PENDAHULUAN
1
Kebanyakan PET yang digunakan untuk orang dewasa memiliki
cuff pengembang, dan terdiri dari katup, pilot balon, pipa pengembang,
dan cuff. Katup berfungsi untuk mencegah bocornya udara setelah cuff
dikembangkan. Pilot balon merupakan tempat untuk mengisi udara untuk
mengembangkan cuff. Pipa pengembang menghubungkan katup dengan
cuff dan terletak pada dinding PET. PET mampu memberikan tekanan
positif pada paru dengan adanya balon pada trakea, dan mencegah
terjadinya aspirasi. PET pada anak-anak biasanya digunakan pada anak-
anak untuk meminimalisasi resiko cedera dan batuk paska intubasi.
Tekanan cuff bergantung pada beberapa faktor diantaranya volume udara
pengembang, diameter cuff dalam hubungannya dengan trakea,
Compliance cuff dan trakea, tekanan intrathorak ( tekanan cuff meningkat
saat batuk). Tekanan cuff dapat meningkat pada saat pemberian anestesi
umum sebagai hasil dari difusi Nitrous Oksida (N2O) dari trakea kedalam
cuff PET. (Dollo, 2001)
2
kedua adalah menggunakan pipa endotrakea dengan modifikasi khusus
seperti LITA (laryngotracheal installation of topical anesthesia) agar
anestesi lokal dapat disemprotkan diatas dan dibawah cuff pipa
endotrakea. Namun juga terdapat kekurangan yaitu kurang mengenai
daerah kontak dengan cuff dan mukosa trakea, padahal stimulasi tegang
pada RAR terdapat paling banyak pada daerah kontak. Ketiga pemberian
intracuff, karena pipa endotrakea umumnya terbuat dari polyvinylchloride
yang hidrofobik, sehingga membrane cuff yang tipis bersifat hidrofobik
memungkinkan difusi substansi hidrofobik atau lipofilik. Besarnya difusi
tergantung konsentrasi dan waktu, sehingga cuff pipa endotrakea bisa
berfungsi sebagai reservoir potensial. (Fagan, 2000)
3
terdapat beberapa komplikasi yang mungkin terjadi meliputi hipertensi,
takikardi, batuk, bucking, menahan napas, dan bronkospasme. Keadaan
tersebut dapat merugikan terutama pada pasien bedah saraf berkaitan
dengan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial atau pada pembedahan
bola mata yang beresiko terjadi ruptur jahitan operasi. Sebaliknya,
ekstubasi yang dilakukan saat pasien pada level anesthesia stadium
pembedahan dapat mengurangi kejadian diatas. Namun beresiko terjadinya
aspirasi, laringospasme, dan hilangnya penguasaan jalan napas.
( Dollo,2001)
4
dengan NaHCO3 8,4% menyebabkan konsentrasi maksimal lidokain-HCL
dalam plasma Cmax <0,08 µg/ml, masih lebih kecil konsentrasi bila
pemberian lidokain–HCL secara topikal yang mencapai Cmax 0,43-1,5
µg/ml, atau secara intravena yang mencapai 2-3 µg/ml. Penggunaan
lidokain 2% 200-500 mg menyebabkan Cmax 167 ± 30 µg/ml.
5
1.2 Rumusan Masalah
1.3.2.1 Untuk mengetahui nilai VAS nyeri tenggorokan, batuk dan suara serak
dengan pemberian lidokain 2% + natrium bikarbonat 7,5% secara intracuff
pada pasien dengan pembiusan umum di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2.2 Untuk mengetahui nilai VAS nyeri tenggorokan, batuk dan suara serak
dengan pemberian lidokain 2 % secara intracuff pada pasien dengan pembiusan
umum di RSUP Sanglah Denpasar.
6
berikutnya
1.4.2 Manfaat dalam Bidang Pelayanan
2.1 Anatomi
2.1.1 Laring
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas dan
terletak setinggi Vertebra Cervicalis IV - VI, dimana pada anak-anak dan wanita
letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk laring menyerupai limas segitiga terpancung
dengan bagian atas lebih terpancung dan bagian atas lebih besar dari bagian
bawah. Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal kartilago
krikoid. Pada laki-laki laring memiliki diameter 36 mm dan pada perempuan
berukuran 26 mm. (Ballenger, J.J. 1993)
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa
tulang rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada
struktur laring adalah kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan
kartilago krikoid. Os hioid terletak disebelah superior dengan bentuk huruf U dan
dapat dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut pada dinding faring lateral.
Dibagian bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri dari
dua sayap / alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba
dibawah kulit yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid
yang berbentuk bulat penuh. Pada permukaan superior lamina terletak pasangan
kartilago aritinoid ini mempunyai dua buah prosesus yakni prosesus vokalis
anterior dan prosesus muskularis lateralis. (Ballenger, J.J. 1993)
Pada prosesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda
vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau
bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda
vokalis suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis
7
tengah tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong
makanan yang ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua
pasang kartilago kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni
kartilago kornikulata dan kuneiformis.( Ballenger, J.J. 1993, Morgan, 2013).
8
Gambar 2.1 Anatomi
Laring
Batuk dan nyeri yang berasal dari daerah jalan napas bagian bawah
merupakan sensasi yang dihasilkan oleh beberapa saraf yang melingkari
mulai dari faring, laring, trakea bahkan sampai bronkiolus seta alveolus.
Batuk merupakan salah satu pertahanan yang penting yang melibatkan
proses yang kompleks untuk melindungi jalan napas dari benda dan zat
yang berasal dari luar. ( Ballenger, J.J. 1993, Morgan, 2013)
Impuls saraf yang mengirimkan rasa nyeri dan batuk memiliki jaras
afferent yang memberikan rangsang melalui nervus vagus menuju otak dan
pusat batuk di medulla. Otak dan pusat batuk memberikan sinyal melalui
jaras efferent yang melalui n.vagus. maka neurofisiologi dari rangsang di
laring didasarai oleh :
Nodose ganglion
ephitelium
Jugular Myelinated Aδ
ganglion Fibres
RARs (Cell bodies in
nodose
ganglion)
Mechanical displacement
Citric Acid
Tussive Fiber Likely Mechanism of Unmy
Stimulus Type activation e
mechanical displacementRAR Undefined mechanically gated ion linated
channel Nociceptors (cell bodies in
C-
Citric RA undefined,rapidly inaxtivating ion jugular
Fibers
Acid R channel most likely of the ASIC
Nociceptor ganglion) Capscain Bradykinin
Family Activation Of VR1 and
s activation of Undenifide ASIC Citic acid
Capscai Nociceptor Activation of VR1 Channel
n s
Bradykini niciceptor B2 receptor mediated activation of
n s VR1 channel, involve protein
kinace c and lipoxygenase Contain
capascain activates RAR indirectly by inducing neuropneuropeptides
enzyms mediated contractionTracheal wall neuropeptides
and increase in vascular permeability activates
2.2 LIDOKAIN
2.2.1 Sejarah
Obat anestesi lokal sintetik pertama kali dibuat dari turunan ester yaitu
prokain, diperkenalkan oleh einhorn tahun 1905. Lidokain disintesa sebagai
anestesi lokal golongan amide oleh Lofgren tahun 1943. Lidokain (
Xylocaine/lignocaine) adalah obat anestesi lokal yang digunakan secara luas baik
melalui pemberian topikal atau intravena. Lidokain menimbulkan blok saraf lebih
cepat, lebih kuat dan durasinya lebih lama dibandingkan dengan prokain. Tidak
seperti prokain, lidokain efektif digunakan secara topikal dan sangat poten untuk
obat antidisritmia jantung. Untuk alasan ini, lidokain digunakan sebagai standar
perbandingan dari obat anestesi lainnya. Lidokain dapat menimbulkan blok
reversible terhadap konduksi impuls saraf pusat dan perifer setelah anesthesia
regional ataupun blok saraf tepi. Dengan meningkatnya konsentrasi dari obat-obat
lokal anesthesia di sekitar serat saraf akan menyebabkan konsentrasi dari obat-
obat lokal anstesi disekitar serat saraf akan enyebabkan transmisi saraf otonm,
saraf sensorik, dan saraf motorik dihentikan sehingga menimbulkan blok sistem
otonom, sensoris dan paralisis dari otot-otot skeletal yang dipersarafi oleh saraf
yang di blok. Berkurangnya konsentrasi anestesi lokal di daerah injeksi akan
diikuti oleh kembalinya fungsi konduksi saraf secara spontan dan komplit, tanpa
ditandain kerusakan struktur serat saraf sebagai akibat dari efek obat. Tiap miliiter
lidokain mengandung : 2-(dietilamino)-N-(2,6-dimetilfenil) asetamida
hodroklorida (Stoelting, 20
aliran ion natrium melalui saluran natrium pada keadaan potensial istrahat, neuron
luar sel. Pompa Na-K secara aktif mempertahankan potensial ini tetap terpelihara.
