Anda di halaman 1dari 12

2.1.

1 Peran Perawat dalam Pengelolaan Limbah Rumah Sakit

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) pada dasarnya merupakan

tanggung jawab semua pihak yang ada di dalam lingkungan rumah sakit.

Darmadi (2008), menyebutkan bahwa dalam upaya pencegahan dan

pengendalian infeksi tenaga keperawatan merupakan pelaksana terdepan.

Hal ini disebabkan oleh petugas perawatan (perawat) selalu bersama

pasien selama 24 jam penuh.


Indonesia Public Health Information (2014) juga menyebutkan bahwa

perawat memiliki peran pertama dalam tugas pengelolaan limbah rumah

sakit, yaitu tugas memilah limbah medis dan non medis. Hal ini didukung

pula oleh Djohan & Halim (2013), yang menyatakan bahwa tenaga

perawat merupakan salah satu tenaga pengelola limbah padat dimana

perawat bertugas memisahkan limbah medis dan non medis di setiap unit

pelayanan fungsional tempat perawat bersangkutan bekerja.

Perawat harus memilah sampah medis, sampah non medis,

sampah/limbah infeksius, limbah patologi, benda tajam, dan

menempatkannya pada wadah sesuai jenisnya atau sesuai ketentuan

yang ada di rumah sakit (Djohan & Halim, 2013). Pendapat ini didukung

oleh Sudiharti & Solikhah (2012) melalui suatu studi pendahuluan yang

dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang

menyatakan bahwa proses pemisahan limbah rumah sakit dilakukan oleh

petugas kesehatan khususnya perawat yang berada di setiap unit

pelayanan sedangkan pengolahan sampah selanjutnya dilakukan oleh

petugas kebersihan yang berada di rumah sakit.

Sebuah survei pendahuluan oleh Muchsin, dkk (2013) di RSUD Aceh

Tamiang khususnya pada ruangan yang menghasilkan limbah medis,

menunjukkan bahwa perawat memiliki peran yang cukup banyak dalam

melakukan pelayanan keperawatan (misalnya, menyuntik, memasang

selang infus, mengganti cairan infus, melakukan perawatan luka,

memasang selang urine, perawatan dalam pemberian obat, dan lain-lain).

Hal ini menyebabkan perawat menjadi orang


pertama yang berperan memastikan limbah medis akan berada pada

tempat yang aman atau tidak (wadah penampungan limbah medis),

sebelum limbah ini diangkut ke tempat pemusnahan.

2.2 Perilaku Perawat dalam Memilah Limbah Medis dan Non Medis

2.2.1 Perilaku

A. Konsep Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup)

yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2012). Perilaku manusia dapat timbul

karena adanya stimulus dan respons serta dapat diamati baik secara

langsung maupun tidak langsung. Stimulus ini bisa berasal dari dalam diri

(internal) ataupun dari luar diri (eksternal) manusia yang bersangkutan

(Sunaryo, 2010).

B. Jenis-jenis Perilaku

Notoatmodjo (2010), mengelompokkan perilaku menjadi dua, yaitu:

1. Perilaku Tertutup (Covert behaviour)

Perilaku tertutup terjadi bila reaksi terhadap stimulus masih belum dapat

diamati oleh orang lain secara jelas. Respon seseorang masih terbatas

pada perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap

stimulus yang bersangkutan. Misalnya, seorang perawat tahu tentang

limbah medis dan non medis serta cara pemilahannya (pengetahuan)

kemudian perawat tersebut berusaha memberikan tanggapannya tentang

limbah medis dan pemilahannya (sikap).


2. Perilaku Terbuka (Overt behaviour)

Perilaku terbuka terjadi apabila reaksi terhadap stimulus tersebut sudah

berupa tindakan atau praktik yang bisa diamati orang lain dari luar.

Misalnya, perawat membuang limbah medis dan non medis pada

tempatnya sesuai ketentuan pemilahan limbah.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Perawat

dalam Memilah Limbah Medis dan Non Medis

Perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor yang

berasal baik dari dalam maupun dari luar subyek. Faktor-faktor ini disebut

determinan. Green (1980) menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama

yang mempengaruhi perilaku, yaitu: (Notoatmodjo, 2010)

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor–faktor ini adalah faktor-faktor yang mempermudah terjadinya

perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan,

kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya. Contohnya, seorang

perawat mau memilah limbah medis dan non medis karena perawat

tersebut tahu dan yakin bahwa tindakannya itu dapat meminimalkan

resiko terjadinya penularan infeksi.

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu

seseorang terhadap suatu obyek melalui indera yang dimilikinya

(mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Sebagian besar

penginderaan seseorang didapatkan melalui indera penglihatan

(mata) dan indera pendengaran (telinga).


Pengetahuan seseorang akan suatu obyek memiliki tingkat yang

berbeda- beda. Pengetahuan dibagi menjadi enam tingkat, yaitu:

(Notoatmodjo, 2010)

1) Tahu (know) dan mengingat kembali (recall) diartikan sebagai

kemampuan mengingat kembali sesuatu yang pernah diketahui.

Misalnya, perawat tahu bahwa limbah medis dan non medis dapat

menjadi wadah berkembangbiaknya mikroorganisme.

2) Pemahaman (Comprehension) merupakan suatu kemampuan

untuk memahami tentang suatu objek atau materi. Pada tingkatan

ini, individu diminta untuk bisa menginterpretasikan secara benar

tentang obyek yang dilihatnya. Misalnya, perawat yang memahami

tentang cara pemilahan limbah medis dan non medis tidak hanya

bisa menyebutkan jenis-jenis sampah dan cara membuangnya,

tetapi perawat tersebut juga bisa menjelaskan kenapa tindakan

pemilahan ini perlu dilakukan.

3) Penerapan (Application) diartikan sebagai kemampuan untuk

menerapkan secara benar mengenai suatu hal yang diketahui

dalam situasi yang sebenarnya. Misalnya, seorang perawat yang

telah paham tentang proses pengelolaan limbah, perawat tersebut

harus dapat membuat perencanaan program pengelolaan limbah

di tempat perawat tersebut bekerja.

4) Analisis (Analisis) diartikan sebagai kemampuan untuk

menjabarkan materi atau objek ke dalam suatu struktur atau

bagan yang masih ada kaitannya satu sama lain. Indikasi bahwa

seorang individu sudah


mencapai tahap ini adalah apabila individu tersebut sudah dapat

mengelompokkan atau membuat diagram tentang suatu obyek.

5) Sintesis (Syntesis) diartikan sebagai kemampuan untuk

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan

individu membuat rangkuman dari formulasi-formulasi yang telah

ada. Misalnya, seseorang dapat meringkas dan membuat dengan

kata-kata sendiri tentang hal yang didengar atau dilihatnya.

6) Evaluasi (Evaluation) diartikan sebagai kemampuan untuk

melakukan penilaian terhadap suatu objek atau materi.

Penelitian Rogers (1974) dalam Indriyani dan Asmudji (2014),

mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru,

orang tersebut mengalami beberapa proses dalam dirinya, yakni:

a) Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari atau

mengetahui adanya stimulus (obyek) terlebih dahulu. Misalnya,

menyadari tentang pentingnya pemilahan limbah medis dan non

medis.

b) Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus (obyek), misalnya

mulai tertarik pada proses pemilahan limbah medis dan non medis.

c) Evaluation, yakni orang tersebut mulai menimbang-nimbang baik

tidaknya stimulus (proses pemilahan limbah medis dan non medis)

tersebut bagi dirinya.

d) Trial, yakni orang tersebut mulai mencoba perilaku baru tersebut

(memilah limbah medis dan non medis secara benar)


e) Adoption, yakni orang tersebut telah mampu berperilaku baru sesuai

dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Perilaku baru atau adopsi perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran yang positif akan bersifat langgeng (long lasting)

dibandingkan dengan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan

dan kesadaran. Contohnya, perawat memilah limbah medis dan non

medis di tempat yang benar karena diperintahkan oleh atasannya tanpa

mengetahui makna dan tujuan pemilahan tersebut, maka dengan

segera perilaku pemilahan ini tidak akan dilakukan jika atasan dari

perawat tidak ada (Notoatmodjo, 2012).

Berbagai penelitian dilakukan untuk melihat hubungan antara

pengetahuan dengan perilaku. Penelitian-penelitian tersebut

menggambarkan bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang kuat

dan positif dengan perilaku. Pengetahuan yang tinggi akan

meningkatkan perilaku yang baik (Kusnaryanti, 2005; Maironah, dkk,

2011; Sudiharti & Solikhah, 2012). Hasil-hasil penelitian ditentang oleh

penelitian dari Jasmawati, dkk (2012) yang menyatakan bahwa tidak

ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku. Pada penelitian

Naktika (2010), peneliti masih menyarankan perlunya peningkatan

pengetahuan perawat melalui sosialisasi, penyuluhan maupun pelatihan

tentang pemilahan sampah.

Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang

menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden

(Notoatmodjo, 2010).
b. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respon tertutup seseorang stimulus atau obyek tertentu

yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seseorang (senang-

tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).

Sikap melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan

lainnya (Notoatmodjo, 2010).

Notoatmodjo (2010), menyatakan bahwa sikap terdiri atas tiga

komponen pokok, yaitu:

1) Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep orang terhadap suatu


obyek.

Misalnya bagaimana pendapat perawat tentang proses pemilahan

limbah medis dan non medis.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap obyek. Misalnya

bagaimana penilaian perawat terhadap pemilahan limbah medis dan

non medis, apakah perawat tersebut menganggap pemilahan limbah

ini adalah sesuatu hal yang penting atau tidak penting dalam upaya

pencegahan dan pengendalian infeksi.

3) Kecenderungan untuk bertindak. Misalnya, tindakan yang akan

dilakukan perawat bila melihat limbah medis dan non medis.

Ketiga komponen tersebut diatas secara bersama-sama membentuk

sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini

pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan

penting (Notoatmodjo, 2010). Contoh, seorang perawat mendengar

(tahu) tentang limbah medis dan non medis (jenis-jenisnya, cara

pemilahannya dan akibat jika tidak dipilah


dengan baik). Pengetahuan ini akan membuat perawat berpikir dan

berusaha agar akibat yang timbul karena pemilahan limbah yang

kurang baik tidak terjadi. Saat proses berpikir ini komponen emosi dan

keyakinan perawat ikut bekerja sehingga perawat tersebut berniat

(kecenderungan bertindak) melakukan pemilahan limbah. Perawat ini

mempunyai sikap tertentu (berniat melakukan pemilahan) terhadap

objek tertentu yakni limbah medis dan non medis.

Penelitian Kusnaryanti (2005) menyatakan bahwa ada hubungan antara

sikap dengan praktek perawat dalam mengelola limbah rumah sakit.

Hasil penelitian ini didukung pula oleh penelitian dari Maironah, dkk

(2011) dan Sudiharti & Solikhah (2012). Namun, penelitian Jasmawati,

dkk (2011), menentang bahwa ada hubungan antara sikap dengan

perilaku petugas pengumpul sampah.

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan skala Likert

dengan pilihan jawaban sangat setuju (5), setuju (4), ragu-ragu (3),

tidak setuju (2), dan sangat tidak setuju (1).

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor ini adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau

memfasilitasi perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana yang

dapat menunjang terjadinya perilaku (Notoatmodjo, 2012). Contoh

perilaku akibat faktor pemungkin ini adalah perawat-perawat sebuah

ruangan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang sudah tahu

tentang limbah medis dan pemilahannya mengupayakan tempat/wadah

penampungan limbah sesuai ketentuan tetapi


apabila ruangan tersebut tidak mampu mengadakan fasilitas wadah

penampungan ini, maka ruangan tersebut terpaksa menggunakan

wadah atau sarana yang ada dan tidak sesuai untuk membuang

sampah medis dan non medis.

Sarana prasarana yang diperlukan sehubungan dengan proses

pemilahan limbah medis adalah tempat sampah yang mudah dibuka

tutup tanpa mengotori tangan, tempat sampah yang terbuat dari bahan

yang cukup kuat, ringan, tahan karat, kedap air, dan mudah

dibersihkan, kantung plastik kuning untuk menampung limbah

medis/infeksius, kantung hitam untuk menampung limbah non medis,

dan safety box untuk menampung limbah tajam (Rohani dan Setio,

2010).

Pentingnya sarana dan prasarana dalam perubahan perilaku, didukung

oleh hasil penelitian dari Kusnaryanti (2005) dan Maironah, dkk (2011).

Dua penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat dan

positif antara ketersediaan fasilitas dengan perilaku pengelolaan limbah

rumah sakit. Namun, hasil penelitian ini ditentang oleh Jasmawati, dkk

(2012) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

ketersediaan fasilitas dengan praktik petugas pengumpul limbah medis.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)

Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang-kadang belum

menjamin terjadinya perilaku seseorang. Sering terjadi seseorang tahu

manfaat tentang pengolahan limbah yang baik dan juga telah mampu

menyediakan
sarana untuk pengolahan limbah, namun orang tersebut tetap tidak

mengelola limbah dengan baik karena orang yang dipercaya atau orang

yang dihormatinya (kepala ruangan) belum melakukan pengelolaan

limbah yang baik. Contoh ini menjelaskan bahwa seseorang yang menjadi

role model merupakan faktor penguat bagi terjadinya perilaku seseorang

(Notoatmodjo, 2010).

WHO dalam Notoatmodjo (2012), menambahkan bahwa apabila ada

seseorang yang dipercaya, maka apa yang dikatakan atau perbuatan

orang itu cenderung dicontoh. Orang-orang yang dianggap penting ini

disebut kelompok referensi, misalnya kepala ruangan. Hal ini didukung

oleh hasil penelitian dari Kusnaryanti (2005) yang menunjukkan bahwa

ada hubungan antara praktik kepala ruangan sebagai role model dengan

praktik perawat dalam pengelolaan sampah medis.

Dalam hal pemilahan limbah medis dan non medis, kepala ruangan

memiliki peran antara lain: memberikan penjelasan tentang limbah medis

dan non medis serta cara pemilahannya, memberikan contoh atau

menunjukkan cara memilah limbah medis dan non medis secara benar,

mengingatkan dan memperhatikan tindakan staf dalam memilah limbah

medis dan non medis secara benar, memberikan kesempatan pada staf

untuk menyampaikan permasalahan dan membantu staf dalam mencari

solusi untuk permasalahan yang berhubungan dengan pemilahan limbah

medis dan non medis, serta memberikan pujian terhadap staf yang

melakukan pemilahan limbah medis dan non medis secara benar


(Sugiyono, 2013).

Anda mungkin juga menyukai