Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

Fistula Enterkutaneus

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian

a Fistula adalah suatu ostium abnormal, berliku-liku antara dua organ berongga internal
atau antara organ internal dengan tubuh bagian luar. (Smeltzer dan Bare, 2001).

b Entero-enteral atau enterocutaneous adalah petikan yang abnormal kebocoran isi perut
atau usus (usus besar atau kecil) ke organ lain, biasanya bagian dari usus (entero-

enteral) atau kulit (enterocutaneous). (Lee, 2006).


c Umbilikalis fistel atau fistel umbilikalis atau fistula vitellina adalah suatu keadaan

kongenital dimana duktus vitellinus tetap dipertahankan seluruhnya sehingga


membentuk hubungan langsung antara pusat dengan seluruh pencernaan. Dalam hal
ini dapat dikeluarkan tinja melalui pusat. (Watson, dkk, 1987).

2. Etiologi
Kebanyakan fistula berawal dari kelenjar dalam di dinding anus atau rektum. Kadang-kadang

fistula merupakan akibat dari pengeluaran nanah pada abses anorektal.


Fistula secara umum sering ditemukan pada penderita :

a. Penyakit Crohn
b. Tuberkulosis

c. Divertikulitis
d. Kanker

e. Cedera anus maupun rektum.


Fistula enterokutaneus biasanya diakibatkan :

a. Spontaneous (15% sampai 25%)


- Radang usus buntu

- Lubang duodenal ulcers


- Radiasi

- Penyakit diverticular
- Ischemic usus

- Malignancies.
b. Postoperative (75% hingga 85%)

- Kegagalan anastomotic
- Penutupan abdominal.
- Operasi kanker

- Lysis yang adhesions


3. Manifestasi Klinis

Gejala tergantung pada kekhususan defek. Pus atau feses dapat bocor secara konstan dari
lubang kutaneus. Gejala ini mungkin pasase flatus atau feses dari vagina atau kandung

kemih, tergantung pada saluran fistula. Fistula yang tidak teratasi dapat menyebabkan infeksi
sistemik disertai gejala yang berhubungan.

4. Klasifikasi

Penyebab dari terbentuknya fistula pasca pembedahan sangat bervariasi tergantung pada
lokasi organ, faktor predisposisi, faktor resiko pasien dan tehnik atau prosedur pembedahan.

Kompleksitas dari fistula enterokutaneus tergantung dari jumlah pengeluaran.


a. Rendah: 200 ml/24 jam
b. Moderat: 200-500 ml/24 jam
c. Tinggi: 500 ml/24 jam

Jumlah output juga dapat digunakan untuk memprediksi kematian seperti tercantum dalam
seri klasik oleh Edmunds dkk. pasien yang tinggi dengan output fistulas memiliki mortality

54%, pasien dengan moderat output meninggal dalam 30% kasus sedanglan rendah output
fistulas meninggal dalam 16% kasus. Dalam seri yang lebih baru, Levy dkk. melaporkan

kematian dari 50%, 24% dan 26% di tinggi, moderat dan rendah output fistulas, masing-
masing. Kira-kira 30% semua tipe fistula akan menutup secara spontan dalam waktu 6-7

minggu.

5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan di daerah anus, dimana ditemukan satu

atau lebih pembukaan fistula atau teraba adanya fistula di bawah permukaan. Sebuah alat
penguji bisa dimasukan untuk menentukan kedalaman dan arahnya. Ujung dalamnya bisa

ditentukan lokasinya dengan melihat melalui anoskop yang dimasukkan ke dalam rectum.

6. Penatalaksanaan
Pembedahan selalu dianjurkan karena beberapa fistula sembuh secara spontan.

Fistulektomi (eksisi saluran fistula) adalah prosedur yang dianjurkan. Usus bawah dievakuasi
secara seksama dengan enema yang diprogramkan.