Pompa aktif ini menggerakkan natrium (Na+) keluar dari sel neuron dan membawa
kalium (K+) masuk kedalam sel sehingga terjadiperbedaan konsentrasi ion Na+ dan
K+ didalam dan di luar sel (Na+ lebih tinggi di ekstrasel dan K+ lebih tinggi di
intrasel). Untuk pergerakan pasif, sel neuron lebih permeabel terhadap ion K
daripada ion Na sehingga potensial listrik intraseluler lebih negatif dari ekstrasel.
Dengan adanya rangsangan potensial listrik pada neuron maka akan terjadilah fase
depolarisasi sepanjang akson dan aktifasi kanal natrium di membrane sel yang
potensial membran dari -70mV menjadi +35 mV. Molekul anestesi lokal masuk
kedlam sel dan menutup kanal ion Na dari dalam sel, sehingga potensial aksi
dicegah dan trasnmisi impuls sepanjang saraf tidak terjadi (Rathmell, 2004)
Tidak semua serat-serat saraf dapat dpengaruhi oleh obat anestesi lokal,
oleh karena sensitivitasnya sangat ditentukan oleh diameter dari akson, ada
tidaknya myelin sehingga pada penggunaan blok spinal urutan saraf yang terblok
Modifikasi struktur kimia dari obat lokal anestesi ini berpengaruh pada
efek farmakologi. Lidokain mirip dengn etidokain tetapi penggantian grup ethyl
dari lidokain dengan propyl dan penambahan etyl pada alpha atom karbon di ratai
hydrocarbon menyebabkan etidokain 50 kali lebih larut dalam lemak dan durasi
203 kali lebih lama. Anestesi lokal pipecoluxylidide ( mepivakain, bupivacaine,
ropivacaine, levobuvicaine) memiliki struktur chiral karena adanya atom karbon
yang asimetris. Struktur ini menyebabkan obat tersebut meliki konfigurasi l (left)
dan r (Right) enatiomer perbedaan konfigurasi ini erat kaitannya dengan efek
neeurotoksisitas dan kardiotoksisitas, dimana l- enatiomer ( ropivacaine,
levobuvivacaine ) memiliki toksisitas yang lebih rendah dari r- enatiomer
(stoelting, 2006). Potensi sangat berhubungan dengan kelarutannya didalam
lemak, karena hal ini berpengaruh terhadap kemampuan obat anestesi lokal dalam
menembus membran sel neuron (epineurium, perineureum dan endoneurium).
Secara umum kelarutan dalam lemak dan potensi dari lokal anestesi meningkat
bila jumlah atom C (karbon) yang menyusun molekul obat tersebut bertambah
banyak. Cara yang sering dipergunakan untuk mengukur potensi dari obat anestesi
lokal adalah Cm ( konsentrasi minimum dari lokal anestesi yang dapat memblok
konduksi impuls saraf). Tetapi pengukuran ini juga dipengaruhi beberapa
Pompa aktif ini menggerakkan natrium (Na+) keluar dari sel neuron dan
konsentrasi ion Na+ dan K+ didalam dan di luar sel (Na + lebih tinggi di ekstrasel
dan K+ lebih tinggi di intrasel). Untuk pergerakan pasif, sel neuron lebih
permeabel terhadap ion K daripada ion Na sehingga potensial listrik intraseluler
lebih negatif dari ekstrasel. Dengan adanya rangsangan potensial listrik pada
neuron maka akan terjadilah fase depolarisasi sepanjang akson dan aktifasi kanal
natrium di membrane sel yang menyebabkan reflek ion natrium ke dalam sel
sehingga terjadi perubahan potensial membran dari -70mV menjadi +35 mV.
Molekul anestesi lokal masuk kedlam sel dan menutup kanal ion Na dari dalam
sel, sehingga potensial aksi dicegah dan trasnmisi impuls sepanjang saraf tidak
terjadi (Rathmell, 2004)
Tidak semua serat-serat saraf dapat dpengaruhi oleh obat anestesi lokal,
oleh karena sensitivitasnya sangat ditentukan oleh diameter dari akson, ada
tidaknya myelin sehingga pada penggunaan blok spinal urutan saraf yang terblok
adalah autonom, sensorik dan motorik. Sebaliknya pemulihannya dimulai dari
saraf motorik, sensorik, terakhir adalah autonom ( Morgan,2013)
2.2.3 Konsentrasi Minimum (Cm)
Konsentrasi minimum dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan untuk menblok
konduksi saraf disebut dengan Cm ( Concentration minimum), analog dengan
Minimum Alveolar Concntration (MAC) untuk zat Anestetik inhalasi. Cm
dipengaruhi oleh diam yang makin besar pula. meningkatkan eter dari serat saraf,
semakin besar serat saraf dibutuhkan konsentrasi obat. Meningkatnya pH atau
frekuensi rangsangan saraf akan menurunkan Cm. Sistem saraf Motorik memiliki
Cm dua kali dari sistem saraf sensori, hal ini menyebabkan anesthesia sensorik
tidak selslu disertai paralisis otot skeletal. Meskipun tidak ada perbedaan Cm,
dosis obat anestetik lokal akan lebih sedikit dibutuhkan pada regional
subaracknoid dari pada epidural oleh karena serat saraf dalam subaraknoid lebih
sedikit lapisan proteksinya (Stoelting,2006)
2.2.4 Farmakoinetik
Anestesi lokal adalah basa lemah dengan pKa sedikit diatas pH fisiologi.
Pada pH fisiologis kurang dari 50% obat anestesi lokal terlarut dalam lemak dan
tak mengalami ionisasi. Anestesi lokal yang memiliki pKa mendekati pH
fisiologis memiliki onset yang lebih cepat karena rasio obat yang terionisasi dan
dengan tidak terionisasi optimal. Disamping itu efek vasodilator dari obat
anestesi lokal itu sendiri, dimana efek lidokain lebih besar daripada mepivacaine
mempercepat absorbsi sistemik dari obat sehingga mempercepat durasi dari obat
tersebut. Sedangkan bupivacaine dan etidocaine memiliki faktor intrinsic yang
serupa, namun konsentrasi plasma efek bupivacaine setelah pemberiannya pada
ruang epidural lebih tinggi daripada etidocaine (Stoelting 2006)
2.2.4.1 Arbsorbsi
Pada saat dosis dari anestesi lokal ditingkatkan begitu pula kepuasan dari
anestesi meningkat, dan waktu dari onset blok akan lebih cepat. Dosis dari lokal
anestesi dapat ditingkatkan dngan cara menambahkan volume atau dengan
menigkatkan konsentrasi. Sebagai contoh peningkatan konsentrasi dari 0,125%
menjadi 0,5 % dengan jumlah volume yang sama akan meningkatkan kepuasan
anestesi dan menambah lama blok sensoris, volume dari larutan anestesi lokal
dapat mempengaruhi penyebaran anesthesia.seperti 30 ml lidokain 1%. (Stoelting
2006)
2.2.4.2 Distribusi
2.2.7 Indikasi
2.2.8 Farmakodinamk
Efek pada berbagai sistim organ yang timbul setelah pemberian lidokain
pada prinsipnya adalah sama dengan efek yang ditimbulkan oleh anestesi lokal
golongan amide lainnya. Timbulnya efek samping pada sistem organ ini
berhubungan dengan dosis dan konsentrasi obat yang berlebihan ( arbsorbsi) yang
cepat, obat secera langsung masuk intavaskular). Efek samping lainnya mungkin
dsebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terutama terrutama terhadap obat adjuvant,
zat engawet, antiseptic dan pH dari obat.(Morgan 2013, Stoelting 2006)
Sistem saraf pusat sanagt peka terhadap toksisitas anestesi lokal sehingga
gejala yang timbul dapat dipakai sebagai pertanda overdosis terutama pada pasien
sadar. Kelebihan dosis atau masuknya anestesi lokal secara langsung ke
intravaskuler akan memberikan gejala awal berupa mati rasa pada bibir. Kesmutan
pada lidah, dan pusing. Gejala eksitasi sistim saraf pusat yang ditandai dengan
gejala-gejala gelisah, agitasi, ketakutan , gembira berlebih biasanya mendahului
gejala depresi yaitu: pusing, mengantuk, tinnitus, penglihatan kabur (diplipia),
mual muntah, menurunnya sensitivitas, gemetar, kejang, tidak sadar, depresi pusat
nafas dan cardiac arrest. Kejanh tonik klonik biasanya didahului oleh twitching
dari otot rangka. Pemberian benzodiazepine dan hiperventilasi akan menurunkan
aliran darag cerebral dan meningkatkan ambang rangsang kejang oleh anestesi
lokal. Disamping itu, pemberian thiopental ( 1-2 mg/kgbb) dapat menghentikan
kejang cepat, tetapi ventilasi dan oksigenasi harus adekuat. Lidokain intravena
( dosis 1,5 mg/kgbb) akan menurunkan aliran darah otak dan mencegah
meningkatnya tekanan intracranial yang sering terjadi pada saat melakukan
tindakan intubasi. (Morgan 2013, Stoelting 2006)
Secara umum semua oat anestesi lokal bupivacaine > lidokain) menekan
automatisitas dari otot jantung (spontaneoou phase 4 depolarisaai) dan
mengurangi durasi dari fase refrakter. Kontraktilitas dan konduksi dari otot
jantung juga ditekan oleh o b a t anestesi lokal pada konsentrasi yang lebih besar.
Efek timbul karena perubahan pada membrane sel otot jantung ( sodium channel
blockade) dan penghambatan sistem saraf otonom. Kombinasi ini akan
menimbulkan bradikardi, blok jantung, hipotensi dan akhirnya gagal jantung.
Stimulasi yang singkat pada sistem kardiovaskular ( takikardi, hipertensi) dapat
terjadi lebih awal sebagai akibat ekstitasi pada sistem saraf pusat. (Morgan 2013,
Stoelting 2006).
c. Sistem Respirasi
d. Alergi
Reaksi alergi biasanya berupa lesi kulit, urtikaria, atau reaksi anafilaktoid.
Reaksi alergi tidak hanya karena sensitivitas terhadap anestesi lokal tetapi dapat
ditimbulkan oleh bahan pengawet obat tersebut. (Morgan 2013, Stoelting 2006)
Fungsi utama cuff PET adalah mengamankan jalan napas sehingga dapat
mencegah aspirasi dan mencegah kebocoran udara nafas saat dilakukan tekanan
positif, hal ini dapat terjadi setelah cuff dikembangkan sampai tidak terdengar
lagi suara nafas tetapi pengembangan ini tidak boleh berlebihan karena dapat
memberikan tekanan yang besar pada mukosa trakea terutama pada dinding depan
karena terdapat tulang rawan yang kaku, sedangkan pada bagian belakang lebih
bersifat elastis. Pada posisi ekstensi, tekanan pada bagian posterior lebih besar
disebabkan karena dorongan dari tulang vertebra servikal.(Black AM,1981. Khine
HH, 1997 : Brimacobe, 1999)
Pada tahu 1960 PET dengan cuff terbuat dari bahan karet bewarna merah
dan termasuk pada kelompok High Pressure Low Volume (HPLV). Pada jaman
modern ini HPLV dengan cuff terbuat dari bahan silikon nondisposable
sedangkan cuff High Vlolume- Low Pressure (HVLP) terbuat dari bahan
Polyvinyl Chloride (PVC) atau Polyurethane. Cuff HPLV memiliki diameter lebih
kecil pada ujungnya dan residual volume lebih kecil. Untuk menimbulkan sealing
trakea memerlukan tekanan intracuff yang tinggi untuk mengatasi low compliance
dari cuff tersebut. Cuff membuat area kontak yang sedikit dengan trakea. Hal
yang diperhatikan pada penggunaan cuff tipe ini dalam penggunaanya yang lama
kemungkinan terjadi iskemik pada mukosa trakea. Keuntungan yang diberikan
yaitu reusability sehingga biaya akhir lebih murah (Spiegel 2010)
PET dengan cuff HPLV yang diinflasikan lebih dari 30 mmHg (39 cm
H2O) menyebabkan mukosa trakea yang kontak dengan cuff yaitu yang menutupi
kartilago trakea menjadi iskemia. Keadaan ini diperkirakan memberikan
kontribusi terhadap kajadian stenosis trakea dan trakeomalasia (McHsrdy 1999)
Tabel. 2.4 pH dan jumlah cairan lidokain dan natrium karbonat untuk alkalisasi lidokain
2.4 Nyeri
Setiap kali jaringan terluka oleh trauma bedah, bermacam mediator kimia
akan dilepaskan dari sel-sel yang meradang dan rusak. Nyeri akut disebabkan oleh
stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau
viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stres neuroendokrin yang
sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf
otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan
(Stoelting 2006)
2.4.2 Fisiologi Nyeri
Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan
informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri
tersebut dinamakan
Tranmisi Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut
yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri
diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis.
Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai
perbedaan ukuran diameter. Serat A- delta mempunyai diameter lebih besar
dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30
m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla
spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel
neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat
aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di
kornua antero- lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua
anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek
yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel- sel neuron di kornua anterior
medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah
cedera dengan segala akibatnya.
2.4.3.3 Modulasi
Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin,
NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang
diteruskan oleh serat- serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua
dorsalis medula spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus
spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.
2.4.3.4 Persepsi
sangat berbeda. Oleh karena tidak terdapat suatu alat obyektif, maka kita harus
mempercayai laporan pasien tentang tingkat nyeri yang mereka alami (Ballantyne,
2008).
2.4.4.1 Instrumen penilaian nyeri
Skala numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini
merupakan pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis
maupun dalam penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan
panjang 100 mm, pada ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada
ujung kanan ditandai dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk
memberi tanda pada garis tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari
sebelah kiri. Jarak tersebut dihitung dalam satuan milimeter (mm) dan
mencerminkan tingkat nyeri yang dialami pasien. Selain dalam posisi horizontal,
VAS juga dapat diposisikan vertikal dan hasilnya tetap valid. Interpretasi nilai
VAS sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, akan tetapi
interpretasi nilai VAS yang paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai
nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat.
Hasil dari penilaian VAS ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam
menyesuaikan dosis obat anti nyeri yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian
dkk., 2001).
Skala ini mempunyai keuntungan oleh karena sederhana, mudah dan cepat
menggunakannya, memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat nyerinya
dalam rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini
diperlukan konsentrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat
dipergunakan pada anak-anak (Cousin, 2005). Perubahan nilai VAS juga
mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm
atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm
atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan
penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai menghilangnya nyeri yang
substansial
dari jumlah nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang
mendeskripsikan segi sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini
berupa skala nyeri dari 0-5, dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa
tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 =
sangat tersiksa oleh nyeri.
2.5.1 Epidemiologi
Pada Amerika operasi tonsilektomi masih merupakan operasi yang paling
sering dikerjakan pada anak. Pada tahun 1959, 1,4 juta tonsilektomi dikerjakan
pada Amerika Serikat. Pada tahun 1987, jumlah operasi yang dikerjakan menurun
hingga 260.000. Indikasi operasi berubah dari indikasi karena infeksi, menjadi
karena obstruksi jalan nafas.
A. Indikasi Absolut
B. Indikasi Relatif
Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif. Indikasi yang paling
sering adalah episode b erulang dari infeksi streptokokus beta hemolitikus
grup A. Biakan tenggorokan standar tidak selalu menunjukkan organisme
penyebab dari episode faringitis yang sekarang. Biakan permukaan tonsil tidak
selalu menunjukkan flora yang terdapat di dalam tonsil. Demikian juga, keputusan
untuk mengobati dengan antibiotik tidak selalu bergantung pada hasil biakan saja.
Sprinkle menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar “sakit tenggorokan”
disebabkan oleh infeksi virus, Streptococcus pyogenes merupakan bakteri
penyebab pada 40% pasien dengan tonsilitis eksudatifa rekurens. Streptokokus
grup B dan C, adenovirus, virus EB, dan bahkan virus herpes juga dapat
menyebabkan tonsilitis eksudatifa. Ia percaya bahwa kasus-kasus tertentu
adenotonsilitis berulang disebabkan oleh virus yang dalam keadaan tidak aktif
(dormant) yang terdapat dalam jaringan tonsilaris. (Adam G L.2013)
Sekarang ini, tonsilektomi mungkin hanya satu-satunya jalan untuk
menetapkan lebih banyak flora mulut normal pada pasien-pasien tertentu dengan
adenotonsilitis berulang. Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi
tergantung pada kebijaksanaan dokter yang merawat pasien. Mereka sebaiknya
menyadari kenyataan bahwa tindakan ini merupakan prosedur pembedahan mayor
yang bahkan hari ini masih belum terbebas dari komplikasi-komplikasi yag serius.
Sekarang ini, di samping indikasi-indikasi absolut, indikasi tonsilektomi yang
paling dapat diterima pada anak-anak adalah berikut ini:
1. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan
patogenik (keadaan karier)
2. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan)
3. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi
mononukleosis (biasanya pada dewasa muda)
4. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan
dengan tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk
5. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda)
6. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas
orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas
7. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten.(Adam G L.2013)
Jika terdapat infeksi streptokokus yang berulang, mungkin terdapat karier
pada orang-orang yang tinggal serumah, dan biakan pada anggota keluarga dan
pengobatan dapat menghentikan siklus infeksi rekuren.
Pertimbangan dan pengalaman ahli dalam menilai manfaat indikasi-indikasi
ini yang akan diberikan pada pasien, tentu saja semuanya sama penting. Seperti
juga indikasi pembedahan, tentu terdapat non-indikasi dan kontraindikasi tertentu
yang juga harus diperhatikan, karena telah menjadi mode untuk melakukan jenis
pembedahan ini untuk mengatasi masalah-masalah ini.
RA
R
C-
Fibers
Inflama Prostaglan
si din
Jaras Bradikin
Afferent in
Lidokain2% + Natrium
Bikarbonat 7,5% Intracuff
Nyeri
Batuk
Suara Serak
Nyeri
Tenggorokan
Lidokain 2% Alkalisasi
L INTUBASI
batuk
Suara
Lidokain 2%
serak
Gambar 3.2 Kerangka
Konsep
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
3.3 Hipotesis
4.2.1 Tempat
4.2.2 Waktu
4.3.1 Populasi
4.3.2 Sampel
4.6.2 Bahan
a. Midazolam 5mg/ml PT. Kalbe Farma
b. Propofol 10 mg/ml merk Diprivan Fresenius Kabi USA
c. Vekuronium Bromide 4 mg/ ml merk Ecron 4
d. Fentanyl 50 mcg/ ml merk Janssen
e. Sevoflurane Piramal Healthcare
f. N2O, O2
g. Lidokain Hidroklorida (Lidokain-HCL 2%) Bernofarm
h. Natrium Bikarbonat 8,4% PT. Otsuka Indonesia
i. Ketorolac ampul 30 mg /ml PT. Hexpharm Jaya
j. Adrenalin ampul 1 mg/ml
k. Sulfas Atropine ampul 0,25 mg/ml Biofarma
l. Dexamethasone ampul 5 mg/ml Bernofarm
m. Neostigmin 0,5 mg/ml Combiphar
4.7 Identifikasi Variabel
4.7.1 Variabel Bebas
a. Lidokain 2% Alkalinisasi
b. Lidokain 2% Non Alkalinisasi
4.7.2 Variabel Tergantung
a. Nilai VAS
b. Batuk
c. Suara serak
Populasi
Kriteria Kriteria
inklusi eksklusi
Sampel
Premedikasi :
midazolam 0,05 mg/kgbb
iv
Induksi :
propofol 2,5 mg/kgbb iv
vekuronium bromide dosis 0,1 mg/kgbb
Rumatan GA dengan Sevoflurane 1-2 %;
N2O,O2
Kelompok A Kelompok B
Lidokain 2% 6 ml +
Natrium bikarbonat 7,5% Lidokain 2% 6,6 ml intracuff
0,6 ml intracuff
- Nyeri tenggorokan
- Batuk
- Suara Serak
Analisis Data
4.10 Analisis Data
Avidan M. 2003. Pain Management, In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain Management
Ballantyne J.C. 2008. Management of Acute Postoperative Pain. In: Longnecker, D.E.,
Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol W.M. New York: McGraw Hill.p. 1716-1736
Ballenger, J.J. 1993. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger.
