikasi berupa
infeksi sekunder oleh bakteri.33•34

Tatalaksana
Faktor pemicu dermatitis numularis sebaiknya diiden­
tifikasi. Pasien sebaiknya menghindari suhu ekstrim, bahan
wol atau bahan lain yang dapat menyebabkan iritasi, dan
penggunaan sabun yang berlebihan. Pelembab atau emolien
sebaiknya diberikan jika kulit kering.33
Kortikosteroid topikal potensi menengah hingga kuat
dengan vehikulum krim atau salap diberikan sebagai terapi
lini pertama. Kortikosteroid sistemik hanya diberikan dalam
jangka waktu yang pendek pada kasus yang berat dan refrakter
terhadap pengobatan. Antihistamin oral dapat diberikan untuk
mengatasi pruritus. Untuk lesi kronik, vehikulum salap lebih
efektif, dapat juga diberikan preparat ter (liquor carbonis
detergens 5-1 0 % ) a tau penghambat kalsineurin, misalnya
takrolimus atau pimekrolimus. Lesi yang eksudatif sebaiknya
dikompres d u lu dengan solusio permanganas kalikus.
Antibiotik dapat diberikan jika ditemukan infeksi bakteri.
Lesi yang luas dapat diterapi dengan penyinaran broad atau
narrow band ultraviolet B (UVB).33

Dermatitis Seboroik

Definisi
Den:�atitis seboroik merupakan kelainan kulit papu­
loskuamosa yang umum terjadi dengan predileksi di daerah
kaya kelenjar sebasea, antara lain scalp, wajah, telinga, badan,

I 82 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hcl1st1c Perioperative Management In Elderly and Geriatric Patient •

dan daerah lipatan. Dermatitis jenis ini sering berhubungan


dengan berbagai penyakit sistemik, yaitu Parkinson, epilepsi,
kelainan sistem susunan saraf pusat dan trauma. Intensitas
penyakit bertambah saat stress dan kelelahan. Insidens pada
usia lanjut mencapai 31 %, dan mayoritas terjadi pada laki­
laki.35,36
Patogenesis dermatitis seboroik belum terlalu jelas, namun
penyakit ini pada umumnya berhubungan dengan Malessezia,
kelainan imunologi, aktivitas kelenjar sebasea, dan kerentanan
pasien37·38 Pasien dengan penyakit ini menunjukkan tingkat
lemak (trigliserida dan kolesterol) yang lebih tinggi pada
permukaan kulit, namun tingkat asam lemak dan skualen
lebih rendah. Malassezia dan flora normal Propionobacterium
acnes memiliki aktivitas lipase yang menyebabkan perubahan
trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas
tersebut dan radikal ok sigen reaktif y ang d i p r o d u k s i
memiliki aktivitas antibakteri yang mengubah flora normal
kulit. Beberapa peneliti percaya bahwa gangguan pada flora,
aktivitas lipase, dan radikal oksigen bebas lebih memiliki
hubungan dengan dermatitis seboroik daripada respons
imunitas yang terganggu.39

Manifestasi Klinis
Pada pasien dengan dermatitis seboroik, terdapat tahap
seboroik, yang sering bersamaan dengan perubahan warna
kulit menjadi keabuan, putih, kekuningan, atau kemerahan,
terbukanya folikel yang menonjol, dan skuama pityriasiform
ringan hingga berat. Pada pasien dewasa, um umnya lesi
terdapat pada scalp, wajah, kelopak mata (blepharitis), tubuh
(petaloid, pityriasiform, fleksural, eksematosa, folikular,
generalisata, etritrodermik). Penyakit ini sering terjadi kronis
dan relaps pada dewasa.35

I 83 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu l ! rr n a h Geriatri 2017

Tatalaksana
Tujuan tatalaksana penyakit ini adalah untuk mengontrol
penyakit, dan bukan untuk menyembuhkannya. Dermatitis
seboroik pada scalp dapat diobati dengan shampo yang
m engand ung zinc pyriothione, selenium sulfida (1-2,5 % )
imidazol (1-2 % shampo, krim, lotion atau foam ketokonazol),
ciclopirox (krim, gel, dan shampo), asam salisilat (shampo,
krim), coal tar (krim, sham po), atau detergen ringan. Ketombe
(pityriasis simplex capillitii) meliputi wajah dan skalp dengan
skuama ekstensif, dengan atau tanpa inflamasi dan eritema
ringan. Skuama tebal dan berat dapat merespons terhadap
aplikasi topikal kortikosteroid yang dibiarkan semalaman
yang ditutup dengan shower cap jika diperlukan atau dengan
asam salisilat. Terapi alternatif ainnya yaitu campuran minyak
kelapa (salep kombinasi coal tar, asam salisilat dan sulfur).40-42
Spray dan pomade rambut harus dihentikan terlebih
dahulu, dan infeksi sekunder harus ditangani. Pasien dengan
inflamatori berat yang tidak merespons terhadap regimen di
atas dapat diberikan glukokortikoid sistemik selama 1 minggu
(prednisolon 0,5 mg/ kgBB / h ari), dengan pemberitahuan
kepada pasien mengenai efek samping dan kemungkinan
m u nculnya ruam kembali jika pengobatan d ihentikan .
Pengobatan wajah, badan, dan telinga meliputi glukokortikoid
topikal potensi rendah.40-42

Dermatitis Kontak lritan43

Definisi dan Etiopatogenesis


Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah respons kulit
terhadap kontak dengan agen kimia, biologis, atau fisik (faktor
eksternal). Faktor endogen (misal fungsi barier kulit dan
riwayat dermatitis) juga dapat berkontribusi. Berbeda dengan
dermatitis kontak alergi (DKA), reaksi peradangan pada
penyakit ini bersifat non imunologik (tidak didahului proses
pengenalan/ sensitisasi). DKI melingkupi 80% kasus dermatitis,

I 84 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!1st1e Perfoperative Management In Elderly and Ger1<1tric Patient •

dan pada umu mnya berhubungan dengan pekerjaan atau


kosmetik. Terdapat 4 mekanisme yang dihubungkan dengan
DKI, yaitu:4446
1) Hilangnya lemak dan substansi penyimpan air pada
permukaan kulit,
2) Kerusakan membran sel,
3) Denaturasi keratin epidermal, dan
4) Efek sitotoksik langsung47-51
Terlihat bahwa terdapat semacam respons imunologis
terhadap i ritan, d im a na te rdapat pelepasan med i ato r
proinflamatori (sitokin) dari keratinosit sebagai respons
terhadap stimuli kimia. Proses ini tidak membu tu h kan
sensitisasi terlebih dahulu. Gangguan barier kulit menyebabkan
pelepasan sitokin antara lain interleukin (IL) l a, IL-lp, dan
tumor necrosis factor-a (TNF-a) . Pada DKI, terjadi peningkatan
TNF- a dan IL-6 sebanyak 10 kali lipat serta granulocyte­
macrophage colony-stimulating factor dan IL-2 sebanyak
3 kali lipat. TNF- a merupakan salah satu sitokin kunci
pada DKI, menyebabkan peningkatan ekspresi kom pleks
histokompatibilitas dan adesi intraselular molekul 1 pada
keratinosit.49•52
DKI merupakan penyakit yang bersifat m ultifaktorial,
dimana faktor eksogen (iritan dan lingkungan) dan faktor
endogen (host) sama-sama memiliki peran masing-masing.
Faktor eksternal yang mempengaruhi iritasi kulit antara lain
sifat zat kimia iritan (pH, konsentrasi, kelarutan, ju mlah,
polarisasi), karakteristik paparan (ju m lah, konsentrasi,
durasi, tipe kontak, paparan simultan terhadap iritan lain,
interval antar paparan), faktor lingkungan (lokasi tubuh yang
terpapar dan suhu), faktor mekanik (tekanan, friksi, abrasi),
dan radiasi ultraviolet (UV). Sedangkan, faktor endogen
yang mempengaruhi antara lain faktor genetik, jenis kelamin
(perempuan), usia, lokasi kulit (wajah, leher, skrotum, dan
tangan bagian dorsal lebih rentan), riwayat atopi, dan kulit
yang sensitif.45•53

I 85 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosici i n g Teiru P rn1 a h C:i e r i a t ri 2017

Manifestasi Klinis
Manifestasi DKI sangat beragam, tergantung iritan dan
pola paparannya. Oleh karena itu , DKI diklasifikasikan
menjadi 10 jenis, yaitu reaksi iritan, DKI akut, DKI lambat akut,
DKI kronik kumulatif, iritasi subjektif, iritasi suberitematosa,
dermatitis fraksional, reaksi traumatik, reaksi pustular atau
akneiform, dan eksema asteatotik iritan.49•51 ·53

Diagnosis
Diagnosis DKI ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anarnnesis perlu ditanyakan pekerjaan
pasienm hobi, riwayat pengobatan, riwayat paparan atau
gesekan, paparan terhadap lingkungan yang basah/ lembab,
sabun, detergen, atau zat alkali, dan kelembaban lingkungan
relatif < 35% . Perlu disingkirkan kemungkinan dermatitis yang
lain misalnya dermatitis kontak alergi (DKA).45•54

Tatalaksana
Prinsip u tama tatalaksana DKI adalah menghindari
paparan terhadap bahan iritan yang menjadi penyebab dan
proteksi terhadap paparan lebih lanjut. Jika hal ini dapat
dilaku kan dan DKI membaik dengan sen dirinya, maka
tatalaksana selanjutnya dapat berupa pemberian pelembab
(emolien atau dressing oklusif) untuk memperbaiki barier
kulit. Jika diperlukan, pasien dapat diberikan kortikosteroid
topikal (misal hidrokortison) a tau kortikosteroid potensi kuat
untuk kasus kronis.47•53

Daftar Pustaka
1. Jafferany M, et al. Geriatric dermatoses: a clinical review of
skin diseases in an aging population. International Journal of
Dermatology. 201 2 (51): 509-522
2. Reszke R, et al. Skin disorders in elderly subjects. International
Journal of Dermatology. 2015 (54) : e332 - e338
3. Norman R. Xerosis and pruritus in the elderly: recognition and

I 86 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
management. Dermatologic Therapy.2003 (6): 254-9
4. Haroun MT. Dry skin in the elderly. Geriatric and aging. 2013
(6): 40-4.
5. Data statistic kunjungan poliklinik divisi dermatologi geriatri
2012-2014.
6. White-Chu EF, Reddy M. Dry skin in the elderly: Complexities
of a common problem. Clinics in Dermatology. 2011 ( 29): 37-42
7. Draelos JD. Modern moisturizer. Myths, misconceptions & truth.
Cutis.2013.91 : 308-14
8. F a s h n e r J, B e l l A L . H e r p e s z o s te r a n d p o s t h e r p e t i c
neuralgia: prevention and management. Am Fam Physician.
2011;83(12):1432-37.
9. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Shingles
(herpes zoster) [Internet] . Atlanta: Centers for Disease Control
and Prevention (CDC); 2016 Aug [cited 2016 Sept 20]. Available
from : http : / / www .cdc.gov/ shingles/ about/ p revention­
treatment.html
10. Johnson RW, Rice ASC, Solomon CG. Postherpetic neuralgia. N
Engl J Med. 2014;371 :1526-33.
1 1 . Jensen TS, Baron R, Haanpaa M, Kalso E, Loeser JD, Rice AS, et
al. A new definition of neuropathic pain. Pain. 2011 ;152:2204-5.
1 2. Dworkin RH, Turk DC, Peirce-Sandner S, McDermott MP,
Farrar JT, Hertz S, et al. Placebo and treatment group responses
in postherpetic neuralgia vs. painful diabetic peripheral clinical
trials in the REPORT database. Pain. 2010;150:1 2-6.
13. Johnson RW, Alvarez-Pasquin M, Bijl M, Franco E, Gaillat J, Clara
JG, et al. Herpes zoter epidemiology, management, and disease
and economic burden in Europe: a multidisciplinary perspective.
Ther Adv Vaccines. 2015;3(4):109-20.
14. Bricout H, Haugh M, Olatunde 0, Gil-Prieto R. Herpes zoster­
associated mortality in Europe: a systematic review. BMC Public
Health. 2015;15:466.
15. Schmader KE, Oxman MN. Varicella and Herpes Zoster. In:
Goldsmith, et al. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
8th ed. New York: McGraw-Hill;2012. P 2383-2400.
16. Greaves MW, Wall PD. Pathophysiology and clinical aspects of
pruritus. Dalam: Fitzpatrick TB dkk. Dermatology in general

I 87 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Temu nrrnah G e n M ri 2017

medicine. Edisi ke-5. New York: Mc Graw-Hill, Inc.; 1998.h.487-


94.
1 7. Tuckett RP. Neurophysiology and neuroanatomy of pruritus.
D a l a m : Bernhard JD dkk, penyunting. Itch mechanisms
and mana gement of pruritus. New York: Mc Graw-Hill,
Inc.;1994.h.1-22.
18. Greaves MW, Wall PD. Pathophysiology of itching. The Lancet;
1 996;348.h. 938-40.
19. Jafferany N, Huynh TV, Silverman MA, Zaidi Z. Geriatric
dermatoses: a clinical review of skin diseases in an aging
population. International Journal of Dermatology. 201 2;51;509-
22.
20. Stander S, Weisshaar E, Mettang T et al. Clinical classification
of itch: a position paper of the international forum for the study
of itch.Acta Derm. Venereal. 2007; 87: 291-4.
21 . Bernhard JD. Itch and pruritus: what are they, and how should
itches be classified? Dermatol Tuer. 2005;18:288-91 .
22. Stander S. Classification. Dalam Misery L, Stander S, penyunting.
Pruritus. London: Springer. 2010: 77-8
23. MacKenna RW. Pruritus and prurigo. Dalam: Diseases of the
skin. Edisi ke-5. London: Bailliere, Tindall and Cox; 1 952.h.331-7.
24. Bernhard JD. Pruritus: pathophysiology and clinical aspects.
Dalam: Moschella SL, Hurley HJ, penyunting. Dermatology.
Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company; 1975.h.2042-7.
25. Lerner EA. Chemical mediators of itching. Dalam: Bernhard JD,
penyunting. Itch mechanisms and management of pruritus. New
York: Mc Graw Hill, Inc.;1994.h.23-24
26. Yosipovitch G, Patel TS. Pathophysiology and clinical aspects
of pruritus. Dalam: Goldsmith, et al. Dermatology in general
medicine. 8th ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc.; 2012.h.1147-1157
27. Shepherd GM. The somatic senses. Dalam: Neurobiology. Oxford
university press; 1994.h.267-93.
28. Greaves MW. Pruritus. Dalam: Rook dkk, penyunting. Textbook
of Dermatology . Edisi ke-5. Oxford: Blackwell scientific
publications; 1992.h.527-35.
29. Fransway AF. Dermatitis stasis. Oktober 2012. Available from:
http:/ / www.uptodate.com/ contents/ stasis-dermatitis

I 88 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!istic Perioperative Management In Elderly a n d Gerwtric Patient •

30. Beebe-Dimmer JL, et al. The epidemiology of chronic venous


insufficiency and v a ricose v e i n s . Ann E p i d e m i o l . M a r
2005;15(3):175-84.
31 . Burton CS, Burkhart CN, Goldsmith LA. Cutaneous changes
in venous and lymphatic insufficiency. In: Wolff K, et al.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New
York: McGraw-Hill Comanies; 2012. P 21 10-20
32. Dissamond, et al. Successful treatment of stasis dermatitis with
topical tacrolimus. Vasa.Niv. 2004; 33(4):260-2.
33. Burgin S. Nummular eczema and lichen simplex chronicus/
prurigo nodularis. In: Goldsmith, et al. Fitzpatrick's Dermatology
in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill;2012. P
182-4
34. Raeve LED. Nummular or discoid dermatitis. In: Irvin, et al.
Harper's textbook of pediatric dermatology. 3rd ed. West Sussex:
Wiley Blackwell;2011 . P40-43
35. Collins CD, Hivnor C. Seborrheic Dermatitis. In: Goldsmith, et
al. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New
York: McGraw-Hill;2012. P 259-260, 265
36. Fox BJ et al: Papulosquamous diseases: A review. J Am Acad
Dermatol 1 2:597, 1 985
37. Jacobs PH: Seborrheic dermatitis: Causes and management. Cu tis
41:182-186, 1988
38. DeAngelis YM et al: Three etiologic facets of dandruff and
seborrheic dermatitis: Malassezia fungi, sebaceous lipids, and
individual sensitivity. J lnvestig Dermatol 1 0:295-297, 2007
39. Parry ME et al: Seborrhoeic dermatitis is not caused by an altered
immune response to Malassezia yeast. Br J Dermatol 139(2):254-
263, 1998
40. Arndt KA et al: Manual of Dermatologic Therapeutics with
Essentials of Diagnosis, 5th edition. Boston, Little Brown & Co.,
1995, p. 166
41 . Shin H et al: Clinical efficacies of topical agents for the treatment
of seborrheic dermatitis of the scalp: A comparative study. J
Dermatol 36(3):131- 137, 2009
42. Young AW Jr: Seborrhea in the geriatric patient: Incidence,
implication, management. Geriatrics 24(3):144-150, 1 969

I 89 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosidi119 Ten"':u !!rniah Geriatri 2017

43. Amado A, et al. Irritant Contact Dermatitis. In: Goldsmith, et


al. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New
York: McGraw-Hill;201 2. P 499-506.
44. Contact dermatitis and drug eruptions. In: Andrews' Diseases
of the Skin. Clinical Dermatology, 1 0th edition, edited by WJ
James, TG Berger, DM Elston. Philadelphia, Elsevier Inc, 2006,
pp. 91- 94
45. Cao LY, Taylor JS: Contact dermatitis and related disorders. In:
ACP Medicine, 3rd edition, edited by DC Dale, DD Federman.
New York, WebMD Professional Publishing, 2007, pp. 481-498
46. Smith A: Contact dermatitis: Diagnosis and management. Br J
Community Nurs 9:365-371, 2004
47. Spongiotic, psoriasiform and pustular dermatosis: Contact
dermatitis. In: Pathology of the Skin with Clinical Correlations,
vol. 1 , 3rd edition, edited by PH McKee, E Calonje, SR Granter.
Philadelphia, Elsevier Mosby, 2005, pp. 1 75-1 81
48. The spongiotic reaction pattern: Irritant contact dermatitis. In:
Skin Pathology, 3rd edition, edited by D Weedon. Churchill
Livingstone, Elsevier, 2010, pp. 1 02-104
49. Smith HR, Basketter D A, McFadden JP: Irritant dermatitis,
irritancy and its role in allergic contact dermatitis. Clin Exp
Dermatol 27:138-146, 2002
50. Rietschel RL: Clues to an accurate diagnosis of contact dermatitis.
Dermatol Ther 1 7:224-230, 2004
51. Levin CY, Maibach HI: Irritant contact dermatitis: Is there an
immw1ologic component? Int Immunopharmacol 2:183-189, 2002
52. Berardesca E: What's new in irritant dermatitis. Clin Dermatol
1 5:561-563, 1997
53. Wilkinson SM, Beck MH: Contact dermatitis: Irritant. In: Rook's
Textbook of Dermatology, 7th edition, edited by T Burns, S
Breathnach, N Cox, C Griffths. Oxford, Blackwell Publishers,
2004, pp. 1 9.1-19.30
54. Kucharekova M, Van De Kerkhof PC, Van Der Valk PG: A
randomized comparison of an emollient containing skin-related
lipids with a petrolatumbased emollient as adjunct in the
treatment of chronic hand dermatitis. Contact Dermat 48:293-
299, 2003.

1 90 !

