Anda di halaman 1dari 6

1.

Stroke Kardioemboli
 Defenisi
Stroke kardiomegali adalah suatu gangguan neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah, dimana secara mendadak atau cepat timbul gejala dan tanda yang
sesuai dengan daerah, fokal diotak, akibat sesuatu emboli yang berasal dari jantung.
Stroke kardiomegali awitannya dimulai dengan defisit neurologik fokal yang dapat
menjadi lebih berat, dasar diagnosa klinik dibuktikan dengan adanya sumber emboli dari
jantung dan tidak ditemukan penyebab lain dari strokenya.

 Etiologi
 Faktor risiko yang dapat dimodifikasikan
1. Tekanan darah tinggi
Risiko mayor untuk serangan jantung dan faktor risiko terpentingnya pada stroke
2. Abnormal blood lipids
Total kolestrol tinggi, LDL-kolestrol dan kadar trigliserida, dan kadar HDL-kolestrol
rendah
meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke iskemik.
3. Perokok
Meningkatkan risiko penyakit jantung, terutama pada orang muda dan perokok berat.
Perokok pasif
mempunyai risiko yang sama.
4. Inaktifitas fisik
Meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke 50%
5. Obesitas
Risiko mayor untuk penyakit jantung koroner dan diabetes
6. Makanan tidak sehat
Rendah konsumsi buah-buahan dan sayuran diperkirakan menyebabkan 31% penyakit
jantung dan
11% stroke. Asupan saturasi lemak yang tinggi meningkatkan risiko penyakit jantung dan
stroke
akibat efek pada lipid darah dan trombosis
7. Diabetes melitus
 Faktor risiko mayor yang tidak dapat dimodifikasikan
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Genetik

 Patofisiologi
Emboli yang berasal dari jantung merupakan penyebab yang paling umum yang
dapat diidentifikasi pada pasien stroke iskemik. Angka kejadiannya sekitar 15-30% dari
seluruh stroke iskemik. Emboli jantung dapat menuju ke sirkulasi otak dan menyumbat aliran
darah otak dengan mengoklusi arteri, yang mana diameter lumen arteri sama dengan ukuran
dari emboli.
Sumber paling umum dari kardioemboli trombus intrakardiak dan mural yang dapat
disebabkan oleh fibrilasi atrium, kardiomiopati dengan pengurangan fraksi ejeksi dan
abnormalitas pergerakan dinnding yang mengikuti infark miokardium. Penyakit jantung katup
terutama akibat penyakit jantung rematik, regurgitasi atau stenosis mitral berat, katup jantung
buatan dan endokarditis, juga merupakan salah satu penyebab yang cukup sering. Penyebab
yang jarang adalah atrial myxoma, yang mana emboli sebagian besar merupakan sel
neoplastik. Partikel lainnya dapat menuju sirkulasi vena dan mengembolisasi melalui defek
pada jantung, sebagai contoh lemak dari fraktur tulang, udara dari trauma atau prosedur
pembedahan paru, sinus duramater, atau vena jugularis.
Kardioemboli menyebabkan penyumbatan cabang arteri besar dan kecil dari arteri
serebral utama, tergantung dari ukuran partikel emboli. Sumbatan kardioemboli biasanya
mengalami rekanalisasi yang dapat mengakibatkan transformasi hemoragik.

 Manifestasi Klinis
1. Penurunan kesadaran pada saat onset stroke
2. Onset yang tiba-tiba dari keluhan gejala yang maksimal
3. Temuan segera dari gejala defisit hemisfer yang luas
4. Dicetuskan oleh manuver valsava
5. Gejala memperlihatkan keterlibatan tertori vaskular yang berbeda dari otak
6. Tidak ditemukannya kejang ataupun nyeri kepala pada saat onset
7. Emboli kardiogenik (terutama dari sumber kelainan katup)

 Diagnosis
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Beberapa faktor dapat membuat anamnesis menjadi sedikit sulit untuk mengetahui
gejala atau onset stroke seperti:
1. Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan hingga pasien
bangun
(wake up stroke).
2. Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari pertolongan
3. Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4. Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang, infeksi sistemik, tumor
serebral, perdarahan subdural, ensefalitis dan hiponatremia.
 Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan Darah Perifer Lengkap (DPL), Gula Darih Sewaktu (GDS), Fungsi
Ginjal (Ureum, Kreatinin dan Asam Urat), Fungsi Hati (SGOT dan SGPT), Protein darah
(Albumin, Globulin), Hemostasis, Profil Lipid (Kolesterol,Trigliserida, HDL, LDL),
Homosistein, Analisa Gas Darah dan Elektrolit
2. EKG
Elektrokardiogram dilakukan untuk mendeteksi infark miokard atau aritmia jantung,
misalnya atrial fibrilasi, yang merupakan factor predisposisi untuk resiko emboli.
3. Radiologi
Teknik-teknik pencitraan berikut ini juga sering digunakan:
- Pemeriksaan Rontgen dada untuk melihat ada tidaknya infeksi maupun kelainan jantung
- Brain CT-Scan (Golden Standard)
Berguna untuk menentukan:
a) Jenis patologi
b) Lokasi lesi
c) Ukuran lesi
d) Menyingkirkan lesi non-vakuler
- Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail jika dibandingkan dengan CT-Scan, tetapi ini
bukanlah golden standart untuk stroke. Jika CT-Scan dapat selesai dalam beberapa menit,
MRI perlu waktu lebih dari satu jam untuk hasil. MRI dapat dilakukan kemudian selama
perawatan pasien jika detail yang lebih baik diperlukan untuk membuat keputusan medis lebih
lanjut.
- Fungsi lumbal terkadang diperlukan untuk menyingkirkan meningitis atau perdarahan
 Diagnosis Banding
1. Trombosis in situ
2. Hematom akut
3. Stroke iskemik karena aterotrombosis

 Tatalaksana
Terapi dibedakan pada fase akut dan pasca fase akut
 Fase akut (Hari ke 0-14 sesudah onset penyakit)
Penggunaan obat untuk memulihkan aliran darah dan metabolisme otak yang menderita di
daerah iskemik antara lain :
1. Anti-edema otak :
- Gliserol 10% perinfus, 1gr/kgBB/hari dalam 6 jam
- Kortikosteroid, yang banyak digunakan deksametason dengan bolus 10-20mg i.v. diikuti
4-
5mg/6jam selama beberapa hari.
2. Anti-agregasi trombosit
Asam asetil salisilat (ASA) seperti aspirin,aspilet,dengan dosis rendah 80-300mg/hari
3. Antikoagulansia,misalnya heparin
4. Lain-lain :
- Trombolisis (trombokinase) masih dalam uji coba
- Obat-obat baru dan Neuro Protectif : Citicoline,piracetam,nimodipine
 Fase pasca akut
Setelah fase akut berlalu,sasaran pengobatan dititik beratkan tindakan rehabilitasi penderita,
dan pencegahan terulangnya stroke.
1. Rehabilitasi
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia diatas 45 tahun,maka yang
paling penting pada masa ini ialah upaya membatasi sejauh mungkin kecacatan penderita,fisik
dan manual,dengan fisioterapi,terapi wicara dan psikoterapi.
2. Terapi preventif
Tujuannya untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru stroke,dengan
cara mengobati dan menghindari faktor-faktor risiko stroke :
- Pengobatan hipertensi
- Mengobati diabetes melitus
- Menghindari rokok,obesitas,stress
- Berolahraga teratur

 Komplikasi
1. Komplikasi Neurologik
- Edema otak (berniasi otak)
- Infark berdarah (pada emboli otak)
2. Komplikasi Non-eurologik (akibat proses di otak)
- Tekanan darah meninggi
- Hiperglikemia
- Kelainan jantung
- Retensi cairan tubuh

 Prognosis
Pada umumnya, stroke kardioemboli memiki prognosis jelek dan lebih banyak
mengakibatkan kelumpuhan akibat stroke dari pada sub tipe stroke iskemik lainnya. Pada
pengamatan umum ini berasal dari emboli yang berasal dari ruang jantung yang rata-rata
berukuran besar.

2. Delirium
 Defenisi
Sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset akut dan berfluktuasi
yang biasanya berkembang pada lansia.Perubahan kesadaran dan kognisi dengan
berkurangnya kemampuan untuk fokus, mempertahankan, atau mengahlikan perhatian.
Gangguan fungsi memori, dan kemampuan perencanaan dan organisasi, pola tidur yang
berubah, gangguan proses pikir, afek, persepsi, dan tingkat keaktifan.

 Etiologi
1. Faktor predisposisi
- Demensia
- Obat-obatan multiple
- Umur lanjut
- Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit parkinson
- Gangguan penglihatan dan pendengaran
- Ketidakmampuan fungsional
- Hidup dalam institusi
- Ketergantungan alkohol
- Isolasi social
- Kondisi komorbid multiple
- Depresi
- Riwayat delirium post-operative sebelumnya
2. Faktor presipitasi
1. Modikasi
2. Penyakit
- Infeksi
- Metabolik
- Kelainan SSP
- Perubahan lingkungan
- Penurunan rangsangan sensoris
- Lainnya : bedah, syok, demam, hipotermia, anemia

 Gejala
1. Perubahan kesadaran : sulit fokus atau berpindah fokus terhadap sesuatu
2. Gangguan fungsi kongnitif : disorientasi (tempat dan waktu), gangguan memori singkat
3. Disorganisasi pikiran (tagensial atau frank inkoheren), ilusi dan halusinasi
4. Gangguan psikomotor : hiperaktivitas/hipoaktivitas
5. Gangguan mood : disforia, euforia
6. Gangguan tidur-bangun
7. Gangguan neurologis lainnya : hiperakivitas autonom, mioklonik jerking, disatria

 Diagnosis
 Anamnesis
Gejala delirium dapat dibagi menjadi hipoaktif, hiperaktif, dan campuran.
1. Delirium hiperaktif ditandai dengan peningkatan aktivitas motorik, agitasi, marah, atau euforia.
Gejala ini lebih mudah dikenali dan berpotensi membahayakan.
2. Delirium hipoaktif menunjukkan gejala penurunan aktivitas motorik, cemas, mudah dan mudah
lelah.
Tipe hipoaktif lebih sulit dikenali dan sering didiagnosis sebagai depresi.
3. Gejala utama delirium adalah gangguan atensi dan kognitif. Gejala muncul dalam beberapa jam
hingga hari dan dapat bertahan beberapa bulan, serta berfluktuasi dalam satu hari. Kadang,
pasien
mengalami fase prodromal yang ditandai dengan kelelahan, gangguan tidur, depresi, cemas,
iritabilitas, dan sensitif terhadap suara atau cahaya.
 Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan kesadaran : neurologis/psikologis/sosial
2. Pemeriksaan tanda vital dan status generalis
- Kepala : wajah, mata, hidung, tenggorok
- Leher : pembuluh carotis, tiroid, KGB
- Jantung dan paru
- Traktus gastrointestinal
- Traktus hepatobilier
3. Pemeriksaan fisik neurologis
4. Pemeriksaan MMSE (Mini-Mental State Examination) dapat dilakukan untuk menentukan apakah
pasien memiliki gangguan fungsi kongnitif dan sebagai acuan untuk menilai perjalanan
penyakit
apakah terdapat perbaikan/perburukan dalam fungsi kongnitif.
 Pemeriksaan penunjang
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan, dan indikasi sesuai
dengan klinis
yang ditemukan :
1. Pemeriksaan darah : darah lengkap, elektrolit, fungsi hepar, fungsi ginjal, kadar glukosa darah,
analisis gas darah, pemeriksaan fungsi tiroid
2. Urinalisis, EKG, EEG, foto thoraks, dan pemeriksaan spesifik lainnya ( HIV antibodi, lumbal,
punksi, kultur darah, dll).
3. Pemeriksaan EEG pada pasien delirium terjadi perlambatan dari aktivitas neuronal secara umum