Chrismas G.D et al. 2015. Perbandinagan Efek Inflasi Cuff Lidokain 2% 6 ml + Natrium
Bikarbonat 7,5% 0,6 ml dengan Lidokain HCL 1,5 mb/kgBB intravena terhadap
Kejadian Batuk dan Hemodinamik Sebelum dan Sesudah Ekstubasi pada Anestesi
Umum, CDK-229, Vol 42 no 6.
Combes X., Schauvliege F., Peyrouset O. 2001. Intracuff pressure and tracheal morbidity –
Influence of filling cuff with saline during nitrous oxide anesthesia. Anesthesiology.
Crerar C, LCDR, et. Al, 2008, Comparison of 2 Laryngeal Tracheal Anesthesia Techniques
In Reducing Emergence Phenomena, AANA Journal, 76; 425-431
Dollo G., Estebe J.P., LeCorre P., Chevanne F., Ecoffey C., Verge R.L. 2001. Endotracheal
tube cuffs filled with lidocaine as a drug delivery system: in vitro and in vivo
investigations. European Journal of Pharmaceutical Sciences. 13: 319-323
Edomwonyi N.P., Ekwere I.T., Omo E., Rupasinghe A.2006. Postoperative throat
5 No 1: 28- 32
Estebe J.P., Gentili M., Le Corre P. 2005. Alkalinization of intracuff lidocaine: Efficacy and
safety. Anesthesia Analgesia. 101: 1536-1541
Fagan C., Frizelle H., Laffey J. 2000. The effects of intracuff lidocaine on endotracheal tube
induced emergence phenomenon after general anesthesia. Anesthesia Analgesia. 91:
201-205
Hirota W., Kobayashi W., Igarashi K. 2000. Lidocaine added to a tracheostomy tube cuff
reduces tube discomfort. Canadian Journal Anesthesia. 47:412-414
Jaichandran V.V., Angayarkanni N., Karunakaran C. 2008. Diffusion of lidocaine buffered to
an optimal pH across the endotracheal tube cuff – an in vitro study. Indian Journal
Anesthesia. 52(5):536-540
Katzung G.B. 2004. Anestetik Lokal. In: Basic and Clinical Pharmacology. 9th ed. McGraw
Larson C.P. 2002. Airway management. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York: The
Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2013. Pain Management, In: Clinical
Anesthesiology. 4th Ed.Mc-Graw Hill’s. 18:359-373.
Navarro L.H.C., Lima R.M., Aguiar A.S. 2012. The effect of intracuff alkalinized 2%
lidocaine on emergence coughing, sore throat, and hoarseness in smokers. Rev assoc
Rao M., Snigdha, Alai T., Vijay K. 2013. Instillation of 4% lidocaine versus air in the
Rathmell J.P., Neal J.M., Viscomi C.M., 2004. Local Anesthetic. In: Regional Anesthesia –
Spiegel J.E. 2010. Endotracheal tube cuff: Design and Function. Anesthesiology news guide