Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

P2 A0, 20 tahun, Post Partum An I : Spontan An II : Vacum Ekstraksi atas indikasi Ibu Kelelahan Dengan Retensio Urin

Disusun Oleh : Laras Dyah P Yuli Lestari G1A211005 G1A211006

Pembimbing : dr. Aditiyono, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2011

HALAMAN PENGESAHAN

P2A0, 20 tahun, Post Partum An I : Spontan An II : Vacum Ekstraksi atas indikasi Ibu Kelelahan Dengan Retensio Urin

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh : Laras Dyah P Yuli Lestari G1A211005 G1A211006

Telah dipresentasikan Pada Tanggal : Desember 2011

Menyetujui

dr. Aditiyono, Sp.OG

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai tempat untuk menampung produksi urin dan sebagai fungsi ekskresi. Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urin satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang mungkin memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu (Andi, 2008)

Retensi urin merupakan masalah yang perlu diperhatikan pada masa intrapartum maupun post partum. Pada masa intrapartum, Sebanyak 16-17 % kasus retensio plasenta diakibatkan oleh kandung kemih yang distensi akibat retensi urin (Pribakti, 2006) Sedangkan insiden terjadinya retensi urin pada periode post partum, menurut hasil penelitian Saultz et al berkisar 1,7% sampai 17,9%. Penelitian yang dilakukan oleh Yip et al menemukan insidensi retensi urin post partum sebesar 4,9 % dengan volume residu urin 150 cc sebagai volume normal paska berkemih spontan. Penelitian lain oleh Andolf et al menunjukkan insidensi retensi urin post partum sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian dari Kavin G et al sebesar 0,7% (Andolf, 1995; Yip, 1997; Kavin, 2003) Penelitian oleh Pribadi dkk secara restropektif di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka kejadian retensi urin post partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891 persalinan spontan dan 222 persalinan dengan vakum ekstraksi. Dimana, usia penderita terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun (36,3%) dan paritas terbanyak adalah paritas 1 (54,5%). Retensio urin post partum paling sering terjadi setelah terjadi persalinan pervaginam. Penelitian oleh Yustini dkk di FKUI RS. Cipto Mangunkusumo tahun 2009 menunjukkan angka kejadian disfungsi kandung

kemih post partum sebanyak 9-14 % dan setelah persalinan menggunakan assisted labor (ekstraksi forsep), meningkat menjadi 38 %. Retensi urin post partum menimbulkan komplikasi pada masa nifas. Beberapa komplikasi akibat retensi urin post partum adalah terjadinya uremia, infeksi, sepsis, bahkan ada penulis yang melaporkan terjadinya ruptur spontan vesika urinaria.

B. Tujuan Penulisan Mengetahui dan memahami pengaruh tindakan persalinan pervaginam dan persalinan dengan vacum ekstraksi pada gemelli terhadap kejadian retensio urin.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. KEHAMILAN KEMBAR (GEMELLI) A. Definisi Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau lebih. B. Etiologi 1. Kembar Monozigotik Merupakan kehamilan kembar yang berasal dari satu ovum tunggal yang dibuahi yang kemudian membagi menjadi dua struktur yang sama, masing-masing dengan potensi untuk berkembang menjadi suatu individu yang terpisah. Sehingga disebut juga hamil kembar identik atau hamil kembar homolog atau hamil kembar uniovuler. Kehamilan kembar yang terjadi dari satu telur. Jenis kehamilan kedua anak sama, rupanya sama atau bayangan cermin : mata, kuping, gigi, rambut, kulit dan ukuran antropologik sama. Sidik jari dan telapak sama atau terbalik satu terhadap lainnya. Kira-kira 1/3 kehamilan ganda monozigot mempunyai 2 amnion, 2 korion, dan 2 plasenta, kadang-kadang 2 plasenta menjadi satu, 2/3 mempunyai 1 plasenta, 1korion dan 1 atau 2 amnion (Cunningham, 2005). Hasil akhir dari proses pengembaran monozigotik tergantung pada kapan pembelahan terjadi, dengan uraian sebagai berikut (Cunningham, 2005).: a. Apabila pembelahan terjadi didalam 72 jam pertama setelah pembuahan maka akan terbentuk dua mudigah, dua amnion dan dua korion. Aka terjadi kembar monozigotik, diamniotik dan dikorionik. Jumlah plasenta mungkin dua terpisah atau satu berfusi. b. Apabila pembelahan terjadi antara hari ke-4 dan ke-8 setelah massa sel dalam terbentuk dan sel-sel yang ditakdirkan menjadi korion sudah mulai berdiferensiasi tetapi sel-sel amnion belum, akan terbentuk dua mudigah, masing-masing dengan kantung amnion terpisah. Dua kantung amnion akhirnyaakan ditutupi oleh sebuah korion bersama

sehingga

dihasilkan

kembar

monozigotik,

diamnionik

dan

monokorionik. c. Apabila terjadi sekitar 8 hari setelah pembuahan, pembelahan akan menghasilkan dua mudigah di dalam satu kantung amnion bersama, atau kembar monozigotik, monoamnionik dan monokorionik. d. Apabila pembelahan dimulai lebih belakangan lagi, yaitu setelah lempeng ebrionik terbentuk maka pemisahan tidak lengkap dan terbentuk kembar siam. 2. Kembar Dizigot Dizigotik, atau fraternal, kembar yang ditimbulkan dari dua ovum yang terpisah. Kembar dizigotik terjadi dua kali lebih sering daripada kembar monozigotik dan insidennya dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain yaitu ras, riwayat keluarga, usia maternal, paritas, nutrisi dan terapi infertilitas. Kira-kira 2/3 kehamilan kembar adalah dizigotik yang berasal dari 2 telur. Jenis kehamilan sama atau berbeda, mereka berbeda seperti anak-anak lain dalam keluarga. Kembar dizigotik mempunyai 2 plasenta, 2 korion, dan 2 amnion, kadang-kadang 2 plasenta menjadi satu (Cunningham, 2005).. Tabel 2.1. Perbedaan kembar monozigotik dan dizigotik Perbedaan Plasenta Korion Amnion Tali pusat Sirkulasi darah Sekat kedua kantong Jenis kelamin Rupa dan sifat Kembar Monozigotik Kembar Dizigotik 1 (70%), 2 (30%) 1 (70%), 2 (30%) 1 (70%), 2 (30%) 2 Janin bersekutu 2 lapis sama sama 2 ( 100%) 2 ( 100%) 2 ( 100%) 2 terpisah 4 lapis Sama atau tidak Agak berlainan

Mata, telinga, gigi, sama kulit Ukuran antropologi sama Sidik jari Cara pegangan sama Sama atau kidal

Berbeda Berbeda Berbeda Sama, kanan keduanya

C. Patofisiologi Menurut Cuningham (2005) bahwa patofisiologi kehamilan ganda yaitu, kembar dizigotik sebenarnya bukan merupakan kembar sejati, karena kedua janin berasal dari imaturasi dan fertilisasi dua buah ovum selama siklus ovulatoir tunggal. Newman menulis "kembar adalah kembar, pembagian seseorang individu menjadi dua orang individu yang sama dan kurang lebih terpisah sama sekali". Demikian pula, kembar monozigot atau identik tidak selalu identik. Proses pembagian satu zigot yang telah dibuahi menjadi 2 buah individu yang tidak harus menghasilkan pembagian bahan-bahan protoplasma yang sama. Pada kenyataannya, kembar dizigot atau fraternal dengan jenis kelamin yang sama, dapat terlihat hampir mendekati kembar identik pada saat lahir dari pada yang terlihat pada kembar monozigot, pertumbuhan bayi kembar monozigot dapat berbeda dan kadangkala dramatis. D. Faktor Predisposisi Menurut Mansjoer (2001) bahwa faktor predisposisi dari kehamilan ganda yaitu: 1. Kehamilan Dizigotik : bangsa, herediter, umur, paritas, obat klomid dan hormongonadotropin yang merangsang ovulasi. Semakin tinggi umur makin tinggi frekuensinya. Frekuensi kehamilan kembar juga meningkat dengan paritas ibu. 2. Kehamilan Monozigotik: faktor penghambat yang mempengaruhi

segmentasi sebelum blastula terbentuk. Faktor yang mempengaruhi adalah: 1. Bangsa, umur dan paritas, sering mempengaruhi kehamilan kembar 2 telur.

2. Faktor obat-obat induksi ovulasi: Profertil, klomid, dan hormon gonadothropin dapat menyebabkan kehamilan dizigotik dan kehamilan lebih dari dua. 3. Faktor keturunan. 4. Faktor yang lain belum diketahui. Pada kehamilan kembar distensi uterus berlebihan, sehingga melewati batas toleransi dan seringkali terjadi partus prematurus. Lama kehamilan kembar dua rata-rata 260 hari, triplet246 hari dan kuadruplet 235 hari. Berat lahir rata-rata kehamilan kembar 2500 gram, triplet 1800 gram, kuadriplet

1400gram. Penentuan zigositas janin dapat ditentukan dengan melihat plasenta dan selaput ketuban pada saat melahirkan. Bila terdapat satu amnion yang tidak dipisahkan dengan korion maka bayi tesebut adalah monozigotik. Bila selaput amnion dipisahkan oleh korion, maka janin tersebut bisa monozigotik tetapi lebih sering dizigotik. Pada kehamilan kembar dizigotik hampir selalu berjenis kelamin berbeda. Kembar dempet atau kembar siam terjadi bila hambatan pembelahan setelah diskus embrionik dan sakus amnion terbentuk (Mansjoer, 2001) . Secara umum, derajat dari perubahan fisiologis maternal lebih besar pada kehamilan kembar dibanding dengan kehamilan tunggal. Pada trimester 1 sering mengalami nausea dan muntah yang melebihi yang dikarateristikan kehamilan-kehamilan tunggal. Perluasan volume darah maternal normal adalah 500 ml lebih besar pada kehamilan kembar, dan rata-rata kehilangan darah dengan persalinan vagina adalah 935 ml, atau hampir 500 ml lebih banyak dibanding dengan persalinan dari janin tunggal. Massa sel darah merah meningkat juga, namun secara proporsional lebih sedikit pada kehamilan-kehamilan kembar dua kali lebih sedikit dibanding pada kehamilan tunggal, yang menimbulkan anemia fisiologis yang lebih nyata. Kadar hemoglobin kehamilan kembar dua rata-rata sebesar 10 g/dl dari 20 minggu ke depan. Sebagaimana diperbandingkan dengan kehamilan tunggal, cardiac output meningkat sebagai akibat dari peningkatan denyut jantung serta peningkatan stroke volume. Ukuran uterus yang lebih besar dengan janin banyak meningkatkan perubahan anatomis yang terjadi selama kehamilan.

Uterus dan isinya dapat mencapai volume 10 L atau lebih dan berat lebih dari 20 pon. Khusus dengan kembar dua monozygot, dapat terjadi akumulasi yang cepat dari jumlah cairan amnionik yang nyata sekali berlebihan, yaitu hidramnion akut. Dalam keadaan ini mudah terjadi kompresi yang cukup besar serta pemindahan banyak visera abdominal selain juga paru dengan peninggian diaphragma. Ukuran dan berat dari uterus yang sangat besar dapat menghalangi keberadaan wanita untuk lebih sekedar duduk. Pada kehamilan kembar yang dengan komplikasi hidramnion, fungsi ginjal maternal dapat mengalami komplikasi yang serius, besar kemungkinannya sebagai akibat dari uropatiobstruktif. Kadar kreatinin plasma serta urin output maternal dengan segera kembali normal setelah persalinan. Dalam kasus hidramnion berat, amniosintesis terapeutik dapat dilakukan untuk memberikan perbaikan bagi ibu dan diharapkan untuk memungkinkan kehamilan dilanjutkan. Berbagai macam stress kehamilan serta kemungkinan-kemungkinan dari komplikasikomplikasi maternal yang serius hampir tanpa kecuali akan lebih besar pada kehamilan kembar. E. Diagnosis 1. Anamnesis Anamnesis yang dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis kehamilan kembar adalah riwayat adanya keturunan kembar dalam keluarga, ukuran perut lebih besar dari usia kehamilan, gerakan janin lebih banyak dirasakan ibu hamil dan adanya penambahan berat badan ibu menyolok yang tidak disebabkan obesitas atau edema. 2. Pemeriksaan Fisik Pada kehamilan ganda perlu dipikirkan bila dalam pemeriksaan ditemukan hal-hal seperti kesan uterus lebih besar dan cepat tumbuhnya dari kehamilan normal, banyak bagian kecil teraba, teraba tiga bagian besar, dan teraba dua balotemen, serta terdengar dua denyut jantung janin pada 2 tempat yang agak berjauhan dengan perbedaan kecepatan sedikitnya l0 denyut per menit atau sama-sama dihitung dan berselisih

3. Pemeriksaan Penunjang Ultrasonografi : terlihat 2 janin, dua jantung yang berdenyut dapat ditentukan pada trimester 1 Elektrokardiogram fetal : diperoleh dua EKG yang berbeda dari kedua janin Reaksi kehamilan : Karena pada hamil kembar umumnya plasenta besar atau ada dua plasenta" maka produksi HCG akan tinggi; jadi reaksi kehamilan titrasi bisa positif kadang-kadang sampai 1/200 4. Diagnosis Banding a. Hidramnion. Hidramnion dapat menyertai kehamilan kembar, kadang-kadang kelainan hanya terdapat pada satu kantong amnion, dan yang lainnya oligohidramnion. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan apakah pada hidramnion ada kehamilan kembar atau tidak. b. Kehamilan dengan mioma uteri atau kistoma ovarii. Tidak terdengarnya 2 denyut jantung pada pemeriksaan berulang, bagian besar dan kecil yang sukar digerakkan, lokasinya yang tak berubah, dan pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakan kedua hal tersebut. F. Penatalaksanaan Untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas perinatal pada kehamilan kembar, perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk mencegah terjadinya komplikasi sedini mungkin. Diagnosis dini kehamilan kembar harus dapat ditegakkan sebagai perencanaan pengelolaan kehamilan. Mulai umur kehamilan 24 minggu pemeriksaan antenatal dilakukan tiap 2minggu, dan sesudah usia kehamilan 36 minggu pemeriksaan dilakukan tiap minggu. Istirahat baring dianjurkan lebih banyak karena hal itu menyebabkan aliran darah ke plasenta meningkat agar pertumbuhan janin baik. Kebutuhan kalori, protein, mineral, vitamin dan asam lemak esential harus cukup oleh karena kebutuhan yang meningkat pada kehamilan kembar. Kebutuhan kalori harus ditingkatkan sebesar 300 kalori perhari. Pemberian 60 sampai 100 mg zat besi perhari, dan 1 mg asam folat diberikan untuk menambah zat gizi lain yang telah diberikan. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan untuk mengetahui

adanya diskordansi pada kedua janin pengukuran lingkar perut merupakan indikator yang sensitif dalam menentukan diskordansi (Mansjoer, 2001) . 1. Selama Kehamilan a. Perawatan prenatal yang baik untuk mengenal kehamilan kembar dan mencegah komplikasi yang timbul dan bila diagnosis telah ditegakkan pemeriksaan ulangan harus lebih sering (1 minggu sekali pada kehamilan lebih dari 32 minggu). b. Setelah kehamilan 30 minggu, koitus dan perjalanan jauh sebaiknya dihindari karena dapat merangsang partus prematurus. c. Pemakaian korset atau gurita yang tidak terlalu ketat diperbolehkan, supaya terasa ringan. d. Periksa darah lengkap, Hb dan Golongan darah. 2. Selama Persalinan a. Bila anak pertama letaknya membujur, kala 1 diawasi seperti biasa, ditolong seperti biasa dengan episiotomi medio lateralis. b. Setelah itu baru waspada, lakukan periksa luar, periksa dalam, untuk menentukan keadaan anak ke dua. Tunggu sambil memeriksa tekanan darah dan lain-lain. c. Biasanya dalam 10-15 menit his akan kuat lagi. Bila anak ke dua terletak membujur, ketuban dipecahkan pelan-pelan supaya air ketuban tidak mengalir deras keluar. Kemudian tunggu dan pimpin anak kedua seperti biasa. d. Waspadalah kemungkinan akan terjadinya perdarahan post partum, maka sebaiknya pasang infus profilaksis. e. Bila ada kelainan letak pada anak kedua, misalnya melintang atau terjadi prolaps tali pusat dan solusio plasenta, maka janin dilahirkan dengan cara operatif obstetrik. Pada letak lintang coba versi luar dulu, atau lahirkan dengan cara versi dan ekstraksi. Pada letak kepala, persalinan dipercepat dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps. Pada letak bokong atau kaki, ekstraksi bokong atau kaki f. Indikasi SC hanya pada janin pertama letak lintang, bila terjadi prolaps tali pusat, plasenta previa, terjadi interlo cking pada letak 69, anak pertama letak sungsang dan anak kedua letak kepala.

g. Kala IV diawasi terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan post partum. Berikan suntikan Sinto-Metrin yaitu 10 satuan Sintosinon tambah 0,2 mg Methergin intra vena. II. VAKUM EKSTRAKSI A. Definisi Vakum Ekstraksi merupakam tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Oleh karenaitu, kerjasama dan kemampuan ibu untuk mengekspresikan bayinya, merupakan faktor yang sangat penting dalam menghasilkan akumulasi tenaga dorongan dengan tarikan kearah yang sama. Tarikan pada kulit kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkramanyang dihasilkan dari aplikasi tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik akanmemegang kulit kepala yang akibat tekanan vakum, menjadi kaput artifisial. Mangkuk dihubungkan dengan tuas penarik (yang dipegang oleh penolong persalinan), melaluiseutas rantai. Ada 3 gaya yang bekerja pada prosedur ini, yaitu tekanan interauterin (olehkontraksi) tekanan ekspresi eksternal (tenaga mengedan) dan gaya tarik (ekstraksivakum) B. Indikasi Kala II lama dengan presentasi kepala belakang/vertex C. Kontra indikasi a. Malpresentasi (dahi, puncak, kepala, muka, bokong). b. Panggul sempit (disproporsi kepala-panggul) D. Syarat Khusus a. Pembukaan lengkap atau hampir lengkap b. Presentasi kepala c. Cukup bulan (tidak prematur) d. Tidak ada kesempitan panggul e. Anak hidup dan tidak gawat janin f. Penurunan H III/III+ g. Kontraksi baik h. Ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan

E. Penyulit Laserasi dan memar kulit kepala, hematom subgaleal, sefal hematom, perdarahan intracranial, ikterus neonatorum, perdarahan sukonjungtiva, fraktur klavikula, distosia bahu, cedera saraf kranialis ke-6 dan ke-7, perdarahan retina dan kematian janin. (Broekhuizen, Dell, Galbraith, Govaert, 1992). Cedera kulit kepala dan hematom yang bermakna serta hiperbilirubinemia yang diakibatkannya lebih sering terjadi pada pemakaian mangkuk logam daripada mangkuk lunak. Dalam suatu kajian terhadap vakum ekstraksi, cedera kulit kepala berkisar 0,8 sampai 33%, sefal hematom dari 1-26% dan perdarahan sugaleal dari 0 sampai 10%.

III. RETENSIO URIN A. Definisi


Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan urin sisa kurang dari 150 ml. Menurut Stanton, retensio urin adalah tidak bisa berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. (Junizaf, 2006). Literatur lain menyabutkan juga batas waktu kejadian retensio urin adalah 6-10 jam postpartum (Dona, 1990)

B. Etiologi Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensi urin post partum, yaitu : a. Trauma Intrapartum Trauma intrapartum merupakan penyebab utama terjadinya retensi urin, dimana terdapat trauma pada uretra dan kandung kemih. Hal ini terjadi karena adanya penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap uretra dan kandung kemih oleh kepala janin yang memasuki rongga panggul, sehingga dapat terjadi perlukaan jaringan, edema mukosa kandung kemih dan ekstravasasi darah di dalamnya. Trauma traktus genitalis dapat menimbulkan hematom yang luas dan meyebabkan retensi urin post partum. b. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra.

Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa ketakutan akan timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi sewaktu berkemih. Gangguan ini bersifat sementara. c. Hipotonia selama masa kehamilan dan nifas Tonus otot otot (otot detrusor) vesika urinaria sejak hamil dan post partum tejadi penurunan karena pengaruh hormonal ataupun pengaruh obat-obatan anestesia pada persalinan yang menggunakan anestesi epidural. d. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum membuat ibu sulit berkemih spontan. C. Klasifikasi Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf, yaitu : (Japardi, 2000) a. Supravesikal Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S24 dan Th1- L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya, misalnya : retensi urin karena gangguan persarafan. b. Vesikal Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan dengan masa kehamilan dan proses persalinan, misalnya : retensi urin akibat iatrogenik, cedera/inflamasi, psikis. c. Intravesikal Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor pada leher vesika urinaria, misalnya : retensi urin akibat obstruksi. Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu : (Rizki, 2009) a. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post partum tanpa gejala klinis) Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert dapat diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu setelah berkemih spontan yang dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase kandung kemih dengan kateterisasi. Wanita

dengan volume residu setelah buang air kecil 150 ml dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk pada kategori ini. b. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis). Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. Insidensi retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan, telah dilakukan penelitian analisis retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi urin jenis yang tampak (overt) secara klinis dibawah 0,14%. Sementara itu, untuk kedua jenis retensi urin, tercatat secara keseluruhan angka insidensinya mencapai 0,7% D. Diagnosis Gejala klinis yang timbul pada pasien denga retensio urin diantaranya adalah: a. Mengedan bila miksi b. Rasa tidak puas sehabis miksi c. Frekuensi miksi bertambah d. Nokturia atau pancaran kurang kuat e. Ketidak nyamanan daerah pubis f. Distensi vesika urinaria Pemeriksaan klinis pada pasien dengan retensio urin didapatkan adalanya massa sekitar daerah pelvik. Vesika urinaria dapat teraba transabdominal jika isinya berkisar antara 150-300 ml. Pemeriksaan bimanual biasanya meraba vesika urinaria bila terisi > 200 ml. Pemeriksaan uroflowmetri merupakan salah satu pemeriksaan yang sederhana untuk melihat adanya gangguan berkemih yang pada pasien normal akan terlihat gambaran dengan flow rate >15-20 ml/detik untuk volume urin minimal 150 ml. Pada pasien dengan gangguan berkemih ditemukan penurunan peak flow rate dan perpanjangan waktu berkemih. Pemeriksaan urin residu adalah sisa volume urin dalam kandung kemih setelah penderita berkemih spontan. Pada pasien pasca bedah ginekologi setelah kateter dilepas selama 6 jam didapatkan retensi urin apabila urin residu

> 100 ml, sedangkan pada pasien pasca bedah obstetrik setelah kateter dilepas selama 6 jam didapatkan volume residu > 200 ml. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan ultrasonografi untuk mengukur volume residu urin. Diagnosis nilai normal fungsi bekemih pada wanita adalah : a. Volume residu < 50 ml b. Keinginan yang kuat timbul setelah pengisisan >250 ml c. Kapasitas sistometri <50 cm H2 O d. Flow rate > 15 ml/detik E. Patofisiologi Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu : (Ganong, 2000) 1. pengisian dan penyimpanan urin, serta 2. pengosongan urin dari kandung kemih. Proses ini sering berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot detrusor kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik (Ganong, 2000). Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraksi otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan uretra proksimal (Japardi, 2000). Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi yang simultan dari otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkolin. Penyampaian impuls dari saraf aferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion medulla spinalis di segmen S2 - S4 dan selanjutnya sampai ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan, sehingga timbul kembali kontraksi otot detrusor (Japardi, 2000). Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak

sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik(Saultz, 2001; Andolf, 1995). F. Penatalaksanaan 1. Bladder Training Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran urin. Dengan bladder training diharapkan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan dapat terjadi dalam 2- 6 jam post partum (Josoprawiro, 2001). Ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa residu urin minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari 150 ml residu urin , drainase kandung kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml (Andi, 2008). Program latihan bladder training meliputi : penyuluhan, upaya berkemih terjadwal, dan memberikan umpan balik positif. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan meningkatkan kemampuan berkemih (Yustini, 2008). a. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non invasif agar pasien tersebut dapat berkemih spontan. b. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke toilet untuk berkemih spontan Terapi medikamentosa c. Diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik. Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi kandung kemih.

d. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu dilakukan kateterisasi urin, jika perlu lakukan berulang. 2. Hidroterapi Hidroterapi merupakan terapi alternatif yang sudah lama dikenal dan dilakukan secara luas pada bidang naturopathy akhir-akhir ini. Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat dari

hidroterapi. Dari beberapa literatur, diketahui manfaat dari hidroterapi adalah untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga dapat memperbaiki fungsi jaringan dan organ. Hidroterapi banyak digunakan sebagai terapi alternatif untuk pemulihan, salah satunya dapat mencegah terjadinya retensi urin pada masa post partum dengan pertimbangan non invasif, mudah dilakukan, murah, efek samping minimal dan dapat dikerjakan sendiri (Nikolai, 2008). a. Rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat Beberapa literatur mendukung hidroterapi dengan air hangat dengan suhu 106-110F (41-43C). Batas suhu tersebut dianggap fisiologis untuk hidroterapi dan telah diuji melalui beberapa penelitian dengan risiko terjadinya heatstroke yang minimal. Terapi air hangat pada kulit, khususnya pada organ urogenitalia eksterna menimbulkan sensasi suhu pada nerve ending (ujung saraf) pada permukaan kulit. Sensasi ini mengaktivasi transmisi dopaminergik dalam jalur mesolimbik sistem saraf pusat (Nikolai, 2008). Diketahui pada jalur persarafan, perangsangan oleh satu fungsi sensasi akan menghambat fungsi sensasi yang lain. Sebagai contoh, beberapa area di medulla spinalis menghantarkan sinyal yang diperoleh dari nosiseptor (reseptor rasa nyeri) dan reseptor taktil (reseptor sensasi suhu). Perangsangan reseptor taktil oleh suhu akan menghambat transmisi impuls nyeri dari nosiseptor, sebaliknya stimulasi nyeri dapat menekan transmisi siyal yang diterima dari reseptor taktil. Hal ini dikenal dengan teori pintu gerbang (gate teory) (Jenny, 2002).

Transmisi sinyal yang diperoleh dari reseptor saraf yang satu akan menghambat jalur transmisi untuk sensasi lain. Hal ini disebut blocking the gate atau dengan kata lain, sensasi suhu dari air hangat yang diterima reseptor taktil akan menghambat jalur transmisi rasa nyeri yang diterima oleh reseptor nosiseptor. Sehingga sensasi rasa nyeri dapat berkurang (Jenny, 2002). Terapi air hangat memberikan efek crowding process (proses pengacauan) pada sistem saraf karena mengakibatkan rasa nyeri terhambat oleh sensasi suhu yang diterima oleh nerve ending yang bertanggung jawab terhadap sensasi suhu (nerve endings Ruffini dan Krause). sehingga memberikan efek penekanan atau pengurangan rasa nyeri (analgesia) (Jenny, 2002). Selain itu, manfaat paparan lokal air hangat dapat

mengakibatkan peningkatan kadar beta endorphin dalam darah. Beta endorfin diketahui sebagai anti nyeri endogen yang dapat menimbulkan perasaan relaksasi. b. Rasionalisasi hidroterapi dengan air dingin Seperti halnya hidroterapi dengan air hangat, rasionalisasi hidroterapi dengan air dingin juga mengakibatkan terjadinya proses blocking the gate (sensasi suhu dari air dingin yang diterima reseptor taktil akan menghambat jalur transmisi rasa nyeri yang diterima oleh reseptor nosiseptor.). Pada hidroterapi air dingin juga terjadi efek pengacauan crowding process. Sehingga air dingin juga dapat menekan sensasi rasa nyeri (Jenny, 2002).. Selain itu, air dingin juga menghasilkan efek elektroshock ringan pada korteks serebri karena kuantitas yang banyak dari nerve ending yang bertanggung jawab terhadap reseptor dingin pada kulit. Hidroterapi dengan air dingin dapat mengirim sejumlah besar impuls dari ujung saraf perifer (nerve endings) ke otak, sehingga menghasilkan efek analgesia yang lebih besar (Jenny, 2002). Dari literatur disebutkan bahwa hidroterapi dengan air dingin pada suhu 55 - 75F (12 - 24C) bermanfaat pada penyembuhan luka

perineum. Hidroterapi dengan air dingin mengakibatkan penurunan metabolisme sel dan pengurangan penggunaan oksigen di sekitar jaringan yang tidak luka. Beberapa penelitian juga telah

menunjukkan terapi air dingin menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan sirkulasi vena. Dengan terjadinya vasokonstriksi vena, maka membantu proses drainase pada jaringan edema oleh pembuluh limfe. Dengan terjadinya vasokonstriksi pada jaringan edema, cairan intersellular yang tertahan akan mengalir secara perlahan melalui jaringan ikat di antara serabut otot ke dalam saluran limfe. Selain itu, proses drainase ini juga difasilitasi oleh pompa yang terjadi akibat kontaksi dan relaksasi otot (De Cheney, 2006). Karena itu, hidroterapi dengan air dingin pada ibu post partum spontan yang mengalami laserasi perineum dapat menjadi salah satu manajemen luka perineum untuk penanganan edema perineum selain penanganan higienis perineum dan kuratif dengan medisinal. Dari satu penelitian dilaporkan insidensi penyembuhan luka laserasi perineum dengan hidroterapi sebesar 84 % pada sepuluh hari periode post partum. Penyembuhan lambat sebesar 4,3 %, kejadian Infeksi perineum 1,2 % dan penyembuhan tidak sempurna sebesar 4,8 %. Sedangkan kejadian edema perineum ringan akan sembuh pada 3 4 hari post partum (Jenny, 2000). c. Jenis-jenis Hidroterapi (Jenny, 2000; De Cheney, 2006) 1) Hidroterapi Kontras Alternatif terapi menggunkan air hangat dan dingin merupakan salah satu jenis hidroterapi. Penggunaan air hangat adalah untuk membuat terjadinya vasodilatasi, sedangkan penggunaan air dingin untuk membuat terjadinya vasokonstriksi. Aplikasi dari terapi ini dapat dilakukan pada jaringan atau organ tubuh yang inflamasi dan kongesti. 2) Berendam dan Mandi Berendam dan mandi dengan air hangat dan dingin, akhir-akhir ini diteliti mempunyai manfaat untuk kesehatan dan membantu

proses penyembuhan karena dapat membantu relaksasi dan mengurangi stres. Mandi dengan air dingin dapat menstimulasi sistem imun dan memperbaiki sirkulasi darah. 3) Hot Foot Bath Terapi rendam kaki dengan air hangat direkomendasikan untuk kaki yang kram, nausea, demam, insomnia, kongesti pelvis. 4) Heating Compress Kompres dengan air hangat dianggap bermanfaat untuk memperbaiki sirkulasi darah, terutama pada engorgement payudara post partum. 5) Constitutional Hidroterapi Ahli Naturopati sering menggunakan alternatif terapi air untuk kesehatan dan memperbaiki sistem imun. Metode ini

menggunakan handuk yang direndam ke dalam air hangat dan dingin lalu di aplikasikan pada punggung dan dada yang nyeri. 3. Bladder training dengan Sitz Bath Dari berbagai literatur, Sitz bath terbukti bermanfaat untuk terapi pemulihan. Terapi ini menggunakan prinsip hidroterapi pada posisi duduk (Sitz bath). Aplikasi prinsip hidroterapi ini untuk menstimulasi sirkulasi daerah pelvis. Hidroterapi ini menggunakan alternatif air dingin dan hangat. Kontraindikasi metode ini adalah pada pasien dengan penyakit tromboemboli vena seperti deep vein thrombosis (DVT), infeksi kandung kemih dan gangguan sensasi saraf perifer (penyakit

serebrovaskular) (Jenny, 2000) Petunjuk melakukan metode ini, diawali dengan pengisian air hangat pada kantung air alat Sitz bath sampai 1500 ml. Setelah pasien diposisikan duduk pada alat Sitz bath, kemudian klem pada selang dibuka sehingga terpancar aliran air mengenai organ urogenitalia eksterna dan mengisi alat Sitz bath sampai mencapai ukuran kedalam air 3-4 inchi dari dasar alat Sitz bath, sehingga air dapat merendam sebagian bokong dan organ urogenital eksterna pada air yang dialirkan pada selang ke dalam alat Sitz bath. Aplikasi ini menggunakan air hangat (106-110F, 41-

43C), setelah itu diganti dengan menggunakan air dingin (55-75F, 1224C). Berdasarkan literatur, proses berendam diupayakan senyaman mungkin selama + 10 20 menit. Dimana alat terapi Sitz bath disesuaikan dengan bentuk dan ukuran pasien (Jenny, 2000).
0 0

Hidroterapi dengan suhu air hangat (106-110F, 41 C 43 C) merupakan suhu air dalam batas fisiologis yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan pasokan darah yang akan meningkatkan oksigenisasi ke jaringan. Selain itu, dapat menimbulkan sensasi suhu terhadap nerve endings kulit pada organ urogenitalia eksterna, menstimulus jalur persarafan, menghilangkan rasa nyeri dan membantu proses relaksasi dari sfingter uretra sehingga dapat tercapai fungsi eliminasi berkemih spontan dari ibu post partum spontan. Hidroterapi dengan air dingin bersuhu 55-75F, 12-24C juga dapat menimbulkan efek analgesia dan membantu mengurangi edema jaringan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat dan dingin (Jenny, 2000).

Gambar 2.1. Sitz Bath

RETENSIO URIN

Kateterisasi Urinalisis, Kultur Urin Antibiotika, banyak minum (3 liter/24 jam), prostaglandin
Urin < 500 ml Urin 500-1000 ml Urin 1000-2000 ml Urin > 2000 ml

Intermiten

Dauer Kateter 1 x 24 jam

Dauer Kateter 2 x 24 jam

Dauer Kateter 3 x 24 jam

Buka - tutup kateter per 4 jam Selama 24 jam (Kecuali pasien sudah BAK dapat dibuka)

Kateter di lepas pada pagi hari

Dapat BAK spontan

Tidak dapat BAK spontan

Urin residu > 200 ml (obstetric) Urin residu > 100 ml (ginekologi)

Urin residu < 200 ml (obstetric) Urin residu < 100 ml (ginekologi)

Pulang Keterangan : Intermiten adalah kateterisasi selama 4 jam selama 24 jam

BAB III LAPORAN KASUS

A. Identitas Nama Usia Pendidikan Agama Suku/bangsa Pekerjaan Alamat Nomor CM Masuk RS : Ny. R : 20 tahun/6 bulan/17 hari : SMA : Islam : Jawa : Ibu rumah tangga : Banjarsari kidul, Sokaraja, Kab. Banyumas : 874463 : 2 Desember 2011

B. Anamnesis 1. Keluhan utama 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan kenceng-kenceng yang sering 4 kali dalam 10 menit yang dirasakan sejak pukul 08.00 WIB (2-12-2011). Kenceng disertai pengeluaran air merembes sejak pukul 08.00 WIB dan pengeluaran lendir dan darah. Pasien mengatakan bahwa hari pertama hari terakhir haid (HPHT) adalah tanggal 10 Maret 2011 (1003-2011). Hari perkiraan lahir pada tanggal 17 Desember 2011 (17-122011). Usia Kehamilan 37 minggu lebih 6 hari. 3. Riwayat Penyakit Dahulu a. Penyakit Jantung b. Penyakit Paru c. Penyakit DM d. Penyakit Ginjal e. Penyakit Hipertensi f. Penyakit Kista g. Penyakit Tumor : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : Kenceng-kenceng

4. Riwayat Penyakit Keluarga a. Penyakit Jantung b. Penyakit Paru c. Penyakit DM d. Penyakit Ginjal e. Penyakit Hipertensi f. Tumor 5. Riwayat menstruasi : a. Menarche b. Lama haid c. Siklus haid d. Dismenorrhoe e. Jumlah darah haid 6. Riwayat Pernikahan Pasien menikah 1 kali dan usia pernikahannya sudah 1 tahun 7. Riwayat Obstetri G1P0A0 8. Riwayat Ginekologi a. Riwayat Operasi b. Riwayat Kuret c. Riwayat Keputihan 9. Riwayat KB belum pernah menggunakan KB 10. Riwayat Sosial Ekonomi : : tidak ada : tidak ada : tidak ada : 14 tahun : 7 hari : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

: teratur 28 hari : ada : sehari ganti pembalut 3-4 kali

Sehari-hari pasien sebagai ibu rumah tangga yang tinggal di rumah, suami bekerja sebagai buruh. Kesan : Sosial ekonomi menengah ke bawah. B. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : Sedang Kesadaran Vital sign Tekanan darah : 110/70 mmHg : Composmentis

Nadi Respirasi Rate Suhu Berat badan Tinggi badan BMI Status generalis Kulit Kepala Mata

: 84 kali/ menit, regular. : 20 kali/ menit : 36 C : 57 kg : 165 cm : 22,65 kg/m2 (normal)

: Warna sawo matang, tidak tampak pucat : Mesosefal : Konjungtiva mata kanan dan kiri tidak anemis tidak ada skela ikterik pada mata kanan dan kiri

Telinga

: Pendengaran baik, tidak ada ottorhea, tidak ada nyeri tekan mastoid

Hidung Mulut Tenggorokan

: Tidak ada deviasi septum, tidak keluar secret : Tidak ada gusi berdarah, bibir sianosis : Tidak ada pembesaran tonsil, faring tidak hiperemis

Leher

: Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfonodi tidak teraba massa

Thorax a. Mamae massa b. Paru Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris : Puting susu normal, tidak ada nanah,tidak teraba

(tidak ada gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium intercostalis. Palpasi sama dengan kiri Perkusi Auskultasi : Sonor pada seluruh lapang paru : Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan

basah kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing.

c. Jantung Inspeksi Palpasi :Tidak ada pulsasi ictus cordis di dinding dada :Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V 2 jari medial LMC sinistra Perkusi :Batas jantung kanan atas SIC II LPSD Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD Batas jantung kiri atas SIC II LPSS Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS Auskultasi :S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan gallop. d. Anggota gerak Edema Tremor Motorik Reflek fisiologis Reflek patologis Status lokalis abdomen Inspeksi Perkusi Palpasi : Cembung gravid : Pekak : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (-), Tinggi Fundus Uteri 38 cm Pemeriksaan Leopold : L1 : teraba dua bagian bulat lunak di bagian fundus. L2 : teraba dua bagian tahanan memanjang di perut sebelah kanan dan kiri ibu L3 : teraba dua bagian bulat keras, sudah masuk pintu atas panggul L4 : divergen Superior -/-/+5/+5 +N/+N -/Inferior -/-/+5/+5 +N/+N -/-

Auskultasi

: Bising usus normal (2 kali dalam 10 detik), Denyut Jantung Janin I (12-11-11), denyut jantung janin II (12-11-12)

Status genitalia Pemeriksaan Genitalia Eksterna a. Leukorrhea (-), pengeluaran air (+), pengeluaran lendir darah (+) b. Vulva & vagina : tidak ada kelainan c. Urethra : dalam batas normal

Pemeriksaan vagina toucher : a. b. Vulva Pembukaan : Lendir darah (+), pengeluaran air (+) : Pembukaan 7 cm, Portio tipis, Kulit ketuban (-), Kepala turun di Hodge II lebih C. Diagnosis Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosis : G1P0A0, 20 tahun, Usia kehamilan 37 minggu lebih 6 hari, Janin ganda hidup intra uterin, letak memanjang preskep-preskep, gemeli, inpartu kala 1 fase aktif. D. Plan 1. Pemeriksaan darah lengkap Laboratorium 2-12-2011 Darah lengkap Hb Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW MPV : 10,7 : 11.370 : 34% : 4,0 : 246.000 : 84 : 26,7 : 31,8 : 19,9 : 10,1 (12 16 g/dl) (4.800 10.800 / QL) (37 47 %) (4.2 5.4 jt/ml) (150.000 450.000 /QL) (79,0 99,0 fl) (27,0 31,0 pg) (33,0 37,0 %) (11,5 14,5 %) (7,2 11,1 fl)

Hitung jenis leukosit Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit PT APTT 2. Sikap Tanggal 02-12-2011 :  Pukul 10.25 dilakukan : Pasien dikirim ke tindakan persalinan dan VK belakang untuk : 0,1 : 0,1 : 0,00 : 79,7 : 13,7 : 6,4 14,3 20,2 ( 0,0-1,0 %) ( 2,0-4,0 %) ( 2-5 %) ( 40-70 %) ( 25-40 %) ( 2-8 %)

pengawasan.

Dilakukan

pemeriksaan TD : 110/70 mmHg, N : 82 kali per menit, RR : 18 kali per menit, Palpasi TFU : 38 cm, denyut jantung janin I (11-11-11), denyut jantung janin II (12-11-11). Kemudian dilakukan VT pembukaan 8 cm, Kulit ketuban (-), dan kepala turun di hodge II lebih, His (+) sering  Pukul 11.30 : Pengawasan terhadap denyut jantung janin I

(11-11-11), denyut jantung janin II (12-11-11), His (+) sering, N : 88 kali permenit.  Pukul 12.00 : Pembukaan lengkap, Kulit ketuban (-), Kepala

turun di hodge III +, Pimpin persalinan.  Pukul 12. 15 : Bayi I lahir spontan, perempuan, dengan apgar

score 8-9-10 dilanjutkan drip synto 5 IU, kemudian ketuban dipecah. Bayi I Jenis kelamin Berat badan Panjang badan Lingkar kepala Lingkar dada Anus : Perempuan : 3000 gr : 48 cm : 34 cm : 30 cm : +

Kelainan  Pukul 12.45

: : Bayi II lahir dengan vacum ekstraksi, laki-laki,

dengan apgar score 8-9-10. Bayi II Jenis kelamin Berat badan Panjang badan Lingkar kepala Lingkar dada Anus Kelainan  Pukul 13.00 : Laki-laki : 3100 gr : 50 cm : 34 cm : 31 cm : + : : Plasenta lahir lengkap dizigotik (dua telor),

kontraksi uterus lembek lalu dilakukan drip synto 20 IU dan Inj metergin. Kontraksi uterus keras, perdarahan berhenti. Kemudian dilakukan penjahitan karena episiotomi pada perineum.

Tabel 3. 1. Pengawasan 2 jam post partum Jam Ke Waktu Tekanan Nadi Darah Tinggi Fundus Uteri 1 13.00 13.15 13.30 13.45 2 14.15 14.45 140/80 140/80 130/90 130/90 120/80 120/80 96 92 100 100 92 92 sepusat sepusat sepusat sepusat sepusat sepusat (+) keras (+) keras (+) keras (+) keras (+) keras (+) keras kosong kosong kosong kosong kosong kosong Kontraksi Uterus Vesica Urinari Perdarahan Per Vaginam (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal

E. Catatan perkembangan pasien selama di bangsal


Tgl 3-122011 S Belum BAK O KU: Sedang /CM TD : 110/70 mmHg N: 82 x/menit RR: 20 x/menit S: 37 oC Mata: CA-/-SI -/A P2A0, 20 tahun, post partum An I : spontan An II : Vacum ekstraksi atas    P Amoxicilin 3 x 500 mg Vit B/C/BC 2 x1 Paracetamol 3 x 500 mg

4-122011

Tidak ada keluhan

5-122011

Sakit perut sebelah kiri

Thorax: C dbn P: dbn Abdomen: I: cembung , Aus : BU (+), Per: pekak, Pal:supel, TFU : 2 jari di atas pusat Ekstrimitas inferior edema -/PPV (+), BAK (-), BAB (-), flatus (+) KU: Sedang /CM TD : 110/80 mmHg N: 100 x/menit RR: 20 x/menit S: 37 oC Mata: CA-/-SI -/Thorax: C dbn P: dbn Abdomen: I: cembung , Aus : BU (+), Per: pekak, Pal: supel, 2 jari di bawah pusat Ekstrimitas inferior edema -/PPV (+), BAK (+), BAB (-), flatus (+) KU: Sedang /CM TD : 11/80 mmHg N: 72 x/menit RR: 20 x/menit S: 37 oC Mata: CA-/-SI -/Thorax: C dbn P: dbn Abdomen: I: cembung , Aus : BU (+), Per: pekak, Pal: supel, 2 jari di bawah pusat Ekstrimitas inferior edema -/PPV (+), BAK (+), BAB (-), flatus (+)

indikasi ibu kelelahan dengan retensio urin

Bladder training

P2A0, 20 tahun, post partum An I : spontan An II : Vacum ekstraksi atas indikasi ibu kelelahan

  

Amoxicilin 3 x 500 mg Vit B/C/BC 2 x1 Paracetamol 3 x 500 mg

P2A0, 20 tahun, post partum An I : spontan An II : Vacum ekstraksi atas indikasi ibu kelelahan

  

Amoxicilin 3 x 500 mg Vit B/C/BC 2 x1 Paracetamol 3 x 500 mg

Persiapan pasien untuk pulang Kontrol poli kandungan dan kebidanan

BAB IV PEMBAHASAN

Anamnesis

tidak bisa BAK 24 setelah melahirkan

Nn. R (20 tahun)

Pemeriksaan fisik

Palpasi abdomen VU kesan penuh

Pemeriksaan penunjang

Tidak ada kelainan pada pemeriksaan Lab


Antibiotik (Amoxcicillin), Bladder Trining

Penatalaksanaan etiologi
Primigravida muda (20 tahun)

Gemelli

Kala II Lama

Retensio Urin

Tindakan episiotomy Tindakan vacuum Gambar 4. 1. Skema. Kerangka pemikiran kasus Nn. R

Kehamilan adalah waktu dimana terjadi perubahan sistem tubuh baik secara anatomi dan fungsi, hal ini juga terjadi dalam sistem saluran kemih. Saluran kemih bagian atas yaitu ginjal dan ureter akan mengalami pelebaran dan fungsi ginjal akan mengalami perubagan. Ginjal dan saluran kemih memiliki

peranan penting dalam adaptasi ibu terhadap kehamilannya, namun perubahan yang sangat jelas terjadi adalah terjadi perubahan pada sistem saluran kencing bagian bawah (Cutner, 1997). Fisiologis pada kehamilan dimulai dari trimester ketiga otot-otot kandung kemih kehilangan tonusnya dan kapasitas kandung kemih pada ibu hamil meningkat secara perlahan. Wanita hamil memiliki rasa untuk berkemih biasanya saat kandung kemih berisi urin sekitar 250-400 ml dan pada posisi terlentang rasa ingin berkemih saat kandung kemih berisi 1000-1200 ml urin. Ketika masa kehamilan rahim akan semakin membesar dan mendesak kandung kemih, sehingga kerja kandung kemih meningkat 2 kali lipat daripada sebelum hamil. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada minggu ke 38 kapasitas kandung kemih akan menurun dan akan menghilang setelah melahirkan namun setelah persalinan justru otot-otot kandung kemih akan menjadi hipotonik yang akan bertahan selama beberapa hari. Hal tersebut yang sering mngakibatkan terjadinya retensio urin post partum (Glavind, 2003) Patofisiologi terjadinya retensio urin postpartum belum jelas namun banyak penyebab yang mengakibatkan terjadinya retensio urin postpartum seperti promigravida, kala I lama atau Kala II lama, Tindakan persalinan yang dilakukan, tindakan augmentasi, dan epidural analgesia. Penelitian yang dilakukan oleh Teo tahun 2007 yang meneliti karakteristik pasien yang mengalami retensio urin post partum yaitu pasien dengan kelahiran pervagina dengan primigravida, kala I dan kala II lama, tindakan augmentasi, tindakan episiotomy, tindakan persalinan sperti vacuum ekstraksi dan forsep, serta epidural analgesia memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian retensio urin postpartum. Kasus yang diangkat memiliki resiko-resiko terhadapat kejadian retensio urin hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : pada tanggal 2 Desember 2011, Ny. R berusia 20 tahun, melahirkan spontan dan melahirkan dengan vacuum ekstraksi neonatus hidup. Anak I : Perempuan, Berat Badan 3000 gr, Panjang Badan 48 cm, Apgar Score 8-9-10. Anak II laki-laki Berat Badan 3100 gr, Panjang Badan 50 cm, Apgar Score 8-9-10. Tanggal 3 Desember 2011 Ny. R mengeluhkan tidak dapat buang air kecil walaupun sudah mengedan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran komposmentis,

tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 82 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu37 C. Pada pemeriksaan luar obstetri didapatkan abdomen cembung, tinggi fundus uteri 2 jari di atas pusat, pda palpasi pelvic teraba kandung kemih membesar dan berisi penuh dengan urin. Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien tersebut dapat di jelaskan pada bagan berikut : RETENSIO URIN
Kateterisasi Urinalisis, Kultur Urin Antibiotika, banyak minum (3 liter/24 jam), prostaglandin

