Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN TUTORIAL MODUL SISTEM INDRA

PEMICU 5
“Gundah karena kulit”

Disusun Oleh :

Kelompok TUTORIAL XII

Fasilitator dr.Rinita Amelia,M.Biomed


Ketua Abinmayu (19-098)
Sekretaris Fajrian alwi (19-097)
Anggota Ardi khusnaidi (19-093)
Raylofa Devia Annisyah (19-094)
Muhammad Fadhillah (19-095)
Alifya Risanda (19-096)
Muhammad Alfarizi (19-099)
Fuji Lestari (19-100)

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-nyalah sehingga, t
ugas ini dapat diseselaikan tanpa suatu halangan yang amat berarti. Tanpa pertolongannya mungki
n penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.

Tugas ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang


“Pentingnyaberkomunikasidengan khalayak guna meningkatkan pengetahuan serta
memberikan manfaat baik bagi pihak penyampaian pesan maupun penerima pesan”, yang di
sajikan berdasarkan referensi berbagai sumber.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini kurang dari sempurna, untuk itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran, baik dari dosen maupun teman-teman atau pembaca agar makalah i
ni dapat lebih sempurna.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca dan sem
oga adanya tugas ini ALLAH SWT senantiasa meridhoinya dan akhirnya membawa hikmah untuk
semua.

Padang,2 juli 2020

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….

DAFTAR ISI………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………...

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….......

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………

2.1 Trigger…………………………………………………………………………

2.2 Clarify Unfamiliar Term…………………………………………………………

2.3 Define The Problem…………………………………………………………....

2.4 Brainstorm Possible Hypothesis or Explanation………………………………

2.5 Arrange Explanation Into A Tentative Solution…………………………………

2.6 Define Learning Objective………………………………………………………

2.7 Self Directed Learning………………………………………………………….

2.8 Share The Result Of Information Gathering And Private Study………………

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Alergi merupakan suatu reaksi abnormal dalam tubuh yang disebabkan zat-zat
yangtidak berbahaya. Alergi timbul bila ada kontak terhadap zat tertentu yang
biasanya, padaorang normal tidak menimbulkan reaksi. Zat penyebab alergi ini
disebut allergen. Allergen bisa berasal dari berbagai jenis dan masuk ke tubuh
dengan berbagai cara. Bisa saja melaluisaluran pernapasan, berasal dari makanan,
melalui suntikan atau bisa juga timbul akibatadanya kontak dengan kulit seperti;
kosmetik, logam perhiasan atau jam tangan, dan lain-lain. Zat yang paling sering
menyebabkan alergi: Serbuk tanaman; jenis rumput tertentu; jenis pohon yang
berkulit halus dan tipis; serbuk spora; penisilin; seafood; telur; kacang panjang,
kacang tanah, kacang kedelai dan kacang-kacangan lainnya; susu; jagung dantepung
jagung;sengatan insekta; bulu binatang; kecoa; debu dan kutu. Yang juga tidakkalah
sering adalah zat aditif pada makanan, penyedap, pewarna dan pengawet
Penyakit pada kulit biasanya ada berbagai bentuk, tergantung dengan ciri dari
penyakitanya. Ada itu papul, edema, pustul, vesikel, bula, dan erosi.
Disamping itu, jerawat merupakan penyakit kulit yang sering dialami oleh pribadi
seseorang, karena faktor penyebab jerawat ada banyak.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 TRIGGER 5 : Gundah karena kulit
Ibu Covidah merupakan seorang ibu muda yang mempunyai balita perempuan berusia 2
tahun. Sudah tiga hari ini ibu Covidah sangat gundah, karena anak semata wayangnya
demam disertai batuk dan pilek. Pada hari kedua demam, muncul bercak merah yang
dimulai dari belakang telinga menyebar ke wajah, badan, lengan dan kaki. Mengikuti saran
tetangganya, bu Covidah membuat ramuan dari dedaunan yang ditumbuk, kemudian
mengoleskan ke seluruh tubuh anaknya. Bercak merah tersebut tidak hilang, tetapi berubah
menjadi lepuh berair dan bertambah merah. Anaknya menangis karena gatal dan perih. Bu
Covidah sangat panik. Kemudian bu Covidah membawa anaknya ke RSI Siti Rahmah. Dokter
kemudian memeriksa anak bu Covidah dan menanyakan riwayat penyakitnya. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan makula eritem hampir seluruh tubuh, papul eritem, edema,
pustul, vesikel, bula, dan erosi. Kemudian dokter menjelaskan bahwa penyakit anak bu
Covidah disebabkan karena infeksi virus yang menyebabkan timbul merah di seluruh badan.
Dedaunan yang dioles menyebabkan terjadinya proses alergi pada kulit, sehingga terjadi
proses peradangan dan keluarnya sel mediator inflamasi. Kemudian dokter memberikan
obat dan disarankan untuk kontrol setelah 5 hari.
Bu Covidah juga mengeluhkan bahwa satu tahun terakhir ini ia sering mengalami jerawat di
wajah. Dokter melakukan pemeriksaan fisik pada wajah bu Covidah. Terlihat wajah yang
berminyak, menandakan adanya hipersekresi kelenjar sebasea. Juga ditemukan komedo,
papul eritem dan pustul. Kemudian dokter memberikan obat untuk mengobati jerawat bu
Covidah.

