Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARURATAN PADA PASIEN NY. J DENGAN


DIAGNOSA POST LAPARATOMI ATAS INDIKASI PERFORASI GASTER DI
RUANGAN ICU GREEN (INSTALASI ANASTESIOLOGI DAN
TERAPI INTENSIF) RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

Disusun Oleh :

Taupik Muslim, S.Kep

(2014901019)

Pembimbing Akademik Pembimbing Akademik

(Ns. Revi Neini Ikbal, M.Kep) (Ns. Rebbi Permata Sari,


M.Kep)

Pembimbing Klinik

(Ns. Hendra, S.Kep)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


2020/2021

LAPORAN PENDAHULUAN

PERFORASI GASTER

A. PENDAHULUAN

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebabnya antara
lain yaitu ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, trauma, perubahan pada kasus
penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas. Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen
(perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta).
Perforasi terjadi apabila isi dari kantung masuk ke dalam kavum abdomen, sehingga
menyebabkan terjadinya peritonitis. Contohnya seperti pada kasus perforasi gaster atau
perforasi duodenum. Selain itu, 10 – 15 % pasien yang didiagnosa divertikulitis akut akan
berkembang menjadi perforasi. Pasien biasanya akan datang ke tempat perawatan dengan gejala
peritonitis umum. Kadar mortalitas secara relatifnya tinggi yaitu hampir 20 – 40 %.
Kebanyakkan disebabkan oleh komplikasi seperti syok septik kegagalan multi organ.
Kecederaan berkaitan usus yang disebabkan endoskopi (endoscopy-associated bowel injuries)
jarang menyebabkan terjadinya perforasi.

B. ANATOMI LAMBUNG

Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak di antara esofagus dan
duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-duodenum dengan hati, pankreas, dan
limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak peptik akan mengalami perforasi ke rongga sekitarnya
secara bebas atau penetrasi ke dalam organ di dekatnya, bergantung pada letak tukak.
Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat proksimal yang
terdiri dari fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung makanan yang ditelan serta tempat
produksi asam lambung dan pepsin, sedangkan dinding korpus, tebal dan kuat lapisan ototnya.
Di belakang dan tepi madial duodenum terdapat arteri besar (arteri gastroduodenalis).
Perdarahan hebat bisa terjadi karena erosi dinding arteri itu pada tukak peptik lambung atau
duodenum.
Fungsi utama lambung adalah penerima makanan dan minuman, dikerjakan oleh fundus dan
korpus , dan penghancur dikerjakan oleh antrum, selain turut bekerja dalam pencernaan awal
berkat kerja kimiawi asam lambung dan pepsin. Fungsi motilitas yang berkaitan dengan gerakan
adalah penyimpanan (mencapai 1500ml) dan pencampuran makanan serta pengosongan
lambung diatur oleh n.vagus.
Cairan lambung yang jumlahnya bervariasi antara 500-1500 ml/hari mengandung lendir,
pepsinogen, faktor intrinsik dan elektrolit, terutama larutan HCl. Sekresi basal cairan ini selalu
ada dalam jumlah sedikit. Produksi asam merupakan hal yang kompleks, namun secara
sederhana dibagi atas tiga fase perangsangan yaitu: Pertama fase sefalik merupakan rangsang
yang timbul akibat melihat, menghirup, merasakan, bahkan berpikir tentang makanan akan
meningkatkan produksi asam melalui aktivitas n.vagus, Kedua fase gastrik adalah distensi
lambung akibat adanya makanan atau zat kimia yang merangsang sel parietal untuk
memproduksi asam lambung, dan Ketiga fase intestinal yaitu hormon enterooksintin
merangsang produksi asam lambung setelah makanan sampai di usus halus.
C. ETIOLOGI

1. Perforasi non-trauma

Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia, bayi baru lahir yang
terimplikasi syok dan stress ulcer, anti inflamasi non steroid dan steroid : terutama pada
pasien usia lanjut, serta faktor predisposisi termasuk ulkus peptik

2. Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma

Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi esofagus, gaster,
atau usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.

3. Perforasi trauma (tajam atau tumpul)

Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik saat endoskopi, luka penetrasi
ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya tusukan pisau)

D. PATOFISIOLOGI

Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster normal dan
tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah perforasi gaster. Namun, mereka yang
sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan
perforasi gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga peritoneal sering berakibat
peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mencapai
rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin
bebas gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis bakterial
kemudian.
Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi akut. Omentum
dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini
biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi
pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit,
yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan
membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses, dan
pembesaran abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi
organ, dan syok dapat terjadi (Arif Mansjoer, 2015).
E. TANDA DAN GEJALA
Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak, terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung, empedu
dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan,
menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan
nyeri seluruh perut.
Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia.
Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di permukaan bawah
diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan
mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati bisa
hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun sampai
menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu
badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita tampak letargik
karena syok toksik. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum.
Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas,
menggerakkan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan
seperti pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi
Radiologis memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih prosedur
diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu dioperasi. Deteksi
pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen karena perforasi
gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam status kegawatdaruratan
abdomen, dengan menggunakan teknik radiologi maka dapat mendeteksi jumlah udara
sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, perlu teknik foto abdomen klasik dalam posisi berdiri
dan posisi lateral decubitus kiri.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen.
Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil
menggunakan teknik kandung kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat
mendeteksi udara bebas.

