Anda di halaman 1dari 34

BAB II

PEMBAHASAN

1. TONSILEKTOMI

A. Definisi
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina
seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris
bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada jaringan sekitarnya
seperti uvula dan pilar.Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil
palatina baik unilateral maupun bilateral. Tonsiloadenoidektomi adalah
pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. Tonsilektomi merupakan
prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi
digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan
pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.

Gambar 1. Tonsilitis

Diunduh dari:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/84/Throat_with_Tonsils_0011
J.jpeg pada tanggal 08 Oktober 2017 pukul 16.16
B. Indikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi
amandel, telah dikenal oleh masyarakat awam sejak dahulu, dan sejak
diperkenalkan tonsilektomi dengan cara Guillotine (1828), kecenderungan
melakukan pembedahan ini untuk menyembuhkan berbagai penyakit
saluran napas atas semakin meningkat. Tonsilektomi biasanya dilakukan
pada dewasa muda yang menderita episode ulangan tonsilitis, selulitis
peritonsilaris, atau abses peritonsilaris. Tonsilitis kronis dapat
menyebabkan hilangnya waktu bekerja yang berlebihan. Anak-anak jarang
menderita tonsilitis kronis atau abses peritonsilaris. Paling sering, mereka
mengalami episode berulang tonsilitis akut dan hipertrofi penyerta.
Beberapa episode mungkin disebabkan oleh virus atau bakteri. Diskusi
kemudian mengenai kapan saat atau setelah berapa kali episode tindakan
pembedahan dibutuhkan. Pedoman-pedoman yang biasanya dapat diterima
sekarang ini ditunjukkan pada bagian ini.4.Indikasi tonsilektomi dibagi
atas dua, Indikasi Absolut dan Indikasi Relatif :
1. Indikasi absolut :

a. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas yang kronis

b. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apneu waktu tidur

c. Hipertofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan


penurunan berat badan penyerta

d. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma)

e. Abses perotinsiler yang berulang atau abses yang meluas pada


ruang jaringan sekitarnya

f. Tonsilitis kronis walaupun tanpa eksaserbasi akut tapi merupakan


fokal infeksi

g. Karier difteri

h. Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam.


Gambar. Obstruktif Tonsillar Hiperplasia
2. Indikasi relatif :
a. Serangan tonsilitis akut berulang (yang terjadi walau telah diberi
penatalaksanaan medis yang adekuat).
b. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus yang
menetap dan patogenik (karier).
c. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.
d. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi
mononukleosis
e. Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang
berhubungan dengan tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian
antibiotika yang buruk.
f. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respon
terhadap penatalaksanaan medis.
g. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan
abnormalitas orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan
nafas bagian atas.
h. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan
adenopati servikal persisten.
Jika terdapat infeksi streptokokus yang berulang, mungkin terdapat
karier pada orang-orang yang tinggal serumah, dan biakan pada anggota
keluarga dan pengobatan dapat menghentikan siklus infeksi
rekuren.Pertimbangan dan pengalaman ahli dalam menilai manfaat
indikasi-indikasi ini yang akan diberikan pada pasien, tentu saja semuanya
sama penting. Seperti juga indikasi pembedahan, tentu terdapat non-
indikasi dan kontraindikasi tertentu yang juga harus diperhatikan, karena
telah menjadi mode untuk melakukan jenis pembedahan ini untuk
mengatasi masalah-masalah ini.

C. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai
kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat
dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan
risiko”. Kontraindikasi tonsilektomi ialah, sebagai berikut:

1. Kadar hemoglobin yang kurang dari 10 g%


2. Adanya infeksi akut dari saluran napas atas, bahkan tonsilitis akut.
Perdarahan dapat semakin meyakinkan bukti infeksi akut
3. Anak-anak di bawah usia 3 tahun, yang memiliki risiko buruk terhadap
operasi
4. Cleft palate yang overt atau submukosa
5. Kelainan perdarahan seperti leukemia, purpura, anemia aplastik atau
hemofilia
6. Saat polio sedang bersifat epidemik Poliomielitis epidemik
7. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol, seperti diabetes, penyakit
jantung, hipertensi atau asma
8. Tonsilektomi dihindari selama periode menstruasi.5
D. Pelaksanaan bedah tonsilektomi
1. Metode dan teknik pembedahan
Berbagai teknik dan instrumen untuk tonsilektomi telah
dikembangkan.Sampai saat ini teknik tonsilektomi yang optimal
dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi, masing-
masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan.Di Indonesia teknik
tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
a. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak
akhir abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis
untuk mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang
menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan.
Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya
merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan
uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk
memotong uvula yang edematosa atau elongasi.Greenfield Sluder
pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan
seorang ahli yang sangat merekomendasikan teknik Guillotine
dalam tonsilektomi.Beliau mempopulerkan alat Sluder yang
merupakan modifikasi alat Guillotin.Di Indonesia, terutama di
daerah tonsilektomi cara guillotine masih lazim dilakukan
dibandingkan cara diseksi.Kepustakaan lama menyebutkan
beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi
kecil, biaya kecil.7
Gambar 2. Cara tonsilektomi

b. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi.Hanya sedikit ahli THT yang secara rutin melakukan
tonsilektomi dengan teknik Sluder.Di negara negara Barat,
terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan
endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka
mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi
dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien
anak.
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan
peralatan dengan desain yang lebih baik untuk tonsilektomi,
prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah. Pasien menjalani
anestesi umum (general endotracheal anesthesia). Teknik operasi
meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi
membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil
dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu
dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya
dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin.
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien
dengan benar dengan mouth gagpada tempatnya. Lampu kepala
digunakan oleh ahli bedah dan harus diposisikan serta dicek
fungsinya sebelum tindakan dimulai. Mouth gag diselipkan dan
bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal terfiksasi aman
diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan
dengan cara membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari
pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap
di garis tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan didorong ke
inferior dengan hati-hati agar ujung bilah tidak mengenai palatum
superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan perdarahan. Saat
bilah telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di
tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag
dibuka. Tindakan ini harus dilakukan dengan visualisasi langsung
untuk menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung
bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan secara
hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi
adekuat, bibir tidak terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi
oleh bilah dan kutub superior dan inferior tonsil terlihat. Kepala di
ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai
operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum
durum dan molle.
Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang
mempunyai alur garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal (ring
blade). Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan
dewasa (khususnya wanita) menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki
dewasa memerlukan bilah no. 4. Bilah no. 2 jarang digunakan
kecuali pada anak yang kecil. Intubasi nasal trakea lebih tepat
dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak
dilakukan adenoidektomi.Berbagai teknik diseksi baru telah
ditemukan dan dikembangkan disamping teknik diseksi standar,
yaitu:
a. Electrosurgery(Bedah listrik)
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi
umum, karena mudah memicu terjadinya ledakan.Namun,
dengan makin berkembangnya zat anestetik yang
nonflammable dan perbaikan peralatan operasi, maka
penggunaan teknik bedah listrik makin meluas.Pada bedah
listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi
radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada
jaringan.Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan
gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung.Pada teknik ini elektroda tidak
menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya
aliran baru yang dibuat dari teknik ini.Teknik ini
menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam
jalur listrik (electrical pathway).
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah
monopolar blade, monopolar suction, bipolar dan prosedur
dengan bantuan mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada
kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan atau
untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik
yang dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase
dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan sebagai tambahan
pada prosedur operasi lain. 7
b. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke
jaringan.Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi
untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui
pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi
radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar seperti
larutan salin.Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat
menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di
jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu rendah (400C-
700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat
Bovie, Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8
MHz), the Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460
kHz), the ArthroCare coblation system dan Argon plasma
coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang
seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang volumenya.
Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat menurunkan
morbiditas tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi yang
lebih besar dengan desain yang baik untuk mengevaluasi
keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini.
c. Skalpel harmonic
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal.Teknik ini menggunakan suhu yang lebih
rendah dibandingkan elektrokauter dan laser.Dengan
elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila
temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah
sel tersebut (biasanya 1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel
harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah
(biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas
generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung,
pisau bedah dan pedal kaki.
Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau
tajam yang bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih
dari 80 µm (paling penting), dan hasil dari pergerakan maju
mundur yang cepat dari ujung pemotong saat kontak dengan
jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan
tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan fragmentasi
berongga dan pemisahan jaringan. Koagulasi muncul ketika
energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan
hidrogen tersier menjadi protein denaturasi dan melalui
pembentukan panas dari friksi jaringan internal akibat vibrasi
frekuensi tinggi.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding
teknik bedah lain, yaitu:

a) Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan


akibat panas minimal karena proses pemotongan dan
koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan
charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih
sedikit. Tidak seperti elektrokauter, skalpel harmonik tidak
memiliki energi listrik yang ditransfer ke atau melalui
pasien, sehingga tidak ada stray energi (energi yang
tersasar) yang dapat menyebabkan shock atau luka bakar.
b) Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah terlihat jelas
karena lebih sedikit perdarahan, perdarahan pasca operasi
juga minimal.
c) Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan
elektrokauter, teknik ini mengurangi nyeri pascaoperasi.
d) Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang
tidak bisa mentoleransi kehilangan darah seperti pada anak-
anak, pasien dengan anemia atau defisiensi faktor VIII dan
pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan.
d. Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated
tonsillar ablation, ionised field tonsillar ablation;
radiofrequency tonsillar ablation; bipolar radiofrequency
ablation; cold tonsillar ablation.Teknik ini menggunakan
bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik
radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan
natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion
sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe
memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe
diatermi standar (suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari
1000C). National Institute for clinical excellence menyatakan
bahwa efikasi teknik coblation sama dengan teknik
tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna mengurangi
rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan. 7

e. Intracapsular partial tonsillectomy


Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial
yang dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider
endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun
tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan
ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa
melukai kapsulnya.Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul
tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya otot-otot faring
akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan “pelindung
biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini akan mencegah
terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya
peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga
mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu
pemulihan.
Jaringan tonsil yang tersisa akan meningkatkan insiden
tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dan tonsilitis kronis
merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam
teknik tonsilektomi intrakapsuler. Tonsilitis kronis
dikontraindikasikan untuk teknik ini.Keuntungan teknik ini
angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi lebih rendah
dibanding tonsilektomi standar.Tetapi masih diperlukan studi
dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik ini.
f. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP
(Potassium Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan
mengangkat jaringan tonsil.Teknik ini mengurangi volume
tonsil dan menghilangkan ‘recesses’ pada tonsil yang
meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.LTA dilakukan selama
15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan anestesi
lokal. Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal,
morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia pascaoperasi
berkurang. Tekhnik ini direkomendasikan untuk tonsilitis
kronik dan rekuren, sore throat kronik, halitosis berat atau
obstruksi jalan nafas yang disebabkan pembesaran tonsil.7
g. Adenoidektomi
Pada hipertrofi adenoid dilakukan tindakan bedah
adenoidektomi dengan cara kuretase memakai alat khusus (
adenotom ). Kontraindikasi operasi adalah celah palatum atau
insufisiensi palatum karena operasi ini dapat mengakibatkan
rinoalia aperta.Indikasi adenoidektomi sebagai berikut :
a) Sumbatan : sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas
melalui mulut, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan
berbicara, kelainan bentuk wajah muka dan gigi ( adenoid
face ).
Gambar 3. Adenoid Face

b) Infeksi : adenoiditis berulang / kronik, otitis media efusi


berulang / kronik, otitis media akut berulang.
c) Kecurigaan neoplasma jinak/ ganas.

Teknik adenoidektomi terbagi atas dua cara yaitu :


a) Eksisi melalui mulut
Merupakan teknik yang paling banyak digunakan.
Adenoid dikeluarkan melalui mulut setelah mulut dibuka
dengan menggunakan suatu alat dan menarik langit-langit
mulut. Suatu cermin digunakan untuk melihat adenoid
karena adenoid terletak pada rongga hidung bagian
belakang melalui pendekatan ini beberapa instrumen dapat
dimasukan.
1) Cold surgical technique
Curette adenoid : merupakan patokan dan metode
konvensional yang sukses dilakukan. Alat adenoid
currete mempunyai sisi yang tajam dan bengkok. Untuk
mengangkat adenoit digunakan mata pisau yang tajam
setelah terlebih dahulu memposisikan nasofaring.
Perdarahan dapat dikontrol dengan elektrocauter.
Adenoid punch : penekanan pada adenoid dengan
menggunakan satu instrumen bengkok yang
mempunyai celah dan ditempatkan di atas adenoid
kemudia celah itu ditutup dan pisau bedah mengangkah
adenoid. Magill forceps : adalah suatu instrumen yang
berbentuk bengkok yang digunakan untuk mencabut
jaringan sisa pada adenoid
2) Elektrocauter dengan suction bovie
Teknik kedua dengan menggunakan elektrocauter
dengan suatu suction bovie yang berfungsi mencabut
jaringan adenoid
3) Surgical microdebrider
Ahli bedah lain sudah menggunakan metode
microdebrider, sebagian orang yang menganggapnya
lebih efektif. Perdarahan pasti terjadi pada
pengangkatan tetapi sebagian besar dilaporkan
perdarahan dengan menggunakan tradisional currete.
Mikrodebrider memindahkan jaringan adenoid yag sulit
di jangkau oleh teknik lain.

b) Eksisi melalui hidung


Satu-satunya teknik bermanfaat untuk memindahkan
adenoid melalui rongga hidung dengan menggunakan alat
mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi perdarahan
dikontrol dengan menggunakan cauter suction
E. Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan
anestesi umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya
merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar
1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat
perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi (brookwood ent associates).
Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
a. Laringospasme
b. Gelisah pasca operasi
c. Mual muntah

d. Kematian saat induksi pada pasien dengan 
 hipovolemi

e. Induksi intravena dengan pentotal bisa 
 menyebabkan hippotensi

dan 
 henti jantung

f. Hipersensitif terhadap obat anestesi


2. Komplikasi bedah
a. Perdarahan  Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari
jumlah kasus).Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera
sesudah operasi atau di rumah. Perdarahan yang terjadi dalam 24
jam pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer
atau “reactionary haemorrage” dengan kemungkinan penyebabnya
adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Umumnya
terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat
berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh
anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat
menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat
menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang
terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding atau
perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10
pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar
1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena
infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan
pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang keras.
b. Nyeri  Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan
serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot
faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut
sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari
setelah operasi. Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua
pasien pascatonsilektomi. Penggunaan elektrokauter menimbulkan
nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold” diseksi dan teknik
jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian
analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan
terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko
terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah,
perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena
dibutuhkan.
c. Infeksi
Luka operasi pada fossa tonsilaris merupakan port d’entre bagi
mikroorganisme, sehingga merupakan sumber infeksi dan dapat
terjadi faringitis, servikal adenitis dan trombosis vena jugularis
interna, otitis media atau secara sistematik dapat terjadi
endokarditis, nefritis dan poliarthritis, bahkan pernah dilaporkan
adanya komplikasi meningitis dan abses otak serta terjadi
trombosis sinus cavernosus. Komplikasi pada paru-paru serperti
pneumonia, bronkhitis dan abse paru biasanya terjadi karena
aspirasi waktu operasi. Abses parafaring dapat timbul sebagai
akibat suntikan pada waktu anastesi lokal. Pengobatan komplikasi
infeksi adalah pemberian antibiotik yang sesuai dan pada abses
parafaring dilakukan insisi drainase.
d. Trauma jaringan sekitar tonsil
Manipulasi terlalu banyak saat operasi dapat menimbulkan
kerusakan yang mengenai pilar tonsil, palatum molle, uvula, lidah,
saraf dan pembuluh darah. Udem palatum molle dan uvula adalah
komplikasi yang paling sering terjadi.
e. Perubahan suara
Otot palatofaringeus berinsersi pada dinding atas esofagus, tetapi
bagian medial serabut otot ini berhubungan dengan ujung epligotis.
Kerusakan otot ini dengan sendirinya menimbulkan gangguan
fungsi laring yaitu perubahan suara yang bersifat temporer dan
dapat kembali lagi dalam tempo 3 – 4 minggu.
3. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan
pneumonia.Biasanya sebagai akibat trauma saat operasi yaitu patah
atau copotnya gigi, luka bakar di mukosa mulut karena kateter, dan
laserasi pada lidah karena mouth gag.

2. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Penilaian Praoperasi
Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang
pasien terletak di tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis
telinga, hidung dan tenggorok atau dokter yang bertanggungjawab bila
dalam keadaan tertentu tidak ada dokter spesialis THT. Mengingat
tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka kondisi
kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan
kelayakannya menjalani operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien
yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak dan sisanya orang dewasa,
diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter spesialis anak
dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian
preoperasi terhadap pasien. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa
konsultasi kepada dokter spesialis anak maupun penyakit dalam hanya
dilakukan untuk kondisi tertentu oleh dokter spesialis THT atau
anestesi.Misalnya anak dengan malnutrisi, kelainan metabolik atau
penyakit tertentu yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas
selama dan pascaoperasi.Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh dokter
spesialis THT maupun spesialis anestesi.
Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama
perawatan di rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan
operasi (American Family Physician).Penilaian preoperasi secara umum
terdiri dari penilaian klinis yang diperoleh dari anamsesis, rekam medik
dan pemeriksaan fisik.Penilaian laboratoris dan radiologik kadang
dibutuhkan.Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di kalangan
klinisi maupun institusi pelayanan kesehatan dalam memilih pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi tertentu. Hal ini
memiliki dampak pada keselamatan pasien selain meningkatnya biaya
kesehatan yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.

B. Anamnesis dan Rekam Medik


a. Riwayat kesehatan.
1) Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan
maksilofasial pada anak dan pada orang dewasa asma, kelainan
paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi, dll.
2) AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran),
imunisasi, infeksi terakhir terutama infeksi saluran napas
khususnya pneumonia, Penyakit kronik terutama paru-paru dan
jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah digunakan
beserta dosisnya.
3) Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Status gizi: malnutrisi
3) Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur
pada jantung, tanda-tanda gagal jantung kongestif dan penyakit
paru obstruktif menahun.
4) Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk
pasien dengan penyulit berupa kelainan anatomis, kelainan
kongenital di daerah orofaring dan kelainan fungsional. Pada
pasien ini, kelainan yang telah ada dapat menyulitkan proses
operasi. Selain itu penting untuk mendokumentasikan semua
temuan pemeriksaan fisik dalam rekam medik.
5) Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003 tentang persiapan
rutin prabedah elektif, maka pemeriksaan penunjang yang
direkomendasikan untuk tonsilektomi adalah sebagai berikut:
a) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis,
trombosit
b) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT
c. Informed consent
Informed consent perlu diberikan kepada pasien sehubungan dengan
risiko dan komplikasi yang potensial akan dialami pasien.
d. Penilaian Praanestesia
Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses
evaluasi/penilaian klinis yang dilakukan sebelum melaksanakan
pelayanan anestesi baik untuk prosedur bedah maupun nonbedah.
Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter ahli
anestesia dan terdiri dari:
e. Anamnesis dan Evaluasi rekam medik
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam
mengetahui riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang
diderita pasien. Terutama adanya infeksi saluran pernapasan atas yang
dapat mengganggu manajemen anestesi. Sehingga dapat dilakukan
pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk mengantisipasi
kemungkinan komplikasi yang mungkin akan dihadapi dokter anestesi
yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat
kondisi-kondisi tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping
data dari rekam medik.
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas,test Malampatti
untuk feasibility intubasi, evaluasi paru-paru, jantung dan catatan
mengenai tanda vital pasien. Penilaianpraanestesia dilakukan sebelum
pelaksanaan operasi.

C. Persiapan lingkungan
a. Memperhatikan kesterilan lingkungan atau kamar bedah bebas dari
kuman, debu dan gas
b. Memperhatikan kelembapan lingkungan kamar
c. Mempersiapkan alat diatas meja mayor, sesuai tindakan pembedahan
yang akan dilkukan
d. Memperhatikan letak meja alat dengan meja operasi
e. Memperhatikan tingkat kesterilan operator dan semua tenaga medis
yang di dalam kamar bedah
f. Memperhatikan persiapan pasien , dan kebersihan pasien
g. Memperhatikan dengan benar tingkat kesterilan dalam mempersiapkan
pasien pada saat driiping

D. Persiapan perawat
Hal yang perlu di dikaji dalam intrabedah adalah pengaturan posisi
pasien.Berbagai masalah yang terjadi selama pembedahan mencakup
aspek pemantauan fisiologis perubahan tanda vital, sistem kardiovaskular,
keseimbangan cairan, dan pernafasan. Selain itu lakukan pengkajian
terhadap tim, dan instrumen pembedahan, serta anestesia yang diberikan.
Rencana tindakan:
a. Penggunaan baju seragam bedah.
Penggunaan baju seragam bedah didesain khusus dengan harapan
dapat mencegah kontaminasi dari luar.Hal itu dilakukan dengan
berprinsip bahwa semua baju dari luar harus diganti dengan baju bedah
yang steril, atau baju harus dimasukkan ke dalam celana atau harus
menutupi pinggang untuk mengurangi menyebarnya bakteri, serta
gunakan tutup kepala, masker, sarung tangan, dan celemek steril.
b. Mencuci tangan sebelum pembedahan.
c. Menerima pasien di daerah bedah.
Sebelum memasuki wilayah bedah, pasien harus melakukan
pemeriksaan ulang di ruang penerimaan untuk mengecek kembali
nama, bedah apa yang akan dilakukan, nomor status registrasi pasien,
berbagai hasil laboratorium dan X-ray, persiapan darah setelah
dilakukan pemeriksaan silang dan golongan darah, alat protesis, dan
lain-lain.
d. Pengiriman dan pengaturan posisi ke kamar bedah.
Posisi yang dianjurkan pada umumnya adalah telentang, telungkup,
trendelenburg, litotomi, lateral, atau disesuaikan dengan jenis operasi
yang akan dilakukan.
e. Pembersihan dan persiapan kulit.
Pelaksanaan tindakan ini bertujuan untuk membuat daerah yang akan
dibedah bebas dari kotoran dan lemak kulit, serta mengurangi adanya
mikroba. Bahan yang digunakan dalam membersihkan kulit ini harus
memiliki spektrum khasiat, kecepatan khasiat, potensi yang baik dan
tidak menurun apabila terdapat kadar alkhohol, sabun deterjen, atau
bahan organik lainnya.
f. Penutupan daerah steril.
Penutupan daerah steril dilakukan dengan menggunakan duk steril agar
tetap sterilnya di daerah seputar bedah dan mencegah berpindahnya
mikroorganisme antara daerah steril dan tidak.
g. Pelaksanaan anestesia.
Pelaksanaan anestesia dapat dilakukan dengan berbagai macam, antara
lain anestesia umum, inhalasi atau intravena, anestesia regional, dan
anestesia lokal.
h. Pelaksanaan pembedahan.
Setelah dilakukan anestesia, tim bedah akan melaksanakan
pembedahan sesuai dengan ketentuan pembedahan

E. Persiapan Alat

1) Yankauer Suction tube 28 mm

2) Scalpel handle No. 7 16 cm


3) TC – EDGE mayo Dissect Scissors 17 cm STR

4) TC Metzenbaum Scissors 18 cm CVD

5) Rochester Pean Hemostatic forceps 16 cm CVD


6) Schnidt Tonsil forceps 19 cm CVD

7) Backhaus Towel forceps 13 mm

8) Ballenger Sponge forceps 18 cm STR


9) TC Crile-wood neddle holder 15 cm

10) Hartmann nasal cutting forceps no 3 9 mm


11) Beckmann Curette 22 cm 10 mm No. 1
12) Beckmann Curette 22 cm 11 mm No. 2
13) Beckmann Curette 22 cm 12 mm No. 3
14) Beckmann Curette 22 cm 13 mm No. 4

15) Wieder Tongue Depressor 14 cm No. 1

16) Jennings Mouth GAG 11 cm

17) Jennings Mouth GAG 13 cm


18) Jennings Mouth GAG 15 cm

19) Love Uvula Retractor 16 cm 18 mm Wide


20) Love Uvula Retractor 16 cm 20 mm

21) Hurd D/E Tonsil Dissector 22 cm

22) white tonsil seizing forceps 18 cm CVD


23) Eve Tonsil Snare 28 c W/O Ratchet

24) Eve Tonsil Snare 28 c W/ Ratchet

25) Allis Tissue Forceps 15,5 cm 5x6 Teeth


F. Terapi pasca tonsilektomi
1. Perdarahan pascatonsilektomi
Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh
berisi darah yang tertelan.Darah dalam lambung dapat memicu
muntah secara spontan maupun pada waktu induksi anestesi untuk
re-operasi.Pengosongan lambung dengan menggunakan oro atau
nasogastric tube diperlukan sebelum anestesi.Perkembangan baru
adalah dengan menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA)
sebagai pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA dibanding
ETT antara lain adalah: 1. Berkurangnya risiko stridor postoperasi.
2. Obstruksi saluran napas postoperasi juga lebih sedikit.
Tetapi cara ini memerlukan perhatian khusus seperti: Selama dalam
anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan
positif akan meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama
bila tahanan jalan napas besar dan compliance paru
rendah.Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran
tonsil. LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar kembali.
Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga
dengan risiko yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan
harus berdasarkan pertimbangan per individu.

G. Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care


unit)
Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil.Yaitu dengan
berbaring ke kiri dengan posisi kepala lebih rendah dan mendongak.Pasien
diobservasi selama beberapa waktu di ruang pemulihan untuk
meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan efektivitas biaya
dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi
sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah
diseleksi secara tepat sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama
observasi optimum sebelum pasien dipulangkan.Umumnya, observasi
dilakukan selama minimal 6 jam untuk mengawasi perihal tentang
kemungkinan adanya perdarahan dini.
Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi
(PACU) memerlukan:
1. dokter spesialis anestesi, perawat
2. dokter ahli bedah yang bekerja sebagai sebuah tim.
Bersama-sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait medis,
bedah dan anestesi dengan tujuan dapat memberikan terapi secara cepat
sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi.Idealnya, penilaian rutin
postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi respirasi,
frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi
pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan
setiap 15 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.
Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat
digunakan sistem skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas
adalah Skor Aldrete yang dimodifikasi:

Kesadaran
2 = sadar penuh
1= respons bila nama dipanggil
0= tidak ada respons

Aktivitas atas perintah


2= menggerakkan semua ektrimitas
1= menggerakkan 2 ekstrimitas
0= tidak bergerak

Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi pernafasan
0= apneu

Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20% nilai preoperasi

1= tekanan darah dalam kisaran 50- 20% nilai preoperasi

0= tekanan darah 50% atau kurang dari nilai preoperasi

Saturasi oksigen

2= SpO2 > 92% pada udara ruangan


1= dibutuhkan tambahan O2 untuk mempertahankan SpO2 >92%
0= SpO2< 92% dengan tambahan O2

Skor total= 10; skor < atau = 9 membutuhkan PACU

H.
Perawatan post operasi
1.
Diet
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada
bukti ilmiah yang secara jelas menyatakan bahwa memberikan pasien
diet biasa akan menyebabkan perdarahan postoperatif. Bagaimanapun
juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan secara
bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak
senter.Cairan intravena diteruskan sampai pasien berada dalam
keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan pasien
bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan bisa
dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral
secara adekuat, muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh
dipulangkan sampai pasien dalam keadaan stabil.Pengambilan
keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering hanya berdasarkan
pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas
dapat menunjang keputusan tersebut.
2.
Medikamentosa
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter
bedah. Sebuah studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan
terdapat hubungan antara berkurangnya nyeri dan bau mulut pada
pasien yang diberikan antibiotika postoperasi.Antibiotika yang dipilih
haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya
penisilin yang diberikan per oral.Pasien yang menjalani tonsilektomi
untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat
faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan
antibiotika.Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus
dilakukan secara rutin pada pasien dengan kelainan
jantung.Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan,
bagaimanapun juga, analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan
berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu juga bisa
menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum
operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah
operasi selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan
pada akhinya rasa nyeri.

Anda mungkin juga menyukai