Anda di halaman 1dari 4

Herpes Simpleks

1. Definisi
Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis)
tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan
infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.

2. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks
tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II
biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan
aktivitas seksual.

3. Etiologi
HSV I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus DNA.
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media
kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).

4. Patogenesis
Infeksi primer HSV bermula pada mukosa di tempat inokulasinya, dengan
infeksi yang menyebar ke ganglia saraf sensoris. Mengikuti resolusi dari infeksi
primer, HSV memasuki fase laten di ganglia saraf sensoris, dimana reaktivasi
dari HSV ini menyebabkan aktifnya infeksi di mucosal sites yang diinervasi oleh
ganglia saraf tersebut.
Selama infeksi primer HSV, natural killer cells adalah mekanisme imunitas
yang terpenting. Aktivasinya tergantung dari produksi sitokin yang merupakan
respons terhadap infeksi. Sitokin ini juga memiliki efek langsung dan tidak
langsung yang penting untuk melimitasi replikasi dari virus. Seiring dengan
maturasi sistem imun, klirens HSV dari jaringan yang terinfeksi dimediasi oleh sel
T, yang melibatkan mekanisme cytokine-mediated effector dan sitolisis langsung
pada sel yang terinfeksi virus. Pada tikus dan manusia, sel T CD4 dan CD8
penting dalam resolusi infeksi. Antibodi juga memainkan peran dalam mengontol
infeksi HSV.
Efisiensi dari respons imun mempengaruhi kuantitas dari virus yang
menyebabkan latensi di ganglia. Walaupun elemen yang mempengaruhinya

belum diketahui, namun sepertinya interferon gamma (IFN-) adalah penting.


IFN- mengaktivasi gen antiviral yang menghambat replikasi HSV dan diperlukan
untuk menurunkan titer HSV.

5. Gejala Klinis
Infeksi HSV berlangsung dalam 3 tingkat
1. Infeksi Primer
Tempat predileksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas, terutama di
daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi
dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter
gigi, atau pada orang yang sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus
ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV tipe
II mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di
genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan
seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah
genital kadang-kadang disebabkan oleh HSV tipe I sedangkan di daerah
mulut dan rongga mulut dapat disebabkan oleh HSV tipe II.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3
minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malese, dan
anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening
regional.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian
menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang
mengalami ulserasi yang dangkal. Biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada
perabaan tidak teraba indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi
sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya
didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks.
Pada wanita ada laporan bahwa 80% infeksi HSV pada genitalia eksterna
disertai infeksi pada serviks.
2. Fase Laten
Tidak ditemukan gejala klinis. HSV dapat ditemukan dalam keadaan
tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi Rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan
tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa
trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan
sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat
pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7-10 hari. Sering ditemukan gejala prodormal ringan
sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, nyeri. Infeksi rekurens ini
dapat timbul pada tempat yang sama (loco) maupun di tempat lain/
sekitarnya (non loco).

6. Pemeriksaan Pembantu Diagnosis


Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak. Pada keadaan tidak
ada lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pada percobaan Tzanck dengan
pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi
intranuklear.

7. Diagnosis Banding
Herpes simpleks di daerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan
impetigo bulosa. Pada daerah genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum,
ulkus mole, dan ulkus mikstum.

8. Penatalaksanaan
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/ krim yang
mengandung preparat idoksuridin dengan cara aplikasi, yang sering dengan
interval beberapa jam. Preparat asiklovir yang dipakai secara topikal tampaknya
memberikan hasil yang baik. Asiklovir bekerja dengan cara mengganggu
replikasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif.
Jika timbul ulserasi dapat dilakukan kompres.
Pengobatan oral berupa preparat asiklovir memberikan hasil yang lebih baik,
penyakit berlangsung lebih singkat dan masa rekurensnya lebih jarang. Dosisnya
5x200 mg per hari selama 5 hari.
Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama ditujukan kepada penyakit
yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu pula dengan
preparat adenin arabinosid (vitarabin). Interferon sebuah preparat glikoprotein
yang dapat menghambat reproduksi virus juga dipakai secara parenteral.
Untuk mencegah rekurens, dilakukan usaha untuk meningkatkan imunitas
selular, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk HSV tipe I) dan lupidon G
(untuk HSV tipe II). Pemberian levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara
berkala memberikan hasil yang baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai
imunostimulator.

9. Herpes genitalis pada kehamilan


Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang
serius karena melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat
menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal mempunyai

angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup, menderita cacat neurologik atau
kelainan pada mata.
Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, keratokonjungtivitis,
atau hepatitis, di samping itu dapat timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli
kandungan mengambil sikap partus secara seksio caesaria bila saat melahirkan
sang ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketuban
pecah atau paling lambat enam jam setelah ketuban pecah.
Di Amerika Serikat frekuensi herpes neonatal adalah 1 per 7500 kelahiran hidup.
Bila terjadi transmisi pada trimester I cenderung terjadi abortus. Sedangkan
pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada
saat intrapartum.

10. Pencegahan
Semua pasien yang didiagnosa dengan herpes genital harus diberi edukasi untuk
mengenali herpes genital dan diberikan pilihan tentang terapi supresi harian
sebagai cara untuk mengurangi transmisi herpes genital
1. Memberitahukan bahwa pasien terkena penyakit herpes genital kepada
pasangannya.
2. Abstinens ketika outbreaks. Pasien dijelaskan mengenai tanda dan gejala
dari outbreaks.
3. Pemakaian kondom yang benar dan konsisten. Penggunaan kondom lateks
pada laki-laki dapat mengurangi transmisi, terutama 6-12 bulan pertama
setelah infeksi pertama.
4. Penyeleksian pasangan seksual yang juga memiliki status serologi HSV
yang serupa atau yang dengan riwayat herpes genital.
5. Terapi supresif kronik. Penelitian baru belakangan ini mendemonstrasikan
penurunan transmisi sebanyak 70% pada pasien yang memakai terapi
supresif.

11. Prognosis
Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni
masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang. Pada orang
dengan gangguan imunitas, misalnya dalam pengobatan dengan imunosupresan
yang lama atau fisik yang sangat lemah, menyebabkan infeksi ini dapat
menyebar ke alat-alat dalam dan dapat fatal. Prognosis akan lebih baik seiring
dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.

Anda mungkin juga menyukai