Anda di halaman 1dari 10

A.

Pasien dengan Risiko Tambahan


1. Trombosis vena dalam;
Trombosis Vena Dalam (TVD) adalah kondisi dimana terbentuk bekuan
dalam vena sekunder / vena dalam oleh karena inflamasi/trauma dinding vena atau
karena obstruksi vena sebagian. Trombosis Vena Dalam (TVD) menyerang
pembuluh- pembuluh darah sistem vena dalam. Serangan awalnya disebut trombosis
vena dalam akut. TVD dapat bersifat parsial atau total.
Kebanyakan trombosis vena dalam berasal dari ekstrimitas bawah. Penyakit
ini dapat menyerang satu vena bahkan lebih. Vena- vena di betis adalah vena- vena
yang paling sering terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis superfisialis,
dan segmen segmen vena ileofemoralis juga sering terjadi. Banyak yang sembuh
spontan, dan sebagian lainnya berpotensi membentuk emboli. Emboli paru - paru
merupakan resiko yang cukup bermakna pada trombosis vena dalam karena
terlepasnya trombus kemudian ikut aliran darah dan terperangkap dalam arteri
pulmonalis.
Penatalaksanaan TVD adalah untuk mencegah bertambah besarnya bekuan,
mencegah emboli paru, sindroma post trombosis dan terjadinya TVD berulang. Terapi
farmakologi yang digunakan biasanya adalah antikoagulan dan trombolitik
Antikoagulan digunakan untuk mencegah terjadi bekuan yang semakin besar, dan
mencegah pembentukan bekuan darah. Jika terapi antikoagulan diberikan segera
setelah TVD terbentuk, maka akan menurunkan risiko terjadinya emboli paru.
Antikoagulan yang biasa dipakai adalah heparin dan warfarin. obat trombolitik seperti
steptokinase, urokinase dan tissue plasminogen activatorbekerja melarutkan trombin.
Obat ini terutama digunakan pada penderita emboli paru yang luas disertai gangguan
kardiorespirasi dan risiko perdarahan yang kecil.
Selain terapi farmakologi, juga dilakukan terapi non farmakologi untuk
pencegahan secara mekanik yaitu penggunaan kaos kaki yang dapat memberi
penekanan, Menaikkan tungkai, yaitu posisi kaki dan betis lebih tinggi dari pinggul,
posisi ini diharapkan dapat memperlancar aliran darah vena, Intermittent pneumatic
compresion yaitualat ini dapat memberikan penekanan dari luar secara teratur pada
tungkai bawah atau tungkai bawah dan paha; besarnya tekanan 35-40 mmHg selama
10 detik / menit. Mobilisasi awal untuk meningkatkan aliran darah vena pada kondisi
stasis.
2. Luka decubitus;
a. Pencegahan ulkus dekubitus adalah hal yang utama karena pengobatan ulkus
dekubitus membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Tindakan pencegahan dapat
dibagi atas :
Umum
1) Pendidikan kesehatan tentang ulkus dekubitus bagi staf medis, penderita dan
keluarganya
2) Pemeliharaan keadaan umum hegiene penderita
Khusus
Mengurangi/menghindari tekanan luar yang berlebihan pada daerah tertentu
dengan cara: perubahan posisi tiap 2 jam di tempat tidur sepanjang 24 jam.
Melakukan push up secara teratur pada waktu duduk di kursi roda. Pemakaian
berbagai jenis tempat tidur, matras,bantal anti dekubitus seperti circolectric
bed,tilt bed,air matras; gel flotation pads,sheepskin,dan lain-lain

b. Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), tetapi
dapat lebih sering pada daerah yang potensial terjadi ulkus dekubitus. Pemeriksaan
kulit dapat dilakukan sendiri,dengan bantuan penderita lain taupun keluarganya.
Perawatan kulit termasuk pembersihan dengan sabun lunak dan menjaga kulit tetap
bersih dari keringat, urin dan feces. Bila perlu dapat diberikan bedak,losio yang
mengandung alcohol dan emolion

c. Pengobatan :
Pengobatan ulkus dekubitus dengan pemberian bahan topikal,sistemik ataupun
dengan tindakan bedah dilakukan sedini mungkin agar reaksi penyembuhan terjadi
lebih cepat
Pada pengobatan ulkus dekubitus ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara
lain:
1) Mengurangi tekanan lebih lanjutpada daerah ulkus. Secara umum sama dengan
tindakan pencegahan yang dibicarakan diatas. Pengurangan tekanan sangat
penting karena ulkus tidak akan sembuh selama masihada tekanan yang
berlebihan dan terus menerus.
2) Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya. Keadaan tersebut
akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat dan baik. Untuk hal
tersebut dapat dilakukan kompres,pencucian,pembilasan,pengeringan dan
pemberian bahan-bahan topikal seperti larutan Nacl 0,9%,larutan H2O2 3% dan
nacl 0,9% larutan plasma dan larutan burowi serta larutan antiseptic lainnya.
Mengangkat jaringan nekrotik. Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan
menghambat aliran bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga
menghambat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi.
Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat proses
penyembuhan ulkus. Terdapat 3 metode yang dapat dilakukan antara lain : sharp
debridement(dengan pisau,gunting dan lain-lain), enzymatic debridement (dengan
enzim proteolitik,kolageno-litik dan fibrinolitik), mechanical debridement (dengan
teknik pencucian,pembilasan,kompres dan hidroterapi)
3) Menurunkan dan mengatasi infeksi
Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika sistemik dapat diberikan
bila penderita mengalami sepsis, selulitis. Ulkus yang terinfeksi hams dibersihkan
beberapa kali sehari dengan larutan antisepstik seperti larutan H2O2 3% ,povidon
iodine 1%, seng sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet (terutama UVB) mempunyai efek
bakterisidal.
4) Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. Hal
ini dapat dicapai dengan pemberian antara lain:
 Bahan-bahan topikal misalnya : salep asam salisilat 2%, preparat seng
(Zn0,ZnSO)
 Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap sjumlah
bakteri juga mempunyai efek proliferati epitel , menambah jaringan granulasi
dan memperbaiki keadaan vascular.
 Radiasi infra merah, short wave diathermy dan pengurutan dapat membantu
penyembuhan ulkus karena adanya peningkatan vaskularisasi
 Terapi ulrasonik; sampai saat ini masih terus diselidiki manfaatnya terhadap
terapi ulkus dekubitus
 Tindakan bedah selain untuk pembersihan ulkus juga diperlukan untuk
mempercepat penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus dekubitus
stadium III dan IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit atupun
myocutaneous flap

