Anda di halaman 1dari 7

Efektifitas Pemberian lidokain 2% intratrakeal pada tindakan ekstubasi post operatif

tonsilektomi di IBS RS Kertha Usada Buleleng

Abstrak
Pengantar: Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi sudah lama dilakukan dan salah
satu prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan pada kelompok usia anak di seluruh
dunia. Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam pelaksanaan anestesi
umum. Intubasi bukan merupakan prosedur yang tanpa komplikasi. Komplikasi respirasi
seperti terjadinya batuk, desaturasi, menahan napas, obstruksi jalan napas, laringospasme,
hipoventilasi. Ada beberapa tehnik atau strategi pencegahan komplikasi saluran napas Smooth
Emergence Techniques ( Deep extubation, ETT Exchange to Laryngeal Mask Airway (LMA),
No-Touch” Extubation ) dan bisa dengan bantuan obat-obatan (Lidokain intracuff,
lidokain intravena, lidokain topical). Disini kami menyajikan kasus laki-laki usia 18 tahun
yang didiagnosis tonsillitis kronis dan akan dilakukan tindakan tonsilektomi dengan jenis
anestesi yaitu anestesi umum dimana pasien akan dipasangkan pipa endotrakea selama proses
operasi berlansung dan nantinya sebelum dilakukan ekstubasi untuk mencapai smooth
emergence techniques dengan melakukan deep extubation dibantu dengan pemberian lidokain
2% 2 mg/kgBB intratrakeal.

Laporan kasus: laki-laki 18 tahun dengan diagnose tonsillitis kronis dari hasil pemeriksaan
fisik tanda vital TD 120/80; nadi 82x/menit; suhu 36,8 C; RR 18x/menit, dari pemeriksaan
region oral saat buka mulut 3 jari pasien, pada pharing hiperemis - , pembesaran tonsil T3/T3,
detritus +/+. Mallampati II, akan dilakukan tindakan tonsilektomi dengan general anestesi dan
dilakukan intubasi dengan pipa endotrakeal.

Kesimpulan: pada operasi ini pasien rentan akan terjadinya komplikasi respirasi yang
diakibatkan dari nyeri tenggorokan pasca anestesi umum dan pada saat ekstubasi. Ekstubasi
dilakukan secara Deep extubation dengan bantuan pemberian lidokain 2% 2 mg/Kg BB
intratrakeal untuk mencegah terjadinya komplikasi dari ekstubasi post operatif. Selama
operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari
tindakan operasinya
Kata kunci : Tonsilektomi, ekstubasi, lidokain 2%
Pengantar

Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Tonsilektomi dengan
atau tanpa adenoidektomi sudah lama dilakukan dan salah satu prosedur pembedahan yang
paling sering dilakukan pada kelompok usia anak di seluruh dunia.
Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam pelaksanaan
anestesi umum. Intubasi bukan merupakan prosedur yang tanpa komplikasi, bagaimanapun
juga tidak semua pasien yang mendapatkan anestesi umum membutuhkan intubasi trakea.
Berbagai penelitian dan perkembangan anestesi memfokuskan pada 3 aspek pertama
manajemen jalan napas dibanding dengan ekstubasi. Pada kenyataan, banyak ditemukan
komplikasi yang seharusnya bisa dicegah selama proses ekstubasi. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa komplikasi ekstubasi 7,4% lebih tinggi dibanding dengan intubasi.
Komplikasi respirasi seperti terjadinya batuk, desaturasi, menahan napas, obstruksi jalan
napas, laringospasme yang dilaporkan selama anestesi umum adalah antara 1,7% dan 25%
pada anak-anak, Insiden nyeri tenggorokan (sore throat) pasca intubasi berkisar antara 24-
90%.
Ekstubasi halus dapat meningkatkan pencegahan primer dengan mengurangi
batuk/bucking dan aerosolization. Ada beberapa tehnik atau strategi pencegahan untuk POST
(Postoperative sore throat) dan komplikasi saluran napas lainnya. Smooth Emergence
Techniques ( Deep extubation, ETT Exchange to Laryngeal Mask Airway (LMA), No-Touch”
Extubation ) dan bisa dengan bantuan obat-obatan (Lidokain intracuff, lidokain
intravena, lidokain topical). Berbagai intervensi profilaksis seperti obat anti-inflamasi,
opioid, steroid, atau anestesi lokal telah digunakan secara ekstensif. Lidokain adalah salah
satu obat yang paling umum digunakan untuk mencegah POST (Postoperative sore throat),
dan kemanjurannya dievaluasi dalam ulasan Cochrane pada tahun 2009.
Lidokain, bila diberikan sebagai media inflasi manset, dapat melindungi mukosa
trakea melalui efek anestesi topikal yang terus menerus, dan mencegah difusi nitrous oksida
ke dalam manset. Reseptor yang berperan terhadap respons tubuh tersebut telah diketahui
berupa rapid acting receptor (RAR) yang tersebar di seluruh mukosa trakea dan umumnya
superfisial. Reseptor ini bisa diblok oleh anestesi lokal maupun sistemik. Lidokain intravena
dapat menekan refleks batuk, hal ini terjadi bila konsentrasi lidokain plasma berkisar 3 µg/
ml. Untuk mencapai hal tersebut diberikan dosis lidokain 1-2 mg/ kilogram berat badan.
Namun lidokain intravena memiliki kelemahan karena menyebabkan efek sedasi dan
pemanjangan pemulihan dari anestesia. Sedangkan secara topikal, diperlukan dosis lidokain
100-250 mg baik diberikan melalui lubrikasi cuff pipa endotrakea dengan lidokain gel atau
spray untuk mencapai konsentrasi lidokain plasma 1,5 µg/ ml. Beberapa laporan penelitian
mengatakan kadar plasma lidokain yang diberikan secara instilasi lebih rendah dibandingkan
dengan pemberian intravena. Konsentrasi lidokain plasma yang diperlukan untuk menekan
refleks batuk saat ekstubasi berkisar antara 2,3–3 µg/mL.
Disini kami menyajikan kasus laki-laki usia 18 tahun yang didiagnosis tonsillitis
kronis dan akan dilakukan tindakan tonsilektomi dengan jenis anestesi general anestesi
dimana pasien akan dipasangkan pipa endotrakeal selama proses operasi berlansung dan
nantinya sebelum dilakukan ekstubasi untuk mencapai smooth emergence techniques dengan
melakukan deep extubation dibantu dengan pemberian lidokain 2% 2 mg/kgBB intratrakeal
10 menit sebelum dilakukan ekstubasi.

Laporan kasus

Laki-laki usia 18 tahun mengeluh nyeri pada bagian tengggorokan yang sering kambuh lebih
dari 2 kali dan sudah dirasakan sejak ±2 bulan yang lalu. Tenggorokan dirasakan seperti ada
yang mengganjal dan dirasakan terus menerus. Setiap kali kambuh pasien mengalami
kesulitan dan nyeri saat menelan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital TD 120/80; nasi 82x/menit; suhu 36,8 C;
Pernafasan 18x/menit, dari pemeriksaan region oralis saat membuka mulut 3 jari pasien, pada
pharing hiperemis - , pembesaran tonsil T3/T3, detritus +/+. Mallampati II. Kemudian dari
pemeriksaan kepala, leher, thorak, abdomen dan ekstremitas dalam batas normal. Dari
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah lengkap hemoglobin 15,4 g/dL; leukosit
8230/uL; hematokrit 45%; trombosit 343.000/uL; BT 3’00”; CT 2’00”; seroimunologi
Antigen SARS CoV-2 negatif. Kesan anestesi laki-laki 18 tahun menderita Tonsilitis Kronik
dengan ASA I. Kemuadian Penatalaksanaan yaitu Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm, Pro
Tonsilectomy, dilakukan operasi dengan general anestesi dengan dengan teknik anestesi
inhalasi semi closed dengan intubasi entotraceal tube.
Sampai di ruang persiapan kamar operasi dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian
dilakukan pemasangan infus dengan cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan
cairan pemeliharaan sesuai berat badan pasien. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi,
kemudian dipindahkan ke meja operasi. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG,
pulse oxymetry, dilakukan pencatatan hasil didapatkan tanda vital TD 120/80; nadi 85x/menit;
respirasi 20x/menit. Anestesi dimulai pukul 15.15 wita dan operasi dimulai pukul 15.25 wita.
Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgbb, ondansentron 0,15 mg/kgbb,
suplemen analgesia dengan fentanyl dosis 2 mcg/kgbb dan induksi propofol 2,5 mg/kgbb serta
fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot vecuronium bromide dosis 0,1 mg/kgbb
kemudian dilakukan laringoskopi dan intubasi pemasangan pipa endotrakea ukuran 7.0,
kemudian maintenance dengan O2 : N2O (50:50), sevoflurane 1-2% setelah dilakukan induksi
tanda vital pasien tampak stabil dengan Tensi 120/70 ; nadi 90x/menit; respirasi 20x/menit;
SpO2 100%. Pada pasien ini teknik tonsilektomi yang digunakan adalah diseksi thermal
menggunakan electocauter dimana perdarahan durante operasi dan post operasi lebih sedikit
karena pemotongan jaringan maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur. kemudian
diberikan medikasi tambahan dexamethasone 5 mg iv, diberikan asam tranexamat 1 gram iv
durante operasi dikarenakan tampak ada oozing yang sulit diberhentikan oleh operator, setelah
prosedur pengangkatan tonsil dilakukan kurang lebih 10 menit akan berakhirnya operasi
lidokain 2% 2mg/kgBB diberikan secara intratrakeal, cairan durante operasi RL 500 ml,
Setelah operasi selesai, agen anestesia dihentikan, pasien dipertahankan nafas spontan dengan
oksigen 100%, Sebelum dilakukan ekstubasi, lakukan pembersihan daerah laring
menggunakan negative – pressure suction unit dengan teknik direct laringoskop. Daerah
laring harus bisa dinilai secara visual sudah bebas dari adanya secret dan darah setelah itu
akan dilakukan ekstubasi secara deep extubation yang sebelum sudah diberikan lidokain 2%
2mg/kgBB intratrakeal. Operasi selesai pukul 16.00 wita dengan tanda vital tensi 130/80;
nadi 85x/menit; respirasi 24x/menit; SpO2 100% kemudian pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan.

Diskusi
Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi sudah lama dilakukan dan salah satu
prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan pada kelompok usia anak di seluruh
dunia. Meskipun prosedur yang umum dilakukan, hal itu menimbulkan tantangan besar bagi
ahli bedah serta ahli anestesi dan dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas dan
mortalitas secara substansial. Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin
dalam pelaksanaan anestesi umum. Intubasi bukan merupakan prosedur yang tanpa
komplikasi, bagaimanapun juga tidak semua pasien yang mendapatkan anestesi umum
membutuhkan intubasi trakea, Pipa endotrakea umumnya digunakan untuk memproteksi jalan
napas atau untuk akses jalan napas. Manajemen pengelolaan jalan napas merupakan aspek
anestesi yang mendasar, yaitu meliputi ventilasi, laringoskopi, intubasi serta ekstubasi.
Intubasi dengan pipa endotrakheal memicu terjadinya beberapa fenomena atau yang disebut
emergence phenomena (EP), termasuk nyeri tenggorokan postoperasi, batuk, dan disphonia
setelah pembiusan umum. Persentase kemunculan EP berkisar antara 15% sampai 96%.
Penyebab utama terjadinya EP diduga akibat iritasi mekanik dari insersi endotrakeal tube
(ETT) dan inflasi dari cuff, tekanan positif ventilasi pada paru, dan iritasi kimia yang
disebabkan gas Inhalasi. iritasi ini mengaktifkan serabut nosiseptif di trakea, yang
diidentifikasi sebagai rapid acting receptor (RAR) yang menjadi mekanisme timbulnya EP.
Dalam konteks ekstubasi, banyak dari efek samping ini dapat menyebabkan
menipisnya simpanan oksigen saat ekstubasi, yang menyebabkan hipoksia pasca operasi.
Dalam kasus yang parah, hipoksia dapat menyebabkan cedera otak hipoksia, cedera
kardiovaskular, dan kemungkinan kematian. Beberapa tehknik untuk melakukan ekstubasi diantaranya
Smooth Emergence Techniques ( Deep extubation, ETT Exchange to Laryngeal Mask Airway
(LMA), No-Touch” Extubation ) dan bisa dengan bantuan obat-obatan (Lidokain
intracuff, lidokain intravena, lidokain topical)
Banyak ditemukan komplikasi yang seharusnya bisa dicegah selama proses ekstubasi.
Salah satunya pada laporan kasus ini untuk mencegah terjadinya POST (Postoperative sore
throat), batuk/bucking dan aerosolization dengan pemberian lidokain 2% 2mg/kgbb
intratrakeal 10 menit sebelum dilakukan ekstubasi pipa endotrakeal. Pemberian lidokain 2%
intracuff pipa endotrakea menyebabkan difusi lidokain melalui membran cuff. Cuff pipa
endotrakea berperan sebagai reservoir untuk melepaskan anestesi lokal terhadap mukosa
trakea di sekeliling cuff. Lidokain 1-2 mg/kgBB menghasilkan konsentrasi plasma 3 mcg/mL
yang menghambat reflfeks batuk. Kelemahannya yaitu durasi singkat (5-20 menit), sehingga
sulit memperoleh efek optimal. Selain itu, lidokain segera diuptake oleh otak sehingga
memberikan efek sedasi yang dapat memperpanjang lama pemulihan.
Lidokain dapat melindungi mukosa trakea melalui efek anestesi topikal yang terus
menerus, dan mencegah difusi nitrous oksida ke dalam manset. Keuntungan dari pemberian
lidokain intratrakeal adalah keberadaan lidokain bersifat sebagai reservoir, lidokain akan terus
menerus berdifusi seiring berjalannya waktu. Sebagai anestetik lokal berefek memblok
reseptor batuk dan rapidly adapting stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara kontinyu
dan meningkatkan toleransi terhadap pipa endotrakea. Membran mukosa (konjungtiva,
mukosa trakea) memiliki barier yang lemah terhadap anestesi lokal dibandingkan dengan kulit
yang intak sehingga pemberian melalui mukosa akan memberikan efek yang lebih cepat. Pada
infiltrasi yang dalam (3- 5 mm) akan memberikan durasi + 1-2 jam. Absorbsi secara sistemik
tergantung dari proporsi vaskular dari jaringan (intravena > trakeal > intercotal > caudal >
paraservikal > epidural > pleksus brachialis > skiatik > subcutan ). Efek anestetik lokal
tersebut tidak menekan refleks menelan sehingga kemampuan pasien memproteksi jalan nafas
pasca ekstubasi tetap terjaga. Beberapa laporan penelitian mengatakan kadar plasma lidokain
yang diberikan secara instilasi lebih rendah dibandingkan dengan pemberian intravena.

Kesimpulan

Dalam operasi ini pasien rentan akan terjadinya komplikasi respirasi seperti batuk,
desaturasi, menahan napas, obstruksi jalan napas, laringospasme, hipoventilasi yang
diakibatkan dari nyeri tenggorokan pasca anestesi umum dan pada saat ekstubasi dengan pipa
endotrakeal. Pasien diberikan beberapa obat untuk mencegah terjadinya komplikasi dari
ekstubasi post operatif. Salah satu medikasi tambahan yang diberikan adalah lidokain 2%
2mg/kgBB intratrakeal sebagai anestetik lokal yang berefek memblok reseptor batuk dan
rapidly adapting stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara kontinyu dan meningkatkan
toleransi terhadap pipa endotrakea. Efek anestetik lokal tersebut terbukti tidak menekan
refleks menelan sehingga kemampuan pasien memproteksi jalan nafas pasca ekstubasi tetap
terjaga. Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi
berlangsung dengan baik.

Daftar Pustaka

1. T. Mihara, K. Uchimoto,et.al. 2014. The efficacy of lidocaine to prevent laryngospasm in


children: a systematic review and meta-analysis

2. Tiffany H. Wong, et.al. 2020. Smooth Extubation and Smooth Emergence Techniques: A
Narrative Review

3. Lam F, Lin Y-C, Tsai H-C, Chen T-L, Tam K- W, Chen C-Y. 2015. Effect of Intracuff
Lidocaine on Postoperative Sore Throat and the Emergence Phenomenon: A Systematic
Review and Meta- Analysis of Randomized Controlled Trials
4. Jee D, Park SY. Lidocaine sprayed down the endotracheal tube attennuates the
airwaycirculatory reflexes by local anesthesia during emergence and extubation. Anesth
Analg. 2003;96(1):293−7.
5. Morgan EG, Mikhail MS, Murray MJ. Management airway. Dalam: Morgan EG, Mikhail
MS, Murray MJ, penyunting. Clinical anesthesiology. Edisi ke-4. New York: McGraw-
Hill;2006. Hlm. 91−116.
6. Nishino T, Hiraga K, Sugimori K. Effects of intravena lignocaine on airway reflexes elicited
by irritation of the tracheal mucosa in humans anesthetized with enflurane. Br J Anaesth.
1990;64:682−7.

Anda mungkin juga menyukai