Urin 500-1000 ml

Dauer Kateter 1 x 24 jam

Buka - tutup kateter per 4 jam Selama 24 jam (Kecuali pasien sudah BAK dapat dibuka)

Kateter di lepas pada pagi hari

Dapat BAK spontan

Urin residu < 200 ml (obstetric)

Pulang

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik-obstetri dan pemeriksaan penunjang, pasien ini didiagnosis P2A0, 20 tahun, post partum An I : spontan An II : Vacum ekstraksi atas indikasi ibu kelelahan dengan retensio urin. Hal-hal yang menyebabkan retensio urin postpartum pada kasus tersebut disebabkan karena a. Pasien adalah primigravida muda yang baru 1 kali mengalami kehamilan, dan usia masih 20 tahun. Pada primigravida tubuh masih beradaptasi menghadapi masa kehamilan (Teo, 2007) b. Kehamilan gemelli yang mengakibatkan uterus lebih besar dari ukuran kehamilan yang normal, sehingga desakan pada kandung kemih semakin besar dan mengakibatkan otot-otot kandung kemih (m. destrusor) menjadi hipotoni setelah persalinan (Teo, 2007) c. Kala II lama yang terjadi saat persalinan kedua merupakan resiko terjadinya retensio urin, kepala yang sudah turun pada Hodge III serta ibu yang sudah kelelahan untuk mengejan mengakibatkan penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap uretra dan kandung kemih oleh kepala janin yang memasuki rongga panggul merupakan salah satu penyebab terjadinya retensio urin post partum. Penekanan akan semakin memberat ketika bayi akan dilahirkan, hal itu memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan tersebut akan menghilang setelah bayi dilahirkan yang menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung beberapa lama (Teo, 2007). d. Tindakan episiotomy yang dilakukan menyebabkan trauma pada perineum, penjahitan pada perineum, penyembuhan yang lebih lama, dan rasa nyeri. Selain itu akibat dari episiotomy juga mengakibatkan laserasi periuretra, trauma tersebut yang diduga mengakibatkan retensio urin postpartum (Hamburg, 2001) e. Tindakan persalinan dengan menggunakan vacuum ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan tenaga medis dan tenaga ibu juga dapat mengakibatkan retensio urin postpartum. Hal tersebut disebabkan karena trauma akibat

dilakukannya penarika sehinggak mengakibatkan trauma pada uretra sehingga terjadi retensio urin (Hamburg, 2001) Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi yang simultan dari otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Retensio urin yang terjadi pada pasien ini terjadi akibat dari dissinergis antara otot detrussor dengan relaksasi sfingter uretra yang tidak sempurna. Menurut Saultz (2001) terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak sempurna tersebut menyebabkan nyeri dan edema, sehingga ibu post partum tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik.

BAB V KESIMPULAN

1. Diagnosis kasus P2A0, 20 tahun, post partum An I : spontan An II : vacum ekstraksi atas indikasi ibu kelelahan dengan retensio urin 2. Hal-hal yang menyebabkan retensio urin pada kasus yang diangkat adalah : a. Primigravida muda b. Kehamilan Gemelli c. Kala II lama d. Tindakan episiotomi e. Tindakan persalinan dengan Menggunakan Vacum ekstraksi 3. Penatalaksanaan pada pasien ini adalah kateterisasi urinalisis, kultur urin antibiotika, banyak minum (3 liter/24 jam). Kemudian dilakukan bladder training dengan pemasangan dauer kateter 1 x 24 jam 4. Prognosis pada pasien ini adalah ad vitam ad bonam dan ad functionam ad bonam

DAFTAR PUSTAKA

Andi. Retensio Urin Post Partum. Dalam : Jurnal kedokteran Indonesia, Vol. 20, Februari 2008. Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidious urinary retention after vaginal delivery, prevalence and symptoms at follow up in population based study. Gynecol Obstet Invest 1995; 38:51-3 Blazickova, S., Rovensky, J., Koska, J., Vigas, M., Effect of Hyperthermic Water Bath on Parameters of Cellular Immunity, International Journal of Clinical Pharmocology Residents 20. 1-2 (2000): 41-6. Cunningham F.G., Gilstrap LC., VanDorsten JP. 2005. Obstetry Williams. 1nd Edition. McGraw-Hill Medical Publlishing Division, New York. De Cheney AH, Nathaan L. Current obstetric and gynecologic diagnosis and
th

treatment, 10 edition. Mc. Graw Hill, Inc. 2006. Donna, Fiderkow.M, H.P. Drutz, T.C. Mainprize. 1990. Characteristic of Patients with Postpartum Urinary. The International Urogynecology Journal. 1: 136-138. Ganong W F, Fungsi Ginjal dan Miksi. Fisiologi Kedokteran Edisi 20 EGC Jakarta, 2000. Glavind, Karin. Jonna Bjork. 2003. Incidence and Treatment of Urinary Retention Postpartum. Int Urogynecol J. 14: 119-121 Humburg, Joerg, Carolyn Troeger, Wolfgang Holgreve, Irene Hoesli. Risk Factor in Prolonged Postpartum Urinary Retention : an Analysis of six case.2011 Arch Gynecol Obstet. 283:179-183 Japardi I,Manifestasi Neurologis Gangguan Miksi, Bagian Bedah, FKUSU, 2000 Jenny G. Evidence for Effective Hydrotherapy. Physiotherapy, Systematic review, evidence-basedresearch, 2002;88, 9, 514-529. Junizaf. Penanganan Retensi Urin Pasca Persalinan, Uroginekologi 1 Sub bagian Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri Ginecologi FKUI Jakarta, 2002 Kavin G, Jonna B, et al. Incidence and treatment of urinary retention postpartum. Int Urogynecol Journal 2003; 14:119-21

Nikolai A, Shevchuk. Hydrotherapy as a possible neuroleptic and sedative treatment. Molecular Radiobiology Section. USA. 2008. Pribakti B. Tinjauan kasus Retensi urin postpartum di RS.Unlam/RS.Ulin Banjarmasin 2002-2003. Dexa Medica, 2006; Rizki, TM, Tesis Kejadian retensi urin paska seksio sesarea dan bedah ginekologi di RSUP. H. Adam malik Medan, Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU, 2009. Saultz JW, Toffler WL, Shackles JY. Postpartum urinary retention, Department of Family Medicine, Oregon Health Sciences University, Portland, 2001. Teo, Roderick. Jaenatte Punter, Keith Abrams, Christoper Mayne, Douglas Tincello. 2007. Clinically overt postpartum urinary retention after vaginal delivery: a retrospective case control study. The International Urogynecology. 18:521-524 Yip S, Bringer G, Hin L, et al. Urinary retention in the post partum period. Acta Obstet Gynecol Scand 1997:667-72 Yustini,E, dkk. Efektivitas Bladder training terhadap BAK spontan post partum. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Vol.32:4. Oktober 2008

Anda mungkin juga menyukai