Selama pembedahan, saluran sinus diidentifikasi dengan memasang alat ke dalamnya atau
dengan menginjeksi saluran dengan larutan biru metilen. Fistula didiseksi ke luar atau
dibiarkan terbuka, dan insisi lubang rektalnya mengarah keluar. Luka diberi tampon dengan

kasa.
Sebuah studi menelan kontras, di mana radio-kekusaman dye adalah ditelan oleh

pasien dan diambil foto sinar-x dan CT scan, sering menunjukkan anatomi dari hiliran. Jika
hiliran melibatkan titik dua, yang kontras enema (kontras dye diberikan melalui dubur) dapat

bermanfaat. Parcel merupakan sistem kantong yang digunakan pada bentuk dan ukuran luka
lebih luas dengan menggabungkan hidrokoloid sheet dan double tape. Wound drain

merupakan tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mengalirkan cairan yang cenderung
terakumulasi pada lokasi yang dilakukan pembedahan. Penggunaan wound drain dapat

menggunakan kantong ostomi.


Parcel dressing dipakai pada luka bertujuan untuk menampung eksudat, melindungi

jaringan, mencegah infeksi silang, memonitor volume pengeluaran, meningkatkan rasa


nyaman dan mengurangi kecemasan pasien, meningkatkan mobilitas pasien. Sedangkan
penggunaan wound drain untuk mempertahankan keamanan drain, menampung
pengeluaran, mencegah infeksi silang, memonitor keefektifitasan drain dan volume

pengeluaran, melindungi sekitar jaringan, meningkatkan kenyamanan pasien dan


mengontrol bau, meningkatkan mobilitas pasien dan biaya lebih efektif. Kedua tehnik ini

digunakan jika cairan yang keluar melalui luka dan fistula terlalu banyak biasanya lebih dari
500 ml/24 jam. (Haryanto, 2009).

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien fisula adalah :


a. Infeksi

b. Gangguan fungsi reproduksi


c. Gangguan dalam berkemih

d. Gangguan dalam defekasi


e. Ruptur/ perforasi organ yang terkait

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan fistel enterokutaneus :


a. Kekurangan gizi

b. Dehidrasi
c. Masalah kulit

d. keracunan darah
B. Konsep Asuhan Keperawatan

Proses keperawatan adalah metode kerja dalam pemberian pelayanan keperawatan


untuk menganalisa masalah pasien secara sistematis, menentukan cara pemecahannya,

melakukan tindakan dan mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilaksanakan. Proses
keperawatan adalah serangkaian perbuatan atau tindakan untuk menetapkan, merencanakan

dan melaksanakan pelayanan keperawatan dalam rangka membantu klien untuk mencapai dan
memelihara kesehatannya seoptimal mungkin. Tindakan keperawatan tersebut dilaksanakan

secara berurutan, terus menerus, saling berkaitan dan dinamis.


1. Pengkajian

Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya


sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan bagi klien.

Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :


a. Sirkulasi
Tanda : Peningkatan TD (efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi

Gejala : Penurunan kekuatan /dorongan aliran urin, tetesan


Tanda : Feses keluar melalui fistula

c. Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia; mual dan muntah

Tanda : Penurunan Berat Badan


d. Nyeri/kenyamanan

Gejala : Nyeri suprapubik, daerah fistula dan nyeri punggung bawah

e. Keamanan
Gejala : Demam

f. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Rencana pembedahan

Rencana Pemulangan : Memerlukan bantuan dengan manajemen terapi.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, proses inflamasi

b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh, proses
pembedahan

c. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan pola defekasi.


d. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d pengeluaran sari-sari makanan dari fistula, absorbsi

tidak adekuat.
e. Gangguan pemenuhan perawatan diri b/d keterbatasan gerak akibat nyeri

f. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan interpretasi.

h. Gangguan kebutuhan istirahat tidur b/d nyeri

3. Perencanaan
a Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, proses inflamasi

Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang


Intervensi :

1) Kaji keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas.


2) Pantau tanda-tanda vital.
3) Ajarkan teknik nafas dalam
4) Berikan tindakan kenyamanan misalnya masase

5) Penatalaksanaan pemberian obat analgetik


Rasional :

1) Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan.meningkatnya nyeri secara


bertahap pasca operasi,menunjukkan melambatnya penyembuhan.

2) Peningkatan TTV menandakan adanya peningkatan skala nyeri


3) Meningkatkan relaksasi,mening kenyamanan dan menurunkan nyeri.

4) Menurunkan ketegangan otot sehingga nyeri berkurang


5) Memblok lmpuls nyeri ke otak sehingga nyeri tidak dipersepsikan

b Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan ubuh, proses
pembedahan

Tujuan : Klien bebas dari tanda-tanda infeksi


Intervensi

1) Pantau tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan suhu.


2) Obeservasi penyatuan luka, adanya inflamasi

3) Pantau pernapasan, bunyi napas. Pertahankan kepala tempat tidur tinggi 35-45
derajat, bantu pasien untuk membalik, batuk, dan napas dalam.

4) Observasi terhadap tanda/ gejala peritonitis, mis, demam, peningkatan nyeri,


distensi abdomen.
5) Pertahankan perawatan luka aspetik. Pertahankan balutan kering.

6) Berikan obat antibiotik sesuai indikasi.


Rasional:

1) Suhu malam hari memuncak yang kembali ke normal pada pagi hari adalah
karakteristik infeksi.

2) Perkembangan infeksi dapat memperlambat pemulihan.


3) Infeksi pulmonal dapat terjadi karena depresi pernapasan, ketidakefektifan batuk,

dan distensi abdomen.


4) Meskipun persiapan usus dilakukan sebelum pembedahan, peritonitis dapat

terjadi bila usus terganggu, mis, ruptur praoperasi, kebocoran anastomosis.


5) Melindungi pasien dari kontaminasi silang selama penggantian balutan. Balutan

basah bertindak sebagai retrograd, menyerap kontaminan eksternal.


6) Diberikan secara profilaktik dan untuk mengatasi infeksi.

c Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan pola defekasi

Tujuan : Terjadi peningkatan rasa harga diri


Intervensi

1) Kaji respon dan reaksi pasien dan keluarga terhadap penyakit dan
penanganannya.

2) Kaji hubungan antara pasien dengan anggota keluarga.


3) Kaji pola koping pasien dan anggota keluarga.

4) Ciptakan diskusi terbuka tentang perubahan yang terjadi akibat penyakit dan
penanganannya.

Rasional
1) Menyediakan data tentang masalah pada pasien dan keluarga dalam menghadapi

perubahan dalam hidup


2) Mengindentifikasi penguatan dan dukungan terhadap pasien.

3) Pola koping yang efektif diasa lalu mungkin potensial destruktif ketika
memandang pembatasan yang ditetapkan.

4) Pasien dapat mengindentifikasi masalah dan langkah-langkah yang diperlukan


untuk menghadapinya.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d pengeluaran sari-sari makanan dari fistula, absorbsi

tidak adekuat.
Tujun : menunjukkan berat badan stabil atau penigkatakan berat badan sesuai sasaran

dengan nilai normal


Intervensi :

1) Timbang berat badan tiap hari


2) Dorong tirah baring atau pembatasan aktifitas selama fase sakit akut

3) Anjurkan istirahat sebelum makan


4) Berikan kebersihan oral

5) Catat masukan dan sintomatologi


6) Dorong pasien untuk mengatakan perasaan masalah mulai makan diet

7) Kolaborasi obat anti kolinergik sesuai indikasi


8) Kolaborasi vitamin B12 dan asam folat
Rasional :
1) Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/ keefektifan terapi.

2) Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan


simpanan energi

3) Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan


4) Mulut yang bersih dapat menambah nafsu makan

5) Memberikan rasa kontrol pada pasien dan kesempatan unutk memilih makanan
yang diingikan, dapat meningkatkan masukan.

6) Keragu-raguan untuk makan mungkin dikibatkan oleh takut makan akan


menyebabkan eksaserasi gejala.

7) Anti kolinergik diberikan 15 sampai 30 menit sebelum makan memberikan


penghilangan keram dan deare.

8) Malabsorbsi B12 akibat kehilangan fungsi ileum penggantiannya mengatasi


depresi sum-sum tulang karena proses inflamasi lama, kekurangan asam folat

umumnya terjadi sehubungan dengan penurunan masukan atau absorbsi

e. Gangguan pemenuhan perawatan diri b/d keterbatasan gerak akibat nyeri


Tujuan : Klien dapat merawat dirinya secara bertahap

Intervensi :
1) Kaji tingkat kemampuan klien dalam merawat dirinya

2) Bantu klien dalam merawat dirinya


3) Berikan dorongan pada klien untuk melakukan perawatan mandiri secara bertahap.
4) Berikan motivasi pada keluarga agar membantu pemenuhan kebutuhan perawatan

diri klien.
Rasional :

1) Mengetahui kemampuan klien dalam merawat dirinya


2) Membantu klien dalam memenuhi kebutuhan hygienenya

3) Memberi keyakinan pada klien bahwa ia dapat merawat diri tanpa bantuan orang
lain

4) Keterlibatan keluarga membantu tercapainya tujuan serta membantu dalam


mempertahankan hasil yang telah dicapai.

f. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan

Tujuan : Kecemasan berkurang atau teratasi


Intervensi
1) Catat petunjuk perilaku mis, gelisah, peka rangsang, menolak, kurang kontak mata,
perilaku menarik perhatian.

2) Dorong menyatakan perasaan. Berikan umpan balik


3) Akui bahwa ansietas dan masalah mirip yang diekspresikan orang lain. Tingkatkan

perhatian mendengan pasien.


4) Berikan informasi yang akurat dan nyata tentang apa yang dilakukan

5) Berikan lingkungan tenang dan istirahat.


6) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan perhatian, perilaku perhatian.

7) Bantu pasien belajar mekanisme koping baru, mis teknik mengatasi stres.
Rasional

1) Stres dapat terjadi sebagai akibat gejala fisik kondisi, juga reaksi lain.
2) Membuka hubungan terapeutik. Membantu dalam meng-indentifikasi masalah

yang menyebabkan stres.


3) Validasi bahwa perasaan normal dapat membantu menurunkan stres.\

4) Keterlibatan pasien dalam perencanaan perawatan memberikan rasa kontrol dan


membantu menurunkan ansietas.

5) Meningkatkan relaksasi, membantu menurunkan ansietas.


6) Tindakan dukungan dapat membantu pasien merasa stres berkurang.

7) Meningkatkan kontrol penyakit.


g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi,kesalahan interpretasi

Tujuan : Klien/ keluarga menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan


pengobatan.

Intervensi
1) Tentukan persepsi pasien/ keluarga tentang proses penyakit.

2) Kaji ulang proses penyakit, penyebab/ efek hubungan faktor yang menimbulkan
faktor pendukung.

3) Kaji ulang obat, tujuan, frekuensi, dosis, dan kemungkinan efek samping.
4) Tekankan pentingnya perawatan kulit, mis, teknik cuci tangan dengan baik dan

perawatan perineal yang baik.


5) Penuhi kebutuhan evaluasi jangka panjang dan evaluasi periodik.

Rasional
1) Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kebutuhan belajar individu.
2) Pengetahuan dasar yang akurat memberikan kesempatan pasien untuk membuat
keputusan informasi/pilihan tentang masa depan dan kontrol penyakit.

3) Meningkatkan pemahaman dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program.


4) Menurunkan penyebaran bakteri dan resiko iritasi kulit/kerusakan, infeksi.

5) Pasien dengan inflamasi beresiko untuk kanker dan evaluasi diagnostik teratur
dapat diperlukan.

h. Gangguan kebutuhan istirahat tidur b/d nyeri

Tujuan : kebutuhan istirahat tidur klien terpenuhi


Intervensi :

1) Tentukan kebiasaan tidur dan perubahan yang terjadi


2) Anjurkan beberapa aktifitas ringan selama siang hari jamin pasien berhenti

beraktifitas beberapa jam sebelum tidur


3) Ciptakan lingkungan yang nyaman

Rasional :
1) Membantu dalam mengidentifikasi intervensi yang tepat

2) Aktifitas siang hari dapat membantu pasien menggunakan energi dan siap untuk
tidur pada malam hari

3) Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan kualitas tidur


4. Pelaksanaan

Selama tahap implementasi perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi


keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil.

Komponen tahap implementasi terdiri dari :


a. Tindakan keperawatan mandiri

Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa pesanan dokter. Tindakan keperawatan


mandiri ini ditetapkan dengan standar praktek American Nurses Association; undang

undang praktik keperawatan negara bagian; dan kebijakan institusi perawatan


kesehatan.

b. Tindakan keperawatan kolaboratif


Tindakan keperawatan kolaboratif diimplementasikan bila perawat bekerja dengan

anggota tim perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang
bertujuan untuk mengatasi masalah masalah klien.
c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap asuhan keperawatan.
Frekuensi dokumentasi tergantung pada kondisi klien dan terapi yang diberikan. Di

rumah sakit, catatan perawat ditulis minimal setiap shift dan diagnosa keperawatan
dicatat di rencana asuhan keperawatan. Setiap klien harus dikaji dan dikaji ulang sesuai

dengan kebijakan institusi perawatan kesehatan.

5. Evaluasi
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil hasil yang diamati dengan kriteria hsil yang

dibuat pada tahap perencanaan. Klien keluar dari siklus proses keperawatan apabila
kriteria hasil telah dicapai. Klien akan masuk kembali ke dalam siklus apabila kriteria hasil

belum tercapai. Komponen tahap evaluasi terdiri dari pencapaian kriteria hasil,
keefektifan tahap tahap proses keperawatan dan revisi atau terminasi rencana asuhan

keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Chang, Peter, DMD, dkk..2000. Kompleks Enterocutaneus Hiliran: Penutupan dengan Rectus

Abdominalis Muscle Flap. http://www.medscape.com/viewarticle/410567 diakses tanggal 26


Agustus 2009.

Chang, Petrus. 2000. Kompleks Enterocutaneous hiliran.


http://www.medscape.com/files/public/blank.html diakses tanggal 26 Agustus 2009 Doengoes,

Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3, EGC : Jakarta


Evenson, Amy, R., MD., Josef E. Fischer, MD, Facs. 2006. Peristiwa Pengelolaan

Enterocutaneoushiliran.http://www.ptolemy.ca/members/archives/2006/Fistula/evenson 2006.pdf
diakses tanggal 26 Agustus 2009

Haryanto. 2009. Penggunaan Parcel Dressing dan Wound Drain dengan Kantong Ostomi pada
Pasien Fistel Enterocutaneus.
http://gibyantowoundostomicontinent.blogspot.com/2009/02/penggunaan-parcel-dressing-dan-
wound.html diakses tanggal 26 Agustus 2009

http://www.imeem.com/people/51vqZE_/blogs/2009/03/04/0_Ph7hDf/enterocutaneous-
fistulasurgeryenterocutaneous-fistula. diakses tanggal 26 Agustus 2009

Lee, JA, MD. 2006. Entero-enteral atau enterocutaneous hiliran.


http://www.myonlinewellness.com/topic/adam1001129 diakses tanggal 26 Agustus 2009

Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2, Medika Aesculapius FKUI : Jakarta
Medeiros, Aldo Cunha.,dkk. 2004. Perawatan Postoperative Enterocutaneous Fistulas oleh High-

Pressure Vacuum dengan lisan Diet Normal.


http://content.karger.com/ProdukteDB/produkte.asp?Doi=82317 diakses tanggal 26 Agustus 2009

Nining. 2008. Anak Asuhan Keperawatan dengan Fistula.


http://niningbai.wordpress.com/2008/03/11/asuhan-keperawatan-anak-dengan-fistula/ diakses

tanggal 26 Agustus 2009


Price A, Sylvia., Loraiine M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit

edisi 6 EGC : Jakarta


Smeltzer, Suzanne C.,Brenda G. Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddart edisi 8. Vol. 2, EGC : Jakarta


ABSTRAK

komplikasi dari tindakan bedah digestif yang menjadi tantangan dalam kasus bedah salah satunya
yakni Fistula enterkutaneus. Fistula enterkutaneus merupakan ostium abnormal, berliku-liku antar
dua organ berongga internal atau antara organ internal dengan tubuh bagian luar. Pada bulan
desember 2013 sampai bulan November 2015 dilakukan penelitian Dirumah Sakit Basaveshwar
India. Tujuan dari penelitian yang telah dilakukan menganalisa secara komprehensif dari etiologi
dan faktor resiko dari fistula enterkutaneus. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi khort
prospektif. Didapat kan 30 kasus terdiri dari 23 laki-laki dan 7 perempuan dengan usia rata-rata
pasien 38 tahun dengan insiden fistula lebih banyak terjadi pada laki-laki sekitar 76,67% dan pada
wanita 23,33%. Dengan operasi perforasi duodenum menjadi penyebab paling banyak dan dirawat
menggunakan teknik konserfasi dan pembedahan. Nutrisi yang diberikan pada enam kasus, pasien
mengalami pemulihan dengan baik, pemberian nutrisi Total Parental Nutrisi (TPN) sebanyak 20
orang dan 3 meninggal.
METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi khort prospektif. Populasi pada penelitian ini adalah
pasien fistula enterkutenus sebanyak 30 kasus terdiri dari 23 laki-laki dan 7 perempuan dengan
usia rata-rata pasien 38 tahun dengan insiden fistula lebih banyak terjadi pada laki-laki sekitar
76,67% dan pada wanita 23,33%. Yang sedang dirawat dirumah Sakit Basaveshwar India selama
periode Desember 2013-November 2015.

Besar sampel ditetap kan sebesar 30 sampel dengan tehnik total sampling. Cara pengumpulan data
diambil dari riwayat penyakit pasien untuk mengetahui faktor resiko yang memengaruhi terjadi
fistula enterkutaneus. Semua pasien ditangani oleh peneliti dengan empat fase yaitu

1. pemeriksaan darah, mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, pengendalian


fistula melindungi kulit dan mengukur produksi fistula, perawatan luka dan
mempertimbangkan pemberian antibiotik
2. lanjutkan terapi cairan dan elektrolit melalui infuse
3. anjurkan pemebrian nutrisi cara oral atau dengan NGT(Naso Gastrik tube) atau dengan

jejunostomy
4. lanjutkan terapi gizi sampai fistul menutup atau jika gagal dilakukan sampai operasi ulang.
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI JURNAL

A. Hasil Penelitian
Dari total 604 pasien yang menjalani operasi digestif perut dalam periode tertentu, 30

pasien mengalami fistula enterkutaneus degan kelompok usia berkisar dari usia 9 tahun
sampai 70 tahun. Mayoritas pasien antara 41-50 tahun (33,3%), dari total 30 pasien, dari 23

laki-laki (76,67%) dan 7 permpuan (23,33%), 76,67% dari pasien fistula enterkutaneus
memiliki status ekonomi dan sosial rendah serta kebiasaan diet yang salah.

B. Diskusi Jurnal
1. Faktor resiko pada menejemen Enterkutaneus fistule

Pada jurnal yang dibuat berdasarkan penelitian ini, hasil penelitian didapatkan
bahwa kelompok usia yang paling rentan terjadi ECF setelah pembedahan adalah

kelompok usia antara 41-50 tahun dengan rata-rata 38,8 tahun.Menurut Altmore et al
(1990) pasien berusia> 60 tahun dianggap berisiko tinggi tetapi ini tidak secara

statistik berhubungan dengan hasil.


Fistula yang paling umum adalah fistula deudenum (36,66%) dan ilium (33,33%)

dengan penyebab utama yang paling berperan adalah komplikasi operasi. Faktor
resiko potensial terjadinya ECF juga dapat dilihat dari gejala-gejala yang timbul pada

periode pra operasi lebih dari 3 hari, Altmore et al (1990). Edema pada ektermitas
bawah merupakan indikasi dari adanya hypoproteinemia juga menjadi faktor risiko

potensial untuk fistula enterocutaneous pasca operasi.


Dari 30 pasien dengan ECF didapatkan 16 pasien memiliki output fistula tinggi
yaitu lebih dari 500 ml/hr, Output fistula dalam waktu 24 jam adalah indikator paling
penting dari dampak fisiologis fistula pada pasien. Terapi koservatif diberikan kepada

26 (86,67%) pasien dengan hasil 23 (76,67%) mengalami penyembuhan dan 3 (10%)


paien meninggal. Semua pasien diberikan antibiotik sesuai hasil kultur dan sensitivitas.

Terapi enteral peeding diberikan pada 6 pasien dengan pertimbangan jumlah


output fistula yang rendah dan fungsi intestine yang baik dan semua pasien yang

mendapat enteral peeding berhasil disembuhkan. Terapi TPN diberikan kepada 20


pasien dalam komposisi seperti Celemix G, Celipid, Human Albumin dan asam

aminomelalui vena sentral ataupun vena perifer.


Semua pasien yang mendapatkan terapi konservatif diberikan suplemen elektrolit.

Dari 20 pasien yang mendapat TPN, 17 pasien berhasil pulih setelah 10 hari sampai 60
hari, 3 pasien meninggal dikarenakan sepsis dan ketidakseimbangan elektrolit dalam

menejemen pengelolaan konservstif. Terapi pembedahan dilakukan pada 4 (13,33%)


pasien dan hasil 1 pasien meninggal dikarenakan sepsis, gangguan nutrisi,

ketidakseimbangan elektrolit dan komplikasi diabetes mellitus dan 3 pasien berhasil


disembuhkan.

2. Hubungan terapi konservatif dengan tingkat keberhasilan penyembuhan ECF


Pada kelompok yang mendapatkan terapi menejemen konservatif didapatkan tingkat

keberhasilan yang tinggi, menejemen konservatif dilakuakan selama 6-8 minggu


sebelum pasien diputuskan operasi ulang. Tingkat mortalitas dan operasi kembali

tertinggi pada masa minggu pertama sampai minggu keenam. Pada masa itu pasien
harus menunjukan kenaikan berat badan dan penyembuhan luka serta hasil tes

laboratorium menunjukan keseibangan elektrolit dan albumin yang normal. Pada


tahun 1998, Bosscha at al, menyatakan bahwa pada pasien dengan peritonitis dan

sepsis intra abdominal, tindakan pembedahan tidak bisa dihindari. Mereka juga
menganjurkan jejunostomy proksimal dalam terapi bedah pada ECF. Prosedur ini
tampaknya menjadi ukuran yang berguna di mana terdapat segmen panjang atau
beberapa daerah usus kecil yang masih berfungsi efektif. Pada tahun 2000 Lomis et al

menyarankan bahwa, penutupan saluran kulit perut dengan modifikasi vasoseal dan
collagen plug menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengelolaan fistula refrakter

untuk drainase kateter. Haffejee pada tahun 2004, menunjukkan bahwa kontrol sepsis
dan koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit memainkan peran penting dalam

pengelolaan fistula eksternal dan penutupan bedah definitif fistula harus direncanakan
hanya ketika pasien apyrexial dan status gizi yang baik dan jika fistula tidak

menunjukkan tanda-tanda penurunan dalam volume setelah 4-6 minggu dukungan


nutrisi. Poritz et al pada tahun 2004 menyatakan bahwa manajemen bedah dengan

reseksi usus, termasuk fistula adalah metode yang disukai pengobatan. Pada tahun
2011 Polk TM et al, menyarankan terapi nutrisi yang agresif diperlukan untuk

membalikkan keadaan katabolik terkait dengan ECF / pasien EAF. Tingkat


kematiandalampenelitianiniadalah 13,33%, inisebandingdenganpenelitianPrickett D at

al (1991) 19%, Lomis at al (2000) 21 %, dan Martinez JL at al (2008) 13%. Terapi


menejemen konservatif merupakan metode pilihan utama pada awal kasus ECF.

Pembedahan darurat hanya dilakukan pada kasus penanggulangan perdarahan atau


abses intraabdominal terkait dengan sepsis sistemik yang tidak terkontrol.
C. RekomendasiPenelitian

Faktor-faktor resiko yang beru paperitonitis, anemia, hipoproteinemia, ketidakseimbangan


elektrolit, malnutrisi dan pasien tidak stabil pada saat penerimaan menjadi pertimbangan

untuk dilakukan tindakan operasi primer. Penyebab utama kematian adalah septikemia,
kekurangan gizi dan elektrolit. Manajemen TPN yang lebih baik dan perawatan intensif

akan membantu dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas pada kasus ini. Kematian
dapat dikurangi dengan pengetahuan yang lebih baik dari keseimbangan cairan dan

elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan luka ditingkatkan, baru antibiotik yang lebih kuat
dan teknik bedah yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai