Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembebasan jalan napas merupakan tindakan pertama dan


terpenting yang harus dilakukan pada saat melakukan anestesi umum.
Pembebasan jalan napas tersebut dapat dilakukan tanpa alat atau dengan
menggunakan alat-alat seperti Oropharyngeal Airway (OPA),
Nasopharyngeal Airway (NPA), laryngeal mask airway (LMA), dan
intubasi. (Larson,2002). Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian
yang rutin dalam pelaksanaan anestesi umum. Intubasi bukan merupakan
prosedur yang tanpa komplikasi, bagaimanapun juga tidak semua pasien
yang mendapatkan anestesi umum membutuhkan intubasi trakea, Pipa
endotrakea umumnya digunakan untuk memproteksi jalan napas atau
untuk akses jalan napas. Pipa endotrakea dapat digunakan untuk
memberikan gas anestesi langsung kedalam trakea dan memungkinkan
dilakukannya kontrol terhadap ventilasi dan oksigenasi (Morgan, 2013).

Intubasi dengan pipa endotrakheal memicu terjadinya beberapa


fenomena atau yang disebut emergence phenomena (EP), termasuk nyeri
tenggorokan postoperasi, batuk, dan disphonia setelah pembiusan umum.
Persentase kemunculan EP berkisar antara 15% sampai 96%. Penyebab
utama terjadinya EP diduga akibat iritasi mekanik dari insersi
endotrakeal tube (ETT) dan inflasi dari cuff, tekanan positif ventilasi
pada paru, dan iritasi kimia yang disebabkan gas Inhalasi. iritasi ini
mengaktifkan serabut nosiseptif di trakea, yang diidentifikasi sebagai
rapid acting receptor (RAR) yang menjadi mekanisme timbulnya EP
terkait pemasangan ETT. Laringospasme, takikardi, hipertensi, iskemia
jantung, perdarahan, dan peningkatan tekanan intakranial dan intraokular
dapat diakibatkan dari nyeri tenggorokan post operasi dan batuk. Pasien
dapat bergerak dan melawan disebabkan EP dan menggangu daerah
operasi dan melepaskan pipa dan infus. Telah diketahui bahwa nyeri
tenggorokan menjadi penyebab utama ketidaknyamanan dan
ketidakpuasan pada pasien post operasi.(Crerar, 2008)

1
Kebanyakan PET yang digunakan untuk orang dewasa memiliki
cuff pengembang, dan terdiri dari katup, pilot balon, pipa pengembang,
dan cuff. Katup berfungsi untuk mencegah bocornya udara setelah cuff
dikembangkan. Pilot balon merupakan tempat untuk mengisi udara untuk
mengembangkan cuff. Pipa pengembang menghubungkan katup dengan
cuff dan terletak pada dinding PET. PET mampu memberikan tekanan
positif pada paru dengan adanya balon pada trakea, dan mencegah
terjadinya aspirasi. PET pada anak-anak biasanya digunakan pada anak-
anak untuk meminimalisasi resiko cedera dan batuk paska intubasi.
Tekanan cuff bergantung pada beberapa faktor diantaranya volume udara
pengembang, diameter cuff dalam hubungannya dengan trakea,
Compliance cuff dan trakea, tekanan intrathorak ( tekanan cuff meningkat
saat batuk). Tekanan cuff dapat meningkat pada saat pemberian anestesi
umum sebagai hasil dari difusi Nitrous Oksida (N2O) dari trakea kedalam
cuff PET. (Dollo, 2001)

Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi nyeri tenggorokan


pasca intubasi endotrakea, antara lain mengganti pipa endotrakea dari
bahan karet ke polyvynil chloride (PVC), menggunakan pelumas,
pemberian krim topikal kortikosteroid pada PET, inflasi cuff PET dengan
salin atau campuran N2O dan O2, serta cuff bertekanan rendah sehingga
aliran darah mukosa tidak terganggu. Berbagai obat juga digunakan seperti
opiat dan anestesi lokal bisa diberikan intravena, yang sering digunakan
adalah lidokain 2%. Lidokain 2% 1-2 mg/kgBB menghasilkan konsentrasi
plasma 3 µg/ml yang dapat menghambat refleks batuk. Kelemahannya
yaitu durasi singkat (5-20 menit) sehingga sulit memperoleh efek optimal.
Selain itu, lidokain segera di-uptake oleh otak sehingga memberikan efek
sedasi yang dapat memperpanjang lama pemulihan (Dollo dkk, 2001)

Obat-obat juga dapat diberikan topikal, seperti anestesi lokal


ataupun kortikosteroid. Pemberian topikal dapat dilakukan dengan tiga
cara, pertama melumuri cuff dengan lidokain gel, spray lidokain atau gel
kortikosteroid, namun cara ini hanya efektif pada waktu singkat, karena
lidokain segera diabsorpsi dalam waktu singkat oleh mukosa trakea. Cara

2
kedua adalah menggunakan pipa endotrakea dengan modifikasi khusus
seperti LITA (laryngotracheal installation of topical anesthesia) agar
anestesi lokal dapat disemprotkan diatas dan dibawah cuff pipa
endotrakea. Namun juga terdapat kekurangan yaitu kurang mengenai
daerah kontak dengan cuff dan mukosa trakea, padahal stimulasi tegang
pada RAR terdapat paling banyak pada daerah kontak. Ketiga pemberian
intracuff, karena pipa endotrakea umumnya terbuat dari polyvinylchloride
yang hidrofobik, sehingga membrane cuff yang tipis bersifat hidrofobik
memungkinkan difusi substansi hidrofobik atau lipofilik. Besarnya difusi
tergantung konsentrasi dan waktu, sehingga cuff pipa endotrakea bisa
berfungsi sebagai reservoir potensial. (Fagan, 2000)

Pemberian lidokain intravena dan topikal telah digunakan untuk


mengurangi stimulus noksius pada saat intubasi endotrakea. Lidokain
topikal atau spray pada PET digunakan untuk mengurangi kejadian nyeri
tenggorokan paska intubasi, namun diperlukan peralatan khusus untuk
tindakan ini. Untuk memberi lubrikasi pipa endotrakea digunakan lidokain
2% dosis besar mencapai 100 - 250 mg baik dengan menggunakan spray,
ointment, gel atau jelly untuk mencapai konsentrasi plasma 1,5 mg/kg
berat badan. Pada pemberian lidoakain intavena dosis yang
direkomendasikan 1,5 mg/kg berat badan untuk mencapai konsentrasi
plasma 2 µg/ml. Beberapa metode tersebut memiliki kelemahan, antara
lain duration of action terbatas paska aplikasi lidoakain karena cepat
terabrsorbsi mukosa trakeobronkial. Selama anestesia pengisian cuff
dengan udara dapat menyebabkan hiperpressure cuff pada mukosa trakea
disebabkan peningkatan temperatur dan penggunaannya bersama Nitrous
Oxide (N2O) yang berdifusi lebih cepat kedalam cuff dibandingkan
kemampuan Nitrogen berdifusi keluar cuff. Keadaan overinflasi cuff pipa
endotrakea ini berhubungan dengan kerusakan mukosa pharyngeal dan
terjadi recurrent laryngeal nerve palsy (Gilles Dollo 2001)

Banyak penelitian membahas berbagai aspek dari insersi pipa


endotrakea, namun hanya sedikit yang meneliti pada proses akhir yaitu
pada saat ekstubasi pipa endotrakea. Pada keadaan pasien sudah sadar,

3
terdapat beberapa komplikasi yang mungkin terjadi meliputi hipertensi,
takikardi, batuk, bucking, menahan napas, dan bronkospasme. Keadaan
tersebut dapat merugikan terutama pada pasien bedah saraf berkaitan
dengan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial atau pada pembedahan
bola mata yang beresiko terjadi ruptur jahitan operasi. Sebaliknya,
ekstubasi yang dilakukan saat pasien pada level anesthesia stadium
pembedahan dapat mengurangi kejadian diatas. Namun beresiko terjadinya
aspirasi, laringospasme, dan hilangnya penguasaan jalan napas.
( Dollo,2001)

Untuk menghindari over inflasi cuff pipa endotrakea penggunaan


likuid dapat diberikan dibandingkan inflasi udara. Lidokain sebagai suatu
larutan dapat menjadi pilihan terhadap permasalahan diatas. Beberapa
penelitian in vitro maupun in vivo melaporkan bahwa lidokain
hidroklorida yang dimasukkan ke dalam cuff dapat berdifusi melintasi pipa
endotrakea yang bersifat hydrophobic membrane karena cuff dibuat dari
bahan polyvynil chloride dan bertindak sebagai membran yang
semipermeabel. (sconzo 1990)

Hirota (2000) melaporkan pemberian lidokain pada cuff PET


mengurangi nyeri yang dipasangkan pipa endotrakea dibagi menjadi 2
kelompok, kelompok pertama mendapat inflasi cuff lidokain 4%
sedangkan kelompok lainnya inflasi dengan NaCl 0,9 %. Evaluasi VAS
(mm) lebih rendah pada kelompok inflasi lidokain 25,1±9,8 berbanding
53,5±10,6 pada kelompok inflasi NaCl 0,9% (p<0,01). Navaro (1997) pada
pemberian anestetik lokal lidokain 2% intracuff terdapat perbedaan
insidensi nyeri tenggorokan secara signifikan pada evaluasi 24 jam paska
operasi yaitu 59% pada kelompok inflasi udara 32% pada kelompok inflasi
lidokain 2% (p=0,01), keparahan nyeri tenggorokan dievaluasi
menggunakan VAS lebih rendah pada kelompok inflasi lidokain 2%,
evaluasi 1 jam paska operasi 18,7±27.0 berbanding 7,90±18,1 (p=0,02)
sedangkan evaluasi 24 jam paska operasi 25,6±27,5 berbanding 14,5±24,8
(p=0,03).

Estebe (2005) melaporkan bahwa difusi lidokain pada alkalinisasi

4
dengan NaHCO3 8,4% menyebabkan konsentrasi maksimal lidokain-HCL
dalam plasma Cmax <0,08 µg/ml, masih lebih kecil konsentrasi bila
pemberian lidokain–HCL secara topikal yang mencapai Cmax 0,43-1,5
µg/ml, atau secara intravena yang mencapai 2-3 µg/ml. Penggunaan
lidokain 2% 200-500 mg menyebabkan Cmax 167 ± 30 µg/ml.

Chrismas (2015) dalam penelitiannya yang menggunakan lidokain


2% diinflasikan ke dalam cuff dan dialkalinisasi dengan natrium
bikarbonat 7,5% dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgbb secara
intravena. Menunjukkan lidokain 2% intracuff yang telah di alkalinisasi
lebih mengurangi kejadian batuk, kenaikan tekanan darah dan nadi
dibandingkan lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena serta dapat digunakan
sebagai alternatif untuk mengurangi kenaikan tekanan darah dan nadi pada
saat ekstubasi pada pasien dengan anestesi umum.

Jaichandran (2008), dkk. mempelajari interval waktu minimum


saat didapatkan efek blok RAR dengan lidokain yang melintasi cuff ,
menggunakan efek alkalinisasi saja. pH larutan lidokain dinaikkan dari
6,55 menjadi antara 7,40 dan 7,82 dengan mem-buffer Natrium Bikarbonat
7,5% dalam volume bervariasi antara 0,6 } 0,08 dan 2,7 } 0,2 mL. Onset
difusi lidokain melintasi cuff ditemukan lebih cepat pada grup pH 7,6
dibanding grup pH 7,4 dan 7,8. Lidokain yang di-buffer menjadi pH 7,4
awalnya menunjukkan onset difusi yang lambat, setelah 30 menit pertama
difusi menjadi lebih cepat, dan pada menit 300 menunjukkan konsentrasi
lidokain maksimum 5,08 mcg/mL melintasi cuff , lebih tinggi dari grup pH
7,6 dan 7,8, sedangkan Cm lidokain yang menghambat aktivasi RAR
untuk refleks batuk dicapai ketiga grup dalam 90 menit.

Berdasarkan beberapa penelitian diatas, belum ada perbandingan


antara lidokain 2% alkalinisasi dengan lidokain 2% serta kontrol
menggunakan NaCl 0,9% dalam mengurangi nilai VAS nyeri tenggorokan,
batuk dan suara serak pada pasien dengan pembiusan umum yang
menggunakan pipa endotrakea. Hal tersebut menjadi alasan untuk
dilaksanakannya penelitian ini.

5
1.2 Rumusan Masalah

Pemberian lidokain intracuff sebagaimana telah dipaparkan diatas


peneliti ingin mengetahui penggunaan lidokain 2% intracuff yang lebih
baik antara alkalinisasi dan tidak di alkalinisasi dalam mengurangi nilai
VAS nyeri tenggorokan setelah pembiusan umum di RSUP Sanglah
Denpasar.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbandingan lidokain 2% + natrium bikarbonat 7,5%


dengan lidoakin 2% secara intracuff dalam mengurangi nilai VAS nyeri
tenggorokan pasca intubasi pada pasien dengan pembiusan umum di RSUP
Sanglah Denpasar

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui nilai VAS nyeri tenggorokan, batuk dan suara serak
dengan pemberian lidokain 2% + natrium bikarbonat 7,5% secara intracuff
pada pasien dengan pembiusan umum di RSUP Sanglah Denpasar.

1.3.2.2 Untuk mengetahui nilai VAS nyeri tenggorokan, batuk dan suara serak
dengan pemberian lidokain 2 % secara intracuff pada pasien dengan pembiusan
umum di RSUP Sanglah Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat dalam Bidang Akademik

1.4.1.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan standar pemberian


cairan lidokain intracuff untuk mengurangi nyeri tenggorokan paska intubasi
endotrakea

1.4.1.2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang


Anestesiologi dan terapi intensif terutama dalam bidang Pembiusan Umum.

1.4.1.3 Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian

6
berikutnya
1.4.2 Manfaat dalam Bidang Pelayanan

Pemberian lidokain intracuff dapat mengurangi rasa nyeri ternggorokan


paska intubasi yang akan meningkatkan kualitas kenyamanan pasien yang
dilakukan operasi dengan pembiusan umum dan intubasi endotrakea.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Laring

Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas dan
terletak setinggi Vertebra Cervicalis IV - VI, dimana pada anak-anak dan wanita
letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk laring menyerupai limas segitiga terpancung
dengan bagian atas lebih terpancung dan bagian atas lebih besar dari bagian
bawah. Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal kartilago
krikoid. Pada laki-laki laring memiliki diameter 36 mm dan pada perempuan
berukuran 26 mm. (Ballenger, J.J. 1993)
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa
tulang rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada
struktur laring adalah kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan
kartilago krikoid. Os hioid terletak disebelah superior dengan bentuk huruf U dan
dapat dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut pada dinding faring lateral.
Dibagian bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri dari
dua sayap / alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba
dibawah kulit yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid
yang berbentuk bulat penuh. Pada permukaan superior lamina terletak pasangan
kartilago aritinoid ini mempunyai dua buah prosesus yakni prosesus vokalis
anterior dan prosesus muskularis lateralis. (Ballenger, J.J. 1993)
Pada prosesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda
vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau
bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda
vokalis suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis

7
tengah tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong
makanan yang ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua
pasang kartilago kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni
kartilago kornikulata dan kuneiformis.( Ballenger, J.J. 1993, Morgan, 2013).

8
Gambar 2.1 Anatomi
Laring

2.1.2 Persarafan dan Perdarahan


Laring dipersarafi oleh cabang nervus vagus yaitu nervus laringeus
superior dan nervus laringeus inferior (nervus laringeus rekuren) kiri dan kanan
(Hollinshead, 1996).
a. Nervus Laringeus Superior.
Meninggalkan nervus vagus tepat di bawah ganglion nodosum,
melengkung ke depan dan medial di bawah arteri karotis interna dan
eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu :
• Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis,
sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.
• Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi muskulus krikotiroid
dan muskulus konstriktor inferior.

b. Nervus Laringeus Inferior (Nervus Laringeus Rekuren).


Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring
tepat dibelakang artikulasio krikotiroidea. Nervus laringeus yang kiri
mempunyai perjalanan yangpanjang dan dekat dengan Aorta sehingga
mudah terganggu. Merupakan cabang nervus vagus setinggi bagian
proksimal subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan
antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan

Gambar 2.2 Persarafan Laring


mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan
memberikan persarafan :
• Sensoris, mempersarafi daerah subglotis dan bagian atas trakea
• Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali muskulus krikotiroidea
Laring mendapat perdarahan dari cabang arteri tiroidea superior dan
inferiorsebagai arteri laringeus superior dan inferior. ( Ballenger, J.J. 1993,
Morgan, 2013)

c. Arteri Laringeus Superior


Berjalan bersama ramus interna nervus laringeus superior menembus
membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan
dasar sinus pyriformis. ( Ballenger, J.J. 1993, Morgan, 2013)
d. Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama nervus laringeus inferior masuk ke dalam laring melalui
area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah muskulus
konstriktor faringeus inferior, di dalam laring beranastomose dengan arteri
laringeus superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.
( Ballenger, J.J. 1993, Morgan, 2013)

2.1.3 Anatomi dan Neurofisiologi dari Laring.

Batuk dan nyeri yang berasal dari daerah jalan napas bagian bawah
merupakan sensasi yang dihasilkan oleh beberapa saraf yang melingkari
mulai dari faring, laring, trakea bahkan sampai bronkiolus seta alveolus.
Batuk merupakan salah satu pertahanan yang penting yang melibatkan
proses yang kompleks untuk melindungi jalan napas dari benda dan zat
yang berasal dari luar. ( Ballenger, J.J. 1993, Morgan, 2013)
Impuls saraf yang mengirimkan rasa nyeri dan batuk memiliki jaras
afferent yang memberikan rangsang melalui nervus vagus menuju otak dan
pusat batuk di medulla. Otak dan pusat batuk memberikan sinyal melalui
jaras efferent yang melalui n.vagus. maka neurofisiologi dari rangsang di
laring didasarai oleh :

a. Jaras Afferent merupakan serabut saraf ( cabang dari nervus vagus)


terletak pada epitel dari bagian napas atas dan (paru, auricular, pharing,
superior laryngeal, lambung) dan cabang dari jantung serta
oesophagus.
b. Jaras Pusat merupakan pusat koordinasi untuk perangsangan batuk
yang berada di batang otak bagian atas dan pons
c. Jaras efferent merupakan pemberi impuls batuk dari jaras pusat melalui
vagus, phrenik dan spinal yang mempersarafi diafragma, dan dinding
abdomen, serta melalui cabang laryngeal dari nervus vagus
mepersarafi laring. (Widdicombe J, et al,2001, 2003)

Terminasi dari serabut saraf afferent vagal dapat ditemukan


sepanjang mukosa jalan napas dan diding jalan napas mulai dari jalan
napas atas sampai bronkiolus terminalis dan parenkim paru. Saraf afferent
dapat dinilai dari sensitivitas physicochemicalnya, beradaptasi sesuai
inflasi paru, neurokimiawi, myelenisasi, konduksi, dan bagian terluar dari
saluran napas. Berdasarkan pernataan diatas ada tiga saraf aferen dari
saluran napas yaitu:

a. Rapid adapting Receptors (RAR)


b. Slowly Adapting Stretch Receptors (SARs)
c. C-Fibers. (Widdicombe J, et al,2001, 2003)

RAR yang terdapat pada laring sering disebut “Reseptor Iritasi”


karena dapat dengan cepat merespon stimulus mekanik, namun juga
sensitif terhadap iritasi kimia,
seperti zat volatile anestesi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara stimulus RAR dengan pelepasan histamine dan proses
imun. (Widdicombe J, et
al,2001, 2003)
Tabel 2.1 Reseptor dan Stimulus persarafan Jalan Napas

Tempat Reseptor Stimulus


Hidung sentuh Mekanis
dingin dingin
tekanan mekanis
C-Fibers iritan
Epipharing sentuh mekanis
C-fiber iritasi
laring Tekanan mekanis
dingin dingin
RAR/ iritasi sentuhan, iritasi
C-fiber iritasi
Trachea SAR Inflasi paru
RAR setuhan, iritan
C-fiber iritan
Alveolus C-Fiber Iritasi

Sama halnya dengan sensitisasi dari C-Fibers yang dapat


merangsang pelepasan histamin, prostaglandin E2 pada percobaan
penyakit saluran napas. Beberapa sensitisasi muncul akibat rangsangan
pada lapisan perifer, namun interaksi antara beberapa kelompok receptor
yang berada pada nervus vagal dan ganglia jugularis juga memberikan
rangsangan yang berbeda.

Nodose ganglion
ephitelium

Jugular Myelinated Aδ
ganglion Fibres
RARs (Cell bodies in
nodose
ganglion)
Mechanical displacement
Citric Acid
Tussive Fiber Likely Mechanism of Unmy
Stimulus Type activation e
mechanical displacementRAR Undefined mechanically gated ion linated
channel Nociceptors (cell bodies in
C-
Citric RA undefined,rapidly inaxtivating ion jugular
Fibers
Acid R channel most likely of the ASIC
Nociceptor ganglion) Capscain Bradykinin
Family Activation Of VR1 and
s activation of Undenifide ASIC Citic acid
Capscai Nociceptor Activation of VR1 Channel
n s
Bradykini niciceptor B2 receptor mediated activation of
n s VR1 channel, involve protein
kinace c and lipoxygenase Contain
capascain activates RAR indirectly by inducing neuropneuropeptides
enzyms mediated contractionTracheal wall neuropeptides
and increase in vascular permeability activates

Gambar 2.3 Skema Anatomi aliran saraf di laring dan trakea


Reflek akut kardiovaskular juga dilaporkan terjadi pada manusia
yang merupakan respon dari terhirupnya zat iritan atau rangsangan
mekanis. Ada gambaran kemiripan dimana hal ini juga terjadi pada
hewan namun dengan reaksi yang lebih lemah. Reflek ini terdapat
dibawah epitel dari mulai hidung sampai ke paru-paru. Ada banyak respon
yang terjadi baik kimiawi maupun mekanis yang menjadi iritannya serta
rangsang nosiseptik juga merespon keadaan patologis ini yang
mengaktifkan reflek jalan napas. (Widdicombe J, et al,2001, 2003)
Tabel 2.2 Pengaruh perangsangan jalan napas terhadap Tekanan darah dan nadi

Lokasi respirasi Tekanan darah Nadi


Hidung bersin meningkat menurun
nasoparing hembusan nafas meningkat meningkat
laring batuk, ekspirasi meningkat meningkat/menurun
trakea batuk, apnoe meningkat/menurun meningkat/menurun
alveoli apnoe menurun menurun

2.2 LIDOKAIN

2.2.1 Sejarah

Anestesi lokal pertama kali disintesa dari kokain dan diperkenalkan


sebagai obat lokal anestesi pertama kali tahun 1884 oleh Kollar untuk digunakan
dalam ophthalmology . Halsted mengakui kemampuan dari kokain injeksi untuk
menghambat konduksi impuls saraf, yang penting untuk diperkenalkan pada
anesthesia blok saraf tepid an spinal anesthesia. Sebagai ester dari asan benzoic,
kokain dalam jumlah banyak terdapat pada tumbuhan Erythroxylon coca, sejenis
tumbuhan yang tumbuh dipegunungan andes dimana kualitasnya dalam
merangsang otak diketahui dengan baik. Keistimewaan yang unik lainnya dari
kokain adalah kemampuannya menimbulkan vasokonstriksi lokal, membuat
berguna untuk mengerutkan mukosa hidung pada saat proses rhinolaryngologik
dan intubasi nasothrakeal. Potensial penyalahgunaan dari kokain membatasu
keabsahan penggunaannya secara medis, selain itu sifat iritasi kokain membatasi
obat tersebut digunakan sebagai anestesi topikal pada kornea atau bentuk injeksi
lainnya yang menyebabkan anestesi (Stoelting,2006)

Obat anestesi lokal sintetik pertama kali dibuat dari turunan ester yaitu
prokain, diperkenalkan oleh einhorn tahun 1905. Lidokain disintesa sebagai
anestesi lokal golongan amide oleh Lofgren tahun 1943. Lidokain (
Xylocaine/lignocaine) adalah obat anestesi lokal yang digunakan secara luas baik
melalui pemberian topikal atau intravena. Lidokain menimbulkan blok saraf lebih
cepat, lebih kuat dan durasinya lebih lama dibandingkan dengan prokain. Tidak
seperti prokain, lidokain efektif digunakan secara topikal dan sangat poten untuk
obat antidisritmia jantung. Untuk alasan ini, lidokain digunakan sebagai standar
perbandingan dari obat anestesi lainnya. Lidokain dapat menimbulkan blok
reversible terhadap konduksi impuls saraf pusat dan perifer setelah anesthesia
regional ataupun blok saraf tepi. Dengan meningkatnya konsentrasi dari obat-obat
lokal anesthesia di sekitar serat saraf akan menyebabkan konsentrasi dari obat-
obat lokal anstesi disekitar serat saraf akan enyebabkan transmisi saraf otonm,
saraf sensorik, dan saraf motorik dihentikan sehingga menimbulkan blok sistem
otonom, sensoris dan paralisis dari otot-otot skeletal yang dipersarafi oleh saraf
yang di blok. Berkurangnya konsentrasi anestesi lokal di daerah injeksi akan
diikuti oleh kembalinya fungsi konduksi saraf secara spontan dan komplit, tanpa
ditandain kerusakan struktur serat saraf sebagai akibat dari efek obat. Tiap miliiter
lidokain mengandung : 2-(dietilamino)-N-(2,6-dimetilfenil) asetamida
hodroklorida (Stoelting, 20

Gambar. 2.4 Struktur kimia lidokain


2.2.2 Struktur dan Mekanisme Kerja Anestesi Lokal

Anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf dengan menghambat

aliran ion natrium melalui saluran natrium pada keadaan potensial istrahat, neuron

mempertahankan potensial (-70mV) didalam sel neuron dibandingkan dengan di

luar sel. Pompa Na-K secara aktif mempertahankan potensial ini tetap terpelihara.

Pompa aktif ini menggerakkan natrium (Na+) keluar dari sel neuron dan membawa

kalium (K+) masuk kedalam sel sehingga terjadiperbedaan konsentrasi ion Na+ dan

K+ didalam dan di luar sel (Na+ lebih tinggi di ekstrasel dan K+ lebih tinggi di

intrasel). Untuk pergerakan pasif, sel neuron lebih permeabel terhadap ion K

daripada ion Na sehingga potensial listrik intraseluler lebih negatif dari ekstrasel.

Dengan adanya rangsangan potensial listrik pada neuron maka akan terjadilah fase

depolarisasi sepanjang akson dan aktifasi kanal natrium di membrane sel yang

menyebabkan reflek ion natrium ke dalam sel sehingga terjadi perubahan

potensial membran dari -70mV menjadi +35 mV. Molekul anestesi lokal masuk

kedlam sel dan menutup kanal ion Na dari dalam sel, sehingga potensial aksi

dicegah dan trasnmisi impuls sepanjang saraf tidak terjadi (Rathmell, 2004)

Tidak semua serat-serat saraf dapat dpengaruhi oleh obat anestesi lokal,

oleh karena sensitivitasnya sangat ditentukan oleh diameter dari akson, ada

tidaknya myelin sehingga pada penggunaan blok spinal urutan saraf yang terblok

adalah autonom, sensorik dan motorik. Sebaliknya pemulihannya dimulai dari

saraf motorik, sensorik, terakhir adalah autonom ( Morgan,2013)

2.2.2.1 Struktur Anestesi Lokal

Anestesi lokal terdiri dari bagian lipofilik dan hidrofobik yang


dihubungkan oleh rantai hidrokarbon(Gambar 2.2). Bagian hidrofilik disusun oleh
amine tersier seperti : dietilamine, dimana bagian paraaminobenzoik acid. Bagian
lipofilik ini berperan penting dalam menentukan aktifitas anestetik dari obat
tersebut. Berdasarkan strukturnya tersebut, obat anestesi lokal dapat
diklasifikasikan menjadi golongan amino-ester dan amino-amide. Pembagian
menjadi golongan ester dan amide ini erat kaitanna dengan metabolism dan reaksi
alergi yang ditimbulkannya (Stoelting,2006)

Gambar 2.5 Struktur dasar anestesi lokal

Modifikasi struktur kimia dari obat lokal anestesi ini berpengaruh pada
efek farmakologi. Lidokain mirip dengn etidokain tetapi penggantian grup ethyl
dari lidokain dengan propyl dan penambahan etyl pada alpha atom karbon di ratai
hydrocarbon menyebabkan etidokain 50 kali lebih larut dalam lemak dan durasi
203 kali lebih lama. Anestesi lokal pipecoluxylidide ( mepivakain, bupivacaine,
ropivacaine, levobuvicaine) memiliki struktur chiral karena adanya atom karbon
yang asimetris. Struktur ini menyebabkan obat tersebut meliki konfigurasi l (left)
dan r (Right) enatiomer perbedaan konfigurasi ini erat kaitannya dengan efek
neeurotoksisitas dan kardiotoksisitas, dimana l- enatiomer ( ropivacaine,
levobuvivacaine ) memiliki toksisitas yang lebih rendah dari r- enatiomer
(stoelting, 2006). Potensi sangat berhubungan dengan kelarutannya didalam
lemak, karena hal ini berpengaruh terhadap kemampuan obat anestesi lokal dalam
menembus membran sel neuron (epineurium, perineureum dan endoneurium).
Secara umum kelarutan dalam lemak dan potensi dari lokal anestesi meningkat
bila jumlah atom C (karbon) yang menyusun molekul obat tersebut bertambah
banyak. Cara yang sering dipergunakan untuk mengukur potensi dari obat anestesi
lokal adalah Cm ( konsentrasi minimum dari lokal anestesi yang dapat memblok
konduksi impuls saraf). Tetapi pengukuran ini juga dipengaruhi beberapa

faktor : ukuran, tipe, dan myelin serat saraf, pH ( pH asam mengurangi


potensi blok saraf), frekuensi rangsangan saraf dan kadar elektrolit (hipokalemia
dan hiperkalemia akan mempengaruhi dusar blok saraf). Onset dari anestesi lokal
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : kelarutan dalam lemak, pKa ( pH saat
obat anestesi lokal anestesi yang terionisasi sama dengan yang tidak terionisasi).
Obat yang memiliki pKa mendekati pH fisiologis, konsentrasi obat yang tidak
terionisasi lebih besar sehingga lebih mudah menembus membrane sel saraf,
sehingga onset lebih cepat, disamping itu, pH dari jaringan juga berpengaruh
terhadap onset anestesi lokal, seperti pada infeksi lokal pH jaringan lebih azam,
sehingga onset anestesi lokal akan lebih lambat, penambahan epinheprine akan
membuat pH larutan lebuh asam( karena molekul epinephire lebih stabil pada
suasana asam) sehingga onset maupun durasi dari anestesi lokal lebih lama.
Sedangkan penambahan sodium bikorbonat (alkalinisasi 1ml 8,4% sodium
bikarbonat per 10 ml 1% lidokain) akan meningkatkan pH larutan anestesi lokal
sehingga onset dari lokal anestesi lebih cepat dan durasinya lebih lama.

Gambar 2.6 Ester dan Amida dari local anestesi.


Mupivacain, bupivacaine, dan ropivacain adalah obat
chiral karena memiliki molekul karbon asimetris
Durasi dari anestesi lokal sangat bergantung pada kelarutan obat dalam
lemak. Semakin besar kelarutannya dalam lemak semakin lama durasinya oleh
karena pembersihan oleh aliran darah menurun. Kelarutannya dalam lemak juga
menunjukkan kekuatan ikatan antara obat dengan protein plasma berbanding lurus
dengan kecepatan eliminasi dari obat.

2.2.2.2 Mekanisme Kerja Anestesia Lokal

Anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf dengan menghambat


aliran ion natrium melalui saluran natrium pada keadaan potensial istrahat, neuron
mempertahankan potensial (-70mV) didalam sel neuron dibandingkan dengan di
luar sel. Pompa Na-K secara aktif mempertahankan potensial ini tetap terpelihara.

Pompa aktif ini menggerakkan natrium (Na+) keluar dari sel neuron dan

membawa kalium (K+) masuk kedalam sel sehingga terjadi perbedaan

konsentrasi ion Na+ dan K+ didalam dan di luar sel (Na + lebih tinggi di ekstrasel

dan K+ lebih tinggi di intrasel). Untuk pergerakan pasif, sel neuron lebih
permeabel terhadap ion K daripada ion Na sehingga potensial listrik intraseluler
lebih negatif dari ekstrasel. Dengan adanya rangsangan potensial listrik pada
neuron maka akan terjadilah fase depolarisasi sepanjang akson dan aktifasi kanal
natrium di membrane sel yang menyebabkan reflek ion natrium ke dalam sel
sehingga terjadi perubahan potensial membran dari -70mV menjadi +35 mV.
Molekul anestesi lokal masuk kedlam sel dan menutup kanal ion Na dari dalam
sel, sehingga potensial aksi dicegah dan trasnmisi impuls sepanjang saraf tidak
terjadi (Rathmell, 2004)

Tidak semua serat-serat saraf dapat dpengaruhi oleh obat anestesi lokal,
oleh karena sensitivitasnya sangat ditentukan oleh diameter dari akson, ada
tidaknya myelin sehingga pada penggunaan blok spinal urutan saraf yang terblok
adalah autonom, sensorik dan motorik. Sebaliknya pemulihannya dimulai dari
saraf motorik, sensorik, terakhir adalah autonom ( Morgan,2013)
2.2.3 Konsentrasi Minimum (Cm)

Konsentrasi minimum dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan untuk menblok
konduksi saraf disebut dengan Cm ( Concentration minimum), analog dengan
Minimum Alveolar Concntration (MAC) untuk zat Anestetik inhalasi. Cm
dipengaruhi oleh diam yang makin besar pula. meningkatkan eter dari serat saraf,
semakin besar serat saraf dibutuhkan konsentrasi obat. Meningkatnya pH atau
frekuensi rangsangan saraf akan menurunkan Cm. Sistem saraf Motorik memiliki
Cm dua kali dari sistem saraf sensori, hal ini menyebabkan anesthesia sensorik
tidak selslu disertai paralisis otot skeletal. Meskipun tidak ada perbedaan Cm,
dosis obat anestetik lokal akan lebih sedikit dibutuhkan pada regional
subaracknoid dari pada epidural oleh karena serat saraf dalam subaraknoid lebih
sedikit lapisan proteksinya (Stoelting,2006)

2.2.4 Farmakoinetik

Anestesi lokal adalah basa lemah dengan pKa sedikit diatas pH fisiologi.
Pada pH fisiologis kurang dari 50% obat anestesi lokal terlarut dalam lemak dan
tak mengalami ionisasi. Anestesi lokal yang memiliki pKa mendekati pH
fisiologis memiliki onset yang lebih cepat karena rasio obat yang terionisasi dan
dengan tidak terionisasi optimal. Disamping itu efek vasodilator dari obat
anestesi lokal itu sendiri, dimana efek lidokain lebih besar daripada mepivacaine
mempercepat absorbsi sistemik dari obat sehingga mempercepat durasi dari obat
tersebut. Sedangkan bupivacaine dan etidocaine memiliki faktor intrinsic yang
serupa, namun konsentrasi plasma efek bupivacaine setelah pemberiannya pada
ruang epidural lebih tinggi daripada etidocaine (Stoelting 2006)
2.2.4.1 Arbsorbsi

Arbsorbsi anestesi lokal tempat injeksi ke dalam sirkulasi darah


dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya tempat ijeksi obat dan besarnya dosis,
penggunaa vasokonstriktor dan farmakologi dari obat. Membrane mukosa
( konjngtiva, mukosa trakea) memiliki barier yang lemah terhadap anestesi lokal
dibandingkan dengan kulit yang intak sehingga pemberian melalui mukosa akan
memberikan efek yang lebih cepat. Pada infiltrasi yang dalam (3-5 mm) akan
memberikan durasi ±1-2jam. Arbsorpsi secara sistemik tergantung dari proporsi
vascular dari jaringan (intravena > trakea> intercostals> caudal> paraservikal>
epidural> pleksis brakhialis>skiatik>subcutan ) lidokain mudah diserap dari
tempat suntikan, dapat melewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma fetus
dapat mencapai 60% kadar dalam darah. (Stoelting 2006)

Penggunaaan vasokonstriktor (epinephrine 1 :200.000) menimbulkan


vasokonstriksi pada tempat injeksi sehingga jumlah obat yang diabrsorbsi ke
sirkulasi menurun sedangkan pengambilan oleh sel saraf akan meningkat sehingga
meningkatkan kualitas analgesia dan durasi dari blok saraf serta mengurangi efek
samping ( semakin banyak yang diabsorbsi semakin besar resiko keracunan obat).
Disamping itu epinephrine juga memperpanjang durasi dari lidokain dengan
perangsangan reseptor alpha -2 adrenergik. Penambahan epinephire pada lidokain
akan memperpanjang durasi lidokain sampai 50% sedangkan penambahan
epinephrine pada bupivacaine kurng bermanfaat karena durasi bergantung pada
ikatan dengan protein (protein binding). Sifat dari obat itu sendiri juga
berpengaruh terhadap arbsorbsi obat tersebut. Lidokain yang memiliki efek
vasodilatasi akan lebih cepat diarbsorbsi sehingga durasi lebih pendek. (Stoelting
2006)

Pada saat dosis dari anestesi lokal ditingkatkan begitu pula kepuasan dari
anestesi meningkat, dan waktu dari onset blok akan lebih cepat. Dosis dari lokal
anestesi dapat ditingkatkan dngan cara menambahkan volume atau dengan
menigkatkan konsentrasi. Sebagai contoh peningkatan konsentrasi dari 0,125%
menjadi 0,5 % dengan jumlah volume yang sama akan meningkatkan kepuasan
anestesi dan menambah lama blok sensoris, volume dari larutan anestesi lokal
dapat mempengaruhi penyebaran anesthesia.seperti 30 ml lidokain 1%. (Stoelting
2006)

2.2.4.2 Distribusi

Distribusi dari lidokain tergantung dari msing-masing organ yang


dipengaruhi oleh perfusi jaringan dan koefisien partial dari jaringan dan darah.
Pada organ yang memiliki perfusi jaringan yang tinggi (otak,paru, hati, ginjal, dan
jantung) obat ini akan cepat didistribusikan .paru-paru mengekstraksi sebagian
besar dari anestesi lokal. Kondisi ini menyebabkan ambang toksisitas anestesi
lokal lebih rendah bila disuntikkan intra-arterial daripada intravena. Koefisien
partial dari jaringan dan darah memiliki kekuatan ikatan protein plasma akan
mempertahankan anestesi lokal didalam darah, sedangkan kelarutannya akan
dalam lemak memudahkan pengambilan oleh organ. (Stoelting 2006)

2.2.4.3 Metabolisme dan Eksresi

Metabolism dan eksresi anestesi lokal bergantung dari struktur molekul


yang menyusunnya. Golongan ester dimetabolisme oleh pseudocholinesterase
( plasma cholinesterase atau butyrylcholinesterase) dengan reaksi hidrolisis.
Rekasi ini sangat cepat dan metabolitnya mudah larut dalam air sehinga dpat
dieksresikan lewat urin . metabolism procaine dan benzocaine akan menghasilkan
p-aminobenzoic acid (PABA) yang berperan dalam timbulya reaksi alergi pada
penggunaan anestetik lokal golonga ester. (Stoelting 2006)

Golongan amida dimetabolisme oleh enzyme p-450 mikrosomal di dalam


hati (N- deakylasi dan hydroxylasi). Kecepatan dari metabolism dari golongan ini
tergantung pada masing-masing anestesi lokal (prilokain > lidokain >
mepivacaine > ropivacaine . bupivacaine) tetapi secara keseluruhan lebih lambat
dari golongan ester. Menurunnya fungsi hepar ( sirosis) atau penurunan aliran
darah hepar akan mengurangi kecepatan metabolisme dari anestesi lokal ini.
Sehingga kemungkinann toksisitas sistemik akan meningkat. Sebagai contoh
eliminasi waktu paruh dari lidokain akan menigkat 5 kali lipat pada pasien dengan
disfungsi hepar dibandingkan dengan pasien normal. Penurunan metabolism
lidokain oleh hepar harus dapat diantisipasi terutama bila mendapat anesthesia
dengan zat volatile. (Stoelting 2006)

Lidokain termasuk anesthesia golongan amida, dan didalam hati,


lidokainmengalami dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed function
oxides) membentuk monoetilglisin dan xilidid, yang kemudian dapat
dimetabolisme lebih lanjut menjadi Imonoetilglisisn dan xilidid. Keduam
metabolism ternyata masih memiliki efek anestsi lokal.Pada manusia 75% dari
xilidid akan dieksresikan bersama urin dalam bentuk metabolik akhir, 4 hiroksi 2-
6 dimetil –aniline. (Stoelting 2006)

Paru mampu mengekstraksi anestetik lokal seperti lidocaine, bupivacaine,


dan prilocaine dari sirkulasi (Jorfeldt et al., 1980). Setelah pemasukan anestesi
lokal secara cepat ke dalam sirkulasi vena, pengeluaran oleh paru akan membatasi
konsentrasi obat yang mencapai sirkulasi sistemik yang didistribusikan ke arteri
koroner dan ke sirkulasi serebral. Untuk bupivacaine, pengeluaran oleh paru
merupakan hal yang tergantung pada dosis, sehingga proses ambilan menjadi
tersaturasi secara cepat. (Stoelting, 2006)

Gambar 2.7. Metabolisme Lidokain

2.2.5 Anestesi Lokal Liposomal


Obat seperti lidokain, tetracaine dan bupivacaine telah dimasukkan ke dalam
liposome untuk memperpanjang durasi dan mengurangi toksisitas. Liposome
adalah sebuah vesikel yang berisi massa encer dan dilapisi oleh dua lapisan
pospholipid. Pospholipid ini dapat berfungsi sebagai tahanan untuk difusi obat
dari liposome, dengan efektif melepaskan obat secara perlahan sehingga
durasinya lebih panjang. Memanjangnya durasi lokal anestesi dapat
dipergunakan untuk memperpanjang analgesia pasca operatif dan penanganan
nyeri kronik dengan infiltrasi atau topikal. Tidak seperti analgesia sistemik,
anestesi lokal dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri tanpa diikuti efek
samping sistemik seperti yang ditunjukkan oleh opioid. Bupivacaine
mengalami degradasi dalam mikro kapsul yang menyebabkan analgesia
sampai 96 jam setelah infiltrasi subkutan. (Stoelting, 2006)

Duration After Maximum single Toxic plasma


Clasification Onset dose of pKa
Infiltration( mi consentration(µg
ns) infiltration(adult,m /ml)
g)
Amides
rapid 60-120 300 >5 7,9
lidokain

fraction Nonionized(%) Elimination


Protein Lipid Volume
Half-
pH 7,2 pH 7,4 pH 7,6 binding(%) Solubility distribution(liters)
time(mins)
lidocaine 1 2 3 7 2, 9 96
7 5 3 0 9 1

Tabel.2.3 Farmakologi anestesi local lidokain


2.2.6 Alkalinisasi Larutan Anestetik Lokal

Alkalinisasi larutan anestetik lokal memperpendek onset dari blokade


neural, memperdalam blokade sensorik dan motorik, dan meningkatkan
penyebaran blokade epidural. pH dari sediaan anestetik lokal berkisar 3,9 - 6,5 dan
bila dikemas dengan epinephrine akan bersifat asam (yang akan memperpanjang
umur epinephrine). pKa dari anestesi lokal yang digunakan secara klinis mendekati
8, sehingga hanya sebagian kecil (sekitar 3%) yang merupakan sediaan larut dalam
lemak. Alkalinisasi meningkatkan persentase anestesi lokal sediaan larutan larut
dalam lemak yang terdifusi melewati barrier lemak seluler. Menambahkan sodium
bicarbonate mempercepat onset blokade saraf perifer dan blokade epidural selama
3-5 menit. (Stoelting, 2006)

2.2.7 Indikasi

Lidokain dipergunakan untuk menimbulkan anestesi lokal dan regional


dengan berbagai teknik ; (Katzung, 2004)

 Teknik topikal seperti : EMLA salep kulit, lidokain spray


 Teknik infiltrasi : injeksi perkutaneus dan anesthesia regional intravena
 Teknik blok saraf tepi seperti : lumbal dan caudal epidural
 Teknik blok saraf tepi seperti blok pleksus dan intercostalis

2.2.8 Farmakodinamk

2.2.8.1 Efek Lidokain Pada Sistim Organ

Efek pada berbagai sistim organ yang timbul setelah pemberian lidokain
pada prinsipnya adalah sama dengan efek yang ditimbulkan oleh anestesi lokal
golongan amide lainnya. Timbulnya efek samping pada sistem organ ini
berhubungan dengan dosis dan konsentrasi obat yang berlebihan ( arbsorbsi) yang
cepat, obat secera langsung masuk intavaskular). Efek samping lainnya mungkin
dsebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terutama terrutama terhadap obat adjuvant,
zat engawet, antiseptic dan pH dari obat.(Morgan 2013, Stoelting 2006)

a. Sistim Saraf Pusat

Sistem saraf pusat sanagt peka terhadap toksisitas anestesi lokal sehingga
gejala yang timbul dapat dipakai sebagai pertanda overdosis terutama pada pasien
sadar. Kelebihan dosis atau masuknya anestesi lokal secara langsung ke
intravaskuler akan memberikan gejala awal berupa mati rasa pada bibir. Kesmutan
pada lidah, dan pusing. Gejala eksitasi sistim saraf pusat yang ditandai dengan
gejala-gejala gelisah, agitasi, ketakutan , gembira berlebih biasanya mendahului
gejala depresi yaitu: pusing, mengantuk, tinnitus, penglihatan kabur (diplipia),
mual muntah, menurunnya sensitivitas, gemetar, kejang, tidak sadar, depresi pusat
nafas dan cardiac arrest. Kejanh tonik klonik biasanya didahului oleh twitching
dari otot rangka. Pemberian benzodiazepine dan hiperventilasi akan menurunkan
aliran darag cerebral dan meningkatkan ambang rangsang kejang oleh anestesi
lokal. Disamping itu, pemberian thiopental ( 1-2 mg/kgbb) dapat menghentikan
kejang cepat, tetapi ventilasi dan oksigenasi harus adekuat. Lidokain intravena
( dosis 1,5 mg/kgbb) akan menurunkan aliran darah otak dan mencegah
meningkatnya tekanan intracranial yang sering terjadi pada saat melakukan
tindakan intubasi. (Morgan 2013, Stoelting 2006)

Dibandingkan dengan bupivacaine. Lidokain lebih potensial menimbulkan


neurotoksisitas terutama pada konsentrasi yang tinggi dan kontak relative lama.
Lidokain dengan konsentrasi 5% (hiperbarik) dikatakan berhubungan dengan
kejadian cauda equine syndrome pada pemberian secara terus menerus. Disamping
itu penggunaan jarum yang relative keil ( 25-32 G) juga berperan, karena akan
membatasi kecepatan kita dalam menyuntikkan obat, sehingga terjadi pooling obat
hanya pada daerah suntikan. (Morgan 2013, Stoelting 2006)

Transient neurological symtoms yang ditandain dengan kesemutan, rasa


terbakar dan nyeri pada ekstremitas bawah menjalar sampai ke pantat, sering
terjadi pada spinal anesthesia (single shot). Gejala yang timbul adalah sebagai
akibat dari perangsangan saraf pada radik dosrsalis, biasanya sembuh sendiri pada
hari ke 3-7. (Morgan 2013, Stoelting 2006)
b. Sistem Kardiovaskular

Secara umum semua oat anestesi lokal bupivacaine > lidokain) menekan
automatisitas dari otot jantung (spontaneoou phase 4 depolarisaai) dan
mengurangi durasi dari fase refrakter. Kontraktilitas dan konduksi dari otot
jantung juga ditekan oleh o b a t anestesi lokal pada konsentrasi yang lebih besar.
Efek timbul karena perubahan pada membrane sel otot jantung ( sodium channel
blockade) dan penghambatan sistem saraf otonom. Kombinasi ini akan
menimbulkan bradikardi, blok jantung, hipotensi dan akhirnya gagal jantung.
Stimulasi yang singkat pada sistem kardiovaskular ( takikardi, hipertensi) dapat
terjadi lebih awal sebagai akibat ekstitasi pada sistem saraf pusat. (Morgan 2013,
Stoelting 2006).

Konsentrasi lidokain ynag rendah berguna untuk menangani beberapa tipe


dari ventrikular arrytmia. Kontraktilitas otot jantung dan tekanan darah arteri tidak
dipengaruhi oleh anestesi lokal bila diberikan dengan dosis yang tepat. Hipertensi
terjadi pada saat laryngoskopi-intubasi dapat dicegah dengan pemberian lidokain
1,5 mg/kgbb intravena 1-3 menit sebelumnya. Injeksi bupivacaine intravascular
yang tidak diharapkan dapat terjadi pada saat anestesi regional. Hal ini dapat
menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat ( arrhythmia yang mengancam
nyawa, ventrikular takikardi, dan fibrilasi). Kehamilan, hipoksemia dan asidosis
respiratorik merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya efek samping. Untuk
menghindari dari hal ini aspirasi terlebih dahulu sebelum memberikan obat injeksi
harus dilakukan (Morgan 2013, Stoelting 2006)

c. Sistem Respirasi

Lidokain menurunkan respon ventilasi terhadap penurunan


tekanan oksigen ( hypoksik drive). Apnea dapat terjadi karena paralisis dari
nervus phrenikus dan interkostae atau depresi pada pusat nafas akibat kontak
langsung dari obat anestesi lokal. Anestesi lokal menimbulka relaksasi otot polos
pada bronchus, sehingga pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgbb dapat mencegah
refleks kontraksi bronkus pada saat melalukan laryngoskop- intubasi. (Morgan
2013, Stoelting 2006)

d. Alergi

Reaksi alergi biasanya berupa lesi kulit, urtikaria, atau reaksi anafilaktoid.
Reaksi alergi tidak hanya karena sensitivitas terhadap anestesi lokal tetapi dapat
ditimbulkan oleh bahan pengawet obat tersebut. (Morgan 2013, Stoelting 2006)

2.2.9 Respon Inflamasi

Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas non-spesifik yaitu berupa


respon terhadap kerusakan sel, berlangsung cepat (beberapa jam sampai dengan
hari) dan dipacu oleh berbagai stimulan seperti benda asing yang masuk tubuh,
invasi mikroorganisme, trauma, bahan kimiawi yang berbahaya, faktor fisik dan
alergi. Tujuan inflamasi akut adalah untuk meeradikasi namun tidak efektif atau
tidak lengkap sehingga menimbulkan fase inflame kronis (karnen,2012)

Pada umunya respon inflamasi akut menunjukkan awitan cepat dan


berlangsung singkat. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut
respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat kadar beberapa protein
plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak
terjadinya vasodilatasi, kebocoran mikrovaskular dengan eksudasi cairan dan
protein serta infiltrasi lokal sel-sel anestesi. Reaksi inflamasi diawali dengan
pelepasan mediator vasoaktif dari sel mast (histamine, leukotrient), juga pelepasan
dari platelet dan komponen plasma (bradikinin) , menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vasakular yang selanjutnya memicu timbulnya tanda
inflamasi klasik yaitu kemerahan (rubor), panas (kalor), edema (Tumor) dan nyeri
(dolor) yag timbul akibat interaksi mediator inflamasi dengan sistem sensorik.
(Karnern 2012)

Proses inflamasi lokal dapat memicu respon sistemik, disebut dengan


reaksi fase akur dimana terjadi peningkatan protein fase akut ( C-reaktid protein,
complement faktor C, fibrinogen dan serum albumin) diikuti dengan aktivasi
beberpaa sistem mediator ( sistem kinin, sistem complement, mediator lipid dan
sitokin). Pada pembedahan, sitokin memiliki

2.2.9.1 Efek Obat Anestesi Lokal Pada Inflamasi.

Beberapa studi menyatakan bahwa obat anestesi lokal mencegah terjadinya


stimulasi berlebihan terhadap respon inflamasi. Obat anestesi lokal memodulasi
respon inflamasi in vivo sehingga mengurangi proses inflamasi tanpa
meningkatkan kecendrungan terjadinya infeksi dan mencegah kejadian trombotik
postoperatif tanpa meningkatkan resiko perdarahan. Memaparkan beberapa efek
alternatif anestesi lokal adalah pengaruhnya pada respon anti inflamasi dan
terutama pada sel inflamasi (granulosit polimorfonuklear (PMN), makrofag dan
monosit.

Pelepasan sitokin akibat aktivasi tergantung pada pemberian lidokain. Hal


ini menyebabkan berkurangnya kerusakan seluler akibat sitokin melalui
mekanisme yang melibatkan kanal kalium bergantung ATP. Lidokain memiliki
efek analgesia, antihipertensi, dan inflamasi serta mampu mengurangi kebutuhan
analgesia intra dan post operatif dan waktu rawat. Efek ini lebih menonjol pada
pemberian secara intravena. Selama periode intraoperatif dan dapat dilanjutkan
selama beberapa hari atau minggu disesuaikan dengan waktu infus dan waktu
paruh plasma. Mengindikasikan bahwa obat ini memiliki target lain dan bukan
hanya kanal natrium tergantung voltase dan diduga mencegah hipersentivitas
sistem saraf pusat, perifer atau keduanya.(stoelting, 2006)

2.3 Pipa Endotrakea

2.3.1 Cuff Pipa Endotrakea

Fungsi utama cuff PET adalah mengamankan jalan napas sehingga dapat
mencegah aspirasi dan mencegah kebocoran udara nafas saat dilakukan tekanan
positif, hal ini dapat terjadi setelah cuff dikembangkan sampai tidak terdengar
lagi suara nafas tetapi pengembangan ini tidak boleh berlebihan karena dapat
memberikan tekanan yang besar pada mukosa trakea terutama pada dinding depan
karena terdapat tulang rawan yang kaku, sedangkan pada bagian belakang lebih
bersifat elastis. Pada posisi ekstensi, tekanan pada bagian posterior lebih besar
disebabkan karena dorongan dari tulang vertebra servikal.(Black AM,1981. Khine
HH, 1997 : Brimacobe, 1999)

Pada tahu 1960 PET dengan cuff terbuat dari bahan karet bewarna merah
dan termasuk pada kelompok High Pressure Low Volume (HPLV). Pada jaman
modern ini HPLV dengan cuff terbuat dari bahan silikon nondisposable
sedangkan cuff High Vlolume- Low Pressure (HVLP) terbuat dari bahan
Polyvinyl Chloride (PVC) atau Polyurethane. Cuff HPLV memiliki diameter lebih
kecil pada ujungnya dan residual volume lebih kecil. Untuk menimbulkan sealing
trakea memerlukan tekanan intracuff yang tinggi untuk mengatasi low compliance
dari cuff tersebut. Cuff membuat area kontak yang sedikit dengan trakea. Hal
yang diperhatikan pada penggunaan cuff tipe ini dalam penggunaanya yang lama
kemungkinan terjadi iskemik pada mukosa trakea. Keuntungan yang diberikan
yaitu reusability sehingga biaya akhir lebih murah (Spiegel 2010)

Gambar. 2.8 Endotracheal


Tube

PET dengan cuff HPLV yang diinflasikan lebih dari 30 mmHg (39 cm
H2O) menyebabkan mukosa trakea yang kontak dengan cuff yaitu yang menutupi
kartilago trakea menjadi iskemia. Keadaan ini diperkirakan memberikan
kontribusi terhadap kajadian stenosis trakea dan trakeomalasia (McHsrdy 1999)

Pada penggunaan cuff HVLP tidak menyebabkan aliran darah mukosa


trakea terhenti selama tekanan intracuff berada kisaran 80 - 120 mmHg. Hal ini
berkaitan karena tekanan intracuff tersebut demikian didistribusikan lebih luas
pada mukosa trakea yang kontak dengan cuff namun demikian tekanan intracuff
yang direkomendasikan sebaiknya < 20 mmHg (26 cm H2O). Data menyebutkan
penggunaan PET yang terbuat dari PVC dengan cuff HVLP menurunkan insidensi
dan keparahan nyeri tenggorokan bila digunakan ukuran yang adekuat dengan
pasien ,( McHardy, 1999. Ali 2009)

Besarnya tekanan cuff ditentukan oleh banyak faktor , diantaranya volume


yang diinflasikan, diameter cuff relatif terhadap trakea. Kelenturan trakea dan cuff
serta tekanan intrrathorak termasuk tekanan jalan napas. Tekanan cuff yang cukup
untuk mencegah kebocoran udara nafas dari berbagai jenis pipa endotrakea adalah
20-25 cmH2O dibawah tekanan perfusi mukosa trakea 25-30 cmH2O. tekanan
cuff dapat meningkat selama anestesi umum sebagai akibat dari difusi N2O dari
trakea kedalam cuff pipa endotrakea. (Brimacombe, 1999 : stone DJ 200)

2.3.2 Difusi Lidokain Melintasi Cuff Pipa Endotrakea

Cuff pipa endotrakea umumnya terbuat dari Polyvyyl Chloride (PVC)


bersifat hidrofobik terhadap sebagian besar substansi kimia. Oleh karena itu
mekanisme difusi lidokain melintasi membrane cuff pipa endotrakea
kemungkinan mirip dengan yang terjadi di dalam ruang epidural( Navaro 2007)

Cuff PET memiliki lapisan filtrasi pada permukaan berfungsi untuk


menyerap sekresi mukosa sebelum memasuki intracuff dan paru-paru. Lapisan
filtrasi ini adalah ukuran diameter masing-masing celah pori-pori berukuran kecil
untuk menyaring mikroba yaitu dalam sekala micron lebih kecil dari mikroba yang
umumnya berukuran 0,2-20 mikron. Rata-rata ukuran mikroba pada kisaran 3-5
mikron, contoh mikroba tersebut antara lain , Pseudomonas aeruginoa,
staphylococcus aureus, enterobacter spp. Haemophilus Influenza, streptococcus
spp. Candida albican , MRSA dan virus lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka
lapisan filtrasi seharusnya berukuran lebih kecil dari mikroba tersebut yaitu 2
mikron, walaupun idealnya memiliki ukuran yang lebih kecil lagi yaitu 0,2 mikron
pada retang terluas. Lapisan filtrasi ini berada pada bagian yang kontak dengan
mukosa trakea yang memproduksi sekret, selanjutnya disaring sebelum akhirnya
masuk ke trakea dan paru-paru, pori-pori lapisan filtrasi yang berukuran kecil
mencegah partikel yang lebih besar dari secret mukosa namun tetap
memungkinkan liquid phase untuk berdifusi.(Estebe, 2005)

Pilot balon dapat diinflasikan dengan larutan yang selanjutnya mengalami


proses pada cuff yang kontak dengan mukosa trakea , larutan golongan amide
monomer seperti lidokain dapat berdifusi melalui membrane cuff. Anestesi lokal
pada membrane saraf berada dalam 2 bentuk : basa bebas non ionisasi dan kation
terionisasi. Jumlah tiap bentuk tergantung dari pH larutan dan pKa obat, sesuai
dengan persamaan Handelson Hasselbach

Peningkatan fraksi nonionisasi anestesi lokal menambah kemampuan


penetrasi ke dalam saraf. Hal tersebut dapat diamsumsikan bahwa meningkatkan
fraksi non-ionisai menigkatkan kecepatan difusi anestesi lokal melintasi
membrane cuff pipa endotrakea. Pemberian sodium bikarbonat menigkatkan pH
larutan dan menigkatkan persentase bentuk non-ionisasi (Sconzo JM, 1990)

1,4 % NaHCO3 8,4% NaHCO3


2 3 mL 4 mL 6 2 mL 3 mL 4 mL 6
mL mL mL
p 7,44 7,47 7,59 7,63 7,95 7,99 8,07 8,09
H

Tabel. 2.4 pH dan jumlah cairan lidokain dan natrium karbonat untuk alkalisasi lidokain

2.4 Nyeri

2.4.1 Defenisi nyeri


The interntional Association for the Study of Pain (IASP), mendefinisikan
nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan (morgan 2013).
Bedasarkan defenisi tersebut, nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen
obyektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subyektif (aspek
emosional dan psilkologis). Rasa nyeri memberikan informasi dengan stimulus
noksius yang memungkinkan tubuh merespons terhadap kerusakan jaringan yang
terjadi. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif
dan harus dilakukan observasi serta penilaian secara rutin dengan menggunakan
alat bantu. (Steeds, 2009).

Setiap kali jaringan terluka oleh trauma bedah, bermacam mediator kimia
akan dilepaskan dari sel-sel yang meradang dan rusak. Nyeri akut disebabkan oleh
stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau
viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stres neuroendokrin yang
sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf
otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan
(Stoelting 2006)
2.4.2 Fisiologi Nyeri

Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan
informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri
tersebut dinamakan

nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor


khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri
mempunyai beberapa komponen (Avidan 2003) :
A. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer,
mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.
B. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.

C. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan


antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks
hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus
desenden inhibitor dari otak.
D. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus)
menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada CNS.
E. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat
relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.
F. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif
nyeri, ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon
motoris (termasuk withdrawal respon).
G. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada
level medulla spinalis.
2.4.3 Patofisiologi Nyeri

Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti


pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat
algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit
eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator ini dapat

menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik (Stoelting dan Hillier, 2006;


Morgan dkk, 2006).
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada
4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu :
2.4.3.1 Transduksi

Tranduksi Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi


aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti
prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin,
asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor
nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent
A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum,
di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan
C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik
nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik
dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2.4.3.2 Transmisi

Tranmisi Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut
yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri
diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis.
Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai
perbedaan ukuran diameter. Serat A- delta mempunyai diameter lebih besar
dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30
m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla
spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel
neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat
aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di
kornua antero- lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua
anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek
yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel- sel neuron di kornua anterior
medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah
cedera dengan segala akibatnya.
2.4.3.3 Modulasi
Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin,
NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang
diteruskan oleh serat- serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua
dorsalis medula spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus
spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.
2.4.3.4 Persepsi

Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang


sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya
menghasilkan sensibel nyeri.
2.4.4 Penilaian Nyeri

Nyeri merupakan suatu keadaan yang multidimensional sebagai akibat dari


kombinasi rangsang nyeri atau nociception dan kerusakan jaringan, pengalaman
nyeri sebelumnya, kepercayaan pasien, budaya, dan kepribadian pasien. Rasa
nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus
dilakukan observasi serta penilaian rutin dengan menggunakan alat bantu. Hal ini
menjelaskan mengapa pasien dengan tingkat stimulus nyeri dan kerusakan
jaringan yang sama akan merasakan pengalaman nyeri dengan

sangat berbeda. Oleh karena tidak terdapat suatu alat obyektif, maka kita harus
mempercayai laporan pasien tentang tingkat nyeri yang mereka alami (Ballantyne,
2008).
2.4.4.1 Instrumen penilaian nyeri

Menurut JCAHO (Joint Commision on Accreditation of Healthcare


Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang
kelima yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan
berulang harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia yang sedang
berjalan. Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri,
kebutuhan serta respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan.
Penilaian rasa nyeri pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada
kondisi statik (saat istirahat, tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat
bergerak, duduk, batuk). Secara garis besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua,
yaitu penilaian uni dimensional dan penilaian multi dimensional. Penilaian
unidimensional merupakan skala untuk menilai intensitas nyeri ataupun tingkat
berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam menilai respon
terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan bukan intensitas
nyerinya (Cousin, 2005).
Skala kategori menggunakan kata-kata untuk mendeskripsikan intensitas
nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal Descriptive Scale (VDS) biasanya
menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat atau sangat
nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh Keele pada tahun 1948. VDS lebih
sulit digunakan pada pasien pasca operasi dibandingkan dengan skala numerikal
dan kurang sensitif untuk menilai hasil terapi analgesia dibandingkan dengan
VAS. (Ballantyne, 2008).

Gambar 2.9. Patofisiologi Nyeri (Dikutip dari Salerno, 2006).

Skala kategori mempunyai keuntungan karena sederhana, mudah, dan


cepat dilakukan, dan berguna pada pasien tua atau pasien dengan gangguan
penglihatan, akan tetapi terbatasnya pilihan kategori dibandingkan dengan
numerical scales membuat skala kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya
perbedaan terhadap hasil terapi analgesia yang diberikan (Cousin, 2005; Deloach
dkk., 1998).
Gambar 2.10 Instrumen Visual Rating Scale (VRS)
Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun
tertulis. Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai Numerical Rating
Scale (NRS), disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta
untuk menyatakan tingkat nyeri dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10
dimana 0 sebagai tidak nyeri, dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah
satu instrumen pengukur nyeri yang sering digunakan dalam penelitian.

Gambar 2.11 Instrumen Numerical Rating Scale (NRS)

Skala numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini
merupakan pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis
maupun dalam penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan
panjang 100 mm, pada ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada
ujung kanan ditandai dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk
memberi tanda pada garis tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari
sebelah kiri. Jarak tersebut dihitung dalam satuan milimeter (mm) dan
mencerminkan tingkat nyeri yang dialami pasien. Selain dalam posisi horizontal,
VAS juga dapat diposisikan vertikal dan hasilnya tetap valid. Interpretasi nilai
VAS sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, akan tetapi
interpretasi nilai VAS yang paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai
nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat.
Hasil dari penilaian VAS ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam
menyesuaikan dosis obat anti nyeri yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian
dkk., 2001).
Skala ini mempunyai keuntungan oleh karena sederhana, mudah dan cepat
menggunakannya, memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat nyerinya
dalam rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini
diperlukan konsentrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat
dipergunakan pada anak-anak (Cousin, 2005). Perubahan nilai VAS juga
mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm
atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm
atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan
penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai menghilangnya nyeri yang
substansial

Gambar 2.12 Instrumen Visual Analog Scale (VAS)

Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri, tapi juga


menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap
individu pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah
theMcGill Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada
tahun 1987 untuk memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang
dirasakan oleh pasien. MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating
index dan intensitas nyeri terkini. MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang
valid dan dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh

dari jumlah nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang
mendeskripsikan segi sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini
berupa skala nyeri dari 0-5, dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa
tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 =
sangat tersiksa oleh nyeri.

2.4.5 Nyeri Tenggorokan Pasca Anestesi Umum Pipa Endotrakea

Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum dengan menggunakan pipa


endotrakea mencapai 90% kasus dan biasanya merupakan keluhan utama yang
berkaitan dengan airway selain keluhan lainnya seperti dysphagia dan
hoarseness. Beberapa keadaan yang dipertimbangkan sebagai etiologi nyeri
tenggorokan tersebut meliputi: trauma intubasi, dehidrasi mukosa dan edema
pharyngeal airways. Faktor lain yang diperkirakan berpengaruh antara lain:
teknik intubasi, teknik suctioning, ukuran PET, jenis PET, contour cuff, tekanan
cuff PET terhadap mukosa trakea. (Ali N.P, 2009; Porter, 1999; Edomwonyi,
2006)
Ukuran PET sebagai faktor penting yang berperan terhadap nyeri
tenggorokan. Pada penelitian diketahui penggunaan PET ukuran kecil
mengurangi insidensi nyeri tenggorokan, hal ini disebabkan berkurangnya tekanan
yang ditimbulkan oleh PET terhadap mukosa trakea.(Edomwonyi, 2006)
Meskipun mekanisme patofisiologi nyeri tenggorokan yang pasti belum
dapat dijelaskan, diperkirakan kerusakan mukosa yang berkaitan dengan cuff PET
menjadi faktor penting terhadap morbiditas trakea. Penurunan perfusi mukosa
trakea terjadi bila tekanan cuff melebihi 30 cmH2O, hal ini diduga sebagai tahap
awal dari perkembangan kerusakan mukosa trakea. Penggunaan nitrous oxida
(N2O) dalam balance anesthesia juga memberikan peran karena N2O yang
dapat berdifusi melalui membran cuff PET.

Kekurangan dalam mengontrol tekanan intracuff selama periode perioperatif juga


berperan terhadap tekanan yang berlebihan pada mukosa trakea. (Combes, 2001)
Beberapa cara mengatasi kenaikan tekanan yang berlebihan dalam cuff
pipa endotrakea adalah dengan beberapa cara: dikempiskan secara periodik atau
menyesuaikan kembali tekanan cuff, mengisi cuff dengan NaCl fisiologis atau
campuran gas anestetik, memakai pipa endotrakea yang dilengkapi dengan
pengatur tekanan pada pilot baloon. (Larson CP, 2002)
Keuntungan dari pemberian lidokain intracuff adalah keberadaan lidokain
dalam cuff bersifat sebagai reservoir, lidokain akan terus menerus berdifusi
seiring berjalannya waktu. Sebagai anestetik lokal berefek memblok reseptor
batuk dan rapidly adapting stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara
kontinyu dan meningkatkan toleransi terhadap pipa endotrakea. Efek anestetik
lokal tersebut tidak menekan refleks menelan sehingga kemampuan pasien
memproteksi jalan nafas pasca ekstubasi tetap terjaga (Jaichandran, 2008; Rao,
2013).
Penilaian nyeri tenggorokan bisa menggunakan berbagai instrumen yang
bersifat numerical maupun kategorikal. Skala numerikal dalam bentuk tertulis
dikenal sebagai VAS. Instrumen penilaian lainnya yang bersifat katagorikal
menggunakan Melzack’s Present Pain Intensity Scale of McGill Pain
Questionnaire (MPQ) yang selanjutnya menghasilkan dua nilai global, yaitu pain
rating index dan intensitas nyeri terkini. Pain rating index diperoleh dari jumlah
nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi
sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Sedangkan penilaian intensitas nyeri bersifat
kategorikal dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 =
terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh
nyeri. (Jaichandran, 2008; Rao, 2013).

2.5 Definisi Tonsilektomi


Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral
maupun bilateral. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal
(Bailey BJ.2001). Adapun pengertian lain yang menyebutkan bahwa tonsilektomi
adalah pembedahan eksisi tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis yang berulang.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini
bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di
AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi
mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi
operasi pendek dan teknik tidak sulit.
Gambar 2.13. Tonsilitis

2.5.1 Epidemiologi
Pada Amerika operasi tonsilektomi masih merupakan operasi yang paling
sering dikerjakan pada anak. Pada tahun 1959, 1,4 juta tonsilektomi dikerjakan
pada Amerika Serikat. Pada tahun 1987, jumlah operasi yang dikerjakan menurun
hingga 260.000. Indikasi operasi berubah dari indikasi karena infeksi, menjadi
karena obstruksi jalan nafas.

Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau


tonsiladenoiktomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). (Bailey BJ.2001)
2.5.2 Indikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi amandel, telah
dikenal oleh masyarakat awam sejak dahulu, dan sejak diperkenalkan
tonsilektomi dengan cara Guillotine (1828), kecenderungan melakukan
pembedahan ini untuk menyembuhkan berbagai penyakit saluran napas atas
semakin meningkat. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda yang
menderita episode ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris, atau abses
peritonsilaris. Tonsilitis kronis dapat menyebabkan hilangnya waktu bekerja yang
berlebihan. Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronis atau abses peritonsilaris.
Paling sering, mereka mengalami episode berulang tonsilitis akut dan hipertrofi
penyerta. Beberapa episode mungkin disebabkan oleh virus atau bakteri. Diskusi
kemudian mengenai kapan saat atau setelah berapa kali episode tindakan
pembedahan dibutuhkan. Pedoman-pedoman yang biasanya dapat diterima
sekarang ini ditunjukkan pada bagian ini.

A. Indikasi Absolut

Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang absolut adalah berikut ini:


1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur yang
menyebabkan:
a. Obstruksi jalan napas (sleep apnea),
b. Kesulitan menelan, dan
c. Gangguan dalam berbicara
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat
badan penyerta
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma), terutama pada tonsil yang
membesar secara unilateral patut dicurigai sebagai limfoma pada anak-anak
dan karsinoma epidermoid pada orang dewasa.
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya. Pada anak anak, tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu setelah abses
sudah diberikan perawatan. Pada orang dewasa, serangan kedua dari abses
peritonsilernya akan menjadi indikasi yang absolut
6. Infeksi tenggorokan yang rekuren. Ini merupakan indikasi yang paling umum.
Infeksi yang rekuren didefinisikan sebagai:
a.Tujuh atau lebih episode dalam 1 tahun, atau
b.Lima atau lebih episode dalam 2 tahun, atau
c.Tiga episode per tahun dalam 3 tahun, atau
d.Dua minggu atau lebih tidak mengikuti sekolah atau bekerja dalam
1 tahun
7. Tonsilitis. Terutama tonsitis yang menyebabkan kejang demam.(Adam G
L.2013)

B. Indikasi Relatif
Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif. Indikasi yang paling
sering adalah episode b erulang dari infeksi streptokokus beta hemolitikus
grup A. Biakan tenggorokan standar tidak selalu menunjukkan organisme
penyebab dari episode faringitis yang sekarang. Biakan permukaan tonsil tidak
selalu menunjukkan flora yang terdapat di dalam tonsil. Demikian juga, keputusan
untuk mengobati dengan antibiotik tidak selalu bergantung pada hasil biakan saja.
Sprinkle menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar “sakit tenggorokan”
disebabkan oleh infeksi virus, Streptococcus pyogenes merupakan bakteri
penyebab pada 40% pasien dengan tonsilitis eksudatifa rekurens. Streptokokus
grup B dan C, adenovirus, virus EB, dan bahkan virus herpes juga dapat
menyebabkan tonsilitis eksudatifa. Ia percaya bahwa kasus-kasus tertentu
adenotonsilitis berulang disebabkan oleh virus yang dalam keadaan tidak aktif
(dormant) yang terdapat dalam jaringan tonsilaris. (Adam G L.2013)
Sekarang ini, tonsilektomi mungkin hanya satu-satunya jalan untuk
menetapkan lebih banyak flora mulut normal pada pasien-pasien tertentu dengan
adenotonsilitis berulang. Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi
tergantung pada kebijaksanaan dokter yang merawat pasien. Mereka sebaiknya
menyadari kenyataan bahwa tindakan ini merupakan prosedur pembedahan mayor
yang bahkan hari ini masih belum terbebas dari komplikasi-komplikasi yag serius.
Sekarang ini, di samping indikasi-indikasi absolut, indikasi tonsilektomi yang
paling dapat diterima pada anak-anak adalah berikut ini:
1. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan
patogenik (keadaan karier)
2. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan)
3. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi
mononukleosis (biasanya pada dewasa muda)
4. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan
dengan tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk
5. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda)
6. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas
orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas
7. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten.(Adam G L.2013)
Jika terdapat infeksi streptokokus yang berulang, mungkin terdapat karier
pada orang-orang yang tinggal serumah, dan biakan pada anggota keluarga dan
pengobatan dapat menghentikan siklus infeksi rekuren.
Pertimbangan dan pengalaman ahli dalam menilai manfaat indikasi-indikasi
ini yang akan diberikan pada pasien, tentu saja semuanya sama penting. Seperti
juga indikasi pembedahan, tentu terdapat non-indikasi dan kontraindikasi tertentu
yang juga harus diperhatikan, karena telah menjadi mode untuk melakukan jenis
pembedahan ini untuk mengatasi masalah-masalah ini.

2.5.3 Kontraindikasi Tonsilektomi


Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Kontraindikasi tonsilektomi
ialah, sebagai berikut:
1. Kadar hemoglobin yang kurang dari 10 g%
2. Adanya infeksi akut dari saluran napas atas, bahkan tonsilitis akut. Perdarahan
dapat semakin meyakinkan bukti infeksi akut
3. Anak-anak di bawah usia 3 tahun, yang memiliki risiko buruk terhadap
operasi
4. Cleft palate yang overt atau submukosa
5. Kelainan perdarahan seperti leukemia, purpura, anemia aplastik atau hemofilia
6. Saat polio sedang bersifat epidemik
7. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol, seperti diabetes, penyakit jantung,
hipertensi atau asma
8. Tonsilektomi dihindari selama periode menstruasi.(Adam G L.2013)
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
3.1 Kerangka Teori

Intubasi endotrakhea dengan ETT


PVC HVLP

Mekanis Sentuh Irita Nocicepti


(tekanan) an n ve

RA
R
C-
Fibers

Inflama Prostaglan
si din

Jaras Bradikin
Afferent in

Lidokain2% + Natrium
Bikarbonat 7,5% Intracuff

Nyeri
Batuk
Suara Serak

Gambar 3.1 Kerangka Teori


3.2 Kerangka Konsep

Nyeri
Tenggorokan
Lidokain 2% Alkalisasi
L INTUBASI
batuk

Suara
Lidokain 2%
serak
Gambar 3.2 Kerangka
Konsep

Variabel Bebas

Variabel Tergantung

3.3 Hipotesis

Kombinasi lidokain 2% + natrium bikarbonat 7,5% intracuff lebih baik


daripada lidokain 2% intracuff dalam mengurangi nilai VAS nyeri tenggorokan
paska operasi dengan pembiusan umum di RSUP Sanglah Bali.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak terkontrol tersamar


ganda, nilai VAS nyeri tenggorokan, batuk setelah operasi dengan pemberian
lidokain 2% alkalinisasi dan lidokain 2% secara intracuff pada pasien yang
menjalani pembiusan umum dengan intubasi endotrakea.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1 Tempat

Pengumpulan data penelitian dilakukan di RSUP Sanglah Bali.

4.2.2 Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2021 atau setelah melewati


ethical clearance dari komisi etik bidang kesehatan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara dan Komisi Etik penelitian Rumah Sakit Umum
Pusat sanglah sampai jumlah sampel terpenuhi.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pasien


dewasa yang menjalani operasi dengan pembiusan umum dan intubasi
endotrakea Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Bali sampai jumlah
sampel terpenuhi.

4.3.2 Sampel

Sampel penelitian diambil dari populasi yang memenuhi kriteria


inklusi dan ekslusi di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Bali.

4.3.3 Perhitungan Besar Sampel

Perhitungan besar sampel minimal dengan menggunakan rumus


besar sampel untuk uji hipotesis terhadap rata-rata dua populasi dalam
dua kelompok independent :

n1 = jumlah sampel Lidokain 2% alkalisasi n2 = jumlah sampel Lidokain


2%
Z = 1,96 (adalah deviat baku pada  0,05) Z = 0,842 (adalah deviat
baku )
S1 = estimasi standar deviasi nilai VAS pada kelompok kontrol

Zα = nilai Z untuk α tertentu (1.96 untuk tingkat kemaknaan α = 0.05).


Zß = nilai Z untuk power (1- ß) tertentu (1.282 untuk power
90%).
X1-X2 = perbedaan klinis yang dianggap bermakna antara dua kelompok
perlakuan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Estebe (2001)


didapatkan acuan nilai rata- rata Visual Analog Scale (0-100mm) adalah
25±10. Perbedaan VAS rerata yang dianggap bermakna antara dua
kelompok adalah 8. Standar deviasi yang digunakan adalah 10; dengan
tingkat kesalahan tipe I, α ditetapkan sebesar 0,05 sehingga nilai Zα adalah
1,96 sedangkan kesalahan tipe II, β ditetapkan sebesar 10% sehingga power
adalah 90% dan nilai Zβ adalah 1,282; maka didapatkan besar sampel pada
masing-masing kelompok adalah 23 orang, maka total besar sampel yang
diperlukan pada penelitian ini adalah 69 orang.

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik konsekutif sampling


dan dirandomisasi dengan tehnik permutted block menjadi kelompok
lidokain 2% + natrium bikarbonat 7,5% intracuff dan kelompok lidokain 2%
intracuff. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih sampai
jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


4.4.1 Kriteria Inklusi

a. Pasien jenis kelamin laki-laki dan perempuan


b. Pasien dengan umur 10-18 tahun
c. Pasien yang akan menjalani tonsilektomi
d. Pasien status fisik ASA I dan ASA II
e. Malampati derajat I – II
f. Bersedia mengikuti penelitian ini setelah menandatangani informed consent

4.4.2 Kriteria Eksklusi


a. Pasien yang menolak menjadi sampel penelitian.
b. Pasien yang memiliki reaksi alergi terhadap obat lidokain 2%
c. Mengalami infeksi jalan nafas atas
d. Menjalani operasi daerah kepala, mulut, dan atau leher
e. Pemasangan pipa lambung
f. Cuff pipa endotrakea bocor atau terlepas durante operasi

4.4.3 Kriteria Drop Out


a. Pasien mengalami reaksi alergi terhadap bahan perlakuan
b. Pasien dengan sulit intubasi

4.5 Cara Kerja

a. Penelitian ini dilakukan setelah mendapat informed consent dan


disetujui oleh komisi etik penelitian bidang kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana dan RSUP Sanglah Bali.

b. Seleksi dilakukan pada pasien yang akan menjalani prosedur


tonsilektomi dengan tehnik anestesi umum dan pemasangan pipa
endotrakea di ruang poli anestesi dan ruang rawat yang memenuhi
kriteria inklusi dan ekslusi. Selanjutnya diberi penjelasan mengenai
penelitian ini dan dimohon kesediaannya untuk berpartisipasi pada
penelitian.

c. Setelah dijelaskan, bila pasien setuju maka surat persetujuan


tindakan dan surat persetujuan berpartisipasi dalam penelitian
ditandatangani.
d. Sampai di ruang persiapan kamar operasi dilakukan pencatatan
identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan infus dengan
cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan cairan
berdasarkan berat badan pasien.

e. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, kemudian dipindahkan


ke meja operasi.

f. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry,


dan dilakukan pencatatan hasil.

g. Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgbb, analgesia


dengan fentanyl dosis 2 µg/kgbb ditunggu waktu mula kerja obat
selama 3 menit, lalu induksi propofol 2,5 mg/kgbb serta obat
pelumpuh otot vekuronium bromide dosis 0,1 mg/kgbb ditunggu
waktu mula kerja obat 3 menit kemudian dilakukan laringoskopi
dan intubasi pemasangan pipa endotrakea sesuai ukuran.
Selanjutnya dilakukan pengembangan cuff: kelompok A inflasi cuff
menggunakan lidokain 2% volume 6 ml + 0,6 ml Natrium
bikarbonat 7,5%. Kelompok B inflasi cuff menggunakan lidokain
2% 6,6 ml. Masing- masing kelompok telah disiapkan sebelumnya
dalam sebuah spuite 10 ml.

h. Pengukuran tekanan dalam cuff dengan menggunakan instrumen


Rusch endotest Cuff Pressure Manometer, Teleflex, Australia.
Tekanan awal dalam cuff dievaluasi tidak kurang dari 25 cmH2O
dan tidak melebihi 30 cmH2O. Bila masih terjadi kebocoran
udara, pada kelompok A dab B ditambahkan lidokain 2% volume 1
ml. Inflasi cuff pipa endotrakea tersebut dilakukan hingga tercapai
minimal occlusive volume. Pemantauan tekanan dalam cuff secara
intermittent dilakukan tiap 30 menit dan akhir anestesi, dievaluasi
tidak melebihi 30 cmH2O.

i. Maintenance anestesia dengan N2O:O2 (50%:50%); sevofluran 1-2


volume% dan pemberian NSAID ketorolac 0,5 mg/kgbb.
j. Setelah operasi selesai, agen anestesia dihentikan, pasien
dipertahankan nafas spontan dengan oksigen 100% .

k. Ekstubasi pipa endotrakea dilakukan bila:


- Pasien bernafas spontan adekuat
- Pasien mampu mengikuti perintah verbal (membuka mata atau
tangan menggenggam) atau mampu untuk mencabut pipa
endotrakea.
l. Penilaian nyeri tenggorokan dengan menggunakan instrumen
Visual Analog Scale (VAS) dengan nilai 0 – 100 mm. Dilakukan
pengamatan dan wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri
tenggorokan. Evaluasi dilakukan 10 menit ,20 menit, 30 menit 1
jam pasca ekstubasi, dan 2 jam pasca ekstubasi.
m. Pencatatan angka kejadian batuk dilakukan pada 10 menit, 20
menit, 30 menit 1 jam pasca ekstubasi dan 2 jam paska ekstubasi.
n. Pencatatan mengenani suara serak juga dilakukan pada 10 menit, 20
menit, 30 menit 1 jam pasca ekstubasi dan 2 jam paska ekstubasi.
4.6 Alat dan Bahan
4.6.1 Alat
a. Kuesioner dan data dari status pasien
b. Penggaris pengukuran VAS dengan skala 0-10 cm
c. Lembar monitoring VAS pasien
d. Lembar pengumpulan data penelitian
e. Laringoskop merk Riester
f. Pipa endotrakea PVC merk Portex, Smith, disertai cuff high volume- low
pressure ukuran 6,5 mm, 7 mm dan 7,5 mm
g. Spuit 10 ml dan 3 ml merk Terumo
h. Infuse set dan kateter intravena ukuran 18G
i. Stetoskop
j. Rusch Endotest Cuff Pressure

4.6.2 Bahan
a. Midazolam 5mg/ml PT. Kalbe Farma
b. Propofol 10 mg/ml merk Diprivan Fresenius Kabi USA
c. Vekuronium Bromide 4 mg/ ml merk Ecron 4
d. Fentanyl 50 mcg/ ml merk Janssen
e. Sevoflurane Piramal Healthcare
f. N2O, O2
g. Lidokain Hidroklorida (Lidokain-HCL 2%) Bernofarm
h. Natrium Bikarbonat 8,4% PT. Otsuka Indonesia
i. Ketorolac ampul 30 mg /ml PT. Hexpharm Jaya
j. Adrenalin ampul 1 mg/ml
k. Sulfas Atropine ampul 0,25 mg/ml Biofarma
l. Dexamethasone ampul 5 mg/ml Bernofarm
m. Neostigmin 0,5 mg/ml Combiphar
4.7 Identifikasi Variabel
4.7.1 Variabel Bebas
a. Lidokain 2% Alkalinisasi
b. Lidokain 2% Non Alkalinisasi
4.7.2 Variabel Tergantung
a. Nilai VAS
b. Batuk
c. Suara serak

4.8 Definisi Operasional


a. Pemberian lidokain 2% Alkalinisasi intracuff adalah pemberian
lidokain 2% volume 6 ml ditambah Natrium Bikarbonat 7,5 % 0,6 ml
ke dalam cuff pipa endotrakea.
b. Pemberian Lidokain 2% intracuff adalah pemberian lidokain 2%
dengan volume 6,6 ml
c. Natrium Bikarbonat 7,5% yang ditambahkan ke kelompok lidokain
alkalisasi sebanyak 0,6 ml merupakan natrium bikarbonat 8,4% yang
diencerkan dengan menggunakan aquabides dengan rumus M1 .V1 =
M2 .V2 dengan hasil penambahan cairan 0,12 ml disetiap 1 ml natrium
bikarbonat 8,4%.
d. Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi pipa endotrakea
adalah nyeri yang dirasakan penderita pada tenggorokan paska anestesi
umum intubasi pipa endotrakea. Penilaian nyeri tenggorokan
menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS). Dilakukan
pengamatan dan wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri
tenggorokan dengan menggunakan penggaris skala sepanjang 100 mm,
pada ujung kiri (0 mm) tertulis tidak nyeri dan pada ujung kanan (100
mm) tertulis sangat nyeri, pasien diminta memberi tanda pada
penggaris VAS tersebut tentang nyeri yang dirasakannya. Penilaian
dilakukan dalam keadaan pasien diam. Kemudian dilakukan
pengukuran dari sebelah kiri dan intensitas nyeri dinyatakan dengan
skala mm. Evaluasi nyeri tenggorokan dilakukan 10 menit, 20 menit,
30 menit 1 jam pasca ekstubasi dan 2 jam paska ekstubasi.
e. Batuk menurut Eurupean Respiratory Society menyatakan bahwa
batuk adalah mekanisme motorik yang bersifat ekspulsif dan terdiri
dari tiga fase yaitu diawali oleh usaha inspirasi dalam (Fase Inspirasi)
diikuti oleh usaha ekspirasi paksa yang kuat pada glottis tertutup ( Fase
Kompresi) yang akan terbuka dengan aliran udara ekspirasi cepat
( fase ekspulsi). Bunyi batuk pertama akan terdengar selama fase
ekspulsi.
f. Suara Serak didefenisikan sebagai kekasaran dari suara yang
dihasilkan dari variasi secara periodik dan atau berurutan yang
meningkatkan gelombang suara. Suara serak juga dapat diartikan
perubahan abnormal dari suara.
g. Anestesi umum pemasangan pipa endotrakea adalah tindakan
melakukan anestesi dengan menggunakan obat-obat anestesi seperti:
premedikasi midazolam 0,05 mg/ kgbb, analgesia menggunakan
Fentanyl dosis 2 µg/kgbb, induksi dengan Propofol dosis 2,5 mg/kgbb.
Fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot Vekurinium bromide
dengan dosis 0,1 mg/kgbb. Dilakukan laringoskopi intubasi dengan
memasang pipa endotrakea PVC merk Potex dengan cuff High Volume
– Low Pressure sesuai ukuran pasien, yaitu internal diameter 7 mm
untuk perempuan dan 7,5 mm untuk laki-laki. Dilanjutkan dengan
maintenance inhalasi N2O : O2 (50%:50%) dan sevoflurane.
h. Umur adalah umur resmi pada saat akan dilakukan operasi, yang
diketahui dari tanggal lahir yang didapat dari dokumen resmi, misalnya
KTP atau SIM (tahun).
i. Jenis kelamin dilihat berdasarkan tanda-tanda kelamin sekunder.
j. Status fisik ASA adalah suatu sistem penilaian status fisik pasien
praoperasi menurut klasifikasi berdasarkan American Society of
Anesthesiologists, dikatakan status fisik ASA I jika pasien yang akan
menjalani operasi tanpa penyakit sistemik, status fisik ASA II jika
pasien yang akan menjalani operasi dengan penyakit sistemik ringan
tanpa pembatasan fungsional (Morgan et al., 2013).
k. Sulit intubasi adalah pasien yang dilakukan tindakan intubasi
endotrakea dan gagal dengan pengulangan percobaan intubasi lebih
dari 2 kali.
4.9 Alur Penelitian

Populasi

Kriteria Kriteria
inklusi eksklusi

Sampel
Premedikasi :
midazolam 0,05 mg/kgbb
iv

Induksi :
propofol 2,5 mg/kgbb iv
vekuronium bromide dosis 0,1 mg/kgbb
Rumatan GA dengan Sevoflurane 1-2 %;
N2O,O2

Intubasi pipa endotrakea

Kelompok A Kelompok B
Lidokain 2% 6 ml +
Natrium bikarbonat 7,5% Lidokain 2% 6,6 ml intracuff
0,6 ml intracuff

Ekstubasi pipa endotrakea

- Nyeri tenggorokan
- Batuk
- Suara Serak

Analisis Data
4.10 Analisis Data

a. Setelah data yang diperlukan telah terkumpul, data tersebut


diolah dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 23.
b. Data dikatakan berdistribusi normal jika nilai p>0,05 setelah
dianalisa dengan menggunakan uji Lavene Statistic.
c. Membandingkan beda nilai rata-rata antara 2 kelompok dilakukan
dengan uji statistik Independent sample t-test jika data terdistribusi
normal dan Kruskal-Wallis jika data tidak terdistribusi normal.
d. Analisa data kualitatif yang berskala nominal (kategori) dengan 2
variabel atau lebih menggunakan Crosstab, dengan uji statistik
Chi-Square.
e. Batas kemaknaan yang diambil p<0.05 dengan interval kepercayaan 95%.
DAFTAR PUSTAKA

Avidan M. 2003. Pain Management, In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain Management

and Intensive Care, London:78-102

Ballantyne J.C. 2008. Management of Acute Postoperative Pain. In: Longnecker, D.E.,

Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol W.M. New York: McGraw Hill.p. 1716-1736

Ballenger, J.J. 1993. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger.

Chrismas G.D et al. 2015. Perbandinagan Efek Inflasi Cuff Lidokain 2% 6 ml + Natrium
Bikarbonat 7,5% 0,6 ml dengan Lidokain HCL 1,5 mb/kgBB intravena terhadap
Kejadian Batuk dan Hemodinamik Sebelum dan Sesudah Ekstubasi pada Anestesi
Umum, CDK-229, Vol 42 no 6.
Combes X., Schauvliege F., Peyrouset O. 2001. Intracuff pressure and tracheal morbidity –

Influence of filling cuff with saline during nitrous oxide anesthesia. Anesthesiology.

Vol 95. No 5: 1120-1124

Crerar C, LCDR, et. Al, 2008, Comparison of 2 Laryngeal Tracheal Anesthesia Techniques
In Reducing Emergence Phenomena, AANA Journal, 76; 425-431
Dollo G., Estebe J.P., LeCorre P., Chevanne F., Ecoffey C., Verge R.L. 2001. Endotracheal
tube cuffs filled with lidocaine as a drug delivery system: in vitro and in vivo
investigations. European Journal of Pharmaceutical Sciences. 13: 319-323
Edomwonyi N.P., Ekwere I.T., Omo E., Rupasinghe A.2006. Postoperative throat

complications after tracheal intubation. Annals of African Medicine. Vol

5 No 1: 28- 32

Estebe J.P., Gentili M., Le Corre P. 2005. Alkalinization of intracuff lidocaine: Efficacy and
safety. Anesthesia Analgesia. 101: 1536-1541
Fagan C., Frizelle H., Laffey J. 2000. The effects of intracuff lidocaine on endotracheal tube
induced emergence phenomenon after general anesthesia. Anesthesia Analgesia. 91:
201-205
Hirota W., Kobayashi W., Igarashi K. 2000. Lidocaine added to a tracheostomy tube cuff
reduces tube discomfort. Canadian Journal Anesthesia. 47:412-414
Jaichandran V.V., Angayarkanni N., Karunakaran C. 2008. Diffusion of lidocaine buffered to
an optimal pH across the endotracheal tube cuff – an in vitro study. Indian Journal
Anesthesia. 52(5):536-540
Katzung G.B. 2004. Anestetik Lokal. In: Basic and Clinical Pharmacology. 9th ed. McGraw

Hill. New York.

Larson C.P. 2002. Airway management. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York: The

Mc-Graw Hill Companies:59-85

Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2013. Pain Management, In: Clinical
Anesthesiology. 4th Ed.Mc-Graw Hill’s. 18:359-373.
Navarro L.H.C., Lima R.M., Aguiar A.S. 2012. The effect of intracuff alkalinized 2%

lidocaine on emergence coughing, sore throat, and hoarseness in smokers. Rev assoc

Med Bras. 58 (2): 248-253

Rao M., Snigdha, Alai T., Vijay K. 2013. Instillation of 4% lidocaine versus air in the

endotracheal tube (ETT) cuff to evaluate post intubation morbidity-a randomized

double blind study. Journal of Anesthesiology and Clinical Science:2-19

Rathmell J.P., Neal J.M., Viscomi C.M., 2004. Local Anesthetic. In: Regional Anesthesia –

The requisites in Anesthesiology. Philadelphia: Elsevier Mosby.2:13-24

Spiegel J.E. 2010. Endotracheal tube cuff: Design and Function. Anesthesiology news guide

to airway management. 51-58

Stoelting,R.K. Hillier,S.C.2006. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. 4th


Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Widdicombe J, et al, 2003, Functional Morphology and Physiology of Pulmonary Rapidly
Adapting receptors (RARs), The Anatomical record Part A, Wiley-Liss, INC

Anda mungkin juga menyukai