3. Infeksi pada penggunaan ventilator pada pasien;


Ventilator mekanik merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengambil
alih fungsi pernafasan karena suatu akibat tertentu terhadap suatu penyakit. Ventilator
merupakan alat bantu pernafasan bertekanan positif atau negatif yang membuat aliran
udara terkontrol pada jalan nafas pasien sehingga mampu mempertahankan dan
memperbaiki ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka waktu lama (Sari et al,
2019).
Indikasi utama penggunaan ventilator mekanik untuk membantu pasien yang
mengalami gagal napas, termasuk kegagalan dalam ventilasi (hiperkarbia), kegagalan
oksigen (hipoksia) maupun keduanya. Salah satu penyakit kronis yang dapat
menyebabkan penggunaan ventilator mekanik yaitu pneumonia. Pneumonia
merupakan radang parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme termasuk
bacteria, mikrobakteria, jamur dan virus (Astuti & Angga, 2010). Pneumonia dapat
diklasifikasikan sebagai pneumonia didapat di komunitas, di rumah sakit, pneumonia
pada pejamu yang mengalami luluh imun, dan pneumonia aspirasi (Brunner &
Suddarth, 2014). Gejala-gejala yang ditemukan pada pasien dengan penyakit
pneumonia diantaranya, sesak nafas dan batuk. Pada kasus usia lanjut gejala yang
muncul dapat berupa nyeri dada pleuritik dan hemopitsis. Sesak nafas dan ronki pada
umumnya sering ditemukan (Sari et al, 2016).
Pasien kritis dengan intubasi dan menggunakan ventilator dalam jangka waktu
lama di ICU beresiko terjadi infeksi nosokomial yang disebut Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) (Susanti, 2015). Ventilator- associated Pneumonia (VAP)
merupakan salah satu HAIs atau infeksi nosokomial yang sering ditemukan di Rumah
Sakit dan merupakan suatu infeksi pneumonia yang terjadi setelah 48 jam pemakaian
ventilator mekanis baik pipa endotracheal maupun maupun tracheostomy (Kemenkes
RI, 2017). Healthcare Associated Infections (HAIs) adalah infeksi yang didapat di
rumah sakit baik terjadi pada pasien ketika menerima perawatan, petugas kesehatan
yang berkerja di rumah sakit, maupun pengunjung rumah sakit (Hapsari et al, 2018).
Resiko VAP pada pasien terpasang intubasi ventilator mekanik meningkat disebabkan
tabung endotrakeal yang terpasang invasif memungkinkan masuknya bakteri secara
langsung ke saluran pernapasan bagian bawah karena tabung berada di trakea. Terjadi
kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan lebih lanjut karena tidak adanya refleks
batuk dan sekresi lendir yang berlebihan pada pasien dengan ventilasi mekanik
(Yunita & Rondhianto, 2015). Centers For Disease Control and Prevention (2015)
menyebutkan 157.000 pasien yang berada di ICU mengalami VAP selama perawatan.
VAP merupakan komplikasi di sebanyak 28% pada pasien yang terpasang ventilasi.
Kejadian ini meningkat seiring dengan lamanya penggunaan ventilator mekanik
(Amanullah & Posner, 2010).
4. Cedera neurologis dan pembuluh darah pada pasien restrain
Pada pasien di ICU sebagian besar mengalami penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran merupakan masalah kedaruratan yang dapat menunjukkan
gangguan yang berat pada fungsi serebral. Banyak penyebab dari penurunan
kesadaran antara lain infeksi (meningitis bakteri) atau inflamasi (sepsis), struktural
(traumatik, neoplasma, infark cerebri, abses, hidrosefalus), metabolik (hipoglikemia),
nutrisi (defisiensi thiamin) dan toksik (keracunan alkohol) (Goysal, 2016). Menurut
Goysal (2016) penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien penurunan kesadaran
yaitu mengelola pernapasan dengan posisi yang baik supaya jalan napas paten,
mempertahankan tekanan darah tetap stabil, menjaga keamanan pasien dari resiko
jatuh salah satu caranya dengan pemasangan restrain fisik.
Saat ini isue utama dalam pelayanan kesehatan adalah masalah patient Safety /
keselamatan pasien, keselamatan pasien adalah suatu system yang membuat asuhan
pasien lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya,
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. (PERMENKES RI
No. 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien).
Restrain / pengikatan fisik (dalam psikiatri) secara umum mengacu pada suatu
bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan
ekstremitas individu yang berperilaku diluar kendali. Pengikatan fisik merupakan
alternatif intervensi terakhir jika dengan intervensi verbal (persuasi), pengekangan
kimia (biologi) mengalami kegagalan.
Manset restrain dengan tekanan darah
Tekanan darah yang terpasang resrtrain setiap jam memicu ansietas, takut,
nyeri dan stress emosi mengakibatkan stimulus simpatis secara berkepanjangan yang
berdampak pada vasokonstriksi, peningkatan curah jantung, tahanan vaskular perifer
dan peningkatan produksi renin. Peningkatan renin mengaktivasi mekanisme
angiotensin dan meningkatakan skresi aldosteron yang berdampak pada peningkatan
tekanan darah. Kejadian tersebut dikarenakan pasien mengalami penurunan kesadaran
dengan GCS < 8. Tekanan darah pada pasien yang mengalami ketidakstabilan yang
cenderung naik dikarenakan pasien mengalami kecemasan dan gelisah.
Restrain dengan derajat luka
Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) derajat 1 luka
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada kulit. Penderita
dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri, stadium ini biasanya reversible dan
dapat sembuh dalam 5-10 hari. Tanda dan gejala: Adanya perubahan dari kulit yang
dapat diobservasi. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan
tampak salah satu tanda sebagai berikut: perubahan temperatur kulit (lebih dingin atau
lebih hangat), Perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), Perubahan
sensasi (gatal atau nyeri).
Penggunaan kasa memang sudah sangat banyak digunakan untuk memberikan
restrain di ICU. Penggunaan kasa sebagai pengikat restrain memang maklum
digunakan namun penggunaan kasa menyebabkan luas penampang di ekstremitas
menjadi relativ kecil dan menyebabkan gaya tekanan yang besar.
Terapi restrain bermanset lebih efektif berdasarkan dari luas penampang
karena memilki penampang yang lebar. Untuk menjamin patient safety dalam
tindakan restrain perlu dipilih alat restrain yang aman dan tidak melukai, tali restrain
dibuat dari kain yang diberi manset sehingga lembut tetapi tetap kuat, dan penampang
manset yang lebar menghindarkan cedera lecet pada bagian kulit ekstremitas yang
dilakukan restrain jadi restrain menggunakan manset lebih aman digunakan.
Penerapan EBN dari Manset restrain pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran di ruang ICU mampu memberikan efek positif mengurangi luka pada
ekstremitas sehingga tidak menambah permasalahan baru.