2.2 CLARIFY UNFAMILIAR TERM

- Makula : perubahan warna kulit tanpa disertai perubahan konsistensi dan permukaannya
- Eritem : kondisi munculnya bercak kemerahan pada kulit yang disebabkan oleh pelebaran
pembuluh darah di bawah kulit
- Papul : menonjol dengan diameter < 1cm
- Edema : pembengkakan pada anggota tubuh yang terjadi karena penimbunan cairan di
dalam jaringan
- pustule : penonjolan kulit berisi cairan (nanah)
- vesikeL Dan bula : tonjoloan berisi cairan dan berbatas tegas
- Erosi : lecet kulit yang diakibatkan kehilangan lapisan kulit sebelum stratum basalis, bisa
ditandai dengan keluarnya serum.

- sel mediator inflamasi: seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin


- hipersekresi : kelebihan pengeluaran zat yang dibutuhkan.
- kelenjar sebasea : kelenjar yang mengeluarkan minyak
- komedo: benjolan kecil yang muncul di pori-pori kulit, dan merupakan cikal bakal jerawat.
- Wajah berminyak : kondisi ketika kelenjar sebaceous menghasilkan terlalu banyak minyak
di kulit.
- Alergi : reaksi sistem kekebalan tubuh yang dipicu oleh alergen penyebab iritasi dan
peradangan pada kulit.

2.3 DEFINE THE PROBLEM

1.Kenapa pada saat dikasih ramuan daun malah menjadi lepuh berair?
2. Apa yang menyebabkabn terjadinya hipersekresi kelenjar sebasea?
3. Bagaimana proses terjadinya jerawat?
4. apa saja tipe proses peradangan pada kulit?
5. apa hubungannya deman dan pilek dengan munculnya bercak merah
pada kulit?
6. Apa saja bentuk penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi virus?
7. Apakah Benar Wajah yang Berminyak dapat Memberikan Manfaat Bagi
Kulit?
8. Apa saja tipe proses peradangan pada kulit?
9. apa yang menyebabkan munculnya makula eritem,papul eritem,
edema,pustul, vesikel, dan erosi?
10. sel apa yang berfungsi pada inflamasi?
11. apa penyebab terjadinya jerawat?
12. mekanisme terjadinya alergi?
13. bagaimana cari melakukan pemeriksaan fisik kulit?
14.apa yang dimaksdu dan jenis dari mediator inflamasi?

2.4 BRAINSTORM POSSIBLE HYPOTHESIS OR EXPLANATION


1. Dedaunan yang dioles menyebabkan terjadinya proses alergi pada kulit

2. stimulasi androgen dan bisa juga akibat infeksi dari bakteri Propionibacterium
acnes yang menyerang pada kulit wajah, dada, bahkan punggung

3. (1)Hal pertama yang perlu kamu ketahui adalah pada lapisan kulitmu terdapat
folikel rambut yang juga merupakan tempat kelenjar minyak yang bertugas
memproduksi minyak pada wajah. Jika dalam keadaan normal, sel kulit mati di
wajahmu akan mengelupas dengan sendirinya dan digantikan dengan sel kulit yang
baru.

(2) Tapi jika cycle alami tersebut bermasalah, sel kulit mati akan tetap menempel
dan mengendap sehingga kelenjar minyak akan terpicu untuk memproduksi lebih
banyak minyak. Efek sampingnya, sel kulit mati dan minyak akan menumpuk di area
folikel rambut yang akan mengakibatkan infeksi.

(3) Ketika terjadi infeksi di bagian folikel rambut, sel darah putih akan mulai masuk
ke dalam folikel rambut dan bakteri dari luar juga akan ikut bergabung. Di sini lah
radang jerawat akan mulai tumbuh.

(4) Jika proses di atas terus-terusan berlanjut dan tidak segera diatasi, jerawat yang
meradang bisa semakin membersar seiring dengan semakin banyaknya sel kulit mati,
minyak, dan bakteri yang bercampur di dalam folikel rambut tersebut. And this is
how the acnes are formed.

4. Dermatitis Kontak Dermatitis kontak (DK) adalah kelainan kulit yang bersifat
polimorfi sebagai akibat terjadinya kontak dengan bahan eksogen
Dermatitis Atopik Merupakan jenis dermatitis yang diturunkan, kulit yang kering,
dan infeksi bakteri pada kulit. biasanya dianggap menjadi dermatitis masa kanak-
kanak
Dermatitis seboroik disebabkan oleh jamur pada kelenjar minyak dan faktor genetik.
Dermatitis statis disebabkan oleh buruknya sirkulasi aliran darah tubuh, terutama di
daerah tungkai b

5. Demam merupakan kondisi meningkatnya suhu tubuh diatas 37,5 C yang di ukur
dengan menggunakan alat termometer. Suhu tubuh normal manusia yaitu 36,5-
37,5oC. Demam menandakan adanya penyakit atau kondisi lain di dalam tubuh.
Penyebab demam bermacam-macam.Berikut beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan demam dan muncul bintik merah di tubuh:

1.Demam Berdarah Dengue

Merupakan kondisi yang dapat mengakibatkan kerusakan dan kebocoran pembuluh


darah, serta dapat menurunkan kadar trombosit. Penyebabnya oleh virus Dengue
yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang masuk ke aliran
darah manusia melalui gigitan nyamuk. Gejalanya demam, nyeri sendi, muntah,
perdarahan seperti di hidung, gusi atau dibawah kulit (petechie).

2. Campak

Munculnya ruam kemerahan disebabkan oleh virus. Penularan melalui percikan air
liur yang di keluarka saat batuk atau bersin. Gejalanya batuk, pilek dan demam
kemudian muncul bercak keputihan di mulut di ikuti ruam kemerahan di wajah.

3. Rubella

Disebabkan oleh infeksi virus, walaupun sama dengan campak, efek campak
umumnya lebih parag dibandingkan rubella. Gejalanya ruam merah bermula pada
wajah kemudian menyebar ke badan dan tungkai, demam, sakit kepala, dan mata
merah.

Varicella atau cacar air

Infeksi yang disebabkan oleh virus varicella zoster. Munculnya ruam kemerahan
berisi cairan di seluruh tubuh. Gejalanya demam, pusing, lemas dan nyeri
tenggorokan.

6. Cacar, herpes zoster atau cacar ular, kutil, molluscum contagiosum, dan campak
merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh virus.

7. benar yaitu dapat Mengurangi Risiko Iritasi, Meminimalisir Dehidrasi Kulit,


Melindungi Kulit dari Bahaya Sinar UV.

8. Tipe proses peradangan pada kulit :


1. Dermatitis Kontak Dermatitis kontak (DK) adalah kelainan kulit yang bersifat
polimorfi sebagai akibat terjadinya kontak dengan bahan eksogen
2. Dermatitis Atopik Merupakan jenis dermatitis yang diturunkan, kulit yang
kering, dan infeksi bakteri pada kulit. biasanya dianggap menjadi dermatitis masa
kanak-kanak
3. Dermatitis seboroik disebabkan oleh jamur pada kelenjar minyak dan faktor
genetik.
4. Dermatitis statis disebabkan oleh buruknya sirkulasi aliran darah tubuh,
terutama di daerah tungkai bawah dan kaki.

Tipe peradangan pada kulit :

makula eritem,papul eritem, edema,pustul, vesikel, dan erosi

9. Infeksi virus, seperti virus herpes simpleks, virus hepatitis, HIV, dan adenovirus.
Penyakit akibat infeksi bakteri, seperti difteri, pneumonia, lepra, gonore,
limfogranuloma venereum, dan demam tifoid.

10. Sel mast, sel langerhans, sel limfosit, sel makrofag dengan menghasilkan heparin
dan histamin- serotonin.

11. Produksi sebum berlebih, yaitu zat yang diproduksi oleh kelenjar minyak untuk
mencegah kulit kering. Sumbatan pada folikel rambut oleh campuran sel kulit mati
dan sebum. Bakteri jenis Propionibacterium acnes yang berkembang, menyumbat
folikel rambut, serta menyebabkan peradangan.

12. Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahanbahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang
bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan
terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan
berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik.
Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.Terdapat
2 kemungkinan yang terjadi pada mekanisme reaksi alergi tipe I, yaitu : Alergen
langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di permukaan sel mast atau basofil,
dimana sebelumnya penderita telah terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E
telah terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig E akan menyebabkan keluarnya
mediatormediator kimia seperti histamine dan leukotrine.

13.
Inspeksi
-Kuantitasnya
-Tekstur
-Warna
-Distribusinya

Palpasi Kulit
* Perhatikan tekstur umum kulit dan lokasi perubahan, seperti kekasaran.
* Kaji suhu
* Kaji kelembaban
* Kaji turgor kulit

2.5 ARRANGE EXPLANATION INTO A TENTATIVE SOLUTION

2.6 DEFINE LEARNING OBJECTIVE

Mahasiswa dapat dan mampu menjelaskan :


1. Menjelaskan Elforesensi primer dan sekunder
2. Menjelaskan Patofisiologi alergi
3. Menjelaskan Patofisiologi acne
4. Menjelaskan Patofisiologi gatal
5. Menjelaskan imonologi kulit dan mediator inflamasi

2.7 SELF DIRECTED LEARNING

***

2.8 SHARING INFORMATION FROM PRIVATE STUDY

1. Efloresensi kulit primer dan sekunder


Efloresensi/ ujud kelainan kulit (UKK) :

- Primer (terjadi pada kulit yang semula normal/ kelainan yang pertama muncul) :

- Makula : perubahan warna pada kulit tanpa perubahan bentuk

(Fixed drug eruption)

- Papula : penonjolan padat di atas permukaan kulit, diameter < 0.5 cm


(Moluskum kontagiosum)

- Nodul : penonjolan padat di atas permukaan kulit, diameter > 0.5 cm

(Prurigo nodularis)
- Plakat : peninggian diatas permukaan kulit seperti dataran tinggi
atau mendatar (plateau-like) yang biasanya terbentuk dari bersatunya
(konfluen) beberapa papul, diameter lebih dari > 0.5 cm

(Psoriasis vulgaris)

- Urtika : penonjolan yang ditimbulkan akibat edema setempat yang


timbul mendadak dan hilang perlahan, warna pinggir kemerahan, tengahnya pucat.

(Urtikaria)

- Vesikel : lepuh berisi cairan serum, diameter <0.5 cm

(Herpes zoster)
- Bula : vesikel yang berukuran > 0,5 cm

(Pemfigoid bulosa)

- Pustula : vesikel berisi nanah

(Folikulitis)

- Kista : ruangan/ kantong berdinding dan berisi cairan atau


material semi solid (sel atau sisa sel), biasanya pada lapisan dermis

(Kista epidermal)

- Purpura : warna merah dengan batas tegas yang tidak hilang jika ditekan,
terjadi karena adanya ekstravasasi dari pembuluh darah ke jaringan
(Vaskulitis lekositoklastik)
Sekunder (akibat perubahan yang terjadi pada efloresensi primer) :

 Skuama : sisik berupa lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit

(Psoriasis gutata)

 Krusta : kerak atau keropeng yang menunjukkan adanya cairan serum


atau darah yang mengering.

(Impetigo krustosa)

 Erosi : lecet kulit yang diakibatkan kehilangan lapisan kulit sebelum stratum
basalis,bisa ditandai dengan keluarnya serum

(Impetigo bulosa)
 Ekskoriasi : lecet kulit yang disebabkan kehilangan lapisan kulit melampaui
stratum basalis (sampai stratum papilare) ditandai adanya bintik perdarahan dan bisa
juga serum.

(Ekskoriasi neurotik)

 Ulkus : tukak atau borok, disebabkan hilangnya jaringan lebih


dalam dari ekskoriasi, memiliki tepi, dinding, dasar dan isi.

(Pioderma gangrenosum)

 Likenifikasi : Penebalan lapisan epidermis disertai guratan garis kulit yang


makin jelas, akibat garukan atau usapan yang bersifat kronis.

(Liken simpleks kronis)


 Fisura : : hilangnya epidermis dan dermis yang berbatas tegas berbentuk
linier

(Dermatitis kontak iritan kronis)

- Atropi : penipisan lapisan epidermis ataupun dermis

(Liken sklerosus)

- Skar : digantinya jaringan normal kulit dengan jaringan fibrotik pada tempat
penyembuhan luka, contoh : skar hipertrofi, skar atrofi, keloid

(Skar hipertrofi)

- Komedo : infundibulum folikel rambut yang melebar dan tersumbat


keratin dan lipid.

 Komedo terbuka (open comedo/ blackhead): unit pilosebasea terbuka pada


permukaan kulit dan terlihat sumbatan keratin berwarna hitam.

 Komedo tertutup (close comedo/ whitehead): unit pilosebasea tertutup pada

permukaan kulit dan terlihat berwarna putih.


Komedo tertutup (Akne vulgaris) Komedo terbuka (Akne vulgaris)

- Poikiloderma : kombinasi dari atropi, hiperpigmentasi, hipopigmentasi dan


teleangiekstasi, yang memberikan gambaran belang (mottled)

(Mikosis fungoides)

- Teleangiektasi : dilatasi pembuluh darah superfisialis

(Rosasea)

Sumber : RISET, K. KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN


TINGGI UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN.

2. Menjelaskan Patofisiologi alergi


Beberapa orang mempunyai kecenderungan "alergik Alergi semacam ini disebut alergi atopik
karena disebabkan oleh respons sistem imun yang tidak lazim. Kecenderungan alergi ini
diturunkan secara genetis dari orang tua ke anak, dan ditandai dengan adanya sejumlah besar
antibodi IgE dalam darah. Antibodi ini disebut reagin atau antibodi tersensitisasi untuk
membedakannya dengan antibodi IgG yang lebih umum. Bila suatu alergen (yang didefinisikan
sebagai suatu antigen yang bereaksi secara spesifik dengan antibodi reagin IgE tipe spesifik)
memasuki tubuh, maka terjadi reaksi alergen-reagin, dan kemudian terjadi reaksi alergi. Sifat
khusus antibodi IgE (reagin) adalah adanya kecenderungan yang kuat untuk melekat pada sel
mast dan basofil. Sesungguhnya, satu sel mast atau basofil dapat mengikat sampai setengah juta
molekul antibodi IgE. Bila suatu antigen (alergen) yang mempunyai banyak tempat ikatan
kemudian berikatan dengan beberapa antibodi IgE yang melekat pada sel mast atau basofil,
maka ini menyebabkan perubahan segera pada membran sel mast atau basofil. Pada setiap saat,
banyak sel mast dan basofil yang pecah; ada juga yang segera melepaskan substansi khusus
seperti histamin, protease, substansi anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
campuran leukotrien-leukotrien toksik), substansi kemotaktik eosinofil, substansi kemotaktik
neutrofil, heparin, dan faktor pengaktif trombosit. Substansi-substansi ini menyebabkan
beberapa efek seperti dilatasi pembuluh darah setempat; penarikan eosinofil dan neutrofil
menuju tempat yang reaktif; peningkatan permeabilitas kapiler dan hilangnya cairan ke dalam
jaringan; dan kontraksi sel otot polos lokal. Oleh karena itu, dapat terjadi berbagai respons
jaringan, bergantung pada macam jaringan tempat reaksi alergen-reagin terjadi
3. Menjelaskan Patofisiologi acne

Definisi

 Keradangan kronis dari folikel pilosebasea ( folliculitis dari pilosebaceous follicle )


 Ditandai dengan adanya komedo Ditandai dengan adanya komedo, papula, pustula dan
kadang2 nodus dan kista (polimorfis)
 Predileksi : muka, bahu, lengan atas, dada dan punggung bagian atas
Epidermiologi
Pada umumnya, akne vulgaris terjadi pada remaja dan dewasa muda serta wanita lebih
banyak daripada pria. Hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka sering
dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Akne paling sering terjadi pada
masa remaja dan dimulai pada masa pubertas.

Pada umumnya insiden akne akan terjadi sekitar umur 14-17 tahun pada wanita dan 16-19
tahun pada pria dan pada masa itu yang paling dominan adalah komedo dan papul serta jarang
terlihat lesi beradang. Kadang akne menetap pada wania umur 30 tahunan atau lebih. Meski
pada pria akne lebih cepat berkurang namun pada penelitian diketahui bahwa gejala akne yang
lebih berat justru terjadi pada pria

Etiologi

Penyebab pasti timbulnya akne belum diketahui dengan jelas. Faktor faktor yang
mempengaruhi terjadinya akne vulgaris antara lain :

1. Bakteria
Mikroba yang terlibat pada terbentuknya akne adalah Corynebakterium acnes,
Staphylococcus epidermidis dan Pityrosporum ovale.
2. Genetik
Akne vulgaris mungkin merupakan penyakit genetik akibat adanya peningkatan
kepekaan unit pilosebasea terhadap kadar androgen yang normal.
3. Ras
Kemungkinan ras berperan dalam timbulnya akne vulgaris diajukan karena adanya ras-
ras tertentu seperti oriental (Jepang, Cina, Korea) yang lebih jarang dibandingkan
dengan ras caucasian (Eropa, Amerika) dan orang kulit hitam pun lebih jarang terkena
daripada orang kulit putih.
4. Hormon
Peningkatan kadar hormon androgen, anabolik, kortikosteroid, gonadotropin serta
ACTH mungkin menjadi faktor penting pada kegiatan kelenjar sebasea. Kelenjar
sebasea sangat sensitif terhadap hormon androgen yang menyebabkan kelenjar sebasea
bertambah besar dan produksi sebum meningkat. Hormon estrogen dapat mencegah
terjadinya akne karena bekerja berlawanan dengan hormon androgen. Hormon
progesteron dalam jumlah fisiologik tidak mempunyai efektivitas terhadap aktivitas
kelenjar sebasea, akan tetapi terkadang progesteron dapat menyebabkan akne sebelum
menstruasi. Pada wanita, 60-70% menjadi lebih parah beberapa hari sebelum menstruasi
dan menetap sampai seminggu menstruasi.
5. Diet
Jenis makanan yang sering dihubungkan dengan timbulnya akne adalah makanan yang
tinggi lemak (kacang, daging berlemak, susu, es krim), makanan tinggi karbohidrat
(sirup manis), makanan yang beryodida tinggi (makanan asal laut) dan pedas. Pola
makanan yang tinggi lemak jenuh dan tinggi glukosa susu dapat meningkatkan
konsentrasi insulin-like growth factor (IGF-I) yang dapat merangsang produksi hormon
androgen yang meningkatkan produksi jerawat.
6. Psikis
Stres psikis dapat menyebabkan sekresi ACTH yang akan meningkatkan produksi
androgen. Naiknya hormon androgen inilah yang menyebabkan kelenjar sebasea
bertambah besar dan produksi sebum bertambah.
7. Iklim
Pada daerah yang mempunyai empat musim biasanya akne akan bertambah hebat pada
musim dingin dan sebaliknya membaik pada musim panas. Hal ini disebabkan karena
sinar ultraviolet (UV) yang mempunyai efek membunuh bakteri dapat menembus
epidermis bagian bawah dan dermis bagian atas yang berpengaruh pada bakteri yang
berada dibagian dalam kelenjar sebasea.
8. Kosmetika
Pemakaian bahan-bahan kosmetika tertentu, secara terus menerus dalam waktu yang
lama dapat menyebabkan suatu bentuk akne ringan yang terutama terdiri dari komedo
tertutup dan beberapa lesi papulopustula pada pipi dan dagu. Bahan yang sering
menyebabkan akne bisa terdapat pada berbagai krem wajah seperti bedak dasar
(foundation), pelembab (moisturiser), tabir surya (suncreen) dan krem malam.
9. Trauma
kulit berulang Menggosok dengan cairan pembersih wajah, scrub atau penggunaan
pakaian ketat misalnya tali bra, helm, kerah ketat dapat memperburuk jerawat.
10. Merokok
Rokok dapat mempengaruhi kondisi kulit seseorang sehingga menimbulkan acne yang
dikenal dengan “smoking acne”. Berdasarkan penelitian sekitar 42% perokok menderita
akne vulgaris. Partisipasi nonperokok yang memiliki akne vulgaris tidak meradang
sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti sering terkena uap atau terus
menerus terpapar asap rokok.

Patogenesis

Meskipun etiologi akne vulgaris belum diketahui, namun ada beberapa faktor yang
berhubungan dengan patogenesis penyakit, antara lain :

1. Kenaikan ekskresi sebum


Penderita akne vulgaris memiliki produksi sebum yang lebih dari rata-rata dan
biasanya keparahan akne sebanding dengan jumlah produksi Peningkatan produksi
sebum menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab
terjadinya lesi akne. aktifitas kelenjar sebasea diatur oleh androgen yang terdapat di
dalam sirkulasi maupun didalam jaringan. Androgen yang dikeluarkan oleh kelenjar
adrenal terutama dehydroepiandrosterone sulphate (DHEA-S) merangsang aktifitas
kelenjar sebasea, menstimulasi pembentukan komedo.
Pada saat pubertas androgen yang dihasilkan oleh gonad terutama testoteron ikut
berperan merangsang kelenjar sebasea.9 Pada penderita akne terdapat peningkatan
konversi hormon androgen yang normal beredar dalam darah (testoteron) ke bentuk
metabolit yang lebih aktif (5-alfa dihidrotestosteron) mengikat reseptor androgen di
sitoplasma dan akhirnya menyebabkan proliferasi sel penghasil sebum. Meningkatnya
produksi sebum pada penderita akne disebabkan respon organ akhir yang berlebihan
pada kelenjar sebasea terhadap kadar normal androgen dalam darah .
2. Adanya keratinisasi folikel
Keratinisasi dalam folikel yang biasanya berlangsung longgar dan tipis berubah
menjadi padat dan melekat sehingga sukar lepas dari saluran folikel tersebut.
3. Peningkatan jumlah flora folikel
Corynebacterium acnes (Proprionibacterium acnes), Staphylococcus epidermidis
dan Pityrosporum ovale (Malassezia furfur)berperan pada proses kemotaktik inflamasi
serta pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi lipid sebum. Bakteri yang dominan
sebagai flora di folikel pilosebasea adalah Corynebacterium acnes (Proprionibacterium
acnes).

4. Peradangan (inflamasi) Kemungkinan proses inflamasi diakibatkan oleh mediator aktif


yang dihasilkan oleh P.acnes yang terdapat pada didalam folikel. Proprionibacterium
acnes dapat memicu reaksi radang imun dan non imun:
 P.acnes memproduksi lipase yang dapat menghidrolisis trigliserid dari sebum
menjadi asam bebas yang bersifat iritasi dan komedogenik
 Pelepasan faktor kemotaktik pada P.acnes akan menarik lekosit atau sel darah
putih kedaerah lesi. Enzim hidrolisis yang dihasilkan oleh lekosit dapat merusak
dinding folikel kemudian isi folikel seperti sebum, epitel yang mengalami
keratinisasi, rambut dan P.acnes masuk ke dermis sehingga timbul inflamasi
 Aktifitas komplemen dari pejamu Proliferasi Proprionibacterium acnes
kemungkinan terjadi produksi sebum yang meningkat
Patofisiologi

 peningkatan ekskresi sebum (komedogenik dan inflamatogenik)


 hiperkeratinisasi dari saluran pilosebasea
 peningkatan jumlah flora normal : Propionibacterium acnes → bersifat
kemotaktik dan menghasilkan enzim lipolitik (lipase) → mengubah
trigliserida → asam lemak bebas → inflamasi folikel pilosebasea
 terjadinya keradangan kelenjar pilosebasea
Klinis acne
• akne komedonal : – sebagian besar lesi berupa komedo terbuka (black heads)
dan komedo tertutup (white tertutup (white heads)

Penatalaksanaan Akne
 pembersihan muka sedikitnya 3 kali sehari
 pilih kosmetika yang bersifat non komedogenik atau oil free
 diet seimbang
 pengobatan topikal untuk akne komedonal :
 sulfur, asam salisilat, resorsinol (akne krim/lotion)
 asam retinoat/ tretinoin 0,025% - 0,1% (hanya untuk malam
hari)
 asam azeleat 15-20%
 AHA : glycolic acid 3-8%
 ekstraksi komedo

• akne papulopustuler : – sebagian besar lesi berupa papula dan pustulua yang
meradang

Penatalaksanaan untuk akne papulopustuler ringan :

 sulfur, asam salisilat, resorsinol (akne krim/lotion)


 Topical tretinoin 0 025%cream Topical tretinoin 0.025%cream
 benzoil peroksida 2,5 –10%
 antibiotika topical : eritromisin 1%, klindamisin 1%
untuk akne papulopustuler sedang – berat :
 antibiotika sistemik, dimulai dengan dosis :tetr
 asiklin 2 X 500 mg/hari
 doksisiklin 2 X 100 mg/hari
 minosiklin 2X50-100 mg/hari
 eritromisin 2 X 00 /h i itromisin 2 X 500 mg/hari
 baktrim 2 X 1-2 tablet/hari
 dicoba minimal selama 6-8 minggu
 dapat dikombinasi dengan pengobatan topical
 bila pengobatan di atas gagal, pada wanita dapat dicoba :
 pengobatan hormonal dengan esterogen atau anti androgen :
Ciprosteron acetate

• akne konglobata : – sebagian besar lesi berupa nodus dan kista yang meradang
kadang2 meradang, kadang2 terbentuk sinus – Cysts pada acne adalah
PseudoCyst krn tidak mempunyai capsul ( epithelial Lining)

Penatalaksanaan AKNE KONGLOBATA

 sama seperti akne papulopustuler berat


 bisa dikombinasi dengan suntikan kortikosteroid intra lesi
 alternatif lain :
 diberikan tambahan kortikosteroid oral dalam waktu 2 – 3 minggu sampai
inflamasi reda
 isotretinoin oral (Roaccutane) : 0,5-1 mg/kg BB, selama 16- 20 minggu, dosis
total sekitar 120 mg/ kg BB, hindari pemberian bersamaan dengan tetrasiklin
efek samping : teratogenik, peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida,
cheilitis, nyeri otot, bertambah beratnya kondisi jerawat pada awal pengobatan,
gangguan fungsi hati, depresi
• akne fulminan : – akne konglobata yang sangat meradang disertai dengan
demam dengan demam, malaise, leukositosis dan nyeri persendian. – Sering
pada pria. – Predileksi : dada dan punggung

• akne sikatrikal : – sebagian besar lesi berupa jaringan parut hipertropik, keloid
ice keloid, ice-pick scars, depressed fibrotic scars dan macula atropik

Penatalaksanaan untuk jaringan parut :

 dermabrasi, eksisi jaringan parut hipertropik atau atropik, laser


CO2,chemical peeling dengan asam triklor asetat

• Akne infantile (acne neonatorum) – Akne pada bayi akibat pengaruh h ib


ormon ibu sewaktu dalam kandungan

• akne kosmetika : – akibat pemakaian kosmetika yang bersifat komedogenik


• akne ekskoriae : – lesi ekskoriasi lebih menonjol dari pada lesi akne yang
sesungguhnya

• Akne venenata : – akne timbul setempat akibat adanya kontak dengan bahan
yang dengan bahan yang bersifat komedogenik misalnya akibat minyak, klor

• Akne mekanikal : – terjadi pada tempat yang sering terjadi gesekan seperti
akibat ikat kepala akibat ikat kepala pada dahi, pengikat helm
4) Menjelaskan Patofisiologi gatal
Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat memicu terjadi pruritus.
Stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang terletak di dekat junction dermoepidermal
bertanggung jawab untuk sensasi ini. Sinaps terjadi di akar dorsal korda spinalis (substansia
grisea), bersinaps dengan neuron kedua yang menyeberang ke tengah, lalu menuju traktus
spinotalamikus kontralateral hingga berakhir di thalamus. Dari thalamus, terdapat neuron
ketiga yang meneruskan rangsang hingga ke pusat persepsi di korteks serebri.

Sempat diduga bahwa pruritus memiliki fungsi untuk menarik perhatian terhadap stimulus yang
tidak terlalu berbahaya (mild surface stimuli), sehingga diharapkan ada antisipasi untuk
mencegah sesuatu terjadi. Namun demikian, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran dan
penemuan teknik mikroneurografi (di mana potensial aksi serabut saraf C dapat diukur
menggunakan elektroda kaca yang sangat halus) berhasil menemukan serabut saraf yang
terspesiaslisasi untuk menghantarkan impuls gatal, dan dengan demikian telah mengubah
paradigma bahwa pruritus merupakan stimulus nyeri dalam skala ringan.5
Saraf yang menghantarkan sensasi gatal (dan geli, tickling sensation) merupakan saraf yang
sama seperti yang digunakan untuk menghantarkan rangsang nyeri. Saat ini telah ditemukan
serabut saraf yang khusus menghantarkan rangsang pruritus, baik di sistem saraf perifer,
maupun di sistem saraf pusat.4 Ini merupakan serabut saraf tipe C – tak termielinasi. Hal ini
dibuktikan dengan fenomena menghilangnya sensasi gatal dan geli ketika dilakukan blokade
terhadap penghantaran saraf nyeri dalam prosedur anestesi.3 Namun demikian, telah ditemukan
pula saraf yang hanya menghantarkan sensasi pruritus. Setidaknya, sekitar 80% serabut
saraf tipe C adalah nosiseptor polimodal (merespons stimulus mekanik, panas, dan
kimiawi); sedangkan 20% sisanya merupakan nosiseptor mekano-insensitif, yang tidak
dirangsang oleh stimulus mekanik namun oleh stimulus kimiawi. Dari 20% serabut saraf ini,
15% tidak merangsang gatal (disebut dengan histamin negatif), sedangkan hanya 5% yang
histamine positif dan merangsang gatal. Dengan demikian, histamine adalah pruritogen yang
paling banyak dipelajari saat ini. Selain dirangsang oleh pruritogen seperti histamin, serabut
saraf yang terakhir ini juga dirangsang oleh temperatur.
Lebih dari itu, perkembangan ilmu kedokteran telah menunjukkan bahwa sel- sel keratinosit
mengekspresikan mediator neuropeptida dan receptor yang diduga terlibat dalam
patofisiologi pruritus, termasuk diantaranya NGF (nerve growth factor) dan reseptor
vanilloid TRPV1 ; serta PAR 2 (proteinase activated receptor type 2), juga kanal ATP
berbasis voltase. Dengan demikian, epidermis dan segala percabangan serabut saraf
intraepidermal terlebih tipe C-lah yang dianggap sebagai reseptor gatal, bukan hanya
persarafan saja.
5) Menjelaskan imunologi kulit dan mediator inflamasi.
REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I
 Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100
tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada
saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru
diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat
peradangan lainnya.
 Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi
selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang
berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang
bersangkutan.
 Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-
protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang
menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin
atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
 Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai
komplemen).
 Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator
yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil
(NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan
metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
 Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan
fase lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat  Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat
biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan
dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel
mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator
farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
 Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat  Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast
masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa
reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast
dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke
tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan
meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
 Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat
dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor  dan
sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan
sel lain.
 Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP)
afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor
kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam
peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah
reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan
kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.
 Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I)  Seperti telah diuraikan di atas
bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik
yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan
mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator).   Menurut asalnya
mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau
basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator
primer (mediator sekunder).  
 

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast


Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic  (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase.
Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah
kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1
ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen.
Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan
terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi
gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang
usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya
dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak
dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin
membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel
peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin
dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung.
Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2
diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

 
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang
yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan
tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada
basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang
terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit
alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A
dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)


NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia
setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam
sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya
urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan
cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan
pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di
tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor
aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur
siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang
berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).

1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau
lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2
(TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk
PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi
trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama
reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali
PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin
menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi
peradangan pada alergi belum diketahui.

2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang
dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta
merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang
tersensitisasi.
‘Slow reacting substance of anaphylaxis’
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama
dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara
kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting
dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali
dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang
sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam
arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

 
Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)
Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat
menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu
PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin
ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada
manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui
aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI


Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin
yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan
aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai
respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu
terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada
serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan
adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen
di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons
terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan
reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan
menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan
memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan
menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar
genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2.
Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak
memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC)
yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian
memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata
sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga
mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan 
dapat  langsung  dari  sel  mast  atau  dari  sel  lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast.
Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel
limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel
limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell
stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat
oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0  
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi
atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia
(lihat Gambar 12-6).  Sitokin  lain  yang  mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF
(monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal
T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu
sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi
pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat
Gambar 12-7).
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi
eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan
komplemen C5a, LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada
alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF
berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil,
basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan
yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5,
GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan
eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi
hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti
fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
1. Fransisca Cahyono.Kombinatorial dalam hukum pewarisan Mendel Institut
TeknologiBandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia Makalah
Probabilitas dan Statistik Tahun 2010
2. Halwan, Amamy, Heriditary Disorder Bulletin of the World Health Organization,
1994, 72 (1): 145-154
3. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Osteoartritis, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi,
I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi
Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252
4. McFaden, ER. (2005), Osteoartritis, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL.
Draunwald, E. Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of Medicine,
16th ed, Vol 2, McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.
5. Anonymous, Mendels Laws Of Inheritance 2009 Volume IV Gemetocs
6. Ahmad H asdie Osteoartritis Unit Pelayanan Ilmu Penyakit Dalam FK Gadjah
Mada/ RSUP Sardjito , Yogjakarta Jilid XXII 1990
 
 

Anda mungkin juga menyukai