Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD
Mahasiswa :
Gede Dehandra Dipastraya Wikananda (1902611080)
Irinda Elyong (1902611175)
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan responsi kasus yang berjudul
“Penyakit Graves” ini dengan baik. Responsi kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM-FINASIM selaku Kepala Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
2. dr. I Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
3. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku pembimbing dalam
penyusunan responsi ini, atas bimbingannya.
4. Dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas
masukannya.
5. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan responsi ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan responsi kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya
penulis mengharapkan semoga laporan responsi kasus ini dapat bermanfaat di
bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ................................................................................................ i
Kata Pengantar................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................... 31
BAB V SIMPULAN........................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
2
tidak diobati akan berisiko menurunnya kualitas hidup, atrial fibrilation dan
osteoporosis (Bahn et al., 2011). Oleh karena itu diperlukan terapi untuk
mengontrol kadar hormon tiroid pada batasan normal dan meminimalkan gejala
dari Penyakit Graves. Terapi yang diberikan adalah pemberian obat antitiroid,
iodin radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid) yang disesuaikan
dengan jenis dan tingkat keparahan Penyakit Graves, usia pasien serta pilihan
pasien. Dari ketiga pilihan terapi tersebut, terapi dengan obat antitiroid merupakan
salah satu terapi yang banyak digunakan.
Obat antitiroid telah digunakan selama lebih dari setengah abad. Obat ini
tetap menjadi landasan dalam pengelolaan Penyakit Graves, khususnya untuk
penderita penyakit Graves (Cooper, 2003). Obat antitiroid yang digunakan secara
luas sebagai lini pertama adalah golongan tionamida, yang terdiri dari
propiltiourasil dan metimazol (Jonklaas & Talbert, 2014). Obat antitiroid
umumnya digunakan selama lebih dari enam bulan hingga pasien mencapai remisi
dan pengobatan dapat dihentikan. Lama penggunaan obat antitiroid hingga
mencapai remisi bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung
pada kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Baskin et al., 2002). Durasi
optimal terapi obat antitiroid adalah 12-18 bulan (Abraham et al., 2005).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
respon TRH yang abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan.
Predisposisi untuk penderita penyakit gaves diturunkan melalui gen yang
mengkode antigen HLA.
Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam penyakit
graves. Pertama gen dari HLA, dan yang kedua gen adalah gen yang
berhubungan dengan alotipe IgG rantai berat (IgG heavy chain) yang disebut
Gm. Adanya gen Gm menunjukkan kemampuan limfosit B untuk membentuk
TSAb. Sedangkan gen HLA berperan dalam mengatur fungsi limfosit T-
supresor dan T-helper dalam memproduksi TSAb.
2. Faktor imunologis
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated response, yang
biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup meningkatnya
TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap jaringan orbita,
TBII dan respons CMI (Cell Mediated Immunoglobulin).
Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb. Setelah
terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis TSH dan
merangsang adenilat siklase dan cAMP. TSAb juga dapat menembus plasenta
dan transfer pasif ini mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun
neonatal, tetapi hanya berlangsung selama TSAb masih berada dalam sirkulasi
bayi. Biasanya pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan. Pada
penyakit Graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya TSAb
dapat disebabkan oleh:
Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi
yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid.
Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama
dirahim tidak eleminasi. Selain itu, produksi TSAb juga erat kaitannya
dengan sel T. Sel T yang terangsang mampu membentuk TSAb.
3. Trauma psikis
Secara teoritis, stress mengubah fungsi limfosit T supresor atau T helper
sehingga meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit
Graves.
4. Chorionic Gonadothropin Hormon
5
Hipertiroidisme dapat dipicu oleh stimulator yang dihasilkan oleh jaringan
trofoblastik. Tirotropin trofoblast dapat mengalami imunology cross-react
dengan TSH karena hCG dan derivatnya memiliki sub unuit alfa yang sama
dengan TSH.
6
2
7
Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme
jaringan, proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein.
Hormon-hormon tiroid ini berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh
melalui mekanisme transport asam amino dan elektrolit dari cairan ekstraseluler
kedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel dan peningkatan proses-
proses intraseluler.(Shahab, 2002 dan Harrison 2000)
Gambar 3 . TSH dan kelenjar tiroid orang sehat dan penderita Graves Disease
8
kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit
Graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus, dan
eksoftalmus.(Stein,2000 dan Christian,2011)
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, maka perlu diperhatikan :
– Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus
– Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler
– Jumlah: uninodusa atau multinodusa
– Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal
– Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya
ikut bergerak
– Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan
9
Palpasi
– Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:
– Perluasan dan tepi
– Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak
– Dapat diraba trakea dan kelenjarnya
– Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
– Hubungan dengan m. Sternokleidomastoideus
– Limfonodi dan jaringan sekitarnya
Auskultasi
Tes Khusus
– Oftalmopati
10
Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
hormon tiroid tidak dapat dilakukan, penggunaan indeks wayne atau indeks new
castle sangat membantu menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran
metabolisme basal (BMR), bila hasil BMR ≥30, sangat mungkin bahwa seseorang
menderita hipertiroid.(Shahab, 2002)
Indeks Wayne
Gejala yang baru timbul dan atau
No Nilai
bertambah berat
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3
11
1 Age of Onset 15-24
25-34
35-44
45-54
>55
2 Psychological Presipitation Present -5
Absent 0
3 Frequent Cheking Present -3
Absent 0
4 Increased Appatie Present +3
Absent 0
5 Goiter Present +5
Absent 0
6 Tyroid Bruit Present +3
Absent 0
7 Exoptalmus Present +18
Absent 0
8 Lid Retraction Present +9
Absent 0
9 Fine Finger Tremor Present +7
Absent 0
10 Pulse rate per minutes >90 +16
80-90 +8
<80 0
No Interpretasi Total Skor
1 Eutiroid (-11) - (+23)
2 Prob. Hipertiroid (+24) - (+39)
3 Def. Hipertiroid (+40) - (+80)
Tabel 3. Indeks New castle
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboraturium
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon
tiroid (thyroid function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free
thyroxine index. Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan
diagnosis antara lain: pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi
antitiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH serum, test
penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan
sidikan tiroid (thyroid scanning). Khir mengemukakan pendapatnya untuk
menegakkan diagnosis penyakit Graves, yakni: adanya riwayat keluarga yang
12
mempunyai penyakit yang sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan
dengan otoimun, di samping itu pada penderita didapatkan eksoftalmus atau
miksedem pretibial; kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid.
(Shahab,2002)
13
1. Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada
trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar
yang membesar.
2. Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake
iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.
3. USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama
pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium.
Ultrasonografi dapat memberikan informasi mengenai morfologi kelenjar
tiroid, dapat menentukan ukuran dan volume kelenjar tiroid serta dapat
membedakan apakah nodul bersifat kistik, padat, atau campuran kistik-padat.
4. CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa
dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada
penyempitan, deviasi dan invasi).
5. MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus
hipertiroid)
6. Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai
terapi.
c. Pemeriksaan Aspirasi Jarum Halus
Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus.
Pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan suspek diagnosis ataupun keganasan.
14
Terdapat 2 kelas obat antitiroid yang tersedia, yaitu thiouracil
(propilthiouracil/PTU) dan imidazole (methimazole/MMI, carbimazole, dan
thiamazole). Propiltiourasil bekerja dengan cara menghambat proses inkorporasi
yodium pada residu tirosil dari tiroglobulin, dan juga menghambat penggabungan
residu iodotirosil menjadi iodotironin. Cara kerjanya dengan menghambat enzim
peroksidase sehingga oksidasi ion yodida dan gugus iodotirosil terganggu.
Propiltiourasil (PTU) juga menghambat deiodinasi tiroksin menjadi triiodotironin
di jaringan perifer, sedangkan metimazol (MMI) tidak memiliki efek ini.
(Christian, 2011)
Propiltiourasil dan metimazol dibedakan dari ikatannya dengan serum
protein. Di dalam tubuh, metimazol dapat bebas di serum, sedangkan 80-90% dari
PTU berikatan dengan albumin. Keduanya juga didistribusi ke seluruh jaringan
tubuh dan diekskresi melalui urin dan air susu ibu, tetapi tidak melalui tinja. PTU
pada dosis 100 mg mempunyai masa kerja 6-8 jam, sedangkan MMI pada dosis
30-40 mg bekerja selama kira-kira 24 jam. Dengan dosis di atas, keadaan eutiroid
biasanya tercapai dalam waktu 12 minggu. Setelah ini tercapai, dosis perlu
dikurangi, tetapi terapi sebaiknya jangan dihentikan. (FKUI,2012)
Penilaian serum T4 bebas sebaiknya di observasi selama 4 minggu setelah
inisiasi terapi hingga level eutiroid dapat tercapai dengan dosis minimal. Sekali
pasien menjadi eutiroid, observasi laboratorium dan evaluasi klinis tetap berjalan
selama interval 2-3 bulan. Sebelum menginisasi terapi antitiroid juga sebaiknya
melakukan pemeriksaan darah lengkap, termasuk hitung jenis sel darah putih,
bilirubin, dan transaminase. (The Indonesian Society of Endocrinology, 2012)
PTU sangat disarankan sebagai obat pilihan antitiroid pada kehamilan
trimester pertama, thyroid crisis, dan pasien dengan riwayat alergi atau intoleransi
terhadap obat antitiroid, serta pasien hipertiroid yang tidak dapat melakukan terapi
radioaktif atau operasi. Dosis PTU dimulai dari 100-200 mg sebanyak 3 kali
sehari, tergantung dari keparahan penyakitnya. Setelah melihat klinisnya kembali,
serta menunjukkan fungsi tiroid yang kembali normal, dosis maintenance PTU
menjadi 50 mg sebanyak 2-3x sehari, bahkan memungkinkan untuk 1 kali sehari.
Sama seperti PTU, dosis MMI juga cukup tinggi, dimulai dari 10-20 mg per hari
dan dosis maintenance 5-10 mg per hari. (The Indonesian Society of
15
Endocrinology, 2012)
Pada kehamilan, PTU dan MMI merupakan terapi antitiroid pilihan. PTU
sebaikanya dimulai ketika kehamilan memasuki trimester pertama. Sedangkan
MMI sebaiknya diberikan setelah trimester pertama. Dosis yang
direkomendasikan untuk PTU ialah 100-450 mg sebanyak 3 kali sehari,
tergantung pada gejala dan hasil tes fungsi tiroid. Dosis MMI dapat diberikan
sebanyak 10-20 mg per hari. Dosis keduanya sebaiknya diberikan serendah
mungkin. Pada pasien yang menyusui, penggunaan PTU ataupun MMI keduanya
diekskresi di air susu dengan konsentrasi yang sedikit. Namun karena PTU lebih
berpotensial menyebabkan nekrosis hepatik baik pada ibu atau anaknya, terapi
MMI lebih dipilih pada ibu menyusui. (The Indonesian Society of Endocrinology,
2012)
Monitoring terapi antitiroid pada kehamilan sebaiknya dilakukan setiap 2
minggu. Dosis mulai diturunkan jika terdapat perbaikan dari gejala dan tanda-
tanda hipertiroid (berat badan naik dan frekuensi nadi normal) dan T4 bebas.
Sekali target remisi T4 bebas tercapai, tes fungsi tiroid tetap dilakukan setiap 2-4
minggu untuk benar-benar memastikannya. (The Indonesian Society of
Endocrinology, 2012)
Pasien yang sudah terdeteksi eutiroid dengan dosis obat antitiroid yang
minimal, memiliki penurunan gejala, rendah/tidak terdeteksinya titer TRAb, dan
mengecilnya goiter memungkinkan untuk dihentikannya obat antitiroid saat 4-8
minggu akhir kehamilan. Penghentian pengobatan sebelum minggu ke-32
kehamilan tidak direkomendasikan karena memiliki kemungkinan tinggi
hipertiroid yang berulang. (The Indonesian Society of Endocrinology, 2012)
Propiltiourasil dan metimazol jarang sekali menimbulkan efek samping
dan bila timbul biasanya mempunyai gambaran yang sama. Frekuensi keduanya
rata-rata 3% untuk PTU dan 7% untuk MMI. Agranulositosis akibat PTU hanya
timbul dengan frekuensi 0,44% dan dengan MMI hanya 0,12%. Meski jarang,
agranulositosis merupakan efek samping serius. Untuk MMI efek samping ini
merupakan efek samping serius. Untuk MMI efek samping ini bersifat tergantung
dosis (dose-dependent), sedangkan untuk PTU tidak tergantung dosis. Reaksi
yang paling sering timbul antara lain purpura dan papular rash yang terkadang
16
hilang sendiri. Gejala lain yang jarang sekali timbul antara lain nyeri dan kaku
sendi, terutama pada tangan dan pergelangan. Reaksi demam obat, hepatitis, dan
nefritis dapat terjadi pada penggunaan PTU dosis tinggi.(Reid, 2005)
Pemakaian β-adrenergik bloker, seperti propranolol sebanyak 10-40 mg
sebanyak 4 kali sehari juga direkomendasikan untuk pengobatan gejala
hiperadrenergik yang muncul pada hipertiroid, tetapi sebaiknya langsung
dihentikan ketika gejala membaik atau satu minggu awal terapi. (Reid, 2005)
2. Non Farmakologi
Selain pemberian obat anti-tiroid, Graves Disease juga dapat ditangani
secara non-farmakologi. Penatalaksanaanya yaitu melalui terapi radioiodin dan
bedah dengan perubahan diet dan gaya hidup.
1. Radioiodin
Radioiodin menggunakan yodium radioaktif untuk mengancurkan sel-sel
tiroid secara progresif . Dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama atau
kedua, terutama pada pasien yang mengalami relapse setelah pengobatan dengan
obat anti-tiroid. Terapi ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. (Shahab,
2002)
17
belum tertangani dan masih memiliki kadar FT4 yang meningkat 2-3 kali lipat
dari nilai normal. Persiapan yang dilakukan adalah :
Setelah terapi selesai, perlu dilakukan Follow up pada 1-2 bulan pasca
terapi dengan memeriksa kadar FT4 dan TSH. Jika pasien masih mengalami
tirotoksikosis, perlu dilakukan pemeriksaan berkala setiap 4-6 bulan. Sebagian
besar pasien menunjukan normalisasi pada pemeriksaan fungsi tiroid dan
penurunan gejala pada 4-8 minggu setelah terapi. Terdapat kemungkinan terjadi
hipotiroid pada 1-6 bulan kemudian dan perlu dilakukan pemeriksaan fungsi
tiroid, gejala, dan pemeriksaan fisik untuk menentukan waktu untuk memulai
terapi pengganti hormon tiroid. Pemberian obat dimulai dari dosis terkecil dan
dapat ditingkatkan secara perlahan hingga tercapai eutiroid dan perlu dilakukan
pemeriksaan fungsi tiroid secara berkala dalam jangka panjang. Pada pemeriksaan
laboratorium, kadar TSH biasanya masih rendah pada beberapa bulan pertama
sehingga perlu diperiksa kadar FT4 dan T3. Jika dalam 6 bulan pasien masih
hipertiroid, maka disarankan untuk terapi radioiodin ulang. (Shahab, 2002)
2. Bedah (Tiroidektomi)
Tindakan bedah dapat juga dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami kekambuhan setelah pengobatan dengan obat anti tiroid.
18
gejala kompresi penyakit operasi
2. Pembesaran tiroid kardiopulmonal, 2. Paralisis laring
yang masif dankanker stadium (<1%, sementara
3. Kecurigaan atau akhir. atau permanen)
ditemukannya 2. Kehamilan 3. Hipokalemia (<2%,
keganasan pada trimester 1 dan 3 sementara atau
tiroid permanen)
4. Pasien dengan kadar
TRAb yang tinggi
5. Graves
Ophtalmopathy
yang parah
6. Wanita dengan
rencana hamil lebih
dari 4-6 bulan
kemudian.
19
3. Diet dan perubahan gaya hidup
Pada Graves Disease, perlu ditekankan adanya diet khusus untuk
mengurangi dampak penyakit terhadap nutrisi pasien, yaitu memperbanyak
makanan yang mengandung kalsium, dan sayuran yang bersifat goitrogen seperti
brokoli. Makanan yang mengandung vitamin D, seperti salmon, telur, dan jamur.
Makanan yang tinggi protein juga dibutuhkan jika terdapat penurunan berat badan
dan masa otot. Konsumsi lemak juga diperlukan secukupnya, yaitu asam lemak
omega 3 seperti pada ikan. Hindari makanan yang mengandung kafein karena
dapat memperberat gejala hipertiroid. Pasien tidak dianjurkan melakukan
aktivitas fisik yang sangat berat seperti olahraga dengan intensitas tinggi.
(Subekti,2001)
20
Penyakit graves berkaitan dengan risiko mortalitas yang lebih tinggi pada
pasien dengan usia lebih dari 40 tahun yang menjalani pengobatan suboptimal.
Prognosis cenderung baik dengan pengobatan yang rutin dan terkontrol. Namun,
penyakit ini memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. Menurut satu tinjauan
sistematis, kekambuhan lebih sering terjadi pada perokok dan pasien dengan
orbitopati. Selain itu prognosis berkaitan dengan terapi, terapi yodium radioaktif
dapat meningkatkan risiko hipotiroidisme dalam waktu 3 hingga 6 bulan dan
membutuhkan terapi tiroksin.(Boelaert, 2013)
21
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Penderita
Nama : NPN
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 47 tahun 8 bulan 26 hari
Alamat : Jl. Gede Sempidi mengwi badung
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pekerjaan : Swasta
Status : Menikah
Tanggal Kunjungan Poli : 31 Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 31 Juli 2019
No. RM : 19003922
II. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Berdebar-debar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli DM RSUP Sanglah dengan keluhan dada
berdebar semenjak ± 2 minggu yang lalu. Berdebar dikatakan muncul tiba-
tiba, awalnya hanya dirasakan saat beraktivitas, namun saat ini keluhan
berdebar dirasakan terus menerus baik saat beraktivitas maupun saat istirahat.
22
basah seperti berkeringat. Dan pasien juga mengatakan merasa cepat lelah
walaupun melakukan aktivitas yang sederhana dan ringan.
Dalam 6 bulan terakhir pasien juga mengatakan terkadang merasa
sedikit gemetar dikedua tangannya. Gemetar tersebut awalnya ringan dan
jarang terjadi, namun akhir-akhir ini dikatakan makin sering muncul. Gemetar
pada tangan dikatakan muncul terkadang saat pasien beristirahat namun
sangat jelas terasa dan saat pasien sedang bekerja.
Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan berat badan sebanyak 7 kg
dalam 1 bulan terkahir yaitu dari 65 kg saat ini menjadi 58 kg walaupun
nafsu makan pasien dikatakan meningkat. Pasien mengaku terjadi
peningkatan nafsu makan sehingga pasien makan hingga 5 kali dalam sehari.
23
5 Riwayat Keluarga
b. Status General
- Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-, reflek
pupil +/+, isokor, edema palpebra -/-.
Exopthalmus +/+
24
- THT
Telinga : daun telinga N/N, sekret -/-
Hidung : hidung luar normal, sekret -/-,
epistaksis (-)
Tenggorokan : tonsil T1/T1, faring hiperemi (-)
- Mulut : Gusi berdarah (-), sianosis (-)
- Leher : Pembesaran kelenjar (+), JVP PR 0 cmH 2O, Status
Lokalis
- Axila : Pembesaran Kelanjar Getah Bening (-)
- Thorax
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Batas Pinggang : ICS III Parasternal Line
- Batas kanan : Sela Iga II Parasternal line dextra
- Batas kiri : Sela Iga V Midclavicular Line
sinistra
Auskultasi : S1, S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal fremitus N/N
Perkusi : Sonor
Auskultasi :
Vesikuler + +
+ +
+ +
Rhonki - -
- -
- -
Wheezing - -
25
- -
- -
- Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar teraba (-), lien teraba (-), ginjal
teraba (-)
Perkusi : Ascites (-), Timpani (+)
- Inguinal dan Genitalia
Inguinal dan genitalia tidak dilakukan evaluasi
- Ekstremitas
Hangat + + Edema - -
+ + - -
Tremor pada kedua tangan (+), CRT <2 detik
d. Index Wayne
Subjective
Gejala yang baru timbul dan atau
No Nilai
bertambah berat
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
26
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3
Nilai 17
27
2. 28-07-2019
NE% 55.36 % 47 – 80
LY% 29.32 % 13 – 40
28
V. Diagnosis
Hipertiroidsime et causa penyakit grave’s
VI. Penatalaksanaan
- Thiamazol 3 x 10 mg IO
- Proponalol 3 x 10 mg IO
VII. Planning
USG Tiroid
FNAB bila eutiroid
VIII. Monitoring
Tanda-tanda vital
Keluhan
FSH dan Free T4
IX. Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
29
BAB IV
PEMBAHASAN
30
Pemeriksaa Rujukan
n
31
BAB V
SIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Bahn, R. S., Burch, H. B., Cooper, D. S., Garber, J. R., Greenlee, M. C.,
Klein, I., & Ross, D. S. (2011). Hyperthyroidism and other causes of
thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid
Association and American Association of Clinical Endocrinologists.
Thyroid, 21(6), 593-646.
2. Baskin, H. J., Cobin, R. H., Duick, D. S., Gharib, H., Guttler, R. B.,
Kaplan, M. M., & Segal, R. L. (2002). American Association of Clinical
Endocrinologists Medical Guidelines for Clinical Practice for the
Evaluation and Treatment of Hyperthyroidism and Hypothyroidism.
Endoc. Pract. 8(6), 457-469.
3. Bartalena L. Graves’ Disease: Complications. [Updated 2018 Feb 20]. In:
4. Boelaert K, Maisonneuve P, Torlinska B, et al. (2013) Comparison of
mortality in hyperthyroidism during periods of treatment with thionamides
and after radioiodine. J Clin Endocrinol Metab.98(5):1869-82
5. Christian M. Girgis, Bernard L. Champion and Jack R. Wall. (2011).
Current concepts in Graves’ d
6. Cooper, D. S. (2003). Hyperthyroidism. Lancet 362:459-468.
7. De Groot LJ, Chrousos G, Dungan K, et al. (2000) Endotext [Internet].
South Dartmouth (MA): MDText.com, Inc
a. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. (2012).
Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
8. Djokomoeljanto. (2007) Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam
Tiroidologi klinik Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.Hal 220-281
9. Ganong, W. F. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran, terjemahan
10. Greenstein, B & Diana, W. (2007). At a Glance sistem endokrin, Ed II.
Jakarta: Erlangga.
11. Guyton, Hall. (2014) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Singapura: Elsevier, 983 p
33
12. Jonklaas, J & Talbert, R.L. (2014). Thyroid Disorders. In DiPiro, J. T.,
Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M.
(Eds). Pharmacotherapy: A pathophysiologic approach ninth edition.
USA: McGraw-Hill Education.
13. Maulidia, S. (2014). Hubungan kadar TSH dan FT4 dengan manifestasi
klinis hipertiroid berdasarkan Indeks Wayne pasien penyakit Graves di
RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2014 – Desember 2014.
Skripsi. Padang: Universitas Andalas.
14. Moore KL, Anne MR. (2002). Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates,
2002. 130 p
15. Reid, Jeri & Wheeler, Stephen. (2005) Hyperthyroidsm: Diagnosis and
Treatment. Kentucky: American Academy of Family Physician.
16. Shahab A,. (2002) Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis
dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-
Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI: Jakarta. hal 9 – 18
17. Stein JH. (2000) Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa
Nugroho E, Edisi 3, EGC, Jakarta. hal 606 – 630
18. Subekti, I. (2001) Makalah Simposium Current Diagnostic and
Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta,: hal 1 – 5
19. The Indonesian Society of Endocrinology. (2012) Indonesian Clinical
Practice Guidelines for Hyperthyroidism.
20. Yeung, Sai Ching Jim. (2014). Graves Diseases.
http://emedicine.medscape.com/ article/120619-overview#showall
Diunduh pada 1 Oktober 2018
21. Yuza, S.H. (2007). Gambaran kadar T3, T4, dan TSH pada penderita
tirotoksikosis di bagian Penyakit Dalam RS. Dr. M. Djamil Padang
periode 1 Januari–31 Desember 2006. Skripsi. Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
34