5. infeksi melalui pembuluh darah pada pasien dialisis;


Unit hemodialisis merupakan salah satu tempat dimana sering ditemukan
Infeksi Aliran Darah Primer (IADP). Ini karena pasien hemodialisis membutuhkan
akses vascular, baik melalui penggunaan kateter pembuluh darah atau melalui
penciptaan fistula dan cangkok. Salah satunya yaitu dipasang alat CVC berupa lument
berdiameter 12 mm atau sering disebut CDL (catheter double lument). Penggunaan
kateter pada pembuluh darah tersebut pada pasien dengan terapi dialysis sangat
beresiko terjadinya infeksi, baik infeksi lokal (exit-site) maupun sistemik (infeksi
aliran darah).  
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Bloodstream Infection atau
IADP dapat melalui faktor endogen dan factor eksogen. Diantaranya faktor endogen:
usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya tahan tubuh, serta kondisi klien. Faktor
eksogen diantaranya: lama masa rawat, alat medis, lingkungan rumah sakit, faktor
petugas kesehatan atau perawat, faktor pasien lain yang dirawat bersama.
Surveilans kesehatan merupakan kegiatan pemantauan yang dilakukan secara
terus-menerus dan sistematis terhadap data dan informasi mengenai masalah
kesehatan untuk memperoleh serta memberikan informasi mengenai masalah
kesehatan untuk memperoleh serta memberikan informasi yang dapat digunakan
sebagai pembuatan program dalam tindakan pencegahan dan penanggulangan secara
efektif dan efisien. Kegiatan surveilans terdiri dari pengumpulan data, kompilasi data,
analisis data, interpretasi data, dan diserminasi informasi. Kegiatan surveilans tersebut
juga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi suatu program yang telah atau akan
berjalan dalam pengendalian dan pencegahan suatu kejadian.
Pencegahan infeksi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan exit site
sebelum melakukan penyambungan kateter ke mesin, mengganti perban setiap cuci
darah, menggunakan teknik asepsis (masker, sarung tangan) dari awal sampai selesai
dan pelepasan kateter dari mesin.
Antibiotik dapat diberikan secara empiris bila sudah didapat hasil kultur dan
dapat diberikan antibiotik yang sesuai. Sistem akses vaskuler harus dicabut bila ada
pus, atau terjadi sepsis atau gangguan organ lain.

6. Infeksi saluran/slang sentral;


CVC merupakan salah satu jenis dari kanulasi intravena yang sering
digunakan dalam pelayanan di ruang Intensive Care Unit (ICU). Cateter vena sentral
adalah kateter dengan ujung yang terletak di dalam sepertiga proksimal dari vena cava
superior, atrium kanan atau vena cava inferior. kateter vena sentral digunakan untuk
kanulasi yang masuk ke dalam pembuluh darah vena besar, seperti vena jugularis
internal, vena subclavia dan vena femoralis.
CVC berfungsi untuk monitoring status hemodinamik, pemberian cairan,
pemberian produk darah, nutrisi parenteral, obat-obatan rtesusitasi dan medikasi lain
yang diperlukan pasien.
Perlu diperhatikan komplikasi dari pemasangan CVC adalah infeksi,
thrombosis, oklusi dan komplikasi mekanik yang biasanya terjadi selama prosedur
pemasangan alat yang berkaitan erat dengan letak anatomis.
Komplikasi mekanik terkait insersi CVC antara lain hemothoraks,
pneumothoraks, fistula, emboli paru, cedera syaraf, cedera duktus paru dan deseksi
intraluminal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi pemasangan CVC
dibagi menjadi 3 faktor yaitu :
1. Adanya riwayat penyakit, anatomi dari tubuh pasien, pasien yang terpasang
ventilator, pasien yang tidak kooperatif, ada riwayat operasi sebelumnya, riwayat
trauma atau radioterapi
2. Terkait kateter seperti area penusukan yang dipilih atau tipe kateter
3. Faktor klinis seperti pengalaman dokter yang memasang, adanya pemasangan
kateter sebelumnya dan situasi emergency atau terencana
Pemasangan akses vena sentral merupakan prosedur yang lazim dikerjakan
pada pasien kritis yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Prosedur ini merupakan
prosedur invasif dan berisiko terjadi infeksi. Perawatan kateter vena sentral dan
pencegahan infeksi yang berkaitan dengan pemasangan vena sentral sangat penting
untuk diketahui dan dikerjakan agar menurunkan angka kejadian Catheter Related
Bloodstream Infection (CRBI).
CRBI didefinisikan sebagai sebuah kondisi bakteremia yang sumbernya
berasal dari kateter intravena. Hal ini merupakan salah satu komplikasi kateterisasi
vena sentral yang paling sering terjadi dan juga menjadi penyebab yang cukup sering
dari bakteremia nosokomial. Meskipun penggunaan kateter vena sentral semakin
meningkat, namun kejadian CRBI dapat dicegah dengan beberapa metode.
Terapi empirik biasanya diberikan setelah dilakukan pengambilan sampel.
Sambil menunggu hasil kultur terdapat beberapa antimikroba yang direkomendasikan
untuk terapik empirik pada pasien yang dicurigai menderita CRBI. Vancomycin
diberikan pada rumah sakit atau institusi dengan prevalensi resistan methicilin
terhadap staphylococci tinggi (disarankan untuk mengguanakan generasi pertama
cephalosporin seperti cefazolin atau anti-staphylococcal penicillin seperti nafcillin).
Daptomycin sebagai pengganti vancomycin pada fasilitas kesehatan dimana tingginya
prevalensi menthicillin-resistant Staphylococcus aureus dengan penurunan kesuksesan
pengobatan menggunakan vancomycin. 
Antibiotik aktif terhadap basil gram negatif diberikan berdasarakan pola
kerentanan lokal, dalam meringankan keparahan gejala atau pada pasien dengan
kateterisasi femoral. Antibiotik aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa diberikan
berdasarkan pola kerentanan lokal, untuk meringankan atau mengatasi neutropneia,
severe ilness, atau kolonisasi Pseudomonas yang terlihat.
Antimikroba terhadap candida, disarankan menggunakan echinocandin apabila
pasien sedang dalam kondisi terpasang kateter femoral, pemberian nutrisi secara
parenteral, pemberian antibiotik spektrum luas jangka panjang, keganasan
hematologi, pasien menjalani transplantasi organ atau stem sell hematopoetik. Jika
kultur darah gagal tumbuh, kebutuhan terapi antibiotik empirik lebih lanjut harus
ditinjau kembali. Jika demam tidak begitu jelas atau sepsis masih berlanjut pada
pasien dengan vena sentral jangka pendek atau kateter arteri, dimana kedua kultur
venipuncture perifer dan darah gagal untuk mengidentifikasi CRBI berdasarkan
kriteria diatas, kateter harus dilepas dan dikirim sebagai sampel kultur.

7. Pasien jatuh;
Jatuh (J Morse, 2002 cit. Constantine, 2004) adalah suatu peristiwa di mana
seorang mengalami jatuh dengan atau tanpa disaksikan oleh orang lain, tak disengaja/
tak direncanakan, dengan arah jatuh ke lantai, dengan atau tanpa mencederai dirinya.
Penilaian dengan Asesmen Risiko Jatuh Morse Fall Scale / humpty dumpty dalam
waktu 4 jam dari pasien masuk RS dan mencatat hasil asesmen dan langsung
dilakukakan talaksana risiko jatuh.
1) Asesmen ulang
a) Setiap pasien akan dilakukan asesmen ulang risiko jatuh setiap: saat transfer ke
unit lain, adanya perubahan kondisi pasien, adanya kejadian jatuh pada pasien.
b) Penilaian menggunakan Asesmen Risiko Jatuh Morse Fall Scale/humpty dumpty
dan Rencana Keperawatan Interdisiplin akan diperbaharui/dimodifikasi sesuai
dengan hasil asesmen.
c) Pada pasien rawat inap, penilaian resiko dievaluasi setiap hari menggunakan
lembar pengkajian harian resiko jatuh selama perawatan berjalan atau bila
terdapat perubahan pengobatan maupun status mental.
d) Perubahan status resiko (terutama untuk risiko jatuh tinggi) di tulis dalam lembar
catatan terintegrasi di rekam medis pasien beserta bentuk intervensi yang akan
dilakukan, termasuk pemakaian gelang risiko dan pemberian label khusus resiko
jatuh di sampul rekam medis pasien.
e) Adanya perubahan penilaian dikomunikasikan dengan dokter penanggung jawab
perawatan.
2) penilaian resiko jatuh dapat dilakukan dengan skala penilaian yang berbeda untuk
setiap usia, yaitu:
 pasien anak-anak (berusia 0-18 tahun): skala humpty dumpty
 pasien dewasa: skala morse (J. Morse, 1997))
 Pasien Rawat Jalan : menggunakan skala penilaian time up and go.
3) Perawat yang bertugas akan mengidentifikasi dan menerapkan “Prosedur
Pencegahan Jatuh”, berdasarkan pada:
- Kategori risiko jatuh
- Kebutuhan dan keterbatasan per-pasien
- Riwayat jatuh sebelumnya dan penggunaan alat pengaman (safety devices)
- Asesmen Klinis Harian
4) Pasien yang semula berisiko tinggi tetapi dalam evaluasi selanjutnya berturut-turut
memiliki 2 skor penilaian risiko rendah baru dapat dikatakan pasien memiliki risiko
jatuh rendah. Gelang risiko dapat dilepas tetapi tindakan pencegahan risiko jatuh
tetap dilakukan.
5) Komunikasi
Saat pergantian jam kerja, setiap perawat yang bertugas akan melaporkan pasien-
pasien yang telah menjalani asesmen risiko jatuh kepada perawat jaga berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai