Anda di halaman 1dari 37

STATUS PENDERITA

I.

ANAMNESIS Data-data anamnesis didapatkan melalui alloanamnesis keluarga yang sedang berada di tempat. A. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Agama Alamat Tanggal masuk : Ny. K : 68 tahun : Perempuan : Ibu Rumah Tangga : Islam : Gadingan 01/06 Mojolaban Sukoharjo : 08 November 2011

Tanggal Pemeriksaan : 22 November 2011 No. CM B. Keluhan Utama Kaki kiri bengkak : 01095450

C. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh kaki kirinya tiba-tiba bengkak. Bengkak awalnya lunak, namun lambat laun mengeras. Bengkak tersebut menjalar dari bawah ke atas hingga ke dada kiri. Bengkak dirasakan kurang begitu nyeri. Sejak pasien mengeluh bengkak, aktivitas pasien menjadi berkurang dan akhirnya terbatas dalam beraktivitas, hanya berbaring di atas tempat tidur. BAK dan BAB kurang lancar. D. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Trauma : (+) 5 tahun yang lalu. Pasien keseleo, dan pinggangnya jadi sakit Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM Riwayat Penyakit Jantung

: disangkal : disangkal

Riwayat Alergi obat/makanan: disangkal Riwayat Penyakit Serupa E. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Hipertensi Riwayat DM Riwayat Penyakit Jantung Riwayat Alergi Riwayat Asma F. Riwayat Kebiasaan Riwayat Merokok Riwayat minum alkohol Riwayat Olahraga G. Riwayat Status Gizi Penderita biasa makan dua kali sehari dengan nasi kurang dari 1 piring, lauk pauk: tahu, tempe, daging jarang. Penderita minum air putih 4 perhari. H. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien adalah seorang seorang wanita dengan 3 orang anak. Semua anaknya sudah berkeluarga dan bekerja serta tinggal terpisah, suami sudah meninggal. Pasien tinggal bersama saudaranya dan cucunya. Pasien sudah tidak bekerja, biaya hidupnya ditanggung saudara dan anaknya. Pasien menjalani pengobatan rawat inap di RSDM dengan menggunakan fasilitas Jamkesmas. II. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis Keadaan umum sakit berat, Somnolen E4V4M5, gizi kesan kurang 5 gelas : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

B. Tanda Vital Tekanan darah Nadi Respirasi Suhu C. Kulit Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-), spider naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-). D. Kepala Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut. E. Mata Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-) F. Hidung Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-) G. Telinga Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-) H. Mulut Bibir simetris (+), lidah simetris (+), bibir kering (+), sianosis (-), lidah tremor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (+), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-) I. Leher Simetris, trakea di tengah, JVP (R+3) ,limfonodi tidak membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-) : 130/80 mmHg : 84x/ menit, isi cukup, irama teratur, tidak simetris : 20 x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal : 36,70C per aksiler

J. Thoraks a. Retraksi (-) b. Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : Ictus Cordis tampak : Ictus Cordis kuat angkat : batasjantung kesan melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-) c. Paru Inspeksi Palpasi Perkusi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan paradoksal (-) : fremitus raba kanan = kiri : sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : suara dasar ( vesikuler / vesikuler ),RBH (-), RBK (-) K. Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi L. Ekstremitas Oedem + Akral dingin + + : dinding perut lebih tinggi dinding dada : peristaltik (+) normal : redup, pekak alih (+) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, bruit (-)

M.

Status Neurologis Kesadaran Fungsi Luhur : GCS E4V4E5 : sulit dievaluasi

Fungsi Vegetatif : IV line, NGT, DC Fungsi Sensorik Rasa Ekseteroseptik Suhu Lengan (+/+) Lengan Nyeri Rabaan Rasa Propioseptik Rasa Getar Rasa Posisi Rasa Nyeri Tekan (+/+) (+/+) Lengan (+/+) (+/+) (+/+) Tungkai (+/-) Tungkai (+/-) (-/-) Tungkai (+/-) (+/-) (+/-) (+/-)

Rasa Nyeri Tusukan ( + / + ) Fungsi Motorik dan Reflek : Atas Ka/ki a. Lengan Pertumbuhan / / Tengah ka/ki

Bawah ka/ki

Tonus Reflek Fisiologis Reflek Biseps Reflek Triseps

n/n

n/n

n/n

+2/+2 +2/+2

Reflek Patologis Reflek Hoffman Reflek Tromner -/ -/ -

Atas Ka/ki b. Tungkai Pertumbuhan Tonus Reflek Fisiologis Reflek Patella Reflek Achilles Reflek Patologis Reflek Babinsky Reflek Chaddock Reflek Oppenheim Reflek Schaeffer Reflek Rosolimo +2/+2 +2/+2 / sde n /n

Tengah ka/ki

Bawah ka/ki

/ sde n /n

/ sde n/n

+/+ -/-/-/-/-

Nervus Cranialis N. III N. VII N XII : reflek cahaya (+/+) ; pupil isokor (3 mm/3mm) : sulit dievaluasi : saat diam, kesan sudut mulut kanan lebih rendah

Range of Motion (ROM) ROM Aktif sde sde sde sde Pasif 400 sde 300 450

ROM Flexi Extensi Lateral bend Rotasi

EKSTREMITAS SUPERIOR Shoulder Fleksi Ekstensi Abduksi Adduksi External Rotasi Internal Rotasi Elbow Fleksi Ekstensi Pronasi Supinasi Fleksi Ekstensi Ulnar deviasi Radius deviasi MCP I fleksi MCP II-IV fleksi DIP II-V fleksi PIP II-V fleksi MCP I ekstensi

ROM AKTIF Dextra Sinistra

ROM PASIF Dextra Sinistra 0-180 0-30 0-150 0-75 0-90 0-90 0-150 150-0 0-90 0-90 0-90 0-70 0-30 0-30 0-90 0-90 0-90 0-100 0-30 0-180 0-30 0-150 0-75 0-90 0-90 0-150 150-0 0-90 0-90 0-90 0-70 0-30 0-30 0-90 0-90 0-90 0-100 0-30

sde

sde

sde

Sde

Wrist

sde

sde

Finger

sde

sde

EKSTREMITAS INFERIOR Hip Fleksi Ekstensi Abduksi Adduksi Eksorotasi Endorotasi Fleksi Ekstensi Dorsofleksi Plantarfleksi

ROM AKTIF Dextra Sinistra

sde

sde

Knee Ankle

sde sde

sde

ROM PASIF Dextra Sinistra 0-140 0-30 0-30 0 0-45 0-20 0-45 0-20 0-80 0-40 0-80 0-30 0-130 0-45 0 0 0-40 0-10 0-40 0-10

Manual Muscle Testing (MMT) NECK y y Fleksor M. Strenocleidomastoideus Ekstensor : : 2 2 Dextra 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 Sinistra 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3

Shoulder

Elbow

Wrist

Ekstremitas Superior Fleksor M Deltoideus anterior M Biseps Ekstensor M Deltoideus anterior M Teres mayor Abduktor M Deltoideus M Biceps Adduktor M Lattissimus dorsi M Pectoralis mayor Internal M Lattissimus dorsi Rotasi M Pectoralis mayor Eksternal M Teres mayor Rotasi M Infra supinatus Fleksor M Biceps M Brachialis Ekstensor M Triceps Supinator M Supinator Pronator M Pronator teres Fleksor M Fleksor carpi radialis

Ekstensor Abduktor Adduktor Finger Fleksor Ekstensor

M Ekstensor digitorum M Ekstensor carpi radialis M ekstensor carpi ulnaris M Fleksor digitorum M Ekstensor digitorum

3 3 3 3 3

3 3 3 3 3

Hip

Knee Ankle

Ekstremitas inferior Fleksor M Psoas mayor Ekstensor M Gluteus maksimus Abduktor M Gluteus medius Adduktor M Adduktor longus Fleksor Harmstring muscle Ekstensor Quadriceps femoris Fleksor M Tibialis Ekstensor M Soleus

Dextra 2 2 2 2 3 3 2 2

Sinistra 1 1 1 1 1 1 1 1

Status Ambulasi Unindependent III. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. CT Scan Skull Tampak lesi hipodens di basal ganglia kiri Tak tampak midline deviasi (-) Sistem ventrikel dan cysterna tampak melebar Sulci dalam dan gyri dangkal Orbita, SPN, dan mastoid bilateral dalam batas normal Cerebellum dan cerebellopontin tak tampak kelainan

Craniocerebral space melebar Calvaria dan sistema tulang tampak intak Kesan : Infark basal ganglia sinistra Brain atrophy B. Echocardiografi Kesimpulan : Menyokong PJK dengan abnormalitas segmental wall motion LVH konsentrik dengan disfungsi diastolik gangguan relaksasi Gangguan sistolik dan diastolik ventrikel kiri (EF> 40%) AR, MR, dan TR mild Deep Vein Thrombosis 1/3 proximal vena femoralis C. X-Ray Thorax Kesan : Kardiomegali dengan konfigurasi HHD Scoliosis thorakalis D. Pemeriksaan Laboratorium darah HEMATOLOGI RUTIN Hb HCT AL AT AE INDEX ERITROSIT MCV MCH MCHC RDW 96,3 30,2 31,3 18,8 /um Pg g/dl % 80,0-96,0 28,0-33,0 33,0-36,0 11,6-14,6 11/11/201 1 12,5 40 6,7 76 4,13 SATUAN g/dl 103/Ql 103/Ql 106/Ql RUJUKAN 12,0-15,6 33-45 4,5-11.0 150-450 4.10-5.10

10

HDW MPV PDW HITUNG JENIS Eosinofil Basofil Neutrofil Limfosit Monosit KIMIA KLINIK Albumin Kolesterol total LDL Kolesterol HDL Kolesterol Trigliserid GDS ELEKTROLIT Natrium Kalium Klorida SEROLOGI HbsAg IV. ASSESMENT Dari bagian Kardiovaskuler: Anatomis Fungsional Etiologi

3,2 7,1 62

g/dl Fl %

2,2-3,2 7,2-11,1 25-65

0.30 0,10 89,10 5,80 4,80

% % % % %

0,00-4,00 0,00-2,00 55,00-80,00 22,00-44,00 0,00-7,00

2,6 182 200 38 140 100

g/dl mg/Dl mg/dL mg/dL mg/dL mg/dl

3.5 - 5.2 50-200 96-206 33-92 <150 <120

137 3,1 100

mmol/ L mmol/ L mmol/ L

136-145 3,3-5,1 96-106

Negative

Negative

: OMI Anteroseptal dan inferior : FC NYHA IV : Penyakit Jantung Koroner

11

Dari bagian Neurologi: Klinis : penurunan kesadaran, bihemiparesis Topis : Subcortex Etiologi: Stroke Non Hemoragik berulang

V.

PENATALAKSANAAN 1. Non-Medikamentosa y y y 2. Bed Rest total, head up 30o Diet Sumsum 1700 kkal Program rehabilitasi medik

Medikamentosa y y y y y y y y y y y O2 4 lpm IVFD RL 12 tpm Inf. Aminovel 1 flab/hari Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam Furosemid tab 1-0-0-0 Digoksin 0,25 mg -0-0 Aspilet 80 mg 1x1 Spironoloakton 100 mg 1x1 Na diklofenak 20 mg 3x1 Simar C 2 0-0-2 Cefadroksil 2x1

VI.

DAFTAR MASALAH 1. Problem Medis : Edema tungkai Bihemiparesis

12

2. Problem Rehabilitasi Medik a. Fisioterapi bawah b. Terapi wicara : Tidak dapat dievaluasi c. Okupasi Terapi : Gangguan dalam melakukan aktivitas fisik d. Sosiomedik sehari-hari e. Ortesa-protesa : Keterbatasan mobilisasi f. Psikologi : Tidak dapat dievaluasi : Memerlukan bantuan untuk melakukan aktivitas : Pasien merasakan kelemahan kedua anggota gerak

3. Rehabilitasi Medik: a. Fisioterapi y y y :

Elevasi tungkai Stretching tungkai kanan ROM exercise general

b. Terapi wicara : tidak dilakukan c. Okupasi terapi : melatih keterampilan dalam melakukan aktivitas sehari-hari d. Sosiomedik y y :

Motivasi dan edukasi keluarga tentang penyakit penderita Motivasi dan edukasi keluarga agar kontrol teratur di sarana kesehatan (untuk stroke dan kemungkinan terjadinya ulkus)

e. Ortesa-Protesa : dilakukan untuk membantu ambulasi pasien f. Psikologi keluarga : Psikoterapi suportif untuk mengurangi kecemasan

13

VII.

IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP Impairment Disability Handicap : penurunan kesadaran, bihemiparesis : Penurunan fungsi anggota gerak : Keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari

VIII. TUJUAN 5. Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat waktu perawatan 6. Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan 7. Meminimalkan impairment, disability dan handicap 8. Membantu penderita sehingga mampu mandiri dalam menjalankan aktivitas sehari-hari 9. Edukasi perihal home exercise

IX.

PROGNOSIS Ad vitam Ad sanam Ad fungsionam : dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad bonam

14

TINJAUAN PUSTAKA

I.

TROMBOSIS VENA DALAM (DVT) A. Definisi Trombosis vena dalam adalah terbentuknya sumbatan aliran darah vena kerena trombosis di dalam pembuluh darah vena terutama pada vena tungkai bawah yang ditandai dengan tungkai yang membengkak dan nyeri. Bekuan darah dapat terbentuk pada vena permukaan (superfisial) dan vena dalam. Pertama kali diperkenalkan sebagai penyakit vena perifer oleh Eber papyrus pada tahun 1550 sebelum masehi dan yang berasal dari perdarahan yang fatal post-operasi vena varises. Pada tahun 1644, Shenck pertama kali meneliti thrombosis vena ketika ia menjelaskan tentang oklusi di vena cava inferior. Pada tahun 1846, Virchow memperkenalkan hubungan antara thrombosis vena pada kaki dan emboli paru.2

15

B. Faktor Resiko3 1. Imobilisasi a. Perjalanan dan duduk yang (sindrom kelas ekonomi) b. Rawat inap di rumah sakit c. Operasi d. Trauma pada ekstremitas bawah dengan atau tanpa operasi e. Kehamilan, termasuk 6 f. obesitas 2. Hiperkoagulasi a. Medikasi (misalnya pil KB) b. Merokok c. Predisposisi genetic d. Polisitemia 8 minggu post-partum terlalu lama, misalnya penerbangan

16

e. kanker 3. Trauma pada vena a. Fraktur ekstremitas bawah b. Komplikasi prosedur invasif pada vena C. Patogenesis dan Patofisiologi Thrombosis merupakan mekanisme hemostatik dimana koagulasi atau bekuan darah merupakan bentuk proses setelah mengalami cedera atau jejas. Proses ini terbentuk dari beberapa tahapan yang terdiri dari aktivasi berbagai macam enzim yang berperan sebagai pemicu. Keseimbangan antara faktor pemicu dan enzim nampak cukup rumit.pembentukan mikrotrombus dan trombolisis adalah suatu kejadian yang berkelanjutan, tapi dengan adanya peningkatan stasis, faktor prokoagulan, atau jejas endotel, keseimbangan koagulasi-fibrinolisis obstruktif.
2,4

dapat

menjadi

dasar

terbentuknya

thrombus

Berikut adalah jalur hemostasis yang dapat dicetuskan baik melalui jalur intrinsik maupun ekstrinsik :

17

Sekalinya bekuan fibrin terbentuk, mekanisme hemostasis langsung bekerja untuk membentuk aliran darah yang normal dengan cara melisis deposit fibrin. Fibrinolisin yang bersirkulasi dalam darah berperan pada proses ini. Plasmin juga melisiskan fibrin serta meng-inaktivasi faktor pembekuan V dan VIII fibrinogen. Terbentuknya thrombus pada DVT melibatkan 3 faktor Virchow (triad Virchow), yakni: stasis vena, hiperkoagulabilitas, dan kerusakan vena. Stasis vena terjadi oleh karena apapun perlambatan atau penyumbatan aliran darah yang vena. menyebabkan Mengakibatkan

peningkatan viskositas dan pembentukan mikrotromus, yang tidak dapat dihilangkan melalui pergerakan aliran darah; thrombus yang terbentuk dapat membesar. Stasis vena terjadi pada pasien yang menjalani tirah baring dalam waktu yang lama karena otot gastrocnemius tidak berkontraksi dan memompa darah menuju jantung. Kerusakan endotel pembuluh darah dapat terjadi baik intrinsik atau sekunder terhadap trauma oleh karena jejas operasi atau cedera. Hiperkoagulabilitas dapat terjadi karena ketidakseimbangan biokimia dalam faktor koagulasi. Peningkatan koagulabilitas darah terjadi pada beberapa kanker dan pemakaian pil KB (lebih jarang), cedera atau pembedahan mayor. Hal ini berdampak pada peningkatan faktor aktivasi jaringan, yang diperberat dengan penurunan anti-trombin dan fibrinolisin yang bersirkulasi.2 Kontraktilitas dinding vena dan disfungsi katup vena berkontribusi pada perkembangan regurgitasi vena. Peningkatan tekanan vena

menyebabkan berbagai gejala varises vena, edema ekstremitas bawah dan ulserasi vena.2 Thrombus biasanya terbentuk di balik katup atau pada percabangan vena, dimana paling banyak didapatkan pada region cruris. Venodilatasi dapat mengganggu pertahanan endotel dan akhirnya memaparkan

permukaan subendotel. Trombosit menempel ke permukaan endotel oleh

18

karena adanya rangsang faktor von Willebrand atau fibrinogen pada dinding pembuluh. Neutrofil dan trombosit teraktivasi, mengeluarkan pro-koagulan dan mediator-mediator inflamasi. Neutrofil juga melekat di membrane basal dan bermigrasi ke endotel. Hal ini mengakibatkan terbentuknya fibrin. Leukosit merangsang reseptor endotel dan berekstravasasi ke dalam dinding vena oleh adanya kemotaksis.5,6 Setelah beberapa waktu, thrombus mulai membentuk bekuan dari infiltrasi sel-sel inflamasi. Hasilnya, terjadi penebalan intima fibroelastik di tempat thrombus menempel pada kebanyakan pasien dan sinekia fibrosa pada 11% pasien.2 Pada banyak pasien, hal ini mengakibatkan disfungsi katup dan fibrosis dinding vena. Pemeriksaan histologi menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara regulasi matriks jaringan pengikat dan tidak adanya kontraktilitas vena yang berperan pada perkembangan regurgitasi vena kronik. Sebanyak 29-79% pasien mengalami regurgitasi katup vena dengan DVT.7 Efek akut terhentinya aliran darah vena dapat diminimalisasi bila terdapat jalur kolateral. Sebagai gantinya, hal ini dapat mengakibatkan nyeri dan edema yang nyata bila aliran dipaksa berbalik arah. Adanya obstruksi aliran darah vena, kontraksi otot gastrocnemius mengakibatkan dilatasi vena. Dilatasi ini membuat katup menjadi disfungsi (karena masing-masing katup tidak dapat lagi menyatu) dan memaksa aliran balik darah melalui percabangan vena dan kembali ke sistem vena superficial. Aliran balik bertekanan tinggi ini dapat menyebabkan dilatasi sistem vena superfisial (biasanya bertekanan rendah). Kejadian-kejadian di atas (obstruksi yang menyebabkan dilatasi, stasis, disfungsi katup, dengan peningkatan tekanan aliran) dapat menyebabkan hemodinamik regurgitasi vena.8 D. Diagnosis 1. Anamnesis Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali. Jika trombosis menyebabkan peradangan hebat dan penyumbatan aliran

19

darah, otot gastrocnemius akan membengkak dan bisa timbul rasa nyeri, nyeri tumpul jika disentuh dan teraba hangat.

Pergelangan kaki, kaki atau paha juga bisa membengkak, tergantung kepada vena mana yang terkena. Beberapa trombus mengalami penyembuhan dan berubah menjadi jaringan parut, yang bisa merusak katup dalam vena. Sebagai akibatnya terjadi edema yang menyebabkan pembengkakan pada pergelangan kaki. Jika penyumbatannya tinggi, edema bisa menjalar ke tungkai dan bahkan sampai ke paha. Pagi sampai sore hari edema akan memburuk karena efek dari gaya gravitasi ketika duduk atau berdiri. Sepanjang malam edema akan menghilang karena jika kaki berada dalam posisi mendatar, maka pengosongan vena akan berlangsung dengan baik. Gejala lanjut dari trombosis adalah pewarnaan coklat pada kulit, biasanya di atas pergelangan kaki. Hal ini disebabkan oleh keluarnya sel darah merah dari vena yang teregang ke dalam kulit. Kulit yang berubah warnanya ini sangat peka, cedera ringan (misalnya garukan atau benturan), bisa merobek kulit dan menyebabkan timbulnya luka terbuka (ulkus). 2. Pemeriksaan fisik Tidak ada penemuan khusus. Mungkin akan didapatkan edema ekstremitas. 3. Pemeriksaan penunjang Diagnosis mungkin sulit ditegakkan bila tidak ditemukan nyeri dan seringkali tidak ditemukan pembengkakan atau pembengkakannya bersifat ringan. Jika diduga suatu trombosis, maka untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksan USG dupleks pada vena cruris. Jika ditemukan gejala emboli paru, dilakukan skening dada dengan radioaktif untuk memperkuat diagnosis dan skening dupleks untuk memeriksa tungkai.

20

E. Penanganan 1. Pengobatan terapetik y Untuk mencegah DVT, diberikan antikoagulan pada pasien yang beresiko dan imobilisasi ekstremitas yang terkena selama 48 ketika pasien menerima terapi.21 y Adanya riwayat DVT, tidak membatasi terapi latihan fisik. Kenyataannya, latihan tidak membuat gejala meberat dan membuat fleksibilitas pasien meningkat.22 y Intervensi fisik satu bulan post-DVT tidak memberatkan gejala atau tanda dimana kebanyakan pasien memulai aktivitas pre-DVT dalam 4 bulan.23 2. Fisioterapi y Bed rest merupakan hal terakhir yang dilakukan setelah dilakukan kompresi kaki dan ambulasi pada pasien yang sudah menderita DVT. Perkembangan thrombus jarang terjadi dan kurang berat pada kelompok ambulasi.24 y y Terapi fisik harus diberikan lebih dini untuk pasien DVT. Pada pasien post-operasi, dapat dilakukan latihan range of motion, latihan berjalan, dan latihan isometrik, yang dapat dimulai pada hari pertama setelah operasi. 3. Terapi manual y Terapi yang efektif pada pasien trauma (dengan antikoagulan) untuk mencegah DVT yakni gerakan pasif yang berkelanjutan. Misalnya menggerakan sendi kaki secara pasief sebanyak 30 kali dalam satu menit. 4. Protesa-Ortesa 72 jam

21

Penggunaan stoking kompresi elastic (ECS) setelah menderita DVT untuk mengurangi gejala dan tanda selama latihan tidak memberikan hasil yang konklusif.

5. Medikasi: terapi heparin, warfarin atau antikoagulan lainnya.

F. Pencegahan Meskipun resiko dari trombosis vena dalam tidak dapat dihilangkan seluruhnya, tetapi dapat dikurangi melalui beberapa cara:
a. Orang-orang yang beresiko menderita DVT (misalnya baru saja

menjalani pembedahan mayor atau baru saja melakukan perjalanan panjang), sebaiknya melakukan gerakan menekuk dan

meregangkan pergelangan kakinya sebanyak 10 kali setiap 30 menit.


b. Terus menerus menggunakan stoking elastis akan membuat vena

sedikit menyempit dan darah mengalir lebih cepat, sehingga bekuan darah tidak mudah terbentuk. Tetapi stoking elastis memberikan sedikit perlindungan dan jika tidak digunakan dengan benar, bisa memperburuk keadaan dengan menimbulkan

menyumbat aliran darah di tungkai.


c. Yang lebih efektif dalam mengurangi pembentukan bekuan darah

adalah pemberian obat antikoagulan sebelum, selama dan kadang setelah pembedahan.
d. Stoking pneumatik merupakan cara lainnya untuk mencegah

pembentukan bekuan darah. Stoking ini terbuat dari plastik, secara otomatis memompa dan mengosongkan melalui suatu pompa listrik, karena itu secara berulang-ulang akan meremas betis dan mengosongkan vena. Stoking digunakan sebelum, selama dan sesudah pembedahan sampai penderita bisa berjalan kembali.

22

II. STROKE NON HEMORAGIK A. Definisi Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler .9 B. Klasifikasi 1. Stroke Iskemik Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah.. Penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak, misalnya suatu ateroma atau endapan lemak.10 2. Stroke Hemoragik Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya menyebabkan penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya, dapat menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang otak.11 3. Serangan Iskemik Sesaat (TIA) Serangan Iskemik Sesaat (Transient Ischemic Attacks, TIA) adalah gangguan fungsi otak yang merupakan akibat dari berkurangnya aliran darah ke otak untuk sementara waktu. C. Faktor Resiko 1. Hipertensi. Kenaikan tekanan darah 10 mmHg dapat meningkatkan resiko terkena stroke sebanyak 30%. Merupakan faktor yang dapat diintervensi.

23

2. Arteriosklerosis, hiperlipidemia, merokok, obesitas, diabetes melitus, usia lanjut, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah tepi, hematokrit tinggi, dan lain-lain. 3. Obat-obatan yang dapat menimbulkan addiksi (heroin, kokain, amfetamin) dan obat-obatan kontrasepsi, dan obat-obatan hormonal yang lain, terutama pada wanita perokok atau dengan hipertensi. 4. Kelainan-kelainan hemoreologi darah, seperti anemia berat,

polisitemia, kelainan koagulopati, dan kelainan darah lainnya. 5. Beberapa penyakit infeksi, misalnya lues, rematik (SLE), herpes zoster. D. Diagnosis 1. Manifestasi Klinis Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau qudriparese, hilangnya

penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejalah atau onset stroke seperti:13,15,17

a. Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak


didapatkan hingga pasien bangun (wake up stroke).

b. Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk


mencari pertolongan.

24

c. Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke. d. Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke
seperti kejang, infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan hiponatremia. 2. Pemeriksaan Fisik11,12,15 Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan napasnya sendiri. Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningeal pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bells palsy di mana pada Bells palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau mengerutkan dahinya. Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.

25

a. Arteri serebri media (MCA): Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral, hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA

memperdarahi motorik ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih berat daripada tungkai bawah. b. Arteri serebri anterior: Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan bicara, timbulnyarefleks

primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat dari pada tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan inkontinensia uri. c. Arteri serebri posterior: Menimbulkan gejala seperti hemianopsia homonymous kontralateral, kebutaan kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral, gangguan memori. d. Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior): Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis, serebellar, batang otak yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo, nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda Babynski bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral). e. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior): Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa disebut amaurosis fugaks), komunikans posterior,

26

karoidea anterior, serebri anterior dan media sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul. f. Lakunar stroke: Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi. 3. Pemeriksaan Penunjang20 a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar

pembelajaran dan mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia. Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal). Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan. Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke. b. Pemeriksaan Radiologis18,19 1) CT Scan Non Kontras :

27

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses). Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-white matter. 2) CT angiografi Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan gambaran hipodense. 3) USG, ECG, X-Ray Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan

28

pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks. E. Penatalaksanaan13 1. Medikamentosa
a. Pemberian anti-koagulan, anti-platelet, trombolitik b. Obat Kejang. Kejang sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi

dengan pemantauan EEG.


c. Pengobatan simtomatik utk. Sakit kepala / gelisah d. Edema serebri: mannitol e. Mengelola masalah medis lainnya: Pengontrolan tekanan darah tinggi,

pengelolaan kadar gula darah , pengontrolan demam 2. Rehabilitasi Proses rehabilitasi dapat meliputi beberapa atau semua hal di bawah ini: a. Terapi bicara untuk belajar kembali berbicara dan menelan b. Terapi okupasi untuk ketangkasan lengan dan tangan c. Terapi fisik untuk memperbaiki kekuatan dan kemampuan berjalan, dan d. Edukasi keluarga untuk memberikan orientasi kepada mereka dalam merawat orang yang mereka cintai di rumah dan tantangan yang akan mereka hadapi. Berikut ini merupakan pedoman dasar rehabilitasi pasien pasca stroke: Hari 1-3 (di sisi tempat y Kurangi penekanan pada daerah yang sering tertekan (sakrum, tumit)

29

tidur)

y y

Modifikasi diet, bed side, positioning Mulai PROM dan AROM

Hari 3-5

o Evaluasi ambulasi o Beri sling bila terjadi subluksasi bahu

Hari 7-10

y y y

Aktifitas berpindah Latihan ADL: perawatan pagi hari Komunikasi, menelan

2-3 minggu

o Team/family planning o Therapeuthic home evaluation

3-6 minggu

y y

Home program Independent ADL, tranfer, mobility

10-12 minggu

o Follow up o Review functional abilities

Macam-macam rehabilitasi fisik yang dapat diberikan adalah : y Bed exercise : Positioning, Range of movement, Breathing, Bridging y y Latihan duduk, berdiri, dan mobilisasi Latihan ADL (activity daily living)

F. Komplikasi Komplikasi pada stroke yaitu (Suyono, 1992) : 1. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama): a. Edema serebri: Merupakan komplikasi yang umum terjadi, dapat menyebabkan defisit neurologis menjadi lebih berat, terjadi

peningkatan tekanan intrakranial, herniasi dan akhirnya menimbulkan kematian.

30

b. Abnormalitas jantung: Kelaianan jantung dapat menjadi penyebab, timbul bersama atau akibat stroke,merupakan penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita gangguan irama jantung. c. Kejang: kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke hemoragik dan pada umumnya akan memperberat defisit neurologis. d. Nyeri kepala e. Gangguan fungsi menelan dan asprasi 2. Komplikasi jangka pendek (1-14 hari pertama): a. Pneumonia: Akibat immobilisasi yang lama merupakan salah satu komplikasi stroke pada pernafasan yang paling sering, terjadi kurang lebih pada 5% pasien dan sebagian besar terjadi pada pasien yang menggunakan pipa nasogastrik. b. Emboli paru: Cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali pada saat penderita mulai mobilisasi. c. Perdarahan gastrointestinal: Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini. d. Stroke rekuren e. Abnormalitas jantung f. Deep vein Thrombosis (DVT) g. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urin 3. Komplikasi jangka panjang a. Stroke rekuren b. Abnormalitas jantung c. Kelainan metabolik dan nutrisi d. Depresi e. Gangguan vaskuler lain: Penyakit vaskuler perifer.

31

G. Evaluasi pada pasien stroke Tujuan rehabilitasi medik adalah tercapainya sasaran fungsional yang realistik dan untuk menyusun suatu program rehabilitasi yang sesuai dengan sasaran tersebut. Pemeriksaan penderita meliputi empat bidang evaluasi:13 Evaluasi neuromuskuloskeletal Mencakup evaluasi neurologi secara umum dengan perhatian khusus pada tingkat kesadaran, fungsi mental termasuk

intelektual, kemampuan bicara, nervus kranialis, pemeriksaan sensorik dan motorik, gerak sendi, serta fungsi vegetatif. 1. Evaluasi medik umum Mencakup sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem endokrin serta sistem saluran urogenital. 2. Evaluasi kemampuan fungsional Meliputi kegiatan sehari-hari (AKS) seperti makan dan minum, mencuci, kebersihan diri, transfer dan ambulasi. Untuk setiap jenis aktivitas tersebut ditentukan derajat kemandiriaan dan

ketergantungan juga kebutuhan alat bantu. 3. Evaluasi psikososial-vokasional Mencakup faktor psikologis, vokasional dan aktifitas rekreasi, hubungan dengan keluarga, sumber daya ekonomi dan sumber daya lingkungan Evaluasi psikososial dapat dilakukan dengan menyuruh penderita mengerjakan suatu hal sederhana yang dapat dipakai untuk penilaian tentang kemampuan mengeluarkan pendapat, kemampuan daya ingat dan orientasi.

H. Program rehabilitasi Program Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke13

32

Fase awal/akut: Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan melindungi fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan luas gerak sendi, stimulasi elektrikal dan begitu penderita sadar dimulai penanganan masalah emosional.

Fase lanjutan: Tujuannya adalah unyuk mencapai kemandirian fungsional dalam mobilisasi dan aktifitas kegiatan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada waktu penderita secara medik telah stabil. Biasanya penderita dengan stroke trombotik atau embolik, biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke. Penderita dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari setelah stroke. Program pada fase ini meliputi : 1. Fisioterapi: a. Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2 kebawah) b. Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan otot. c. Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantuatau aktif tergantung dari kekuatan otot. d. Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot. e. Latihan fasilitasi / redukasi otot f. Latihan mobilisasi. 2. Okupasi Terapi (aktifitas kehidupan sehari-hari/AKS) Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam AKS, meskipun pemulihan fungsi

33

neurologis pada ekstremitas yang terkena belum tentu baik. Dengan alat Bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat yang disesuaikan. 3. Terapi Bicara Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara: a. pernapasan ( pre speech training ) berupa latihan napas, menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan. b. Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan mengucapkan kata-kata. c. Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi mengucapkan kata-kata. d. Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga. 4. Ortotik Prostetik Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunakan antara lain : arm sling, hand sling, walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace, cock-up, ankle foot orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic (KAFO). 5. Psikologi Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase shok, fase penolakan, fase penyesuaian dan fase

34

penerimaan. Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi. 6. Sosial Medik dan Vokasional Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara keluarga, keterangan tentang pekerjaan,

kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita. I. Prognosis Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis yaitu : 1. Saat mulainya rehabilitasi medik, program dimulai kurang dari 24 jam maka pengembalian fungsi lebih cepat. Bila dimulai kurang dari 14 jam maka kemampuan memelihara diri akan kembali lebih dahulu. 2. Saat dimulainya pemulihan klinis, prognosis akan lebih buruk bila ditemukan adanya : 1-4 minggu gerak aktif masih nol (negatif); 46 minggu fungsi tangan belum kembali dan adanya hipotonia dan arefleksia yang menetap

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Hukom R.A. 2010. Trombosis dan DVT. Solusi Magz. p. 26 27. 2. Patel K. 2011. Deep Venous Thrombosis. http://emedicine.medscape.com/ article/1911303-overview#showall. 23 November 2011. 3. Wadro B.C. 2010. Deep Vein Thrombosis (DVT, Blood Clot in The Legs). http://www. medicinenet.com/deep_vein_thrombosis/article.htm. 23 November 2011. 4. Setiabudy R.D. (editor). 2007. Hemostasis dan Trombosis. Jakarta: FKUI Press. 5. Wakefield TW, Strieter RM, Schaub R, Myers DD, Prince MR, Wrobleski SK, et al. Venous thrombosis prophylaxis by inflammatory inhibition without anticoagulation therapy. J Vasc Surg. Feb 2000;31(2):309-24. 6. Wakefield TW, Proctor MC. Current status of pulmonary embolism and venous thrombosis prophylaxis.Semin Vasc Surg. Sep 2000;13(3):171-81. 7. Rizzi A, Quaglio D, Vasquez G, Mascoli F, Amadesi S, Cal G, et al. Effects of vasoactive agents in healthy and diseased human saphenous veins. J Vasc Surg. Nov 1998;28(5):855-61. 8. Meissner MH, Caps MT, Zierler BK, Bergelin RO, Manzo RA, Strandness DE Jr. Deep venous thrombosis and superficial venous reflux. J Vasc Surg. Jul 2000;32(1):48-56. 9. Rumantir CU. 2007. Gangguan Peredaran Darah Ootak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD Arifin Achmad/FK UNRI 10. Feigin V. 2006. Stroke. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer. 11. Goetz C. G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders. 12. Guyton, A.C. and Hall,J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi-11. Jakarta :EGC. Pp: 210, 282 13. Hernawati, Ika Y. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Paska Stroke Hemorage Dextra Stadium Recovery. http://etd.eprints.ums.ac.id/6637/ 2/J100060059.pdf 14. Martono H. dan Kuswardhani R.A.T. 2006. Stroke dan penatalaksanaanya oleh internis. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departermen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 1441 15. Misbach. 1999. Stroke. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 16. PERDOSSI.2007. Guidline stroke. Jakarta: PERDOSSI. Hal: 42-50. 17. Ropper AH; Brown RH. 2005. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victors Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 18. Rumantir CU. 2007. Gangguan Peredaran Darah Ootak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD Arifin Achmad/FK UNRI

36

19. Soeharto I. 2004. Serangan Jantung dan Stroke: Hubungannya dengan Lemak dan Kolesterol. 2nd ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, pp:31, 35, 37, 56, 57. 20. Suyono, A., 1992. Gangguan Sensori Motor pada Penderita Hemiplegi Pasca Stroke, Jakarta . Workshop Fisioterapi pada Stroke, IKAFI. 21. Kahn SR, Azoulay L, Hirsch A, Haber M, Strulovitch C, Shrier I. 2003. Acute effects of exercise in patients with previous deep venous thrombosis: Impact of the postthrombotic syndrome. Chest. 123(2);399-405. 22. Shrier I, Kahn SR. 2005. Effect of physical activity after recent deep venous thrombosis: a cohort study. Medicine & Science in Sports & Exercise. 37(4);630634. 23. Blattler W, Partsch H. 2003. Leg compression and ambulation is better than bed rest for the treatment of acute deep vein thrombosis. International Angiology. 22(4);393-400. 24. Trujillo-Santos J, Perea_milla E, Jimenez-Puente A, Sanchez-Cantalejo E, del Toro J, Grau E, Monreal M. 2005. Bed rest or ambulation in the initial treatment of patients with acute deep vein thrombosis or pulmonary embolism: findings from the RIETE registry. Chest. 127;1631-1636 . 25. American academy of Orthopaedic Surgeon. 2009. Deep vein Thrombosis. http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00219. 25 November 2011.

37

Anda mungkin juga menyukai