Anda di halaman 1dari 36

RESPONSI KASUS

HIPERTIROIDSME ET CAUSA PENYAKIT GRAVE

Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD

Mahasiswa :
Gede Dehandra Dipastraya Wikananda (1902611080)
Irinda Elyong (1902611175)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan responsi kasus yang berjudul
“Penyakit Graves” ini dengan baik. Responsi kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM-FINASIM selaku Kepala Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
2. dr. I Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
3. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku pembimbing dalam
penyusunan responsi ini, atas bimbingannya.
4. Dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas
masukannya.
5. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan responsi ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan responsi kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya
penulis mengharapkan semoga laporan responsi kasus ini dapat bermanfaat di
bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Denpasar, 7 Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul ................................................................................................ i

Kata Pengantar................................................................................................ ii

Daftar Isi ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA....................................................................... 4

2.1 Definisi Penyakit Hipertiroid dan Penyakit Graves................................. 5

2.2 Epidemiologi Penyakit Graves................................................................ 5

2.3 Etiologi Penyakit Graves......................................................................... 6

2.4 Patogenesis Penyakit Graves................................................................... 7

2.5 Diagnosis Penyakit Graves...................................................................... 9

2.6 Penatalaksanaan Penyakit Graves.......................................................... 16

2.7 Komplikasi Penyakit Graves..................................................................22

28. Prognosis Penyakit Graves.....................................................................22

BAB III LAPORAN KASUS.........................................................................23

BAB IV PEMBAHASAN............................................................................... 31

BAB V SIMPULAN........................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Hormon tiroid merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid.


Hormon ini berperan dalam diferensiasi, pertumbuhan, metabolisme, dan fungsi
fisiologis hampir semua jaringan. Hormon utama yang dihasilkan oleh kelenjar
tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) yang dibentuk pada tiroglobulin.
Pembentukan hormon tiroid diatur oleh Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
(Ganong, 2008).

Penyakit kelenjar tiroid termasuk penyakit yang sering ditemukan di


masyarakat. Salah satu penyakit pada kelenjar tiroid yaitu penyakit Graves.
Penyakit ini merupakan penyakit hormonal yang menempati urutan kedua terbesar
di Indonesia setelah diabetes melitus. Berdasarkan hasil Riskesdas (2013),
prevalensi diabetes mellitus dan Penyakit Graves di Indonesia berturut-turut
adalah sebesar 1,5 dan 0,4 persen. (Yeung, 2013).

Di Indonesia, kejadian Penyakit Graves berkisar 44%-48% dari seluruh


kelainan kelenjar tiroid yang ditemui dan telah diperkirakan terdapat 12 juta kasus
Penyakit Graves pada tahun 1960 (Regani, 2001). Berdasarkan hasil penelitian
Yuza (2007), jumlah penderita Penyakit Graves rawat jalan dan rawat inap yang
tercatat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang adalah sebanyak
154 orang. Penelitian awal yang dilakukan Maulidia (2014) di Instalasi Rekam
Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang, didapatkan jumlah pasien Penyakit Graves
pada tahun 2011 terdapat 697 kasus, sedangkan pada tahun 2012 terdapat 716
kasus. Hal ini menandakan bahwa kasus Penyakit Graves mengalami peningkatan.

Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat penyakit ini dapat


mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Manifestasi klinik yang dirasakan pasien
dapat berupa gangguan psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang
mudah berubah, gangguan pencernaan berupa diare, hingga gangguan
kardiovaskuler berupa takikardi dan palpitasi (Bahn et al., 2011).

Pasien dengan peningkatan kadar hormon tiroid (Penyakit Graves) yang

2
tidak diobati akan berisiko menurunnya kualitas hidup, atrial fibrilation dan
osteoporosis (Bahn et al., 2011). Oleh karena itu diperlukan terapi untuk
mengontrol kadar hormon tiroid pada batasan normal dan meminimalkan gejala
dari Penyakit Graves. Terapi yang diberikan adalah pemberian obat antitiroid,
iodin radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid) yang disesuaikan
dengan jenis dan tingkat keparahan Penyakit Graves, usia pasien serta pilihan
pasien. Dari ketiga pilihan terapi tersebut, terapi dengan obat antitiroid merupakan
salah satu terapi yang banyak digunakan.

Obat antitiroid telah digunakan selama lebih dari setengah abad. Obat ini
tetap menjadi landasan dalam pengelolaan Penyakit Graves, khususnya untuk
penderita penyakit Graves (Cooper, 2003). Obat antitiroid yang digunakan secara
luas sebagai lini pertama adalah golongan tionamida, yang terdiri dari
propiltiourasil dan metimazol (Jonklaas & Talbert, 2014). Obat antitiroid
umumnya digunakan selama lebih dari enam bulan hingga pasien mencapai remisi
dan pengobatan dapat dihentikan. Lama penggunaan obat antitiroid hingga
mencapai remisi bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung
pada kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Baskin et al., 2002). Durasi
optimal terapi obat antitiroid adalah 12-18 bulan (Abraham et al., 2005).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertiroid dan Penyakit Graves


Penyakit Graves (goiter difusa toksik) merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun yang biasanya ditandai oleh
produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.
Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering dijumpai dan
dapat terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.
Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter,
ophtalmopathy (exophtalmus), dermopati (pretibial myxedema) (Ganong, 2008).

2.2 Epidemiologi Penyakit Graves


Sebanyak 60% hingga 80% tirotoksikosis disebabkan oleh penyakit
Graves. Akan tetapi, prevalensinya bergantung pada jumlah asupan iodin dimana
pada daerah dengan asupan iodin tinggi memiliki prevalensi penyakit Graves yang
lebih tinggi. Penyakit Graves lebih banyak terjadi pada wanita dan biasanya
jarang terjadi sebelum usia dewasa. Penyakit Graves biasanya terjadi pada
populasi usia 20 hingga 50 tahun tetapi dapat pula terjadi pada usia tua (Ganong,
2008)

2.3 Etiologi Penyakit Graves


Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan
mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan
melepaskan hormon tiroid (Djokomoeljanto., 2007). Menurut Greenstein (2007)
penyakit Graves mempunyai beberapa faktor resiko, diantaranya :
1. Faktor genetik
Penyakit graves sering terjadi secara mengelompok dalam keluarga
sehingga bersifat genetik. Dalam praktek sehari-sehari sering ditemukan
pengelompokkan penyakit graves dalam satu keluarga atau keluarga besar
dalam beberapa generasi. Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, dan

4
respon TRH yang abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan.
Predisposisi untuk penderita penyakit gaves diturunkan melalui gen yang
mengkode antigen HLA.
Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam penyakit
graves. Pertama gen dari HLA, dan yang kedua gen adalah gen yang
berhubungan dengan alotipe IgG rantai berat (IgG heavy chain) yang disebut
Gm. Adanya gen Gm menunjukkan kemampuan limfosit B untuk membentuk
TSAb. Sedangkan gen HLA berperan dalam mengatur fungsi limfosit T-
supresor dan T-helper dalam memproduksi TSAb.
2. Faktor imunologis
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated response, yang
biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup meningkatnya
TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap jaringan orbita,
TBII dan respons CMI (Cell Mediated Immunoglobulin).
Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb. Setelah
terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis TSH dan
merangsang adenilat siklase dan cAMP. TSAb juga dapat menembus plasenta
dan transfer pasif ini mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun
neonatal, tetapi hanya berlangsung selama TSAb masih berada dalam sirkulasi
bayi. Biasanya pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan. Pada
penyakit Graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya TSAb
dapat disebabkan oleh:
 Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi
yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid.
 Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama
dirahim tidak eleminasi. Selain itu, produksi TSAb juga erat kaitannya
dengan sel T. Sel T yang terangsang mampu membentuk TSAb.
3. Trauma psikis
Secara teoritis, stress mengubah fungsi limfosit T supresor atau T helper
sehingga meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit
Graves.
4. Chorionic Gonadothropin Hormon

5
Hipertiroidisme dapat dipicu oleh stimulator yang dihasilkan oleh jaringan
trofoblastik. Tirotropin trofoblast dapat mengalami imunology cross-react
dengan TSH karena hCG dan derivatnya memiliki sub unuit alfa yang sama
dengan TSH.

2.4 Patofisiologi Penyakit Graves

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap


antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan
merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut.
Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam
membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid
dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah
mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit.
Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis
terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
(Shahab, 2002)
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid
yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).
Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves .(Shahab, 2002)
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas
dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II,
seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T .(Shahab, 2002)

6
2

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer


cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblas, otot-otot bola mata,
dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan
inflamasi fibroblas dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan
otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.(Shahab, 2002 dan Harrison, 2000)
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi
sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan
terjadinya akumulasi glikosaminoglikan.(Shahab, 2002)
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya
hiperaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena
terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.(Shahab,
2002)
Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi
berlebihan dari hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3).
Didapatkan pula peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil
meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan perifer.(Shahab, 2002)

7
Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme
jaringan, proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein.
Hormon-hormon tiroid ini berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh
melalui mekanisme transport asam amino dan elektrolit dari cairan ekstraseluler
kedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel dan peningkatan proses-
proses intraseluler.(Shahab, 2002 dan Harrison 2000)

Gambar 3 . TSH dan kelenjar tiroid orang sehat dan penderita Graves Disease

2.5 Diagnosis Penyakit Graves


Graves Disease adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
hipertiroid, difus goiter, opthalmopathy, dan dermopathy. Hipertiroid karena
Graves Disease bisa ditegakkan diagnosis melalui manifestasi klinis dan
laboraturium. (Yeung,2014)
1. Gejala dan tanda
Terdapat dua kelompok gambaran utama pada penyakit Grave yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keluhan mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal
berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid. Gejala-gejala hipertiroidisme
berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan.
Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak
bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang
biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada
50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar,

8
kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit
Graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus, dan
eksoftalmus.(Stein,2000 dan Christian,2011)

Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang


sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa
penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan
utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar
atau kelelahan. (Djokomoeljanto., 2007)

Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu: seorang


penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda
pada mata, telapak tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo,
pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan
pemendekan waktu refleks achilles. (Djokomoeljanto, 2007)

Gambar 4. eyelid retraction, swelling and exophthalmos

2. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, maka perlu diperhatikan :
– Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus
– Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler
– Jumlah: uninodusa atau multinodusa
– Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal
– Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya
ikut bergerak
– Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

9
 Palpasi
– Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:
– Perluasan dan tepi
– Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak
– Dapat diraba trakea dan kelenjarnya
– Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
– Hubungan dengan m. Sternokleidomastoideus
– Limfonodi dan jaringan sekitarnya
 Auskultasi

Tes Khusus

– Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi


merah
– Tremor sign: tangan terlihat gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa
dengan meletakkan sehelai kertas di atas tangan

– Oftalmopati

Tabel 1. Pemeriksaan Oftalmopati

10
Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
hormon tiroid tidak dapat dilakukan, penggunaan indeks wayne atau indeks new
castle sangat membantu menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran
metabolisme basal (BMR), bila hasil BMR ≥30, sangat mungkin bahwa seseorang
menderita hipertiroid.(Shahab, 2002)

Indeks Wayne
Gejala yang baru timbul dan atau
No Nilai
bertambah berat
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak Ada


1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur
< 80x per menit - -3
10
80 – 90x per menit - -
> 90x per menit +3 -
Hipertyroid jika indeks ≥ 20

Tabel 2. Indeks New Castle

Indeks New Castle


No Tanda Ada Tidak Ada

11
1 Age of Onset 15-24
25-34
35-44
45-54
>55
2 Psychological Presipitation Present -5
Absent 0
3 Frequent Cheking Present -3
Absent 0
4 Increased Appatie Present +3
Absent 0
5 Goiter Present +5
Absent 0
6 Tyroid Bruit Present +3
Absent 0
7 Exoptalmus Present +18
Absent 0
8 Lid Retraction Present +9
Absent 0
9 Fine Finger Tremor Present +7
Absent 0
10 Pulse rate per minutes >90 +16
80-90 +8
<80 0
No Interpretasi Total Skor
1 Eutiroid (-11) - (+23)
2 Prob. Hipertiroid (+24) - (+39)
3 Def. Hipertiroid (+40) - (+80)
Tabel 3. Indeks New castle

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboraturium
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon
tiroid (thyroid function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free
thyroxine index. Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan
diagnosis antara lain: pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi
antitiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH serum, test
penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan
sidikan tiroid (thyroid scanning). Khir mengemukakan pendapatnya untuk
menegakkan diagnosis penyakit Graves, yakni: adanya riwayat keluarga yang

12
mempunyai penyakit yang sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan
dengan otoimun, di samping itu pada penderita didapatkan eksoftalmus atau
miksedem pretibial; kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid.
(Shahab,2002)

Gambar 5. Alur Diagnosis Penyakit Grave

Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada


penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih
spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam
keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-
tanda klinis dan laboratorium yang jelas. .(Shahab,2002)
b. Pemeriksaan Radiologi

13
1. Foto Polos Leher  Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada
trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar
yang membesar.
2. Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake
iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.
3. USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama
pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium.
Ultrasonografi dapat memberikan informasi mengenai morfologi kelenjar
tiroid, dapat menentukan ukuran dan volume kelenjar tiroid serta dapat
membedakan apakah nodul bersifat kistik, padat, atau campuran kistik-padat.
4. CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa
dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada
penyempitan, deviasi dan invasi).
5. MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus
hipertiroid)
6. Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai
terapi.
c. Pemeriksaan Aspirasi Jarum Halus
Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus.
Pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan suspek diagnosis ataupun keganasan.

2.6 Penatalaksanaan Graves Disease


Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit
Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan
untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis
pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti
tiroid, pembedahan dan terapi yodium radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung
pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya
struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta
penyakit lain yang menyertainya (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
1. Farmakologi

14
Terdapat 2 kelas obat antitiroid yang tersedia, yaitu thiouracil
(propilthiouracil/PTU) dan imidazole (methimazole/MMI, carbimazole, dan
thiamazole). Propiltiourasil bekerja dengan cara menghambat proses inkorporasi
yodium pada residu tirosil dari tiroglobulin, dan juga menghambat penggabungan
residu iodotirosil menjadi iodotironin. Cara kerjanya dengan menghambat enzim
peroksidase sehingga oksidasi ion yodida dan gugus iodotirosil terganggu.
Propiltiourasil (PTU) juga menghambat deiodinasi tiroksin menjadi triiodotironin
di jaringan perifer, sedangkan metimazol (MMI) tidak memiliki efek ini.
(Christian, 2011)
Propiltiourasil dan metimazol dibedakan dari ikatannya dengan serum
protein. Di dalam tubuh, metimazol dapat bebas di serum, sedangkan 80-90% dari
PTU berikatan dengan albumin. Keduanya juga didistribusi ke seluruh jaringan
tubuh dan diekskresi melalui urin dan air susu ibu, tetapi tidak melalui tinja. PTU
pada dosis 100 mg mempunyai masa kerja 6-8 jam, sedangkan MMI pada dosis
30-40 mg bekerja selama kira-kira 24 jam. Dengan dosis di atas, keadaan eutiroid
biasanya tercapai dalam waktu 12 minggu. Setelah ini tercapai, dosis perlu
dikurangi, tetapi terapi sebaiknya jangan dihentikan. (FKUI,2012)
Penilaian serum T4 bebas sebaiknya di observasi selama 4 minggu setelah
inisiasi terapi hingga level eutiroid dapat tercapai dengan dosis minimal. Sekali
pasien menjadi eutiroid, observasi laboratorium dan evaluasi klinis tetap berjalan
selama interval 2-3 bulan. Sebelum menginisasi terapi antitiroid juga sebaiknya
melakukan pemeriksaan darah lengkap, termasuk hitung jenis sel darah putih,
bilirubin, dan transaminase. (The Indonesian Society of Endocrinology, 2012)
PTU sangat disarankan sebagai obat pilihan antitiroid pada kehamilan
trimester pertama, thyroid crisis, dan pasien dengan riwayat alergi atau intoleransi
terhadap obat antitiroid, serta pasien hipertiroid yang tidak dapat melakukan terapi
radioaktif atau operasi. Dosis PTU dimulai dari 100-200 mg sebanyak 3 kali
sehari, tergantung dari keparahan penyakitnya. Setelah melihat klinisnya kembali,
serta menunjukkan fungsi tiroid yang kembali normal, dosis maintenance PTU
menjadi 50 mg sebanyak 2-3x sehari, bahkan memungkinkan untuk 1 kali sehari.
Sama seperti PTU, dosis MMI juga cukup tinggi, dimulai dari 10-20 mg per hari
dan dosis maintenance 5-10 mg per hari. (The Indonesian Society of