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Per�op�rative M�nagemen1 In Eldf:rly and Gena1 ric Patient •

Asuhan Gizi pada Lanjut Usia


dan Pasien Geriatri
Purwita W. Laksmi

Salah satu aspek pendekatan/ pengkajian paripurna


pada pengelolaan pasien geriatri (comprehensive geriatric
assessment/ CGA) a d alah penapisan, pengkajian, d an
pemantauan status gizi.1-2 Gizi berperan penting dalam fungsi
fisik, kognitif, dan psikologis seseorang. Tidak terpenuhinya
zat gizi baik makronutrien maupun mikronutrien secara
seimbang menimbulkan kondisi malnutrisi yang berdampak
pada luaran kesehatan yang buruk .3 Defisiensi, kelebihan,
atau ketidakseimbangan protein, energi, dan zat gizi lain
yang dapat menyebabkan perubahan komposisi tubuh, serta
gangguan fungsi fisik dan mental.4-6 Di samping penurunan
daya cadangan faali, kondisi multipatologi, manifestasi klinis
yang tidak khas, dan adanya gangguan status fungsional,
kondisi malnutrisi dalam arti status gizi kurang merupakan
salah satu karakteristik pasien geriatri di lndonesia.7
Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 201 2 Perhimpunan
Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI) telah menyusun
konsensus pengelolaan nutrisi pada orang usia lanjut. Seiring
dengan perkembangan ilmu kedokteran, dilakukan revisi
terhadap konsensus tersebut pada tahun 2017. Konsensus
Asuhan Gizi pada Lanjut Usia (Lansia) dan Pasien Geriatri
yang difokuskan pada identifikasi dan asuhan gizi kurang
pada lansia dan pasien geriatri ini diharapkan dapat menjadi
panduan bagi tenaga kesehatan untuk identifikasi status gizi
dan melakukan asuhan gizi pada lansia dan pasien geriatri
dengan berbagai kondisi kesehatan, serta mengedukasi
masyarakat terkait faktor risiko, deteksi dini, serta pengelolaan
sederhana kondisi malnutrisi sehingga status fungsional dan

I 91 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosid1119 Temu !imiah Geriatri 2017

kualitas hid up lansia dan pasien geriatri dapat dipertahankan


dan ditingkatkan, serta morbiditas dan mortalitas terkait
malnu trisi dapat diturunkan.

Daftar Pustaka
1. Reuben DB, Rosen S . Principles o f geriatric assessment. In: Halter
J, Ouslander JG, Tinelli ME, Studenski S, High KP, Asthana S,
eds. Hazzard' s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New
York: Mc Graw Hill; 2009.p.141 -52.
2. Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. Essentials of
Clinical Geriatrics. 6th Ed. New York: McGraw Hill Companies,
Inc. 2009.p.41-77.
3. Sullivan DH, Johnson LE. Nutrition and aging. In: Halter J,
Ouslander JG, Tinelli ME, Studenski S, High KP, Asthana S, eds.
Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New
York: Mc Graw Hill; 2009.p.439-57 .
4. Haris D, Haboubi N . Malnutrition screening in the elderly
population. J R Soc Med.2005;98:41 1 -4.
5. Wei J, Chen W, Zhu M, Cao W, Wang X, Shi H, et al. Guidelines
for parenteral and enteral nutrition support in geriatric patients
in China. Asia Pac J Clin Nutr.201 5;24(2):336-46.
6. Cederholm T , Barazzoni R , Austin P , Ballmer P , Biolo G , Bischoff
SC, et al. ESPEN guidelines on definitions and terminology of
clinical nutrition. Clin Nutr.2016;xxx:l-16.
7. Soejono CH. Pendekatan paripurna pada pengelolaan pasien
geriatri. In: Soejono CH, Setiati S, Nasrun MWS. Silaswati S, eds.
Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatri Untuk Dokter
dan Perawat. 1st ed. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2000.p.16-24.

I 92 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holist1c Per!operative Manaf;ement In Elderly and Genatric Patient •

Sarkopenia dan frailty: Deteksi


Dini dan Tatalaksana di Rumah
Sakit dan Komunitas
Novira Widajanti

Pendahuluan

Proses menua menyebabkan banyak perubahan dalam


tubuh manusia, salah satu yang terjadi adalah h ilangnya
massa otot yang dapat menyebabkan penurunan kekuatan
otot. Seiring bertambahnya usia, dijumpai penurunan massa
dan kekuatan otot pada kisaran dekade kelima kehidupan,
yang disebut sarcopenia. Istilah "Sarcopenia" digunakan untuk
menunjukkan hilangnya massa otot, fungsi dan kekuatan otot
yang terjadi pada orang usia lanjut.
Sarkopenia menyebabkan penurunan fungsi fisik pada
orang usia lanjut. Saat ini pengetahuan yang terkait dengan
sarkopeniaberkembang pesat di seluruh dunia, sebagai
sindrom geriatri baru dan berperan dalam terjadinya kondisi
frailty. Para tenaga medis di layanan kesehatan mungkin
sudah terbiasa menjumpai orang usia lanjut yang frail, tapi
jarang mereka mengenali peran sarkopeniadalam patogenesis
frailhj, bahkan lebih jarang Iagi mereka menerapkan tatalaksana
agresif untuk memperbaiki kualitas hidup orang usia Ianjut
(Morley&Haehling, 2014).
Sarco penia d an frailty adalah dua sindrom geriatrik
dengan sebagian fenotipenya yang saling tumpang tindih.
Pada sarkopeniaprimer, yaitu hilangnya massa dan fungsi
otot akibat proses menua semata, biasanya akan mendahului
terjadinya frailty. Pada m odel fenotip frailty didapatkan
adanya kondisi kelelahan, kelemahan, dan kelambatan, yang

I 93 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1ding Ternu n:rnah G e n a t r i 2017

tidak hanya berhubungan dengan fungsi otot, sedangkan


sarkopenialebih menunjukkan perpaduan hilangnya massa
otot dan menurunnya fungsi otot. Kondisi frailti; berhubungan
dengan bertambahnya usia, sedangkan sarkopeniatidak hanya
disebabkan oleh bertambahnya usia namun juga disebabkan
oleh kondisi komorbid, malnutrisi, dan akibat ketiadaan
penggunaan otot. Secara umum, kriteria sarkopeniadan frailty
juga saling tum pang tindih. Bila padafrailti; ditandai penurunan
berat badan, maka pada sarkopeniaditandai kehilangan massa
otot, namun kecepatan berjalan dan kekuatan genggaman
tangan digunakan sebagai ukuran diagnostik untuk kedua
kondisi tersebut karena fungsi otot berperan sangat penting
dalam terjadinya kondisi sarkopeniadan frailti; (Cederholm,
201 5).

Batasan
Pada tahun 1989, Irwin Rosenberg mengajukan penggunaan
istilah 'sarcopenia' (berasal dari bahasa Yunani): 'sarx' berarti
otot dan 'penia' berarti kehilangan, untuk menggambarkan
hilangnya massa otot pada orang usia lanjut. Dalam konsensus
Sarkopenia oleh European Working Group on sarkopeniain Older
People (EWGSOP), 2009 menyebutkan bahwa sarkopeniaadalah
s i n d r o m y a n g d i tandai d engan h ilangnya m assa d an
kekuatan otot skeletal yang menyeluruh dan progresif, yang
mengakibatkan disabilitas, kualitas hidup yang buruk, dan
kematian (Cruz-Jentoff dkk., 201 0).
Tidak ada definisi operasional Jrailti; yang bisa memuaskan
semua ahli. Dalam pernyataan konsensus frailti; bersama oleh
Morley dkk, 2013, definisifrailti; adalah "a medical syndrome with
multiple causes and con tributors that is characterized by diminished
strength, endurance and reduced physiologic function that increases
an individual's vulnerabilihj for developing increased dependency
and/or death" (Morley dkk. 2013).

1 94 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Epidemiologi

Jumlah populasi usia lanjut dengan sarkopenia diper­


kirakan meningkat di seluruh dunia. System atic review
berdasar studi berbasis populasi melaporkan p revalensi
sarkopeniapada orang dewasa sehat berusia ;;;:: 60 tahun berdasar
definisi EWGSOP, IWGS dan A WGS. Tiga puluh lima artikel
yang memenuhi kriteria inklusi, dengan total 58404 subjek.
Secara keseluruhan diperkirakan prevalensi sarkopeniaadalah
1 0 % (95% CI: 8-1 2 % ) pada pria dan 11 % (95% CI: 8-1 3 % ) pada
wanita (Shafie dkk., 2017). Prevalensi sarkopeniapada non
Asia lebih tinggi dibandingkan Asia, baik pada pria maupun
wanita. Pada pengukuran massa otot menggunakan Bio­
Electrical Impedance Analysis (BIA) didapatkan prevalensi
sarkopeniayang lebih tinggi yaitu 19% pada pria dan 11 % pada
wanita. Studi populasi di Taiwan, pada 2869 usia lanjut, usia
74±6 tahun berdasar 5 studi kohort di komunitas, mendapatkan
prevalensi sarkopeniabervariasi dari 3.9% (2.5% pada wanita
dan 5.4% pada pria) dengan menggunakan cut off parameter
ESWOG hingga 7.3% (6.5% pada wanita dan 8.2% pada pria)
menggunakan cut off parameter studi populasi Taiwan (Wu
dkk., 2014). Studi di Bandung, Indonesia yang membandingkan
cut off AWGS dan Taiwan pada 229 partisipan (71 orang pria
(usia 68.24±6.9 tahun dan 1 58 orang wanita, usia 67.20±6.11
tahun ) menunjukkan angka prevalensi sarkopeniasebesar 7,4 %
pada pria dan 1,7% pada wanita, berdasarkan rekomendasi cut
off parameter AWGS dan sebesar 20,1 % pada pria dan 20,5%
pada wanita berdasar rekomendasi cut off parameter Taiwan
(Vitriana dkk., 201 6). Dan Setiati, dkk melaporkan jumlah
pasien dengan kekuatan genggam tangan yang rendah sebesar
8% dan mobilitas terbatas sebesar 2,8% dari 251 pasien geriatri
rawat jalan RS Cipto Mangunkusumo Jakarta (Setiati, 2013).
Kondisi frailty sering dijumpai pada akhir kehidupan,
namun batasan definisi operasional frailty yang berbeda
menghasilkan prevalensi yang berbeda antar studi. Sebuah

I 95 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosidi119 Ten�u Hni1ah Genatri 2017

systematic review yang menggabungkan 31 penelitian tentang


frailty pada orang berusia 65 tahun atau lebih mendapatkan
prevalensi dari Physically frailhj adalah sebesar 4.0% sampai
1 7,0% (rata-rata 9,9 % ), dengan prevalensi yang lebih tinggi
ketika physicososial frailty juga disertakan. Wanita (9,6 % )
hampir d u a kali lebih dibandin gkan pria (5,2 % ) untu k
kemungkinan menjadi Frail. Prevalensifrailhj meningkat secara
signifikan pada orang yang berusia lebih dari 80 tahun (Morley
dkk., 2013; Collard dkk., 2012).

Diagnosis Sarkopenia dan Frailty


Sarcopenia dan frailhj adalah dua sindrom geriatrik yang
baru, sering dijumpai, berdampak klinis yang besar, memiliki
banyak mekanisme etiologi yang mendasari, dan memiliki
fenotipe yang cukup jelas. Menariknya, kedua fenotipe
tersebut saling bertumpang tindih, terutama bila frailty yang
dimaksud adalah Physically Frailty, seperti yang telah banyak
didefinisikan oleh sejumlah pakar dalam15 tahun terakhir
(Cederholm, 2015).
EWGSOP mempublikasikan kriteria diagnostik untuk
penegakan diagnosis sarkopeniayang didasarkan pada massa
otot dan fungsi otot (kekuatan dan atau performa fisik) yang
rendah. Rekomendasi E WGSOP m enyebutkan diagnosis
sarkopeniaberdasarkan kriteria berkurangnya massa otot
dan menurunnya fungsi otot (yang ditandai kekuatan otot
dan performa fisik) . Diagnosis sarkopeniamembutuhkan
terpenuhinya kriteria 1 yaitu didapatkannya massa otot yang
rendah, disertai rendahnya kekuatan otot atau rendahnya
performa fisik. EWGSOP juga membagi sarkopeniaberdasar
kategori derajat keparahan sarkopenia, yaitu pre-sarcopenia,
yang ditandai dengan rendahnya m assa otot yang tidak
memengaruhi fungsi otot; sarcopenia, yang ditandai dengan
rendahnya massa otot dan rendahnya kekuatan otot atau
performa fisik, dan sarkopeniaberat, yang ditandai dengan

1 96 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
'.!nt In Elderly and Geriatric Patient
Holistic Periop�rat!ve Manageml •

rendahnya m assa otot disertai rendahnya kekuatan otot


dan kapasitas fu ngsional. Pendekatan terhadap definisi
sarkopeniadidasarkan pada pengukuran massa otot, kekuatan
otot, dan performa fisik, dan setiap parameter dapat dianggap
rendah bila kurang dari dua standar deviasi (2SD) dari nilai
rata-rata pria dan wanita usia muda sehat (Cruz-Jentoft dkk.,
2010).

Tabel 1. Perbandingan definisijkarakteristik dan cut off p arameter


snrcopenin berdasar kriteria EWGSOP, AWGS dan IWGS ( dikutip
dari Ogawa dkk., 2016)

EWGSOP AWGS IWGS

Definition/ A syndrome Age related Age-associated


Chnrnc- chnrncterized by decline of skeletal loss of skeletal
teristics progressive nnd 111uscle plus low m.uscle mass nnd
genernlized loss 111uscle strength function
of skeletal muscle nnd/or physical
111ass and strength perfonnance
with n risk of
adverse ou tco111es.
SM/ (A SM/ 7.26 kg/1112 for 7. 0 kg/1112 for 111en 7.23 kg/1112 for
ileight2) 111en and 5.5 kg! and 5.4 kg!m2 for men and 5.67 kg/
m 2 for wom.en (by women (by DXA). m2 for women
DXA). 8.87 kg/1112 7.0 kg!m2 for 111en (by D XA).
for men and 6.42 and 5. 7 kg/1112 for
kg/1112 for women women (by BIA)
(by B IA)
Wnlking <0.8111/s <0.8 m/s < 1 . 0 m/s
Speed Grip <30 kg for 111en <26 kgfor men Not specified
Force <20kg for women < 18 kgfor women

Para pakar dan peneliti dari China, Hong Kong, Japan, Korea
Selatan, Malaysia, Taiwan, dan Thailand yang tergabung
dalam Asian Working Group for sarkopenia(A WGS) juga
melakukan suatu pendekatan yang sama dalam diagnosis
sarkopeniadengan EWGSOP namun merekomendasikan nilai
cut-off parameter- diagnosis sarkopenia yang berbeda dengan
Eropa sebagai acuan penegakan diagnosis sarkopeniadi
populasi Asia. Perbedaan etnisitas, ukuran tubuh, gaya hidup,

1 97 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
� Prosid1ng Ternu n m 1 a h c;eriatri 2017

dan latar belakang budaya antara populasi Asia dan Kaukasia


serta antarpopulasi Asia memunculkan hasil bervariasi untuk
nilai cut-off parameter antarpopulasi (Ogawa dkk., 201 6).
Studi populasi usia lanjut Taiwan menghasilkan nilai cut-off
yang berbeda pula dengan rekomendasi A WGS. Pada studi
populasi Taiwan menemtukan cut off parameter yang berbeda,
yaitu: massa otot adalah <8.87 kg/ m2 untuk pria dan < 6.42
kg/ m2 untuk wanita; kekuatan otot <22.5 kg untuk pria dan
<14.5 untuk wanita; dan performa fisik yang dinilai dengan
kecepatan berjalan _:s: l m / detik (Wu dkk., 2014).
Hingga saat ini belum tercapai kesepakatan sistem pe­
nilaian ideal untuk menentukan Frailty. Sistem penilaian
ideal untuk menentukan frailhj hams dapat menilai semua
domain sindromfrailhj dan tingkat keparahannya, serta mudah
dilakukan dalam praktik klinis setiap hari dan dapat mengukur
perubahan dari waktu ke waktu atau setelah intervensi. Ada
beberapa sistem penilaian untuk menentukan kondisi Frailty,
namun d u a pendekatan yang paling banyak digunakan
adalah definisi fenotipik aspek fisik yang mudah d ikenali
yang dikembangkan oleh Fried dkk., 2001 berdasar data dari
Cardiovascular Health Study atau konsep akumulasi defisit
Indeks frailhj yang dikembangkan oleh Rockwood dkk., dalam
Canadian Study of Health and Aging (CSHA) . Definisi obyektif
frailhJ oleh Fried mengusulkan lima kriteria: penurunan berat
badan, kelelahan, kelemahan, kecepatan berjalan lambat, dan
tingkat aktivitas fisik yang rendah. Frailty didiagnosis bila
setidaknya ada tiga kriteria yang terpenuhi. Seorang individu
dikatakan pra-frail bila dijumpai satu atau dua dari kriteria ini.
Indeksfrailty dari Rockwood didasarkan pada akumulasi skor
defisit yang dinilai, yaitu rasio defisit (0-1) yang ada terhadap
jurnlah defisit yang dihitung. Kedua sistem penilaian tersebut
telah divalidasi dalam populasi besar (Morley dkk., 2013; Bauer
& Sieber, 2008; Laksmi, 2015).

I 98 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoi1st1c Per!operative Manan<?ment I n E!cieriy and Geri�tric Patient •

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Sarcopenia dan Fra ilty (dirangkum dari


Cederholm, 2015)

Snrkope!lin FmifhJ
Muscle loss Weight Loss
Gait Speed Wnlkillg cnpncihJ
Grip Strength Weakness
Low Physical activihJ
Exhnustion/Fatique

Pada Tabel 2, tam pak perbedaan antara frailty d an


sarkopeniatercermin dari perbedaan penggunaan kriteria
' hilangnya massa ' . Pada frailty d id a p atkan penu ru n an
berat badan, yang bisa berupa kehilangan massa otot atau
lemak, sebagai salah satu dari lima kriteria sesuai dengan
m o del fenotip F railty . Dan p a d a sarkopeniadij u m p a i
kehilangan massa otot sebagai kriteria utama. Kriteria lain
dari sarkopeniaberhubungan langsung dengan kekuatan
otot yang dinilai dengan kecepatan berjalan atau kekuatan
genggaman tangan. Kelambatan dan kelemahan pada model
frailtt; juga diniJai dengan kecepatan berjalan dan kekuatan
genggaman tangan, sedangkan kelelahan dan aktivitas fisik
rendah merupakan kelelahan dan kemampuan berjalan yang
secara subyektif dilaporkan. Tampak adanya tum pang tindih
antara definisi dan kriteria diagnostik sarkopeniadan Frailty.
Tampak jelas peran otot pada kedua sindrom ini, menandakan
pentingnya fungsi otot yang baik -meskipun pada orang usia
lanjut yang menderita penyakit- untuk kemandirian pada
orang usia lanjut (Cederholm, 2015).

1 99 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1 osiding Ternu Hm1ah G e n a t ri 2017

Deteksi Dini Sarkopenia dan Frailty

Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai


sarkopeniadan frailhj maka deteksi dini sarkopeniadan frailty
hams menjadi bagian dari asesmen geriatri yang komprehensif.
Deteksi dini sarkopenia dapat dilakukan dengan menilai
kecepatan berjalan dan kekuatan pegangan tangan serta
melakukan pengukuran komposisi tubuh. Untuk deteksi dini
frailhj dimulai dengan mengukur kemampuan berjalan dan
dilengkapi dengan adanya riwayat kelelahan dan aktivitas
rendah. Sehingga tatalaksana sarkopeniadan frailty juga
terpusat pada perbaikan massa dan fungsi otot yaitu dengan
memberi suplementasi protein dan vitamin D yang cukup, dan
disertai latihan ketahanan.
E W G S O P m e re k o m e n d as i k a n d ete k s i d i n i ru tin
sarkopeniapada orang usia 65 tahun ke atas di komunitas
berdasarkan algoritma. A WGS merekomendasikan pula alur
untu k melakukan deteksi dini sarkopenia namun dengan
batasan usia ::::_ 60 a tau 65 tahun (sesuai batasan usia lanjut di
masing-masing Negara). IWGS merekomendasikan kondisi
kesehatan tertentu yang memerlukan penilaian sarcopenia,
yaitu: (1) adanya penurunan status fungsional (2) kesulitan
dalam mobilitas, (3) riwayat jatuh berulang, (4) mengalami
penurunan berat badan yang tidak inginkan (> 5 % ), (5)
setelah menjalani rawat inap, dan (6) adanya kondisi penyakit
kronis (penyakit metabolik dan keganasan). Selain itu, IWGS
merekomendasikan untuk menilai komposisi tubuh dengan
Dual x-ray absorptiometry (DXA) pada u sia lanjut yang
mengalami penurunan fungsional dengan kecepatan berjalan
<1,0 m/ detik dan melakukan evaluasi adanya sarkopenia
pada pasien non-ambulasi serta orang usia lanjut yang tidak
dapat bangkit dari k ursi tanpa bantuan harus dianggap
sarkopeniatanpa pengukuran DXA. AWGS merekomendasikan
skrining untuk sarkopeniadengan membagi menjadi 2 kategori,
yaitu: pada orang usia lanjut yang tinggal di komunitas dan

1 100 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Perioperative Management J n Elderly and Genatric Patient •

orang usia lanjut dengan kondisi klinis tertentu di semua


layanan kesehatan. Skrining sarkopeniauntuk orang usia
lanjut yang tinggal di komunitas akan memfasilitasi promosi
kesehatan dan pencegahan disabiltas di komunitas mereka,
dan evaluasi sarkopeniadalam layanan kesehatan akan
memfasilitasi strategi untuk intervensi dalam praktik klinis
(Ogawa dkk., 2016; Fielding dkk., 2011 ; Chen dkk., 2014).

Tabet 3 . Strategi deteksi dini dan Asesmen sarkopeniaOrang Usia


Lanjut di Asia berdasar rekomendasi AWGS (dikutip dari Chen
dkk.,2014).

Co111m11nihJ Settings
People aged 60 or 65 years and older (according to the definitions of elderly
in enc/1 individual coun tnJ) living in co111111wiities
Specific Clinical Conditions in A ll Healthcare Settings
Presence of recent functional decline or functional i111pnir111ent
Unintentional body weight loss for over 5% in a month
Depressive 111ood or cognitive i111pair111ent

Repented falls
Undernu trition

Chronic conditions (eg, chronic heart failure, chronic obstructive


pul111onan1 disease, diabetes 111ellih.1s, chronic kidney disease, connective
tissue disease, tuberculosis infection, nnd other chronic wasting conditions)

Pada setting komunitas, bagi orang usia lanjut yang


berusia d i bawah 70 tahun di mana risiko frailty belum
nam pak, m aka lebih disarankan untuk fokus melakukan
penapisan sarcopenia. Langkah pertama yang dapat dilakukan
adalah menilai kecepatan berjalan dan kekuatan genggaman
tangan. Jika didapatkan nilai yang rendah pada salah satu
parameter maka dilakukan pengukuran massa otot dapat
dilakukan dengan pengukuran komposisi tubuh baik dengan
BIA atau D-XA, untuk menentukan apakah didapatkan
sarkopenia(Gambar 1 ) .

I 1 01 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosid!119 Ternu l i m 1 a h c; e n a t ri 2017

?i!�ptlW'a;'J � fetl=:am W%pl:. cvn


dm
R«(lf� b«rj11!.at'l ( !i(ll)

GT n!Mlah dm/ �
t.111
Kil rt��

Gambar 1 . Rekomendasi algotima diagnostik Sarkopenia berdasar


AWGS (dikutip dari Vitriana dkk., 2016 dan Chen dkk.,2014).

Di Indonesia, telah dituangkan dalam Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia No.67 Tahun 2015 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Pusat
Kesehatan M asyarakat, perlunya melakukan pemeriksaan
kecepatan berjalan dengan Timed Up and Go Test untuk
mendeteksi adanya kondisi instabilitas postural dan risiko
jatuh pada orang usia lanjut. Bila didapatkan kelambatan

1 1 02 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoiist1c Perioperative Managern�nt I n Elderly and Geriatric Patient ._

dalam berjalan maka dapat dilakukan konsultasi/ rujukan


lebih lanjut.
Malmstrom & Morley, 2013 mengembangkan penggunaan
kuesioner SARC-F untuk tes diagnosis sarkopenia yang cepat.
Ada 5 komponen SARC-F: Kekuatan, Bantuan Berjalan, Bangkit
dari kursi, Naik tangga dan Jatuh (Tabel 4). Total Skor berkisar
antara 0 sampai 10, dengan nilai 0 sampai 2 poin untuk setiap
komponen. Studi pendahuluan yang dilakukan menunjukkan
bahwa skor .'.'.:. 4 adalah m em iliki kemampuan pred iktif
terhadap sarkopeniadan luaran yang buruk (Malmstrom &
Morley, 2013; Malmstrom dkk., 2016).

Tabel 4. Kuesioner SARC-F untuk sarkopenia (dikutip dari


Malmstrom &Morley, 2013)

Componen t Question Scoring


Strength How much difficulhJ do you None =O
have in lifting and carnjing 10 Some = 1
pounds ? A lot o r unable =2
Assistance in How much difficulhj do you None =O
walking have walking across a room ? s
So111e = 1
A lot, use aids, or
unable = 2

Rise fro111 a chair How much difficulhj do you None = 0


have transferring from
a chair or bed ? Some =1
A lot or 1111able
without help =2
Cli111b stairs How much difficulhj do you None = 0
have climbing a flight So111e = 1
of 1 0 stairs ? A lot o r unable = 2
Falls How many tin1.es have you None = O
fallen in the past year? 1-3 falls = 1
4 o r 111ore falls = 2

Dalam setting klinik layanan kesehatan usia lanjut adalah


hal rutin melakukan asesmen geriatri yang komprehensif

I 103 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosidmg Temu Hni1ah Genatri 2017

baik clari status mental (menggunakan Geriatric Depression


Scale), status kognitif (melalui Pemeriksaan Mini Mental),
clan evaluasi status gizi (menggunakan Mini Nu tritional
Asessment). Penilaian status fungsional juga merupakan bagian
yang terintegrasi dari asesmen geriatri yang komprehensif,
dengan menilai kecepatan berjalan atau kapasitas berjalan. Jika
didapatkan penurunan keepatan berjalan rnaka diperlukan
ta rn b a h a n i n f o r m a s i tentang p enur unan berat badan
berdasarkan MNA dan informasi ananmesis tentang kelelahan
clan aktivitas fisik rendah, yang merupakan bagian integral
dari model penapisan Frailty. Bila dijumpai kondisi tersebut,
bisa rnenjadi informasi yang cukup untuk memulai tatalaksana
memperbaiki anabolisme otot, yaitu memberikan protein dan
vitamin D yang memadai, dan memulai latihan ketahanan
(Cederholrn, 2015).
Pada orang usia lanjut lebih dari 70 tahun atau orang
usia lanjut disertai didapatkan penurunan berat badan yang
bermakna (:2:5 % dalam kurun tahun terahkir) oleh karena
penyakit kronik harus dilakukan penapisan adanya Frailty.
Sejumlah tes penapisan diagnostik cepat telah clikernbangkan
dan divalidasi untuk untuk digunakan sebagai instrument
penapisan Frailty, yaitu : FRAIL scale, Clinical Frail Scale,
Cardiovascular Health Study frailhj Screening Scale, Gerontop8le
frailty Screening Tool (Morley dkk., 2013).
Skala FRAIL (kelelahan, hambatan, aerobik, kornorbid,
dan kehilangan berat badan) telah divalidasi oleh enarn studi
terpisah dan muncul untuk dilakukan serta skala lain yang
lebih rumit. Dari lima komponen skala FRAIL; resistance
(menaiki tangga) dan aerobic (berjalan 1 blok) sama halnya
dengan komponen definisi sarcopenia. Untuk kelelahan
banyak penyebabnya selain karena fungsi otot yang buruk,
antara lain karena anemia, kelainan endokrin, sleep apnea,
polifarmasi, depresi, dan clefisiensi vitamin B12. Komponen
penurunan berat baclan bukanlah gambaran umum pada
sarcopenia, namun kehilangan massa otot dapat menyebabkan

I 104 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!ist1c: Periop2rative Managen1ent I n Elderly and Genatric Patient •

penurunan berat badan pada orang yang tidak mengalami


sar kopeniaobesitas. Orang u sia lanj u t dengan m u l tipel
komorbiditas umumnya mengalami kehilangan m assa dan
fungsi otot (Morley dkk., 2014)

Tabel 5. Frnil Scale (dikutip dari Morley dkk., 2014)

Tile simple FRAIL scale


Fntig11e

Resistance (can you climb a flight of stairs?)


Aerobic (can you wnlk a block?)

Illness (>5)

Loss of weight (5 % in 6 months)


Three or 111ore positive nnswers, frail; one or two positive nnswers, prefrnil

Tatalaksana Sarkopenia dan Frailty

L e b i h b a i k m e n c e g a h h i l a n g n y a p r o g re s i f i t a s
m a ssa, keku atan, d a n f u n g s i o to t d a r i p a d a m e n c o b a
mengembalikannya pada u sia yang lebih lanj u t. Strategi
pencega han bersamaan dengan intervensi pengobatan
harus dimulai sedini m u ngkin sebelu m terjadi kehilangan
massa, kekuatan dan fungsi otot. Intervensi latihan fisik dan
pendekatan nutrisi berperan penting dalam pengelolaan
Sarkopenia dan Frailty . Literatur menunj u kkan bah w a
intervensi latihan fisik menunjukkan perbaikan sarkopenia
yang bermakna. Bukti lain menunjukkan bahwa kombinasi
antara latihan fisik dan nutrisi merupakan intervensi utama
u ntuk mencegah, mengobati, dan memperlambat terjadinya

I 105 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1os1d1n9 Temu llrrnah Geriatri 2017

sarcopenia. Penggunaan terapi farmakologis masih terns


d ite liti m a n faatnya ( M o r ley d k k . , 2014). Sama h alnya
dengan sarkopenia, konsensus frailty merekomendasikam
tatalaksana Jrailhj adalah latihan fisik (latihan ketahanan dan
latihan aerobic), suplementasi kalori-protein, vitamin D, dan
menghindari polifarmasi (Morley dkk., 2013).

Tabel 6. Intervensi Latihan Fisik Untuk Sarkopenia ( dikutip dari Yu


dkk., 2016)

Type of Frequenci; lntensihJ Duration/set


trailling
Aerobic Minimum 5 days/ Moderate A ccu111ulnte nt
exercise week for moderate intensihJ at Least
intensihj 5-6 on a 30 111i11/day of
or 1 0-point scale moderate in tensihJ
3 days/week for Vigorous activi hJ in bouts
vigorous in tensihj intensihj nt 7-8 of nt Least 10 111in
Oil a 1 0-poi11 t each colltinuous
scale vigorous nctivihJ
for at Least
20 min/day

Resista/lce At Least 2 days/ Slow-to- 8-10 exercises


exercise week moderate
(for major velocihJ 60-80% 1 -3 sets per
muscle of 1 RM exercise
groups 8-12 repetitions
using free 1-3 min rest
weights and
mnchilles)

Power Two days a week Hig/1 repetition 1-3 sets


trai11ing velocihJ Light-to- 6-10 repetitions
(to practice 111oderate Landing
only after the 30-60% of 1 RM
resistnllce
training)

Latihan Fisik meningkatkan kekuatan otot dan massa otot


dan meningkatkan performa fisik. Bukti menunjukkan bahwa

1 106 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoiist1c Perioperative Management ln Elderly and Geriatric Patient •

latihan tahanan otot dan latihan aerobik sangat bermanfaat


untuk pencegahan dan pengobatan sarcopenia. Intervensi
latihan fisik untuk sarkopeniaditunjukkan dalam Tabel 6.
Latihan tahanan otot dapat dilakukan menggunakan alat di
gimnasium, dengan mengangkat beban, meregangkan pita
karet, atau latihan menumpu berat badan. Latihan tahanan otot
meningkatkan massa dan kekuatan otot dengan memperbaiki
sintesis protein pada sel otot skeletal yang menyebabkan
hipertrofi otot dan meningkatkan kekuatan otot. Latihan
tahanan otot adalah intervensi yang aman, dan efektif untuk
orang usia lanjut dan sangat disarankan untuk orang usia lanjut
dengan sarcopenia. Latihan aerobik adalah bentuk aktivitas
fisik terstruktur yang menggunakan oksigen untuk memenuhi
kebutuhan energi saat berolahraga. Contoh latihan aerobik
adalah berenang, jalan cepat, bersepeda, joging, menari atau
aerobik air. Latihan aerobik meningkatkan kontrol metabolik,
mengurangi stres oksidatif, dan mengoptimalkan kemampuan
latihan. Latihan aerobik juga memberi dampak bermanfaat
pada sarkopeniadengan meningkatkan sensitivitas otot-otot
skeletal, merangsang hipertrofi otot dan meningkatkan massa
otot skeletal. Namun, hal itu tidak menghasilkan peningkatan
massa dan kekuatan otot yang sama seperti latihan resistance,
namun masih disarankan untuk pasien dengan sarcopenia.

Tabel 7. Intervensi Nutrisi untuk Sarkopenia


(dikutip dari Yu dkk., 2016)

Evidence or reco111.111.endation
Interventions Amount of Type of Protein Timing
protein
Protein A t least 1.0-1.2 "Fast" proteins Even
supplemen t g/kg/day in nre thought to be distribution of
people aged 65 more beneficial protein in take
years and above compared to in main meals
GFR 30-60 - "slow" proteins tlzro11gh the dny
0.8 g/kg/day but lacks robust
GFR <30 - evidence
between 0.6 nnd
0.8 g/kg/dny

I 107 l

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1os1d1ng Temu i 1 m 1 ah G e n a t ri 2017

Vitn111i11 D Replnce depleted ser11111 vitn111in D level n11d 111ni11tnin


ndequnte in tnke nt 700 to 1 000 IU/dny of cholecnlciferol

* EssClltinl Dnily leucine 2.5 g or 2 . 8 g with co111binntio11 of


n111ino ncid resistance exercise (benefits only shown in a small
supple111entntion m.1 111ber of studies)

* Beta­ H MB nlo11e, or with co111binntio11 of resistn11ce exercise


hydroxy-betn­ or nrginine and lysine (evidence not consistently
methylbu hJrnte positive and only shown i11 a s111all 11u111ber of st11dies)
(HMB)

GFR: glomerular filtration rate, mljminfl . 73 1111. *Not cu rrently i11corpornted


into 111ai11strea111 of treatment.
Nutrisi juga berperan penting dalam mencegah dan
menge mbalikan kondisi sarcopenia. Intervensi Nutrisi
yang d isarankan dalam Tabel 7. Kombinasi Latihan fisik
dan nutrisi merupakan strategi penting dalam pencegahan
dan penanganan sarkopenia. Sejumlah terapi farmakologis
seperti inhibitor miostatin, testosteron, dan ACE inhibitor dan
modulasi ghrelin sedang diteliti untuk sarkopeniatetapi bukti
yang ada belum memadai untuk mendukung penggunaannya
dalam praktik klinik (Yu dkk., 2016).

Tantangan dalam Penanganan


Sarkopenia dan Fra i lty

Diagnosis klinis dan tatalaksanan Sarkopenia dan frailtt;


masih merupakan tantangan dan masih merupakan Iahan
penelitian yang luas. Alat penapisan sarkopenia diperlukan
dalam praktik klinik. Meski pengukuran antropometri mudah
dilakukan dalam praktik klinis, namun kemampuannya untuk
memprediksi sarkopeniamasih terbatas. Beberapa penanda
biologis telah terbukti terkait dengan massa, kekuatan, dan
fungsi otot. Namun, biomarker ini mungkin tidak spesifik
untuk otot skeletal dan lebih terkait dengan hasil yang relevan

I 108 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holfstte. Perioperative Management In Elderly a n d Geriatric Patient •

secara klinis. Penggunaan biomarker dalam penapisan untuk


sarkopeniamasih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Implementasi intervensi untuk sarkopeniadan frailty
berhadapan beberapa tantangan dan hambatan pada orang
usia Ianjut. Kesadaran akan manfaat latihan fisik dan diet perlu
ditingkatkan di kalangan orang usia lanjut. Strategi penting
yang harus dilakukan adalah upaya meningkatkan kesadaran
turut serta dalam latihan fisik di kalangan orang usia lanjut
dan mencegah sarkopeniadalam skala jangka panjang. Bukti
menunjukkan bahwa orang usia lanjut akan lebih aktif jika
mereka disarankan melakukannya oleh dokter pribadi mereka
(Yu dkk., 2016). Tantangan lain adalah pada orang usia lanjut
dengan keterbatasan aktivitas untuk melakukan aktivitas fisik
atau latihan fisik, perlu dirancang target rencana latihan fisik
yang harus dilakukan.
Hambatan lain pada orang usia lanjut adalah kemampuan
finansial untuk mengikuti program latihan fisik, hal ini perlu
dipertimbangkan dalam perencanaan target terapi jangka
panjang. Hambatan dalam asupan makanan akibat problem
kesulitan menelan dan menurunnya kemam puan indera perasa
dan pembau, akses memperoleh makanan, problem keuangan,
dan isolasi sosial dapat berdampak pada kemampuan orang
usia lanjut untuk memperoleh asupan makanan yang optimal
(Yu dkk., 201 6).

Daftar Pustaka
1. Bauer JM, Sieber C C (2008). Sarkopenia and frailty: A clinician's
controversial point of view Experimental Gerontology 43:
674-678.
2. Cederholm T. Overlaps between frailty and sarkopeniaDefinitions.
In; Frailty: Pathophysiology, Phenotype and Patient Care. Eds:
Fielding RA, Sieber C, Vellas B. Nestle Nutr Inst Workshop Ser.
83: pp 65-69.
3. Chen LK, Liu LK, Woo J , Assantachai P, Auyeung TW,
Bahyah KS, Chou MY, Chen LY, Hsu PS , Krairit 0 , Lee JSW,

I 109 l

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding T€ rl'HJ !imtah Geriatri 2017

Lee WJ, Lee Y, Liang CK, Limpawattana P, Lin CS, Peng


LN, Suzuki SS, Won CW, Wu CH, Wu SN, Zhang T, Zeng P,
Akishita M, Arai H (2014). sarkopeniain Asia: Consensus Report
of the Asian Working Group for sarkopeniaJ Am Med Dir Assoc
15 : 95-1 01 .
4. Collard RMl, Boter H, Schoevers RA, Oude Yoshaar RC (2012).
Prevalence of frailty in community-dwelling older persons: a
systematic review.} Am Geriatr Soc. 60(8): 1487-92.
5. Cruz-Jentoft AJ, Baeyens JP, Bauer JM, Boirie Y, Cederholm
T, Landi F, Martin FC, ,Michel JP, Rolland Y, Schneider SM,
Topinkova E, Vandewoude M, Zamboni M. (2010). Sarcopenia:
European consensus on definition and diagnosis. Report of the
European Working Group on sarkopeniain Older People . Age
and Ageing 39: 412-423.
6. Fielding R A l , V ellas B, Evans WJ, Bhasin S, M orley JE,
Newman AB, Abellan van Kan G, Andrieu S, Bauer J, Breuille
D, Cederholm T, Chandler J, De Meynard C, Donini L, Harris T,
Kannt A, Keime Guibert F, Onder G, Papanicolaou D, Rolland
Y, Rooks D, Sieber C, Souhami E, Verlaan S, Zamboni M (2011).
Sarcopenia: an undiagnosed condition in older adults. Current
consensus definition: prevalence, etiology, and consequences.
International working group on sarcopenia. J Am Med Dir Assoc.
1 2(4):249-56.
7. Hairi N N, Bulgiha A, Hiong TG, Mudla I. sarkopeniain Older
People. In: the book Geriatrics. Downloaded from: http:/ /www.
intechopen.com/ books/ geriatrics
8. Laksmi P W (201 5) . Challenges in Screening and Diagnosing
frailty Syndrome: Which Tool to be used? Acta Med Indones.
47(3):181-2.
9. Malmstrom TK, Miller DK, Simonsick EM, Ferrucci L, Morley
JE (2016). SARC-F: a symptom score to predict persons with
sarkopeniaat risk for poor functional outcomes . Journal of
Cachexia, sarkopeniaand Muscle 7: 28-36.
1 0. M a l m st r o m T K , M o rley JE (201 3 ) . SARC-F: A S i m p l e
Questionnaire t o Rapidly Diagnose Sarcopenia. J Am Med Dir
Assoc. 14: 531-532 .
1 1 . Morley JE, Yellas B, Van Kan GA, Anker SD, Bauer JM, Bernabei
R, Cesari M, Chumlea WC, Doehner W, Evans J, Fried FP,
Guralnik JM, Katz PR, Malmstrom TK, Mc Carter RJ, Robledo

1 11 0 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!;stic Per!operative Mana.gemt:�rit In Elderly and Gen<) t r i c: Patient •

LMG, Rockwood K, Haehling S, Vandewoude MF, Waltson J .


frailty Consensus: A Call to Action (201 3). J A m Med D i r Asso.c
14(6): 392-397.
12. M o rley JE, von Haehling, A n k e r SD, V ellas B (201 4 ) .
From sarkopeniato frailty: a road less traveled. J Cachexia
sarkopeniaMuscle 5:5-8.
13. Ogawa S, Yakabe M, Akishita M. Age-related sarkopeniaand
its pathophysiological bases . Inflammation and Regeneration
(2016) 36:17
14. Setiati S. Geriatric Medicine, Sarkopenia, frailty dan Kualitas
Hidup Pasien Usia Lanjut: Tantangan Masa Depan Pendidikan,
Penelitian dan Pelayanan Kedokteran di Indonesia. eJKI Vol. 1 ,
No. 3 , Desember 2013 , 234-243
15. Shafie G , Keshtkar A, Soltani A, Ahadi Z, Larijani B, Heshmat
R (2017). Prevalence of sarkopeniain the world:a systematic
review and meta- analysis of general population studies. Journal
of Diabetes & Metabolic Disorders 16: 21 .
16. Vitriana, Defi IR, Nugraha GI, Setiabudiawan B (2016). Prevalensi
Sarkopenia pada Lansia di Komunitas (Community Dwelling)
berdasarkan Dua Nilai Cut-off Parameter Diagnosis . MKB
48(3):1 64-70.
17. Wu IC, Lin CC, Hsiung CA, Wang CY, Wu CH, Chan DCD, Li
TC, Lin WY, Huang KC, Chen CY, Hsu CC for the sarkopeniaand
Translational Aging Research in Taiwan (START) Team* 2014)
.Epidemiology of sarkopeniaamong community-dwelling older
adults in Taiwan: A pooled analysis for a broader adoption of
sarkopeniaassessments . Geriatr Gerontol Int 2014; 14 (Suppl. 1 ) :
52-60
18. Yu SCY, Khow KSF, Jadczak AD,Visvanathan R (2016) . . Clinical
Screening Tools for sarkopeniaand Its Management . Current
Gerontology and Geriatrics Research, Article ID 5978523, 1 0
pages.

1 111 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d111g Ternu l:mrah Geriatri 2()17

Peran Suplementasi Protein


pada Pasien Usia Lanjut
Siti Setiati, Laurentius Johan Ardian

Protein memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh


manusia. Protein kontraktil (contractile proteins) seperti aktin
dan miosin merupakan komponen utama penyusun otot
jantung, otot rangka, dan otot polos. Sementara itu, fibrous
protein, seperti kolagen, elastin, dan keratin berperan dalam
sintesis kolagen dan angiogenesis pada proses penyembuhan
luka.1

Peran Protein dalam Mencegah


Malnutrisi

Lansia memerlukan protein untuk mempertahankan


massa dan kekuatan otot yang mulai menurun akibat proses
penuaan. M assa otot rangka akan mengalami penurunan
0,5-1 % / tahun dimulai pada usia 40 tahun dan akan terjadi
penurunan yang lebih tajam hingga 3% per tahun setelah
usia 60 tahun.2•3 Kondisi ini seharusnya diimbangi dengan
pemenuhan kecukupan kebutuhan nutrisi (terutama protein).
Rekomendasi terbaru dari kelompok studi PROT-AGE
merekomendasikan konsumsi protein yang lebih tinggi pada
kelompok lansia dibanding pada kelompok usia lebih muda,
yaitu 1 ,0-1,2 gram protein/ KgBB/hari untuk lansia sehat.4•5
Selain itu, untuk memaksimalkan respons anabolik dan sintesis
protein otot selama 24 jam dianjurkan untuk mengonsumsi
protein dalam jumlah yang adekuat dengan distribusi jumlah
yang merata tiap kali makan. Paddon-Jones dkk.6 dan Layman7
menyatakan diperlukan konsumsi protein sebesar 25-30 gram

1 112 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoi!stic Perioperative Manageni�nt In Elderly and Ger1<"1 t ric Patient •

tiap kali makan untuk memperlambat penurunan massa dan


fungsi otot (sarkopenia).
Untu k pasien lansia dengan malnutrisi atau berisiko
malnutrisi karena kondisi penyakit akut a tau kronik, kelompok
studi PROT-AGE merekomendasikan 1 ,2-1 ,5 gram protein/
kgBB/ hari.4•5 Pasien lansia dengan sakit yang parah atau
dengan tanda malnutrisi yang jelas dapat diberikan protein
lebih banyak sampai 2 gram/ KgBB/ hari. Rekomendasi
tersebut tidak berlaku pada pasien lansia dengan gangguan
fungsi ginjal yang berat dan tidak menjalani dialisis, bahkan
pada lansia dengan kondisi tersebut perlu m e m batasi
konsumsi protein. 5

Tabel 1. Kebutuhan protein pasien G angguan Ginjal Berdasar LFG5

Derajat CKD Non­ Hemodialisis Dialisis Peritoneal


Hemodialisis dan Non­
Dialisis Peritoneal

CKD berat LFG < 30 > 1,2 gram/ KgBB/ > 1,2 gram/
mL/ menit: batasi asupan hari atau bila KgBB/ hari atau
protein sampai 0,8 mungkin 1 , 5 gram/ bila mungkin 1,5
gram/ KgBB/ hari KgBB/ hari gram/ KgBB/ hari

CKD sedang LFG


30-60 mL/ menit: asupan
protein > 0,8 gram/
KgBB/ hari cukup
aman tetapi GFR perlu
dimonitor 2x/tahun

CKD ringan: LFG > 60


mL/ menit: tingkatkan
kebutuhan protein sesuai
kebutuhan pasien.

Sayangnya, lansia sering makan dengan porsi lebih sedikit,


termasuk dalam mengonsumsi protein. Di Eropa, 1 0 % lansia
yang tinggal di komunitas dan 35% yang tinggal di layanan
perawatan gagal memenuhi kebutuhan rata-rata nutrisi yang
harus dikonsurnsi (estimated average requirements = EAR).4
Data di Indonesia juga rnengungkapkan hal yang tak jauh

1 113 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1 os1d1n9 Temu lirrnah Ge n a t ri 2017

berbeda. Sebuah penelitian m ultisenter oleh Setiati, dkk8


mengungkapkan lansia pria rata-rata hanya memenuhi 77%
kebutuhan protein yang dianjurkan setiap harinya (Reference
Daily In take) sedangkan lansia wanita memenuhi hampir
91,5% kebutuhan protein ROI. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan banyak warga lansia gagal memenuhi kebutuhan
nutrisi, termasuk protein seperti adanya predisposisi genetik,
perubahan fisiologis, kondisi medis, hendaya fisik dan mental,
serta masalah sosioekonomi.4
Untuk itu, pemberian suplementasi protein diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut terutama pada pasien
dengan stres katabolik (sakit, tidak aktif secara aktif, dan Iuka).
Suplementasi protein juga diperlukan bila pasien tidak aktif
secara fisik agar massa dan kekuatan otot tetap terjaga.9
Pad don-Jones9 m engu ngkap kan d iet tinggi protein
bermanfaat untuk menurunkan lemak tubuh, menurunkan
lingkar pinggang, dan menjaga massa otot (lean mass) lebih
baik dibandingkan diet standar protein. Diet tinggi protein
j ug a berm anfaat u ntuk mengontrol nafsu makan, rasa
kenyang, dan motivasi untuk makan lebih sehingga dapat
menurunkan kebiasaan makan berlebih yang menyebabkan
berat badan berlebih dan obesitas. Diet protein pada pagi hari
akan mempertahankan rasa kenyang sepanjang hari sehingga
mengurangi kebiasaan mengudap (snacking) di sore hari.
Konsumsi protein sebaiknya dikombinasikan dengan
latihan resistensi untuk menghasilkan manfaat berupa
peningkatan massa otot yang lebih baik.10 Sebuah studi acak
tersamar pada pasien sarkopenia mengungkapkan kelompok
subjek yang mengkombinasikan aktivitas fisik dan suplemen
berupa protein whey, asam amino, dan vitamin D selama
12 minggu memiliki massa otot bebas lemak (lean mass) dan
kekuatan otot yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok
subjek yang hanya melakukan aktivitas fisik.11 Sebuah telaah
sistematis oleh Yoshimura, dkk12 menambahkan kom binasi
latihan dan nutrisi selama 3 bulan juga memiliki efek positif
dalam meningkatkan kecepatan berjalan.

I 114 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hol�stic Perioperative �A anagerT1 ent in E.ldc-rly and Geriatric Patient •

Peran Protein dalam Penyembuhan


Luka

Pembedahan merupakan salah satu stresor katabolik yang


perlu dikompensasi tubuh dengan asupan protein yang lebih
tinggi. Asupan protein yang tinggi tersebut diperlukan salah
satunya untuk penyembuhan Iuka. Proses penyembuhan Iuka
terdiri dari 4 tahap, yaitu hemostasis, inflamasi, proliferatif, dan
remodelling.13 Protein berperan penting dalam semua tahap.
Pada fase proliferatif, protein berperan dalam sintesis kolagen,
angiogenesis, dan proliferasi fibroblas. Leukosit yang berperan
pada fase hemostasis dan dan inflamasi juga dipengaruhi oleh
protein untuk bekerja maksimaI karena protein berperan daiam
pembentukan dan penempeian Ieukosit, monosit, dan limfosit
pada jaringan Iuka. Pada tahap remodelling, protein diperlukan
sebagai saiah satu penyusun kulit. Daiam proses penyembuhan
Iuka, protein juga berperan mempertahankan tekanan onkotik
agar proses penyembuhan Iuka tidak terhambat.1
Sebuah stu d i acak samar terkontroI mengungkapkan
supiementasi calcium p-Hydroxy-p-methylbutyrate (CaHMB),
vitamin D, dan protein secara signifikan akan mengurangi
masa penyembuhan Iuka dan meningkatkan mobilitas pasien
pada hari ke-15 dan ke-30 pascaoperasi faktur panggul.1 4
Kebutuhan protein yang tinggi juga diperlukan pada
pasien yang mengalami ulkus dekubitus. Ulkus dekubitus
m erupakan trau m a lokal pada kulit dan/ a tau jaringan
penunjang di bawahnya, seringkali di atas tonjolan tulang,
disebabkan oleh tekanan yang terns menerus, adanya gesekan,
atau pergeseran. National Pressure Ulcer A dvisory Panel -
European Pressure Ulcer Advisory Panel, 2014 merekomendasikan
asupan protein sebanyak 1 ,25-1 ,5 g / KgBB/ hari dengan
memperhatikan fungs ginjal.15

1 115 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Teinu Hmiah Geriatri 2017

Sumber Protein

Protein dapat diperoleh dari sumber hewani maupun


nabati. Sumber protein hewani lebih dipilih karena mengandung
asam amino esensial yang lebih komplet dibanding protein
nabati. Susu merupakan salah satu sumber protein hewani
yang banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein
yang meningkat karena memiliki kandungan protein sekitar
32 gram protein/ L . 1 6 Namun, tak jarang konsu msi susu
menyebabkan m unculnya masalah keluhan gastrointestinal
akibat intoleransi laktosa yang prevalensinya cukup tinggi di
populasi Asia (termasuk di populasi lansia) .17Untuk itu, perlu
dicari sumber protein lain sebagai alternatif.
Channa striatus (ikan gabus/ikan kutuk/haruan) merupa­
kan salah satu sumber protein yang dapat dimanfaatkan.
Channa striatus merupakan ikan air tawar yang banyak ter­
dapat di perairan Asia Tenggara. Produk ekstrak ikan gabus
telah beredar secara luas di Indonesia dan digunakan untuk
penyembuhan Iuka, mengurangi nyeri dan inflamasi, serta
sumber energi tambahan. Channa striatus dalam bentuk ikan
segar dan ekstrak banyak mengandung asam amino esensial
seperti glutamat, asam aspartat, arginin yang berperan penting
sebagai sumber energi dan proses penyembuhan luka.18·19
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti
efikasi ekstrak Channa striatus. Narnun, penelitian dengan
m e todologi yang baik m asih te rbatas. Penelitian RCT
oleh Ab W ahab, dkk20 pada 76 pasien pasca-LSCS (lower
segment caesaerean section) menemukan pemberian ekstak C.
striatus selama 6 m inggu memperbaiki VAS (visual analog
scale) pascaoperasi dan skor kepuasaan pasien terhadap
penyembuhan Iuka operasi. Penelitian RCT oleh Mulyana,
d kk21 menemu kan ekstrak C. striatus selam a 2 minggu
meningkatkan secara signifikan kadar albumin pasien usia
lanjut yang malnutrisi dan hipoalbumin. Kadar IGF-1 juga
meningkat signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

I 116 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoi1st1c Perioperative M an age m �t nt In Elderly and c; eritltric Patient •

IGF-1 berbanding terbalik dengan penanda inflamasi dan stres


oksidatif sehingga semakin tinggi kadar IGF-1 menandakan
turunnya respons inflamasi dalam tubuh pasien.

Kesimpulan

Protein memiliki peran penting tak hanya sebagai penyusun


otot tetapi juga sebagai pengatur proses penyambuhan Iuka.
Rekomendasi terbaru menyarankan kebutuhan protein lansia
yang lebih tinggi dibanding dengan orang yang lebih muda,
yaitu 1 ,0-1,2 gram protein/ KgBB/ hari. Seringkali terutama
pada kondisi stres metabolik, suplementasi protein diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan protein yang meningkat. Pilihan
jenis protein perlu disesuaikan dengan karakteristik pasien.
Ekstrak C. striatus dapat d igunakan sebagai salah satu
suplemen protein. Namun, penelitian lebih lanjut dengan
metodologi yang baik diperlukan untuk menguatkan bukti
efikasi ekstrak C striatus ini.

Daftar Pustaka
1. Quain AM, Khardori NM. Nutrition i n wound care management:
a comprehensive overview. Wounds 2015;27(1 2):327-335
2. Paddon-jones D, Short KR, Campbell WW, Volpi E, Wolfe RR.
Role of dietary protein in the sarcopenia of aging . Am J Clin
Nutr 2008;87(suppl):1562S- 65
3. Fried LP, Walston JD, Ferrucci L. Frailty. In: Halter J, Ouslander
JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S, eds. Hazzard' s
Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New York: Mc Graw
Hill;2009.p.631-45.
4. Deutz NEP, Bauer JM, Barazzoni R, Biolo G, Boirie Y, Bosy­
westphal A, et al. Protein intake and exercise for optimal muscle
function with aging : Recommendations from the ESPEN Expert
Group. Clin Nu tr 2014;33(6):929-36.
5. Bauer J, Biolo G, Cederholm T, Cesari M, Cruz-jentoft AJ, Mb
JEM, et al. Evidence-Based Recommendations for Optimal

l 117 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pro�.id111g Ternu l i m 1 a h G e n a t ri 2017

Dietary Protein Intake in Older People : A Position Paper


From the PROT-AGE Study Grou p. J Am Med Dir Assoc
2013;14(8):542-59.
6. Paddon-Jones D, Campbell WW, Jacques PF, Kritchevsky, Moore
LL, Rodriquez NR, et al. Protein and healthy aging. Am J Clin
Nutr.201 5;101 (Suppl):1339S-45S.
7. Layman DK. Dietary guidelines shouJd reflectnew understandi.ngs
about adult protein needs. Nu tr Metab.2009;6:12.
8. Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Mu pangati YM,
Ngestinini.ngsih D, et. al. Profile of food and nu trient intake
among Indonesian elderly population and factors associated
with energy intake: a multi-centre study. Acta Med lndones
2013;45(4):256-74.
9. Paddon-Jones D, Leidy H. Dietary protein and muscle in older
persons. Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 2014;1 7(1) :5-11
10. N o w s o n C, C o n n e l l S O . P r o t e i n req u i re m ents a n d
recommendations for older people: a rev iew . N u trients
2015;6874-99.
1 1 . Rondanelli M, Klersy C, Terracol G, Talluri J, Maugeri R,
Guido D, et al. Whey protein , amino acids , and vitamin D
supplementation with physical activity increases fat-free mass
and strength , functionality , and quality of life and decreases
inflammation in sarcopenic elderly. Am J Clin Nu tr 201 6;
103(3):830-40.
1 2. Yoshimura Y, W akabayashi H. Interventions for treating
sarcopeni.a : a systematic review and meta-analysis of randomized
controlled studies. J Am Med Dir Assoc 2017;18(6) :553.el-553.
e1 6.
13. Thiruvoth FM, Mohapatra DP, Sivakumar DK, Chittoria RK,
Nandhagopal V. Current concepts in the physiology of adult
wound healing. Plast Aesthet Res 201 5;2:250-6.
14. Ekinci 0, Dokuyucu A . Effe c t of calcium p-hydroxy-p­
methylbutyrate (cahmb), vitamin d, and protein supplementation
on postoperative immobilization in malnourished older adult
patients with hip fracture : a randomized controlled study. Nutr
Clin Pract 201 6;10

1 118 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho1ist1c Perioperative Management in Eldt-rly an t..1 Ge n a 1ri c F'atlent •

15. National Pressure Ulcer Advisory Panel, European Pressure


Ulcer Advisory Panel and Pan Pacific Pressure Injury Alliance.
Prevention and Treatment of Pressure Ulcers: Quick Reference
Guide. Emily Haesler (editor). 2nd ed. Cambridge Media: Perth,
Australia; 2014. p.20-2.
16. Pereira PC. Milk nutritional composition and its role in human
health. Nutr 2014;30(6):619-27.
17. Chitkara DK, Motgomery RK, Grand RJ, Buller HA. Lactose
intolerance. [internet) 2015 [Cited June 20th 2017) . Available
from http:/ / www.uptodate.com/ contents/ lactose-intolerance­
clinical-manifestations-diagnosis-and-management
18. Zuraini A, Somchit MN, Solihah MH, Goh YM, Arifah AK,
Zakaria MS, et al. Food Chemistry Fatty acid and amino acid
composition of three local Malaysian Channa spp. fish. Food
Chem 2006;97:674-8.
19. Mustafa A, Sujuti H, Permatasari N, Widodo MA. Determination
of nutrients contents and amino acid composition of Pasuruan
Channa striatus extract. IJSTE 2013;2(4):1-1 1 .
20. A b Wahab SZ, Kadir AA, Hazlina N , Hussain N , Omar J , et al.
The effect of channa striatus ( haruan ) extract on pain and wound
healing of post-lower segment caesarean section women. Evid
Based Complement Alternat Med 2015; 2015: 849647
21 . Mulyana R, Setiati S, Martini RD, Harimurti K, Dwimartutie N
The effect of Ophiocephalus striatus extract on the level of IGF-
1 and albumin serum in malnourished elderly patients. 2017.
Article in press.

I 119 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
PERHIMPUNAN
GERONTOLOGI MEDIK INDONESIA
CABANG JAKARTA (PERGEMI JAVA)

umpulan
Abstrak Penelitian

Tem u l l m i a h Geriatri 2 0 1 7
H otel N ovotel Mangga D u a ,
J a ka rta 8 - 9 J u l i 20 l 7

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1os1ding Temu !iniiah Genatri 2017

Chronic Care Mana gement for Persistent


D e l i r i u m in Geriatrics

W i nson Jos, Jeffri Gunawan, Anna Ariane


Department of I nternal M edicine, Faculty of Medicine,
U niversity of I ndonesia

Introduction: A systematic review on persistent delirium


stated that it correlates with poor prognosis and more adverse
outcomes through impaired self-m anagement. Persistent
delirium w as defined as cognitive disorder that met the
diagnostic criteria for delirium at admission or shortly after
admission and continued to meet criteria for delirium at the
time of discharge or beyond. Since patients with persistent
delirium is frequently encountered in Indonesian hospitals
nowadays, the need for chronic care management especially
home care are of interest to be implemented.

A 78-year-old woman was adm itted


Case Illustration:
to RSCM Emergency Ward because of confusion since two
weeks ago. Since two weeks ago, patient was reported as
apathy, drowsy, and confused. The level of consciousness
kept dropping ever since. Patient had lost her appetite and
only babbled. Patient was also unable to preserve any contact
or conversation for more than five minutes. No paralysis or
weakness was noticed. The laboratory result showed, anemia,
leukocytosis, increased creatinine, and azotemia, while blood
sugar was normal. Brain CT-scan showed both hemorrhagic
and ischemic processess on the left side of pons which were
regarded as old processess since 2 months ago she had already
experienced similar event. Patient was then assessed with
uremic encephalopathy, chronic kidney disease, uncontrolled
hypertension. After routine hemodialyses the patient still
not regained full consciousness and her consciousness still

I 122 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hc!rst1c Periopt.� rative M a n age me n t in Elderly <ind Geriatric Patient •

fluctuated hence she was assessed with acute confusional state.


Since discharged for her first stroke 2 months ago, patient
was still able to perform basic daily activities, such as eating,
walking a short distance (less than 50m), taking a bath, and
praying. More complex daily activ ities such as taking a
bath, dressing, walking a longer distance (more than 50 m),
climbing the stairs still can be performed with little help from
the caregiver. Barthel index of patient after stroke was 10/20.
After our hospitalization for more than 1 week, patient
opened her eye with voice stimuli but still agitated. Since other
causes of decreased consciousness have been treated but her
consciousness had not been fully regained, delirium was then
assessed using Confusion Assesment Method (CAM) . On
the 10th day of hospitalisation, patient showed worsening of
consciousness, GCS shows E1 M3Vaphasia, patient was then
having coughs and increased work of breathing. Laboratory
work-up showed worsening leucocytosis, neutrophilia,
with normal blood and ureum creatinine. Urinary work-up
showed no sign of infection, but chest radiograph showed
infiltration on the right side of the lung. Patient was assesed
as hospital acquired pneumonia and given meropenem 3xl g
and inhalation of fluticasone and salbutamol three times a
day. After 5 days of antibiotics, patients showed recovery of
both infection and consciousness but still not regained full
consciousness, she was then treated as persistent delirium and
considered further chronic care management.

Conclusion: Persistent delirium is frequently encountered


in hospitals as the number of ageing population is increasing.
Needs of chronic care management for persistent delirium is
unavoidable and should be considerably institutionalized in
modern hospitals nowadays.

I 123 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1ng Ternu ! i m 1<1 h G e r i a t ri 2 0 i7

Exa m i n i n g Variati o n of Resting Metabolic Rate


In E l derly and its correlati o n with Age, Sex,
H ypertension, Visceral fat and Body mass
i n dex i n M oewardi H ospital

Ad i l 1 . N ugroho Y H 2 , Wijaya B B 2, Budiningsih F 2


1 Resident of Geriatric department of Internal Medicine
Sebelas Maret U niversity
2 Staff of Geriatric department of I nternal Medicine
Sebelas Maret U niversity

Background :There are not a lot of research regarding


variation of resting metabolic rate (RMR) in elderly and its
correlation with anthropometric data. Thus, we examine these
parametric such as age, sex, Hypertension, BMI, visceral fat
and RMR in Moewardi hospital.

Aim: To examine correlation variation of RMR among


elderly with BMI, Visceral fat, Age, sex, and hypertension as
com or bid.

Methods: We examine 30 elderly in geriatric clinic of our


hospital. Fourteen men and sixteen women. Research was
held at Geriatric clinic Moewardi Hospital ,Solo. We exclude
patient with malignancy condition and all patient must be 60
years old or more. The parametric of BMI, RMR, Visceral fat
we obtain from measurement using BIA Omron HBF 510, and
hypertension information we had from medical record. Statistic
analysis using Mann-Whitney test and Spearman correlation
test, p significant if p< 0.05

Results: Gender distribution are almost the same. From


RMR the result were 1697 as maximu m and 866 was the

1 124 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Per!operative M a n a 9 e m 1.
� nt I n Elderly a n d Genc1tri c Patient •

minimum. BMI with 1 7.4 as minimum and 33.5 as maximu m.


Declining of BMI and visceral fat was followed with RMR, and
men has more RMR than women. As for age correlation the
result was not significant, this due to variation of age among
patient are narrow, and as for hypertension the result was not
significant.

Conclusions: RMR measurement correlated positive with


Visceral fat, BMI, and Men's RMR are more than women. As for
age and hypertension the result did not significant, we think
this was due to small size of sample.

Keyw ords: Resting metabolic rate, Visceral fat, Body mass


index, hypertension.

1 125 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H u bungan h a n dgrip dynamometric dengan
body mass i ndex pada lansia di rumah sakit dr
M oewa rdi

Kurniawan R 1 , Nugroho YH 2 , Wijaya BB 2 , Budiningsih F 2


1 llmu Penyakit Dalam FK U N S I
RSUD Dr. Moewardi Surakarta
2 Divisi Geriatri F K UNS I RSUD Dr Moewardi Surakarta

Pend ahulua n : Usia harapan hidup lansia diberbagai


Negara berkembang semakin meningkat. Angka kunjungan
rawatjalan pasien geriatric mencapai 5071 selama bulan januari­
maret 201 7 di rumah sakit dr Moewardi. Penuaan dikaitkan
dengan penurunan kekuatan otot, sebagai akibat penurunan
massa otot skelet pada pria dan wanita. Faktor penentu
kekuatantangan adalah usia, jenis kelamin, kegem ukan atau
obesitas. Penilaian kekuatan handgrip memberikan gambaran
kekuatan otot total tubuh. Massa ototdan kekuatan menurun
seiring dengan usia yang menyebabkan sarcopenia. Status gizi
juga telah berkorelasi dengan kekuatan handgrip. Temuan ini
sejajar dengan temuan studi pengukuran antropometrik status
gizi seseorang.

Tuj uan: Mencari hubungan antara kekuatan handgrip


pada individu lansia di poliklinik RS Moewardi selama raw at
jalan yang berkorelasi dengan bodi mass index (BMI).

Bahan dan Metode: Penelitian cross-sectional pada laki­


laki14 orang, wanita 16 orang dipilih dari populasi pasien
geriatric rawa tjalan. Penelitian dilakukan pada 30 peserta dan
membutuhkan waktu sekitar 1 bulan. Usia peserta mulaidari
61 tahun hingga 82 tahun. Pemeriksaan fisik yang lengkap
dilakukan. Peserta dengan stroke atau kelemahan anggota
gerak, riwayat trauma di tangan di ekslusikan . Peserta

I 126 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!Jst1c Perioperatlve Management In Elderly and Gericitric Patient •

diberitahu tentang prosedur tersebut dan menandatangani


informed consern. Tiga variabel antropometri, yaitu tinggi,
berat, dan Indeks massa tubuh (BMI) diambil. BMI dicatat
dengan menggunakan Formula kuetelet (BMI berat [kg] / =

tinggi [cm] 2 kegemukan didefinisikan sebagai BMI> 30 kg / m

Hasil: Dari sejumlah laki-laki dan perempuan distribusi


tidak jauh berbeda, laki-laki sebanyak 14 dan perempuan 1 6
orang. Pendidikan didominasi pada tingkat menengah atas
sebanyak 1 1 orang. Lebih dari setengah populasi sampel
dalam status menikah 73.3 % . Dari 30 pasien yang menjalani
uji handgrip didapatkan hasil minimum 15 dan maximum
30 dengan std deviation 4.060. BMI dengan minimum 1 7,4
dan maximum 33.5. ujicorelasi signifikan dengan P: 0.013,
penurunan nilai hand grip sebanding dengan penurunan BMI.

Kesi m p u l a n : Dari penelitian ini, dapat disimpulkan


bahwa penurunan kekuatan handgrip sebanding penurunan
BMI pada keduanya laki-laki dan perempuan

Kata Kunci: Kekuatan Handgrip, Indeks massa tubuh;


Lansia Laki-laki dan Perempuan.

1 127 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P i os1d1ng Ternu !im1ah Genat ri 2017

Korelasi E U R O S C O R E Terhadap Mobil isasi


Pasien Geriatri Pasca O perasi J a ntung Pada
Program Reha b i litasi Jantung Fase I

Sabine Versayanti, M el i nda Harini, Retno Savitri,


Deddy Tedjasukmana
Departemen Rehabilitasi M ed i k, Fakultas Kedokteran,
U n iversitas I ndonesia

Pendahuluan: Mobilisasi dini pasca operasi jantung sangat


penting, terutama pada kelompok geriatri. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi komplikasi pasca operasi, memperpendek
masa rawat, mengurangi risiko dekondisi, mempercepat
peningkatan kapasitas fungsional dan kualitas hidu p.1-4
Program rehabilitasi pasca operasi jantung fase I diterapkan
di rawat inap, mulai dari post operation day (POD) 1 sampai
dengan 5. Protokol ini terdiri dari Jatihan m obilisasi dan
aktivitas kehidupan sehari-hari, dengan target akhir fase I
adalah kemampuan mobilisasi dan aktivitas pasien mencapai
3-4 METS. 2,5
EUROSCORE adalah tools untuk rnenilai rnortalitas pasien
operasi jantung, yang menilai berbagai faktor resiko preoperasi.
Belum diketahui apakah EUROSCORE berhubungan dengan
aktivitas mobilisasi pada pasien pasca operasi jantung. 6

Tujuan: Menilai korelasi EUROSCORE terhadap program


mobilisasi pasien geriatri pasca operasi jantung sesuai program
rehabilitasi jantung fase I.

Design: Retrospektif

Metodologi: Melihat data rekam medik pasien geriatri


pasca operasi jantung yang menjalani program rehabilitasi
jantung fase I pada bulan April dan Mei 201 7. Dari rekarn

I 128 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H. . Ji1st1C
Penoperalive Management In Elderly and Genatric. Patient •

medik didapatkan data EUROSCORE serta aktivitas mobilisasi


sesuai program rehabilitasi fase I.

Hasil : Terdapat 8 pasien geriatri pasca operasi jantung


dengan diagnosa 7 (87,5% ) pasca CABG dan 1 (12,5% ) pasca
MVR. Usia rata-rata 63.25 ± 4.33 tahun, 6 (75 % ) pasien adalah
laki-laki.
Terdapat 1 (12.5 % ) dapat mengikuti program rehabilitasi
jantung fase 1 sesuai protokol, dengan EUROSCORE 0 dan
pada kelo mpok delayed mobilisasi (87. 5 % ) didapatkan
EUROSCORE 4.43 (±1.512), p antara kedua kelompok 0.034.
Korelasi mobilisasi dengan EUROSCORE pada pasien geriatri
pasca operasi jantung adalah R = 0.746 , p=0.034.

Kesimpulan: Terdapat korelasi antara EUROSCORE


dengan kemajuan mobilisasi pada program rehabilitasi jantung
fase I pada pasien geriatri pasca operasi jantung. Hal ini
dapat menjadi pertimbangan dalam memprediksi kemajuan
mobilisasi. Diperlukan penelitan lebih lanjut untuk menilai
korelasi EUROSCORE pada populasi pasca operasi jantung
yang lain.

1 129 I
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
• P i osiding Ternu l i m 1 ah Genatri 2017

Seora n g Geriatri Wanita 68 Tah u n Dengan


C losed Fracture Femur Negleted, Esofagitis LA
A, U l kus Decubitus grade 4 dengan E S B L, I S K,
Cholelitiasis, Kista G i nj a l dengan riwayat O M
tipe 2 d a n Cardiovascu lar Disease

Astiyani RFB*, Hajianto Y**, Basuki B**,


Budiningsih F***
*Author Resident of Internal Medicine, S
ebelas Maret U n iversity ( U NS)/Moewardi Hospital,
Surakarta
**Co-Author staff of Geriatric Division, Department
of I nternal M edicine Sebelas Maret U n iversity ( U NS)/
Moewardi Hospital, Surakarta
***Geriatric D ivision, Department of Internal Medicine
Sebelas Maret University ( U NS)/Moewardi Hospita l ,
Surakarta

Latar b e l akang: Masalah pada s istem pencernaan,


kardiovaskular, sistem motorik, sistem sensorik dan saraf
pusat seringkali menjadi penyulit pada penatalaksanaan
pasien dengan geriatri. Program perawatan pada geriatri saat
ini terfokus pada perawatan pasien dengan penyakit yang
dikarenakan proses penuaan.

Deskripsi kasus: Seorang wanita 68 tahun dengan


d iabetes dan penyakit kardiovaskular dibawa ke rumah sakit
karena melena selama 3 hari. Dari pemeriksaan endoskopi
ditemukan esofagitis LA A, ulkus gaster, pangastritis dan
duodenitis. Pasien ini juga diketahui memiliki Iuka decubitus
yang luas di punggung. Telah di lakukan kultur pus dan
didapatkan bakteri proteus mirabilis (ESBL). 2 bulan sebelum
masuk RS pasien memiliki riwayat jatuh di rumah dan patah
pada tulang paha kirinya dan pada pemeriksaan rontgen

I 130 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Periop1?.rative Management In Elderly and Geriatric Patient •
��������-

didapatkan gambaran closed fracture colum femur sinistra.


Selama perawatan di rum ah sakit telah dilakukan USG dengan
hasil ditemukannya cholelitiasis dan kista di ginjal kanan.
Karena pada pasien ditemukan adanya gangguan motorik
dan sensorik, maka dilakukan pemeriksaan neurologi. Pada
CT scan ditemukan pula brain atropi. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan adanya gambaran ISK dengan kultur
pseudomonas aeruginosa.

D i s k u s i : Oleh karena banyaknya k o m p il kasi d a r i


penyakit pasien maka pasien ini memilki indeks Barthel/
ADL ketergantungan total dengan resiko jatuh yang tinggi.
Diperlukan penanganan yang intensif dari pasien ini.

I 131 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pr esiding Ten"1u H m 1 a h C3eriatri 2017

Correlati o n Risk of Fa l ls with Functional


Capacity after Comprehensive Geriatric
Rehabi litation Patients in Acute Geriatric Ward
at R S U P N C ipto M a n g u nkusumo

A n d i Dala lntan, Wanarani Aries, Siti Ann isa N uhonni


Departement of Rehabilitation Medicine,
RSUPN Cipto M a n g u nkusumo,
Faculty of M edicine, U niversity of I ndonesia

B ackground:Falls are one of the major health problems


that affect the quality of life of older adults. Risk of falls and
functional capacity assessment as a part of routinely geriatric
assessment both in outpatient and inpatient. It is estimated
that the high risk of falls can lead to the functional capacity
of geriatric patients and it will be reducing their activity daily
living (AOL).

the objective was to corralate risk of falls and


Purpose:
functional capacity among geriatric patient in acute ward.

Restrospective stu dy . All of inpatient were


M eth o d:
included after comprehensive rehabilitation assessment in
acute geriatric ward RSUPN Cipto Mangunkusumo, January­
Oesember 201 5. Risk of falls assessment by using risk of falls
geriatric tools and functional capacity assessment by using
Barthel Index (BI).

Results: Total 43 inpatient were included . We found Male


26 (61 % ), Female 17 (39% ); Ages 60-69 years old 26 (61 % ), 70-79
years old 1 7 (39% ) . High risk of falls 95 % , low risk of falls 5 % ;
A O L total dependent 67%, AOL severe dependent 23%, AOL
moderate dependent 7% , AOL mild dependent 3 % . There is

I 132 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hohst1c Perioperative Management I n Eldc:-riy and Geric1tric PEJtlent •

no significant different between BI with risk of falls p=0.558,


but have inverted correlation among others with r -0,228 =

with p = 0,142.

Conclusions: It is seen that patients who come for


management almost all had high risk of falls and lack of
functional capacity (ADL total dependent). This trend is shown
that functional capacity can reduced in geriatric patients
because of high risk of falls. And causes decreasing in ADL
for all geriatric patients especially in acute wards. So, its
importance we give comprehensive management rehabilitation
and multidisiplinary approach to prevent falls and optimizing
their functional capacity.

Keyword: geriatric, functional capacity, risk of falls,


comprehensive rehabilitation

1 133 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1 osid1119 Temu lirrnah Geriatri 2017

Probabi l ity of M a l n utrition in Risk of


D ecu bitus U lcer after Comprehensive Geriatric
Rehab i l itation Pati ents in Acute Geriatric Ward
at R S U P N Cipto M a n g un k usumo

A n d i D a l a lntan, Wanarani Aries, Siti Annisa N uhonni


Departement of Rehabilitation M edicine,
RSUPN Cipto M a ngunkusumo,
Faculty of Medicine, U niversity of I ndonesia

Background: Decubitus u lcer as one of deconditioning


syndrome complications due to immobilization. It makes a
problem because sometimes difficult to treat especially in
geriatric patients that declined of physiological functions of
integumen. And presence of malnutrition is also reported to
be a risk factor for decubitus ulcer. This will have an impact on
the functional activity and quality of life in geriatric patients.

Purpose: to know probability the risk of malnutrition in


risk of decubitus ulcer among geriatric patient in acute ward .

Method: Restrospective study. All of inpatient were


included after comprehensive rehabilitation assessment in
acute geriatric ward RSUPN Cipto Mangunkusumo, January­
Desember 201 5 . M alnu trition screening by using Mini
Nutritional Assessment (MNA) and screening risk of decubitus
ulcer with Norton scale.

Results: Total 42 patient were included. We found Male


57% , Female 43 % ; Ages 60-69 years old 43 %, 70-79 years old
57% . Risk of Malnutrition with high risk ulcer 13 (31 %), Risk
of Malnutrition with low risk decubitus ulcer 19 (45.2 % ), No
risk of Malnutrition with high risk decubitus ulcer 3 (7.1 % ), No

I 134 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Per!o p"
�rati\le Management I n Elderly and Genatric Patient •
·---

risk of Malnutrition with low risk decubitus ulcer 7 (1 6.7% ) .

There is no significant different between risk of malnutrition


(MNA) with risk of decubitus ulcer (Norton), but they have
positif correlated r=0,1 25, and also Odds Ratio (OR) = 1,5.

Conclusions: It is seen that geriatric patients in acute ward


with risk of malnutrition will be at high risk of ulcus decubitus
1 .5 times compared with those not at risk of malnutrition. But
it also appears that geriatric patients have risk of malnutrition
but only low risk u lcer, and its time to give prevention
rehabilitation management as a one approach to decrease
more problems in geriatric patients. So we can be assumed
that as soon as possible the management are given, the risk of
decubitus ulcers can be avoided.

Keyw o rd : geriatric, m alnu trition, decubitu s u lcer,


prevention rehabilitation

I 135 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1os1dmg Ternu !irrnah G e n a t ri 2017

Profi l Terapi O k u pasi di Bangsal Rawat lnap


Geriatri RS Ci pto M a n g u n k usumo

D i a h Tri l ndarwati1, M elinda Harini2, Siti Annisa


N uhonni2, Wanarani Alwin2
1Terapis Okupasi, Divisi Geriatri , Departemen
Rehabilitasi Medik RSUPN C i pto Mangunkusumo,
Jakarta
2Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, Divisi
Geriatri, Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto
Mangu nkusumo, Jakarta

Pendahuluan: Terapi okupasi (Occupational Therapy,


(OT)) merupakan komponen penting dalam proses rehabilitasi
pada bangsal rawat inap geriatri RS. Cipto Mangunkusumo
(RSCM), Okupasi terapis melayani pasien dengan cidera ,
penyakit, atau disabilitas dalam meningkatkan kemampuan
yang dibutuhkan untuk mandiri dalam aktivitas sehari-hari,
pemanfaatan waktu luang dan bekerja. Namun, pelayanan OT
belum sepenuhnya diketahui oleh tenaga medis terlebih lagi
pasien dan keluarganya.

Untuk memperkenalkan jenis, d istribusi serta


Tuj uan:
muatan layanan OT di bangsal raw at inap geriatri RSCM.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif


Metode:
retrospektif, dengan sumber data c atatan terapis yang
tersimpan di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM. Terdapat
8 pasien rawat inap geriatri yang memiliki dokumentasi sesi
OT.

H a si l : Setiap pasien menerima 1 -5 m acam terapi;


tergantung kondisi dan potensi pasien. Meskipun demikian,
kebanyakan dari mereka mendapatkan latihan konservasi
energi (31,25 % ) dan stimulasi kognitif (25 % ). Konservasi

I 136 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hclist1c Perioperative Management In Elderly and Genatric Patient •

energi diberikan kepada pasien dengan gangguan endurance


kardiorspirasi, terlebih mereka yang memiliki gejala sesak
nafas. Stimulasi kognitif yang diberikan bervariasi. Stimulasi
orientasi waktu dan personal diberikan pada 2 orang pasien
guna mendukung fungsi komunikasi. Pada pasien yang lain
stimulasi kognitif bertujuan mengalihkan pikiran pasien dari
rasa cernas. Ada pula pasien yang diberikan stimulasi untuk
menguatkan kernampuan problem solving.

Kesimpulan: Pola OT untuk pasien rawat inap bangsal


geriatri bervariasi, tergantung pada kondisi dan potensi yang
dimiliki pasien serta hasil yang yang diharapkan.

Kata kunci: terapi okupasi, stimulasi kognitif, konservasi


energi.

1 137 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Ten:u Um1ah Geriatri 2017

D ischarge F u ncti onal Status in Elderly Patient


With S p i n a l Cord I nj u ry

Melinda Hari n i , Siti An nisa N uhonni, Wanarani Alwin


Physical Medicine and Rehabilitation Department
Dr. Ciptomangunkusumo National General Hospital,
Jakarta, I ndonesia

B ackground: Spinal cord injury (SCI) causes motoric,


sensoric and autonomic dysfunction that lead to functional
decline. Nonetheless, the im pact of age on functional
and neurological recovery among the survivors of SCI is
controversial.

Obj ective: To evaluate discharge functional status in


Elderly patients with SCI.

Study Design: Cross-sectional study.

Setting: Inpatient Ward of Ciptomangunkusumo Hospital


and Fatmawati Hospital.

Material and Methods: Ten SCI patients, 6 subjects were


under 60 years old, 4 subjects ;:>:60 years old . The subjects
underwent inpatient rehabilitation. After comprehensive
assessment, each patient receive different goals for Activity
Daily Living (ADL) and mobility based on level of injury and
clinical adjusment.

Functional Independence
O u t c o m e M ea s u r e m e n t s :
Measure (FIM) of each patients was scored at discharge and
then compare between elderly and adult patients.

Results: Independent mobility goal was set for 25 % of


elderly patient and 83 % of adult patient. Independent ADL goal

I 138 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoi1st1c Periop�rative Management !n Elderly and Gerrat ric Patient •

was set for 100 % of elderly patient and 50% of adult patient.
Those differences were not statistically significant for FIM
(p=0,064), mobility goal (p=0,19), nor AOL goal (p=0,20). At
discharge, mean FIM total score of elderly patient was lower
(47,50) than adult patient (68,83).

Conclusion: Elderly patients had lower discharge status


than adult one. This study need to be continued with bigger
sample and better methods so that we could determine the
effect of age to functional status of SCI patient. In hope, the
result will give a good consideration to set realistic functional
goal for elderly with SCI.

Keywords: spinal cord injury, functional independent


measure, elderly.

1 139 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P r os1d1ng Ternu l!m1ah C3e n a t ri 2017
����-������

Prevalensi Keganasan pada Usia Lanjut yang


D i rawat d i Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr
Mohammad Hoes i n Pa lemba ng Periode Agustus
20 1 6 - J u n i 20 1 7

Ridzqie Dibyantari 1, N u r Riviati 2

1 Departemen Penyakit Dalam FK U n sri/RSMH


2 Divisi Geriatri Departemen Penyakit Dalam FK U nsri/
RSMH

Latar Belakang. Kanker merupakan penyebab kematian


terbanyak kedua pada populasi usia lanjut setelah penyakit
kardiovaskular. Di Amerika Serikat, kanker prostat paling
sering d itemukan pada laki-laki usia lanjut, dan kanker
payudara untuk perempuan . Pada 2012, kanker menjadi
penyebab kematian sekitar 8,2 j u ta orang. Berdasarkan
Riskesdas 2013, prevalensi penderita kanker pada penduduk di
semua umur di Indonesia sebesar 1,4 %0 . Saat ini belum tersedia
data prevalensi keganasan pada usia lanjut di Palembang,
untuk itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi
keganasan pada kelompok usia lanjut yang dirawat di Bagian
Penyakit Dalam RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang.

Metod e . Penelitian ini adalah penelitian deskriptif


retrospektif dengan menggunakan data register pasien usia
lanjut yang dirawat inap di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr
Mohammad Hoesin Palembang periode Agustus 2016 sampai
dengan Juni 2017.

Basil. Pada periode Agustus 201 6 sampai dengan Juni


201 7 tedapat 65 pasien usia lanjut yang dirawat di Bagian
Penyakit Dalam RSUP Dr Mohammad Hoesin, 11 di antaranya
adalah pasien dengan keganasan. Kami menemukan 10 pasien

1 140 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Perioperative M a n c1gement In Elderly and Gen?.tric Patient •

menderita solid tumor malignancy dan 1 pasien dengan


keganasan hematologi. Kanker paru adalah keganasan
terbanyak d itemukan (n=4, 36 % ) disusul dengan kanker
ginjal (n=2, 18% ). AML, kanker esophagus, gaster, prostat dan
serviks masing-masing ditemukan satu kasus. Perbedaan data
yang kami temukan dengan data dari penelitian sebelumnya
disebabkan data yang kami ambil berasal dari register pasien
usia lanjut yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr
Moh Hoesin.

Kesimpulan. Prevalensi keganasan pada usia lanjut di


Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr Mohammad Hoesin pada
periode Agustus 2016 sampai dengan Juni 201 7 adalah 1 6,9
% dengan kanker paru sebagai keganasan yang paling sering
ditemukan.

Kata kunci: Keganasan, Usia Lanjut, Prevalensi.

I 141 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P 1 o s1 di n q Ten:u l i m u 3h Geriatri 2017

Leukemia Gran u l ositik Kronik, Abses lnguinalis,


Tinea Korpo ris, Vaginosis B akteria lis,
Kolelitiasis M u ltipel dan M a l n utrisi

Ridzqie Dibyantari1, Bilal Landy<, Norman Djamaludin2,


Nur RiviatP
1Departemen Penyakit Dalam FK U n sri/RSMH
2 Divisi H e matologi O nkologi Medik FK U nsri/RSMH
3Divisi Geriatri Departemen Penyakit Dalam FK Unsri/
RSMH

Latar B elakang. Leukemia granulositik kronik (LGK)


merupakan leukemia yang pertama kali ditemukan serta
diketahui patogenesisnya. Insidensi LGK di Amerika Serikat
setiap tahunnya sekitar 4800 kasus, di mana 50% dari kasus
LGK ditemukan pada kelompok usia di atas 66 tahun. Penyakit
ini ditandai oleh anemia, granulositosis berlebih, granulosit
irnatur, basofilia dan pada banyak kasus terjadi trombositosis
dan splenomegali.

Laporan Kasus. Berikut dilaporkan seorang perempuan


usia 75 tahun datang ke poliklinik Hematologi Onkologi,
RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang dengan keluhan
utama badan lemas selama 3 mingu dan keluhan tambahan
benjolan di lipat paha kanan sejak 1 bulan. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan BMI kesan underweight, konjunctiva palpebra
pucat, tidak ada pembesaran KGB maupun organomegali.
Pada inguinal dekstra didapatkan benjolan ukuran 9x4 cm,
eritem, ada pus, lunak, mobile dan teraba hangat. Pada genital
eksterna, tampak benjolan ukuran 9 x 3 cm, warna sama
dengan sekitar, konsistensi lunak dan ada nyeri tekan. Pada
regio gluteal tampak lesi berbatas tegas dengan tepi aktif dan
ada skuama putih tipis. Dari pengkajian geriatri paripurna
didapatkan ADL 20, IADL 7, GDS 3, M MSE 27, MNA 11; kesan

I 142 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hchst1c Pe(operative Management I n Elderly and Geriatric Patient •

resiko malnutrisi. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium


dida patkan Hb 9,2 g/ dL, ht 31 % , RBC 3,1 7 jt/ mm3, WBC
16.500/ rnm3, trombosit 24.000/ µL, LED 84 mm/jam, LDH 290
U/ L, asam urat 3,5 mg/ dL, kalsium 8 mg/ dL. Gambaran darah
tepi kesan anemia normokrom normositer dengan leukositosis
dan 2 puncak disertai trombositopenia mendukung diagnosis
leukemia granulositik kronik. Hasil BMP kesan CML fase
kronis, BCR-ABL ditemukan transkripsi b2a2 (P210/ major
breakpoint cluster region). Dari USG abdomen didapatkan
kesan kolelitiasis multipel tanpa pelebaran CBD dan IHBD,
tak tampak metastasis. Hasil papsmear didapatkan kesan
vaginosis bakterial ec Gardnerella vaginalis.

Diskusi. Diagnosis pasien ini adalah leukemia granulositik


kronis dengan abses inguinalis, tinea korporis, vaginosis
bakterialis, kolelitiasis multipel dan malnutrisi. Pada pasien
ini tidak dijumpai pembesaran KGB dan organomegali yang
biasanya ditemukan pada 90% kasus LGK. Pasien ini diberikan
diet 1 700 kkal, protein 60 gr. Tera pi farmakologis ciprofloxacin,
metronidazole, paracetamol, loratadin, asam folat, vitamin B
kompleks, dan krim ketoconazole 2 % . Pengobatan spesifik
untuk LGK belum d iberikan atas pertimbangan kadar
trombosit rendah dan leukosit masih di bawah 50.000/ m3.

Kesimpulan. Leukemia granulositik kronik (LGK) adalah


penyakit sel stem pluripoten yang ditandai oleh anemia,
granulositosis darah berlebih, granulosit imatur, basofilia dan
pada banyak kasus terjadi trombositosis dan splenomegali.

Kata kunci: leukemia granulositik kronis, malnutrisi, tinea


korporis.

1 143 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P 1 o si d 1 n g Ternu !imiah Geriatri 2017

H i perplasia Limfoid Reaktif Palpebra I nferior


D extra et S i nistra dengan Ketergantungan
R i n gan, I nfection, l nfortun ity, dan Impai rment
of Vision

Sartika Sadikin1, Ridzqie Dibyantari1, M iliyandra1,


Norman Dja maludin2, Nur Riviati3
1Departemen Penyakit Dalam F K U nsri/RSMH
2Divisi Hematologi O n kolog i Medik F K Unsri/RSM H
3Divisi Geriatri Departemen Penyakit Dalam FK U nsri/
RSMH

Latar Belakang. Hiperplasia limfoid reaktif (HLR) ditandai


dengan proliferasi limfosit polimorfik yang menginfiltrasi
subpopulasi monoclonal atau penanda lain dari keganasan.
HLR dibedakan dengan sindrom inflamasi orbita secara
klinis dan histologis. Modalitas terapi untuk HLR adalah
kortikosteroid dan external beam radiation therapy (EBRT)

Laporan Kasus. Berikut dilaporkan seorang laki-laki, 65


tahun datang dengan keluhan utama bengkak di kedua mata
sejak ± 3 bulan SMRS. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
bradikardi, pada regio palpebra superior dextra et sinistra
tampak benjolan ukuran 20 x 25 mm, permukan licin, batas
tidak tegas, permukaan tid ak rata, w arna sama dengan
sekitar, mobile, tanpa nyeri tekan, dan pada regio palpebra
inferior tampak benjolan ukuran 10 x 10 mm permukaan
licin, batas tak tegas, permukaan tak rata warna sama dengan
sekitar, mobile, tanpa nyeri tekan. Pada pengkajian geriatri
paripurna didapatkan ADL 18, AMT 10, GDS 4, MNA 20. Dari
pemeriksaan penunjang laboratorium terdapat hitung jenis
leukosit menunjukkan shift to the left dan hipereosinofilia,
funduskopi dalam batas normal, dan CTScan orbita tanpa
kontras didapatkan kesan lympoproliferative disease, pseudo

1 144 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Horfst1c Perioperative Management I n Elderly and Geriatric Patient •

tumor dengan tanda-tanda inflamasi. Dari biopsi patologi


anatomi menyatakan limfoid hiperplasia dengan CD20 positif
pada sel sel limfosit B di germinal center.

Diskusi. Diagnosis pasien adalah hiperplasia limfoid reaktif


palpebra inferior dextra et sinistra dengan ketergantungan
ringan, resiko malnutrisi, infection, infortunity, im pairment
of vision. Pada kasus ini karena gejala yang dijumpai pada
pasien ini hanya bersifat lokal yaitu pada palpebra inferior
maka pasien ini diberikan pengobatan dengan steroid oral
dengan dosis 1 mg/ KgBB selama 1 episode. Respon signifikan
pada 1,5 bulan pengobatan menunjukkan perbaikan dengan
dasar bahwa penyebab dari hiperplasia limfoid reaktif adalah
Chlamydia psittaci dengan pemberian doksisiklin 2 x 1 00 mg.
Antibodi monoklonal Rituximab belum diberikan. Pengkajian
paripurna geriatri ditemukan adanya keadaan infeksi di mana
pada pasien ini keluhan pada mata diawali dengan kemasukan
padi yang menyebabkan hiperplasia lirnfoid reaktif dan kondisi
infortunity pada pasien yang sudah tidak bekerja lagi, serta
kondisi impairment of visual pada pasien dengan keluhan
pandangan yang berkurang selain karena pengaruh usia juga
karena penyakit yang diderita pasien.

Kesimpulan. Hiperplasia limfoid ad alah p roliferasi


limfoid dengan struktur sebagai respon perlawanan terhadap
inflamasi, diagnosis ditegakkan dengan histopatologi. Terapi
yang diberikan bersifat lokal dan meski ditemukan CD20+
pasien masih reson terhadap terapi konvensional steroid dan
antibiotika.

Kata k u n c i : hiperplasia l i m fo i d reaktif, infection,


infotunity, impairment of vision

1 145 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P 1 osid1ng Ternu Urrnah Genatri 2017

Referensi
1. Chen A , Hwang TN, Phan LT, McCulley TJ, Yoon MK. Long­
term management of orbital and systemic reactive lymphoid
hyperplasia with rituximab. Middle east afr j ophtalmol. 2012.
19(4): 432-5.
2. Trisha S, Manjunath K. Diagnosis and management of orbital
lymphoma. Mangalore: Kamataka India; 2015
3. Setiati S. Geriatric medicine, sarcopenia, frailty dan kualitas
hidup pasien usia lanjut: tantangan masa depan pendidikan,
penelitian dan pelayanan kedokteran di Indonesia. Jurnal
Kedokteran Indonesia. 2013; 1 (3): 234-42

I 146 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hc!;stic Perioperative Management ln Elderly C\nd Geriatric Patient •

Gambaran H ambatan Mobi lisasi Pada Pasien


Geriatri Pasca O perasi J antu n g Dengan
S u rgical Approach Median Sternotomi

Retno Savitri Koesward hani, D e d d y Tedjasukmana


Departemen Rehabilitasi Medik, Fakultas Kedoktera n ,
U n iversitas Indonesia

P e n d a h u l u a n : M o bi l i s a s i m e r u p a kan sal ah s a tu
tatalaksana rehabilitasi fase I yang dimulai jika persyaratan
sudah terpenuhi. Adanya komplikasi pasca operasi akan
menghambat mobilisasi. Komplikasi pasca operasi tersebut
serta kemampuan mobilisasi akan mem pengaruhi lama
masa rawat. Beberapa komplikasi dapat diminimalisir oleh
tindakan rehabilitasi, namun komplikasi lain seperti kondisi
hemodinamik tidak dapat dicegah oleh tindakan rehabilitasi.

Tujuan: Melihat gambaran hambatan mobilisasi pada


pasien geriatri pasca operasi jantung dengan surgical approach
median sternotomi.

Metodologi: Studi ini menggunakan design retrospektif.


Data diambil dari rekam medik selama 4 bulan terakhir yaitu
M aret hingga Juni 201 7. Subjek penelitian adalah pasien
geriatri yang m enjalani operasi jantung dengan surgical
approach median sternotomy pada bulan Maret-Juni 201 7
di Pusat Jantung Terpadu RSCM yang mengalami hambatan
mobilisasi pasca operasi.

Hasil : Sebanyak 12 dari 13 subjek (92.3 % ) mengalami


hambatan mobilisasi. Rerata m asa rawat adalah (±8,3 hari)
dan terdapat satu subjek dengan masa rawat lebih dari 30
hari. Rerata usia ±63.5 tahun dengan 23% wanita dan 77% pria.
Komplikasi hemodinamik merupakan komplikasi terbanyak

1 147 1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P r esiding Ternu lir.11ah G e n a t ri 2017

(54 % ) pada pasien dengan 43% pasien menggunakan IABP


dan inotropik dan 57% menggunakan inotropik. Komplikasi
lain yaitu anemia (38% ), kidney injury (23% ), gangguan irama
(15% ), stroke (0,7% ) dan pneumoni(0,7% ) .

Kesimpulan: Sebagian besar pasien geriatri pasca operasi


jantung dengan su rgical approach m edian sternoto m i .
mengalami hambatan mobilisasi. Komplikasi hemodinamik
merupakan komplikasi terbanyak. Belum ada tatataksana
rehabilitasi khusus yang dapat meminimalisir komplikasi
hemodinamik. Pada pasien dengan kondisi ini, walaupun
pasca operasi belum dapat dilakukan tatalaksana rehabilitasi
secara aktif dengan mobilisasi, dapat dilakukan tatalaksana
lain yang bersifat pasif.

I 148 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho�1st1c Perioperative Management In Elderly a n d Geriatric Patient •

Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Fibri lasi


Atri um pada Pasien Lanjut Usia dengan
H i poti roidisme S u b k l i nis

Ardeno Kristianto*, Jeffri Aloys Gunawan*


*Departemen llmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran U niversitas l ndonesia­
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Pendahuluan: Fibrilasi atrium diketahui sebagai salah satu


aritimia kronik yang paling sering ditemui pada pasien berusia
di atas 65 tahun (5,9% ). Sekitar 70% pasien yang menderita
fibrilasi atrium berusia antara 65 dan 85 tahun.1-2 Pada pasien
lanjut usia, episode fibrilasi lebih berkaitan dengan penyebab
nonkardiovaskular, seperti hipertiroidis me, dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, alkoholisme akut, hipoksia,
diabetes, periode postoperatif dari pembedahan nonkardiak,
dan stres. Risiko fibrilasi atrium meningkat hingga lima kali
lipat pada hipertiroidisme subklinis. 3 Karena prevalens dan
beberapa faktor yang unik pad a pasien lanju t usia, tata laksana
fibrilasi atrium pada populasi ini harus dilakukan secara
spesifik, terdiri dari pemilihan antikoagulan, kontrol ritrne dan
laju, serta kebutuhan dilakukannya terapi ablasi.

Laporan Kasus: Seorang wanita, 74 tahun, dibawa ke


Unit gawat darurat (UGO) Cipto Mangunkusumo dengan
penurunan kesadaran. Pasien mengalami penurunan nafsu
makan dalam periode tiga hari sebelum masuk rumah sakit.
Bersamaan dengan hal tersebut, pasien tampak semakin
kurang m enyambung saat diajak berkomunikasi. Pasien
tidak memiliki riwayat demam, batuk, diare selama periode
tersebut. Sejak tiga tahun sebelum masuk rumah sakit, pasien
menyadari terdapat benjolan di lehernya. Pasien kemudian
didiagnosis menderita hipertiroidisme dan mulai mendapat

1 149 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P1 osid1ng Terru Hm1ah Genatri 2017

terapi propiltiourasil (PTU) 3x100 mg per oral (PO). Satu tahun


sebelum masuk rumah sakit, pasien didiagnosis menderita
penyakit jantung koroner dan direncanakan untuk menjalani
percutaneous translum inal coronary angioplasty (PTCA).
Pasien menderita nyeri dada, tetapi tidak pernah mengeluhkan
sesak napas. PTCA ditunda atas permintaan pasien sehingga
pasien d iberikan terapi konvensional berupa isosorbide
dinitrate (ISDN) tablet 3x5 mg sublingual ketika nyeri dada
dan bisoprolol tab l x5 mg PO.
Ketika dibawa ke UGD, pasien dalam kondisi delirium
dengan hemodinamik kurang stabil. Tekanan darah terukur
pada 1 00/ 70 mmHg, denyut nadi 72 kali per menit frekuensi
ireguler, suhu tubuh 36,4, dan frekuensi pernapssan 19 kali per
menit. Saturasi oksigen didapatkan pada kadar 98 % dengan
pemberian oksigen aliran 3 liter per menit melalui kanula nasal.
Pada pemeriksaan auskultasi paru didapatkan suara napas
bronkovesikuler, menurun pada lapang paru kanan bawah
disertai ronki basah kasar pada lapang paru tengah dan atas
bilateral. Ekstremitas pasien teraba dingin. Pada pemeriksaan
foto polos thorax, ditemukan adanya kardiomegali, infiltrat
pada lapang paru kanan bawah dan parakardial kiri, disertai
efusi pleura kanan. Dari pemeriksaan EKG ditemukan adanya
fibrilasi atrium, laju 140 kali per m enit, dengan deviasi aksis
ke kiri. Hasil laboratorium menunjukkan kadar leukosit
normal disertai neutrofilia (leukosit 9.520/ mm3, hi tung jenis
netrofil 93 % ). Selain itu, ditemukan pula peningkatan kadar
serum transaminase (SGOT 243, sGPT 1 51), peningkatan kadar
kreatinin (ureum 92,7; kreatinin 2,1 1 0; estimated glomerular
filtration rate [eGFR) 22,5 1/ m2}. Pasien juga mengalami
gangguan dalam nilai hemostasis yang menunjukkan adanya
kemungkinan yang sangat tinggi terhadap terjadi koagulasi
intravaskular diseminata (prothrombin time [PT] 20,1 kontrol
9,9 INR 1 ,86; activated partial thromboplastin time [APTT] 40,4
kontrol 35,9; fibrinogen 51,1; D-dimer kuantitatif 2,2). Kadar
thyroid stimulating hormone sensitive (TSHs) pasien adalah

1 150 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Perioperative Management Jn Elderly and Geriatric Patient •

0,020 µIU/ ml (kadar normal 0,27-4,20), sementara itu kadar


free T4 (IT4) adalah sebesar 1 ,080 (normal range 0,93-1,70).
Daftar masalah pasien adalah sebagai beriku t: acute
confusional state akibat sepsis, pneumonia komunitas dengan
risiko tinggi, koagulasi intravaskular diseminata, acute kidney
injury (AKI), fibrilasi atrium, dan hipertiroidisme subklinis.
Tata laksana yang diberikan meliputi hidrasi yang adekuat,
nutrisi parenteral parsial, pemberian heparin secara kontinu
intravena, vitamin K 3x10 mg IV, antibiotik spektrum Juas
(meropenem 3x500 mg IV), propranolol untuk kontrol laju
(3x10 mg PO), dan propiltiourasil tab 3x100 mg PO. Obat
lain diberikan untuk mengatasi gejala lainnya. Setelah pasien
stabil, terapi antikoagulan diganti dengan antagonis vitamin
K: warfarin tab lx2 mg PO.

Diskusi: Kasus ini menunjukkan bahwa fibrilasi atrium


sangat berkorespondensi dengan hipertiroidisme su bklinis,
terutama pada populasi lanjut usia. Sebagaimana kasus fibrilasi
atrium lainnya, faktor risiko stroke dan kejadian tromboemboli
hams dikalku lasi, yaitu dengan skor CHA2DS2-VASc. Pada
pasien didapatkan nilai 3 yang berarti pemberian antikoagulan
merupakan hal yang rasional dengan target international
normalized ratio (INR) ditargetkan antara 2 dan 3. Selain itu,
risiko perdarahan harus dievaluasi dengan skor HAS-BLED,
yang pada pasien ini didapatkan nilai 4, dengan arti risiko
perdarahan pada pasien adalah menengah pada penggunaan
antikoagulan. Oleh karena itu, penggunaan antikoagulan
pada pasien ini harus dievaluasi secara ketat. Tata laksana
lini pertama dalam kontrol laju jantung adalah beta blocker.
Penggunaan propranolol merupakan hal yang tepat karena
berkaitan dengan hipertiroidisme subklinis sebagai penyebab
dasar. Hipertiroidisme subklinis biasanya tidak ditata laksana
secara khusus, tetapi karena terdapat manifestasi aritimia,
propiltiourasil perlu diberikan pada pasien.

I 1 51 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1ng Temu Hrrnah G e n a t ri 2017

Kesimpulan: Fibrilasi atrium merupakan hal yang lazim


ditemui pad a populasi lanjut usia dan risiko tersebut terutama
lebih tinggi pada pasien dengan hipertiroidisme subklinis. Tata
Jaksana harus diberikan secara spesifik dan pengasan harus
dilakukan secara ketat untuk menghindari efek samping yang
tidak diinginkan.

I 152 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hohst1c Perioperative �...1an0gement In Elderly and Gen<1tric Patient •

U ltrasonografi Diafragma sebagai Alat Eva l u asi


Kemampuan Respirasi pada Pasien Geriatri
Departemen Rehabi l itasi Medik R S C M, Pi lot
Studi: H ubungan Ketebalan D i afragma
dengan Usia

Melda Warliani, Fitri Anestherita


Departemen Rehabilitasi Medik RSCM-FKUI

Pendahuluan: Ultrasonografi (USG) sebagai evaluasi


fungsi dari otot diafragma yang menggambarkan kemampuan
fungsi respirasi telah digunakan sejak tahun 1 960.Penggunaan
USG dengan B-mode di.nyatakan sebagai teknik yang mudah,
aman, m u d ah d i mobilisasi dan reliable untuk menilai
kontraktilitas diafragma. Tetapi penelitian penelitian yang
berkembang secara spesifik menggunakan pemeriksaan
ini untuk pasien pasien dengan gangguan neuromuskuler
dan atau pasien dengan COPD, sedangkan penelitian pada
populasi geriatri yang sangat minim, sehingga perlu adanya
penelitian mengenai evaluasi diafragma dengan menggunakan
USG ini untuk mencari gambaran kontraktilitas diafragma
dan hubungannya dengan usia pada populasi usia lanjut
khususnya di departemen rahabilitasi medik RSCM

Tuj u a n : Sebagai stu d i pendahuluan u ntu k melihat


gambaran, kontraktilitas diafragama dan hubungan ketebalan
diafragma dengan usia pada populasi usia lanjut dengan
menggunakan USG

Metodologi: potong Ii.ntang

Hasil: Didapatkan 1 0 responden usia Ianjut, 3 laki laki dan


7 perempuan, rerata ketebalan diafragma saat end inspirasi

I 153 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu llm1ah Geriatri 2017

adalah 35.8mm. Didapatkan korelasi yang kuat antara usia


dan ketebalan diafragma dengan r: 0.824 p<0.05

Kesimpulan: Terdapat korelasi kuat antara usia dengan


ketebalan diafragma yang diperoleh dengan USG . Sehingga
USG dapat digunakan sebagai alat evaluasi kemampuan
kontraktilitas diafragma yang noninvasive dan aman untuk
usia lanju t.

I 1 54 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hol!st1c Perioperative Management !n Elderly and G e n a t r i c Patient •

Uji Kesahi han dan Keandalan M i n i N utritio n a l


Assessment· S h o rt F o r m (M NA-SF) Berbahasa
Indonesia U ntuk M enapis Status G izi pada
Lansia di Komun itas

Afiyah1, Siti Setiati2, Purwita Wijaya Laksmi2,


Soekamto Koesnoe3, Dewi Friska4
1Departemen l l m u Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran U niversitas I ndonesia. 2Divisi Geriatri,
Departemen llmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran U niversitas I ndonesia, 3 Divisi Alergi
dan l munologi Klinik, Departemen llmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran U niversitas Indonesia,
4Departemen llmu Kedokteran Komunitas, Fakultas
Kedokteran U n iversitas I n donesia.

Pendahuluan. Malnutrisi pada lansia berperan dalam


meningkatnya angka kesakitan dan kematian. Untuk itu
diperlukan suatu instrumen yang sahih dan andal untuk
mendeteksi adanya malnutrisi pada lansia sejak dini. MNA­
SF merupakan salah satu instrumen yang sahih dan andal
untuk menilai status gizi lansia, namun uji kesahihan dan
keandalan belum pernah d ilakukan terhadap M NA -SF
berbahasa Indonesia.

Tujuan: mendapatkan kuesioner MNA-SF berbahasa


Indonesia yang sahih dan andal untuk menapis status gizi
lansia di komunitas.

Metodologi: Responden berusia �60 tahun yang datang


ke posbindu menjalani wawancara oleh ahli gizi dan kader
posbindu . Wawancara ulang oleh kader posbindu dilakukan
satu sampai dua m inggu kemudian. Kesahihan d ihitung
dengan korelasi antara MNA dengan MNA-SF. Uji keandalan

I 155 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
dilakukan dengan uji test dan retest, menghitung kesepakatan
antara hasil penilaian ahli gizi dengan penilaian kader serta
rnenghitung cronbach's a .

Hasil. Penelitian d iikuti oleh 92 responden dengan


median usia 67 tahun. Korelasi kuat hanya didapatkan antara
pertanyaan Fl (r=0,824) dan pertanyaan F2 (r=0,685) dengan
ranah antropometri dalam MNA. Korelasi sedang didapatkan
antara skor total MN A-SF IMT (r=0,491) dan skor total MNA­
SF LB (r=0,484) hasil penilaian kader dengan skor total MNA.
Korelasi kuat didapatkan antara MNA-SF IMT (r=0,738) dan
skor total MNA-SF LB (r=0,651 ) hasil penilaian kader dengan
skor total MNA. Nilai intraclass corellation coefficient (ICC)
skor total MNA-SF IMT 0,651 sedangkan untuk skor total
MNA-SF LB adalah 0,761 . Nilai cronbach's a M NA-SF IMT
(0,622) dan MN A-SF LB (0,617) .

Diskusi : Pada penelitian i n i uj i kesahihan dilakukan


dengan membandingkan MNA-SF dengan MNA sebagai
baku emas. Pada uji tersebut, sebagian besar pertanyaan
menunjukkan korelasi lemah dengan ranah-ranah yang
berhubungan. uji korelasi antara skor total MNA-SF dengan
skor total MNA hanya didapatkan korelasi sedang baik
untuk MNA-SF IMB maupun MNA-SF LB. Rubenstein dkkl
mendapatkan korelasi yang kuat (r = 0,945) antara skor total
M NA-SF dengan MNA. Hasil serupa juga diperoleh Kaiser
dkk2, yaitu r = 0,9 untuk skor total MNA-SF IMT dengan MNA
dan r = 0,86 untuk skor total MN A-SF LB. Mahdavi dkk3 juga
mendapatkan korelasi kuat antara skor total MN A-SF dengan
MNA (r = 0,868). Perbedaan hasil yang cukup mencolok tersebut
diduga karena perbedaan pewawancara yang mengambil data
dalarn penelitian. Pada ketiga penelitian sebelumnya yang
d ilakukan di luar negeri, wawancara terhadap responden
dilakukan oleh tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Kurangnya kemampuan kader dalam menggunakan MNA-SF

I 156 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Perioperative Management in Elderly and Gen<1lric Patient •

kemungkinan berperan dalam rendahnya koefisien korelasi


yang diperoleh dalam penelitian ini. ha! tersebut diperkuat
dengan korelasi antara MNA-SF dengan MNA yang lebih baik
ketika wawancara dilakukan oleh ahli gizi.

Simpulan: MNA-SF berbahasa Indonesia belum terbukti


sahih dan andal untuk digunakan oleh kader posbindu untuk
menapis status gizi lansia di komunitas.

Kata kunci: Lansia, MNA-SF berbahasa Indonesia, uji


keandalan, uji kesahihan

I 1 57 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P 1 os1d1ng Ternu l!ni1ah Geriatri 2.0 1 7

C a r d i resp i rati o n E n du ra nce of E l derly Patient


with C O P D

N iken Alia Taskya, Setia Wati Astri A , Melinda Harini,


Tresia F U Tambunan
Physical M e d i c i n e and Rehabil itation Department of
Cipto M a n g u nkusumo Hospital

B ac kgro u n d : Pulmonary rehabilitation in Chronic


Obstructive Pulmonary Disease (COPD) patient is important to
improve cardiorespiration endurance supporting independent
activity daily living (ADL) and return to work.

Com p are cardiorespir ation endurance


O b j e c t i v es :
response between elderly and adult COPD patient after
pulmonary rehabilitation.

Methods: This is a restrospective cohort study. Respondents


are outpatients in Pulmonary Rehabilitation Clinic of Cipto
Mangunkusumo Hospital that met the inclusion and exclusion
criteria, underwent hospital based pulmonary rehabilitation
and evaluated with six minutes walking test (6MWT).

Result: Thirty three patients participated in this study,


fifteen patients are elderly and seventeen patients are adult.
The mean difference of 6MWT distance (p=0.058), V02Max
(p=0.059) and METS (p=0.059) between elderly and adult
patients were not statistically significant. The mean difference
of 6MWT d istance before and after pulmonary rehabilitation
progra m were clinically important for both groups, with
elderly within the range (28.73 m) and adult exceed (34.41 m)
the Minimal Clinically Importance Difference (MCID) 6MWT
for COPD (25-30 m).

I 158 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!;st1c Perioperative Manc1 gement in Elderly and Genc1tric Patient •

Concl u s i o n : Elderly patient can reach same 6MWT


distance with adult patient.

Keyword: COPD, six m inu tes walk test, pulmonary


rehabilitation.

I 159 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P r o s i d i n g Temu lim1ah Genatri 2017

Pola Kuman dan Resistensi A ntibioti k pada


Usia Lanjut Rawat lnap di R S U P Sanglah
D enpasar
Periode J u l i 2 0 1 6-Maret 20 1 7

N N Trisna Yuliharti T1, I G P Suka Aryana1, 1 8 Putrawan1,


Rai Purnami1, IN Astika1, RA Tuty Kuswardhani1,
Dwi Fatmawati2, Sri Budayanti2
1Divisi Geriatri, Bagian/SMF llmu Penyakit Dalam,
2Bagian/S M F M ikrobiologi
Fakultas Kedokteran U n iversitas Udaya n a/
RSUP Sanglah Denpasar

Latar Belakang: Data National Nosoccomial Infection


Surveill ance in The United Sta tes pada periode 1 986-
1 990 menunj u kkan 54 % pasien yang mengalami infeksi
nosokomial merupakan pasien berusia 65 tahun atau lebih.
The Center for Disease Control and Prevention in USA tahun
201 3 menyebutkan 50 juta peresepan antibiotik yang tidak
diperlukan (unnecessary prescribing) dari 150 juta peresepan
setiap tahun. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak
tepat menjadi dasar besarnya angka resistensi antibiotik pada
usia Ianjut.

Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan


pola kuman dan resistensi antibiotik pada usia lanjut.

M etode: Penelitian ini meru pakan penelitian yang


bersifat observasional/ non eksperimental potong Jin tang
dengan mengikuti rancangan deskriptif. Pengambilan data
yang dilakukan selama penelitian bersu mber dari pasien dan
rekam medis.

I 160 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Ho!ist1c Periop2rative Management in E ldt·rly and Gerwtric Patient •

Hasil: Dari 92 sampel yang dilakukan pemeriksaan


kultur, ditemukan jenis infeksi pneumonia 60,9 % , infeksi
saluran kemih 25 % , infeksi kulit 3,3 % , dan infeksi lainnya
10,9 % . Dari kultur darah didapatkan hasil no growth 83 % ,
Staphylococcus epidermidis 5 % , dan kuman lainnya, dimana
ditemukan Staphylococcus epidermidis dengan resistensi
terhadap antibiotika ciprofloxacin, erythromycin, levofloxacin,
tetracyc line, clan cefoxitin, dan kuman Staphy lococcus
coagu lase negatif clengan resistensi terhadap antibiotika
chlorarnpenicol, levofloxacin, gentamicin, eritromicin, dan
cefoxitin. Dari kultur urine clidapatkan hasil no growth 42 % ,
flora normal 1 5 % , Escherichia coli 8 % , clan kuman lainnya,
climana clitemukan kuman Acinetobacter Baumannii clengan
resistensi antibiotika Am picilin, Am picil in / Su lbactam,
Piperacilin/Tazobactam, Cefazolin, Ceftazidime, Ceftriaxone,
Cefepime, Aztreonam, Gentam icin, Nitrofu rantoin, dan
Trimethroprim/Su lfamethoxazole, dan kuman Escherichia
colli dengan resistensi antibiotika Ampicilin dan Trimetropim/
Sulfamethoxazole. Dari kultur sputum didapatkan hasil
flora normal 29% , Staphylococcus coagulase 1 7 % , Candida
non Candida albicans 1 7 % , dimana di temukan kuman
Pseu domonas Aeruginosa dengan resistensi antibiotika
Ampicilin, Ampicilin/ Sulbactam, Cefazolin, meropenem,
gentarnicin, ciprofloxacin, tigecycline, dan trimetropim/
su l fametoxazole, d an kuman M a ltophilia + Klebsiella
pneumonia ssp. dengan resistensi antibiotika Ampicilin. Dari
kultur dasar Iuka didapatkan hasil Staphylococcus aureus,
Staphylococcus coagulase, dan Proteus hauseri sebesar
25 % , dimana clitemu kan kuman Staphylococcus aureus
dengan resistensi antibiotika ciprofloxacin, tetracycline,
clan levofloxacin. Dari kultur lainnya (cairan cerebrospinal,
cairan pleura, dan lainnya) ditemukan hasil dominan bakteri
fastidious (Haemophilus influenzae, M Tuberculosis) 27,27%
dan tidak ditemukan resistensi kuman pada kultur ini.

I 161 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1ci!ng Ternu Hmiah (.:;e n at ri 2017

Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan kesimpulan


bahwa pneumonia merupakan infeksi yang tertinggi pada
usia lanjut, dimana pada hasil kultur didapatkan sebagian
besar dengan hasil no growth dan kuman Staphylococcus
coagulase negatif dengan resistensi terhadap antibiotika
chloramphenicol, levofloxacin, gentamycin, erythromycin,
dan cefoxitin.

Kata kunci: Resistensi, Antibiotika, Infeksi, Geriatri

I 162 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H ubungan Massa Otot pada Sarkopenia dengan
Status F u n gsional Lanjut Usia di Oesa Pedawa,
Kab upaten B u leleng, B a l i

IGA Ira Mahariani B*, I G P S u ka Aryana**,


N K Rai Purnami**, IB Putrawan**, I N Astika**,
RA Tuty Kusward ha ni**
*Program Studi llmu Penyakit Dalam
**Divisi Geriatri, F K U nud/R S U P Sanglah

Latar B el ak a n g . Massa otot meru pakan salah satu


indikator sarkopenia pada lanjut usia (lansia), yang ditandai
dengan penurunan massa otot disertai penurunan kekuatan
otot atau penurunan performa fisik. Hilangnya massa otot yang
signifikan pada lansia dipertimbangkan sebagai hal penting
yang dapat menurunkan kapasitas dan aktivitas fungsional
lansia sehingga kualitas hidup lansia akan menurun.

T u j u a n . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui


hubungan m assa otot pada sarkopenia dengan s tatus
fungsional lansia di Desa Pedawa, Kabupaten Buleleng, Bali.

Metode. Penelitian ini meru pakan penelitian potong


lintang. Dimana subyek penelitian adalah populasi lansia
yang tinggal di Desa Pedawa dan dilakukan teknik stratified
random s a m p l i n g . Pengukuran m assa otot dilakukan
menggunakan bioelectrical im pedance analysis (BIA) dan
dikategorikan berdasarkan rekomendasi Asian Working Group
for Sarcopenia (AWGS). Status fungsional lansia ditentukan
menggunakan Barthel Activity Daily Living (ADL).

Hasil dan Diskusi. Penelitian ini terdiri dari 115 partisipan


yang terdiri dari 53 orang (46,l % ) laki-laki dan 62 orang (53,9%)
perempuan dengan rerata umur 69.09 ± 8.6. Hasil penelitian

I 1 63 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Ternu !im1bh G e n a t r; 2017

menunjukkan angka prevalensi sarkopenia 91,3%, prevalensi


penurunan massa otot 87,8% , prevalensi penurunan kekuatan
otot 83,5% , prevalensi penurunan kecepatan berjalan 85,2%
pada populasi lansia di Desa Pedawa. Prevalensi lansia dengan
status fungsional mandiri didapatkan 83,5% , ketergantungan
ringan 16,5%, dan ketergantungan sedang berat tidak ada. Pada
populasi sarkopenia didapatkan status fungsional mandiri
sebanyak 87 orang (82,9% ) dan ketergantungan ringan 1 8
orang (17,1 % ) Didapatkan perbedaan rerata yang signifikan
.

penurunan massa otot dengan status fungsional mandiri


dan ketergantungan ringan sebesar 0,9 kg (p<0.05, 95 % CI).
Tingginya kejadian sarkopenia ditempat ini tidak d iikuti
rendahnya status fungsional. Hal ini bisa disebabkan oleh
karena angka standar massa otot yang digunakan belum bisa
digunakan untuk populasi di Desa Pedawa.

Simpulan.Pada penelitian ini didapatkan prevalensi


sarkopenia d an status fungs ional mandiri yang tinggi.
Perbedaan massa otot antara status fungsional mandiri dan
status fungsional ketergantungan ringan signifikan tapi tidak
dengan angka yang terlalu besar.

Kata Kunci: massa otot, status fungsional, lansia

I 164 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hol:stlC Perioperatve M a n c1gement In Elderly and Genatric Patient •

Studi Komparasi Kejadian Frai lty pada Popu lasi


Lansia di Desa Pedawa S i n garaja dan Kota
M a n g u p u ra B a d u n g Provi nsi B a l i

AA Ngr Agung Wistara 1, I G P Suka Aryana 2,


I Nyoman Astika 2, RA Tuty Kuswardhani 2,
I B Putrawan2, Ketut Rai Purnami 2
1 PPDS-1 llmu Penyakit Dalam U n iversitas Udayana
2 Divisi Geriatri Bagian/SM F llmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran U niversitas Udayana

Latar B elakang: Frailty merupakan sindrom geriatri yang


sering terjadi dan ditandai dengan adanya penurunan fungsi
fisiologis multi organ yang sejalan dengan pertambahan usia.
Skrining awal frailty berguna untuk mengurangi derajat
keparahan d an dampak buruk dari frailty yang bersifat
irreversibel

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk


membandingkan kejadian frailty, menganalisis tiap komponen
frailty, dan mengetahui faktor lain yang berhubungan kejadian
frailty pada populasi lansia di Desa Pedawa, Kabu paten
Buleleng dan Kota Mangupura, Kabupaten Badung di Propinsi
Bali.

Metode: Penelitian menggunakan studi potong lintang


pada populasi lansia di Desa Pedawa dan Kota Mangupura
pada bulan September 201 6 . Frailty ditegakkan melalui
kuesioner skrining berdasarkan Cardiovascular Health Study.
Penelitian dipilih dengan cara consecutive random sampling.
Dari lima komponen frailty dilakukan uji komparasi dari kedua
populasi. Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS 20.0

I 165 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1ng Temu !im1ah Genatri 2017

Basil: Penelitian ini dilakukan pada 1 1 7 orang lansia,


dengan rata-rata umur 69,10 ± 8,55 tahun di Desa Pedawa, dan
80 orang lansia, dengan rata-rata umur 65,96 ± 6,022 tahun di
Kota Mangupura,. Komposisi populasi lansia di desa Pedawa
terdiri dari 54 orang (46,2% ) laki-Iaki dan 63orang (53,8 %)
perempuan, sedangkan pada kota Mangupura sebanyak 1 7
orang (21,2% ) laki-laki dan 6 3 orang (78,8 % ) perempuan.
Terdapat perbedaan signifikan kejadian frailty diantara Desa
Pedawa, Buleleng (29,1 % ) dan Kota M angupura, Badung
(12,5 % ) (p= 0,01). Terdapat perbedaan signifikan terhadap
komponen frailty kelemahan otot di Desa Pedawa (83,8% )
dan Kota Mangupura (1 2,5% ) (p= <0,01) . Hasil yang sama
juga didapatkan untuk kelambanan berjalan di Desa Pedawa
(85,5 % ) dengan Kota M angupura (32, 5 % ) (p=<0,01 ); dan
kelelahan fisik di Desa Pedawa (32,5%) dan Kota Mangupura
(3,8% ) (p= <0,01 ). Terdapat perbedaan yang signifikan antara
golongan lansia dengan ekonomi baik (19% ) dan ekonomi
kurang (38,2% ) terhadap kejadian frailty (p= 0,02).

Kesimpulan: Terdapat perbedaan kejadian frailty di


Desa Pedawa dan Kota Mangupura dengan komponen yang
s ignifikan berbeda adalah kelemahan otot, kelambanan
berjalan, dan kelelahan fisik. Faktor ekonomi terbukti berbeda
signifikan di kedua tern pat dan berhubungan dengan kejadian
frailty.

Kata kunci: Lansia, frailty, skrining frailty

1 166 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hoi;stic Perioperat;ve Management In Elderly and Genc1tric Pal.lent •

Profi l Pasien Geriatri yang Menj a l a n i Operasi


di R S U P N Dr. Ci pto M a n g u n k usumo
Peri ode O ktober 20 1 6-J a n u a ri 20 1 7

Harini Oktadiana*, Fitria *, Popy Yusnidar*, l ka


Fitriana**, Noto Dwimartutie**

* Departemen llmu Penyakit Dalam,


Fakultas Kedokteran U n iversitas I n donesia,
RSUPN Cipto Mangunkusumo
** Divisi Geriatri,
Fakultas Kedokteran U n iversitas I n donesia,
RSUPN Cipto M angunkusumo

Latar belakang: Jumlah pasien geriatri yang menjalani


operasi di Indonesia makin meningkat. Namun, belum ada data
mengenai profil pasien geriatri yang menjalani operasi di RS
Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM).
Studi ini merupakan penelitian pendahuluan mengenai profil
pasien geriatri yang menjalankan operasi di RSUPNCM

Tujuan : Mengetahui profil pasien geriatri yang menjalani


operasi di RSUPNCM periode Oktober 2016 Januari 201 7. -

Metode : Desain penelitian adalah potong lintang dengan


menggunakan d ata sekunder rekam medik pasien yang
terjadwal operasi di Instalasi Bedah Pusat RSUPNCM periode
Oktober 201 6- Januari 2017. Populasi penelitian adalah semua
pasien usia 60 tahun atau lebih yang menjalani operasi elektif
di RSUPNCM periode Oktober 2016 -Januari 2017.
Hasil : Terdapat 111 pasien geriatri yang menjalani operasi
elektif di instalasi bedah pusat RSUPNCM periode Oktober
2016- Januari 2017. Data deskriptif terbanyak sebagai berikut:
Jenis kelamin perempuan (52,2%), Usia 60-70 tahun (73,8 % ),

1 167 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Pros1d1ng Ternu !irn1ah G e n a t ri 2017

indeks m assa tubuh (IMT) normal (54 % ) , status fungsional


mandiri (45 % ). Operasi vaskular merupakan operasi terbanyak
yaitu 32 orang (29 % ) dengan lama raw at terbanyak kurang
dari 10 hari (66,6 % ) . Komorbiditas hipertensi merupakan yang
terbanyak (59% ), diikuti tumor (39 % ), dan diabetes mellitus
(32 % ). Seban yak 1 3,5% sampel memiliki kadar albumin <
3 mg/ dL, dan 19,8% kadar Hb<l O mg/ dL. Rehospitalisasi
terjadi sebanyak 13,5% dengan mortalitas pascaoperasi selama
perawatan terjadi pada 1 pasien (0,009 % ) .

Kesimpulan Sebanyak 1 1 1 pasien geriatri menjalani


:

operasi elektif di RSUPNCM periode Oktober 2016-Januari


2017 dengan profil terbanyak perempuan, usia 60-70 tahun,
IMT normal, status fungsional mandiri, jenis operasi vaskular,
komorbiditas hipertensi, kadar albumin � 3 mg/ dL, serta
kadar Hb � 10 mg/ dL. Rehospitalisasi sebesar 13,5% dengan
mortalitas pascaoperasi pada 1 pasien.

Kata kunci : geriatri, operasi, profil

l 1 68 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic Periop�ratlve Management In Elderly and Geric1t ric: Patient •

H ubunga n Probiotik dengan Kej adian I nfluenza


Like I l l ness pada Populasi Usia Lanjut

Virly N a n d a M uzellina
llmu Penyakit Dalam RSCM

Latar B elakang: I nfluenza Like Illness (ILI) adalah


sekumpulan gejala infeksi influenza yang sulit dibedakan
dengan infeksi pernapasan akut lainnya. Prevalensi ILI tertinggi
terjadi pada usia lanjut dan sering disertai komplikasi berat
hingga kematian. Pada usia lanjut terjadi immunosenescence
yang menyebabkan rentan terhadap infeksi . Pengaruh
probiotik terhadap sistem imun merupakan salah satu manfaat
yang paling diketahui. Pemberian probiotik oral dilaporkan
dapat meningkatkan kerja baik imunitas adaptif maupun
bawaan. Studi serta penelitian yang menilai mengenai peranan
probiotik pada infeksi non intestinal masih terbatas. Penelitian
ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan probiotik
dengan Influenza Like Illness pada populasi usia lanjut.

Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif


dengan data sekunder diambil dari penelitian Dr. dr. Sukamto,
SpPD, K-AI pada populasi usia lanjut sehat yang terdapat
dalam komunitas usia lanjut di Jakarta Timur, pada bulan
Juni-Desember 2015. Terdapat dua kelompok yaitu probiotik
dan tanpa probiotik dan dilakukan analisis chi square, untuk
menilai angka kejadian ILI serta uji t untuk menilai perbedaan
rerata durasi terjadinya ILI.

H a s i l Pen e l i t i a n : Sebanyak 275 usia l anjut sehat


diikutsertakan dalam penelitian ini, 1 39 usia lanjut pada
kelompok probiotik dan 1 36 usia lajut pada kelompok non
probiotik. Kejadian ILI pada kelompok probiotik n= 4 subjek
(2,9% ) dan pada kelompok tanpa probiotik n= 6 subjek (4,4% ),
nilai p= 0,361, risiko relatif (RR) sebesar 0,652 dengan interval

I 169 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Prosiding Temu lim1ah c;enat rl 2017

kepercayaan 95 % = 0,188-2,260. Didapatkan clurasi ILI pacla


kelompok probiotik selama 2,75 hari clan kelompok tanpa
probiotik selama 4,33 hari, nilai p 0,1 63.

Kesimpulan: Ticlak cli cl apatkan perbeclaan kejaclian


ILi antara kelompok probiotik m aupun non probiotik,
namun cliclapatkan kecenclerungan penurunan clu rasi ILI
pacla kelompok probiotik clan risiko ILI lebih renclah pacla
pemberian probiotik.

Kata Kunci: Probiotik, Influenza Like Illness, usia lanjut.

1 170 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
�rati\1e M a n a g e m e n t In Elder!y· and Geriatric P:1 tlent
Holistic Periop1.. •

Faktor-faktor Predi ktor Serokonversi Pasca­


Vaksinasi Infl uenza pada Lansia

SA Nursyirwan1, Koesnoe 5 2 , Wahyudi ER3


1Departemen llmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
RSUPN Cipto Mangu n kusumo
2Divisi Alergi l munologi Klinik
Departemen llmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran U niversitas Indonesia,
RSUPN Cipto M a ngunkusumo
3Divisi Geriatri Departemen llmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran U niversitas I ndonesia,
RSUPN Cipto Mangu n kusumo

Latar Belakang : Infeksi virus influenza menyebabkan


morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan pada Iansia.
Vaksin influenza sebagai satu-satunya modalitas pencegahan
yang ada saat ini memiliki efikasi yang lebih rendah pada
lansia dibanding dewasa muda (17-53 % vs 70-90% ) . Hal ini
dimungkinkan karena pada lansia terjadi perubahan respons
imun akibat penuaan serta faktor- faktor risiko lain. Beberapa
studi telah dilakukan untuk menilai status kesehatan lansia
sebagai faktor risiko terhadap respons antibodi terhadap
vaksinasi influenza.

Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif


pada populasi lansia di posyandu lansia Jakarta Timur yang
mendapatkan vaksin influenza. Sebanyak 277 subjek diperiksa
titer antibodi pra dan satu bulan pasca-vaksinasi influenza.
Faktor-faktor risiko berupa usia, jenis kelamin, status olahraga,
status merokok, penyakit DM tipe 2, paru, kardiovaskular,
status nutrisi MNA (Mini Nutritional Assessment), status GDS

1 171 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• Presiding Temu lirrnah G e n a t ri 2017

(Geriatric Depression Scale), clan titer antibodi pra- vaksinasi


dinilai pada masing-masing subjek.

Hasil Penelitian Proporsi lansia yang mengalami


:

serokonversi (kenaikan titer pasca-vaksinasi sebanyak 4


kali lipat titer awal) adalah 50,9% (141 / 277). Pada analisis
multivariat, faktor-faktor prediktor serokonversi satu bulan
pasca- vaksinasi influenza pada lansia di komunitas adalah
keadaan tidak depresi (p=0,048, OR=2,l, IK=l,01-4,30), status
olahraga � 5 kali seminggu minimal 30 menit (p=0,013, OR
4,0, IK 1 ,34-11,76), dan titer antibodi pra-vaksinasi yang tidak
seroprotektif (p=0,000, OR 6,4, IK 3,40-11,99).

Kesimpulan : Faktor-faktor prediktor serokonversi pasca­


vaksinasi influenza pada lansia di komunitas adalah status
depresi, status o lahraga, dan titer antibodi pra-vaksinasi
influenza.

Kata Kunci : influenza, vaksinasi, serokonversi, faktor


prediktor.

I 172 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Holistic. Pei 1opera tive Manageiment I n Elcier!v a n d Genatric Pt;tlent •

H ubungan Status Frai lty dengan Serokonversi


dan Serop roteksi Vaks i n Influenza
pada Populasi Usia Lanjut

U m m u Habibah 1, Soekamto Koesnoe 2, Edy Rizal W 3 ,


M u rdani Abdullah 4

1 Departemen llmu Penyakit Dalam,


Fakultas Kedokteran U niversitas Indonesia,
Rumah Sakit Cipto M angunkusumo
2 Divisi Alergi d a n l munologi ,
Fakultas Kedokteran U niversitas Indonesia,
Rumah Sakit Cipto M angunkusumo
3 Divisi Geriatri,
Fakultas Kedokteran U n iversitas Indonesia,
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
4 Koordinator Penelitian
Departemen llmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran U n iversitas I n donesia,
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Latar Belakang: Influenza masih merupakan ancaman


infeksi serius di dunia terutama pada populasi usia lanjut.
Meskipun kejadian influenza dapat ditekan dengan pemberian
vaksinasi, namun efikasi vaksin influenza masih diragukan
pada usia lanjut, ter utama individu yang frail . Hal ini
dikarenakan immunosenescence yang menyebabkan sistem
imun kurang mampu mengatasi stres berupa infeksi termasuk
memberikan respon yang adekuat terhadap pemberian vaksin.

Tujuan: Mengetahui hubungan status frailty dengan


respon imun pasca vaksinasi influenza pada populasi usia
lanjut

1 173 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
• P 1 0 �, 1d1ng Terra1 Hrrnah G e n a t ri 2017

Metode: Studi kohort retrospektif ini mengambil data


dari penelitian induk dengan subjek usia lanjut berusia 60
tahun keatas yang tergabung dalam Posyandu Lansia di 4
kelurahan di Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Status
frailty ditentukan berdasarkan kuisoner Frailty Index 40
Items (FI-40). Vaksin Influenza yang dievaluasi adalah vaksin
influenza trivalen inaktif. Serokonversi didefinisikan sebagai
peningkatan titer inhibisi hemagglutinin sebanyak 4x lipat.
Seroproteksi didefinisikan sebagai titer inhibisi hemagglutinin
� 1 :40.

Hasil: Terdapat 140 subjek penelitian. Tingkat serokonversi


vaksin influenza pada kelompok frail, pre-frail, dan sehat
adalah 37,9% , 39% , 60 % . Tingkat seroproteksi vaksin influenza
pada kelompok frail, pre-frail dan sehat adalah 80 % , 92,2%,
94,8% . Risiko relatif (RR) kelompok pre-frail/ frail untuk
kejadian tidak serokonversi adalah 0,93 (IK 95% 0,72-1,02),
dan RR untuk kejadian tidak seroproteksi adalah 1,7x ( IK
95 % 0,5-6,2).

Kesimpulan: Tidak ditemu kan hubungan bermakna


secara statistik antara status frailty dengan serokonversi dan
seroproteksi vaksin influenza pada populasi usia lanjut.

1 174 I

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
ISBN : 978-979-19931-7-3

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose

Anda mungkin juga menyukai