 Tatalaksana
 Farmakologi
Terapi farmakologis dapat diberikan pada kasus agitasi berat yang dapat mengganggu
terapi utama atau berpotensi melukai diri sendiri maupun orang lain. Gejala psikosis berat
seperti halusinasi dan waham juga merupakan indikasi terapi farmakologis.
 Antipsikotik generasi 1
Golongan antipsikotik dapat mengatasi agitasi dan gejala psikosis.
1. Haloperidol dosis tinggi (>4,5 mg/hari) lebih sering menimbulkan efek samping ekstrapiramidal.
2. Haloperidol dosis rendah (0,5–1 mg, dapat diulang 1–2 jam sesuai kebutuhan, dosis maksimal 5
mg/hari) diberikan  secara per oral, intramuskular, atau intravena.
 Antipsikotik generasi kedua
1. Risperidon (0,5–3 mg, setiap 12 jam),
2. Olanzapin (2,5–15 mg, sekali sehari),
3. Quetiapin (25–200 mg, setiap 12 jam). Ketiganya diberikan secara per oral.
 Benzodiazepin
Benzodiazepin dapat digunakan untuk delirium yang disebabkan oleh withdrawal alkohol
1. Lorazepam 0,5–1 mg, dapat diulang 1–2 jam sesuai kebutuhan secara per oral atau intravena.
 Antikolinesterase
Pemberian antikolinesterase inhibitor masih menjadi kontroversi.

 Obat lainnya
1. Ramelteon merupakan agonis reseptor melatonin. Obat ini dapat memperbaiki siklus dan kualitas
tidur sehingga mengurangi gejala delirium. Ramelteon diberikan 8 mg secara per oral, 30
menit
sebelum tidur.
2. Tiamin (B1) dapat diberikan pada ensefalopati Wernicke. Dosis yang dianjurkan adalah 100 mg
(IV),
dilanjutkan dengan 50–100mg/hari (IV atau IM).
3. Sianokobalamin (B12) dapat diberikan untuk delirium yang disebabkan kekurangan B12.

 Nonfarmakologik
Agitasi ringan dapat diatasi dengan terapi non-farmakologi sebagai berikut:
1. Menghentikan konsumsi obat antikolinergik dan zat psikoaktif.
2. Melakukan reorientasi sederhana menggunakan jam, kalender, atau foto keluarga.
Reorientasi juga dapat dilakukan secara verbal dengan bercerita pada pasien.
3. Mengajak keluarga pasien untuk menenangkan pasien secara verbal.
4. Memperbaiki siklus dan kualitas tidur.
5. Menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Sebaiknya, pasien tidak terlalu
sering berpindah ruang rawat.
6. Fiksasi fisik sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan agitasi serta
menyebabkan imobilitas, ulkus dekubitus, dan aspirasi.
7. Pasien tidak boleh dibiarkan sendiri karena berpotensi membahayakan diri sendiri.

Selain mengatasi delirium,keadaan umum pasien perlu dijaga melalui langkah berikut:
1. Memberikan asupan cairan dan nutrisi yang cukup
2. Meningkatkan mobilisasi dan range of motion
3. Mencegah kerusakan kulit
4. Mengatasi nyeri,rasa tidak nyaman,dan inkontensia
5. Mengurangi resiko pneumonia aspirasi

Anda mungkin juga menyukai