15
Endocrinology, 2012)
Pada kehamilan, PTU dan MMI merupakan terapi antitiroid pilihan. PTU
sebaikanya dimulai ketika kehamilan memasuki trimester pertama. Sedangkan
MMI sebaiknya diberikan setelah trimester pertama. Dosis yang
direkomendasikan untuk PTU ialah 100-450 mg sebanyak 3 kali sehari,
tergantung pada gejala dan hasil tes fungsi tiroid. Dosis MMI dapat diberikan
sebanyak 10-20 mg per hari. Dosis keduanya sebaiknya diberikan serendah
mungkin. Pada pasien yang menyusui, penggunaan PTU ataupun MMI keduanya
diekskresi di air susu dengan konsentrasi yang sedikit. Namun karena PTU lebih
berpotensial menyebabkan nekrosis hepatik baik pada ibu atau anaknya, terapi
MMI lebih dipilih pada ibu menyusui. (The Indonesian Society of Endocrinology,
2012)
Monitoring terapi antitiroid pada kehamilan sebaiknya dilakukan setiap 2
minggu. Dosis mulai diturunkan jika terdapat perbaikan dari gejala dan tanda-
tanda hipertiroid (berat badan naik dan frekuensi nadi normal) dan T4 bebas.
Sekali target remisi T4 bebas tercapai, tes fungsi tiroid tetap dilakukan setiap 2-4
minggu untuk benar-benar memastikannya. (The Indonesian Society of
Endocrinology, 2012)
Pasien yang sudah terdeteksi eutiroid dengan dosis obat antitiroid yang
minimal, memiliki penurunan gejala, rendah/tidak terdeteksinya titer TRAb, dan
mengecilnya goiter memungkinkan untuk dihentikannya obat antitiroid saat 4-8
minggu akhir kehamilan. Penghentian pengobatan sebelum minggu ke-32
kehamilan tidak direkomendasikan karena memiliki kemungkinan tinggi
hipertiroid yang berulang. (The Indonesian Society of Endocrinology, 2012)
Propiltiourasil dan metimazol jarang sekali menimbulkan efek samping
dan bila timbul biasanya mempunyai gambaran yang sama. Frekuensi keduanya
rata-rata 3% untuk PTU dan 7% untuk MMI. Agranulositosis akibat PTU hanya
timbul dengan frekuensi 0,44% dan dengan MMI hanya 0,12%. Meski jarang,
agranulositosis merupakan efek samping serius. Untuk MMI efek samping ini
merupakan efek samping serius. Untuk MMI efek samping ini bersifat tergantung
dosis (dose-dependent), sedangkan untuk PTU tidak tergantung dosis. Reaksi
yang paling sering timbul antara lain purpura dan papular rash yang terkadang

16
hilang sendiri. Gejala lain yang jarang sekali timbul antara lain nyeri dan kaku
sendi, terutama pada tangan dan pergelangan. Reaksi demam obat, hepatitis, dan
nefritis dapat terjadi pada penggunaan PTU dosis tinggi.(Reid, 2005)
Pemakaian β-adrenergik bloker, seperti propranolol sebanyak 10-40 mg
sebanyak 4 kali sehari juga direkomendasikan untuk pengobatan gejala
hiperadrenergik yang muncul pada hipertiroid, tetapi sebaiknya langsung
dihentikan ketika gejala membaik atau satu minggu awal terapi. (Reid, 2005)

2. Non Farmakologi
Selain pemberian obat anti-tiroid, Graves Disease juga dapat ditangani
secara non-farmakologi. Penatalaksanaanya yaitu melalui terapi radioiodin dan
bedah dengan perubahan diet dan gaya hidup.

1. Radioiodin
Radioiodin menggunakan yodium radioaktif untuk mengancurkan sel-sel
tiroid secara progresif . Dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama atau
kedua, terutama pada pasien yang mengalami relapse setelah pengobatan dengan
obat anti-tiroid. Terapi ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. (Shahab,
2002)

Indikasi Kontraindikasi Efek Samping

1. Terkontraindikasi 1. Wanita hamil dan 1. Post-treatment


pemberian obat anti-tiroid menyusui hypothyroid
2. Pasien dengan 2. Kecurigaan atau 2. Nyeri pada leher
komorbiditas untuk terapi ditemukannya yang transien
operatif kanker tiroid 3. Ruam kemerahan
3. Pasien dengan riwayat 3. Pasien yang tidak pada leher
operasi pada leher mampu mematuhi 4. Radiation thyroiditis
sebelumnya aturan radiation (1%)
safety 5. Kemungkinan
4. Wanita dengan eksaserbasi Graves
rencana kehamilan Ophtalmopathy
4-6 bulan kemudian
5. Severe Graves
Ophtalmopathy
Sebelum melalui terapi radioiodin, pasien harus melalui tahap persiapan
terlebih dahulu, terutama pada pasien yang memiliki gajala tirotoksikosis yang

17
belum tertangani dan masih memiliki kadar FT4 yang meningkat 2-3 kali lipat
dari nilai normal. Persiapan yang dilakukan adalah :

 Premedikasi dengan obat golongan Beta-blocker, yaitu propranolol


 Premedikasi dengan obat anti-tiroid (metimazol) : premedikasi
dihentikan 3-5 hari sebelum terapi radioiodin, dan dimulai lagi 3-7 hari
setelahnya. Dosis diturukan perlahan dalam 4-6 minggu seiring dengan
normalisasi fungsi tiroid.
 Terapi lain untuk menangani komorbiditas/penyulit yang ada
 Tes kehamilan jika diperlukan
 Pembatasan diet yodium : pasien harus membatasi asupan yodium,
minimal 7 hari sebelum memulai terapi.

Setelah terapi selesai, perlu dilakukan Follow up pada 1-2 bulan pasca
terapi dengan memeriksa kadar FT4 dan TSH. Jika pasien masih mengalami
tirotoksikosis, perlu dilakukan pemeriksaan berkala setiap 4-6 bulan. Sebagian
besar pasien menunjukan normalisasi pada pemeriksaan fungsi tiroid dan
penurunan gejala pada 4-8 minggu setelah terapi. Terdapat kemungkinan terjadi
hipotiroid pada 1-6 bulan kemudian dan perlu dilakukan pemeriksaan fungsi
tiroid, gejala, dan pemeriksaan fisik untuk menentukan waktu untuk memulai
terapi pengganti hormon tiroid. Pemberian obat dimulai dari dosis terkecil dan
dapat ditingkatkan secara perlahan hingga tercapai eutiroid dan perlu dilakukan
pemeriksaan fungsi tiroid secara berkala dalam jangka panjang. Pada pemeriksaan
laboratorium, kadar TSH biasanya masih rendah pada beberapa bulan pertama
sehingga perlu diperiksa kadar FT4 dan T3. Jika dalam 6 bulan pasien masih
hipertiroid, maka disarankan untuk terapi radioiodin ulang. (Shahab, 2002)

2. Bedah (Tiroidektomi)
Tindakan bedah dapat juga dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami kekambuhan setelah pengobatan dengan obat anti tiroid.

Indikasi Kontraindikasi Efek Samping

1. Pasien dengan 1. Pasien dengan 1. Hipotiroid pasca


komorbid : seperti

18
gejala kompresi penyakit operasi
2. Pembesaran tiroid kardiopulmonal, 2. Paralisis laring
yang masif dankanker stadium (<1%, sementara
3. Kecurigaan atau akhir. atau permanen)
ditemukannya 2. Kehamilan 3. Hipokalemia (<2%,
keganasan pada trimester 1 dan 3 sementara atau
tiroid permanen)
4. Pasien dengan kadar
TRAb yang tinggi
5. Graves
Ophtalmopathy
yang parah
6. Wanita dengan
rencana hamil lebih
dari 4-6 bulan
kemudian.

Beberapa persiapan pra-operasi perlu dilakukan untuk mengurangi resiko


terjadinya krisis tiroid saat dilakukan operasi, seperti akibat stress saat operasi dan
anastesi.
1) Premedikasi dengan metimazol hingga tercapai eutiroid
2) Premedikasi dengan Beta-blocker unutk mengurangi gejala tirotoksikosis
3) Premedikasi dengan Potassium iodide 5–7 tetes (0.25–0.35 mL) melalui
solusio lugol (8 mg iodide/ drop) tiga kali sehari, dengan dicampur air
minum 10 hari sebelum operasi untuk mengurangi aliran darah pada tiroid
dan perdarahan saat tiroidektomi
Tiroidektomi memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dengan
kemungkinan resiko efek samping yang kecil. Tiroidektomi sebagian dan
tiroidektomi total memiliki kemungkinan rekurensi hipertiroid yang berbeda. Pada
tiroidektomi total, kemugkinan rekurensi 0%. Sedangkan pada tiroidektomi
sebagian, kemungkinan rekurensi mencapai 8%. Rekurensi hipertiroid dapat
terjadi dalam 5 tahun setelahnya. Setelah tiroidektomi selesai, disarankan unutk
memeriksa kadar kalsium dan hormon paratiroid 6 dan 12 jam pasca operasi untuk
mengatahui kemungkinan terjadinya hipokalsemia. Pada pasien dengan kadar
kalsium serum 7,8 mg/dL atau lebih dan asimptomatik, pasien dapat pulang tanpa
terapi tambahan. Jika kadar PTH < 10-15, dengan atau tanpa gejala hipokalsemia,
maka pasien membutuhkan suplemen kalsium dan kalsitriol. (Subekti, 2001)

19
3. Diet dan perubahan gaya hidup
Pada Graves Disease, perlu ditekankan adanya diet khusus untuk
mengurangi dampak penyakit terhadap nutrisi pasien, yaitu memperbanyak
makanan yang mengandung kalsium, dan sayuran yang bersifat goitrogen seperti
brokoli. Makanan yang mengandung vitamin D, seperti salmon, telur, dan jamur.
Makanan yang tinggi protein juga dibutuhkan jika terdapat penurunan berat badan
dan masa otot. Konsumsi lemak juga diperlukan secukupnya, yaitu asam lemak
omega 3 seperti pada ikan. Hindari makanan yang mengandung kafein karena
dapat memperberat gejala hipertiroid. Pasien tidak dianjurkan melakukan
aktivitas fisik yang sangat berat seperti olahraga dengan intensitas tinggi.
(Subekti,2001)

2.7 Komplikasi Penyakit Graves


Komplikasi yang dapat dijumpai pada penyakit graves diantaranya adalah
krisis tiroid. Krisis tiroid merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala
tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor
pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain:
Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain, terapi
yodium radioaktif, persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang
tidak diobati secara adekuat, stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti
diabetes, trauma, infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme
berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi: (1) Demam tinggi,
dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai dengan flushing
dan hiperhidrosis. (2) Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung. (3)
Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma. (3)
Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.(Bartalena,
2002)

2.8 Prognosis Penyakit Graves

20
Penyakit graves berkaitan dengan risiko mortalitas yang lebih tinggi pada
pasien dengan usia lebih dari 40 tahun yang menjalani pengobatan suboptimal.
Prognosis cenderung baik dengan pengobatan yang rutin dan terkontrol. Namun,
penyakit ini memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. Menurut satu tinjauan
sistematis, kekambuhan lebih sering terjadi pada perokok dan pasien dengan
orbitopati. Selain itu prognosis berkaitan dengan terapi, terapi yodium radioaktif
dapat meningkatkan risiko hipotiroidisme dalam waktu 3 hingga 6 bulan dan
membutuhkan terapi tiroksin.(Boelaert, 2013)

21
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Penderita
Nama : NPN
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 47 tahun 8 bulan 26 hari
Alamat : Jl. Gede Sempidi mengwi badung
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pekerjaan : Swasta
Status : Menikah
Tanggal Kunjungan Poli : 31 Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 31 Juli 2019
No. RM : 19003922

II. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Berdebar-debar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli DM RSUP Sanglah dengan keluhan dada
berdebar semenjak ± 2 minggu yang lalu. Berdebar dikatakan muncul tiba-
tiba, awalnya hanya dirasakan saat beraktivitas, namun saat ini keluhan
berdebar dirasakan terus menerus baik saat beraktivitas maupun saat istirahat.

Pasien juga selalu merasa gerah dan berkeringat. Berkeringat terjadi


di seluruh tubuh dan terjadi sepanjang hari walaupun udara sekitarnya tidak
panas sehingga pasien menjadi lebih sering berganti pakaian. Gerah dan
berkeringat dapat berkurang apabila pasien menggunakan kipas angin dan
beristirahat. Gerah membuat pasien menjadi gelisah dan mengganggu
tidurnya. Selain itu pasien juga mengatakan bahwa telapak tangannya sering

22
basah seperti berkeringat. Dan pasien juga mengatakan merasa cepat lelah
walaupun melakukan aktivitas yang sederhana dan ringan.
Dalam 6 bulan terakhir pasien juga mengatakan terkadang merasa
sedikit gemetar dikedua tangannya. Gemetar tersebut awalnya ringan dan
jarang terjadi, namun akhir-akhir ini dikatakan makin sering muncul. Gemetar
pada tangan dikatakan muncul terkadang saat pasien beristirahat namun
sangat jelas terasa dan saat pasien sedang bekerja.
Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan berat badan sebanyak 7 kg
dalam 1 bulan terkahir yaitu dari 65 kg saat ini menjadi 58 kg walaupun
nafsu makan pasien dikatakan meningkat. Pasien mengaku terjadi
peningkatan nafsu makan sehingga pasien makan hingga 5 kali dalam sehari.

Pasien juga mengeluhkan kedua mata yang terlihat menonjol yang


dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Pasien juga merasa pandangan menjadi
sedikit kabur.
Pasien juga mengeluhkan benjolan pada leher bagian kanan dan kiri.
Benjolan pada leher dikatakan muncul 1 tahun yang lalu. Pasien tidak tahu
pasti ukuran awalnya karena pasien menyadarinya ketika sudah hampir
sebesar buah cermai dan terlihat semakin membesar. Pasien mengatakan
benjolan tidak nyeri.
Keluhan lain seperti demam, sesak nafas, mual dan muntah disangkal
oleh pasien. BAK dan BAB dikatakan normal
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Riwayat penyakit lain seperti hipertensi, kencing manis, asma, jantung,
ginjal disangkal oleh pasien. Riwayat alergi terhadap obat maupun makanan
disangkal oleh pasien.
4. Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien belum pernah melakukan pengobatan untuk
mengatasi keluhan pasien.

23
5 Riwayat Keluarga

Pasien menyangkal adanya keluhan atau penyakit yang sama pada


keluarga inti pasien, Riwayat penyakit lain seperti hipertensi, kencing manis,
asma, jantung, ginjal disangkal oleh pasien.
6 Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien merupakan seorang Pegawai Kantor swasta yang tinggal di


daerah perkotaan. Kebiasaan konsumsi alkohol dan merokok disangkal oleh
pasien.

III. Pemeriksaan Fisik (31 Juli 2019)


a. Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 106 x/ menit
Respirasi : 22 x/ menit
Temp. axilla : 37,2º C
VAS : 0/10
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 58 kg
BMI : 22.6 kg/m2
Satus gizi : Gizi baik

b. Status General
- Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-, reflek
pupil +/+, isokor, edema palpebra -/-.
Exopthalmus +/+

24
- THT
Telinga : daun telinga N/N, sekret -/-
Hidung : hidung luar normal, sekret -/-,
epistaksis (-)
Tenggorokan : tonsil T1/T1, faring hiperemi (-)
- Mulut : Gusi berdarah (-), sianosis (-)
- Leher : Pembesaran kelenjar (+), JVP PR 0 cmH 2O, Status
Lokalis
- Axila : Pembesaran Kelanjar Getah Bening (-)
- Thorax
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Batas Pinggang : ICS III Parasternal Line
- Batas kanan : Sela Iga II Parasternal line dextra
- Batas kiri : Sela Iga V Midclavicular Line
sinistra
Auskultasi : S1, S2 normal, regular, murmur (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal fremitus N/N
Perkusi : Sonor
Auskultasi :
Vesikuler + +
+ +
+ +

Rhonki - -
- -
- -

Wheezing - -

25
- -
- -

- Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar teraba (-), lien teraba (-), ginjal
teraba (-)
Perkusi : Ascites (-), Timpani (+)
- Inguinal dan Genitalia
Inguinal dan genitalia tidak dilakukan evaluasi
- Ekstremitas

Hangat + + Edema - -
+ + - -
Tremor pada kedua tangan (+), CRT <2 detik

c. Status Lokalis : Regio Colli Anterior


Tampak nodul di anterior colli bilateral yang bergerak naik-turun saat
menelan, berukuran  5 cm x 5 cm, batas tegas permukaan rata tidak
tampak eritema maupun luka disekitar benjolan. Konsistensi kenyal, tidak
terdapat nyeri tekan.

d. Index Wayne

Subjective
Gejala yang baru timbul dan atau
No Nilai
bertambah berat
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3

26
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3
Nilai 17

No Objective Ada Tidak Ada


1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
Kelopak mata tertinggal gerak bola
4 +1 -
mata
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur
< 80x per menit - -3
10
80 – 90x per menit - -
> 90x per menit +3 -
Nilai +11 -6

INDEX WAYNE  : 22  Hipertiroid

IV. Pemeriksaan Penunjang


1. 28-07-2019
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks
TSHS 0.01 U/ ml 0.27-4.20 Rendah
FT4 2.26 Ng/dl 0.93-1.70 tinggi

27
2. 28-07-2019

Nama Parameter Hasil Satuan Nilai Remarks


Pemeriksaa Rujukan
n

DL MCV 89.79 fL 80.00 - 100.0

MCH 25.39 pg 26.0 - 34.0 Rendah

MCHC 28.28 g/dL 31 - 36 Rendah

RDW 13.10 % 11.6 – 14.8

PLT 227.60 10μ/μL 150 - 440

MPV 7.98 fL 6.80 – 10.0

WBC 5.07 10μ/μL 4.1 – 11.0

NE% 55.36 % 47 – 80

LY% 29.32 % 13 – 40

MO% 10.23 % 2.0 – 11.0

EO% 4.25 % 0.0 – 5.0

BA% 0.86 % 0.0 – 2.0

NE# 2.81 10μ/μL 2.50 – 7.50

LY# 1.49 10μ/μL 1.00 – 4.00

MO# 0.52 10μ/μL 0.10 – 1.20

EO# 0.22 10μ/μL 0.00 – 0.50

BA# 0.04 10μ/μL 0.0 – 0.1

HCT 38.26 % 41.0 – 53.0 Rendah

RBC 4.26 106/μL 4.0 – 5.2

HGB 10.82 g/dL 13.5 – 17.5

28
V. Diagnosis
Hipertiroidsime et causa penyakit grave’s

VI. Penatalaksanaan
- Thiamazol 3 x 10 mg IO
- Proponalol 3 x 10 mg IO

VII. Planning
USG Tiroid
FNAB bila eutiroid

VIII. Monitoring
Tanda-tanda vital
Keluhan
FSH dan Free T4

IX. Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

29
BAB IV
PEMBAHASAN

Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering dijumpai


dan dapat terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.
Penyakit Graves bisanya terjadi pada populasi usia 20 hingga 50 tahun tetapi
dapat pula terjadi pada usia tua. Pada kasus penyakit graves dialami oleh
perempuan yang berusia 47 tahun, hal tersebut sesuai dengan teori yang ada.
Pada kasus keluhan yang dialami pasien diantaranya berdebar - debar,
dikatakan muncul tiba-tiba dan dirasakan hilang timbul tanpa dipengaruhi oleh
aktivitas. benjolan pada leher dikatakan muncul 1 tahun yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan adanya penurunan berat badan walaupun nafsu makan pasien
dikatakan meningkat, gemetar di kedua tangan dan pasien merasa cepat lelah.
Pasien juga selalu merasa gerah dan berkeringat. Mata melotot dirasakan pasien
sejak 1 tahun yang lalu dan pasien merasa pandangan menjadi sedikit kabur dan
kadang merasa berkunang-kunang.
Keluhan yang dialami pasien sesuai dengan teori mengenai manifestasi
klinis penyakit graves. Pada teori dikatakan gambaran utama pada penyakit graves
yaitu tiroidal dan ekstratiroidal. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia
kelenjar tiroid. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme
dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak
tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan
menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, dan takikardi.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang
biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata
melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.
Pada kasus, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil TSHs yang
rendah dan FT4 yang meningkat. Hal tersebut sesuai dengan teori yang
menyatakan pada penyakit graves terjadi peningkatan kadar FT4 dan TSHs yang
menurun.

Nama Parameter Hasil Satuan Nilai Remarks

30
Pemeriksaa Rujukan
n

TSHS TSHS < 0.01 μIU/mL 0.27-4.20 Rendah

Free T4 >2.26 ng/dL 0.93-1.70 Tinggi

Terapi untuk mengatasi hipertiroid yaitu dengan pemberian dosis


MMI ,dimulai dari 10-20 mg per hari dan dosis maintenance 5-10 mg per
hari. Pada kasus ini diberikan thiamazole 10 mg tiap 24 jam. Selain itu
diberikan juga propranolol untuk mengatasi keluhan lainnya dengan dosis
10 mg tiap 8 jam atau 3 hari sekali.

Prognosis cenderung baik dengan pengobatan yang rutin dan terkontrol.


Namun, penyakit ini memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. Pada kasus
prognosis dikatakan baik.

31
BAB V
SIMPULAN

Hipertiroid merupakan suatu kondisi dimana kelenjar tiroid memproduksi


hormon tiroid secara berlebihan, biasanya karena kelenjar terlalu aktif. Sampai
saat ini belum didapatkan angka yang pasti insidensi dan prevalensi penyakit
Graves di Indonesia. Terdapat beberapa faktor predisposisi hipertiroid yaitu
genetik, wanita, status gizi dan berat badan lahir rendah, stress, tinggal di daerah
dengan defisiensi iodium, toksin infeksi bakteri dan virus, pada keadaan defisiensi
imun, multiple sklerosis.
Penyebab hipertiroid biasanya adalah Penyakit Graves. Diagnosis
hipertiroid ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Penatalaksaan tersebut meliputi terapi konservatif, radioaktif, dan
pembedahan.Pada umumnya Penyakit Graves mengalami remisi dan eksaserbasi
serta terdapat pula beberapa yang mengalami hipotiroid.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahn, R. S., Burch, H. B., Cooper, D. S., Garber, J. R., Greenlee, M. C.,
Klein, I., & Ross, D. S. (2011). Hyperthyroidism and other causes of
thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid
Association and American Association of Clinical Endocrinologists.
Thyroid, 21(6), 593-646.
2. Baskin, H. J., Cobin, R. H., Duick, D. S., Gharib, H., Guttler, R. B.,
Kaplan, M. M., & Segal, R. L. (2002). American Association of Clinical
Endocrinologists Medical Guidelines for Clinical Practice for the
Evaluation and Treatment of Hyperthyroidism and Hypothyroidism.
Endoc. Pract. 8(6), 457-469.
3. Bartalena L. Graves’ Disease: Complications. [Updated 2018 Feb 20]. In:
4. Boelaert K, Maisonneuve P, Torlinska B, et al. (2013) Comparison of
mortality in hyperthyroidism during periods of treatment with thionamides
and after radioiodine. J Clin Endocrinol Metab.98(5):1869-82
5. Christian M. Girgis, Bernard L. Champion and Jack R. Wall. (2011).
Current concepts in Graves’ d
6. Cooper, D. S. (2003). Hyperthyroidism. Lancet 362:459-468.
7. De Groot LJ, Chrousos G, Dungan K, et al. (2000) Endotext [Internet].
South Dartmouth (MA): MDText.com, Inc
a. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. (2012).
Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
8. Djokomoeljanto. (2007) Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam
Tiroidologi klinik Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.Hal 220-281
9. Ganong, W. F. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran, terjemahan
10. Greenstein, B & Diana, W. (2007). At a Glance sistem endokrin, Ed II.
Jakarta: Erlangga.
11. Guyton, Hall. (2014) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Singapura: Elsevier, 983 p

33
12. Jonklaas, J & Talbert, R.L. (2014). Thyroid Disorders. In DiPiro, J. T.,
Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M.
(Eds). Pharmacotherapy: A pathophysiologic approach ninth edition.
USA: McGraw-Hill Education.
13. Maulidia, S. (2014). Hubungan kadar TSH dan FT4 dengan manifestasi
klinis hipertiroid berdasarkan Indeks Wayne pasien penyakit Graves di
RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2014 – Desember 2014.
Skripsi. Padang: Universitas Andalas.
14. Moore KL, Anne MR. (2002). Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates,
2002. 130 p
15. Reid, Jeri & Wheeler, Stephen. (2005) Hyperthyroidsm: Diagnosis and
Treatment. Kentucky: American Academy of Family Physician.
16. Shahab A,. (2002) Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis
dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-
Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI: Jakarta. hal 9 – 18
17. Stein JH. (2000) Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa
Nugroho E, Edisi 3, EGC, Jakarta. hal 606 – 630
18. Subekti, I. (2001) Makalah Simposium Current Diagnostic and
Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta,: hal 1 – 5
19. The Indonesian Society of Endocrinology. (2012) Indonesian Clinical
Practice Guidelines for Hyperthyroidism.
20. Yeung, Sai Ching Jim. (2014). Graves Diseases.
http://emedicine.medscape.com/ article/120619-overview#showall
Diunduh pada 1 Oktober 2018
21. Yuza, S.H. (2007). Gambaran kadar T3, T4, dan TSH pada penderita
tirotoksikosis di bagian Penyakit Dalam RS. Dr. M. Djamil Padang
periode 1 Januari–31 Desember 2006. Skripsi. Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.

34

Anda mungkin juga menyukai