3. CT Scan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara
setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen
murni dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini
perforasi gaster. Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar dapat
membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya tampak sebagai area hipodens
dengan densitas negatif.

G. PENATALAKSANAAN

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umumnya


sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan
pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada,
kebijakan nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri
gramnegatif dan anaerob. Tujuan dari terapi bedah adalah:

1. Koreksi masalah anatomi yang mendasari

2. Koreksi penyebab peritonitis

3. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat menghambat fungsi
leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti darah, makanan, sekresi lambung).

Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah hampir selalu


dibutuhkan dalam bentuk laparotomi explorasi dan penutupan perforasi dan pencucian pada
rongga peritoneum (evacuasimedis). Terapi konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang
nontoxic dan secara klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena,
antibiotik, aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya.
Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan saja setelah eksisi
tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila
keadaan umum kurang baik, penderita usia lanjut, dan terdapat peritonitis purulenta. Bila
keadaan memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk
mencegah kekambuhan.

Terapi utama perforasi gastrointestinal adalah tindakan bedah. Terapi gawat darurat dalam
kasus perforasi gastrointestinal adalah:

1. Pasang akses intravena (infuse). Berikan terapi cairan kristaloid pada pasien dengan
gejala klinis dehidrasi atau septikemia.

2. Jangan berikan apapun secara oral.

3. Berikan antibiotik secara intravena pada pasien dengan gejala septicemia. Berikan
antibiotik spectrum luas. Tujuan pemberian antibiotik adalah untuk eradikasi infeksi dan
mengurangkan komplikasi post operasi.

Pemberian antibiotik terbukti efektif dalam menurunkan kadar infeksi post operasi dan dapat
memperbaiki hasil akhir dari pasien dengan infeksi intra peritoneum dan septikemia. Contoh
antibiotik yang diberikan adalah seperti Metronidazol, Gentamisin, dan Cefoprazon.

H. KOMPLIKASI

1. Kegagalan luka operasi


Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka operasi)
dapat terjadi segera atau lambat. Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan
luka operasi yaitu malnutrisi, sepsis, uremia, diabetes mellitus, terapi kortikosteroid,
obesitas, batuk yang berat, hematoma (dengan atau tanpa infeksi), abses abdominal
terlokalisasi, kegagalan multiorgan dan syok septik

2. Syok septik
Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan manifestasi
sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia gram negatif dengan
endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada septikemia berat), takikardi, dan kolaps
sirkuler.
KONSEP LAPARATOMI

A. KONSEP DASAR

1. Definisi

Laparatomi adalah pembedahan yang dilakukan untuk membuka abdomen sampai membuka
selaput perut. Laparatomi merupakan insisi pembedahan melalui pinggang, tetapi tidak selalu
tepat dan lebih umum dilakukan dibagian perut mana saja. Laparatomi merupakan salah satu
prosedur pembedahan mayor, dengan melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding
abdomen untuk mendapatkan bagian organ abdomen yang mengalami masalah (hemoragi,
perforasi, kanker dan obstruksi) (Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2017).
Laparatomi adalah tindakan insisi pembedahan melalui dinding perut atau peritoneum yang
dilakukan dengan cara memotong bagian lunak dari tubuh atau abdomen (Smeltzer SC, 2018).

2. Etiologi
Etiologi sehingga dilakukan laparatomi adalah karena disebabkan oleh beberapa hal
(Smeltzer, 2018) yaitu:
a. Trauma abdomen (tumpul atau tajam).
b. Peritonitis.
c. Perdarahan saluran cerna.
d. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
e. Massa pada abdomen

3. Jenis-jenis Laparatomi
a. Mid-line incision
b. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
c. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan
colesistotomy dan splenektomy.
d. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah ±4cm
diatas anterior spinaliliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.  Latihan - latihan
fisik seperti latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki,
menggerakkan otot-otot bokong, Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur.
Semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.(Smeltzer, 2018).

4. Manifestasi Klinis
a. Nyeri tekan.
b. Perubahan tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
c. Kelemahan.
d. Gangguan integumen dan jaringan subkutan.
e. Konstipasi.
f. Mual dan muntah, anoreksia.

5. Komplikasi
a) Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis post
operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul
bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai
emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki,
ambulasi dini post operasi.
b) Infeksi, infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam pasca operasi. Organisme yang paling
sering menimbulkan infeksi adalah stapilococus aurens, organisme gram positif.
Stapilococus mengakibatkan peranahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling
penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
a. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
b. Ventilasi paru tidak adekuat.
c. Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung.
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
e. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan.(Arif Mansjoer, 2012).
        
6. Patofisiologi
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun.
Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2018). Trauma abdomen
adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang
disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2018).
Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan
dapat pula dilakukan tindakan laparatomi. Tusukan/tembakan , pukulan, benturan, ledakan,
deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) dapat mengakibatkan terjadinya trauma
abdomen sehingga harus di lakukan laparatomy.(Arif Muttaqin, 2016).
Trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan individu dapat kehilangan darah,
memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri, iritasi cairan usus. Sedangkan
trauma tembus abdomen dapat mengakibatkan hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ,
respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ dan respon stress dari saraf simpatis akan
menyebabkan terjadinya kerusakan integritas kulit, syok dan perdarahan, kerusakan pertukaran
gas, resiko tinggi terhadap infeksi, nyeri akut.(Arif Muttaqin, 2016).

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi,
kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan
adanya lesi pada saluran kencing.

1. Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.


2. Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
3. IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.

Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya
kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang
berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui
dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan
buli-buli terlebih dahulu.

Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan
garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium. Perlengkapan
yang dilakukan pada pasien post laparatomy, adalah;

1. Respiratory: Bagaimana saluran pernapasan, jenis pernapasan, bunyi pernapasan.


a. Sirkulasi: Tensi, nadi, respirasi, dan suhu, warna kulit, dan refill kapiler.
b. Persarafan : Tingkat kesadaran.
2. Balutan: Apakah ada tube, drainage ? Apakah ada tanda-tanda infeksi?  Bagaimana
penyembuhan luka?
a. Peralatan: Monitor yang terpasang, cairan infus atau transfusi.
b. Rasa nyaman: Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan fasilitas ventilasi.
c. Psikologis : Kecemasan, suasana hati setelah operasi.Pengkajian

B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


I. Pengkajian Keperawatan

1. Pengkajian Primer (Morton & Fontaine, 2012)

a. Airway
- Yakinkan kepatenan jalan nafas klien
- Bagaimana jalan nafas, bisa bicara secara bebas
- Adakah sumbatan jalan nafas
- Suara nafas tambahan (snoring, gurgling, stridor)
- Berikan alat bantu napas jika perlu
b. Breathing
- Kaji pernapasan klien jika lebih dari 24x merupakan gejala
- Kaji saturasi oksigen
- Periksa gas darah arteri untuk mnegkaji status oksigenasi dan kemungkinan
asidosis
- Berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask
- Auskutasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada
- Periksa foto thorak
c. Circulation
- Kaji denyut jantung > 100 kali per menit merupakan tanda syok
- Monitor tekanan darah, hipotensi salah satu tanda syok
- Kaji CRT
- Pemeriksaan darah lengkap
- Kaji temperatur kemungkinan klien pyreksia atau tempertur kurang dari 36oC
- Lakukan pemeriksaan urin dan sputum
- Berikan antibiotik spectrum luas

d. Disability
Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada klien . Kaji t ingkat kesadarn
dengan AVPU
A : Korban sadar, jika tidak segera lanjutkan dengan Verbal
V : Coba memanggil klien dengan keras di dekat telinga klien, jika tidak ada respon
lanjut ke Pain
P : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah menekan
bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan
menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra
orbital).
U : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka pasien
berada dalam keadaan unresponsive
e. Exposure
Jika sumber rinfeksi tidak diketahui cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan
dan tempat sumber infeksi lainnya.
2. Pengkajian sekunder

Pengkajian pada laparatomi meliputi identitas klien keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit psikososial.

1. Identitas pasien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan MRS, nomor register, dan diagnosis
medis.
a. Keluhan Utama
Sering  menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah  nyeri
pada abdomen.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Kapan nyeri pertama kali dirasakan dan apa tindakan yang telah diambil
sebelum akhirnya klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan
secara medis.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit terdahulu sehingga klien dirawat di rumah sakit.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Bisanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,diabetes melitus,atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
4) Riwayat psikososial dan spiritual
Peranan  pasien  dalam  keluarga  status emosional meningkat, interaksi
meningkat, interaksi sosial terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan,
hubungan dengan tetangga tidak harmonis, status dalam pekerjaan. Dan apakah
klien rajin dalam melakukan ibadah sehari-hari.
c. Aktivitas sehari-hari (sebelum dan selama sakit)
1) Pola Nutrisi
2) Pola Eliminasi
3) Pola Personal Hygiene
4) Pola Istirahat dan Tidur
5) Pola Aktivitas dan Latihan
6) Seksualitas/reproduksi
7) Peran
8) Persepsi diri/konsep diri
9) Kognitif diri/konsep diri
10) Kognitif perceptual

2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
Inspeksi bentuk kepala, adanya luka atau laserasi atau abrasi, palpasi adanya
DCAP BLS atau nyeri tekan, biasanya pasien pernah mengalami trauma kepala,
adanya hematoma atau riwayat operasi.
b. Mata
Inspeksi konjungtiva, sclera, reflek pupil, adanya DCAP BLS, perdarahan mata
Biasanya pada penglihatan adanya kekaburan, akibat akibat adanya gangguan
nervus optikus (nervus II), gangguan dalam mengangkat bola mata (nervus III),
gangguan dalam memutar bola mata (nervus IV) dan gangguan dalam
menggerakkan boal mata kalateral (nervus VI).
c. Hidung
Inspeksi bentuk hidung, perdarahan biasanya adanya gangguan pada penciuman
karna terganggu pada nervus olfatorius (nervus I).
d. Mulut
Inspeksi kelembaban mulut, cyanosis. Palpasi adanya fraktur zygomatic atau
tidak, biasanya ada gangguan pengecapan (lidah ) akibat kerusakan nervus vagus
adanya kesulitan dalam menelan.
e. Leher
inspeksi JVP, reflek menelan, pergeseran trakea
f. Dada
- Paru
Inspeksi : otot bantu pernafasan, ekspansi paru, retraksi dada
Palpasi : vokal fremitus kedua laang paru
Perkusi : sonor, hipersonor atau pekak
Auskultasi : vesikuler, ronchi, wheezing, crekles
- Jantung
Inspeksi : ictus cordis
Palpasi : teraba ictus cordis
Perkusi : pekak
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2, gallop, murmur
g. Abdomen
Inspeksi  : bentuk, ada tidaknya pembesaran.
Auskultasi  : mendengar bising usus.
Perkusi  : mendengar bunyi hasil perkusi.
Palpasi : ada tidaknya nyeri tekan pasca operasi.
h. Genetalia
Inspeksi adanya hematoma atau perdarahan
i. Ekstremitas
Pengukuran otot menurut (Arif Mutaqqin, 2012)
- Nilai 0: bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
- Nilai 1: Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada sendi.
- Nilai 2: Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan grafitasi.
- Nilai 3: Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat melawan tekanan
pemeriksaan.
- Nilai 4: Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi kekuatanya
berkurang.
- Nilai 5: bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan kekuatan penuh.

II. Diagnosa Keperawatan

1. Diagnosa keperawatan primer


a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan oksigen dalam darah
(hipoksia)
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan suplai oksigen
dalam darah
c. Risiko syok berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan
e. Nyeri akut berhubungan dengan dilakukannya tindakan insisi bedah.
f. Hipertermi berhubungan dengan adanya tanda radang
2. Diagnosa keperawatan sekunder
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan
b. Gangguan imobilisasi berhubungan dengan pergerakan terbatas dari anggota tubuh.
c. Risiko perdarahan berhubungan dengan pecahnya pembuluh darah intra abdomen
d. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya sayatan / luka operasi laparatomi

Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk
membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang  baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry, 2011). 

Evaluasi Keperawatan
Menurut Craven dan Hirnle (2011) evaluasi didefenisikan sebagai keputusan dari efektifitas
asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon prilaku
klien yang tampil.
Tujuan evaluasi antara lain :
a.       Untuk menentukan perkembangan kesehatan klien.
b.      Untuk menilai efektifitas, efisiensi, dan produktifitas dari tindakan keperawatan yang
telah diberikan.
c.       Untuk menilai pelaksanaan asuhan keperawatan.
d.      Mendapatkan umpan balik
e.       Sebagai tanggung jawab dan tanggunggugat dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2002. Prosedur Suatu Penelitian: Pendekatan Praktek. Edisi Revisi


Kelima. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Brunner and suddart. (2011). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. J.B. Lippincott
Campany, Philadelpia.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
Doenges, Marilynn E. (2011). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
Mansjoer, Arif. 2012. Capita ,Selekta Kedokteran. Bakarta :Media Aesculapius.
Muttaqin, Arif. 2014. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan. Jakarta:
Salemba Medika
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan NANDA : Masalah Yang Lazim Muncul
Nazir, Moh. 2011. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nursalam. 2010. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi II.
Salemba Medika. Jakarta
 Prasetyo, S. N. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Soeparman, dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam : Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2010. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8
Vol.3. EGC : Jakarta
Doenges, Marilynn E., 1999, Rencana Asuhan Kepeawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, (Edisi 3), Jakarta, EGC.

Mitchell, Richard N., 2008, Buku Saku Dasar Patologis Penyakit, Jakarta , EGC.

Smeltzer, Suzanne C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC.

Anda mungkin juga menyukai